• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah PT. Perkebunan IX (Persero) di Sumatera Utara 1974-1996

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sejarah PT. Perkebunan IX (Persero) di Sumatera Utara 1974-1996"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

AWAL BERDIRINYA PT. PERKEBUNAN IX (PERSERO)

2.1 Kondisi Geografis

Perkebunan-perkebunan yang menjadi bagian dari PT. Perkebunan IX (Persero) terbentang di dataran rendah Pantai Timur Sumatera.11Pantai Timur Sumatera terletak antara garis khatulistiwa dan garis lintang utara 4 ˚C. Wilayah ini mempunyai iklim pantai tropik yang sifat iklim mikronya dipengaruhi oleh topografi seperti daerah-daerah tanah tinggi “Tumor Batak”, antara lain; Dataran Tinggi Karo, Pegunungan Simalungun, dan Pegunungan Habinsaran.12

PT. Perkebunan IX (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara bidang pertanian dan perkebunan (agro-industri) yang berkantor di Jalan Tembakau Deli No. 4, Medan, Sumatera Utara.13

Sesuai dengan karakteristik wilayah yang beriklim tropis menyebabkan wilayah tersebut memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.Pada saat musim hujan dimulai pada bulan Oktober dan memasuki bulan selanjutnya intensitas hujan semakin lebat, sedangkan pada saat musim kemarau biasanya terjadi

PT. Perkebunan IX (Persero) merupakan perusahaan yang dulunya milik Belanda bernama NV. Deli Maatschappij. Perusahaan tersebut memproduksi tembakau sebagai komoditas utama, walaupun terdapat juga komoditas lainnya yang diproduksi seperti kelapa sawit, kakao, dan tebu.

11

Untuk melihat peta perkebunan-perkebunan PT. Perkebunan IX (Persero) lihat lampiran I.

12

Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria,

Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hal. 44.

13

(2)

antara bulan Februari sampai Agustus.14 Intensitas hujan dan suhu yang panas dan kering setiap tahun terjadi dengan tidak menentu. Suhu dan kelembaban antara dataran rendah dan dataran tinggi juga berbeda. Di dataran rendah suhu berkisar antara 22 ˚C sampai 32 ˚C dan bisa mencapai 36 ˚C sampai 40 ˚C pada musim panas. Di dataran tinggi suhu berkisar antara 19,5 ˚C sampai 25 ˚C dan pada musim hujan dapat mencapai suhu 15 ˚C.15

Suatu ciri iklim yang penting di Pantai Timur Sumatera adalah angin yang bertiup sangat kencang. Iklim yang diakibatkan oleh angin ini menyebabkan kelembaban tinggi di daerah dataran tinggi. Angin ini dinamakan Angin Bahorok16, yang biasanya bertiup antara bulan Juni hingga Agustus. Angin ini turun dari dataran tinggi Bukit Barisan menuju dataran rendah di Pantai Timur Sumatera dan menyebabkan kekeringan dan kerusakan tanaman tembakau.17

Dalam melihat perkembangan produksi perkebunan, faktor penting yang menentukan adalah kualitas lahan dan tanah. Pada masa awal perkembangan perkebunan, komoditi utamanya adalah tembakau. Setelah dilakukan penelitian, wilayah Pantai Timur Sumatera yang memiliki kualitas tanah paling baik adalah tanah yang terletak antara Sungai Wampu dan Sungai Ular. Kualitas tanah yang

14

Ibid, hal. 44-45.

15

Roestam Thaib, Lima Puluh Tahun Kotapraja Medan, Medan: Djawatan Penerangan, 1959, hal. 72.

16

Angin Bahorok berasal dari nama yang diambil dari lembah Sungai Bahorok yang merupakan anak Sungai Wampu. Angin ini menggantikan angin laut yang berhembus ke pedalaman selama siang hari. Lihat Iyos Rosidah, “Eksploitasi Pekerja Perempuan di Perkebunan Tembakau Deli Sumatera Timur 1870-1930”, Tesis S-2 belum diterbitkan, Semarang: Universitas Diponegoro, 2012, hal. 33.

