• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOOK Tri HNR, Noviati Roficoh Narasi Perkosaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BOOK Tri HNR, Noviati Roficoh Narasi Perkosaan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Narasi Perkosaan dalam Teks Media

(Analisis Naratif Pemberitaan Kasus “EF” di

Tribunnews.com Periode Mei 2016 – Februari 2017)

Tri Hastuti Nur R

1

dan Noviati Roicoh

2

Abstrak

Data menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia semakin meningkat termasuk angka perkosaan. Namun ketika media massa memberitakan dalam medianya, kasus-kasus perkosaan dimaknai semata-mata sebagai persoalan individual korban dan keluarga, persoalan kriminal biasa dan bahkan dikisahkan sebagai kisah sedih seperti halnya sinetron. Penelitian ini ingin membongkar bagaimana narasi tentang perkosaan di media. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui narasi perkosaan dalam teks media Tribunnews.com dalam pemberitaan kasus perkosaan terhadap EF.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode naratif; dengan menggunakan dokumen berita-berita tribunnews.com periode Mei 2016-Pebruari 2017. Adapun model metode naratif yang digunakan adalah model Nick Lacey dan Gillespie untuk melihat struktur narasi, sedangkan untuk melihat karakter narasi digunakan model aktan dari Algirdas Greimas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi naratif yang dibangun oleh Tribunnews.com melalui cerita dan alur dalam pemberitaan kasus perkosaan dan pembunuhan terhadap EF tidak disajikan secara kronologis. Wartawan mengkonstruksi peristiwa dengan menekankan pemberitaan peristiwa perkosaan yang menonjolkan penggunaan kata-kata sensual dengan mengambil bagian-bagian peristiwa tertentu dari kasus. Karakter narasi perkosaan dalam pemberitaan kasus EF ditulis dengan gaya sensasional dan dramatis oleh wartawan; dan mengandung misoginis yaitu victim blaming. Korban digambarkan seolah menjadi penyebab dari terjadinya pembunuhan yang menimpa dirinya. Narasi yang dibangun media bahwa terjadinya perkosaan bukan semata-mata karena pelaku tapi ada penyebab dari korban.

Kata Kunci: analisis naratif, berita online, perkosaan.

(2)

1. Pendahuluan

Catatan Tahunan 2016 yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan berjumlah 321.752 kasus yang dilaporkan. Bentuk kekerasan yang terbesar adalah kekerasan isik dan seksual. Data kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, pada tahun 2015 menempati peringkat ke tiga, dan pada tahun 2016 berada di peringkat ke dua, yaitu dalam bentuk kasus perkosaan sebanyak 72% (2.399 kasus), pencabulan mencapai 18% (601 kasus) dan pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%). Berdasarkan data dari Rape, Abuse, and Incest National Network tahun 2010, kasus perkosaan sering terjadi di Amerika yang mayoritas korbannya adalah perempuan dan perempuan di bawah umur.

Meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan perkosaan menggambarkan bahwa perkosaan sudah menjadi budaya. Budaya perkosaan dideinisikan sebagai lingkungan di mana tindak perkosaan adalah lazim dan kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan sesuatu yang normal dan sesuatu yang dimaakan oleh media dalam budaya populer. Budaya perkosaan diabadikan melalui penggunaan bahasa yang misoginis, objektiikasi tubuh perempuan, dan membuat kekerasan seksual sebagai topik yang menarik. Budaya pop mulai menormalkan kekerasan terhadap perempuan, mendorong seksualisasi dan objektiikasi perempuan, menciptakan dan melestarikan keyakinan seksual, stereotip jender, dan mitos (American Psychological Assosiation, 2007). Ketika kekerasan seksual dianggap normal, maka risikonya adalah pemerkosaan, percobaan perkosaan, kekerasan seksual, dan penganiayaan meningkat dan kesalahan atas pelaku dilimpahkan kepada korban (Cheeseman, 2011). Banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan tidak ditindak oleh hukum dan pelaku dibiarkan begitu saja. Sekalipun terjadi kekerasan, perempuan akan tetap di pojokkan meskipun perempuan sudah menjadi korban ataupun objek kekerasan. Perempuan sebagai pihak yang mesti bertanggungjawab, karena perempuan yang (dituduh) sebagai penggoda sehingga laki-laki berhak memperkosanya (Dzuhayatin, 2001, p. 77)

(3)

misoginis dan memposisikan korban sebagai “korban perkosaan” berikutnya yang dilakukan oleh media. Pemberitaan kasus perkosaan yang terjadi pada EF di Tangerang Selatan bisa dijadikan salah satu contoh bagaimana media tidak berpihak pada korban dalam memberitakan kasus perkosaan. EF yang sebagai korban seharusnya ditempatkan sebagai pihak yang dirugikan, tapi media dalam menyusun narasi pemberitaan justru cenderung menyalahkan EF sebagai perempuan. Terjadinya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku, itu dikarenakan kesalahan EF sebagai perempuan yang memancing pelaku untuk datang ke kamarnya, sehingga pelaku bisa masuk dan bertemu korban, namun ketika korban diajak melakukan hubungan yang lebih intim, korban menolak dan menyebabkan pelaku marah serta berujung membunuh korban. Kronologi yang disusun media tersebut, memposisikan EF adalah yang bersalah.

