• Tidak ada hasil yang ditemukan

Full Paper P00196

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Full Paper P00196"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

MODEL SOLUSI STRATEGIK

ANALISIS DAMPAK KEPENDUDUKAN

UNTUK MENGATASI PERNIKAHAN

USIA DINI

Oleh:

Drs. Daru Purnomo, M.Si

Dr. Ir. Sri Suwartiningsih, M.Si

Seto Herwandito S.Pd.,M.M.M.Ikom

(3)

ii RI N GK ASAN

Perkawinan usia dini atau perkawinan dini banyak sekali terjadi di wilayah-wilayah di Jawa tengah. Tidak ter-ekspose nya perkawinan dini dikarenakan hal tersebut masih dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan atau bahkan merupakan aib yang harus ditanggung. Kota Salatiga yang dikenal dengan sebutan sebagai titik JOGLOSEMAR (Jogja, Solo dan Semarang) merupakan kota kecil yang menjadi area bertemunya 3 kota besar, dimana banyak anak muda yang mengenyam pendidikan di kota ini. Kerawanan yang timbul adalah banyaknya pernikahan usia dini khususnya dikalangan remaja dan mahasiswa.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari solusi atau model kebijakan yang bisa dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya tentang “Dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota Salatiga”.

Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian diskriptif dengan unit amatan adalah para pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian, pihak yang terkait dengan kebijakan, keluarga atau individu yang melakukan perkawinan usia dini, orang tua dari individu yang melakukan perkawinan usia dini, para pihak terkait dengan kependudukan seperti, Bapermas kota Salatiga, pengurus PKBI, Ikatan Bidan Salatiga, Pemerintah, Akademisi dan Tokoh-tokoh masyarakat. Sedangkan unit analisanya adalah model solusi strategik analisis dampak kependudukan untuk mengatasi pernikahan dini.

Hasil penelitian menunjukkan paling tidak ada beberapa solusi kebijakan terkait dengan penelitian sebelumnya, yaitu: (1) Sosialisasi dan advokasi melalui saluran/jaringan formal maupun informal (memaksimalkan peran TOGA dan Tomas), (2) Internalisasi Kependudukan dan Keluarga Berencana melalui pendidikan sexualitas, kesehatan reproduksi, dan perilaku menyimpang harus dikenalkan sejak dini. (3) Peningkatan kapasitas orang tua dalam mengenalkan sejak dini terkait dengan pendidikan sexualitas kepada anak-anaknya, dan bagaimana membangun kepedulian terhadap kepentingan masa depan anaknya dengan menyediakan lingkungan yang kondusif dan sehat. (4) Perlu adanya media yang cocok yang bisa menjembatani atau menjangkau gap yang terjadi khususnya anak-anak muda dan remaja. (5) Perlunya pengkaderan terhadap kader-kader muda supaya dapat menjangkau anak-anak muda maupun remaja. (6) Penguatan terhadap PIK (Pusat Informasi dan Konseling) dirasa perlu, karena masalah mengenai pernikahan dini ini banyak sekali timbul pada anak muda-mudi. (7) Adanya reward atau imbalan sama seperti pada saat zaman ORBA akan lebih memudahkan BKKBN atau PLKB dalam melakukan sosialisasi. Karena sosialisasi tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat yang peduli terhadap KB

(4)

iii

MODEL SOLUSI STRATEGIK ANALISIS DAMPAK

KEPENDUDUKAN UNTUK MENGATASI PERNIKAHAN USIA DINI

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 5

A. Latar Belakang Masalah ... 5

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Definisi Kebijakan ... 9

B. Kebijakan Publik/ Public Policy ... 10

C. Urgensi Kebijakan Publik ... 12

D. Implementasi Kebijakan Publik ... 13

E. Komunikasi ... 14

Definisi Komunikasi ... 14

Konsep Komunikasi ... 14

F. Proses Komunikasi ... 16

G. Komunikasi Interpersonal ... 17

Komponen-komponen Komunikasi Interpersonal ...18

H. Media ... 19

I. Peran Aktor dan Jejaring Aktor Dalam Implementasi Model ... 20

Kerangka Pikir Penelitian... 21

Bagan Implementasi Model Solusi Strategik ... 22

1. Sosialisasi dan advokasi melalui saluran/jaringan formal maupun informal (memaksimalkan peran TOGA dan Tomas) ... 22

2. Internalisasi Kependudukan dan Keluarga Berencana melalui pendidikan sexualitas, kesehatan reproduksi, dan perilaku menyimpang sejak dini ... 22

