• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN VIKTIMOLOGI TERKAIT PENEGAKAN HUK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN VIKTIMOLOGI TERKAIT PENEGAKAN HUK"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN VIKTIMOLOGI TERKAIT PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN TERHADAP KORBAN PENCEMARAN UDARA AKIBAT

ASAP PEMBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Wafia Silvi Dhesinta R

Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Email: silviwafia@rocketmail.com

Pendahuluan

Indonesia sebagai negara berkembang dalam melaksanakan

pembangunan guna mencapai tujuan negara sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke-empat tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan lingkungan, baik itu pencemaran limbah air, sampah, pengalihan fungsi hutan dan juga pencemaran udara. Pembangunan telah membawa kemajuan besar dengan tujuannya yaitu meningkatkan kualitas fisik dan non fisik manusia serta meningkatkan kualitas lingkungan alam. Akan tetapi, pembangunan juga menghasilkan produk sampingan seperti limbah sampah dan buangan baik berwujud padat, cair maupun gas yang lambat laun akan merusak

kelestaraian alam karena menuruannya fungsi lingkungan hidup.

(2)

vertikal maupun horisontal, semakin kompleksanya sikap materialisme yang semakin berkembang dan kemajuan teknologi.1

Masalah perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang mendapat perhatian dunia internasional. Dalam kongres PBB VII Tahun 1985 di kota Milan dikemukakan bahwa hak-hak korban seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (victim right should justice system). Demikian besar perhatian dunia internasional terhadap masalah korban, sehingga Kongres ke-7 PBB tersebut mengajukan rancangan resolusi tentang perindungan korban ke Majelis Umum PBB. Rancangan resolusi ini kemudian menjadi resolusi MU PBB No.40/34 tertanggal 29 November 1985 tentang Decalrationa of Basic of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power

Kebijakan perlindungan korban pada hakikatnya merupakan bagian yang integral dari kebijakan perlindungan masyarakat secara keseluruhan yaitu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial.2 Oleh karena itu,

menurut Sahetapy, keterlibatan negara dan mayarakat umum dalam menanggulangi beban penderitaan korban bukan karena hanya negaralah yang memiliki fasilitas-fasilitas pelayanan umum, tetapi juga disertai dengan dasar pemikiran bahwa negara berkewajiban untuk memelihara keselamaan dan meningkatkan kesejahteraan warganya. Terjadinya korban kejahatan dapat dianggap gagalnya negara dalam memberikan perlindungan yang baik kepada warganya. Jika diakitkan dengan masalah penemaran asap akibat kebakaran hutan, diperlukn upaya penegakan hukum lingkungan yang terpadu dari semua pihak baik aparat penegak hukum maupun masyarakat. 3

1 Muladi, 1993, Kejahatan Orang-Orang Terhormat dan Permasalahannya Ditinjau dari Sudut Penegakan Hukum Pidana, Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang 12-13 Januari 1993 dalam Henry Liyus, Penegakan Hukum Lingkungan dalam rangka Perlindungan Terhadap Korban Pencemaran Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Jambi, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, Tesis tidak diterbitkan

2 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 37

(3)

Instrumen hukum utama yang dimiliki oleh Indonesia dalam menangani permasalahan terkait dengan lingkungan hidup adalah Undng-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang mana undang-undang ini merupakan perbaikan dari undang-undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 yang ternyata tidak mampu mengakomodir permasalahan lingkungan hidup yang ada di Indonesia. Terdapat beberapa kemajuan dengan dicantumkannya beberapa ketentuan baru dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 seperti misalnya hak masyarakat untuk melaporkan permasalahan lingungan hidup,

diterapkannya prinsip tanggungjawab seketika (strict liability) terhadap pelaku pencemaran, penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Hukum lingkungan memang berbeda dengan jenis hukum lainnya karena kajian hukum ini berada pada tiga lingkup hukum yakni administrasi, perdata dan pidana. Luasnya pilihan ini di satu pihak menimbulkan keleluasaan tetapi juga mengakibatkan kesulitan bagi penegakan hukum maupun para pencari keadilan (justiabellen). Kesulitan yang dapat terjadi adalah pada setiap kasus harus diadakan pilihan aspek mana dari aspek administratif baik secara pidana, perdata maupun administrasi yang merupakan sarana paling efektif untuk menegakkan hukum lingkungan.4