Kasus perkosaan yang terjadi pada prempuan tidak hanya dialami secara isik, namun juga secara mental. Narasi berita yang dibuat terlalu mendramatisir dan menceritakan korban secara detail menjadikan korban diperkosa berulang melalui media, sehingga muncul anggapan yang kembali menyalahkan korban.

“Dalam banyak kasus rape culture atau budaya perkosaan, masih melekat keyakinan, di mana para pria meyakini bahwa mereka boleh melecehkan dan bahkan memperkosa perempuan. Budaya ini juga menjadikan kebanyakan korban perkosaan disalahkan kembali oleh masyarakat, karena dianggap perempuanlah penyebab terjadinya pelecehan atau perkosaan (Sucahyo, 2016).”

(4)

membuat laki-laki tergiur untuk memperkosa. Seperti yang terjadi pada kasus perkosaan yang dialami EF, dari berita kronologinya menyebutkan bahwa EF adalah perempuan cantik yang banyak disukai pria, namun EF selalu menolak ketika ada pria yang ingin memacarinya. Menariknya, pada kasus EF juga, media menggambarkan bahwa tindakan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan berbeda dengan pemberitaan kasus kekerasan seksual dan pembunuhan lainnya yang biasanya didasari tanpa motif khusus.

Pemberitaan kasus perkosaan atas EF diberitakan secara intensif dalam situs Tribunnews.com; sebagai salah satu yang merajai pasar berita online. Selain menduduki peringkat pertama dari segi tingkat visitasi, Tribunnews.com juga sangat intens menampilkan berita kekerasan seksual pada kasus “Eno, Gagang Cangkul”, ada sebanyak 2.140 berita yang terkait dalam periode kasus tersebut. Dari data yang diperoleh tersebut peneliti memutuskan mengambil kasus EF pada pemberitaan di Tribunnews.com untuk mendeskripsikan konstruksi perkosaan dalam narasi berita. Penelitian mengenai konstruksi perkosaan dalam narasi atau teks media sendiri sebelumnya pernah ditulis oleh Daniel Susilo tahun 2014, tentang “Analisis Wacana Maskulinitas Dalam Berita Pemerkosaan di Situs Berita Online”, dalam tulisannya ada pembahasan mengenai maskulinitas yang dihadirkan sebagai pemilik kuasa dalam menggambarkan tindakan perkosaan. Oleh situs berita online, tindakan perkosaan digambarkan sebagai bentuk dominasi maskulinitas atas label feminimitas. Penelitian mengenai perkosaan

Pop Culture V. Rape Culture: he Media’s Impact on the Attitudes Towards Women, ditulis oleh Alyssa Leigh Smith dan dipublikasikan dalam UMI Dissertation Publishing tahun 2014. Dalam penelitian tersebut Alyssa menyimpulkan bahwa ada hubungan antara dunia hiburan dan pandangan antar pribadi terhadap kekerasan dan mitos perkosaan yang kurang dari ideal untuk sebuah realitas. Maksudnya, bisa terbentuk sebuah hubungan antara dunia hiburan dan pandangan seseorang terhadap perempuan dan pemahaman terhadap kekerasan interpersonal dan pemerkosaan dan atau penyerangan seksual yang mengarah pada spesiik jender (Smith, 2014, p. 73).

(5)

dan menguatkan konstruksi yang telah ada, sehingga kekerasan pada perempuan terus berlanjut. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana media mengkonstruksi kasus perkosaan khususnya pada media berita online di Tribunnews.com melalui teks-teksnya yang termuat pemberitaannya.

2. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana narasi perkosaan EF dalam pemberitaan media online di Tribunnews.com?

3. Kerangka Pemikiran

1.1. Konstruksi Realitas Sosial dalam Media

Penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis, yaitu kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial yang bersifat relatif dan tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial berada di antara teori fakta sosial dan deinisi sosial. Narasi berita yang dibaca oleh khalayak juga tidak lepas dari konstruksi media (Eriyanto, 2004, p. 13). Hal tersebut mengartikan bahwa media bukan saluran yang bebas melainkan juga mengkonstruksi pesan. Sedangkan berita hanyalah konstruksi dari realitas, bukan releksi dari realitas. Pandangan tersebut berarti bahwa, wartawan  bukan hanya pelapor, tetapi ia adalah agen konstruksi dari realitas. Konsepsi dari sebuah realitas diserap oleh wartawan melalui dialektika dan interaksi, kemudian di interpretasikan melalui narasi berita yang disajikan kepada khalayak dengan makna yang berbeda-beda sesuai dengan pemahaman wartawan dan diterima oleh khalayak dengan penafsiran masing-masing.

