• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinan Penggunaan Kondom oleh Pekerja Seks Komersial di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Determinan Penggunaan Kondom oleh Pekerja Seks Komersial di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Penggunaan Kondom

2.1.1. Pengertian Kondom

Kondom dalam bahasa Indonesia adalah sarung kontrasepsi (sarkon). Kondom merupakan selubung/sarung karet tipis yang dipasang pada penis sebagai tempat penampungan air mani yang dikeluarkan pria pada saat senggama sehingga tidak tercurah pada vagina. Bentuknya ada 2 macam, yaitu polos dan berputing. Bentuk berputing ada kelebihannya yaitu bahwa puting pada ujung kondom tersebut dapat menampung sperma setelah ejakulasi (Suratun, 2008).

Menurut Pinem (2009), kondom merupakan sarung/selubung karet yang berbentuk silinder, dapat terbuat dari lateks (karet), plastik (vinil) atau bahan alami (produksi hewani) yang dipasang pada penis saat bersenggama. Muaranya berbentuk tebal dan kalau digulung berbentuk rata atau mempunyai bentuk seperti puting susu.

Cara kerja kondom yaitu mencegah pertemuan ovum dan sperma atau mencegah spermatozoa mencapai saluran genital wanita (Suratun, 2008).

2.1.2. Sejarah Kondom

(2)

Kondom diperkirakan telah memiliki sejarah yang panjang dalam perannya sebagai “alat pelindung”. Sekitar 1000 tahun sebelum Masehi, orang Mesir kuno telah menggunakan sarung pengaman untuk mencegah penyakit. Penemuan lukisan pada dinding batu pada gua di Combrelles, Perancis, menggambarkan manusia yang memakai kondom. Lukisan tersebut diperkirakan berusia lebih kurang seabad sebelum masehi. Tetapi para ahli masih sulit memastikan apa maksud lukisan itu; bagian upacara ritual atau hanya arus mode belaka.

Sekitar tahun 1500-an untuk pertama kali dipublikasikan deskripsi dan percobaan alat pencegah penyakit berupa kondom di Italia. Ketika itu Gabrielle Fallopius mengklaim menemukan kondom yang terbuat dari linen dan membuat uji coba pada 1100 pria. Dari percobaan tersebut, tak satupun dari mereka yang terinfeksi penyakit sifilis. Penemuan membuktikan bahwa kain linen itu bermanfaat mencegah infeksi. Tetapi di kemudian hari kondom dikenal sebagai pencegah kehamilan. Hal itu diawali dari percobaan terhadap kain linen yang dibasahi dengan cairan kimia tahun 1500-an. Ketika linen direndam dalam cairan kimia kemudian dikeringkan dan dikenakan oleh pria, maka kain itu dapat mematikan sperma.

(3)

berlangsung lama itu juga melibatkan wanita-wanita PSK. Akibatnya para prajurit pun tertular penyakit kelamin sehingga melemahkan gaya gempur pasukan. Guna menanggulangi dan meredam penyakit kelamin ini, maka para prajurit menggunakan pelindung.

Pada tahun 1861, untuk pertama kalinya kondom dipublikasikan di Amerika Serikat pada surat kabar The New York Times. Pemakaian secara luas kondom yang terbuat dari lateks ini baru terjadi pada tahun 1930-an. Pada tahun 1935 sebanyak 1,5 juta kondom diproduksi setiap hari di Amerika Serikat. Anehnya, meski telah tersedia kondom yang lebih nyaman, namun masih ada yang tidak mau memakainya. Bahkan hingga 100 tahun kemudian, antara tahun 1940-an sampai 1950-an masih dibuat kondom yang terbuat dari usus domba. Setelah dipakai, kondom yang terbuat dari usus domba yang telah diawetkan ini tidak langsung dibuang. Kondom tersebut dicuci kembali, dilumuri jelly, lalu disimpan ke dalam kotak kayu. Jika diperlukan kembali, kondom dapat langsung dipakai.

Pada awal tahun 1900-an, perjalanan karier kondom sebagai alat pelindung belum berjalan dengan mulus. Di Amerika Serikat, para aktivis dari The American Social Hygiene Association menentang keras pemakaiannya. Alasannya bahwa kalau

(4)

Amerika Serikat dan memerintah selama 12 tahun sampai ia meninggal pada tahun 1945. Dia adalah Franklin Delano Roosevelt.

Pada tahun 1990-an mulai diperkenalkan kondom dengan warna dan aroma yang berbeda-beda. Pada saat itu untuk pertama kalinya tersedia kondom polyurethane. Pada tahun 1992 di Eropa, diperkenalkan kondom untuk wanita yang lebih dikenal dengan femidom (BkkbN, 2007).

2.1.3. Jenis / Tipe Kondom

Sebagian besar kondom terbuat dari karet lateks halus dan berbentuk silinder bulat, umumnya panjang 15-20 cm, tebal 0,03-0,08 mm, garis tengah sekitar 3,0-3,5 cm), dengan satu ujung buntu yang polos atau berpentil dan dipangkal yang terbuka bertepi bulat. Namun untuk sekarang telah tersedia dalam ukuran yang lebih besar atau lebih kecil dari standar.