17

(3)

dibutuhkan dalam penanaman tembakau memiliki klasifikasi dan jenis-jenis tersendiri. Jenis tanah tersebut menentukan tinggi dan rendahnya harga rata-rata tembakau di pasaran dunia. Secara garis besar jenis dan kualitas tanah di dataran rendah Sumatera Timur dibedakan menjadi dua yaitu tanah lama dan tanah baru. Untuk lebih lengkapnya perhatikan tabel berikut ini.

Tabel 1.

Harga Rata-Rata Tembakau Pada 1883-1930 Menurut Jenis Tanah

Jenis Tanah

Harga Gulden (f.)

per ½ kg

Dollar ($) AS per

pon18 A. Tanah-Tanah Lama

Debu dan tanah gembur liparitik 0,90 0,45

Tanah gembur dasitik 1,34 0,67

Liparitik-dasitik 1,51 0,75

Lahar dasitik-andesitik 1,70 0,90

Lahar dasitik 1,99 0,99

B. Tanah-Tanah Baru

Liparitik 1,16 0,58

Dasitik-andesitik 1,81 0,90

Sumber: Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hal. 42.

Berdasarkan tabel di atas klasifikasi dan penggolongan tanah sangat penting bagi perusahaan perkebunan, terutama bagi perkebunan yang mengusahakan

18

(4)

komoditi tembakau, dibandingkan dari kondisi iklim, cuaca dan pengairan di perkebunan. Hal ini dikarenakan kualitas dan harga tembakau sangat bergantung pada jenis tanah. Hal tersebut yang membuat harga dan produksi tembakau dari suatu tanah dapat berbeda dengan tanah lainnya.

2.2 Perkembangan Perkebunan Masa Kolonial

Pembukaan perkebunan secara besar-besaran di Pantai Timur Sumatera berawal dari Undang-Undang Agraria atau Agrarische Wet 1870 yang mengatur tentang hak guna suatu tanah untuk dikomersialisasikan oleh modal swasta. Semenjak bergulirnya undang-undang tersebut berbagai modal asing mulai berlomba-lomba menanamkan modalnya di wilayah Pantai Timur Sumatera. Hutan belantara yang menjadi lahan dibuka dan ditanami berbagai tanaman komoditas ekspor di pasaran dunia seperti tembakau, karet, teh, kelapa sawit dan rami.19

Perkembangan perkebunan meningkat pesat setelah masa perintisan pada tahun 1870. Jumlah perkebunan bertambah dari 13 pada 1873 menjadi 23 pada 1874. Pada 1876 sudah 40 perkebunan yang beroperasi, sementara 15 permohonan konsesi sedang dipertimbangkan untuk diusahakan. Para pengusaha perkebunan umumnya terdiri dari orang Eropa. Pada 1872 di Deli ada sekitar 75 orang Eropa dengan beraneka ragam bangsa. Kebangsaan mereka dapat dilihat dari nama yang diberikan

19

(5)

kepada perkebunan yang mereka miliki seperti Riverside, Karlsruhe, Helvetia, Perseverance, Polonia dan Arnhemnia.20

Pengusaha asing pertama yang datang ke Pantai Timur Sumatera berawal dari seorang J. Nienhuys yang datang ke Deli pada 1863. J. Nienhuys merupakan pionir pertama bagi pengusaha-pengusaha asing yang kemudian datang ke Pantai Timur Sumatera. Nienhuys berhasil memperoleh tanah konsesi dari Sultan Deli selama 99 tahun. Pada 1865 perkebunan yang dibuka oleh Nienhuys telah menghasilkan panen sebanyak 189 bal21 tembakau dengan mutu terbaik. Hal tersebut telah membuat nama Deli semakin dikenal secara luas. Panen tersebut laku pada pelelangan di Rotterdam dengan harga 149 sen per ½ kilogram.22

Pada 1867 J. Nienhuys kembali ke Negeri Belanda untuk mencari tambahan modal bagi usahanya di Deli. Kemudian dia berhasil mengajak koleganya G. C. Clemen dan P. W. Janssen seorang direksi Nederland Handel Maatschappij (NHM) untuk mengembangkan usaha bersama dengan modal awal f 10.000. Dalam tahun 1868, keuntungan usaha bersama tersebut mencapai 100 % dan pada tahun berikutnya mencapai 200 %. Pada 1869, NHM bersedia memberikan kredit dan bersama dengan

20

Jan Bremen, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatra Timur pada Awal Abad Ke-20, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1997, hal. 26

21

1 bal sama dengan 1 gulung/40 lembar.