(6)

Bahasa digunakan sebagai alat konseptual dan alat narasi. Media massa menggunakan bahasa tidak hanya untuk menggambarkan suatu realitas, lebih dari itu media menggunakan bahasa untuk menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas yang akan dipahami oleh khalayak. Struktur konstruksi realitas dan makna yang dimunculkan dari suatu realitas yang akan disajikan media dipengaruhi oleh bagaimana media memilih kata yang digunakan, pengutamaan, reduksi, dan penonjolan serangkaian fakta, serta cara penyajiannya. Dengan demikian, maka media akan menjadi sumber informasi yang dominan bagi khalayak media dalam memperoleh gambaran realitas dari suatu peristiwa. Melalui teks yang disusun media dapat memanipulasi konteks atau realitas (Hamad, 2004, pp. 11-13). Pemberitaan kekerasan pada perempuan dalam media massa pada kenyataannya tidak hanya terjadi pada tingkat realitas seperti pemukulan, perkosaan dan pelecehan, melainkan telah membentuk sebuah realitas kekerasan kembali yang direpresentasikan melalui teks berita oleh media massa itu sendiri. Teks hadir dari bagian representasi yang menggambarkan ideologi yang patriarkal. Hal itu terjadi karena pengambilan detail dan fakta pada judul tersebut merupakan kerangka alam pikiran patriarki. Sementara itu, penggambaran tubuh perempuan di berita kekerasan pada perempuan dapat disebut juga sebagai kekerasan simbolik (Piliang, 2001, p. 149).

1.2 Unsur Misoginis Pada Perkosaan dalam Narasi Berita

(7)

untuk bersikap tidak “menggoda” sehingga mendorongnya pada situasi seksual. Asumsi tersebut mengarah pada pelimpahan kesalahan pada perempuan, dan memunculkan kebencian pada perempuan, sehingga ketika seorang perempuan memamerkan bahkan memiliki hasrat seksual dia dianggap sebagai “pelacur”, pandangan tersebut kemudian berkontribusi pada munculnya mitos perkosaan bahwa wanita yang menikmati seks tidak bisa “benar-benar” disebut diperkosa (Beaudrow, 2014, p. 13). Pada mulanya, seksisme seolah hiburan ringan yang karenanya tidak perlu tersinggung. Tetapi kemudian ini membangun sebuah budaya yang “tak peduli” yang kemudian menjadi “tak sensitif ”, minimnya sensitiitas ini kemudian melahirkan kekerasan pada dunia yang lebih kasat mata (eksploitasi seksual, kekerasan, perkosaan dan bahkan pembunuhan) (Candraningrum, 2014)

Misoginis adalah kebencian atau ketidaksukaan terhadap perempuan. Perwujudan misoginis dapat terjadi lewat berbagai cara misalnya diskriminasi seksual, itnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan (yang kemudian meluas menjadi prasangka terhadap perempuan) dan objektivikasi seksual perempuan (Kramarae, 2000, pp. 1374-1377). Misoginis dilakukan oleh kaum pria pada umumnya, namun tidak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh kaum perempuan pada perempuan lain ataupun pada dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena masyarakat didominasi dengan sistem patriarki yang menempatkan pria pada posisi superior dan perempuan pada posisi subordinat, sehingga perempuan memiliki akses terbatas terhadap kekuasaan dan pengambilan keputusan (Flood, 2007). Laki-laki menganggap diam, berarti tidak ada penolakan. Dengan kata lain, perempuan juga mau dan menginginkan hal yang sama, sementara menyatakan tidak, dianggap tindak permusuhan dari perempuan.

Sensitiitas gender diperlukan untuk menetralkan cara pandang masyarakat yang masih cenderung merujuk pada pola patriarki, agar hal tersebut tidak terus berlangsung dan berdampak semakin maraknya kasus kekerasan yang terjadi. Sudah sejak lama adanya praktik kekerasan melalui dominasi maskulinitas tidak begitu banyak dipermasalahkan oleh anggota masyarakat, terutama masyarakat yang menganut sistem patriarki, bahwa praktik tersebut dianggap berlangsung kodrati dan

(8)

1.4. Analisis Naratif dalam Teks Media

Putih (Chasteen, 1998, pp. 13-18) mendeinisikan narasi adalah cerita terstruktur yang menjawab pertanyaan tentang kapan, di mana, bagaimana, mengapa dan siapa dalam rangkaian peristiwa tertentu. narasi berbeda dari bentu-bentuk tulisan atau lisan terutama oleh karaktristik plotnya. tidak seperti kronologi atau klasiikasi, narasi menggabungkan waktu dan kausalitas menjadi rangkaian peristiwa. Peristiwa tidak hanya tercantum atau ditempatkan ke dalam tipologi melainkan dibentuk menjadi sebuah cerita yang dimengerti dengan awalan, tengah, dan akhiran. narasi berbeda dari bentuk-bentuk lain dari bahasa tertulis atau lisan terutama oleh karakteristik ini adalah plot, tipologi dibentuk menjadi sebuah cerita yang dimengerti dengan awal, tengah, dan akhir. Penelitian naratif yang identik dilakukan pada model cerita iksi yaitu novel, ilm, dan feature ternyata juga dapat dilakukan pada berita. Narasi dapat dikaitkan dengan cerita berdasarkan fakta seperti berita. Karakteristik narasi dalam berita (Eriyanto, 2015, p. 85), ada beberapa syarat dasar dalam karakteristik narasi. Adapun karakteristik dasar yang dimaksud terpapar di bawah ini :

1) Ada rangkaian peristiwa, Narasi mempunyai rangkaian peristiwa yang dapat lebih dari satu peristiwa. Peristiwa yang lebih dari satu kemudian digabungkan dan disebut rangkaian peristiwa.

