• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Sorogan untuk Meningkatkan Kemamp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Metode Sorogan untuk Meningkatkan Kemamp"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Metode Sorogan untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara

Indrya Mulyaningsih IAIN Syekh Nurjati Cirebon

[email protected]

Abstrak

Boarding school is one of the traditional educational institution in Indonesia, which until now still exist and play a role in nation building. IAIN Syekh Nurjati as one of the State Islamic University has a student boarding school background. Sorogan is one of the learning methods used in boarding school. However, there is no harm if formal education is to adopt learning methods.

Key words: sorogan, boarding schools, learning methods

1. Pendahuluan

Kemahiran berbahasa meliputi membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Kemahiran membaca terkait dengan ketepatan lafal, jeda, intonasi, irama, dan volume. Kemahiran menyimak terkait dengan pemahaman atas apa yang disimak. Kemahiran berbicara terkait dengan kemampuan menyampaikan gagasan secara lisan. Kemahiran menulis terkait dengan kemampuan menyampaikan gagasan secara tulis. Kemahiran berbahasa Indonesia bagi mahasiswa Indonesia tercermin dalam tatapikir, tataucap, tatatulis, dan tatalaku dalam konteks ilmiah dan akademis (Nasucha, 2009: 1).

Keberadaan mahasiswa menyebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mahasiswa tersebut diwadahi dalam berbagai perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Selain itu, kaum intelektual ini juga menyebar diberbagai institusi, salah satunya adalah di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) atau biasa disebut dengan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI).

(2)

laki-laki. Tentu saja banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut di antaranya: metode pembelajaran yang digunakan, mahasiswa, materi diskusi, dan dosen.

Mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon berasal dari latar belakang yang beragam, yakni Pesantren dan umum. Berdasarkan pengamatan selama mengajar di Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Adab Dakwah Usuludin (Addin), ternyata kemampuan berbicara mahasiswa kedua fakultas tersebut sangat berbeda. Mahasiswa Fakultas Addin yang berlatar belakang pendidikan Pondok Pesantren memiliki kemampuan berbicara yang lebih baik daripada mahasiswa Fakultas Tarbiyah yang berlatar belakang pendidikan umum. Hal inilah yang kemudian menjadi menarik untuk diteliti. Metode pembelajaran seperti apakah yang digunakan di pondok pesantren sehingga santrinya memiliki kemampuan berbicara yang lebih baik?

2. Bahasa Indonesia di Pondok Pesantren

Pondok pesantren, menurut Mulyadi (dalam Nizar, 2013: 85), merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satu ciri tradisional terletak pada bahasa yang digunakan. Artinya, bahasa pengantar yang digunakan dalam pembelajaran di pondok pesantren adalah bahasa ibu atau bahasa sehari-hari. Bangsa Indonesia terdiri atas banyak daerah. Tiap daerah memiliki bahasa ibu atau bahasa daerah yang berbeda.

Demikian juga pondok pesantren di sekitar IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Bahasa pengantar yang digunakan ada dua, yakni Sunda dan Cirebon. Meskipun bahasa Indonesia juga sering digunakan, tetapi keberadaannya sebagai bahasa kedua. Penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua tentu saja tidak sama dengan penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses belajar, dengan cara sengaja dan sadar. Proses belajar bahasa terjadi menurut pola tahapan perkembangan tertentu sesuai umur. Tahapan tersebut meliputi: asimilasi, akomodasi, disquilibrasi, dan equilibrasi.

(3)

proses penyesuaian struktur kognitif dengan pengetahuan baru. Disquilibrasi

merupakan proses penerimaan pengetahuan baru yang tidak sama dengan pengetahuan awal yang telah diketahui. Equilibrasi merupakan proses penyeimbang mental setelah terjadi proses asimilasi.

Menurut Ausubel dalam Elizabeth (1993: 59), proses belajar bahasa terjadi bila anak mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan baru. Proses itu melalui tahapan memperhatikan stimulus yang diberikan, memahami makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.

Uraian di atas mengisyaratkan bahwa bahasa Indonesia di pondok pesantren merupakan bahasa baru. Konsekuensinya, santri di pondok belum menguasai kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia.