22

(6)

ketiga pengusaha tersebut mendirikan sebuah perseroan terbatas yang dikenal sebagai N.V. Deli Maatschappij23dan memegang 50 % dari seluruh saham.24

Perusahaan Deli Maatschappij memiliki modal awal sebesar f 300.000 dan pada tahun 1875 ditingkatkan menjadi f 500.000. pada tahun 1876 menjadi f 800.000 dan pada 1889 kembali menjadi f 500.000. Pada akhir abad ke XIX, perusahaan Deli Maatschappij menjadikan komoditas tembakau sebagai produksi utama, tetapi juga

mengusahakan berbagai komoditas tropis lainnya seperti, kelapa, pala, kopi, coklat, rami dan terakhir karet. Dalam perkembangannya selanjutnya, perusahaan Deli Maatschappij hanya berkonsentrasi pada dua komoditas utama yakni tembakau dan

karet. Lahan konsesi perkebunan sebelum perang kemerdekaan seluruhnya tidak kurang dari 180.000 hektar yang tersebar di Langkat, Deli, dan Serdang.25

Perusahaan ini memperoleh nama yang baik dan selamanya menduduki tempat terpenting dalam perkembangan perkebunan di seluruh Pantai Timur Sumatera. Perusahaan ini banyak mengambilalih dan mengakuisi beberapa perkebunan yang mengalami kesulitan keuangan terutama pada masa depresi ekonomi 1891. Dalam banyak kejadian selama depresi, banyak pengusaha perkebunan perorangan menjual tanah konsesi mereka kepada perusahaan Deli Maatschappij, hal tersebut semakin mengukuhkan kedudukannya sebagai perusahaan

yang memiliki organisasi dan finansial yang kuat di Hindia Belanda.

23

N.V. Deli Maatschappij merupakan perusahaan pertama yang didirikan di Hindia Belanda. Perusahaan ini memperoleh akta notaris pada tanggal 28 Oktober 1869 dan memperoleh persetujuan Kerajaan Belanda pada tanggal 16 Desember 1869. Lihat Karl J. Pelzer, op.cit. hal. 58.

24

H. Cremer, Deli Maatschappij 1869-1919, Amsterdam: Vereenigde Drukkerijen Roeloffzen-Hubner & Van Santen En Gebroeders Binger, 1919, hal. 6-7.

25

(7)

Selain J. Nienhuys, tokoh penting lainnya yang mempunyai peranan besar dalam perkembangan perkebunan adalah J. T. Cremer. Sebelumnya dia adalah pegawai Nederland Handel Maatschappij di Amsterdam dan pada 1868 pindah ke cabang Batavia. Dia diangkat sebagai Administrateur Deli Maatschappij pada 1871 setelah pertemuannya dengan J. Nienhuys di Singapura. J. Nienhuys mendapat kesan yang hebat pada pemuda berusia 24 tahun tersebut yang menampilkan diri sebagai industriawan tulen yang mempunyai pandangan luas terhadap pengorganisasian dan manajemen perusahaan.26

J. T. Cremer adalah orang yang meletakkan dasar-dasar dalam pengelolaan perusahaan perkebunan. Di bawah kepemimpinannya Deli Maatschappij berkembang menjadi perusahaan besar yang pada akhir abad XIX sangat menentukan sistem perkebunan di Pantai Timur Sumatera. Dalam kebijakannya, Deli Maatschappij menawarkan biaya operasi kepada pengusaha perkebunan tembakau swasta dan sebagai imbalannya mereka wajib memasarkan produksinya dengan perantaraan Deli Maatschappij. Di bawah pimpinannya pada 1871 hingga 1883, produksi tembakau

meningkat dari 1.315 pak menjadi 22.000 pak. Modal meningkat dari f 300.000 menjadi f 2.000.000, dan laba tahunan berjumlah rata-rata 73 %.27

Selain mengembangkan perusahaan Deli Maatschappij J. T. Cremer juga berkontribusi pada masalah perkembangan perkebunan di Pantai Timur Sumatera. Dia adalah tokoh terkemuka di kalangan pengusaha perkebunan. Dia memprakarsai

26

Jan Bremen, op.cit., hal. 27.