2) Rangkaian (sekuensial) narasi, mengikuti logika tertentu dan berkaitan secara logis. Rangkaian narasi berpola umum dan mengikuti urutan waktu, tetapi tidak selalu harus berurutan. Dalam hal ini rangkaian peristiwa itu harus mengikuti logika, msistematika, atau jalan pikiran tertentu.

3) Narasi yang disajikan secara relevan dan sesuai dengan pengalaman khalayak. Penyajian narasi melalui proses pemilihan dan penghilangan bagian tertentu dari peristiwa. Proses tersebut untuk menampilkan peristiwa yang penting, sedangkan yang tidak dianggap penting dibuang.

(9)

tertentu. Hal trsebut bermaksud agar bermakna dan dapat tersampaikan kepada khalayak. Secara lebih khusus, berita dapat dikategorikan dalam jenis narasi ekspositoris. Berita mengikuti logika cara bercerita. Ada bagian awal dan ada bagian yang ditempatkan di bagian tengah dan belakang. Hal tersebut bertujuan agar khalayak mampu mengikuti peristiwa yang disajikan. Peristiwa satu dengan peristiwa lain itu kemudian membentuk struktur cerita. Meski demikian, berita tidak bisa mengikuti alur naratif yang normal, disebabkan struktur berita membutuhkan abstrak cerita dari permulaan dan juga urutan yang mencerminkan beragam nilai berita dari aktor dan peristiwa, pecahan-pecahan informasi digabungkan kembali oleh wartawan berdasarkan nilai berita (news value) ketimbang urutan kronologis (Sobur, 2014).

4. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode naratif. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data berita-berita tentang perkosaan EF dari situs tribunnews.com periode Mei 2016-Pebruari 2017 sebagai data primer. Adapun analisis data dalam penelitian ini, bahwa peneliti mengambil keseluruhan teks sebagai objek analisis, berfokus pada struktur kisah atau narasi. Penelitian ini juga menggunakan model Nick Lacey dan Gillespie untuk melihat struktur narasi yang dikembangkan dari konsep struktur narasi Tzvetan Todorov. Lacey dan Gillepie menambahkan struktur teks berita yang ditandai oleh adanya gangguan (disruption), yaitu dari adanya konlik. Gangguan atau konlik dalam sebuah narasi berita disebut sebagai news value. Berita umumnya hanya mengambil tahap 1-3 atau 1-4, yakni tahapan ketika muncul gangguan (konlik) atau ketika konlik dan gangguan mencapai ekskalasi yang memuncak (Eriyanto, 2015, p. 54), dalam teks berita, penyelesaian dari suatu peristiwa bisa menjadi awal dari masalah baru.

(10)

perilaku lewat relasi antar aktan (Herman & Vervaeck, 2001, p. 53). Narasi perkosaan adalah kode, bukan hanya tentang rangkain khusus dari peristiwa tapi juga tentang keyakinan terhadap kejahatan, penjahat dan korban. Ketika cerita dikembangkan, plot dihidupkan melalui karakter yang bisa dipercaya dan dialog yang dimengerti.

5. Temuan dan Pembahasan

4.1. Urutan Berita Berdasarkan Kronologis Peristiwa

Pada penelitian ini, berita yang dianalisis adalah berita yang muncul selama masa kasus tersebut yaitu sejak Mei 2016 - Februari 2017. Berita yang diteliti dan dipilih didasarkan pada aspek-aspek dalam analisis naratif yang ada dalam berita tersebut, disusun berdasarkan urutan kronologis sejak awal kejadian hingga pemberitaan sidang vonis atau putusan pengadilan pada 8 Februari 2017.

Secara umum peneliti menyusun obyek berita tersebut menjadi tiga bagian. Bagian pertama menguraikan mengenai kronologi awal kejadian perkara. Bagian kedua mengenai proses persidangan para pelaku perkosaan dan pembunuhan. Bagian ketiga mengenai vonis atau sidang putusan hakim terhadap hukuman bagi pelaku.

5.2. Cerita (Story) dan Alur (Plot)

Pada bagian pertama diberitakan seorang perempuan yang diketahui bernama EF ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan dengan tubuh bersimbah darah dan sebuah gagang cangkul tertancap di kemaluannya, korban ditemukan di dalam kamar mess karyawan. Tiga orang rekan Eno yang mengetahui hal tersebut langsung melaporkannya kepada pihak HRD dan diteruskan ke Polsek Teluk Naga. Pihak kepolisian Teluk Naga langsung melakukan olah TKP. Pihak kepolisian langsung mengamankan pelaku beserta barang bukti berupa satu sepeda motor Satria F berplat nomor B6767GZL dan dua buah kasur lipat yang terdapat bercak noda darah. Seorang pelaku yang pertama kali terungkap yaitu Rahmat Ariin, karena diketahui mengantongi hanphone korban. Para pelaku langsung dibawa ke Jatanras Polda Metro Jaya untuk diinterogasi.

(11)

rekonstruksi kasus pembunuhan sadis terhadap EF. Total ada 31 adegan yang merangkum seluruh peristiwa pembunuhan sadis tersebut. Selanjutnya untuk pemeriksaan dalam ditemukan patah tulang pipi kanan berlubang, patah tulang rahang kanan, luka terbuka yang menembus lapisan penutup rongga panggul penggantung urat besar sebelah kanan. Kemudian, robeknya hati sampai belakang bawah menembus ke atas dekat rongga dada kanan, robeknya paru-paru bagian atas sampai bawah, pendarahan pada rongga dada 200cc dan rongga perut 300cc.

Pada bagian ketiga yaitu di persidangan, RAL membantah telah melakukan pembunuhan namun bantahan tersebut tidak mempengaruhi isi BAP, karena ada poin yang membuat posisi RAL tetap berat yaitu ada barang bukti berupa air liur RAL di sekitar dada korban. Pada persidangan 16 Juni 2016, RAL dijatuhi hukuman atau vonis 10 tahun penjara. Pada 25 Januari 2017 dua terdakwa pembunuh dan pemerkosa EF yaitu Rahmat Ariin dan Imam Harpiadi dituntut hukuman mati dalam sidang beragendakan tuntutan di PN Tangerang oleh Jaksa Penuntut Pengadilan Negeri Tangerang.

(12)

dalam pembuatan konten berita yang ditulis secara piramida terbalik juga jurnalis dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal media. Faktor internal bisa berasal dari institusi media yang memiliki kepentingan tertentu dalam pembuatan isi berita, sedangkan faktor eksternal bisa berasal dari faktor ekonomi, budaya, ataupun keinginan pasar (khalayak media). Asumsi yang ditulis oleh peneliti tersebut didasarkan pada kajian yang dilakukan oleh Shoemaker dan Reese tentang level analisis yang membentuk suatu garis kontinum dari mikro ke makro, yaitu dari unit terkecil pada sebuah sistem ke unit yang terluas. Bahwa apa yang terjadi di level bawah dipengaruhi oleh apa yang terjadi di level lebih tinggi.

Dari alur yang dibuat oleh Tribunnews.com terlihat, Tibunnews. com ingin mengambil peristiwa itu sebagai ilustrasi kecil untuk memperlihatkan kesadisan dalam kasus perkosaan dan pembunuhan tersebut. Wartawan mengemas dan mencitrakan berita sebagai informasi yang sensasional. McQuail dan Fung (Yusuf, 2010), menyandingkan bahasan mengenai sensasionalisme pemberitaan dengan unsur ketertarikan manusia (human interest) dan materi penarik perhatian (excitement) seperti berita kriminal, skandal seks, gosip, dan kehidupan selebritis yang diperoleh dengan melanggar privasi, termasuk foto-foto perempuan seksi dan korban kriminalitas yang ditampilkan secara “telanjang”. Berita sensasional sedikit sekali didasarkan pada nalar atau logika yang sehat karena semata-mata ditujukan untuk memicu rasa penasaran, emosi, empati, bahkan kesenangan sensual bagi pembacanya. Bahasan mengenai sensasionalisme pemberitaan di media massa terdapat tiga aspek yaitu teknik, proses, dan pola.

Pertama, aspek teknik sensasionalisme adalah strategi media dalam menampilkan berita hingga menjadi sensasional yang dapat dilakukan melalui elemen verbal dan visual, juga menggunakan metode repetisi

(13)

judul berita, lead, maupun isi berita (yang sensasional). Sedangkan sensasionalisme dalam unsur visual diperlihatkan oleh wartawan melalui foto dan penggunaan ukuran tertentu dalam penulisan.

Sementara itu, metode repetisi adalah pengulangan atau peningkatan frekuensi unsur-unsur sensasionalisme yang menimbulkan sensasi dalam berita. Sedangkan metode alokasi adalah penambahan waktu dalam menampilkan atau memberi penekanan pada unsur-unsur sensasionalisme dalam berita. Metode repetisi digunakan oleh wartawan dalam menuliskan berita kasus perkosaan dan pembunuhan terhadap EF dengan seringnya menulis informasi yang menimbulkan sensasi seperti, RAL (pelaku/kekasih EF) sempat bercumbu dengan EF sebelum kejadian pembunuhan, selain itu dalam penyusunan alur cerita wartawan terus mengulang informasi yang memuat adegan sadis pelaku dalam melakukan perkosaan dan pembunuhan terhadap EF.

Tribunnews.com menyajikan berita tidak secara kronologis, karena menyesuaikan dengan keinginan pasar yang cenderung menginginkan berita yang bersifat instan, sensasional dan sadis, tentunya hal itu juga dilakukan agar pembaca penasaran dan terus mengikuti perkembangan kasus. Menurut Ghimire, wartawan lebih banyak memberitakan isu-isu yang terbatas pada taraf pengungkapan konlik tanpa melakukan penelitian terlebih dahulu. Ini dilakukan semata-mata untuk memuaskan konsumen medianya akan sesuatu yang sensasional (Yusuf, 2010). Oleh karena itulah, terkadang wartawan abai terhadap pesan yang akan dibangun dalam sebuah berita dan hanya menuliskan berita dengan gaya hiburan yang diyakini adalah sesuai keinginan pasar (khalayak media) dengan tidak melakukan analisis mendalam bagaimana berpihak pada korban perkosaan dan keyakinan bahwa perkosaan adalah pelanggaran HAM.