3. Metode Sorogan di Pondok Pesantren

Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di pesantren didasarkan atas ajaran Islam dengan tujuan ibadah. Waktu belajar tidak dibatasi. Santri didik menjadi mukmin sejati, memiliki integritas pribadi yang kukuh, mandiri, dan intelek. Prinsip-prinsip pendidikan yang diterapkan di pesantren antara lain: a) kebijaksanaan, b) bebas terpimpin, c) mandiri, d) kebersamaan, e) hubungan guru, f) ilmu pengetahuan yang dipengaruhi kesucian hati dan berkah kiai, g) kemampuan mengatur diri sendiri, h) sederhana, i) metode pengajaran yang luas, dan j) ibadah.

Lima elemen yang membedakan pesantren dengan yang lain, yakni pondok, masjid, santri, kiai, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Pondok merupakan tempat tinggal para santri. Dalam pondok ini terdapat masjid. Baik pondok maupun masjid biasanya dibangun oleh santri sendiri dengan cara bergotong royong. Santri merupakan orang yang belajar atau tinggal di pondok tersebut. Kiai merupakan seseorang yang dipercaya untuk mengasuh atau mengajar di pondok pesantren tersebut.

(4)

sebagainya. Adapun metode yang digunakan pada umumnya wetonan dan

sorogan. Jenjang pendidikan atau tingkatan pendidikan yang dipakai dalam pesantren tidak dibatasi. Kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat atau bergantinya kitab yang dipelajari.

Menurut Taqiyuddin (2013: 131), sorogan dilakukan santri dengan menghadap guru. Santri, satu demi satu membawa kitab yang akan dipelajari. Metode ini merupakan metode individual yang sangat intensif. Buku yang dipelajari berupa kitab kuning. Kiai mengajari santri struktur kalimat dalam bahasa Arab. Kiai mengajarkan tiap kalimat dengan teliti.

4. Keterampilan Berbicara

Berbicara sesungguhnya merupakan kemampuan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan (Widdowson, 1978: 3). Berbicara bersifat produktif, yakni keterampilan yang menghasilkan tuturan-tuturan verbal sistematis untuk menyampaikan makna (Cunningsworth, 1995: 69; Bailey, 2005: 2). Berbicara dapat pula dimaknai sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan secara lisan (Brown dan Yule, 1983: 2).

Nurgiantoro (2010: 399) menyatakan bahwa berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan berbahasa, setelah menyimak. Berbicara merupakan kemampuan mengucapkan kata-kata (bunyi artikulasi) yang diekspresikan untuk menyampaikan gagasan. Kegiatan berbicara diperlukan lambang bunyi untuk keperluan menyampaikan dan menerima gagasan.

(5)

contexts.” Menurut Nunan (2011: 48) “Speaking is a productive aural/oral skill and it consists of producing systematic verbal utterances to convey meaning.”

Santosa (2003: 28-29) mengatakan bahwa berbicara berdasarkan jumlah pendengar dapat digolongkan menjadi tiga, yakni a) berbicara antarpribadi, terjadi membicarakan yang serius atau santai tergantung masalah yang dibincangkan; b) berbicara dalam kelompok kecil, pendengarnya 3-5 orang merupakan sarana untuk melatih mengungkapkan pendapat secara lisan; dan c) berbicara dalam kelompok besar, terjadi di ruang kelas, pendengar berkesempatan untuk bertanya atau berkomentar tentang isi pembicaraan yang disampaikan pembicara.

Lazaraton (2001: 104) menyatakan bahwa keterampilan berbahasa sangat berpengaruh dalam keterampilan berbicara, seperti: a) grammatical competence, b) sociolinguistic competence, c) discourse competence, dan d)

strategic competence. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dikatakan terampil berbicara jika setidaknya memiliki empat kompetensi, yakni gramatikal, sosiolinguistik, analisis wacana, dan strategi. Oleh karena itu, faktor penguasaan terhadap bahasa tidak dapat diabaikan begitu saja.