Di Indonesia, masalah korban kejahatan kurang mendapat perhatian baik dalam perundang-undangan pidana materiil maupun formil. Dalam KUHP hanya terdapat satu pasal yang menentukan adanya ganti rugi kepada korban kejahatan dengan persyaratan khusus yaitu pada Pasal 14C ayat (1) KUHP tentang pidana bersyarat, sedangkan dalam KUHAP, meskipun terdapat banyak pasal yang mengatur tentang ganti kerugian, tetapi lebih banyak ganti kerugian diberikan kepada pihak-pihak yang mengalami kerugian karena adanya kesalahan proses peradilan pidana baik karena kekeliruan dalam penangkapan dan penahanan atau tindakan-tindakan hukum lainnya.

Kedua pengaturan perundang-undangan di atas jelas kurang efektif dalam memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan. Pemberian

(4)

ganti rugi dengan syarat-syarat khusus yang terdapat dalam pidana bersyarat hanya dapat diberikan apabila terdakwa dikenakan dalam pidana bersyarat sehingga di luar pidana tersebut tidak memungkinakan adanya pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan. Senada dengan pengaturan dalam KUHAP yang hanya memberikan hak kepada korban kejahatan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian melalui penggabungan perkara. Mekanisme seperti demikian kurang memberikan perlindungan kepada korban kejahatan karena korban harus berupaya sendiri untuk mendapatkan hak-haknya sebagai korban kejahatan. Berarti bahwa, tanpa adanya

pengajuan gugatan, maka sudah tentu korban tidak akan memperoleh ganti rugi atas penderitaan yang dialaminya.

Kasus yang kemudian tidak pernah absen dari masalah lingkungan hidup di Indonesia adalah mengenai kebakaran hutan yang kerap terjadi di Pulau Sumatra (khususnya Riau dan Jambi) dan juga Kalimantan.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah Riau disebabkan oleh unsur kesengajaan karena lebih dari 90% hutan dan lahan senagaj dibakar. Pembakaran hutan dan lahan merupakan cara yang murah dan ,udah untuk mempersiapkan lahan yang siap ditanami kembali.5 Kebakaran hutan dan

lahan tahun 2014 merupakan bencana asap yang sangat parah. Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu indikator kualitas udara yang diukur melalui Indeks Standart Pencemaran Udara (ISPU) selama Maret 2014.6

Wilayah-wilayah yang terpantau alat pengukur kualitas udaranya, seperti Siak, Kandis dan Perawang di Riau berada pada kondisi berbahaya. Tidak hanya berdampak pada kualitas kesehatan tetapi juga sektor perekonomian dan akitivitas keseharian masyarakat yang terganggu.7 Dikutip dari webiste

Kementerian Kesehatan, pada Februari 2014 akibat pembakaran hutan menyebabkan asap kabut yang menyebabkan banyak masyarakat terkena penyakit terkait dengan kabut asap. Korban meninggal dunia di Provinsi Riau sebanyak 2 orang di Kota Dumai karena menderita asma. Jumlah pasien rawat jalan mencapai 59.423 orang dengan lima penyakit terbaanyak

5 Majalah Gema BNPB, Ketangguhan Bangsa Dalam Menghadapi Bencana, Edisi Mei 2014 Volume 5 Nomor 1 hlm. 3

6 Data diolah oleh BNP dalam Ibid, hlm. 8

(5)

adalah ISPA sebanyak 51.918 kasus, Pnemonia 945 kasus, Asma 1.1984 kasus, Mata 1.928 kasus dan kulit 2.648 kasus. 8