5.3. Analisis Struktur Narasi Berita Kasus Perkosaan dan Pembunuhan EF

(14)

berikutnya yakni adanya gangguan (disruption). Struktur semacam ini tampaknya dipilih oleh Tribunnews.com untuk tujuan mengambil sisi dramatis untuk menarik perhatian pembaca. Dramatisme menjelaskan bahwa kehidupan sama halnya dengan pertunjukan teatrikal yang di dalamnya terdapat elemen act (tindakan), agent (pelaku), scene

(konteks yang melatari tindakan tersebut), agency (sarana untuk mencapai tujuan tersebut) serta purpose (tujuan dari tindakan). Lebih mudahnya, suatu peristiwa atau fakta disajikan atau ditulis dalam berita dengan bahasa hiperbolik dan melebih-lebihkan, tujuannya untuk menimbulkan efek dramatis bagi pembacanya. Melalui unsur dramatis ini pembaca akan mengikuti berita seperti menonton sebuah ilm, sehingga pembaca akan lebih mudah untuk menyerap informasi yang disampaikan wartawan. Namun pada kasus berita perkosaan seperti kasus EF misalnya, dramatisasi yang dilakukan oleh jurnalis justru dapat mencederai perasaan korban atau keluarga korban yang trauma akibat tindak perkosaan tersebut. Penggunaan dramatisasi dalam beberapa kasus bahkan dapat mengaburkan substansi berita yang ingin disampaikan dan justru menimbulkan pikiran negatif dalam benak pembaca (Yusuf, 2010).

Struktur berita yang tidak dimulai dari keseimbangan (Ekuilibrium) tetapi langsung pada tahap gangguan (Disruption) memungkinkan bahwa wartawan ingin menunjukkan bahwa realitas sosial yang ada di masyarakat memang tidak dalam kondisi seimbang. Berbagai macam permasalahan yang ada di masyarakat telah mengganggu keseimbangan yang ada, sehingga kegaduhan, kekerasan, dan ancaman tumbuh dimana-mana. Hal ini mengasumsikan bahwa Negara sedang tidak dalam kondisi seimbang atau aman. Struktur pemberitaan kasus perkosaan dan pembunuhan terhadap EF dirangkai secara berseri oleh wartawan. Wartawan tidak menuliskan secara keseluruhan peristiwa dalam sebuah naskah berita yang utuh melainkan memuat peristiwa tersebut menjadi beberapa tahapan sesuai berjalannya kasus dan beberapa cuplikan peristiwa diambil wartawan untuk diberitakan.

(15)

bahwa ada kasus perkosaan dan pembunuhan yang lebih sadis selain kasus YY ataupun kasus perkosaan lainnya. Khalayak dikejutkan dengan pemberitaan pembunuhan sadis yang ditulis dengan judul, “Sadis! Wanita Muda Tewas Babak Belur dengan Gagang Cangkul di Kemaluan”. Berita tersebut memuat tentang kronologi ditemukannya EF yang tewas dalam kondisi mengenaskan yaitu sebuah gagang cangkul terbenam dikemaluan korban. Setelah memperoleh perhatian publik dengan kejutan awal tersebut, Tribunnews.com selanjutnya menyajikan sisi-sisi sadis peristiwa pembunuhan dalam berita yang didukung dengan menunjukkan identitas korban, foto-foto alat yang dilakukan untuk melakukan kejahatan, bahkan foto-foto ilustrasi yang menggambarkan kesadisan tersebut. Lead pada berita ini dilengkapi dengan foto ilustrasi yang memperlihatkan kaki yang sudah dilabeli jenazah, dan di foto ilustrasi pada berita selanjutnya terlihat separuh lebih tubuh perempuan dengan posisi telentang bersimbah darah dan ada cangkul di sampingnya. Lead dan foto mencolok yang dimuat oleh Tribunnews.com ini secara tidak langsung mewakili apa yang ingin ditampilkan atau digambarkan oleh wartawan mengenai kasus pembunuhan dan pemerkosaan. Lewat lead tersebut, wartawan ingin mengatakan bahwa telah terjadi pembunuhan dengan cara yang sangat sadis dilakukan oleh para pelaku dengan memasukkan gagang cangkul ke alat kelamin korban. kata “tewas babak belur” ditulis oleh wartawan untuk menunjukkan bahwa korban dianiaya terlebih dahulu sebelum akhirnya dibunuh.

(16)

pembunuhan tersebut dilakukan dengan sangat kejam sehingga dampak yang ditimbulkan adalah luka yang parah dialami oleh korban, selanjutnya narasi perkosaan dan pembunuhan yang ditulis dengan muatan sadis tergambar dalam berita “Kronologi Pembunuhan Sadis Pakai Gagang Pacul: Baru Sebulan Pacaran Sudah Minta Hubungan Intim” berita ini selain menceritakan kronologi dilakukannya pembunuhan dan pemerkosaan terhadap EF juga membahas tentang status pacaran antara salah satu pelaku dengan korban, judul berita yang ditulis wartawan tersebut menunjukkan bahwa dalam hubungan pacaran hubungan intim adalah wajar untuk dilakukan, hanya saja pada berita tersebut wartawan menyayangkan tindakan pelaku yang terlalu cepat meminta untuk berhubungan intim (baru sebulan).

