1. Latar Belakang Gagasan Revitalisasi
Pembangunan Indonesia pada masa orde baru dititikberatkan pada bidang pertanian,
kelautan, perairan dan peternakan dengan menetapkan pembangunan jangka panjang (PJP) pada
bidang tersebut (Benita, 2012). Berdasarkan data yang dihimpun oleh suara merdeka (2015),
budidaya udang windu di Indonesia dimulai pada 1980, pada saat itu udang windu merupakan
penghasil devisa terbesar pada produk perikanan, namun produksinya mulai menurun pada tahun
1995 yang disebabkan oleh penurunan mutu lingkungan dan serangan penyakit (priyono, 2016).
Revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia sangat terkait dengan posisi komoditas
unggulan di sektor perikanan ayng dihasilkan dari kegiatan budidaya. Di samping itu, juga
karena kegiatan usaha budidaya udang mampu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
perolehan devisa, pendapatan pembudidaya, menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha.
Revitalisasi tersebut juga sangat penting, terutama karena peran kegiatan budidaya udang ke
depan yang semakin besar, sementara kegiatan penangkapan udang terus semakin berkurang.
revitalisasi industri budidaya udang akan mencakup revitalisasi pada level produksi, pengolahan
dan pemasaran/perdagaangan melalui pelibatan usaha skala kecil, menengah dan besar
(BALITBANG-KP, 2015)
2. Faktor Keberhasilan Revitalisasi 2.1. Perencanaan
Program revitalisasi yang dilakukan pada 2015 dilakukan tanpa perencanaan yang
matang. Contohnya ada tambak dengan kepadatan tanam sekitar 200 ekor per m2, belum lagi masalah jadwal yang harus dipercepat secara tidak wajar oleh pemerintah. Seperti pada
pelaksanaan program revitalisasi yang tahun sebelumnya (2012-2013), proses pencanangan
revitalisasi tambak baru digulirkan semenjak Oktober 2012, sedangkan target harus bisa dipenuhi
1,5 bulan. Padahal seperti udang vaname dipanen paling cepat 4 bulan untuk bisa mencapai
ukuran konsumsi. Beberapa permasalahan tersebut, tampaknya sangat terkait erat dengan kondisi
yang berkembang pada saat itu, dapat saja menyangkut hal-hal yang bersifat kebijakan tertentu
atau kepentingan yang bersifat politis, atau pun hal lainnya (BALITBANG-KP, 2015).
2.2. Pihak-pihak yang bertanggung jawab
Dalam hal ini, pihak yang seharusnya bertanggungjawab dalam hal pengawasan adalah
pemerintah sendiri, tidak seperti revitalisasi dipasena yang dibiarkan begitu saja oleh pemerintah
yang menyebabkan petambak merugi besar dengan hutang yang semakin meroket akibat dari
penanganan revitalisasi tambak yang diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha (Ari, 2012).
Hal-hal yang perlu diawasi pada program revitalisasi tambak ini adalah: perencanaannya,
implementasinya (mulai dari pembagian anggaran, sampai pengerjaan tambak) dan hasil yang
didapatkan setelah revitalisasi tambak terealisasi. Jika hasil pada suatu tambak tidak memenuhi
target dan dikhawatirkan akan merugikan Negara dan lingkungan, maka pemerintah harus
merencakan upaya selanjutnya, salah satunya adalah pengalihan lahan yang ramah lingkungan.
2.3. Daya Dukung Alam
Masalah daya dukung Pertambakan Pantura menurut studi 2001 (komunikasi Pribadi
dengan Dr. Bambang Widigdo), bahwa daya dukung Pantura untuk tambak udang yang lumintu
(berkelanjutan) hanya sekitar 46.000 ha dengan ajuran produksi produksi berkisar antara 7 - 10
ton/tahun. Kemungkinan pada 2012 daya dukung sudah menurun dikarenakan adanya dampak
dari perubahan lingkungan akibat dari limbah kegiatan penduduk dan industri. Ini harus menjadi
pertimbangan dalam perluasan revitalisasi (Sugama, 2012) menakar revitalisasi tambak udang
Untuk mengatasi masalah ini perlu dilakukan survei lapangan dan tentukan kawasan yang
secara teknis memungkinkan untuk dikembangkan dengan biaya minimal. Kawasan yang telah
ditentukan dilakukan uji-kaji penerapan teknologi yang tepat di masing-masing kawasan.