Mengingat dampak yang diakibatkan oleh kabut asap akibat pembakaran hutan yang mengancam kesehatan dan stabilitas ekonomi masyarakat serta citra bangsa dan pemerintah Indonesia di mata

internasional, maka dalam hal ini pemerintah seharusnya mampu untuk mengambil tindakan tegas atas pelanggaran yang dibuat oleh pengusaha, bukan hanya berupa sanksi administratif seperti pencabtan izin usaha, tetapi juga para pengusaha (korporasi) harus diselesaikan ke pengadilan karena kegiatan korporasi yang melakukan pebakaran hutan tersebut tergolong dalam kejahatan lingkungan.Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka menarik bagi penulis untuk mengangkat judul “Penegakan Hukum Pidana dalam Kejahatan Lingkungan Terhadap Korban Pencemaran Udara Akibat Asap Pembakaran Hutan”.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana penegakan hukumpidana dalam kejahatan lingkungan terhadap pencemaran asap akibat pembakaran hutan dilihat dari perspektif korban?

Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis penegakan hukum pidana dalam kasus kejahatan lingkungan uutamanya dalam kasus pembakaran hutan dilihat dari perspektif korban (kajian viktimologi)

Hasil dan Pembahasan Definisi Pencemaran Udara

(6)

Pencemaran udara adalah keadaan dimana ke dalam udara atmosfir oleh suatu sumber baik melalui aktivitas manusia maupun alamiah dibebaskan satu atau beberapa bahan atau zat-zat dalam kuantitas maupun batas waktu tertentu yang secara karakteristik dapat atau memiliki kecenderungan dapat menimbulkan ketimpangan susunan udara atmosfir secata ekologis sehingga mampu menimbulkan gangguan-gangguan bagi kehidupan satu atau

kelompok organisme maupun benda-benda.9

Pencemar udara menurut wujud fisik dapat dibedakan menjadi dua sub kelompok utama yaitu gas/uap dan partikel. Pembakaran hutan yang kerap terjadi di Indonesia adalah tergolong pada sub bab kelompok partikel karena berhubungan dengan sifat dan pengaruh yang nanti ditimbulkan. Partikel adalah benda-benda padat/cair yang ukuran demikian kecilnya untuk memungkinkan melayang di udara.10 Bentuk-bentuk khusus dari partikel

dalam hubungannya dengan pencemaran udar salahs atunya adalah aerosol. Aerosol ini dapat berupa mist (kabut), fog (kabut yang tebal), dan smoke.11

Masing-masing dpat dibedakan sebagai berikut:

1. Mist (kabut) adalah partikel cair yang berada dalam suspensi udara yang terjadi karena kondensasi uap atau otomatisasi cairan ke tingkat dispersi. Besarnya partikel ini masih cukup besar sehingga tidak dapat dilihat dengan mata biasa

2. Fog (kabut yang padat/tebal) adalah hampir sama dengan mit tetapi masih bisa dilihat dengan mata meskpiun tanpa alat bantu penglihatan

3. Smoke (asap) adalah partikel karbon yang padat yang terjadi dari pembakaran yang tidak lengkap pada sumber-sumber pembajaran yang menggunakan bahan bakar hidro-karbon dengan ukuran partikel kurang dari 5 mikron.12

Partikel-partikel tersebut di atas jika dibiarkan atau melampaui batas ambang normal /ambang batas normal (ABN) dalam kadar suatu oksigen dalam udara akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan masyarakat. Meskipun sebenarnya, jenis pollutan memiliki efek yang berbeda terhadap