3. Peningkatan kapasitas orang tua mengenai pendidikan sex ... 23

(5)

iv 5. Perlunya pengkaderan terhadap kader-kader muda supaya dapat menjangkau

anak-anak muda maupun remaja ... 25

BAB III. METODE PENELITIAN ... 25

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 25

B. Unit Amatan dan Unit Analisa ... 25

C. Teknik Pengumpulan Data ... 25

D. Teknik Analisa Data ... 26

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... . 28

Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini ... 28

1. Faktor Pendidikan (Anak dan Orang Tua) ... 29

2. Rasa Ingin Tahu dan Pergaulan ... 30

3. Lingkungan Keluarga ... 32

4. Pendidikan (Pendidikan Sexualitas) ... 36

Dampak Perkawinan Usia Dini ... 37

 Solusi Yang Pernah Ditawarkan dalam Menangani Pernikahan di Usia Dini ... 39

 Model Solusi Strategik Yang Bisa Diupayakan Berdasar Hasil Penelitian Dampak Perkawinan Usia Dini terhadap Kondisi Sosio-Ekonomi Keluarga di Kota Salatiga, Jawa Tengah ... 42

1. Sosialisasi dan advokasi melalui saluran/jaringan formal maupun informal (memaksimalkan peran TOGA dan Tomas) ... 42

2. Internalisasi Kependudukan dan Keluarga Berencana melalui pendidikan sexualitas, kesehatan reproduksi, dan perilaku menyimpang sejak dini ... 44

3. Peningkatan kapasitas orang tua mengenai pendidikan sex ... 45

4. Perlu adanya media yang sesuai untuk menjangkau gap pada anak-anak muda ... 46

(6)
(7)

1

PENGEMBANGAN MODEL SOLUSI STRATEGIK

ANALISIS DAMPAK KEPENDUDUKAN UNTUK

MENGATASI PERNIKAHAN USIA DINI

Oleh:

Drs.Daru Purnomo, M.Si1, Dr Ir Sri Suwartiningsih, M.Si2 dan Seto Herwandito S.Pd.,M.M.M.Ikom3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan mengenai perkawinan usia muda memang menjadi masalah bersama, tak terkecuali negara Indonesia yang masuk ke dalam negara berkembang Perkawinan usia muda seringkali dikaitkan dengan aborsi yang tidak aman dan kondisi inilah yang memicu penyebab kematian anak umur 15-19 tahun (Gennari 2013; Gray, Azzopardi, Kennedy, Willersdorf, and Creati 2013).

Data dari Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) mengindikasikan bahwa umur spesifik kesuburan atau ASFR ada pada wanita usia 15-19 turun dari 67 kelahiran per 1000 perkawinan di tahun 1991 menjadi 39 kelahiran per 1000 wanita yang melakukan perkawinan di tahun 2007.

Tingginya angka pernikahan anak di negara miskin dan berkembang adalah masalah yang serius dan membutuhkan penanganan yang tepat dan komprehensif. Fenomena pernikahan anak ini terjadi tidak hanya berdasar pada faktor tradisi atau pemahaman agama, tetapi lebih dilandasi faktor ekonomi, kultural, dan sistem sosial yang berlaku dalam lingkungan yang mempraktikkan pernikahan anak. Kurangnya pendidikan, keterbukaan informasi mengenai hak asasi manusia khususnya hak anak, ketidaktahuan akan dampak buruk yang bisa dialami anak yang menikah di usia muda, serta persepsi bahwa anak perempuan adalah objek menjadi faktor-faktor pendukung keberlangsungan pernikahan anak.

1

Dekan Fakult as Ilm u Sosial dan Ilm u Kom unikasi, Universit as Krist en Sat ya Wacana, Salatiga

2

St aff Pengajar Pada Fakult as Ilm u Sosial dan Ilm u Kom unikasi Universit as Krist en Sat ya Wacana, Salat iga

3

(8)

2 Kota Salatiga yang merupakan kota kecil pertemuan JOGLOSEMAR (Solo, Jogja dan Semarang) dimana banyak anak muda yang mengenyam pendidikan di kota ini. Kerawanan yang terjadi dengan banyaknya anak muda adalah terjadi pernikahan usia muda. Penelitian4 yang dilakukan di Salatiga memguatkan bahwa ada beberapa faktor yang menjadikan banyak terjadinya perkawinan usia muda di kota ini.

Faktor-faktor tersebut adalah, Pertama, faktor pendidikan anak dan orang tua, dimana faktor ini menjadi salah satu variable terhadap ketidak-tahuan hukum struktural terkait dengan kebijakan perkawinan dan pentingnya menghindari perkawinan usia dini. Kondisi ini menyebabkan acuan perkawinan berdasarkan pada adat tradisi yang berlaku atau terjadi di lingkungannya. Demikian halnya rendahnya pendidikan anak karena ketiadaan biaya (terutama perempuan) menyebabkan ketidak-berdayaan/ kerentanan perempuan untuk mampu menolak keinginan orang tua (berumah tangga).

Tabel 1. Banyaknya Penduduk Usia 10 thn Keatas yang Bekerja

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2013

4

(9)

3 Kedua, faktor mengenai pendidikan sexualitas, dimana faktor ini merupakan penyebab awal terjadinya perkawinan usia muda. “Kecelakaan” atau hamil di luar nikah pada usia muda. Minimnya pengetahuan mengenai hal ini menyebabkan anak muda tidak memperoleh informasi secara benar, sehingga akan memicu rasa ingin tahu anak muda untuk mencobanya. Selain itu adanya internet serta media lain menyebabkan anak muda atau remaja secara leluasa dapat mencari dan memperoleh secara mudah. Alhasil informasi tersebut merupakan stimulus yang kuat, dorongan internal yang menyebabkan banyaknya hormon yang dihasilkan untuk memberi dorongan siswa/remaja/anak muda untuk mencoba melakukan hubungan seks.

Tabel 2. Banyaknya Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin 2013

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2013

(10)

4 keluarga terutama anak-anak. Selain itu lingkungan pertemanan yang kurang sehat menjadi variable terjadinya hubungan sex pra-nikah dan menjadi factor potensial terjadinya perkawinan usia muda.

Ketiga hal diatas merupakan faktor-faktor yang berpotensi terjadinya perkawinan usia muda. Selain faktor-faktor tersebut yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda, ada dua dampak dari perkawinan usia muda, yaitu:

 Dampak social-psychologis. Dimana dampak ini dirasakan oleh kaum perempuan yang melakukan perkawinan usia muda, dampak ini meliputi angka putus sekolah karena “terpaksa”, tertutupnya masa depan (social climbing jauh dari jangkauan), tingkat stress yang tinggi karena merasa malu, dan belum siap sebagai ibu rumah tangga.

 Dampak secara ekonomi pada pasangan yang melakukan perkawinan usia muda. Pada dasarnya secara ekonomi pasangan yang melakukan perkawinan usia muda sama sekali belum siap, karena masih sekolah/ kuliah dan belum memiliki pekerjaan, sehingga potensi terjadinya disharmonisasi keluarga sangat kuat yang disebabkan karena tekanan ekonomi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja model/ design kebijakan yang bisa direncanakan terhadap perkawinan usia muda di kota Salatiga?

2. Kebijakan apa saja yang terkait dengan dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota Salatiga?

C. Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan model-model atau design kebijakan-kebijakan yang bisa direncanakan terhadap perkawinan usia muda di Kota Salatiga.

2. Menjelaskan kebijakan terkait dengan dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota Salatiga

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran mengenai model-model atau design kebijakan-kebijakan yang bisa direncanakan terhadap perkawinan usia muda di Kota Salatiga.

(11)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kebijakan

Jika melihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)5 kata Kebijakan memiliki arti rangkaian konsep dan asas yg menjadi garis besar dan dasar rencana dl pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tt pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sbg garis pedoman untuk manajemen dl usaha mencapai sasaran; garis haluan. Hal ini berarti bawah kebijakan merupakan prinsip-prinsip yang dibuat untuk mewujudkan tujuan yang dibuat pula. Suharto (2005:7) mengemukakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengerahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana, dan konsistensi dalam mencapai tujuan tertentu.

Kebijakan atau membuat kebijakan merupakan suatu alat yang penting dalam dalam tahapan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan kebijakan, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Oleh sebab itu didalam perumusan kebijakan haruslah matang dan bersifat adil. Untuk membuat suatu kebijakan diperlukan para ahli yang harus menguasai makna kebijakan dan bidang yang akan dijadikan suatu kebijakan.

Kebijakan publik mnejadi fungsi yang penting dari pemerintahan. Pembuatan kebijakan publik diperlukan kemammpuan dan pemahaman yang memadai dari si pembuat kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Selain itu pembuat kebijakan haruslah mengerti dan paham mengenai prosedur pembuatan kebijakan. Tak lupa bahwa supaya kebijakan ublik dapat terwujud secara cepat, tepat, dan memadai perlu diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik terhadap kewenangan yang dimiliki.

Gerston (2002), mengungkapkan bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung jawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya. Beliau juga nemabhakan hal yang penting lainnya adalah bagaimana memberikan pemahaman mengenai akuntabilitas dari semua pembuat kebijakan kepada masyarakat yang dilayaninya (Gerston, 2002: 14). Dapat dipastikan apabila jika pembuatan kebijakan publik mempertimbangkan berbagai aspek dan dimensi yang terkait, maka pada akhirnya sebuah kebijakan publik dapat dipertanggungjawabkan secara utuh.

5

(12)

6 Berdasarkan buku Public Policy Making: An Introduction (Anderson, 2006: 122-127) terdapat 3 teori yang dapat digunakan dalam proses perumusan kebijakan serta kriteria yang dapat digunakan yaitu:

a. Teori rasional-komprehensif; adalah teori yang intinya mengarahkan agar pembuatan sebuah

kebijakan publik dilakukan secara rasional-komprehensif dengan mempelajari permasalahan dan alternatif kebijakan secara memadai.

b. Teori incremental; adalah teori yang intinya tidak melakukan perbandingan terhadap

permasalahan dan alternatif serta lebih memberikan deskripsi mengenai cara yang dapat diambil dalam membuat kebijakan.

c. Teori mixed scanning; adalah teori yang intinya menggabungkan antara teori

rasional-komprehensif dengan teori inkremental.

Selain itu, Anderson juga mengemukakan enam kriteria yang harus dipertimbangkan dalam memilih kebijakan, yaitu: (1) nilai-nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi, individu, kebijakan maupun ideologi; (2) afiliasi partai politik; (3) kepentingan konstituen; (4) opini publik; (5) penghormatan terhadap pihak lain; serta (6) aturan kebijakan (Anderson, 2006:127-137).

B. Kebijakan Publik/ Public Policy

Kebijakan publik merupakan suatu ilmu multidisipliner karena melibatkan banyak disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi. Studi kebijakan berkembang pada awal 1970-an terutama melalui tulisan Harold D. Laswell. Definisi dari kebijakan publik yang paling awal dikemukakan oleh Harold Laswell dan Abraham Kaplan dalam Howlett dan Ramesh (1995:2) yang mendefinisikan kebijakan publik/public policy sebagai “suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktik-praktik tertentu (a projected of goals, values, and practices)”. Senada dengan definisi ini, George C. Edwards III dan Ira Sharkansky dalam Suwitri (2008: 10) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “suatu tindakan pemerintah yang berupa program-program pemerintah untuk pencapaian sasaran atau tujuan”. Dari dua definisi di atas kita bisa melihat bahwa kebijakan publik memiliki kata kunci “tujuan”, “nilai-nilai”, dan “praktik”. Kebijakan publik selalu memiliki tujuan, seperti kebijakan pemerintah untuk menggantikan konsumsi minyak tanah dengan LPG adalah untuk menghemat subsidi negara. Praktik yang dilaksanakan adalah dengan mendistribusikan kompor gas dan tabung LPG 3 kg secara cuma-cuma kepada masyarakat.

(13)

7 perbedaan yang dihasilkannya (what government did, why they do it, and what differences it makes)”. Dalam pemahaman bahwa “keputusan” termasuk juga ketika pemerintah memutuskan untuk “tidak memutuskan” atau memutuskan untuk “tidak mengurus” suatu isu, maka pemahaman ini juga merujuk pada definisi Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho (2008:185) yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan “segala sesuatu yang dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah”.

Kebijakan memiliki banyak pengertian, Suharto (2005:7) mengemukakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengerahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana, dan konsistensi dalam mencapai tujuan tertentu.

Sedangkan Wahab (2008:32) mengemukakan beberapa bentuk kebijakan publik yang secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga:

a. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum/mendasar. Sesuai dengan UU No.10/2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 7, hirarkinya yaitu; (1) UUD Negara RI Thn 1945; (2) UUD/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; (3) Pereaturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah.

b. Kebijakan publik yang bersifat meso (menengah) atau penjelas pelaksana, dimana kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati. Kebijakannya dapat pula berbentuk surat keputusan bersama antar Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota.

c. Kebijakan publik yang bersifat mikro, adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementai dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota.

(14)

8 Pemerintah tidak mengerjakan sesuatu pun termasuk dalam katagori kebijakan, karena hal itu merupakan sebuah keputusan. Biasanya pertimbangan yg digunakan adalah dampak yang lebih buruk akan muncul jika keputusan .Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kebijakan publik sangat dominan dipengaruhi oleh lingkungan kebijakan ( policy environment). Kebijakan publik adalah faktor yg meleverage kehidupan bersama.

Dalam teori Pareto dikatakan bahwa kebijakan publik adalah faktor 20% yang menyebabkan terjadinya yang 80%. Kebijakan publik merupakan faktor kritikal bagi kemajuan atau kemunduran bangsa. (Nugroho,2002) Sehebat apapun demokrasi jika sistem politik nya tidak mampu mengembangkan kebijakan publik yang unggul,tidak ada gunanya.

Kebijakan publik adalah output paling nyata dari setiap sistem politik. Kebijakan publik adalah bentuk riil dari politik. Biasanya publik dikaitkan dengan pemerintah, karena hanya pemerintahlah yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengatur masyarakat dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum (public service). Kewenangan untuk mengatur masyarakat hanya dimiliki oleh pemerintah , biasanya diatur dalam hukum dasar sebuah negara. UUD 45 dalam pembukaannya mengatakan:”… untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia maka dibentuk pemerintah Negara Indonesia”.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan pemerintahan mencakup pengertian yang luas, baik itu MPR, DPR, BPK, MA, dan Pemda-Pemda. Dalam pengertian ini maka pemerintahan identik dengan negara. Pada hakekatnya, kebijakan publik merupakan kewenangan yang dimiliki pemerintah baik di pusat maupun di daerah untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan masyarakat. Agar kehidupan masyarakat teratur, tertib dan sejahtera.Walaupun mengintervensi tetapi sah karena didasarkan pada aturan yang jelas. Kewenangan pemerintah meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Tidak ada satu pun organisasi lain yang kewenangannya seperti itu.Kebijakan publik memiliki kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. (memiliki hak Otoritatif). Kebijakan publik tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan strategis, oleh karena itu berfungsi sebagai pedoman umum untuk keputusan-keputusan khusus di bawahnya.

C. Urgensi Kebijakan Publik

(15)

9 (dalam Pilkada langsung. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap tindakan pemerintah pasti akan menimbulkan akibat pada masyarakat, baik itu yang bersifat positif maupun negatif.

Di lain pihak tidak semua kebijakan publik dapat memenuhi semua aspirasi dan kepentingan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam proses perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan sangat dibutuhkan agar mereka dapat memperjuangkan aspirasinya dan menuntut haknya secara proporsional agar tidak dirugikan sesuai dengan aturan yang berlaku, artinya tidak memaksakan kehendak apalagi bertindak anarkis.

Di banyak negara berkembang partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik hanya bersifat pasif, namun dalam perkembangannya, terutama di Indonesia masyarakat mengalami kemajuan pesat, mereka sangat sensitif dan reaktif serta aktif mengkritisi kebijakan publik.

Partisipasi politik masyarakat dalam proses kebijakan ,tujuannya jelas mempengaruhi kebijakan pemerintah agar tidak menimbulkan akibat buruk terhadap kehidupan dirinya, keluarga atau kelompoknya. Partisipasi masyarakat dapat bersifat positif seperti menjadi konstituen dalam pemilu, mentaati aturan dan anjuran pemerintah, mendukung programprogram pemerintah. Bersifat negatif, dengan cara melakukan penolakan atau pembangkangan terhadap kebijakan yang telah disahkan dengan cara demonstratif menggalang massa melakukan tindakan pengrusakan dan anarkhis.