Sebagai usaha untuk meningkatkan akseptabilitas, telah diperkenalkan variasi kondom yang berpelumas, mengandung spermatiside, berwarna, memiliki rasa, dan beraroma. Tersedia kondom anti alergi, yang terbuat dari karet lateks dengan rendah residu dan tidak dipralubrikasi. Kondom yang lebih tebal dan melebihi standar, dipasangkan terutama untuk hubungan intim per anus pada pria homoseks untuk memberikan perlindungan tambahan terhadap penularan HIV/AIDS (Suratun, 2008).

2.1.4. Indikasi Penggunaan Kondom

(5)

1. Pada laki-laki

Penyakit genitalia, penis sensitif terhadap sekret vagina, dan ejakulasi dini. 2. Pada perempuan

a. Vaginitis, termasuk yang sedang dalam pengobatan.

b. Kontraindikasi terhadap penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) sedangkan pemasangan diafragma atau kap serviks tidak memungkinkan baik secara anatomis maupun psikologis.

c. Untuk membuktikan bahwa tidak ada semen yang dilepaskan ke dalam vagina.

d. Sebagai metoda kontrasepsi sementara:

1) Belum melakukan senggama secara teratur

2) Selama siklus pertama dari kontrasepsi oral dosis rendah 3) Selama periode awal post partum

4) Saat haid

5) Gagal memakai kontrasepsi oral dengan tepat

6) Selama mid siklus dari penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR).

7) Secara psikologis atau religius enggan menggunakan suatu alat kontrasepsi.

(6)

b. Herpes genitalia atau kondiloma akuminata

c. Urethritis disebabkan apapun, termasuk yang sedang dalam pengobatan. 1) Sistitis, disuria atau pyuria sampai penyebabnya ditegakkan.

2) Metoda sementara sebelum menggunakan kontrasepsi oral atau AKDR

2.1.5. Keuntungan dan Keterbatasan Kondom

Keuntungan penggunaan kondom adalah sebagai berikut : 1. Mencegah kehamilan, dapat diandalkan dan reversible. 2. Tidak mengganggu kesehatan klien.

3. Mencegah penularan IMS termasuk Hepatitis B Virus (HBV) dan HIV/AIDS dari satu pasangan kepada pasangan yang lain (khusus kondom yang terbuat dari lateks dan vinil).

4. Tidak memerlukan pemeriksaan medis, supervisi atau follow up.

5. Membantu mencegah terjadinya kanker serviks pada perempuan (mengurangi iritasi bahan karsinogenik eksogen pada serviks).

6. Pria secara aktif ikut dalam program KB, pasangan saling berinteraksi 7. Mencegah imuno infertilitas

8. Efektif bila dipakai dengan baik dan benar (Pinem, 2009).

(7)

Keterbatasan penggunaan kondom adalah :

1. Efektivitas tidak terlalu tinggi (angka kegagalan kondom 2-12 kehamilan per 100 perempuan per tahun).

2. Cara penggunaan memengaruhi keberhasilan kontrasepsi.

3. Agak mengganggu hubungan seksual (mengurangi sentuhan langsung)

4. Pada beberapa klien dapat menyebabkan kesulitan untuk mempertahankan ereksi. 5. Perlu menghentikan sementara aktivitas dan spontanitas hubungan seks untuk

memakai kondom.

6. Harus dipakai setiap kali bersenggama sehingga harus selalu tersedia. 7. Beberapa klien malu untuk membeli kondom di tempat umum.

8. Pembuangan kondom bekas mungkin menimbulkan masalah dalam hal limbah (Pinem, 2009).

2.1.6. Penggunaan Kondom Bagi Pekerja Seks

Menurut Pinem (2009), cara penggunaan kondom/instruksi bagi pekerja seks adalah sebagai berikut:

1. Gunakan kondom setiap kali akan melakukan hubungan seksual dengan pelanggannya

2. Jangan menggunakan gigi, benda tajam seperti pisau, silet, gunting atau benda tajam lainnya saat membuka kemasan

3. Agar efek kondom lebih baik, tambahkan spermisida ke dalam kondom

(8)

Lepaskan gulungan karetnya dengan jalan menggeser gulungan tersebut ke arah pangkal penis. Pemasangan ini harus dilakukan sebelum penetrasi penis ke vagina 5. Bila kondom tidak mempunyai penampungan sperma pada bagian ujungnya,

maka saat memakai longgarkan sedikit bagian ujungnya agar tidak terjadi robekan pada saat ejakulasi

6. Kondom dilepas sebelum penis melembek

7. Pegang bagian pangkal kondom sebelum mencabut penis sehingga kondom tidak terlepas pada saat penis dicabut dan lepaskan kondom di luar vagina agar tidak terjadi tumpahan cairan sperma di sekitar vagina

8. Gunakan kondom hanya untuk satu kali pakai 9. Buang kondom bekas pakai pada tempat yang aman

10.Sediakan kondom dalam jumlah cukup di rumah dan jangan disimpan di tempat yang panas karena hal itu dapat menyebabkan kondom menjadi rusak atau robek saat digunakan.

2.2. Pekerja Seks Komersial

2.2.1. Pengertian PSK

Pekerja Seks komersial (PSK) sering juga disebut dengan Wanita Tuna Susila

(WTS) adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan sesama atau lawan

jenis secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang syah dengan tujuan

mendapatkan imbalan uang, materi / jasa dengan kriteria usia di atas 15 tahun dan

(9)

Kartini Kartono (2005) mengemukakan definisi pelacuran adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.