27

(8)

terbentuknya Deli Planters Vereeniging (DPV) atau Persatuan Pengusaha Deli yang didirikan pada 23 April 1879. Organisasi ini memiliki tujuan mewakili pengusaha perkebunan tembakau Sumatera Timur dalam hubungan kerja dengan penguasa lokal maupun dengan pemerintah Hindia Belanda. Urusan utama persatuan ini adalah masalah agraria, peraturan-peraturan perburuhan, serta pengimporan buruh dari Malaya, Cina, dan kemudian dari Jawa.28

Memasuki awal abad XX perkembangan perkebunan di Sumatera Timur mengalami pasang surut. Sejak mengalami krisis seluruh konsesi tembakau dikonsolidasikan dan dilebur menjadi empat perusahaan besar yakni Deli Maatschappij, Senembah Maatschappij, Deli Batavia Maatschappij serta Tabak

“Arendsburg” Maatschappij dan sisanya tinggal 15 buah perusahaan kecil. Jumlah

seluruh perkebunan pada tahun 1889 adalah 153 perkebunan, pada 1891 berjumlah 169 perkebunan, pada 1904 menurun menjadi 114 perkebunan dan memasuki tahun 1914 hanya tinggal 101 perkebunan dan akhirnya hanya tinggal 72 perkebunan pada tahun 1930.

Setelah sukses menjadi tokoh perkebunan dari 1871 sampai 1883 kemudian J. T. Cremer menjadi Menteri Urusan Daerah Jajahan dan memegang kunci dalam mempertahankan Poenale Sanctie.

29

Untuk lebih lengkapnya perhatikan tabel berikut ini.

28

Karl. J. Pelzer, op.cit., hal. 59.

29Jaarverslag Deli Planters Vereeniging 1914

(9)

Tabel 2.

Jumlah Perkebunan di Sumatera Timur 1864-1904

Tahun Jumlah

Perkebunan Tahun

Jumlah Perkebunan

1864 1 1887 114

1873 13 1888 141

1874 23 1889 153

1876 40 1891 169

1881 67 1892 135

1883 74 1893 124

1884 76 1894 111

1885 88 1900 139

1886 104 1904 114

Sumber: Jan Bremen, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatra Timur pada Awal Abad Ke-20, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1997, hal. 71.

(10)

ke Pantai Timur Sumatera. Harrisons and Crosfield menjadi perusahaan untuk lebih dari 225.000 acres30

Selain Inggris, modal asing lainnya dalam industri karet di Sumatera Timur adalah Amerika Serikat dengan perusahaan Uniroyal. Sekitar tahun 1910 perusahaan ini telah memiliki 37.000 acres dan bertambah menjadi 76.000 acres pada tahun 1913. Permintaan Amerika akan karet semakin meningkat karena industri mobil yang sedang berkembang memungkinkan usaha pencarian karet ke wilayah-wilayah Sumatera Timur.

lahan karet di Malaya, dan 135.000 acresdi Indonesia.

31

2.3 Masa Nasionalisasi dan Pendirian PT. Perkebunan IX (Persero)

2.3.1 Proses Nasionalisasi

Proses nasionalisasi terhadap aset dan perusahaan Belanda merupakan keputusan nasional di tengah kondisi ekonomi dan politik yang tidak menentu. Kondisi ekonomi Indonesia pasca penyerahan kedaulatan tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintahan Indonesia, sehingga pemerintah tidak bisa mewujudkan ekonomi nasional secepatnya. Dominasi Belanda dalam aset, investasi dan modal sangatlah besar. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian KMB, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk melindungi aset, investasi dan modal Belanda dalam kegiatan perusahaan dan usahanya di Indonesia.32

30

Acres adalah ukuran luas tanah, 1 acres adalah 0,46 hektar.

