• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pencurian Arus Listrik (Putusan Nomor : 1770 Pid.B 2014 PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pencurian Arus Listrik (Putusan Nomor : 1770 Pid.B 2014 PN.Mdn)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengertian Pencurian dalam KUHP.

Pencurian menunjukkan kecenderungan meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya, hal ini tentunya meresahkan masyarakat dan menjadi salah satu penyakit masyarakat yang harus ditindak secara seksama. Mengenai tindak pidana pencurian diatur dalam BAB XXII Buku II Pasal 362 KUHP yang berbunyi

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

denda paling banyak enam puluh rupiah”.

KUHP tidak memberikan pengertian dari pencurian, hal ini dapat diketahui dalam KUHP BAB IX buku I tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang tersebut tidak dijelaskan. Di dalam rumusan Pasal 362 KUHP dapat diketahui bahwa tindak pidana pencurian itu merupakan tindak pidana yang diancam hukuman adalah suatu perbuatan yang dalam hal ini adalah

“mengambil” barang orang lain. Tetapi tidak setiap mengambil barang orang lain

(2)

milik orang lain,secara melawan hukum,sedangkan unsur subyektifnya adalah untuk dimiliki secara melawan hukum.

KUHP tidak menerangkan mengenai pengertian tindak pidana pencurian secara jelas karena hanya disebutkan tentang unsur-unsur dari tindak pidana tersebut. R Wirjono Prodjodikoro menyebutkan unsur khas dari tindak pidana pencurian adalah mengambil barang milik orang lain untuk dimilikinya.18 Moelyatno mengemukakan bahwa arti dari tindak pidana pencurian diterangkan mengenai unsur-unsur dari tindak pidana tersebut yang dilarang. Mengenai perbuatan yang dilarang unsur pokoknya adalah mengambil barang milik orang lain.19

Berdasarkan pendapat di atas yaitu mengenai tindak pidana pencurian bertitik tolak dari perbuatan mengambil barang milik orang lain, sehingga dapat diketahui bahwa yang dimaksud pencurian adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain untuk dimiliki secara melawan hukum.

Pengertian unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua arti, yaitu pengertian unsur tindak pidana dalam arti sempit dan pengertian unsur-unsur dalam arti luas. Misalnya unsur-unsur tindak pidana dalam arti sempit terdapat pada tindak pidana pencurian biasa, yaitu unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana dalam arti luas terdapat pada tindak pidana pencurian dengan pemberatan, yaitu unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 365 KUHP.

18

R. Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 31

19

(3)

Seseorang dapat dikatakan melakukan pencurian biasa jika unsur-unsur tersebut telah terpenuhi dalam tindakan tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 362 KUHP. Dalam Pasal ini syarat untuk dapat telah terjadinya suatu perbuatan pidana pencurian adalah barang yang curi sudah berpindah tempat, bila barang itu baru dipegang saja maka orang tersebut belum dapat dikatakan telah melakukan pencurian, akan tetapi ia baru melakukan percobaan pencurian.

Unsur-unsur dari kejahatan pencurian tersebut dibagi menjadi dua yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. 20Unsur-unsur tersebut antara lain:

1. Unsur Obyektif :

a. Unsur “mengambil” barang

Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan

“mengambil” barang. Kata mengambil (wegnemen) dalam arti sempit terbatas

pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang dan mengalihkannya ke lain tempat. Sudah lazim masuk istilah pencurian, apabila orang mencuri barang cair seperti misalnya bir, dengan membuka suatu keran untuk mengalirkannya ke dalam botol yang ditempatkan di bawah keran itu. Bahkan tenaga listrik sekarang dianggap dapat dicuri dengan sepotong kawat yang mengalirkan tenaga listrik itu ke suatu tempat lain yang telah ditentukan.

Perbuatan “mengambil” barang itu tidak ada, apabila barangnya oleh

yang berhak diserahkan kepada pelaku. Apabila penyerahan ini disebabkan

oleh pembujukan dengan tipu muslihat, maka ada tindak pidana “penipuan”.