Pelacuran atau pekerja seks komersial (PSK) dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah. Pelacuran menjadi hal yang problematis. Di satu sisi, dalam stigma ajaran agama, pelacuran merupakan kemungkaran dan dosa. Sementara di sisi lain, pelacuran adalah kenyataan yang sulit diberantas, bahkan kian mewabah dengan segala hal yang melatarinya. Perempuan PSK dalam menjalani pekerjaannya mempunyai alasan-alasan yang berbeda-beda akan tetap pada umumnya adalah mencari uang. Menjadi pelacur tidak hanya bermodal tubuh saja, tapi juga kepiawaian dalam menjalin relasi pelanggan serta sarat kompetisi. Pelacur adalah pekerja jasa, karenanya harus sadar betul bagaimana melayani tamu, kendati hatinya berontak. Bagaimanapun, pelacur juga seorang manusia biasa hanya saja mereka tidak sehat secara sosial akibat dari masalah sosial.

2.2.2. Faktor Penyebab Terjadinya Pelacuran

(10)

1. Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks. 2. Komersialisasi dari seks, baik di pihak wanita maupun germo dan oknum yang

memanfaatkan pelayanan seks.

3. Dedikasi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan.

4. Semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat wanita.

5. Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini

6. Ekonomi laissez-faire menyebabkan timbulnya sistem harga berdasarkan hukum “jual dan permintaan” yang diterapkan pula dalam relasi seks. Artinya dalam melakukan hubungan seksual dengan para laki- laki mereka memasang tarif. 7. Peperangan dan masa-masa kacau (dikacau oleh gerombolan pemberontak) di

dalam negeri meningkatkan jumlah pelacuran, dengan adanya peperangan mengakibatkan banyak wanita yang kehilangan suaminya karena menjadi korban peperangan hal ini mengakibatkan gerombolan pemberontak dengan leluasa melakukan tindakan seksual

8. Adanya proyek-proyek pembangunan dan pembukaan daerah-daerah pertambangan dengan konsentrasi kaum pria, yang memakan waktu lama atau berbulan-bulan maka untuk memenuhi kebutuhan biologis terutama seks maka pria itu mendatangkan WTS atau ke lokalisasi terdekat.

(11)

10.Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat, menimbulkan gaya pergaulan yang bebas karena pengaruh kebudayaan asing yang bersifat negatif

Pengertian tersebut menjelaskan tentang faktor-faktor penyebab seseorang menjadi wanita tuna susila dikarenakan faktor sosial, faktor psikologis, faktor ekonomis, faktor biologis, dan faktor lainnya yang mencakup kondisi psikososial yang luar biasa serta rendahnya tingkat pendidikan karena tidak memiliki keterampilan sehingga tidak bisa melakukan aktifitas selain menjadi wanita tuna susila. Sementara itu motif-motif seseorang menjadi wanita tuna susila secara lebih khusus dikemukakan oleh Kartini Kartono (2005), sebagai berikut:

1. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindari diri dari kesulitan ekonomi, dan mendapatkan kesenangan melalui “jalan pendek‟ artinya bahwa mereka tidak mau bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan. 2. Adanya nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, royal

seks, histeris dan hiperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami.

3. Keinginan yang tinggi pada diri wanita, kesenangan, ketamakan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah, namun malas kerja.

(12)

terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya dengan berbagai macam tindakan susila.

5. Oleh bujuk rayu kaum lelaki dan para calo, terutama yang menjanjikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi.

6. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk : film-film biru, gambar-gambar porno, bacaan-bacaan cabul, dan lain-lain.

7. Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum lelaki, dan tidak sempat membawa keluarganya. Misalnya pekerjaan mengemudi, tentara, pelaut, pedagang dan kaum polisi, yang membutuhkan pelepasan ketegangan otot-otot dengan bermain perempuan.

8. Adanya kebutuhan seks yang normal bagi seorang istri akan tetapi tidak terpuaskan oleh pihak suami impoten, suami yang lama menderita sakit, banyak istri-istri lain sehingga sang suami jarang mendatangi istri yang bersangkutan, suami lama bertugas di tempat jauh, dan lain-lain.

2.2.3. Tempat PSK Mencari dan Melayani Pelanggan

Menurut SUM (2011), tempat-tempat yang digunakan PSK dalam mencari pelanggan dan pelayanan seks kepada pelanggan:

1. Tempat hiburan, seperti karaoke, diskotik, dan panti pijat

(13)

atau di luar lokasi tempat hiburan tersebut serta menetapkan harga untuk transaksi seksual.

2. Rumah bordil / lokalisasi

Lokasi di daerah tertentu dari suatu kota dikenal sebagai tempat menjajakan seks. Manajer rumah bordil / lokalisasi menetapkan biaya dan menyediakan ruangan untuk hubungan seks. Harga yang ditetapkan termasuk harga menengah bagi klien. Seringkali PSK tinggal di rumah bordil (sehingga lebih mudah untuk menyediakan layanan kesehatan karena mereka berada di satu lokasi).

3. Jalanan

PSK yang bekerja di jalanan menjajakan seks bagi klien berpenghasilan rendah. PSK berbasis jalanan ini menetapkan sendiri bayaran untuk klien. Seks dapat terjadi di kamar hotel, dekat rel kereta api, taman, dan loronglorong.