31

Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra 1870-1979,

Yogyakarta: KARSA, 2005, hal. 30-31.

32

(11)

Kewajiban dalam melindungi aset, investasi dan modal asing ternyata membawa kesulitan dan tantangan yang besar bagi pemerintah Indonesia. Seperti yang terjadi dalam kasus Perkebunan Tanjung Morawa pada 1952-1953, pemerintah berusaha menghentikan pendudukan liar yang dilakukan oleh penduduk terhadap lahan perkebunan-perkebunan tembakau yang pada akhirnya mendapat reaksi keras dari organisasi militan dan kalangan pers di Sumatera Utara. Mereka menghimbau kepada pemerintah untuk mengakhiri kebijakan agraria dari zaman kolonial dan melakukan nasionalisasi tanah-tanah yang dikuasai oleh perkebunan-perkebunan asing. Kasus Tanjung Morawa kemudian berdampak secara nasional, sehingga pemerintahan pada waktu itu yakni Kabinet Wilopo terpaksa mengundurkan diri pada tanggal 2 Juni 1953.33

Salah satu alasan penting diberlakukannya tindakan nasionalisasi adalah bahwa pengambilalihan ini merupakan bagian dari perjuangan untuk pembebasan Irian Barat dari Belanda. Dalam ketujuh pasal UU Nasionalisasi Perusahaan Belanda No. 86 tahun 1958 dan disahkan pada 31 Desember 1958, serta berlaku surut (retroaktif) mulai 3 Desember 1957, undang-undang ini berusaha untuk membebaskan negeri ini dari dominasi ekonomi pengusaha asing. Dalam pandangan pemerintah selanjutnya bahwa nasionalisasi pada akhirnya akan bertumpu pada dua tujuan yang saling berhubungan, yakni tujuan ekonomi dan keamanan negara. Untuk yang pertama, negara mempunyai peluang dalam meningkatkan ekonomi rakyat

33

(12)

melalui likuidasi perusahaan Belanda dan sekaligus berpeluang untuk melakukan konsolidasi menyeluruh aset-aset bangsa. Sementara untuk tujuan yang kedua, nasionalisasi bertujuan untuk memperkuat keamanan dan pertahanan republik dari investasi dan modal asing.34

Proses nasionalisasi dan pengambilalihan aset perusahaan dan perkebunan di Sumatera Utara dimulai ketika dikeluarkan Pengumuman Penguasa Militer No. PM/Peng 0010/12/57. Berturut-turut setelah Pengumuman Penguasa Militer tersebut, dikeluarkan sejumlah peraturan terkait lainnya yakni, Keputusan Penguasa Militer No. PM/KPTS-0042/12/57 tentang pengawasan langsung semua perusahaan-perusahaan milik Belanda; Keputusan Penguasa Militer No. PM/KPTS-0045/12/57 tentang pengambilalihan wewenang kembali pada semua perusahaan-perusahaan Belanda; dan Peraturan Penguasa Militer No. PM/PR-006/12/57 tentang pembatasan kebebasan bergerak bagi warga Negara Belanda.35

Dalam melakukan pengambilalihan tersebut, terdapat beberapa kelompok yang berperan yaitu, kelompok dan organisasi buruh terutama organisasi buruh yang berafiliasi pada PKI dan Angkatan Darat.36

34

Edy Ikhsan, “Nasionalisasi Perkebunan Belanda di Sumatera Utara: Diantara Inkonsistensi dan Stigmatisasi” dalam Artikel, hal. 1, (diakses dar

Walaupun dilakukan pengambilalihan secara nasional namun tidak terjadi bentrokan dan pemerintah cenderung hati-hati dalam prosesnya.

35

Ibid., hal. 3.