Jika penyerahan ini disebabkan ada paksanaan dengan kekerasan oleh si

20

(4)

pelaku, maka ada tindak pidana kekerasan, jika paksaan ini berupa kekerasan langsung, itu disebut tindak pidana pengancaman (afdreiging) jika paksaan ini berupa mengancam akan membuka rahasia.21

Unsur perbuatan mengambil barang dengan maksud bahwa suatu barang berada dalam penguasaan mutlak dan mengakibatkan putusnya hubungan antara barang dengan orang yang memilikinya. Menurut PAF. Lamintang yang secara lengkap dalam bahasa Belanda berbunyi:

Wegnemen is ene gendraging wa ardor man het goed brengthinzijn feitolijke heerrchappij, bedoeling die men ten opzichte van dat goed verder koestert”. (Mengambil itu adalah suatu perilaku yang membuat suatu benda berada dalam penguasaannya yang nyata atau berada dalam kekuasaannya atau di dalam detensinya, terlepas dari maksud tentang apa yang diinginkan dengan benda tersebut).22

Mengambil adalah mengambil untuk dikuasai. Maksudnya untuk mengambil barang itu dan barang tersebut belum dalam kekuasaannya, apabila sewaktu memiliki barang itu telah berada ditangannya, maka perbuatan bukan pencurian tapi penggelapan (Pasal 372 KUHP). Pengambilan (pencurian) itu sudah dikatakan selesai apabila barang tersebut sudah pindah tempat. Bila mana seseorang baru memegang saja barang tersebut dan belum berpindah tempat, maka perbuatan itu belum dikatakan

pencurian, melainkan “mencoba mencuri”.23

Perkembangan dalam Hukum Pidana menyebabkan pengertian

perbuatan “mengambil” dapat pula mengalami penafsiran yang luas, seperti

yang dipakai oleh pembuat Undang-Undang yaitu tidak terbatas dengan

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya.

(5)

tangan saja melainkan bisa juga mengambil dengan kaki, atau dengan menggunakan satu macam alat lain, sebagaimana teori alat dalam hukum pidana. Misalnya, dengan sepotong kayu atau besi ataupun menghabiskan bensin dalam mengendarai kendaraan tanpa seizin pemiliknya, walaupun tidak berniat mengambil kendaraan itu.

Disamping itu mengambil aliran listrik dari suatu tempat yang dikehendaki dengan cara menempatkan sepotong kabel untuk mengalirkan muatan aliran listrik tanpa melalui alat ukur Perusahaan Listrik Negara (PLN), telah dapat dikategorikan sebagai suatu kejahatan pencurian.

Beberapa teori yang terdapat di dalam doktrin menjelaskan tentang bilamana suatu perbuatan mengambil dapat dipandang sebagai telah terjadi, masing-masing ialah:

1) Teori Kontrektasi

Menurut teori ini adanya suatu perbuatan mengambil itu diisyaratkan bahwa dengan sentuhan badaniah, pelaku telah memindahkan benda yang bersangkutan dari tempatnya semula.

2) Teori Ablasi

Teori ini mengatakan untuk selesainya perbuatan mengambil itu diisyaratkan bahwa benda yang bersangkutan harus telah diamankan oleh pelaku.

3) Teori Aprehensi

Menurut teori ini, untuk adanya perbuatan mengambil itu diisyaratkan bahwa pelaku harus membuat benda yang bersangkutan berada dalam penguasaan yang nyata.24

b. Unsur barang yang diambil

Sifat tindak pidana pencurian ialah merugikan kekayaan korban, maka barang yang diambil harus berharga. Harga ini tidak selalu bersifat ekonomis.

24

(6)

Misalnya barang yang diambil itu tidak mungkin akan terjual kepada orang lain, tetapi bagi si korban sangat dihargai sebagai suatu kenang-kenangan.

Barang yang diambil dapat sebagian dimiliki oleh pencuri, yaitu apabila merupakan suatu barang warisan yang belum dibagi-bagi dan si pencuri adalah seorang ahli waris yang turut berhak atas barang itu. Hanya jika barang yang siambil itu, tidak dimiliki oleh siapapun juga (res nullius), misalnya sudah dibuang oleh si pemilik, maka tidak ada tindak pidana pencurian.

Menurut R. Soesilo memberikan pengertian sesuatu barang adalah segala sesuatu yang berwujud dan bernilai ekonomis termasuk pula binatang (manusia tidak termasuk), misalnya uang, baju, kalung, dan sebagainya.25

Dalam pengertian barang masuk pula “daya listrik” dan “gas”, meskipun

tidak berwujud, akan tetapi dialirkan dikawat atau pipa. Barang disini tidak perlu mempunyai harga ekonomis. Pada mulanya benda-benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak saja (roerend goed). Benda-benda tidak bergerak baru dapat menjadi benda bergerak. Misalnya, sebatang pohon yang telah ditebang, atau daun pintu rumah yang telah terlepas/dilepas. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja.

25

(7)

Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat dipindahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan.

c. Seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain

Barang sebagai objek pencurian harus kepunyaan atau milik orang lain walaupun hanya sebagian saja. Hal ini memiliki pengertian bahwa meskipun barang yang dicuri tersebut merupakan sebahagian lainnya adalah kepunyaan (milik) dari pelaku pencurian tersebut dapat dituntut dengan Pasal 362 KUHP. Misalnya sebuah sepeda milik A dan B, yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan si B lalu menjualnya. Akan tetapi berbeda halnya apabila semua sepeda tersebut berada halnya apabila semua sepeda tersebut berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (Pasal 372 KUHP).

Pengertian “orang lain” dalam unsur sebagian atau seluruhnya milik

orang lain yaitu diartikan sebagai bukan si petindak. Dengan demikian maka pencurian dapat pula terjadi terhadap benda-benda milik suatu badan misalnya milik Negara. Jadi benda yang dapat menjadi obyek pencurian ini haruslah benda-benda yang ada pemiliknya. Benda-benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian.

2. Unsur-Unsur Subyektif. a. Maksud untuk memiliki

(8)

unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak dapat dipisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Gabungan dari dua unsur itulah yang menunjukan bahwa dalam delik atau tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ketangan petindak, dengan alasan, pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan yang kedua menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subyektif) saja. Sebagai suatu unsur subyektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.

b. Unsur tujuan memiliki barangnya dengan melanggar hukum

Unsur “melawan hukum” ini erat berkaitan dengan unsur menguasai

untuk dirinya sendiri. Unsur “melawan hukum” ini akan memberikan warna

pada perbuatan “menguasai” itu menjadi perbuatan yang dapat dipidana. Hal

ini berarti bahwa “melawan hukum” tersebut merupakan suatu perbuatan

yang dipandang bertentangan dengan hukum tertulis yakni undang-undang atau ketentuan yang berlaku.

(9)

hanya harus ada “tujuan”, melainkan perbuatan melanggar hukum, baik

dalam Pasal 262 KUHP perihal penggelapan barang wujud barang tersebut sama sekali tidak ditegaskan.

Menurut Moeljatno suatu perbuatan dikatakan melawan hukum yaitu apabila sesuatu perbuatan telah mencocoki rumusan undang-undang yang menggariskan bahwa suatu perbuatan yang melanggar undang-undang dalam hal ini bersifat melawan hukum.26

P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang menyebutkan bahwa memiliki secara melawan hukum itu juga dapat terjadi jika penyerahan telah terjadi karena perbuatan-perbuatan yang sifatnya melanggar hukum, misalnya dengan cara memalsukan suarat kuasa, dan sebagainya.27

Maksud memiliki dengan melawan hukum artinya adalah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum dalam pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan hukum subyektif.

KUHP mengenal 5 (lima) macam pencurian yaitu: 1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP).

Istilah pencurian biasa digunakan oleh beberapa pakar hukum pidana

untuk menunjuk pengertian “pencurian dalam arti pokok”. Pencurian biasa ini

perumusannya diatur dalam Pasal 362 KUHP. Menurut R. Susilo menjelaskan unsur-unsur pencurian biasa yaitu sebagai berikut:

26

Moeljatno, Op.Cit, hal. 56 27

(10)

a. Elemen-elemen pencurian biasa sebagai berikut: 1) Perbuatan “mengambil”

2) Yang diambil harus “sesuatu barang”

3) Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain” 4) Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk “memiliki”

barang itu dengan “melawan hukum” (melawan hak).

b. “Mengambil” = mengambil hak untuk dikuasainya, maksudnya waktu pencuri mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya, apabila waktu memiliki itu barangnya sudah ada ditangannya, maka perbuatan ini bukan pencurian tetapi penggelapan (Pasal 372 KUHP). Pengambilan (pencurian) itu sudah dapat dikatakan selesai, apabila barang tersebut sudah pindah tempat. Bila orang baru memegang saja barang itu, dan belum berpindah tempat, maka orang itu belum dapat dikatakan mencuri.

c. “Sesuatu barang” = segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang (manusia tidak masuk), misalnya uang, baju, kalungdan sebagainya.