4. Rumahan

Perempuan di beberapa desa, dengan sepengetahuan dan persetujuan orang tua atau pasangannya, memberikan layanan seks di rumah. Klien berasal dari berbagai daerah di dalam dan di luar desa.

2.2.4. Pekerja Seks Komersial dan Penyakit Infeksi Menular Seksual

(14)

infeksi menular seksual sangat berpotensi meningkatkan risiko penularan HIV melalui hubungan seksual, yang sekarang menjadi perhatian dan komitmen global dalam pencegahan dan penanganannya (Daili, 2009).

Pekerja Seks Komersil (PSK) merupakan kelompok risiko tinggi terkena IMS mengingat pada kelompok ini terbiasa melakukan aktivitas seksualnya dengan pasangan yang tidak tetap, dengan tingkat mobilitas yang sangat tinggi di kelompok tersebut. Walaupun infeksi menular seksual (IMS) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi organisme, namun ternyata dalam penyebarannya sangat dipengaruhi oleh pola perilaku dan gaya hidup seseorang (Yuwono, 2007).

Masalah utama yang ditemui dalam penggunaan kondom bagi PSK adalah bahwa PSK harus bersaing untuk mendapatkan klien sehingga menekankan penggunaan kondom tidak hanya buruk bagi bisnis atau kesulitan mencari pelanggan, tapi juga secara tidak langsung mengisyarakatkan bahwa pekerja seks tersebut mungkin HIV positif (SUM, 2011).

(15)

2.2.5. Sejarah HIV/AIDS di Dunia dan Indonesia

Penyakit infeksi HIV/AIDS memiliki sejarah yang panjang. Hal ini dimulai dari penemuan ilmuwan pada tahun 1926 (

1. 1926: Beberapa ilmuwan menganggap HIV menyebar dari monyet ke manusia sekitar tahun 1926-1946.

2. 1982: Para ilmuwan menemukan sindrom yang dikenal sebagai Gay Related Immune Deficiency (GRID), yakni penurunan kekebalan tubuh yang dihubungkan dengan kaum gay.

3. 1983: Dokter di Institut Pasteur Prancis memisahkan virus baru penyebab AIDS. Virus itu terkait dengan limfadenopati (Lymphadenopathy-Associated Virus-LAV).

4. 1984: Pemerintah AS mengumumkan, Dr Robert Gallo dari National Cancer Institute (NCI) memisahkan retrovirus penyebab AIDS dan diberi nama HTLV 111.

5. 1986: Suatu panitia internasional menyatakan bahwa virus LAV dan HTLV-III adalah sama sehingga nama virus itu diganti menjadi HIV.

(16)

7. 1987-Desember 2001: Dari 671 pengidap AIDS, 280 orang diantaranya meninggal dunia.

8. Februari 1999: Peneliti dari University of Alabama di Amerika Serikat (AS) meneliti jaringan yang dibekukan dari seekor simpanse dan menemukan jenis virus SIV yang hampir sama dengan HIV-1. Simpanse itu berasal dari subkelompok simpanse yang disebut pan troglodyte yang terdapat di Afrika Tengah Barat.

9. 2001: UNAIDS (United Nations Joint Program on HIV/AIDS) memperkirakan jumlah Orang Hidup Dengan HIV/AIDS (ODHA) 40 juta. Sampai sekarang, di subsahara Afrika paling banyak terdapat ODHA, yakni 70 persen dari ODHA yang ada di dunia. Sedikitnya 12 juta anak menjadi yatim piatu karena HIV/AIDS.

10.November 2001: Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyatakan obat untuk AIDS dan penyakit lainnya dalam kasus tertentu boleh tidak dipatenkan.

11.2002: 3,1 juta orang meninggal karena penyakit AIDS.

12.9 Januari 2003: Penderita HIV/AIDS di Bali bertambah 18 orang lagi. Total kumulatif penderita, dari 233 orang menjadi 251 orang. Sampai saat ini belum bisa dipastikan posisi Bali dalam hal urutan jumlah penderita HIV/AIDS dalam skala nasional.

(17)

yang diidentikkan dengan penyakit seksual ini. Kebanyakan yang terkena adalah para suster yang bertugas untuk menyuntikkan zat anti viral (anti virus) kepada para pasien penderita AIDS. Tetapi entah kenapa, secara tidak sengaja jarum suntik yang biasa digunakan untuk para penderita HIV/AIDS, berbalik menyuntik bagian tubuh mereka. Keadaan dikhawatirkan akan menyebabkan ketakutan di kalangan para petugas kesehatan, terutama bagi mereka yang ditugaskan untuk merawat ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).

14.20 Agustus 2003: Generasi muda Papua lama-kelamaan dirasa akan habis karena semakin meningkat jumlah penderita HIV/AIDS dan kurangnya penanganan masalah HIV/AIDS bagi warga Papua oleh petugas kesehatan.

(18)

16.Berdasarkan data yang masuk, terdapat 306 penderita HIV/AIDS yang tersebar di Indonesia hingga Desember 2002. Jumlah ini belum termasuk jumlah korban lain yang tidak terdeteksi.

17.Pada akhir 2008, dilaporkan 17.880 ODHA mulai menggunakan ART (antiretroviral terapi), dengan 10.616 (59%) masih memakainya.