36

(13)

2.3.2 Proses Pendirian PT. Perkebunan IX (Persero)

Dalam pendirian PT. Perkebunan IX (Persero) telah melalui proses yang panjang setelah proses nasionalisasi yang dimulai pada tahun 1957. Proses nasionalisasi dilakukan berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958. Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi di Sumatera Utara di antaranya NV. Verenigde Deli Maatschappij(NV. VDM)37dan NV. Senembah Maatschappij. Kedua perusahaan tersebut yang menjadi cikal bakal dari PT. Perkebunan IX (Persero). Dalam masa nasionalisasi nama perusahaan NV. Verenigde Deli Maatschappij tetap dipakai mulai pada periode 11 Januari 1958 s/d 11 November 1958. Perusahaan terdiri dari 34 perkebunan, 12 perkebunan merupakan tanaman keras dengan luas areal 42.962 Ha. dan 22 perkebunan tembakau dengan luas areal 43.766 Ha. sehingga total luas dari 34 perkebunan tersebut adalah 86.728 Ha.38

Pada 20 November 1958 terjadi perubahan nama perusahaan menjadi Pusat Perkebunan Negara Baru (PPN Baru).39 Namun dalam operasional perusahaan tersebut masih mengatasnamakan NV. Verenigde Deli Maatschappij sehingga nama perusahaan tersebut adalah PPN Baru q.q. NV. VDM. Hal ini berlangsung hingga 31 Mei 1960.40

37

Pada awalnya NV. Verenigde Deli Maatschappij (NV. VDM) adalah perusahaan yang bernama NV. Deli Maatschappij yang diubah namanya pada tahun 1910.

38

Arsip PTP-IX, Sejarah Singkat PTP-IX (PT. Perkebunan-IX Persero), BPTD.

39

Perlu diketahui bahwa pada September 1950 telah dibentuk Pusat Perkebunan Negara (PPN Lama). Organisasi ini merupakan penjelmaan dari Gouvernement’s Landbouw Bedrijven (GLB) dan termasuk bekas perkebunan asing selain perkebunan milik Belanda. lihat dalam Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan Indonesia Kajian Sosial Ekonomi, Jakarta: Aditya Media, 1990, hal. 175-176.

40

(14)

Pada 1960 struktur PPN (Lama dan Baru) dilebur menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perusahaan Negara (BPU-PPN) yang terbagi dalam berbagai unit kerja perkebunan, di antaranya yaitu Unit Aceh, Unit Sumut (I-X), Unit Sumatera Selatan II), Unit Jawa Barat VI), Unit Jawa Tengah V), Unit Jawa Timur (I-X), dan PPN Perintis, serta Unit Penelitian. Selain itu BPUPPN juga dibagi berdasarkan jenis usahanya, yaitu BPUPPN Karet, BPUPPN Gula, BPUPPN Tembakau, dan BPUPPN Aneka Tanaman yang masing-masing berstatus badan hukum dan memiliki 88 buah PPN.41

Dalam BPU-PPN nama perusahaan PPN Baru q.q NV. VDM berubah menjadi PPN Cabang Sumatera Utara Unit Sumut-I sesuai dengan Surat Keputusan P.P.N. No. 29/1960, yang berlangsung dari 1 Juni 1960 s/d 31 Mei 1961. PPN Cabang Sumatera Utara Unit Sumut-I terdiri dari 39 perkebunan dengan luas areal 101.633 Ha.42

Dalam periode 1 Juni 1961 s/d 30 September 1963, PPN Cabang Sumatera Utara Unit Sumut-I hanya mengelola komoditi tembakau sehingga nama perusahaannya berubah menjadi PPN Sumut-I (Khusus Tembakau). Perubahan tersebut berdasarkan PP No. 143 Tahun 1961 Tanggal 26-4-1961 dan Lembaran

41

Mustika Agustina, “Perkebunan Tembakau Deli di Kebun Buluh Cina PTP IX Kecamatan Hamparan Perak (1974-1996)”, dalam Skripsi S-1 belum diterbitkan, Medan: FIB USU, 2013, hal. 22-23.