Kondisi tambak baik sumber pasok air, tekstur dan kesuburan tanah, biasanya berbeda di
masing-masing kawasan, sehingga dibutuhkan modifikasi teknologi di setiap kawasan
.
2.4. Kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan berkelanjutan Sebagai sebuah konsep, pembangunan yang berkelanjutan mengandung pengertian
sebagai pembangunan yang “memperhatikan” dan“mempertimbangkan” dimensi lingkungan,
dalam pelaksanaannya sudahmenjadi topik pembicaraan dalam konferensi Stockholm (UN
Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang menganjurkan agar
pembangunandilaksanakan dengan memperhatikan faktor lingkungan (Soerjani, 1977: 66),
menurut Sundari Rangkuti Konferensi Stocholm membahas masalah lingkungan serta jalan
keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung
lingkungan (eco-development) (Indra, 2012).
3. Kebijakan
Untuk mencapai kondisi yang ideal bagi perkembangan budidaya, terdapat langkah
strategis kebijakan yang harus dilakukan yakni (DKP Indramayu, 2015):
3.1. Bidang manajemen
Meliputi pemberian bimbingan, pemantauan dan pemerikasaan higienitas dan sanitasi
lingkungan usaha pembudidayaan ikan, pembinaan dan pengambangan kerja sama kemitraan
usaha pembudidaya ikan, pelaksanaan sistem informasi benih ikan di wilayah kabupaten kota,
serta memperkuat lembaga keuangan daerah dan permodalan usaha
Meliputi pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan
pembudidayaan ikan, pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaraan
dan / atau pemeliharaan ikan, pemantauan pelaksanaan CPIB serta CBIB, pelaksanaan kebijakan
pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit
pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta memperkuat dan revitalisasi lembaga
penyuluhan perikanan.
3.3. Bidang kelembagaan
Meliputi pelaksanaan kebijakan pembudidaya ikan, pelaksanaan kebijakan produk
pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut, pelaksanaan kebijakan mutu benih / induk
ikan, pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau
dan laut, pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat
ikan, bahan kimia, bahan biologis, dan pakan ikan, pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga
sertifikasi pembenihan ikan, pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan
prasarana pembudidayaan ikan, rekomendasi ekspor, impor, induk benih ikan, perizinan dan
penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di
wilayah kabupaten/kota, pembudidayaan ikan dan perlindungannya, koordinasi dan pelaksanaan
kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
3.4. Bidang sarana, prasarana, dan infrastruktur
Meliputi pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan, teknis pelepasan
dan penarikan varietas induk/ benih ikan, teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis,
induk dasar, dan benih alam.
Dahuri (2013) mengatakan bahwa Proyek yang menyedot dana APBN-P (Anggaran
Pendapatan Belanja Negara Perubahan) tahun 2012 sekitar Rp 400 miliar untuk revitalisasi
tambak udang seluas 1.000 ha dengan target produksi 15.000 ton/musim itu, hingga akhir Juli
2013 baru menghasilkan 1.200 ton udang atau 8% dari target produksi. Di tambak contoh
(demfarm) revitalisasi di Cirebon, semua udangnya mati sebelum umur 2 bulan. Di Serang dan
Karawang hanya berhasil dipanen sebesar 30% dari seharusnya. Ratusan ribu benur vannamei
yang ditebar di tambak demfarm seluas 30 ha di Kabupaten Serang secara massal mati
mendadak, yang diduga akibat serangan virus. Satu-satunya tambak demfarm yang lumayan
berhasil pada saat panen perdana adalah di Kabupaten Subang.