9 Slamet Riyadi, Pencemaran Udara, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 12-13

10 Ibid, hlm. 50

11 Ibid

(7)

rangsangan kesehatan terhadap tubuh manusia karena masing-masing memiliki pengaruh fisiologis yang khas bagi kesehatan. Namun umumnya, kelompok pencemar-pencemar yang iritan adalah korosif, maksudnya adalah rangsangan berupa suatu proses keradangan terhadap permukaan mucosa system alat-alat pernapasan.13 Jenis-jenis pencemar (pollutan)

seperti asam kromik, hydrogen chloride, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, sulfur chlorhine dan ozon, apabila dalam keadaan “over-toxic” dapat memberikan gangguan kesehatan pernapasan seperti bronchitis kronis, influensa, sakit tenggorokan, asthma, bahkan kematian.14

Kasus yang terjadi di Indonesia khususnya di kepulauan Meranti, Riau menimpa Rahmi Caroline sebagai salah satu dari banyaknya korban akibat asap pembakaran hutan dan lahan. Rahmi menyebutkan bahwa udara di daerah tempat tinggalnya memasuki level berbahaya untuk dihirup. Sekolah, kampus, perkantoran dan lainnya diliburkan. Pesawat, kapal, mobil, motor dan kendaraan lainnya tak bisa dioperasikan. Pekanbaru dan hampir seluruh Riau lumpuh total. Dinas Kesehatan perintahkan tidak ada yang keluar rumah. Seluruh masyarakat harus menggunakan masker jika hendak keluar rumah sedangkan Rahmi harus menggunakan masker di dalam maupun di luar rumah, bahkan saat ia tertidur. Parahnya lagi, Rahmi sudah terbiasa hidup dari sejak kecil dengan menghirup asap. Selama kurang lebih ia menghirup udara yang bercampur dengan polutan yang berakibat padaa kesehatan saluran pernapasannya. Rahmi didga mengidap TBC dan sering mengalami sesak napas ketika musim asap datang, bahkan jika sampai sulit bernapas, dirinya perlu untuk dipsang selang oksigen.15

Rahmi hanyalah satu dari sekian penderita dan korban yang lahir akibat kejahatan korporasi dalam bbidang lingkungan yang terjadi di Indonesia. Dalam hal ini, peran negara sebagai pelindung dan pengayom hak-hak masyarakat khususnya dalam mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dengan konstitusi yang dalam hal ini adalah hak masyarakat untuk

13 Ibid, hlm. 55

14 Ibid

15 Rahmi Carolina, Kamipun Berhak Menghirup Udara Sehat, ditulis pada 29 November 2014, dimuat dalam

(8)

menghirup udara sehat yang bebas dari polusi dan asap perlu mendapatkan perhatian yang lebih lagi di mata pemerintah.

Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Pembakaran Hutan terhadap Korban Asap Pembakaran Hutan

Terdapat dua ken dala struktural yang paling utama yangmengakibatkan tidak berfungsinya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, yaitu: 16

1.) Masih dominanya pemikiran di kalangan penentu kebijaksanaan yang emmpertentangkan antara pembangunan dan lingkungan 2.) Belum sepenuhnya tercipta good governance yang memustahilkan

penegakan hukum lingkungan yang efektif

Harmonisasi pembangunan dan lingkungan dalam format paradigma pembangunan berkelanjutan yang tercermin dalam dokumen-dokumen internasional, kenegaraan, dan pemerintah seperti deklarasi Rio, GBHN, Agenda 21 Nasional, belum dipahami benar oleh mayoritas pengambil keputusan baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.17

Pemikiran yang bertentangan dengan pembangunan dan lingkungan sngat berpengaruh terhadap pola tindak pemerintah yang berfungsi mengatur serta mengawasi seluruh kegiatas pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan hidup.