Berita lainnya yaitu, “Hal yang Terjadi di Kamar Sebelum EF Diperkosa Lalu Dihabisi Secara Sadis”. Kata “hal yang terjadi di kamar” menunjukkan bahwa ada suatu aktivitas, dalam isi beritanya ditulis bahwa aktivitas tersebut adalah Ral dan EF yang berbincang-bincang mesra. Ini menegaskan bahwa EF (korban) dengan senang hati menerima kedatangan Ral (pelaku dan pacar korban). namun, ketika EF menolak ajakan Ral untuk berhubungan intim, Ral kecewa dan marah. Kata “diperkosa” juga menggambarkan tindakan yang disengaja atau pemaksaan, hal ini merujuk pada rasa marah Ral yang ditolak EF. Kata “dihabisi” merujuk pada tindakan membunuh yang dilakukan oleh pelaku. Pemilihan kata tersebut diibaratkan makanan yang dihabiskan, berarti bahwa EF adalah obyek yang pantas untuk dimakan(dihabiskan). Dalam berita tersebut selain unsur sadisme, juga ada unsur victim blaming yang dilakukan oleh wartawan.

5.4. Analisis Fungsi dan Karakter Narasi pada Pemberitaan Kasus EF

(17)

narasi. Tabel menyajikan fungsi karakter yang ditemukan dalam narasi. Tidak semua fungsi narasi yang diidentiikasikan Greimas terdapat dalam narasi berita Tribunnews.com. Dari berita Tribunnews.com tersebut, terdapat beberapa aktan dan hubungan di antara aktan-aktan. Terkait hubungan beberapa aktan, ketiga pelaku sama-sama tertarik dengan korban, dalam berita ditulis bahwa ketiganya menyukai korban dan korban juga dikenal memang disukai banyak laki-laki. Objek dari narasi ini adalah EF, seorang wanita muda yang banyak disukai laki-laki. Subjek dari narasi adalah 3 orang laki-laki yang kemudian menjadi pelaku pembunuhan dan perkosaan terhadap EF. Subyek (3 pelaku) melakukan aktivitas agar bisa mendapatkan obyek. Dengan demikian poros atau sumbu pengiriman (axis of transmission) adalah tiga pelaku yang ingin mendapatkan EF. Dalam narasi berita ditulis ketiga pelaku melakukan itu karena didorong oleh rasa tertarik pada EF (korban). penerima (receiver) adalah EF yang akhirnya menjadi korban pembunuhan dan perkosaan oleh subyek (3 pelaku). Tujuan subyek meraih obyek didukung dari kecantikan paras obyek, sementara penghalang (traitor) adalah penolakan cinta dari EF kepada tiga pelaku. Poros kekuasaan (axis of power) dari narasi ini adalah kemolekan tubuh EF. Narasi berita ini menegaskan bahwa tindakan ketiga pelaku mendekati EF dipicu oleh EF sendiri, karena bertubuh molek dan membuat pelaku menjadi tertarik. Yang menarik, penghalang (traitor) dalam narasi ini bukanlah orang lain yang mungkin juga menyukai EF, tetapi justru penolakan cinta dari EF pada tiga pelaku. Penolakan merupakan suatu hal yang dapat berdampak pada perubahan emosi seseorang.

(18)

tokoh dalam karakter tertentu. Sebagai missal, R dan IH, Rahmat Ariin dan Imam Harpiadi. Pada satu sisi, R dan IH digambarkan tidak sepenuhnya bersalah karena korban sendiri yang memancing tindakan itu terjadi, namun dibagian lainnya R dan IH digambarkan sebagai orang yang sangat keji yang bahkan hingga akhir putusan tidak menyesali perbuatannya. Selain itu, kontradiksi juga terdapat pada penggambaran karakter korban. Pada salah satu beritanya, Tribunnews. com menggambarkan korban sebagai sosok yang baik dan pendiam. Namun di berita lainnya Tribunnews.com juga menggambarkan bahwa korban sebagai pemicu terjadinya perkosaan dan pembunuhan karena sosok korban yang berparas cantik dan banyak disukai laki-laki, dan korban juga yang mengajak pacarnya berkencan di kamarnya.

Menurut pandangan konstruksionis, keberhasilan mentransformasikan perkosaan menjadi masalah sosial tergantung pada narasi persuasif yang membuat “seksualitas koersif ” sebagai sebuah fenomena fundamental sosial. dalam kasus pemerkosaan, isu seksualitas koersif dapat menjadi konstruksi naratif yang bervariasi sebagai cerita tentang kejahatan, tentang kejatuhan moral individual, tentang penyakit, atau sekitar sosialisasi (Chasteen, 1998, pp. 13-18). Alhasil konstruksi seksualitas koersif yang dibangun oleh budaya dan dikukuhkan kembali oleh media melahirkan pemikiran bahwa seks bukan lagi seks jika tanpa kekerasan. Ketika perempuan cantik pada kebudayaan 1950-an dengan mudah mendapat jodoh atau seringkali digoda, maka kecantikan pada kebudayaan modern mengarah pada perkosaan (Wolf, Mitos Kecantikan, 2004, pp. 266-267).