2.3. Perilaku

2.3.1. Pengertian Perilaku

Skinner dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan perilaku manusia hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya. Dengan kata lain, perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif (tanpa tindakan: pengetahuan dan sikap) maupun aktif (tindakan yang nyata atau praktek).

Menurut Taufik (2007), perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi pada hakikatnya perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati secara langsung.

(19)

2.3.2 Faktor yang Memengaruhi Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2007), semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan mengacu kepada Bloom. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang sudah maju, Bloom menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap suatu status kesehatan. Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : faktor predisposisi (predisposing factor) faktor pemungkin (enabling factors), faktor penguat (reinforcing factors).

1. Faktor predisposisi (predisposing factor)

Faktor ini mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

2. Faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor ini mencakup lingkungan fisik/sosial, terpaan media, ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan masyarakat.

3. Faktor penguat (reinforcing factors)

(20)

Termasuk juga di sini Undang-Undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas lebih-lebih para petugas kesehatan.

2.3.3. Bentuk Perilaku

Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini berbentuk dua macam, yakni bentuk pasif dan bentuk aktif (Notoatmodjo, 2007).

1. Bentuk pasif

Adalah respon internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain. Misalnya : seorang ibu tahu bahwa imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut tidak membawa anaknya ke posyandu atau puskesmas untuk diimunisasi. Oleh sebab itu perilaku ibu masih terselubung (tertutup).

2. Bentuk aktif

(21)

2.3.4. Domain Perilaku

Notoatmodjo (2010b), berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu ke dalam tiga domain (ranah/kawasan) yaitu: pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), praktek atau tindakan yang dilakukan (practice).

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai dengan menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga), dan penglihatan (mata) (Taufik, 2007).

(22)

(insight) ketajaman, keahlian, know-how, rahasia perdagangan, kumpulan ketrampilan, pemahaman dan pembelajaran yang dimiliki organisasi, juga budaya organisasi yang telah melekat di masa lalu. Sebagai contoh penjelasan bagaimana cara mengendarai sebuah sepeda sulit didokumentasi secara eksplisit, dan karena itu tersembunyi.

Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) karena itu dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application). Analisis (analysis), sintesis (synthesis), evaluation (evaluation).

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2. Memahami (comprehension)

(23)

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

(24)

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.

Menurut Notoatmodjo (2010a), dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:

a. Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan

Cara kuno atau tradisional dipakai orang untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara sistematik dan logis. Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara lain meliputi:

1) Cara coba salah (trial and error)

Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan satu hingga beberapa kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil maka dicoba dengan kemungkinan yang lain, sampai masalah tersebut dapat terpecahkan.

2) Secara kebetulan

(25)

3) Cara kekuasaan atau otoritas

Dimana pengetahuan diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama, maupun ahli ilmu pengetahuan.

4) Berdasarkan pengalaman pribadi

Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.

5) Cara akal sehat (Common sense)

Akal sehat atau common sense kadang-kadang dapat menemukan teori atau kebenaran pengetahuan. Sebelum ilmu pendidikan berkembang, para orang tua zaman dahulu agar anaknya mau menuruti nasehat orang tuanya, atau agar anak disiplin menggunakan cara hukuman. Sampai sekarang berkembang menjadi teori atau kebenaran bahwa hukuman adalah merupakan metode bagi pendidikan anak (meskipun bukan yang paling baik).

6) Kebenaran melalui wahyu

Ajaran dan dogma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para Nabi.

7) Kebenaran secara intuitif

(26)

8) Melalui jalan pikiran

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir manusia juga ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain dalam memperoleh kebenaran pengetahuan, manusia telah menggunakan jalan pikirannya.

b. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut Metode Penelitian Ilmiah, atau lebih populer disebut metodologi penelitian.

2. Sikap (Attitude)

(27)

Menurut Thurstone yang dikutip Ahmadi (2007) menyatakan sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan obyek psikologi. Obyek psikologi di sini meliputi: simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Orang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu obyek psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap yang favorable, sebaliknya orang yang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap obyek psikologi bila ia tidak suka atau sikap unfavorable terhadap obyek psikologi.

Menurut Walgito (2008), sikap individu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Sikap itu tidak dibawa sejak lahir

Ini berarti bahwa manusia pada waktu dilahirkan belum membawa sikap tertentu terhadap suatu objek.

2. Sikap itu selalu berhubungan dengan objek sikap

Sikap selalu terbentuk atau dipelajari dalam hubungannya dengan objek-objek tertentu, yaitu melalui proses persepsi terhadap objek tersebut.

3. Sikap dapat tertuju pada satu objek saja, tetapi juga dapat tertuju kepada sekumpulan objek-objek

(28)

4. Sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar

Jika suatu sikap telah terbentuk dalam diri seseorang, maka akan sulit berubah dan memakan waktu yang lama. Tetapi sebaliknya jika sikap itu belum mendalam dalam dirinya, maka sikap tersebut tidak bertahan lama, dan sikap tersebut mudah diubah.

5. Sikap itu mengandung faktor perasaan dan motivasi.

Sikap terhadap sesuatu objek akan diikuti oleh perasaan tertentu baik positif maupun negatif terhadap objek tersebut. Sikap juga mengandung motivasi, yang mempunyai daya dorong bagi industri untuk berperilaku secara individu terhadap objek yang dihadapinya.