Secara konsptual, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan antara nilai-nilai yang terjabar di dalam kaedah-kaedah untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan pergaulan hidup.18 Sedangkan menurut Barda Nawawi Arief, bahwa penegakan hukum

adalah keseluruhan kegiatan daripada pelaksanaa penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai dengan UUD

16 Sukanda Husein, Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 11

17 Ibid, hlm 12

(9)

1945.19 Dilihat dari fase penegakan hukum, ada beberapa faktor yang

mempengaruhinya, yakni: 20

1. Faktor hukumnya sendiri, yakni pihak-pihak yang akan dibatasi pada undang-undangnya saja;

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan;

5. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergulan hidup

Lebih jauh lagi, menurut I.S Susanto, bahwa paling tidak ada empat dimensi yang dapat mempengaruhi kualitas penegakan hukum yaitu disamping undang-undangnya, maka penegakan hukum secara konkrit melibatkan pelanggar hukum, korban (masyarakat) dan aparat penegak hukum di dalam suatu hubungan yang bersifat saling mempengaruhi dan berlangsung dalam wadah, struktur, politik, sosial, ekonomi, dan budaya pada suatu situasi tertentu.21

Dalam masalah pencemaran udara akibat asap pembakaran hutan, diperlukan upaya penegakan hukum lingkungan khususnya penegakan hukum pidana yang secara terpadu dari semua pihak pihak aparat penegak hukum maupun masyarakat. Penegak hukum haruslah konsisten dalam menindak para pengusaha yang terbukti melakukan pembakaran hutan yang mengakibatkan pencemaran udara dan asap hasil pembakaran hutan.

Hal yang prinsip dalam penegakan hukum lingkungan ini adalah harus adanya persamaan prinsip tentang lingkungan hidup, terutama dalam tindak pidana mengenai pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.22 Persamaan

persepsi tersebut penting sekali terutama bagi jajaran aparat hukum.

19 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm 7

20 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Penerbit Rajawali, Jakartam 190, hlm. 5

21 IS. Susanto, Pemahaman Kritis Terhadap Realitas Sosial, Majalah Masalah Hukum Nomor 09 Undip Semarang, 1992, hlm. 17 dalam Henry Liyus, Penegakan Hukum Lingkungan dalam rangka Perlindungan Terhadap Korban Pencemaran Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Jambi, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, Tesis tidak diterbitkan

(10)

Essensinya adalah sama-sama berpandangan bahwa penegakan hukum tersebut untuk menekan membengkaknya lebih banyak pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup yang akan menghambat jalannya

pembangunan dan kan langsung merugikan masyarakat. Persamaan persepsi tersebut mengarah pada sistem peradilan pidana terpadu (intergrited

criminal justice system) dan hukum lingkungan yang betujuan untuk menghindari mekanisme kerja aparat penegak hukum yang seakan-akan terpisah-pisah yang berorientasi pada sektoral instansinya saja.23 Seperti

misalnya penyidik yang berorientasi pada penyidikannya saja tanpa memperdulikan bagaimana proses perkara berikutnya. Sinonim dengan Penuntut Umum tanpa berkeinginan untuk membuktikan perkara yang telah dilimpahkan ke Pengadilan dan hanya berpandangan sempit pada lingkup tugasnya saja. Untuk meningkatkan pelaksanaan sistem peradilan pidana terpadu, diperlukan profesionalisme dan kerjasama yang baik antara subsistem yakni Polisi, Jaksa dan Pengadilan serta masyarakat. Kesan adanya pengkotak-kotakan yang membuat masingmasing instansi penegak hukum seakan-akan memiliki kapling tugas sendirisendiri harusnya

dihilangkan.

Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa:

“barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja melaukan perbuatan yang mengaibatkan pencemaran dan/atau pengrusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepulih tahun dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah”.

Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa kejahatan lingkungan tidak menganut sistem delik aduan yang berati bahwa dala perkara pidana lingkungan, laporan tentang dugaan adanya pencemaran dan perusakan lingkungan dapat dilakukan oleh penderita atau anggota masyarakat atau aparat penegak hukum dan laporan tersebut dapa langsung diteruskan ke Pengadilan Negeri sebagaimana telah ditentukan dan diatur di dalam KUHAP.