Dalam pengertian barang masuk pula “daya listrik” dan “gas”, meskipun

tidak berwujud, akan tetapi dialirkan dikawat attau pipa. Barang ini tidak perlu mempunyai harga ekonomis. Oleh karena itu, mengambil beberapa helai rambut wanita (untuk kenang-kenangan) tidak dengan izin wanita itu, masuk pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya. d. Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian milik orang lain”. “Sebagian

kepunyaan orang lain” misalnya: A bersama B disimpan dirumah A, kemudian “dicuri” oleh B, atau A dan B menerima barang warisan dari C,

disimpan dirumah A kemudian “dicuri” oleh B, suatu barang yang bukan

kepunyaan seseorang tidak menimbulkan pencurian, misalnya binatang liar yang hidup di alam, barang-barang yang sudah “dibuang” oleh yang punya dan sebagainya.

e. “Pengambilan” itu harus dengan sengaja dan dengan maksud untuk

memilikinya. Orang “karena keliru” mengambil barang orang lain itu bukan pencurian. Seorang “menemui” barang di jalan kemudian diambilnya. Bila waktu mengambil itu sudah ada maksud “untuk memiliki” barang itu, masuk pencurian. Jika waktu mengambil itu pikiran terdakwa barang akan diserahkan ke polisi, akan tetapi setelah datang di rumah barang itu dimiliki untuk diri sendiri (tidak diserahkan ke polisi), ia

salah „menggelapkan” (Pasal 372), karena waktu barang itu dimilikinya sudah berada ditangannya.28

2. Pencurian Ringan

Jenis pencurian ini diatur dalam ketentuan Pasal 364 KUHP yang

menyatakan: “Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 KUHP dan Pasal 363

28

(11)

ke-4 begitu juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 365 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dihukum sebagai pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak

sembilan ratus rupiah”.

Berdasarkan rumusan pasal 364 KUHP, maka unsur-unsur pencurian ringan adalah:

a. Pencurian dalam bentuk yang pokok (Pasal 362)

b. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP).

c. Tindak pidana pencurian yang untuk mengusahakan masuk ke dalam tempat kejahatan atau untuk mencapai benda yang hendak diambilnya, orang yang bersalah telah melakukan pembongkaran, pengrusakan, pemanjatan atau telah memakai kunci palsu, perintah palsu atau jabatan palsu. Dengan syarat: 1) Tidak dilakukan di dalam sebuah tempat kediaman/rumah

2) Nilai dari benda yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. 3. Pencurian dengan pemberatan

Suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai pencurian berat apabila memenuhi unsur-unsur Pasal 362 KUHP, juga harus memenuhi unsurlain yang terdapat dalam Pasal 363 KUHP. Andi Hamzah menerjemahkan Palas 363 KUHP sebagai berikut:

(12)

2) Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau bahaya perang.

3) Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau dikehendaki oleh orang yang berhak.

4) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. 5) Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk

sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong, atau memanjat, atau dengan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

b. Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5 maka diancamdengan pidana penjara paling lama 9 tahun.29

4. Pencurian dengan Kekerasan

Pencurian dengan pemberatan kedua adalah pencurian yang diatur dalam

Pasal 365 KUHP. Jenis pencurian ini lazim disebut dengan istilah “pencurian

dengan kekerasan” atau popular dengan istilah “curas”. Pencurian dengan kekerasan yaitu pencurian yang didahului, disertai, dan diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang seperti yang diatur dalam Pasal 365 KUHP.

29

(13)

Unsur kekerasan dapat berupa mengikat orang yang mempunyai rumah, menutup di dalam kamar dan sebagainya. Kekerasan harus dilakukan pada orang bukan kepada barang dan dapat dilakukan sebelumnya, bersama-sama, atau setelah pencurian dilakukan, asal maksudnya untuk menyiapkan atau memudahkan pencurian, dan jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya atau kawannya yang turut melakukan akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap berada di tangannya.

Adapun yang menjadi unsur-unsur dalam Pasal 365 KUHP adalah sebagau berikut:

a. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.

b. Diancam dengan pidana paling lama dua belas tahun:

Ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.

(14)

Ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

c. Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

d. Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan disertai oleh salah satu hal yang diterang dalam ayat (2) 1 dan ke-3.30

5. Pencurian dalam Kalangan Keluarga

Pencurian dalam keluarga ini diatur dalam KUHP Pasal 367, dimana dalam hal ini yang melakukan pencurian itu adalah orang-orang yang berada dalam satu lingkungan keluarga dan oleh karena itu tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu, jika perbuatan itu dilakukan sebelum mereka bercerai meja makan dan tempat tidur maka mereka tidak dapat dihukum karena kedua orang itu sama-sama memiliki harta benda suami isteri dan hal ini juga didasarkan pada tata susila.

Pencurian ini diatur dalam Pasal 367 KUHP yang menyatakan:

(1) Jika perbuatan atau pembantu salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini ada suami (istri) orang yang kena kejahatan itu, yang tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta benda, maka pembuat atau pembantu itu tidak dapat dituntut hukuman.

(2) Jika suaminya (istrinya) yang sudah diceraikan meja makan tempat tidur atau harta benda, atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin, baik dalam

30

(15)

keturuan yang lurus, maupun keturunan yang menyimpang dalam derajat yang kedua, maka bagi ia sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.

(3) Jika menuntut adat istiadat keturuan ibu, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari bapak kandung, maka ketentuan dalam ayat kedua berlaku juga bagi orang itu.

Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini merupakan pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun korbannya masih dalam satu keluarga, misalnya yang terjadi, apabila seorang suami atau istri melakukan (sendiri) atau membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda istri atau suaminya.

B. Pengertian Pencurian di Luar KUHP. 1. Dalam Arrest.

Melihat rumusan Pasal 362 KUHP diketahui bahwa kejahatan pencurian merupakan tindak pidana yang dirumuskan secara formil. Dalam hal ini yang dilarang dan diancam pidana adalah suatu perbuatan mengambil. Pada tahun 1921

pengertian kata “barang” hanyalah diartikan barang yang berwujud saja karena pada waktu itu tidak ada barang yang tidak berwujud dan dapat diambil, namun karena perkembangan Iptek ada barang yang tidak berwujud dan dapat diambil

(16)

Pemakaian listrik secara tidak sah tidak diatur secara khusus dalam KUHP tetapi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian. Hal ini ditegaskan dalam Arret Hoge Raad Tanggal 3 Januari 1922 (N.J. 1922 halaman 280, w.

10864), yaitu: “Tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan, bahwa tenaga

listrik itu berada dibawah kekuasaanya. Perusahaan listrik tidak mempercayakan tenaga listrik itu kepadanya dan tidak menyuruh ia menyimpanya. Mengambil

arus listrik secara melawan hak adalah pencurian bukan penggelapan”.31

Perbuatan mengambil dalam pencurian tenaga listrik ditegaskan dalam Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 yaitu “perbuatan menyambung kawat

listrik untuk dialirkan kesuatu rumah dari kawat yang terdapat sebelum meteran

adalah perbuatan mengambil”.32

Umumnya dapat dikatakan bahwa suatu kejahatan pencurian telah selesai apabila si pelaku telah mengambil atau memindahkan benda dari tempatnya semula ketempat lain dengan maksud untuk menguasai atau memilikinya secara melawan hukum. Jadi apabila perbuatan tersebut hanya memegang, menyentuh, atau mengulurkan tangan tidak dapat dikatakan telah selesai melakukan perbuatan mencuri tetapi dapat dikatakan baru

melakukan “percobaan” untuk melakukan pencurian.

Pencurian tenaga listrik, hal tersebut ditegaskan dalam Arrest Hoge Raad

tanggal 24 Mei 1937 yang menyatakan bahwa : “Pada pencurian aliran listrik tidaklah penting apakah orang yang menghidupkan aliran dan dengan demikian untuk dipakai bagi kepentingan sendiri ataupun untuk dikumpulkan bagi

31

P.A.F Lamintang , Op.Cit, hal. 102 32

(17)

kepentingannya sendiri. Pencuri telah selesai pada saat diambilnya aliran listrik itu”.33

Seperti dinyatakan dalam Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 (N.J.