5. Faktor kegagalan revitalisasi tambak
Ada sejumlah faktor teknis dan non-teknis yang menjadi biang dari kegagalan program
revitalisasi tambak ini (Dahuri, 2013) :
5.1. Tidak disiplin
di Subang, secara teknis semua tambak demfarm di lima Kabupaten lainnya (Serang,
Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon) tidak dengan penuh disiplin menerapkan CBUB
(Cara-Cara Budidaya Udang Yang Baik).
5.2. Kualitas benur
Benur yang ditebarkan banyak yang tidak bebas penyakit (SPF), tidak tahan penyakit
(SPR), atau lemah.
5.3. Teknik pemasangan mulsa yang salah
Mulsa yang digunakan terlalu tipis, dan umumnya dipasang tidak rapat. Sehingga, sisa
dalam jumlah besar, yang akhirnya mengakibatkan kualitas air tambak kurang optimal untuk
kehidupan udang.
5.4. Kualitas pakan
Kualitas pakan sudah menurun, dan cara pemberian pakan pun umumnya kurang benar.
Pengendalian hama dan penyakit serta aspek biosecurity tidak dilaksanakan dengan seksama.
5.5. Tidak memperhatikan lingkungan makro tambak
Selain itu, revitalisasi hanya memperbaiki lingkungan mikro (internal) tambak, seperti
penggunaan mulsa, perbaikan tata letak, design, saluran, dan pematang tambak. Akan tetapi,
lingkungan makro kawasan pesisir Pantura (Pantai Utara)-nya tidak mendapat perhatian sama
sekali. Padahal, sejak medio akhir 1990-an, perairan pesisir Pantura sebagai sumber air untuk
tambak udang, telah dinyatakan tercemar sedang sampai sangat berat. Artinya, tanpa restorasi
lingkungan secara signifikan, kapasitas asimilasi dan daya dukung lingkungan Pantura memang
sangat terbatas di dalam mendukung usaha budidaya tambak udang yang menguntungkan secara
berkelanjutan.
5.6. Proyek berbau politis
Kesalahan fatal dari program revitalisasi ini adalah bahwa dari perencanaan sampai
implementasi dikerjakan dengan pendakatan proyek dan berbau politis. Akibatnya, waktu
pelaksanaan sangat dipaksakan. Anggaran revitalisasi cair akhir November 2012, proyek harus
selesai akhir Desember 2012. Padahal, masa pemeliharaan udang paling tidak memerlukan 100
hari. Pemberian dana secara gratis kepada petambak pun membuat daya juang (fighting spirit)
dan jiwa kewirausahaan peserta revitlisasi menjadi rusak. Sebab, mereka berpikir, kalaupun
revitalisasi, akan cemburu. Apalagi, penerima dana revitalisasi ini ternyata sebagian besar adalah
dari kelompok tertentu, yang kebanyakan juragan atau pengusaha tambak besar di daerahnya
sebagai mitra. Hanya sebagian kecil para penerima program ini yang berasal dari pengusaha
kecil. Karena pendekatan proyek, maka praktik penyimpangan penggunaan anggaran pun
menjadi keniscayaan (Riza, 2013).
6. Pemecahan Masalah 6.1. Sentuhan Teknologi (Sugama, 2012)
Petambak udang vannamei intensif di daerah Subang Jawa Barat yang sudah beroperasi
sejak 2004 dengan produksi antara 20 - 37 ton/ha/musim tanam, telah menerapkan sejumlah
standar operasional dan modofokasi teknologi. Standar tersebut antara lain penerapan biosekuriti
yang ketat dan sistem tertutup (close system) dengan pergantian air sedikit sebanyak yang
menguap sebagai dampak dari evaporasi.
Lalu ada juga standar aerasi yang cukup dengan kincir dan supercharge agar oksigen
terlarut tidak kurang dari 5 ppm, dan pemakaian probiotik sebagai bakteri pengurai sisa pakan
dan sebagai penghambat pertumbuhan bakteri pathogen. Tidak kalah pentingnya penebaran
benur (benih udang) yang bebas penyakit (Spesifik Pathogen Free/SPF) dan berkualitas baik
yang diproduksi dari hatchery (pembibitan) yang telah mendapat sertifikat Cara Perbenihan Ikan
yang Baik (CPIB).
Petambak di Subang juga melakukan perbaikan daya dukung lahan dengan melakukan
penyiponan tambak saat budidaya berlangsung dan dasar tambak di tutup dengan plasik Hight
Density Polyethilen (HDPE), plastik mulsa, terpal, atau tambak disemen/dibeton. Pola intensif
panen partial umur 50 hari berharga Rp 27 - 30 ribu, sedangkan size 70 – 60 ekor/kg berharga Rp
42- 45 ribu setelah dipelihara 100 - 110 hari.
Penerapan teknologi tersebut diperlukan penyuluh yang handal dan berpengalaman dalam
budidaya udang tambak dengan teknolgi terbarukan. Pengalaman lapangan menunjukkan bahwa
budidaya udang selalu berhasil apabila teknisi berpengalaman dan memiliki motivasi kuat serta
kecintaan dalam budidaya udang . Selama ini penyuluh/pendamping teknologi yang paling
handal adalah teknisi dari pabrik pakan yang secara berkala mengunjungi dan memberi
pencerahan teknologi kepada petambak binaannya.
6.2. Waspada Penyakit (suryawinandi, 2014)
Benur baik mutu dan jumlahnya juga menjadi penentu dalam keberhasilan budidaya
udang. Benur hasil hatchery sebelum ditebar di tambak harus betul-betul bebas paling tidak 6
virus yaitu WSSV, TSV, IHHNV, IMNV, Laem-Singh virus, serta telah dilaporkan juga
akhir-akhir ini di dua negara Asia telah terjadi early mass mortality (kematian mendadak dalam jumlah
banyak) pada udang budidaya yang penyebab patogennya belum diketahui (virus atau bakteri).
Untuk menghindari masuknya virus baru, sebaiknya kita harus mengurangi impor induk dan
mulai memproduksi indukan sendiri dalam negeri. Balai Budidaya Pantai Situbondo
dan Broostock Center dan Multiplication Center Ditjen Budidaya sudah pernah melepas induk
udang vannamei unggul hasil seleksi yang diberi nama Vaname Nusantara-1 (VN-1).
Pada awalnya performa induk VN-1 sangat baik dan diminati petambak, namun dalam
perjalanannya banyak keluhan oleh pengguna bahwa hasil anakan VN-1 banyak
yang blantik (ukuran tidak seragam), sehingga kurang diminati petambak. Saat ini pakar Jejaring
pemuliaan udang vannamei Ditjen Budidaya KKP, Balitbang KP (Badan Penelitian dan
dan swasta, kembali mengevaluasi penyebab blantik dan coba memperbaiki kembali indukan
udang vanname secara genetik. Pihak swasta yang berlokasi di Lombok (Global Gen) juga
memproduksi induk unggul dan SPF untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
6.3. Dukungan Perbankan (Sugama, 2012)
Keberhasilan dari program revitalisasi tambak Pantura sangat ditentukan oleh
ketersediaan dana baik untuk perbaikan infrastruktur saluran dan modan kerja. Perbaikan saluran
yang dibantu oleh Kementerian Pekerjaan Umum sedang dan akan dikerjakan. Sedangkan untuk
modal operasional kita sangat berharap pinjaman KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang dijanjikan
oleh Bank BRI, Bukopin, dan Mandiri menjadi kenyataan, kalau tidak program ini akan
terhambat. Selain itu skema bantuan PUMP (Pengembangan Usaha Mina Pedesaan) juga perlu
diarahkan untuk mendukung revitalisasi tambak ini.
6.4. Pengalihan lahan
Tambak-tambak di pantura pada dasarnya adalah hutan mangrove yang dibabat
habis-habisan, seiring berjalannya waktu tindakan yang tidak ramah lingkungan itu memberikan
dampak negatif bagi lingkungan sekitar. Untuk itu, diperlukan kebijaksanaan pemerintah untuk
mereboisasi lahan mangrove yang pernah hilang tersebut. Dengan adanya program revitalisasi,
pemerintah bisa sekaligus melakukan pengawasan. Tambak yang masih memungkinkan untuk
berproduksi maka kegiatan pertambakannya tetap harus dijalankan, mengingat tambak
memberikan keuntungan yang besar bagi seluruh elemen. Namun, tambak yang tercemar berat
dan tidak memungkinkan untuk berproduksi, lahannya dapat diubah menjasi kawasan mangrove.