Pengaturan hukum pidana mengenai korban kejahatan secara mendasar dikenal dua model yaitu:

(11)

1. Procedural rights model

Adalah model perlindungan korban kejahatan yang menekankan padadimungkinkannya si korban untuk memainkan peranan aktif di dalam kejahatan diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau membantuk jaksa atau hak untuk dihadirkan atau didengar di seiap tingkatan sidang pengadilan yang mana kepentingan terkait di dalamnya termsuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga permasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak untuk mengadakan perdamaian atau mengajukan gugatan secara perdata. Pendekatan semacam ini melihat si korban sebagai seorang subyek yang harus menuntu mengejar kpentingannya 2. Services model

Adalah model perlindungan korban yang penekanannya diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang dapat digunakan oleh polisi. Misalnya dalam pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para pemegak hukum yang lain.

Stephen Schfer dalam bukunya The Victim and His Criminal mengemukakan adanya lima sitem pemberian restitusi kepada korban kejahatan, yaitu:

1. Ganti rugi yang bersifat keperdataan. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana

2. Kompensasi yang bersifat keperdataan. Diberikan melalui proses pidana

3. Restitusi yang bersifat perdata bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui proses pidana namun tida diragukan sifat pidana nya. Salah satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah denda kompensasi

(12)

keperdataan murni, tetapi negara yang memenuhi/menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan pada pelaku. Hal ini merupaka pengakuan bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan

5. Kompensasi yang bersifat netral. Diberikan melalui prosdur khusus. Sistem ini diterapkan apabila korban memerlukan ganti rugi

sedangkan pelaku dalam keadaan bangkrut dan tidak dapat emmenuhi tuntutan korban.24

Adanya kemungkinan ganti rugi menurut Pasal 14C KUHP pada dasarnya tidak bersifat pidana, ia hanya sekedar syarat pengganti untuk menghidari atau tidak menjalani pidana, jadi, tetap pada pemikiran dasar seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa latar belakang atau konsep pemidanaan yang berorientasi pada orang/pelaku tindak pidana, tidak dilandasi konsep pemidanaan yang berorientasi pada korban.

Terkait dengan restitusi oleh negara sebagaimana disebutkan oleh Stephen di atas bahwa restitusi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya dalam hal perlindungan korban, maka perlu dikebangkan sistem restitusi nomor 4 dan 5 seperti di atas. Hal ini penting karena negara merupakan penjamin utama hak-hak dasar warga negaranya. Selain itu, resolusi Majelis Umum PBB 40/34 juga menghimbau agar negara

memberikan restitusi atau kompensasi kepada korban dengan catatan bahwa apabila para aparat/petugas publik dalam melakukan tugasnya melanggar hukum pidana positif, maka para korban seharusnya menerima restitusi dari negara.25 Kemudian dalam butir 12 dinyatakan apabila kompensasi tidak

sepenuhnya diperoleh dari pelaku tindak pidana atau sumber-sumber lain maka negara harus menetapkan kompensasi kepada korban yang menderita luka badan selama-lamanya atau rusak/melemah kesehatan fisik dan

24 Stephen Schafer, The Victims and His Criminal, Random House, New York, 1968 dalam Henry Liyus, Penegakan Hukum....Op.Cit, hlm. 166-167

(13)

mentalnya serta kepada keluarga terutama orang-orang yang menjadi tanggungan dari orang yang mati atau cacat fisik/mental sebagai akibat dari kejahatan berat.26

26 Bunyi butir 12 Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power : “When compensation is not fully available from the offender or other sources, States should endeavour to provide financial compensation to:

(a) Victims who have sustained significant bodily injury or impairment of physical or mental health as a result of serious crimes;

(14)

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan uaraian pada bab sebelumnya, maka penulisan memberikan kesimpulan diantaranya adalah :

1. Dalam masalah pencemaran udara akibat asap pembakaran hutan, diperlukan upaya penegakan hukum lingkungan khususnya

penagakan hukum pidana yang seara terpadu dari semua pihak pihak aparat penegak hukum maupun masyarakat. Penegak hukum

haruslah konsisten dalam menindak para pengusaha yang terbukti melakukan pembakaran hutan yang mengakibatkan pencemaran udara dan asap hasil pembakaran hutan.