1921 Halaman 564, W.10728) : “Tenaga listrik termasuk dalam pengertian benda,

karena ia mempunyai nilai tertentu. Untuk memperolehnya diperlukan biaya dan tenaga. Tenaga listrik dapat dipergunakan untuk kepentingan sendiri, akan tetapi juga dapat diserahkan kepada orang lain dengan penggantian pembayaran. Karena Pasal 362 KUHP mempunyai tujuan untuk melindungi milik seseorang, maka didalam pengertian benda haruslah tenaga listrik itu dimasudkan didalamnya.”

Arrest ini kemudian dikenal dengan apa yang disebut “Electriciteits Arrest”.34 Tenaga listik dapat dikatakan sebagai benda karena :

a. Energi listrik itu tidak dapat dipisahkan secara sendiri. b. Energi listrik dapat diangkut dan dikumpulkan.

c. Energi listrik mempunyai nilai karena membangkitkan energi, memerlukan biaya dan usaha dan dapat dipakai sendiri maupun dapat dipakai orang banyak.

Kejahatan pencurian tenaga listrik jelas bahwa ada pemakaian listrik secara tidak sah karena menikmati tenaga listrik yang bukan miliknya tetapi milik PT. Perusahaan Listrik Negara yang untuk memperolehnya diharuskan melalui prosedur yang ditentukan.

33

Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal, 157.

34

(18)

2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012

Banyaknya perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang kecil yang kini diadili di pengadilan cukup mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat umumnya menilai bahwa sangatlah tidak adil jika perkara tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP oleh karena tidak sebanding dengan nilai barang yang dicurinya.

Secara historis Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) ini muncul lebih dikarenakan adanya tekanan masyarakat yang menilai bahwasanya pelaku pencurian yang nilainya

tidak “seberapa” dibandingkan dengan pelaku yang nilainya lebih besar terhadap

prosesnya dianggap sama saja, bahkan ketika hakim memutus suatu perkara

masyarakat banyak yang menganggap “maling ayam” lebih berat hukumannya

dibandingkan “maling kelas kakap” yang hukumannya jauh lebih ringan. Dan juga

Perma ini muncul dikarenakan jumlah rupiah pada saat ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman pada saat ini, karena jumlah rupiah pada saat ini mengalami penurunan yang sangat pesat ±10.000 kali jika dibandingkan harga emas pada saat ini, oleh karena itu kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua jua lima ratus ribu rupiah) dan denda yang dikenakan juga dilipatgandakan menjadi seribu kali lipat.

(19)

kasus-kasus kecil yang didakwa dan dituntut serta dijatuhi hukuman pidana dengan Pasal 362 KUHP tidak terulang kembali dimasa yang akan datang. Karena pada umumunya masyarakat menganggap sangatlah tidak adil jika perkara-perkara tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP oleh karena tidak sebanding dengan nilai barang yang dicurinya.

Langkah yang ditempuh oleh Mahkamah Agung sangatlah positif, namun kita harus hati-hati dalam menyikapinya. Penafsiran unsur dalam pasal 364 KUHP harus dipahami secara komprehensif agar kita tidak tersesat pada penafsiran bahwa perbuatan pidana ringan hanya dapat dilihat dari sisi nominal nilai barang

yang dicuri. Ketentuan Pasal 364 KUHP menyatakan ‚perbuatan yang diterangkan

dalam pasal 362 dan pasal 363 No 4, begitu juga apa yang diterangkan dalam pasal 363 No.5, asal saja tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau dalam pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, maka jika barang yang dicuri itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, dihukum sebagai pencurian ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.900,-.

(20)

Ada dua hal yang membedakan antara pencurian biasa dan pencurian ringan dalam KUHP dan Perma tersebut, yaitu:

a. Nilai Barang yang Dicuri.

Hal utama yang membedakan antara Pasal 362 KUHP (Pencurian) dengan Pasal 364 KUHP (Pencurian Ringan) terletak pada batasan nilai (nominal) barang yang dicuri pelaku tindak pidana. Dalam ketentuan Pasal 364 KUHP dirumuskan suatu syarat untuk mengatakan bahwa suatu tindak pidana adalah pencurian ringan yaitu dengan membatasi nilai barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah sedangkan dalam Perma No 2 Tahun 2012 di lipatgandakan menjadi dua juta lima ratus ribu rupiah. Ketentuan tersebut berbeda dengan Pasal 362 KUHP yang tidak memberikan batasan nilai barang yang dicuri oleh pelaku untuk bisa diterapkan pasal ini.

b. Ancaman Pidana.