42

(15)

Negara No. 168/1961 Tanggal 26-4-1961. PPN Sumut-I (Khusus Tembakau) tersebut mengelola 28 perkebunan dengan luas areal 58.539 Ha.43

Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan PP No. 30/1963 Tanggal 23-5-1963 dan dikuatkan dengan Lembaran Negara No. 51/23-5-1963 Tanggal 23-5-23-5-1963 (Khusus Tembakau) maka PPN Sumut-I (Khusus Tembakau) dibagi menjadi 3 bagian yakni PPN Tembakau Deli-I yang terdiri dari 8 perkebunan dengan luas areal 22.744 Ha; PPN Tembakau Deli-II yang terdiri dari 7 perkebunan dengan luas areal 16.623,75 Ha; dan PPN Tembakau Deli-III yang terdiri dari 7 perkebunan dengan luas areal 19.149 Ha. Situasi tersebut berlangsung dari 1 Oktober 1963 s/d 17 April 1968.44

Pada periode 18 April 1968 s/d 31 Maret 1974 nama perusahaan berubah lagi menjadi Perusahaan Negara Perkebunan-IX (PNP-IX) berdasarkan PP No. 14 Tahun 1968 Tanggal 13-4-1968 dan Lembaran Negara No. 23/1968 Tanggal 13-4-1968. Perusahaan ini terdiri dari 22 perkebunan, namun sejak 21 Agustus 1968 menjadi 23 perkebunan. Luas areal perkebunan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut adalah 58.319,75 Ha.45

Pada tahun 1969, kelembagaan perusahaan perkebunan negara mengalami perubahan kembali, yaitu melalui pengalihan bentuk dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan nama badan usahanya Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan UU No. 9/1969 dan PP. No. 12/1969. Proses pengalihan

43Ibid. 44Ibid. 45

(16)

bentuk PN ke PT itu dilakukan secara bertahap dan melalui penilaian akan kelayakannya.46

Sesuai dengan ketentuan di atas maka Perusahaan Negara Perkebunan-IX (PNP-IX) berubah nama menjadi Perusahaan Perseroan PT. Perkebunan-IX (PTP-IX) dari tanggal 1 April 1974 s/d 12 April 1986, berdasarkan PP No. 44 Tahun 1973 Tanggal 6 Desember 1973. Perusahaan ini memiliki 20 perkebunan dengan luas areal 58.080,01 Ha. dalam periode 1 April 1974 s/d 12 Januari 1981, setelah itu jumlah perkebunan milik perusahaan berkurang menjadi 18 perkebunan dengan luas areal 58.000 Ha. sampai tahun 1984. Periode perkembangan selanjutnya nama perusahaan berubah menjadi PT. Perkebunan IX (Persero) yang beroperasi mulai 12 April 1986 s/d 1996.47

46

H. Silitonga, Industri Perkebunan Besar di Indonesia Profil dan Petunjuk, Jakarta: Departemen Pertanian, 1989, hal. 5-6.

47

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2. Jumlah Perkebunan di Sumatera Timur 1864-1904

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat diketahui kondisi bangunan-bangunan bersejarah perkebunan tembakau Deli Maatschappij di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang ada

Analisis Kemampuan Finansial Perkebunan Kelapa Sawit (Kasus di PT Perkebunan Nusantara I1 (Persero), Sumatera Utara).. Kelapa sawit adalah komoditas perkebunan yang penting

Seperti yang dikemukakan oleh Stoler (2005:3), bahwa perusahaan perkebunan pantai timur Sumatera pada mulanya mengimpor pekerja Cina dan kemudian pekerja Jawa dalam jumlah

Keanekaragaman Jenis Burung Air di kawasan Pesisir Pantai Timur Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.. Medan: Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan

Pada kurun waktu 1863-1870-an, perkembangan perkebunan di Sumatera Utara makin berkembang pesat pada tahun 1880, membutuhkan alat transportasi yang dapat memuat

Hubungan Panjang Bobot dengan Indeks Kematangan Gonad Ikan Tembang (Sardinellafimbriata) di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara di bawah bimbingan

Dengan datangnya orang-orang Jawa ke Sumatera Timur untuk menjadi pekerja perkebunan, para pemilik kebun mencoba untuk mengikat para kuli yang bekerja di perkebunan

tanah-tanah Deli Maatschappij, tetapi tembakau hasil perkebunan Senembah masih tergolong yang paling baik dari tembakau-tembakau Pantai