Dikutip dari Forest watch Indonesia (2013) Bengen (2001) mengungkapkan berikut tahap-tahap
1. Identifikasi dan analisis terhadap isu-isu lokal wilayah pesisir..
2. Menetapkan tujuan dan mempersiapkan rencana kebijakan dan program
3. Menitikberatkan pada formalisasi perencanaan melalui jalur hukum, peraturan,
kerjasama antar institusi.
Lembaga pengelolaan wilayah pesisir untuk perbaikan hutan mangrove ini akan
diresmikan secara hukum, atau paling tidak diakui keberadannya oleh pemerintah,
karena program ini juga merupakan bagian dari program kerja pemerintah dalam
mengatasi masalah kerusakan hutan mangrove akibat ekspansi tambak. 4. Implementasi program kerja
Setelah adanya sosialisasi akan diadakan penanaman mangrove di beberapa wilayah
pesisir di tiga kabupaten tersebut. Bibit mangrove akan disediakan oleh penyuluh dan
penanamannya akan dilakukan secara bersamasama. selain itu pula dibuat kawasan
konservasi mangrove, agar wilayah untuk perlindungan pantai tetap ada dan terjaga. 5. Evaluasi.
Setelah dilakukan penanaman mangrove, kegiatan masih berlangsung, seperti
dilaksanakannya kontrol pertumbuhan mangrove yang telah ditanam secara rutin oleh
masyarakat dan penyuluh. Serta tetap mengontrol kegiatan di wilayah pesisir di
sekitar wilayah hutan mangrove. Lalu di akhir bulan, atau setiap diadakannya diskusi
akan dibahas kemajuan yang telah dicapai ataupun kekurangan dari program tersebut
agar dapat diperbaiki. Sehingga terciptanya pengelolaan wilayah pesisir dalam upaya
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2015. Petambak terpikat udang vannamei. Suara Merdeka. Jakarta
Anonymous. 2013. Petambak dipasena merasa ditelantarkan pemerintah. Harian ekonomi neraca. http://www.neraca.co.id/article/25336/petambak-dipasena-merasa-ditelantarkan-pemerintah-pengelolaan-perikanan-budidaya)
Ari. 2012. Jeritan Petambak dipasena. Teknokra. http://teknokra.com/regional/266-jeritan-petambak-dipasena.html. diakses pada 2 oktober 2016.
BALITBANG-KP. 2015. Kajian ekonomi revitalisasi industry budidaya udang. http://sosialekonomi.com/kms/storage/files/xKgknRUUUaikwjrM.pdf. diakses pada 1 oktober 2016.
Bengen, D, G. 2001. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Forest Watch Indonesia.
Benita, R. T., 2012. Sejarah Perikanan. http://nitazeggers.blogspot.com/2012/04/sejarah-perikanan.html?m=1. Diakses pada 8 September 2016.
Dahuri, R. 2013. Quo Vadis revitalisasi tambak. Livestock trobos. Jakarta. http://www.trobos.com/detail-berita/2013/10/20/68/4163/prof-rokhmin-dahuri--quo-vadis-revitalisasi-udang. diakses pada 2 oktober 2016.
DKP Indramayu. 2015. Inkubasi Rumah Tangga Perikanan (RTP) Budidaya Ikan dan Udang
untuk Revitalisasi Perikanan di Kabupaten Indramayu.
http://diskanla.indramayukab.go.id/component/content/article/12-warta/85-inkubasi- rumah-tangga-perikanan-rtp-budidaya-ikan-dan-udang-untuk-revitalisasi-perikanan-di-kabupaten-indramayu.html. diakses pada 1 oktober 2016.
Priyono, A. 2016. Optimalkan pertumbuhan udang dengan biosecurity. Info akuakultur-press. Jakarta.