6. Kesimpulan

(19)

berdampak pada berkurangnya informasi yang menyeluruh terhadap kasus, sehingga pembaca hanya dapat melihat kasus perkosaan hanya dari sebagian peristiwa dalam narasi berita yang ditulis sesuai dengan sudut pandang wartawan dan kepentingan media.

Karakter narasi perkosaan dalam pemberitaan kasus

EF ditulis sensasional dan dramatis oleh wartawan, dan

mengandung unsur misoginis yaitu

victim blaming

dalam

berita. EF (korban) digambarkan seolah menjadi penyebab dari

terjadinya pembunuhan yang menimpa dirinya.

Dari segi bahasa

jurnalistik, pada pemberitaan kasus pembunuhan dan perkosaan

terhadap EF, Tribunnews.com masih menggunakan pilihan

kata diksi yang bias, menstigmatisasi korban sebagai pemicu

perkosaan, dan menghakimi korban dengan upaya

stereotyping

.

Jurnalis juga seringkali memberikan opini yang menghakimi dan

tidak berimbang kepada perempuan korban kekerasan seksual.

Kata-kata bernuansa sadis dan cabul masih banyak digunakan

sebagai judul berita.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychological Assosiation. (2007). Report of the APA Task Force on the Sexualization of Gilrs. Retrieved Januari 21, 2017, from American Psychological Association: www.apa.org/pi/wpo/ sexualization.html.

Beaudrow, J. (2014). he Culture Of Rape: Examining Causes And Educating For A Rape-Free Society. 13. Ontario, Canada: Lakehead University.

Burt, M. R. (1991). Rape myths and acquaintance rape. In A. Parrot & L. Bechhofer (Eds.). New York: John Wiley dan Sons, Inc.

Candraningrum, D. (2014, September 22). Industrialisasi dan Seksualisasi Perempuan dalam Media. from Jurnal Perempuan. Retrieved November 20, 2016, from Jurnal Perempuan: http:// www.jurnalperempuan.org/blog/dewi-candraningrum-industrialisasi-dan-seksualisasi-perempuan-dalam-media

(20)

United States of America: University of Michigan.

Dzuhayatin, S. R. (2001). Perkosaan dan Mekanisme Kolonialisasi Gender. Jurnal Populasi, 12, 77.

Eriyanto. (2015). Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Media. Jakarta: Prenada Media Group.

Hamad, I. (2004). Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: sebuah studi critical discourse analysis terhadap berita-berita politik. Jakarta: Granit.

Ibrahim, I. S. (2011). Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, media, dan gaya hidup dalam proses demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.

Kramarae, C. (2000). Routledge International Encyclopedia of Women.

New York: Routledge.

Miedzin, M. (2002). Boys Will Be Boys: Breaking the link between masculinity and violence. New York: Lantern Books.

Piliang, Y. A. (2001). Sebuah Dunia Yang Menakutkan. Mesin-mesin Kekerasan dalam Jagat Raya. Bandung: Mizan.

Smith, A. L. (2014). Pop Culture V. Rape Culture: he Media’s Impact on the Attitudes Toward Women. UMI Disertation Publishing , 73.

Sobur. (2014). Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan Aplikasi. In McQuail. Yogyakarta: Rosda.

Sucahyo, N. (2016, Mei 11). Indonesia Darurat Kekerasan terhadap Perempuan. Retrieved Agustus 4, 2016, from VOA Indonesia: http://www.voaindonesia.com/a/indonesia-darurat-kekerasan-terhadap-perempuan/3324692.html

Wolf, N. (2004). Mitos Kecantikan. Yogyakarta: Niagara.

Biograi Singkat

(21)

Surakarta in mass communication (1994). Research and publication focus in media, gender, social and political marketing.

Noviati Roicoh, alumnus Ilmu Komunikasi Universitas

Referensi

Dokumen terkait

b) Pengembangan secara keseluruhan Usahakan agar anak mau mengembangkan bakatnya sebagai upaya mengalihkan perhatiannya dari kelemahan pribadi yang telah membuat

Petugas penguji emisi kendaraan bermotor roda 4 (empat) di Unit pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada Dinas perhubungan komunikasi, dan informatika Kota Banda Aceh mempunyai tugas

Kelak jika dia tumbuh menjadi pemimpin maka dia akan menjadi pemimpin yang memiliki jiwa sosial yang tinggi dengan sikap senang memberi (dermawan), dan menjauhkan diri

Oleh karena itu, sebagai wujud komitmen PTKS untuk menciptakan situasi kerja yang bersih dan bertanggungjawab, PTKS menyusun dan menerapkan sistem pelaporan

Purpose: ​ The purpose of this paper was to determine the relationship of knowledge, and parental attitudes with the status of child immunization in the working area of

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARANBERBASIS PROYEK PADA MATA DIKLAT SISTEM KONTROL TERPROGRAM UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA. Universitas Pendidikan Indonesia |

Penelitian ini bertujuan untuk mengadopsi Model DeLone dan McLean untuk menguji hubungan kualitas sistem, kualitas informasi dan konsekuensi (dampak individu dan

Rancangan hierarki ini merupakan hasil pengembangan hubungan atau interaksi ter- padu semua komponen yang terkait dengan pengelolaan perikanan di kawasan Selat