Perbedaan kedua adalah menyangkut pidana yang diancamkan bagi pelaku tindak pidana tersebut. Pada ketentuan Pasal 362 KUHP, pembuat undang-undang mencantumkan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah bagi setiap orang yang melanggar ketentuan pasal tersebut. Sedangkan dalam Pasal 364 KUHP, pidana yang diancamkan pada pelaku hanya pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak enam puluh rupiah.

(21)

a. Penahanan terhadap pelaku tindak pidana.

Konsekuensi pertama yang akan dialami oleh pelaku tindak pidana adalah boleh/tidaknya pelaku ditahan oleh penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Syarat penahanan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu:

1) Syarat obyektif.

Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

a) Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. b) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296,

Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, da Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir

(22)

2) Syarat subyektif.

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau mengulangi tindak pidana.

Syarat obyektif merupakan syarat yang mutlak harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana untuk dapat dilakukan penahanan oleh penegak hukum dalam sistem peradilan pidana, sedangkan syarat subyektif bisa saya katakan sebagai supporting circumstances yang mendukung syarat utama dalam penahanan. Karenanya saya melihat bahwa penahanan harus, pertama kalinya, memenuhi syarat obyektif kemudian apakah penegak hukum khawatir pelaku akan melarikan diri dan lain-lain, itu adalah cuap-cuap yang bisa dikarang kapanpun dengan kondisi apapun.

(23)

karena syarat obyektif yaitu ancaman pidana minimal lima tahun penjara, tidak dapat dipenuhi, dan karenanya oleh hukum, ia tidak akan bisa merasakan

„nikmatnya‟ menjadi seorang tahanan. Ini adalah poin perbedaan yang sangat fundamental dari kedua pasal tersebut.

b. Pengajuan Kasasi oleh Pelaku dan/atau Jaksa.

Konsekuensi selanjutnya adalah diprosesnya suatu perkara dengan menggunakan acara cepat. Jika suatu tindak pidana dikategorikan sebagai tindak pidana ringan, perkara tersebut harus diproses dengan menggunakan acara cepat sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.

Pasal 205 KUHAP menyebutkan :

(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.

(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli, dan/atau juru bahasa ke sidang pengadilan.

(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat minta banding.

(24)

ringan, yang untuk kesekian kalinya, berbeda dengan pelaku pada tindak pidana pencurian dalam Pasal 362 KUHP.

Nominal yang ada di KUHP masih demikian adanya tanpa pernah disesuaikan lagi sejak tahun 1960. Terakhir kali, DPR dan Pemerintah memberikan perhatian serius (bukan sekedar omong kosong) adalah pada tahun 1960 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan PERPU Nomor 18 Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukum Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan sebelum Tanggal 17 Agustus 1945 (keduanya telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sudah ada sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang). Berikut adalah beberapa perubahan dalam kedua peraturan tersebut.

Pasal I PERPU Nomor 16 Tahun 1960‚Kata-kata ‚vijf en twintig gulden‛ dalam pasal-pasal 364, 373, 379, 384, dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana diubah menjadi ‚dua ratus lima puluh rupiah‛.‛

Pasal I PERPU Nomor 18 Tahun 1960:

(25)

(2) Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah hukuman denda dalam ketentuan-ketentuan yang telah dimasukkan dalam tindak pidana ekonomi.

Dua PERPU ini mengubah ketentuan KUHP, yaitu:

1) Nilai ‚barang‛ dalam Pasal 364, 373, 379, 3984, dan 407 ayat (1) KUHP

diubah menjadi ‚dua ratus lima puluh rupiah‛ yang berlaku demikian adanya

hingga detik ini (sebelum dikeluarkannya PERMA Nomor 02 Tahun 2012). 2) Pidana denda dalam KUHP dibaca dalam mata uang rupiah dilipatgandakan

menjadi lima belas kali. Sehingga jika di KUHP tertulis ‚denda paling banyak

enam puluh rupiah‛ harus dikalikan lima belas sehingga dibaca ‚denda paling

banyak sembilan ratus rupiah‛.

3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009.

Upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tenaga listrik sebagai bagian dari cabang produksi yang penting bagi negara sangat menunjang upaya tersebut. Sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, tenaga listrik perlu dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

(26)

Meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan di sektor ketenagalistrikan, diperlukan upaya secara optimal dan efisien memanfaatkan sumber energi domestik serta energi yang bersih dan ramah lingkungan, dan teknologi yang efisien guna menghasilkan nilai tambah untuk pembangkitan tenaga listrik sehingga menjamin tersedianya tenaga listrik yang diperlukan.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan disebutkan bahwa ketenagalistrikan adalah sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik.

(27)

Tindak pidana pencurian tenaga listrik diatur dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan, yang menyatakan: Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan mendefinisikan perbuatan tersebut tidak menggunakan istilah

“pencurian tenaga listrik” tetapi menggunakan istilah “menggunakan tenaga listrik

yang bukan haknya secara melawan hukum” sebagaimana terdapat dalam

Keputusan Direksi PT. PLN Nomor: 1486.K/DIR/2011 Tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik. Surat keputusan ini menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan pemakaian tenaga listrik secara tidak sah adalah pemakaian listrik PLN dengan melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam syarat-syarat untuk mendapatkan sambungan, aturan-aturan instalasi dan tarif dasar listrik yang berlaku”.

Melihat pada pengertian pemakaian tenaga listrik secara tidak sah yang telah dikemukakan, maka didapat unsur-unsur dari pemakaian tenaga listrik secara tidak sah adalah sebagai berikut:

(28)

Menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang dimaksud dengan tenaga listrik hanya terbatas pada pengertian tenaganya (power).

b. Melanggar salah satu ketentuan yaitu : 1) Syarat-syarat mendapatkan sambungan.

Setiap calon pelanggan yang hendak melakukan penyambungan baik penyambungan baru, penyambungan sementara atau penambahan daya harus mengikuti prosedur dan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh PLN, yaitu:

a) Calon pelanggan mengajukan permohonan untuk memperoleh sambungan listrik kepada PLN.

b) Permohonan tersebut diteliti oleh pihak PLN untuk mementukan perencanaan perhitungan biaya.

c) Jika calon pelanggan menyetujui besarnya biaya yang telah diperhitungkan oleh PLN, maka dibuatlah surat persetujuan.

d) Pemasangan instalasi listrik dilakukan oleh instalator yang ditunjuk oleh pelanggan.

e) Membuat surat perjanjian.

f) Membayar semua tagihan yang telah ditetapkan dalam surat perjanjian. g) PLN memasukkan daya listrik ke rumah pelanggan.

2) Tarif Dasar Listrik yang berlaku.

(29)

setiap bulannya, meliputi bea beban dan bea pemakaian yang besarnya tergantung dari besarnya daya yang digunakan dan golongan pemakaian. 3) Aturan-Aturan instalasi.

Aturan-aturan instalasi ini ditujukan kepada Biro Teknik Listrik yang melaksanakan intslasi si rumah pelanggan. Dalam pelaksanaan instalasi listrik tersebut, Biro Teknik Listrik harus memenuhi aturan-aturan instalasi, yaitu petunjuk pemasangan teknis pemasangan instalasi.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, perlu dilakukan studi komparatif sekaligus korelasional untuk mengetahui sejauhmana pengaruh model pembelajaran (PBM, Inkuiri,

[r]

PERBEDAAN KEBUTUHAN AIR MINUM DAN KELELAHAN KERJA PADA PEKERJA TERPAPAR IKLIM KERJA PANAS DI BAGIAN PENGECORAN.. LOGAM DAN FINISHING

PROGRAM/KEGIATAN : Koordinasi Kerjasama Pengembangan Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Seni Budaya Region Kalimantan. TANGGAL PELAKSANAAN :

Data-data yang digunakan untuk melakukan analisis probabilitas ini adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan para peternak ayam dan juga dari laporan produksi

Dengan melibatkan mikroba potensial sebagai dekomposer (cellulolityc dan lignocellulolytic) pada penelitian ini diharapkan akan dapat diproduksi gula monosakarida dan

57 EDDY AFRIANSYAH UNIVERSITAS INDONESIA KESMAS JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT NASIONAL 58 ELFINA ASTRELLA UNIVERSITAS INDONESIA. 59 FAJAR AYU

[r]