Menurut Ahmadi (2007), sikap dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: 1. Sikap positif yaitu sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima,

mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.

2. Sikap negatif yaitu sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.

(29)

Menurut Notoatmodjo (2007) sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu: 1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia adalah masalah pengungkapan (assessment) atau pengukuran (measurement) sikap. Ada beberapa metode pengungkapan sikap yang secara historik telah dilakukan orang, diantaranya adalah : (Ahmadi, 2007, dan Walgito, 2008).

1. Observasi perilaku

(30)

hanya didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku yang ditampakkan oleh seseorang.

2. Penanyaan langsung

Pengungkapan sikap dengan penanyaan langsung memiliki keterbatasan dan kelemahan yang mendasar. Dimana apabila situasi dan kondisi memungkinkannya untuk mengetahui hal yang sebenarnya tanpa rasa takut terhadap konsekuensi langsung maupun tidak langsung yang dapat terjadi. 3. Pengungkapan langsung

Suatu versi metode penanyaan langsung adalah pengungkapan langsung secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item ganda.

4. Skala sikap

(31)

5. Pengukuran terselubung

Metode pengukuran terselubung (cover measures) sebenarnya berorientasi kembali ke metode observasi perilaku yang telah dikemukakan di atas, akan tetapi sebagai objek pengamatan bukan lagi perilaku tampak yang disadari atau sengaja dilakukan oleh seseorang melainkan reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi lebih di luar kendali orang yang bersangkutan (Walgito, 2008).

3. Praktek atau Tindakan (Practice)

Menurut Notoatmodjo (2007) suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas.

Tingkat-tingkat praktek adalah persepsi (perception), respon terpimpin (guided respons), mekanisme (mechanism), adopsi (adoption).

1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

2. Respon terpimpin (guided respons)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh yang telah diketahuinya.

3. Mekanisme (mechanism)

(32)

4. Adopsi (adoption)

Adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.4. Determinan Penggunaan Kondom oleh PSK

(33)

Konsep Blum dalam Notoatmodjo (2010b), ada 4 faktor determinan yang dikaji, masing-masing faktor saling keterkaitan berikut penjelasannya :

1. Perilaku masyarakat

Perilaku masyarakat dalam menjaga kesehatan sangat memegang peranan penting untuk mewujudkan kesehatan secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan budaya hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan dari dalam diri masyarakat untuk menjaga kesehatannya. Sebagai tenaga motorik tersebut adalah orang yang memiliki kompetensi dalam menggerakkan masyarakat dan paham akan nilai kesehatan masyarakat. Masyarakat yang berperilaku hidup bersih dan sehat akan menghasilkan budaya menjaga lingkungan yang bersih dan sehat.

Beberapa kegiatan yang mungkin kita lakukan seperti: berolah raga, tidur, merokok, minum, dan lain-lain. Apabila kita mengembangkan kebiasaan yang bagus dari sejak awal, hal tersebut berpengaruh positif terhadap kesehatan tubuh. Sekali-kali atau dalam batas-batas tertentu untuk waktu yang lebih lama, kita bebas melakukan kebiasaan-kebiasaan harian. Namun, bagaimanapun juga sikap yang tidak berlebihan merupakan suatu keharusan agar benar-benar sehat. Tubuh kita memerlukan tidur, olah raga, dan rutinitas yang sehat dalam jumlah tertentu untuk mempertahankan kesejahteraannya.

2. Lingkungan

(34)

Terjadinya penumpukan sampah yang tidak dapat dikelola dengan baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat menjadi penyebab. Upaya menjaga lingkungan menjadi tanggung jawab semua pihak untuk itulah perlu kesadaran semua pihak. Disamping lingkungan fisik juga ada lingkungan sosial yang berperan. Sebagai makhluk sosial kita membutuhkan bantuan orang lain, sehingga interaksi individu satu dengan yang lainnya harus terjalin dengan baik. Kondisi lingkungan sosial yang buruk dapat menimbulkan masalah kejiwaan.

3. Pelayanan kesehatan

Kondisi pelayanan kesehatan juga menunjang derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan. Terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang kesehatan juga mesti ditingkatkan.

(35)

Banyak kejadian kematian yang seharusnya dapat dicegah seperti diare, demam berdarah, malaria, dan penyakit degeneratif yang berkembang saat ini seperti jantung koroner, stroke, diabetes melitus dan lainnya. Penyakit itu dapat dengan mudah dicegah asalkan masyarakat paham dan melakukan nasehat dalam menjaga kondisi lingkungan dan kesehatannya.

4. Genetik

Nasib suatu bangsa ditentukan oleh kualitas generasi mudanya. Oleh sebab itu kita harus terus meningkatkan kualitas generasi muda kita agar mereka mampu berkompetisi dan memiliki kreatifitas tinggi dalam membangun bangsanya. Dalam hal ini kita harus memperhatikan status gizi balita sebab pada masa inilah perkembangan otak anak yang menjadi asset kita di masa mendatang. Namun masih banyak saja anak Indonesia yang status gizinya kurang bahkan buruk. Padahal potensi alam Indonesia cukup mendukung. Oleh sebab itulah program penanggulangan kekurangan gizi dan peningkatan status gizi masyarakat masih tetap diperlukan. Utamanya program Posyandu yang biasanya dilaksanakan di tingkat RT/RW. Dengan berjalannya program ini maka akan terdeteksi secara dini status gizi masyarakat dan cepat dapat tertangani.

(36)

2.4.1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

Faktor-faktor pemudah atau sebaliknya faktor yang dapat menghambat perubahan perilaku secara umum mencakup: pengetahuan, persepsi, sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan keyakinan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan serta menyangkut sistem nilai budaya yang dianut masyarakat seperti tingkat pendidikan, sosial ekonomi dan sebagainya. Untuk perilaku kesehatan, misalnya: penggunaan kondom bagi pekerja seks diperlukan pengetahuan, persepsi, sikap dan keyakinan atau kesadaran PSK terhadap manfaat penggunaan kondom, baik bagi kesehatan PSK itu sendiri maupun bagi pelanggannya.

2.4.1.1. Pengetahuan

(37)

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2010) bahwa perilaku seseorang tentang kesehatan dalam hal ini tindakan terhadap penggunaan kondom salah satunya dipengaruhi oleh pengetahuan (faktor predisposisi). Didukung pula dengan penjelasan menurut Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan merupakan domain kognitif yang sangat penting terbentuknya tindakan seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku didasari oleh pengetahuan, maka apa yang dipelajari antara lain perilaku tersebut akan bersifat langgeng, sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan maka tidak akan berlangsung lama. Hal ini berarti jika semakin baik pengetahuan responden mengenai penyakit menular seksual, HIV/AIDS dan pencegahannya, maka memengaruhi tindakan untuk selalu menggunakan kondom saat berhubungan seks.

2.4.1.2. Persepsi

Menurut Setiadi dalam Syafrudin (2011), persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya aktivitas (pelayanan yang diterima) yang dapat dirasakan oleh suatu objek. Mengingat bahwa persepsi setiap orang terhadap suatu objek (pelayanan) akan berbeda-beda. Oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif yang merupakan suatu rasa puas atau tidak oleh adanya pelayanan yang diterimanya tersebut.

(38)

selanjutnya merupakan proses persepsi (Walgito, 2008). Persepsi terbagi atas dua bagian, yaitu secara sempit dan secara luas. Secara sempit berarti penglihatan atau bagaimana seseorang melihat sesuatu, sedangkan secara luas merupakan pandangan seseorang mengenai bagaimana ia mengartikan dan menilai sesuatu (Azhari, 2004).

2.4.1.3. Sikap

Menurut Sarwono (2004), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup, dan sikap biasanya didasarkan atas pengetahuannya.

Pengetahuan yang tinggi tentang manfaat kondom dapat merubah sikap dan tindakan PSK untuk menggunakan kondom. Sikap untuk menggunakan kondom akan lebih baik jika berawal dari niat, kesadaran sendiri dan adanya pengetahuan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Sesuai dengan pendapat Ajzen & Fishbein yang dikutip Smet (1994), bahwa sikap memengaruhi perilaku seseorang.

(39)

2.4.2. Faktor Pendukung (Enabling Factors)

2.4.2.1. Ketersediaan Fasilitas

Faktor-faktor pemungkin atau penunjang adalah faktor yang memungkinkan atau menunjang terjadinya suatu perilaku. Faktor-faktor ini mencakup: ketersediaan sarana dan fasilitas serta sistem pelayanan kesehatan misalnya: air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi dan juga ketersediaan kondom. Termasuk juga sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah sakit, Puskesmas, Polindes, Pusling dan Pusat Kesehatan yang mudah dijangkau. Untuk berperilaku penggunaan kondom bagi pekerja seks dibutuhkan juga fasilitas pendukung yang memadai dengan sistem pelayanan yang mudah diperoleh misalnya; pekerja seks yang mau menggunakan kondom tidak hanya karena ia tahu, bersikap baik dan sadar akan manfaat perilaku penggunaan kondom saja, melainkan pekerja seks tersebut juga harus dengan mudah dapat memperoleh sarana dan fasilitas seperti sarana transportasi dan fasilitas Anjungan Tunai Mandiri (ATM) kondom. Selain itu sistem pelayanan kesehatan yang mudah juga akan memungkinkan PSK untuk berperilaku penggunaan kondom baik di Puskesmas, Polindes, Bidan praktek, Rumah sakit maupun di Pusat Kesehatan Reproduksi. Sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan pada hakekatnya untuk menunjang atau memungkinkan terwujudnya perilaku penggunaan kondom, maka faktor-faktor ini disebut faktor penunjang atau pemungkin.

(40)

seseorang untuk berperilaku kesehatan lebih baik, misalnya tempat pembelian atau mendapatkan kondom dekat dan mudah baginya untuk mendapatkan kondom tersebut akan memudahkan seseorang untuk menggunakan kondom. Notoatmodjo (2010b) mengungkapkan, bahwa untuk berperilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya: penggunaan kondom. PSK yang mau menawarkan kondom tidak hanya karena dia tahu dan sadar manfaat kondom saja, melainkan PSK tersebut juga dengan mudah memperoleh kondom. Hal ini diduga karena pengetahuan PSK tentang manfaat kondom masih rendah, demikian juga dengan sikap mereka tentang penggunaan kondom yang masih rendah, sehingga PSK tidak merasakan adanya keuntungan menawarkan kondom kepada pelanggannya. Jadi walaupun PSK mudah untuk mendapatkan kondom tidak dapat meningkatkan kesadaran mereka untuk menawarkan kondom kepada pelanggannya.

Hubungan seksual pada kelompok beresiko seperti PSK tanpa menggunakan kondom merupakan perilaku yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV (Nurkholis, 2008). Ironisnya penelitian Farida Aprilianingrum (2002) di resosialisasi Argorejo Semarang menunjukkan tingkat penggunaan kondom pada PSK atau pasangannya hanya 32%. Perilaku ini berdasarkan laporan Surveilans Terpadu – Biologis Perilaku pada kelompok berisiko tinggi (STBP) sangat dipengaruhi oleh lemahnya peran mucikari/germo yang tidak menyediakan kondom di lokalisasi (Kemenkes RI, 2011).

(41)

membagikan secara gratis melalui puskesmas. Dengan dilakukannya sosialisasi mengenai penggunaan kondom dan dilakukannya pembagian kondom gratis oleh Dinas Kesehatan yang bekerjasama dengan beberapa LSM, diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang bahaya HIV/AIDS sekaligus menyadarkan para pekerja seks komersial agar menggunakan kondom setiap melakukan hubungan seks dengan pelanggan (Apriani, 2008).

2.4.2.2. Kenyamanan Pelanggan

Hasil penelitian Kenderwis (2008), melalui wawancara mendalam dengan pelanggan PSK di jalan lintas Sumatera (jalinsum), bahwa pelanggan tersebut merasa tidak nyaman dan merasa tidak nikmat jika harus menggunakan kondom, padahal pelanggan tersebut merasa telah mengeluarkan biaya untuk mendapatkan kenikmatan tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Mirhan (2007), bahwa 89% pelanggan seksual yang tidak mau menggunakan kondom karena mereka merasa tidak nyaman, atau risih jika harus menggunakan kondom.

2.4.3. Faktor Pendorong (Reinforcing Factors)

2.4.3.1. Dukungan Petugas Kesehatan

(42)

memutuskan berperilaku baru, diawali dengan menerima informasi dari petugas kesehatan. Ketika seseorang mulai berminat maka petugas kesehatan meningkatkan motivasinya agar seseorang bersedia menerima objek. Dari hasil persuasi petugas kesehatan dan pertimbangan pribadi orang maka dibuatlah keputusan menerima atau justru menolak ide baru tersebut dan tahap terakhir tanpa penguatan dimana orang meminta dukungan atas keputusan untuk berperilaku baru maka petugas kesehatan tetap melanjutkan penyuluhan guna memantapkan praktek perilaku tersebut.

2.5. Landasan Teori

Prostitusi sudah ada sejak jaman dahulu, bahkan manusia beranggapan pekerjaan sebagai pelacur merupakan pekerjaan yang tertua di dunia. Salah satu dampak dari pelacuran adalah terjadinya penularan penyakit terutama penyakit yang berkaitan dengan infeksi menular seksual seperti sifilis, raja singa, gonore, dan HIV/AIDS.

(43)

(enabling), dan faktor penguat (reinforcing). Ketiga faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai faktor internal yaitu faktor predisposisi, sedangkan faktor eksternal yaitu faktor pemungkin dan faktor penguat.

Faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, ketersediaan atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya; dan faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain dalam memberikan pendidikan kesehatan, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

(44)

memberikan penyuluhan dan informasi kepada PSK akan memengaruhi perilaku PSK dalam penggunaan kondom yang merupakan faktor pendorong (reinforcing). Ketiga faktor tersebut diduga kuat memengaruhi perilaku PSK dalam penggunaan kondom setiap melakukan hubungan seks dengan pelanggannya.

2.6. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Faktor Predisposisi (predisposing factors): 1. Pengetahuan 2. Persepsi 3. Sikap

Faktor Pendukung (enabling factors),

4. Ketersediaan fasilitas 5. Kenyamanan

pelang-gan.

Faktor Pendorong

(reinforcing factors) yaitu 6. Dorongan petugas

kesehatan

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjerumusnya wanita menjadi pekerja seks komersial di Bandar Baru.. Metode pengambilan sampel

Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR PREDISPOSISI, PENDUKUNG DAN PENGUAT TERHADAP TINDAKAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DALAM MENGGUNAKAN KONDOM UNTUK PENCEGAHAN HIV/AIDS DI

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan pengetahuan dengan sikap tentang HIV / AIDS pada pekerja seks komersial di wilayah kerja Puskesmas

terhadap self efficacy penggunaan kondom pada wanita

Faktor yang terbukti berhubungan dengan praktik penggunaan kondom adalah pengetahuan WPS tentang IMS dan HIV/AIDS, sikap WPS terhadap penggunaan kondom, akses informasi

Faktor yang terbukti berhubungan dengan praktik penggunaan kondom adalah pengetahuan WPS tentang IMS dan HIV/AIDS, sikap WPS terhadap penggunaan kondom, akses informasi tentang

Perubahan perilaku dikalangan waria pekerja seks masih sangat sulit karena masih rendahnya pemakaian kondom dikalangan waria.Tujuan penelitian adalah menganalisis

Pengetahuan tentang kondom sebagai upaya pencegahan HIV AIDS pada wanita pekerja komersial dipasar kembang yogyakarta.Definisi kondom merupakan selubung/ sarung karet yang