Djiwandono (2011: 118) menyatakan bahwa sasaran tes berbicara meliputi: a) relevansi dan kejelasan isi pesan, masalah, atau topik, b) kejelasan dan kerapian pengorganisasian isi, dan c) penggunaan bahasa yang baik dan benar serta sesuai dengan isi, tujuan, dan pendengar. Elemen penting dalam berbicara adalah kemampuan bahasa, kemampuan mengolah bahasa itu sendiri dan penampilan. Penampilan itu meliputi 1) kefasihan (fluency), 2) ketepatan (accuracy), dan 3) strategi komunikasi (oral communicative strategies). Adapun ketepatan yang dimaksud meliputi: tata bahasa (grammar), kosakata (vocabulary), dan pelafalan (pronunciation). Sedangkan strategi komunikasi yang dimaksud meliputi: strategi pencapaian (achievement strategies) misalnya dengan menebak-nebak (guessing strategies) atau dengan parafrasa

(6)

42) menyatakan bahwa penilaian keterampilan berbicara meliputi unsur-unsur kebahasaaan, pelafalan, kosakata, tata bahasa, dan kefasihan.

5. Penutup

Dalam metode pembelajaran Barat, metode sorogan dapat disamakan dengan tutorship atau mentorship. Mengadopsi metode pembelajaran di pondok pesantren ini, kemampuan berbicara mahasiswa diharapkan dapat meningkat. Dosen benar-benar menyimak dan menemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan mahasiswa. Mahasiswa juga mendapat masukan dan saran dari dosen terkait dengan kesalahan yang telah dilakukan.

(7)

Daftar Pustaka

Bailey, Kathleen M. 2005. Practical English Language Teaching Speaking. New York: Mc Graw-Hill.

Brown, G & G. Yule. 1983. Teaching the Spoken Language. London: Cambridge University Press.

Cunningsworth, Alan. 1995. Choosing Your Course-Book. Great Britain: The Bath Press.

Djiwandono, Soenardijara. 2011. Tes Bahasa Pegangan Bagi Pengajar Bahasa Edisi 2. Indeks: Jakarta.

Hedge, T. 2000. Teaching and Learning in the Language Classroom. Oxford: Oxford University Press.

Kayi, H. 2006. “Teaching Speaking: Activities to Promote Speaking in a Second

Language”. The Internet TESL Journal, 11.

http://iteslj.org/Techniques/Kayi-TeachingSpeaking.html.

Lazaraton, A. 2001. “Teaching Oral Skills”. In M. Celce-Murcia (Ed.), Teaching English as a second foreign language. Boston: Heinle and Heinle.

Nasucha, Yakub, dkk. 2009. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta: Media Perkasa.

Nizar, Samsul. 2013. Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara. Jakarta: Kencana.

Nunan, D. 2003. Practical English Language Teaching. Boston: McGraw Hill.

Nurgiantoro, Burhan. 2010. Penilaian Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: BPPE.

Santosa, Puji, dkk. 2003. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Taqiyuddin. 2013. Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah Nasional. Cirebon: Aksara Satu Publishing.

Referensi

Dokumen terkait

Jika melihat dari ciri-ciri pasar yang ada di Sentra Industri Keripik Tempe Sanan dimana tidak ada kesulitan berarti dalam memasuki pasar, banyaknya penjual dan

y PRAKTIK MEDIK TANPA SOP MEDIK y KAMI MENJUAL JASA ALAT MEDIS y TENAGA KAMI TIDAK KOMPETEN..

DAFTAR PELAMAR DENGAN HASIL MEMENUHI NILAI AMBANG BATAS SKD CPNS KEMENKES RI TAHUN 2017 PROVINSI PEMINATAN : BALI. SATUAN KERJA PEMINATAN : RSUP SANGLAH DENPASAR ALOKASI FORM ASI:

Modifikasi aspal polimer telah dikembangkan selama beberapa dekade terakhir, umumnya dengan sedikit penambahan bahan polimer (biasanya sekitar 2-6%) sudah dapat

Hasil penelitian sebelumnya yaitu upaya guru dalam meningkatkan minat belajar peserta didik mata pelajaran PAI di SMA Antartika Surabaya adalah melaksanakan pembelajaran

Dari berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat adalah ketidak mampuan membaca huruf Arab tanpa mengunakan harakat yang biasa kita sebut kitab kuning atau

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode Shift Share Klasik dan Esteban Marquilas menemukan bahwa Sektor unggulan di wilayah Kabupaten Grobogan yaitu

Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan