• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinan Penggunaan Kondom oleh Pekerja Seks Komersial di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Determinan Penggunaan Kondom oleh Pekerja Seks Komersial di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kondom diperkirakan telah memiliki sejarah yang panjang dalam perannya sebagai “alat pelindung”. Sekitar 1.000 tahun sebelum Masehi, orang Mesir kuno telah menggunakan sarung pengaman untuk mencegah penyakit. Tahun 1500-an untuk pertama kali dipublikasikan deskripsi dan percobaan alat pencegah penyakit berupa kondom di Italia. Ketika itu Gabrielle Fallopius mengklaim menemukan kondom yang terbuat dari linen dan membuat uji coba pada 1.100 pria. Dari percobaan tersebut, tak satupun dari mereka yang terinfeksi penyakit sifilis. Penemuan membuktikan bahwa kain linen itu bermanfaat mencegah infeksi (BkkbN. 2007).

(2)

dianggap tidak diperlukan lagi. Penggunaan kondom semakin menurun semenjak munculnya obat-obat antibiotik baru yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit kelamin klasik seperti sipilis atau gonorrhea. Selain itu, dengan ditemukannya alat-alat kontrasepsi baru yang lebih praktis dan nyaman, seperti Intra Uterine Device (IUD) dan pil, membuat orang lebih memilih mereka daripada kondom. Penggunaan kondom mulai dikenal baik pada tahun 1980-an saat Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) mulai merebak ke segala penjuru dunia. Meskipun bukan

satu-satunya cara, kondom masih terbilang cara yang paling praktis dan gampang untuk mencegah penularan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS, terutama bagi orang-orang yang bekerja di dunia pelacuran (Vita, 2007).

(3)

masyarakat sejak berabad lampau, ini terbukti dengan banyaknya catatan dari masa ke masa (Widodo, 2012).

Tidak dapat disangkal bahwa menjadi pekerja seks komersial (PSK) bukanlah sebuah cita-cita dan mungkin banyak orang menyebutnya sebagai penyimpangan “moral”. Berbicara masalah pelacuran sangat erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi dan masalah ketimpangan sosial kaum perempuan. Perilaku seksual yang selalu berganti pasangan membuat para pekerja seks mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena penularan penyakit infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV dan AIDS dibandingkan perempuan lain (Widyastuti, dkk, 2009).

Sejak kasus pertama Human Immuno Virus (HIV) positif pada manusia ditemukan pada tahun 1959 dan kemudian kasus pertama AIDS pada tahun 1981 di Amerika Serikat, HIV/AIDS menjadi permasalahan utama bagi kesehatan di seluruh dunia (Kenderwis, 2008). Data World Health Organization (WHO) dalam laporan kemajuan 2011 (Global HIV/AIDS Respons, Progress Report 2011) melaporkan bahwa pada akhir tahun 2010 diperkirakan 34 juta orang (31.600.000-35.200.000) hidup dengan HIV di seluruh dunia, termasuk 3,4 juta anak-anak berumur kurang dari 15 tahun. Ada 2,7 juta (2.400.000-2.900.000) baru terinfeksi HIV pada tahun 2010, termasuk 390.000 anak diantaranya berumur kurang dari 15 tahun.

(4)

karena AIDS meningkat 60% di Afrika Tengah dan Afrika Utara (dari 22.000 menjadi 35.000) dan lebih dari dua kali lipat terjadi di Asia Timur (dari 24.000 menjadi 56.000) (WHO, Progress Report 2011).

Data laporan dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (2011), angka kasus HIV/AIDS di Indonesia terus mengalami peningkatan, sampai Desember 2010 terdapat 24.131 kasus HIV dan 17.998 kasus AIDS, dengan jumlah kematian 1.994 ODHA (37,8%). Proporsi kasus AIDS pada jenis kelamin laki-laki mencapai 62,7% dan perempuan adalah 37,3%.

Hasil penelitian Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011 yang melakukan penelitian di 23 Kabupaten/Kota di 11 Provinsi di Indonesia mendapatkan hasil bahwa Prevalensi HIV tertinggi terdapat pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) yaitu 41%, diikuti waria yaitu 22%, Wanita Penjaja Seks Langsung (WPSL) yaitu 10%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) yaitu 8%, Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yaitu 3%, Wanita Penjaja Seks Tidak Langsung (WPSTL) yaitu 3%, dan pria potensial risiko tinggi yaitu 0,7% (Kemenkes RI, 2011).

(5)

sebesar 100% pada perempuan (target tahun 2011: 35%) dan 70% pada laki-laki (target tahun 2011: 20%) (Kemenkes RI, 2011).