2. Pengaturan hukum pidana mengenai korban kejahatan secara

mendasar dikenal dua model yaitu The Procedural Rights Model dan Services Model. Adanya kemungkinan ganti rugi menurut Pasal 14C KUHP pada dasarnya tidak bersifat pidana, ia hanya sekedar syarat pengganti untuk menghidari atau tidak menjalani pidana, jadi, tetap pada pemikiran dasar seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa latar belakang atau konsep pemidanaan yang berorientasi pada orang/pelaku tindak pidana, tidak dilandasi konsep pemidanaan yang berorientasi pada korban.

Saran

1. Harus adan persamaan prinsip tentang lingkungan hidup, terutama dalam tindak pidana mengenai pencemaran dan perusakan

lingkungan hidup. Persamaan persepsi tersebut penting sekali terutama bagi jajaran aparat hukum. Tujuannya adalah mengarah pada sistem peradilan pidana terpadu (intergrited criminal justice system)

2. Mengembangkan sistem kompensasi/restitusi dimana negara ikut serta dalam memberikan restitusi/kompensasi tersesbut kepada korban asap akibat pembakaran hutan dan lahan sebagai bentuk tanggungjawab negara dalam melindungi hak-hak asasi warga negaranya

(15)

Buku

Bambang Waluyo, 2012, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, PT Sinar Grafika, Jakarta

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita,Raja Grafindo Persada, Jakarta

Henry Liyus, 1997, Penegakan Hukum Lingkungan dalam rangka Perlindungan Terhadap Korban Pencemaran Kabut Asap Akibat

Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Jambi, Universitas Diponegoro, Semarang, Tesis tidak diterbitkan

J.E. Sahetapy, 1983, Viktimologi sebagai Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Koesnadi Hardjosoemantri, 1986, Hukum Tata Lingkungan, GadjahmadaUniversity Press, Yogyakarta

Muhammad Topan, 2009, Kejahatan Korporasi Bidang Lingkungan Hidup Perpektif Viktimologi dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Pnerbit Nusa Media, Bandung

Slamet Riyadi, 1982, Pencemaran Udara, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya

Soerjono Soekanto, 1989, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Rajawali Press, Jakarta

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1990

Sukanda Husein, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan

Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Internet

(16)

Rahmi Carolina, Kamipun Berhak Menghirup Udara Sehat, ditulis pada 29 November 2014, dimuat dalam

http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/kami-pun-berhak-menghirup-udara-sehat/blog/51520/ (online), 22 Desember 2014

http://www.penanggulangankrisis.depkes.go.id/penanggulangan-krisis-kesehatan-akibat-kabut-asap-di-provinsi-riau (online) 22 Desember 2014

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melakukan inversi terhadap hasil pemodelan matematika dari data fisis hasil observasi maka dapat diperoleh nilai dari variabel- variabel dan parameter

Pers nasional adalah surat kabar dan majalah dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah bahkan bahasa Belanda yang ditujukan terutama bagi

Pada perdagangan hari ini, kami perkirakan harga Surat Utang Negara masih akan berpeluang mengalami kenaikan dengan masih didukung oleh kenaikan cadangan devisa

Beberapa contoh pemberitaan di atas sedikit banyak bisa memberikan gambaran bagaimana media menggunakan medium bahasa dengan memanfaatkan beberapa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat respon berahi dan persentase kebuntingan pada kambing PE setelah di lakukan inseminasi buatan dan diinduksi

Dari informasi di atas, peneliti dapat menjelaskan bahwa peranan pustakawan dalam sistem temu balik informasi di Perpustakaan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Berdasarkan kondisi biofisik perairan dan data hasil tangkapan, diketahui bahwa Cantrang dapat menangkap lebih banyak jenis ikan dibandingkan dengan gillnet. Hal

Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian di atas, maka dosen matematika diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar matematika dan minat pada mata kuliah