• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Binan Pada Kalangan Waria (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Bahasa Binan Pada Kalangan Waria Di Kota Kisaran)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahasa Binan Pada Kalangan Waria (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Bahasa Binan Pada Kalangan Waria Di Kota Kisaran)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian 2.1.1 Paradigma Konstruktivisme

Paradigma adalah pedoman yang menjadi dasar bagi para saintis dan peneliti dalam mencari fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Menurut Mulyana (Tahir, 2011:59) paradigma sebagai suatu kerangka berpikir yang mendasar dari suatu kelompok saintis (ilmuwan) yang menganut suatu pandangan yang dijadikan landasan untuk mengungkap suatu fenomena dalam rangka mencari fakta.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme adalah paradigma yang memandang bahwa kenyataan itu hasil konstruksi atau bentukan dari manusia itu sendiri.

Kenyataan itu bersifat ganda, dapat dibentuk, dan merupakan satu keutuhan. Kenyataan yang ada sebagai hasil bentukan dari kemampuan berpikir seseorang. Pengetahuan hasil bentukan manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus. Penelitian kualitatif berlandaskan paradigma konstruktivisme yang

berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi pemikiran subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek, hal ini berarti bahwa ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh pemikiran (Arifin, 2012:140).

(2)

1. Dasar untuk menjelaskan kehidupan, peristiwa sosial dan manusia bukan ilmu dalam kerangka positivistik, tetapi justru dalam arti common sense.

Menurut mereka, pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan individu terhadap pengalaman dan kehidupannya sehari-sehari, dan hal tersebut lah yang menjadi awal penelitian

ilmu-ilmu sosial.

2. Pendekatan yang digunakan adalah induktif, berjalan dari yang spesifik menuju yang umum, dari yang konkret menuju yang abstrak.

3. Ilmu bersifat ideografis bukan nomotetis, karena ilmu mengungkap bahwa realitas tertampilkan dalam simbol-simbol melalui bentuk-bentuk deskriptif.

4. Pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui indera karena pemahaman mengenai makna dan interpretasi adalah jauh lebih penting.

5. Ilmu tidak bebas nilai. Kondisi bebas nilai tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting dan tidak pula mungkin di capai.

Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari kontruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002: 96-97).

Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek

(3)

Komunikasi dipahami, diatur, dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan

yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardianto, 2007: 151).

Menurut Gubadan Lincoln (Sunartodan Hermawan, 2011: 4) Paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam pengertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja, hal ini disebabkan tidak ada satu cara untuk menentukan satu kebenaran akhir. Jadi, paradigma dapat didefinisikan sebagai acuan yang menjadi dasar bagi setiap peneliti untuk mengungkapkan fakta-fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Teori konstruktivis menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut (Ardianto, 2010: 158).

Paradigma konstruktivisme memiliki karakteristik sebagai berikut (Pujileksono, 2016: 28-29):

1. Paradigma penelitian yang melihat suatu realita dibentuk oleh berbagai macam latar belakang sebagai bentuk konstruksi realita tersebut. Realita yang dijadikan sebagai objek penelitian merupakan suatu tindakan sosial oleh aktor sosial.

2. Latar belakang yang mengkonstruksi realita tersebut melihat dalam bentuk konstruksi mental berdasarkan pengalaman sosial yang dialami oleh aktor sosial sehingga sifatnya lokal dan spesifik.

3. Penelitiannya mempertanyakan ‘mengapa’ (why)?

4. Realita berada diluar peneliti namun dapat memahami melalui interaksi dengan realita sebagai objek penelitian.

(4)

6. Paradigma penelitian konstruktivisme sifatnya kualitatif, peneliti

memasukkan nilai-nilai pendapat ke dalam penelitiannya. Penelitian dengan paradigma ini sifatnya subjektif.

7. Tujuan untuk memahami apa yang menjadi konstruksi suatu realita. Oleh karena itu, peneliti harus dapat mengetahui faktor apa saja yang

mendorong suatu realita dapat terjadi dan menjelaskan bagaimana faktor-faktor itu merekonstruksi realita tersebut.

Peneliti menggunakan paradigma kontruktivisme dalam penelitin ini karena peneliti ingin mendapatkan pengembangan pemahaman yang membantu proses interpretasi suatu peristiwa. Paradigma konstruktivisme sesuai sebagai acuan untuk melakukan penelitian ini, dimana yang ingin diteliti adalah penggunaan bahasa binan pada kalangan waria.

2.2Kerangka Teori

2.2.1 Teori Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksionisme simbolik adalah aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat

(5)

Teori interaksionisme simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran

George Herbert Mead. Mead dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di Massachusetts. Karir Mead berawal saat beliau menjadi seorang professor di kampus Oberlin, Ohio, kemudian Mead berpindah pindah mengajar dari satu kampus ke kampus lain, sampai akhirnya saat beliau di undang untuk pindah dari

Universitas Michigan ke Universitas Chicago oleh John Dewey. Di Chicago inilah Mead sebagai seseorang yang memiliki pemikiran yang original dan membuat catatan kontribusi kepada ilmu sosial dengan meluncurkan “the theoretical perspective” yang pada perkembangannya nanti menjadi cikal bakal “Teori Interaksionisme Simbolik”, dan sepanjang tahunnya, Mead dikenal sebagai ahli sosial psikologi untuk ilmu sosiologis. Mead menetap di Chicago selama 37 tahun, sampai beliau meninggal dunia pada tahun 1931 (Rogers, 1994: 166).

Semasa hidupnya Mead memainkan peranan penting dalam membangun perspektif dari Mazhab Chicago, dimana memfokuskan dalam memahami suatu interaksi perilaku sosial, maka aspek internal juga perlu untuk dikaji (West dan Turner, 2008: 97). Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non verbal dan makna dari suatu pesan verbal, akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi. Pandangan terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).

Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mazhab (School), dimana kedua mazhab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu (1) Mazhab Chicago (Chicago School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan (2)

Mazhab Iowa (Iowa School) yang dipelopori oleh Manford Kuhn dan Kimball Young (Rogers, 1994: 171).

(6)

pendekatan kualitatif, dimana meyakini bahwa studi tentang manusia tidak bisa

disamakan dengan studi terhadap benda mati, dan para pemikir yang ada di dalam mahzab Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pikiran George Herbert Mead (Ardianto dan Q-Aness, 2007: 135).

Teori ini menyatakan bahwa interaksi sosial pada hakekatnya adalah

interaksionisme simbolik. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol, kemudian yang lain memberi makna atas simbol tersebut. Para ahli interaksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal dan obyek yang disepakati bersama (Mulyana, 2010:84).

Menurut Mead (West dan Turner, 2008: 98) teori interaksionisme simbolik merupakan teori yang menekankan pada hubungan simbol dan interaksi. Dalam teori interaksionisme simbolik memiliki tiga tema besar, yaitu:

1.Pentingnya makna bagi perilaku manusia.

2.Pentingnya konsep mengenai diri.

3.Hubungan antara individu dan masyarakat.

Tema pertama pada interaksionisme simbolik berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia. Dimana dalam teori interaksionisme

simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi. Karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert

Blumer (West dan Turner, 2008: 101) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:

(7)

2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.

3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif

Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksionisme simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara

aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan&Reitzes (West dan Turner, 2008: 101), antara lain:

1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.

2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.

Tema terakhir pada interaksionisme simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwanorma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya.

Karya tunggal Mead yang amat penting dalam hal in terdapat dalam bukunya yang berjudul Mind,Self dan Society. Mead mengambil tiga konsep kritis yang diperlukan dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk meyusun sebuah teori interaksionisme simbolik. Tiga konsep itu dan hubungan di antara ketiganya merupaka inti pemikiran Mead, sekaligus keywords dalam teori tersebut. Interaksionisme simbolik secara khusus menjelaskan tentang bahasa, interaksi

sosial dan reflektivitas.

1. Pikiran (Mind)

Mead mendefenisikan pikiran sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran

(8)

Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk

memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan pikiran (Ardianto, 2007: 136).

Melakukan sesuatu berarti memberi respon terorganisir tertentu, dan

bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa yang kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan dari konsep logis lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui kemampuannya menanggapi komunitas secara menyeluruh dan mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga melihat pikiran secara pragmatis yaitu, pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah (Ritzer and Goodman, 2008: 280). Menurut Mead “manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya sebelum ia melakukan tindakan yang sebenarnya”(Ritzer, 2011:67).

Berfikir menurut Mead adalah suatu proses dimana individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan mempergunakan simbol-simbol yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan diri sendiri itu, individu memilih yang mana diantara stimulus yang tertuju kepadanya itu akan ditanggapinya. Simbol juga digunakan dalam proses berpikir subyektif, terutama simbol-simbol bahasa. Hanya saja simbol itu tidak dipakai secara nyata, melainkan melalui percakapan internal. Serupa dengan itu, secara

tidak kelihatan individu menunjukkan pada dirinya sendiri mengenai diri atau identitas yang terkandung dalam reaksi-reaksi orang lain terhadap perilakunya. Maka, kondisi yang dihasilkan adalah konsep diri yang mencakup kesadaran diri yang dipusatkan pada diri sebagai obyeknya

(Wirawan, 2014: 124).

(9)

pemikiran. Esensi pemikiran di konstruk dari pengalaman isyarat makna

yang terinternalisasi dari proses eksternalisasi sebagai bentuk hasil interaksi dengan orang lain. Oleh karena perbincangan isyarat memiliki makna, maka stimulus dan respons memiliki kesamaan untuk semua partisipan.

2. Diri (Self)

Pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek. Diri mensyaratkan proses sosial yakni komunikasi antar manusia. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas dan antara hubungan sosial. Menurut Mead adalah mustahil membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah diri berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak sosial.

Diri berhubungan secara dialektis dengan pikiran. Artinya, di satu pihak Mead menyatakan bahwa tubuh bukanlah diri dan baru akan menjadi diri bila pikiran telah berkembang. Di lain pihak, diri dan refleksitas adalah penting bagi perkembangan pikiran. Memang mustahil untuk memisahkan pikiran dan diri karena diri adalah proses mental. Tetapi, meskipun kita membayangkannya sebagai proses mental, diri adalah sebuah proses sosial. Dalam pembahasanmengenai diri, Mead menolak gagasan yang meletakkannya dalam kesadaran dan sebaliknya

meletakkannya dalam pengalaman sosial dan proses sosial.

Dengan cara ini Mead mencoba memberikan arti behavioristis tentang diri. Diri adalah di mana orang memberikan tanggapan terhadap apa yang ia tujukan kepada orang lain dan dimana tanggapannya sendiri menjadi

(10)

Karena itu diri adalah aspek lain dari proses sosial menyeluruh di mana

individu adalah bagiannya. Mekanisme umum untuk mengembangkan diri adalah refleksivitas atau kemampuan menempatkan diri secara tak sadar ke dalam tempat orang lain dan bertindak seperti mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu memeriksa diri sendiri sebagaimana orang lain

memeriksa diri mereka sendiri. Seperti dikatakan Mead :

“Dengan cara merefleksikan, dengan mengembalikan pengalaman individu pada dirinya sendiri keseluruhan proses sosial menghasilkan pengalaman individu yang terlibat di dalamnya; dengan cara demikian, individu bisa menerima sikap orang lain terhadap dirinya, individu secara sadar mampu menyesuaikan dirinya sendiri terhadap proses sosial dan mampu mengubah proses yang dihasilkan dalam tindakan sosial tertentu dilihat dari sudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial itu” (Ritzer and Goodman, 2008).

Mead membedakan antara “I” (saya) dan “Me” (aku). “I” (Saya) bagian yang aktif dari diri (the self) yang mampu menjalankan perilaku. “Me” (aku), merupakan konsep diri tentang yang lain, yang harus mengikuti aturan main, yang diperbolehkan atau tidak.“I” (saya) memiliki kapasitas untuk berperilaku, yang dalam batas-batas tertentu, sulit diramalkan, sulit diobservasi, dan tidak terorganisir berisi pilihan perilaku bagi seseorang. Sedangkan “Me” (aku) memberikan kepada “I” (saya) arahan yang berfungsi untuk mengendalikan “I” (saya). Sehingga hasilnya perilaku manusia lebih bisa diramalkan, atau setidak-tidaknya tidak begitu kacau. Karena dalam kerangka pengertian tentang the self (diri),

terkandung esensi interaksi sosial. Interaksi antara “I” (saya) dan “Me” (aku).

Bagian terpenting dari pembahasan Mead adalah hubungan timbal balik antara diri obyek dan diri subyek. Diri sebagai obyek ditunjukkan

(11)

sebagaimana dilihat oleh orang lain, sedangkan “I” yaitu bagian yang

memperhatikan diri saya sendiri.

Kita tak pernah tahu sama sekali tentang “I” dan melaluinya kita mengejutkan diri kita sendiri lewat tindakan kita. Kita hanya tahu “I” setelah tindakan telah dilaksanakan. Jadi, kita hanya tahu ”I” dalam

ingatan kita. Mead menekankan “I” karena empat alasan. Pertama, “I” adalah sumber utama sesuatu yang baru dalam proses sosial. Kedua, Mead yakin, didalam “I” itulah nilai terpenting kita ditempatkan. Ketiga, “I” merupakan sesuatu yang kita semua cari perwujudan diri. Keempat, Mead melihat suatu proses evolusioner dalam sejarah dimana manusia dalam masyarakat primitif lebih didominasi oleh “Me” sedangkan dalam masyarakat modern komponen “I” nya lebih besar (Ritzer and Goodman, 2008: 286).

Diri juga memungkinkan orang berperan dalam percakapan dengan orang lain. Artinya, seseorang menyadari apa yang dikatakannya dan akibatnya mampu menyimak apa yang sedang dikatakan dan menentukan apa yang akan dikatakan selanjutnya (Ritzer and Goodman, 2008: 98).

3. Masyarakat (Society)

Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat (society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan

tanggapan teroganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual ini masyarakat mempengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melaui kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri.

(12)

berdasarkan keadaan tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan

keadaan itu pula, terdapat respon yang sama dipihak komunitas. Proses ini disebut “pembentukan pranata”(Ritzer and Goodman, 2008: 99).

Teori interaksionisme simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap

apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif diantara orang-orang untuk menciptakan makna. Bahkan, tujuan dari interaksi menurut teori ini adalah untuk menciptakan makna yang sama (West dan Turner, 2008: 99).

2.2.2 Komunikasi

2.2.2.1Pengertian Komunikasi

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari bahasa Latin communis yang berarti ‘sama’, communico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama’ (to make common) (Mulyana, 2010: 46).

Berkomunikasi adalah proses di mana seseorang menyampaikan sesuatu yang mempunyai arti lalu ditangkap oleh lawan bicaranya dan dimengerti. Pesan-pesan itu tercermin melalui perilaku manusia seperti berbicara secara verbal atau nonverbal, gesture (gerakan isyarat) seperti melambaikan tangan ke orang lain, menggelengkan kepala, menarik rambut. Semua itu menunjukkan bahwa kita sedang berkomunikasi (Baso, 2012: 32).

Berbicara tentang defenisi komunikasi, tidak ada defenisi yang benar ataupun salah. Seperti model dan teori, defenisi harus dilihat dari kemanfaatan nya untuk menjelaskan fenomena yang didefenisikan. Berikut ini adalah beberapa defenisi komunikasi menurut para ahli (Mulyana, 2010: 68-69):

1. Bernard Berelson dan Gary A. Steiner: “Komunikasi: transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi”.

(13)

3. Gerald R. Miller: “Komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima”.

4. Everett M. Rogers: “Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dari sumber kepada penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka”.

5. Raymond S. Ross: “ Komunikasi (intensional) adalah suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupasehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator”.

6. Marry B. Cassata dan Molefi K. Asante: “(Komunikasi adalah) transmisi informasi dengan tujuan mempengaruhi khalayak”. 7. Harold Laswell: “Cara yang baik untuk menggambarkan

komununikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut) Who says what in which channel to whom with what effect?”.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Mulyana, 2010: 46). Everett M. Rogers dan Lawrence Kincaid

(Fajar, 2009: 30-31) menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam.

Berdasarkan definisi Lasswell (Mulyana, 2010: 69-71) ini dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling bergantungan satu sama lain, yaitu:

1. Sumber, yaitu pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi.

2. Pesan, yaitu apa yang di komunikasi oleh sumber kepada penerima.

3. Saluran atau Media, yaitu alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.

4. Penerima atau yang sering disebut Komunikan, yaitu orang yang menerima pesan dari sumber.

(14)

Komunikasi terjadi setiap saat. Manusia tidak bisa meninggalkan proses

komunikasi dalam hidupnya. Manusia selalu melakukan penyampaian dan penerimaan pesan tiap waktu, dengan tujuan berbeda di dalamnya. Baik itu hanya sekedar menyampaikan pesan untuk diterima dan dipahami hingga bertujuan untuk mempengaruhi lawan bicaranya agar mengikuti hendak si pembicara.

Kesamaan bahasa yang digunakan dalam dalam percakapan antara komunikator dan komunikan tidak dapat menjamin berhasilnya suatu proses komunikasi. Bahasa yang digunakan antara keduanya boleh jadi dimaknai beda oleh si komunikan. Proses komunikasi bisa dikatakan efektif bila keduanya, komunikator dan komunikan, dapat mengerti bahasa dan mampu memaknai pesan yang disampaikan.

2.2.2.2Karakteristik Komunikasi

Karakteristik komunikasi menurut Riswandi (Susanto, 2012: 8-9) menyatakan sebagai berikut:

1. Komunikasi suatu proses.

Komunikasi sebagai suatu proses artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu.

2. Komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan.

Komunikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar, disengaja serta sesuai dengan tujuan atau keinginan dari perilakunya.

3. Komunikasi menurut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku

yang terlibat. Berlangsung dengan baik apabila pihak-pihak yang berkomunikasi (dua orang atau lebih) sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai perhatian yang sama-sama terhadap topik pesan yang dikomunikasikan.

4. Komunikasi bersifat simbolis.

(15)

5. Komunikasi bersifat transaksional.

Komunikasi pada dasarnya menuntun dua tindakan yaitu memberi dan menerima. Dua tindakan tersebut tentunya perlu dilakukan secara seimbang atau proporsional oleh masing-masing pelaku yang terlibat dalam komunikasi.

6. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu.

Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu maksudnya bahwa para peserta atau pelaku yang terlibat dalam komunikasi tidak harus hadir pada waktu atau tempat yang sama. Dengan adanya berbagai produk teknologi, seperti telepon, faksimile , telegram dan lain-lain, kedua faktor tersebut (waktu dan ruang) bukan lagi menjadi persoalan atau hambatan komunikasi.

2.2.2.3Proses Komunikasi

Kategori-kategori proses komunikasi ditinjau dari dua perspektif :

1. Proses komunikasi dalam perspektif Psikologi

Proses komunikasi perspektif ini terjadi pada diri komunikator dan komunikan. Ketika seorang komunikator berminat akan menyampaikan suatu pesan kepada komunikan, maka dalam dirinya terjadi suatu proses. Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek yakni isi pesan an lambing. Isi pesan umumnya adalah pikiran, sedangkan lambang adalah bahasa. Walter Hagemann menyebut isi pesan itu “picture in our head”, sedangkan Walter Hagemann menamakannya “das Bewustseininhalte”. Proses “mengemas” atau “membungkus” pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator itu dalam bahasa komunikasi dinamakan encoding. Hasil encoding berupa pesan itu yang kemudian ia transmisikan atau operkan atau kirimkan kepada komunikan. Kemudian proses dalam diri komunikan disebut decoding seolah-olah membuka kemasan atau bungkus pesan yang ia terima dari komunikator tadi. Isi bungkusan tadi adalah pikiran

(16)

komunikator, maka komunikasi terjadi. Sebaliknya bilamana komunikan

tidak mengerti, maka komunikasi pun tidak terjadi (Effendy, 2003 : 32).

2. Proses Komunikasi dalam perspektif Mekanistis

Proses ini berlangsung ketika komunikator mengoperkan atau “melemparkan” dengan bibir kalau lisan atau tangan jika pesan lukisannya

sampai ditangkap oleh komunikan. Penangkapan pesan dari komunikator kepada komunikan itu dapat dilakukan dengan indera telinga atau mata, atau indera-indera lainnya.

Proses komunikasi dalam perspektif ini kompleks atau rumit, sebab bersifat situasional, bergantung pada situasi ketika komunikasi itu berlangsung. Ada kalanya komunikannya seorang, maka komunikasi dalam situasi ini dinamakan komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi, kadang-kadang komunikannya sekelompok orang : komunikasi dalam situasi ini disebut komunikasi kelompok ; acapkalai pula komunikannya tersebar dalam jumlahnya yang relatif amat banyak sehingga untuk menjangkaunya diperlukan suatu media atau sarana, maka komunikasi dalam situasi seperti ini dinamakan komunikasi massa (Effendy, 2003 : 40).

Untuk lebih jelasnya proses komunikasi dalam perspektif mekanistis dapat diklasifikasikan menjadi dua (Effendy, 2003 : 40) :

a. Proses komunikasi secara primer

Proses komunikasi secara promer adalah proses penyampaian

pikiran oleh komunikator kepada komunikan dengan mempergunakan suatu lambang (simbol) sebagai media atau saluran. Lambang ini umumnya bahasa, tetapi dalam situasi-situasi komunikasi tertentu lambang-lambang yang dipergunakan dapat berupa kial (gesture),

(17)

b. Proses komunikasi sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan, dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Komunikator menggunakan media kedua ini

karena komunikan yang dijanjikan sasaran komunikasinya jauh tempatnya atau banyak jumlah kedua-duanya, jauh dan banyak. Kalau komunikan jauh, dipergunakan surat maupun telepon; jika banyak dipakailah perangkat pengeras suara; apabila jauh dan banyak; dipergunakan surat kabar, radio atau televisi. Komunikasi sekunder ini semakin lama semakin efektif dan efisien karena didukung oleh teknologi komunikasi yang semakin canggih, yang ditopang pula oleh teknologi-teknologi lainnya yang bukan teknologi komunikasi.

c. Proses komunikasi secara linear

Istilah linear mengandung makna lurus. Jadi poses linear berarti perjalanan dari satu titik ke titik lain secara lurus. Dalam konteks komunikasi, proses linear adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan sebagai titik terminal. Komunikasi linear ini berlangsung baik dalam situasi komunikasi tatap muka (face to face communication) maupun dalam situasi komunikasi bermedia (mediated communication). Proses komunikasi secara linear umumnya berlangsung pada komunikasi bermedia, kecuali komunikasi melalui

telepon. Komunikasi melalui telepon hampir tidak pernah berlangsung secara linear, melainkan dialogisnya, tanya jawab dalam bentuk percakapan.

d. Proses komunikasi secara sirkular

(18)

kepada komunikator. Oleh karena itu ada kalanya feedback tersebut mengalir dari komunikan kepada komunikator itu adalah response

atau tanggapan komunikan terhadap pesan yang akan dia terima dari komunikator. Konsep umpan balik ini dalam proses komunikasi amat penting karena dengan terjadinya umpan balik komunikator

mengetahui apakah komunikasinya itu berhasil atau gagal, nila positif ia patut gembira, sebaliknya jika negative mnejadi permasalahan, sehingga ia harus mengulang lagi dengan perbaikan gaya komunikasinya lagi sampai menimbulkan umpan balik postif.

Di dalam situasi komunikasi tatap muka komunikator akan mengetahui tanggapan komunikan pada saat ia sedang melontarkan pesannya. Umpan balik jenis ini dinamakan immediate feedback (umpan balik seketika atau umpan balik). Umpan balik memainkan peranan yang sangat penting dalam komunikasi sebab ia mennetukan berlanjutnya komunikasi atau berhentinya komunikasi.

2.2.2.4Fungsi Komunikasi

Laswell (Effendy, 2003: 27) menjelaskan bahwa fungsi komunikasi adalah:

1. Manusia mengamati lingkungannya, baik lingkungan internal maupun eksternal untuk terhindar dari ancaman dan nilai masyarakat yang berpengaruh.

2. Terdapat korelasi unsur-unsur masyarakat dalam menanggapi lingkungannya

3. Penyebaran warisan sosial, dalam hal ini berperan sebagai pendidik dalam kehidupan rumah tangga maupun sekolah untuk meneruskan warisan sosial pada keturunan selanjutnya.

Penjelasan di atas, menjelaskan bahwa fungsi komunikasi (Effendy, 2003:

8), yaitu:

1. Menginformasikan (to inform)

(19)

3. Menghibur (to entertain)

4. Mempengaruhi (to influence)

2.2.2.5Tujuan Komunikasi

Menurut Naisbitt (Devito, 1997: 31-32) ada empat tujuan atau motif komunikasi yang perlu dikemukakan. Motif atau tujuan ini tidak perlu

dikemukakan secara sadar, juga tidak perlu mereka yang terlibat menyepakati tujuan komunikasi mereka. Berikut keempat tujuan komunikasi menurut Naisbitt :

1. Menemukan

Salah satu tujuan komunikasi menyangkut penemuan diri (personal ). Bila kita berkomunikasi dengan orang lain, kita belajar mengenai diri sendiri dan orang lain. Dengan berkomunikasi kita dapat memahami secara lebih baik diri kita sendiri dan diri orang lain yang kita ajak berkomunikasi. Tetapi komunikasi memungkinkan kita untuk menemukan dunia luar, dunia yang dipenuhi objek, peristiwa dan manusia lain.

2. Berhubungan

Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan dengan orang lain, membina dan memelihara hubungan dengan orang lain. Kita ingin merasa dicintai dan disukai dan kemudian kita juga ingin mencintai dan menyukai orang lain. Kita menghabiskan banyak waktu dan energi komunikasi kita untuk membina dan memelihara hubungan sosial.

3. Meyakinkan

Media massa ada yang sebagaian besar dapat mengubah sikap dan perilaku kita. Kita juga menghabiskan banyak waktu untuk melakukan persuasi antar pribadi, baik sebagai sumber maupun penerima.

4. Bermain

(20)

2.2.2.6Dampak Komunikasi

Berbicara tentang komunikasi akan ada dampak yang ditimbul dalam sebuah proses komunikasi (Panggalo, 2013: 19), yakni:

1. Dampak Kognitif

Dampak yang timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi

tahu atau meningkat intelektualitasnya. Di sini pesan yang disampaikan komunikator ditujukan kepada si komunikan. Tujuan komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran diri komunikan.

2. Dampak Efektif

Dampak ini lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Di sini tujuan komunikator bukan hanya sekedar supaya komunikan tahu, tapi tergerak hatinya; menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya.

3. Dampak Behavioral

Dampak ini timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan.

2.2.2.7Hambatan Komunikasi

Tidaklah mudah untuk melakukan komunikasi secara efektif. Bahkan bebrapa ahli komunikasi menyatakan bahwa tidak mungkinlah seseorang melakukan komunikasi yang sebenar-benarnya efektif. Ada banyak hambatan yang dapat merusak komunikasi. Berikut ini adalah beberapa hal yang merupakan

hambatan komunikasi yang harus menjadi perhatian bagi komunikator jika ingin komunikasinya sukses (Effendy, 2003 : 45).

1. Gangguan

Ada dua jenis gangguan terhadap jalannya komunikasi yang menurut

(21)

gangguan suara ganda (interfensi) pada pesawat radio, gambar

meliuk-meliuk atau berubah-ubah pada layar televisi, huruf tidak jelas, jalur huruf yang hilang atau terbalik atau halaman yang sobek pada surat kabar. Sedangkan gangguan sematik adalah jenis gangguan yang bersangkutan dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak. Gangguan

sematik ini tersaring ke dalam pesan melalui penggunaan bahasa. Lebih anyak kekacauan mengenai pengertian suatu istilah atau konsep yang terdapat pada komunikator, maka akan leih banyak gangguan sematik dalam pesannya. Gangguan semantic terjadi dalam sebuah kepentingan.

2. Kepentingan

Interest atau kepentingan akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi atau menghayati pesan. Orang akan hanya memperhatikan perangsang yang ada hubungananya dengan kepentingan. Kepentingan bukan hanya mempengaruhi perhatian kita saja tetapi juga menentukan daya tanggap. Perasaan, pikiran dan tingkah laku kita akan merupakan sikap reaktif terhadap segala perangsang yang tidak bersesuai atau bertentangan dengan suatu kepentingan (Effendy, 2003: 47).

3. Motivasi terpendam

Motivation atau motivasi akan mendorong seseorang berbuat sesuatu yang sesuai benar dengan keinginannya, kebutuhan dan kekurangannya. Keinginan, kebutuhan dan kekurangan seseorang berbeda dengan orang lain, dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, sehingga karena

motivasinya itu berbeda intensitasnya. Semakin sesuai komunikasi dengan motivasi seseorang semakin besar kemungkinan komunikasi itu dapat diterima dengan baik oleh pihak yang bersangkutan. Sebaliknya, komunikan akan mengabaikan suatu komunikasi yang tidak sesuai dengan

motivasinya.

4. Prasangka

(22)

menentang komunikator yang hendak melancarkan komunikasi. Dalam

prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasangka tanpa menggunakan pikiran yang rasional.

Prasangka bukan saja dapat terjadi terhadap suatu ras, seperti sering kita dengar, melainkan juga terhadap agama, pendirian politik, pendek kata

suatu perangsang yang dalam pengalaman pernah memberi kesan yang tidak enak.

2.2.3 Gaya Komunikasi

2.2.3.1Defenisi Gaya Komunikasi

Gaya komunikasi didefenisikan sebagai seperangkat perilaku antarpribadi yang terspesialisasi digunakan dalam suatu situasi tertentu. Gaya komunikasi merupakan cara penyampaian dan gaya komunikasi yang baik. Gaya yang dimaksud dapat bertipe verbal atau nonverbal berupa vokalik, bahasa badan, penggunaan waktu, penggunaan ruang dan jarak (Widjaja, 2000: 57). Proses

komunikasi seseorang dipengaruhi oleh gaya komunikasi. Gaya komunikasi antara orang yang satu dengan yang lain dapat berupa perbedaan ciri – ciri model dalam berkomunikasi, tata cara berkomunikasi cara berekspresi dalam berkomunikasi dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada waktu

berkomunikasi.

Setiap orang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Hal tersebut mempengaruhi seseorang dalam cara berkomunikasi baik dalam bentuk perilaku maupun perbuatan atau tindakan. Cara berkomunikasi tersebut disebut gaya komunikasi. Gaya komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antarpribadi yang terspesialisasi digunakan dalam suatu situasi tertentu (a specialized set of intexpersonal behaviors that are used in a given situation). Gaya komunikasi merupakan cara penyampaian dan gaya bahasa yang baik (Herwan, 2007: 7).

(23)

kekhasan yang dimiliki setiap orang dan gaya komunikasi antara orang yang satu

dengan orang lainnya berbeda. Perbedaan antara gaya komunikasi antara satu orang dengan yang lain dapat berupa perbedaan dalam ciri-ciri model dalam berkomunikasi, tata cara berkomunikasi, cara berekspresi dalam berkomunikasi dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada saat berkomunikasi.

Ditambahkan oleh (Widjaja, 2000: 57) Gaya komunikasi merupakan cara penyampaian dan gaya bahasa yang baik. Gaya yang dimaksud sendiri dapat bertipe verbal yang berupa kata-kata atau nonverbal berupa vokalik, bahasa badan, penggunaan waktu, dan penggunaan ruang dan jarak. Pengalaman membuktikan bahwa gaya komunikasi sangat penting dan bermanfaat karena akan memperlancar proses komunikasi dan menciptakan hubungan yang harmonis. Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi yang tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang digunakan, bergantung pada maksud dari pengirim (sender) dan harapan dari penerima (receiver).

Gaya komunikasi tidak tergantung pada tipe seseorang melainkan kepada situasi yang dihadapi. Setiap orang akan menggunakan gaya komunikasi yang berbeda-beda ketika mereka sedang gembira, sedih, marah, tertarik, atau bosan. Begitu juga dengan seseorang yang berbicara dengan sahabat baiknya, orang yang baru dikenal dan dengan anak-anak akan berbicara dengan gaya yang berbeda. Selain itu gaya yang digunakan dipengaruhi oleh banyak faktor, gaya komunikasi

adalah sesuatu yang dinamis dan sangat sulit untuk ditebak. Sebagaimana budaya, gaya komunikasi adalah sesuatu yang relatif.

Norton (1983), Kirtley dan Weaver (1999) (Liliweri, 2011: 309) mendefenisikan gaya komunikasi sebagai proses kognitif yang

(24)

berkomunikasi diungkapkan dalam kata-kata tertentu yang mencirikan gaya

komunikasi. Ini termasuk nada, volume atas semua pesan yang diucapkan.

2.2.3.2Kategori Gaya Komunikasi

Para ahli komunikasi telah mengelompokkan beberapa tipe atau kategori gaya komunikasi Norton (1983), (Liliweri, 2011: 309) ke dalam sepuluh jenis:

1. Gaya dominan (dominan style) adalah gaya seorang individu untuk mengontrol situasi sosial.

2. Gaya dramatis (dramatic style) adalah gaya seorang individu yang selalu “hidup” ketika dia bercakap-cakap.

3. Gaya kontroversial (controversial style) adalah gaya seseorang yang selalu berkomunikasi secara argumentatif atau cepat untuk menantang orang lain.

4. Gaya animasi (animated style) adalah gaya seseorang yang berkomunikasi secara aktif dengan memakai bahasa nonverbal.

5. Gaya berkesan (impression style) adalah gaya berkomunikasi yang merangsang orang lain sehingga mudah diingat, gaya yang sangat mengesankan.

6. Gaya santai (relaxed style) adalah gaya seseorang yang berkomunikasi dengan tenang dan senang, penuh senyum dan tawa.

7. Gaya atentif (attentive style) adalah gaya seseorang yang berkomunikasi dengan memberikan perhatian penuh kepada orang lain, bersikap simpati dan bahkan empati, mendengarkan orang lain dengan

sungguh-sungguh.

8. Gaya terbuka (open style) adalah gaya seseorang yang berkomunikasi secara terbuka yang ditunjukkan dalam tampilan jujur dan mungkin saja blakblakan.

(25)

10. Gaya yang tepat (precise style) adalah gaya yang tepat dimana

komunikator meminta untuk membicarakan suatu konten yang tepat dan akurat dalam komunikasi lisan.

2.2.4 Komunikasi Verbal

2.2.4.1Defenisi Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan maupun tulisan. Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antar manusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan, atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat, dan bertengkar. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal (Mulyana, 2010: 260).

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah

lisan maupun tulisan.Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antar manusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan, atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat, dan

bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan penting (Hardjana, 2003: 22).

Komunikasi verbal selalu berhubungan dengan pesan verbal. Pesan-pesan verbal merupakan tema yang dibicarakan bersama oleh peserta komunikasi. Penyampaian pesan oleh seorang komunikator membutuhkan pengetahuan tentang bentuk-bentuk pesan verbal, masyarakat sasaran (Liliweri, 2001: 193) yang terdiri dari :

1. Struktur pesan: ditujukan oleh pola penyimpulan (tersirat atau tersurat), pola urutan argumentasi (mana yang lebih dahulu, argumentasi yang disenangi atau tidak disenangi), pola obyektifitas (satu atau dua sisi).

(26)

3. Appeals pesan: mengacu pada motif-motif psikologis yang dikandung

pesan (rasional-emosional).

Dalam mempelajari interaksi bahasa dan verbal, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan (Devito, 1997: 117), diantaranya:

1. Kata-kata kurang dapat menggantikan perasaan atau pikiran kompleks

yang ingin kita komunikasikan. Oleh karenanya, kata-kata hanya dapat mendeteksi makna yang kita sampaikan.

2. Kata-kata hanyalah sebagian dari system komunikasi kita. Dalam komunikasi yang sesungguhnya kata-kata kita selalu disertai perasaan nonverbal. Oleh karenanya, pesan-pesan kita merupakan kombinasi.

2.2.5 Bahasa

2.2.5.1Defenisi Bahasa

Bahasa adalah suatu sistem lambang yang memungkinkan orang berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang dipergunakan adalah

bahasa verbal entah lisan, tertulis pada kertas, ataupun elektronik. Bahasa suatu bangsa atau suku berasal dari interaksi dan hubungan antara warganya satu sama lain (Hardjana, 2003: 23).

Barker (Mulyana, 2010:267) berpandangan, keistimewaan bahasa sebagai

sarana transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi. Tanpa bahasa seseorang tidak mungkin bertukar informasi, tidak mungkin menghadirkan semua objek dan tempat untuk kita rujuk dalam komunikasi.

Dalam mempelajari interaksi bahasa dan verbal, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan (Devito, 1997:117), diantaranya :

1. Kata-kata kurang dapat menggantikan perasaan atau pikiran kompleks yang ingin kita komunikasikan. Oleh karenanya, kata-kata hanya dapat mendeteksi makna yang kita sampaikan.

(27)

perasaan nonverbal. Oleh karenanya, pesan-pesan kita merupakan

kombinasi isyarat-isyarat verbal dan nonverbal, dan efektivitasnya bergantung pada bagaimana kedua macam isyarat ini dipadukan.

3. Bahasa adalah institusi sosial dari budaya kita dan mencerminkan budaya tersebut. Pandanglah bahasa dalam suatu konteks sosial, selalu

mempertimbangkan implikasi sosial dari penggunaan bahasa.

Ada tiga teori yang membicarakan sehingga orang bisa memiliki kemampuan berbahasa (Cangara, 2006:105), yaitu:

1. Teori pertama disebut Operant Conditioning yang dikembangkan oleh seorang ahli psikologi behavioristik yang bernama B. F. Skinner. Teori ini menekankan unsur rangsangan (stimulus) dan tanggapan (response) atau lebih dikenal dengan istilah S-R. Teori ini menyatakan bahwa, jika suatu organisme dirangsang oleh stimuli dari luar maka orang cenderung akan memberi reaksi. Anak-anak mengetahui bahasa karena ia diajar oleh orang tuanya atau meniru apa yang diucapkan oleh orang lain.

2. Teori kedua ialah teori kognitif yang dikembangkan oleh Noam Chomsky. Menurutnya kemampuan berbahasa yang ada pada manusia adalah pembawaan biologis yang dibawa dari lahir.

3. Teori ketiga disebut Mediating Theory atau teori penengah. Dikembangkan oleh Charles Osgood. Teori ini menekankan bahwa manusia dalam mengembangkan kemampuannya berbahasa, tidak saja bereaksi terhadap rangsangan (stimuli) yang diterima dari luar, tetapi

juga dipengaruhi oleh proses internal yang terjadi dalam dirinya

Pada dasarnya bahasa adalah suatu sistem lambang yang memungkinkan orang berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang dipergunakan adalah bahasa verbal entah lisan, tertulis pada kertas, ataupun

(28)

2.2.5.2Asal-usul Bahasa

Menurut Melvin DeFleur (Mulyana, 2010: 263) hingga kini belum ada suatu teori pun yang diterima luas mengenai bagaimana bahasa itu muncul ke permukaan bumi. Diduga kuat, bahasa nonverbal lebih dulu muncul sebelum bahasa verbal. Teoretikus kontemporer (Mulyana, 2010: 263) mengatakan bahwa

bahasa adalah ekstensi perilaku sosial. Lebih dari itu, bahasa ucap bergantung pada perkembangan kemampuan untuk menempatkan lidah secara tepat di berbagai lokasi dalam sistem milik manusia yang memungkinkannya membuat berbagai suara kontras yang diperlukan untuk menghasilkan suara.

Cro Magnon adalah nenek moyang kita yang tinggal di gua-gua, mereka memiliki fisik seperti kita, hanya saja mereka lebih tegap dan berotot. Dalam tahap perkembangan, antara 40.000 dan 35.000 tahun yang lalu, Cro Magnon mulai menggunakan bahasa lisan. Karena Cro Magnon dapat berpikir lewat bahasa, maka mereka mampu membuat rencana, konsep, berburu dengan cara yang lebih baik, dan mempertahankan diri dengan lebih efektif dalam lingkungan yang keras dan cuaca yang buruk. Kemudian sekitar 5000 tahun lalu, manusia melakukan transisi komunikasi dengan memasuki era tulisan, sementara bahasa lisan pun terus berkembang. Lalu tahun 2000 sebelum masehi, papirus digunakan secara luas di Mesir untuk menyampaikan pesan tertulis dan merekam informasi. Penyebaran sistem tulisan itu sampai juga ke Yunani, dan bangsa Yunani lah yang kemusian menyempurnakan dan menyederhanakan sistem tulisan ini. Menjelang 500 sebelum masehi, mereka telah menggunakan alfabet ini secara luas. Akhirnya

alfabet Yunani diteruskan ke Roma. Sistem tulisan dan bahasa lisan itu terus berkembang hingga kini. Kita pun memasuki era cetak pada abad 15, dan kemudian disusul oleh era radio, era televisi, dan era komputer. Kesemuanya telah merekam hasil peradaban manusia untuk disempurnakan lagi oleh generasi

mendatang lewat kemampuan mereka dalam berbahasa (Mulyana, 2010: 263-265).

2.2.5.3Fungsi Bahasa

(29)

identifikasi sosial. Penamaan adalah dimensi pertama bahasa dan basis bahasa,

dan pada awalnya itu dilakukan oleh manusia sesuka mereka, kemudian menjadi konveksi.

Menurut Larry L. Barker (Mulyana, 2010: 266), bahasa mempunyai tiga fungsi, yaitu:

1. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Melalui bahasa, kita dapat memperkirakan apa yang akan dikatakan atau dilakukan seseorang. Meskipun gambaran kita mengenai masa depan tidak selalu akurat, setidaknya bahasa memungkinkan kita memikirkan, membicarakan, dan mengantisipasi masa depan.

2. Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Ringkasnya, bahasa memungkinkan kita untuk bergaul dengan orang lain untuk kesenangan kita dan mempengaruhi mereka untuk mencapai tujuan kita. Melalui bahasa, kita dapat mengendalikan lingkungan kita, termasuk orang-orang disekitar kita.

3. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, inilah yang disebut fungsi transmisi informasi dari bahasa. Keistimewaan bahasa sebagai fungsi transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan

kesinambungan budaya dan tradisi kita. Fungsi transmisi informasi memungkinkan kita untuk hidup lebih teratur, saling memahami mengenai diri kita, kepercayaan-kepercayaan kita, dan tujuan-tujuan kita.

Kita tidak selamanya dapat memenuhi ketiga fungsi bahasa tersebut,

(30)

2.2.6 Bahasa Gaul

Sejumlah kata atau istilah punya arti khusus, unik, menyimpang, atau bahkan bertentangan dengan arti yang lazim ketika digunakan oleh orang-orang dari subkultur tertentu. Bahasa subkultur ini disebut bahasa khusus (special language), bahasa gaul, atau argot.Argot digunakan oleh setiap komunitas atau subkultur apa saja, namun argot lebih sering merujuk pada bahasa rahasia yang digunakan oleh kelompok menyimpang (deviajt group), seperti kelompok preman, penjual narkoba, kaum gay/lesbian, kaum waria, kaum pelacur, dan sebagainya (Mulyana, 2010: 311).

Menurut Atmojo (Mulyana, 2010: 312) penciptaan bahasa khusus ini memiliki fungsi tertentu bagi kelompok penggunanya, yaitu:

1. Sebagai kontrabudaya dan sarana pertahanan diri, terutama bagi kelompok yang hidup di lingkungan yang memusuhi mereka. Mereka berkomunikasi dengan bahasa gaul yang tidak dapat dipahami oleh

kelompok luar.

2. Sebagai sarana kebencian kelompok tersebut terhadap budaya dominan, tanpa diketahui dan dihukum oleh kelompok dominan.

3. Sebagai sarana memelihara identitas dan solidaritas kelompok. Argot memungkinkan mereka mengenal orang dalam dan membedakan mereka dengan orang luar.

2.2.6.1Bahasa Waria

Bahasa waria disebut juga bahasa Binan (Oetomo, 2003: 61-70), bahasa Binaria (Emka, 2007: 18), dan bahasa Binanto Warsito (Natalia, 2007: 10) adalah bahasa yang sejak lama berkembang dalam dunia waria dan prokem anak muda di Indonesia. Namun, menurut Emka (2007: 3-5) dan Natalia (2007: 10) mengidentifikasi bahasa waria itu sebagai bagian dari bahasa gaul.

(31)

sudah menjadi satu dengan bahasa gaul atau tren anak muda sekarang. Kita lihat

saja bagaimana kata “eike” bisa sangat popular digunakan sebagai pengganti untuk istilah kata “saya”, “lambreta” untuk menggantikan kata “lambat”, “mehong” untuk menyebutkan kata “mahal”. Memanggil teman kita dengan sebutan “Nek”, dan istilah ‘lekong” sebagai pengganti untuk sebutan “pria”,

“cucok” untuk menyatakan “tampang menawan”. Itu semua tidak hanya digunakan oleh para waria sebagai bahasa mereka dalam berkomunikasi, namun sudah menjadi istilah umum bagi siapa saja.

Penggunaan bahasa binan di kalangan waria merupakan salah satu ciri pembeda yang menunjukkan apakah seseorang itu kerap bergaul dalam komunitasnya ataukah hanya hidup terselubung (yang dilakukan cukup banyak gay kalengan/tertutup karena takut akan stigma dari keluarga dan masyarakat) (Oetomo, 2003:67). Selain itu penggunaan bahasa binan pada kalangan waria agar mereka dengan mudah dan leluasa berkomunikasi dengan sesama waria, khususnya untuk percakapan yang bersifat privacy atau rahasia.

2.3 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu diperlukan untuk mengidentifikasi penelitian serupa yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga peneliti dapat melakukan pembedaan antara penelitiannya dengan penelitian-penelitian tersebut. Berikut ini adalah beberapa penelitian yang digunakan peneliti sebagai penelitian terdahulu:

Penelitian Komunikasi Di Kalangan Waria (Studi Kualitatif dengan Pendekatan Etnografi Komunikasi mengenai Komunikasi di Kalangan Kaum Waria), diteliti oleh Yuliani Susanti, pada tahun 2009, Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung.Fokusdaripenelitianiniadalah untuk mengetahui bagaimanakah komunikasi di kalangan waria. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi komunikasi dan menggunakan jenis

(32)

sekitar. Dalam komunikasi ini terdapat situasi, tindak, dan suatu peristiwa

komunikasi yang unik dan menarik sebagai hasil suatu budaya manusia.

Selanjutnya, penelitian Pola Komunikasi Antarpribadi Waria di Taman Kesatuan Bangsa Kecamatan Wenan, ditulis oleh Winie Wahyu Sumartini M, Deasy M. D. Warouw, dan Anton Boham, Journal “Acta Diurna” Volume III.

No.2, diteliti pada tahun 2014. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan bentuk komunikasi antarpribadi dan pola komunikasi antarpribadi wariadengan sesama waria dan masyarakat nonwaria di Taman Kesatuan Bangsa KecamatanWenang. Topik tentang pola komunikasi waria dipilih karena semakin berkembangnya fenomena keberadaan waria dan bahasanya yang sering kita gunakan sehingga perlu diadakan penelitian tentangwaria. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan subjek penelitiannya adalah waria yang bekerja di seputaran Taman Kesatuan Bangsa Kecamatan Wenang. Informan penelitian dipilih sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi terhadap subjek dan interaksi mereka dengan lingkungannya. Data hasil penelitian dianalisis secara kualitatif dan analisis data dilakukan mulai dari awal, proses hingga selesai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk komunikasi waria ada dua yakni bentuk terbuka dan tertutup dengan menggunakan media verbal dan nonverbal. Bentuk inilah yang nantinya mendasari pola komunikasi yang terjadi dalam komunikasi antarpribadi waria. Pola komunikasi yang terjadi antara waria dengan sesama waria atau dengan masyarakat non-waria yang berada di dalam “lingkaran”

pergaulan mereka adalah pola komunikasi primer, sirkular dan nonformal. Sedangkan pola komunikasi yang terjadi antara waria dan masyarakat nonwaria yang berada di luar “lingkaran” pergaulan mereka adalah primer, linear, dan formal.

(33)

berpartisipasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menyatakan bahwa komunikasi

interpersonal waria dengan sesama menggunakan bahasa campuran, bahasa Indonesia dan bahasa waria. Sedangkan ketika berkomunikasi dengan masyarakat, seorang waria akan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, dan tidak menuntut kemungkinan juga menggunakan bahasa waria jika mereka (nonwaria)

memahami. Komunikasi non verbal yang digunakan waria ketika berkomunikasi interpersonal dengan sesama waria dan masyarakat diantaranya:

1. Berjabat tangan dan cium pipi kanan kiri. 2. Kedekatan hubungan

3. Paralanguage ketika seorang waria menyampaikan komunikasi verbal seperti intonasi tinggi rendahnya suara, kecepatan pengucapannya. Pencapaian dan kepemilikan sesuatu seorang waria juga termasuk dalam komunikasi non verbal

4. Body languange waria yang kemayu dan genit

5. Sentuhan seperti mengelus-elus, ciuman dilakukan seorang waria ketika berkomunikasi interpersonal dengan pasangannya maupun pelanggan Booking online.

6. Uang atau pemberian hadiah untuk seorang laki-laki (pasangan waria) untuk menjalain hubungan selalu dengan waria.

7. Status waria dalam masyarakat seperti banci sebagai sampah masyarakat, atau waria yang sudah menjalankan haji dan umroh.

Adapun hambatan dalam komunikasinya yaitu:

1. Perbedaan watak dari waria dan masyarakat. 2. Perilaku buruk yang ditunjukkan waria. 3. Berbedaan bahasa.

4. Prasangka buruk dari seorang waria ataupun masyarakat dan persepsi

yang salah.

Referensi

Dokumen terkait

Laporan ini menjelaskan mengenai pelayanan yang diterapkan oleh Bengkel Usaha Maju Jaya berdasarkan dari dimensi kualitas pelayanan seperti bukti fisik (tangibles),

Karya video musik Rannisakustik berjudul “Tot Namanya”, “Ibu”, dan “Putri Mencari” ini divisualisasikan menggunakan konsep tarian walaupun dengan porsi yang

e-mail: murtijas@arch.its.ac.id.. Banyaknya museum di Bali tidak menjamin masyarakat Bali mempelajari budaya Bali dengan baik bahkan ada di antara beberapa museum tersebut

Analisa Gaya Dalam pada pelat lantai dilakukan berdasarkan hasil analisa momen positif dan momen negatif menggunakan metode Finite Element dengan bantuan

Berdasarkan hasil bilangan Formzahl (N f = 1,705) maka dapat disimpulkan bahwa tipe pasut di perairan Pantai Slamaran Pekalongan adalah tipe pasut campuran

berdiri sendiri atau dualisme, tetapi lebih mencerminkan suatu dualitas, cirri-ciri struktural sistem sosial adalah sekaligus medium dan hasil praktik sosial yang

Hal tersebut juga demi menggapai kepastian hukum terhadap perbuatan anggota yang menyalahi aturan tersebut serta dinilai dapat mencederai supremasi hukum dalam upaya penegakkan

(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku untuk penyerahan Barang Kena Pajak ke KPBPB oleh pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean kepada