Berdasarkan data dari profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2010 bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah penderita HIV/AIDS meningkat tajam. Jumlah kasus HIV (+) meningkat dari 883 kasus pada tahun 2009 menjadi 2.063 kasus, dan kasus AIDS meningkat dari 1.351 kasus menjadi 1.476 kasus. Berdasarkan karakteristik penderita diketahui bahwa penderita terbanyak adalah pria (77,8%), wanita (20,4%), dan waria (1,8%). Sumber penularan terbanyak melalui hubungan heteroseksual 44,5% dan pengguna jarum suntik 40,4%. Berdasarkan golongan umur yaitu 82,53% adalah kelompok usia 20-39 tahun. Penderita HIV/AIDS terbanyak adalah kota Medan yaitu 1.715 kasus (68,30%) dari total seluruh penderita (Dinkes Propsu, 2011).

(6)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Bandar Baru bahwa jumlah PSK sebanyak 84 orang yang tersebar di tempat-tempat khusus atau barak yaitu Barak Agen Gurusinga, Barak Sembiring, Barak Erik, Barak Novi, Barak Agung, Barak Bukit Indah, Barak Leni, Barak Maria, Barak Sempurna, Barak Hadi, Barak Lina, Barak Sagu, Barak Ayu Wulandari, Barak Ani, Barak Gres / Ines, Barak Mira, Barak Winto, Barak Oukup dan Barak Salon.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Puskesmas Bandar Baru pada tahun 2012 sebanyak 10 orang. Pada bulan Januari sebanyak 4 orang, bulan Februari sebanyak 2 orang, bulan Juli sebanyak 1 orang, bulan November sebanyak 2 orang, dan bulan Desember sebanyak 1 orang. Untuk pencegahan penyebaran penyakit HIV/AIDS pihak Puskesmas Bandar Baru membagikan kondom secara gratis kepada para PSK di barak-barak yang ada di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru. Jumlah kondom yang dibagikan kepada PSK setiap bulan sebanyak 1.500 kondom (Puskesmas Bandar Baru, 2012).

(7)

Berbagai alasan dikemukakan pemilik barak seperti dengan adanya promosi kondom menurunkan jumlah pelanggan ke barak mereka, sedangkan alasan PSK mengapa tidak konsisten dalam menggunakan kondom ketika berhubungan karena pasangan tidak mau menggunakan kondom dengan alasan tidak nyaman, pelanggan yang sudah terlanjur nafsu tidak mau menggunakan kondom, pelanggan adalah raja sehingga kemauan pelanggan harus dituruti termasuk untuk tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seks.

(8)

Pendistribusian kondom pada pekerja seks terbukti mampu menurunkan penularan penyakit IMS. Di Kongo, proyek 3 (tiga) tahun di Khanshasa pada PSK dengan memberikan kondom gratis dan konsultasi pada 531 yang terinfeksi HIV telah meningkat penggunaan kondom dari 11% hingga 52% setelah 6 bulan dan menjadi 68% setelah 36 bulan. Di Bali, Indonesia, program distribusi kondom kepada PSK dan manajernya telah meningkat pengetahuan mereka tentang AIDS dan penyakit lainnya yang meningkat penggunaan kondom dari 18% hingga 75% di satu daerah studi dan dari 29% hingga 62% di daerah studi lain (Population Reports, 2009).

Suatu kenyataan penting bahwa seks komersial tidak mungkin diberantas dengan tuntas di negara mana pun juga. Penutupan lokalisasi pelacuran bukanlah solusi untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS, melainkan malah sering kali berakibat sebaliknya. Begitu sebuah lokalisasi ditutup, para pekerja seks akan menyebar ke jalanan, dan mereka pun sulit terjangkau lagi oleh berbagai upaya pencegahan tersebut di atas. Kendala lain ialah pada umumnya para pekerja seks perempuan tidak mempunyai kekuatan tawar-menawar dengan pelanggannya agar pelanggan memakai kondom.

(9)

(0,007), sikap dengan nilai taraf signifikan (0,000), faktor enabling, yaitu tingkat kerumitan dengan nilai taraf signifikan (0,000), kenyamanan pelanggan dengan nilai taraf signifikan (0,002) dan faktor reinforcing, yaitu faktor peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan nilai taraf signifikan (0,000).

Hasil penelitian Pakpahan (2008), bahwa di Desa Firdaus terdapat pihak yang peduli terhadap PSK Warung Bebek. Pihak tersebut memiliki tugas untuk memantau dan memberi bimbingan dalam hal pencegahan HIV/AIDS. Pihak tersebut berasal dari pihak pemerintah dan non pemerintah. Pihak pemerintah terdiri dari KPA dan Dinas Sosial sedangkan dari pihak non pemerintah antara lain Yayasan Peduli AIDS (YPA). Hasil penelitian yang diperoleh adalah posisi tawar PSK Warung Bebek rendah, walaupun mereka mengetahui bahaya HIV/AIDS dan memiliki strategi dalam meningkatkan posisi tawar.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Priadi (2004) mengenai Perilaku Pemakaian Kondom Pada Pekerja Seks Komersial di Kabupaten Pontianak mendapatkan hasil bahwa sebagian besar pekerja seks komersial kurang baik dalam pengetahuannya tentang kondom sedangkan pengetahuan lain sudah baik, keyakinan dan sikapnya terhadap pemakaian kondom pada saat melakukan hubungan seksual sudah baik. Dukungan teman, majikan (mucikari) dalam menyediakan kondom masih kurang baik. Upaya yang dilakukan oleh pekerja seks komersial akan pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS sebagian besar sudah baik.

(10)

menurun setiap tahunnya. Selain alasan pelanggan tidak mau memakai kondom, kebanyakan wanita PSK malas menggunakan kondom perempuan karena alasan sulit memakainya. Dibutuhkan edukasi lebih mendalam, agar tumbuh kesadaran kritis dari orang yang berisiko tersebut untuk melindungi dirinya. Mengubah perilaku memang tidak mudah kalau seseorang tak punya kesadaran kritis akan kesehatan dirinya. Makanya, kalau mereka memakai kondom hanya karena disuruh mucikarinya pasti sifatnya sementara (Anna, 2012).

Penggunaan kondom oleh pekerja seks komersial merupakan bagian dari perilaku kesehatan. Green dalam Notoatmodjo (2007) mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Perilaku itu ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, persepsi, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan sosial, ketersediaan atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain

dalam memberikan pendidikan kesehatan, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Berdasarkan teori Green di atas, peneliti mencoba menganalisis determinan penggunaan kondom oleh pekerja seks komersial yaitu faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, persepsi. Faktor

(11)

dan kenyamanan pelanggan. Faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu dorongan petugas kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan.

Berdasarkan uraian di atas diduga bahwa ada pengaruh faktor predisposing, enabling, dan reinforcing dalam penggunaan kondom oleh pekerja seks komersial.

Dengan demikian peneliti ingin mengetahui lebih dalam tentang determinan penggunaan kondom oleh pekerja seks komersial di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu apakah faktor predisposisi (pengetahuan, persepsi, sikap), faktor pendukung (ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan, kenyamanan pelanggan), faktor pendorong (dukungan petugas kesehatan) memengaruhi penggunaan kondom oleh pekerja seks komersial di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru.

1.3. Tujuan Penelitian

(12)

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, persepsi, sikap), faktor pendukung (ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan, kenyamanan pelanggan), faktor pendorong (dukungan petugas kesehatan) terhadap penggunaan kondom oleh pekerja seks komersial di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru

1.5. Manfaat Penelitian

1. Menjadi masukan dan informasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang sebagai pertimbangan perumusan kebijakan program kesehatan reproduksi esensial dalam upaya pencegahan dan penanggulangan serta menurunkan angka prevalensi HIV/AIDS.

2. Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi bagian gudang obat Puskesmas Bandar Baru dalam pendistribusian kondom terhadap PSK yang terlibat langsung dalam pengendalian penyakit menular seksual,

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengolahan kuantitatif (bivariat dan multivariat) menunjukkan bahwa dari faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, dan persepsi), faktor pendukung

explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh faktor predisposisi (pendidikan, pengetahuan, persepsi, keyakinan), faktor pendukung (jarak tempat

Faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap), faktor pendukung (ketersediaan kondom) dan faktor penguat (dukungan mucikari dan petugas kesehatan) berhubungan dengan

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, kepercayaan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan) dan faktor pendukung (sarana

Jenis penelitian ini adalah explanatory research, untuk menjelaskan pengaruh faktor predisposisi (pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga), faktor pendukung (ketersediaan

Faktor yang terbukti berhubungan dengan praktik penggunaan kondom adalah pengetahuan WPS tentang IMS dan HIV/AIDS, sikap WPS terhadap penggunaan kondom, akses informasi

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap) dan pendukung (ketersediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan

explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh faktor predisposisi (pendidikan, pengetahuan, persepsi, keyakinan), faktor pendukung (jarak tempat