Dengan adanya pemahaman tentang arti dan pentingya kebijakan publik bagi masyarakat, maka diharapkan dapat menghindari dan mengendalikan setiap tindakan yang menimbulkan kerusakan, artinya reaksi penolakan dapat dilakukan secara konstitusional dengan melibatkan DPRD, atau berdialog langsung dengan aparat pemerintah. Jika partisipasi masyarakat terwujud seperti ini, maka menunjukkan bahwa demokasi di Indonesia telah berjalan dengan baik, setaraf dengan demokrasi negaranegara maju, seperti Amerika Serikat misalnya ,yang selama ini menilai negatif pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan mencap Indonesia , sebagai negara otoriter.

D. Implementasi Kebijakan Publik

(16)

10 tahapan evaluasi kebijakan, akan menghasilkan penilaian bahwa antara formulasi dan implementasi kebijakan tidak seiring sejalan, bahwa implementasi dari kebijakan itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, bahkan menjadikan produk kebijakan itu sebagai batu sandungan bagi pembuat kebijakan itu sendiri.

Berkenaan dengan doman implementasi kebijakan tersebut, Edwar III (1980: 1) menegaskan: “The study of policy implementatation is crusial for the study of public administration and public policy. Policy implementation, as we have seen, is the stage of

policy-makingbetween the establishment of a policy suchas the passage of a legislative act,

the issuing of an executive order, the handling down of a judicial decision, or the

promulgation of a regulatory rule and the consequences of the policy forthe people whom it

affects. If a policy is inappropriate, if it cannot alleviate the problem for which it was

designed, it will probably be a failure no matter how well it is implemented. But even a

brilliantpolicy poorly implemented may fail to achieve the goals of its designers”.

E. Komunikasi

Definisi Komunikasi

Ditinjau dari etimologi, komunikasi berasal dari kata communicare yang berarti “membuat sama”. Definisi kontemporer menyatakan bahwa komunikasi berarti “mengirim pesan”. Menurut (Effendy.2003: 9) istilah komunikasi (communication) berasal dari kata latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna.Berbicara mengenai definisi komunikasi tidak ada definisi yang salah dan benar secara absolute.

Namun definisi kontemporer menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada kalimat “mendiskusikan makna”, ”mengirim pesan” dan ”penyampaian pesan lewat media”. Apapun istilah yang dipakai, secara umum komunikasi mengandung pengertian “memberikan informasi, pesan, atau gagasan pada orang lain dengan maksud agar orang lain tersebut memiliki kesamaan informasi, pesan atau gagasan dengan pengirim pesan.

Konsep Komunikasi

(17)

11 hanya membatasi unsur sengaja atau tidak sengaja, adanya respon teramati atau tidak teramati namun juga seluruh transaksi perilaku saat berlangsungnya komunikasi yang lebih cenderung pada komunikasi berorientasi penerima. Saat dosen memberi kuliah, komunikasi bukan saja berdasarkan fakta bahwa mahasiswa menafsirkan isi kuliah tetapi juga dosen menafsirkan perilaku anggukan atau kerutan kening mahasiswa.

Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain perkataan, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan antara kedua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya, selain mengerti bahasa yang dipergunakan juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan.

Akan tetapi pengertian komunikasi yang dipaparkan di atas sifatnya sangat fundamental, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya informative, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasive, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan melakukan suatu perbuatan atau kegiatan dan lain-lain.

Pentingnya komunikasi bagi kehidupan sosial, budaya, pendid ikan dan politik sudah disadari oleh para cendikiawan sejak Aristoteles hanya sekedar berkisar pada retorika dalam lingkungan kecil. Baru pada pertengahan abad ke-20 ketika dunia dirasakan semakin kecil akibat revolusi industri dan revolusi teknoligi elektronik, maka para cedikiawan pada abad sekarang menyadari pentingnya komunikasi ditingkatkan dari pengetahuan (knowledge) menjadi ilmu (science).

(18)

12 Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikutip oleh Harold Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komuniksi adalah menjawab pertanyaan sebagai berikut: What says what in which channel to whom with what effect? (Lasswell. 1972).Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:

- Komunikator (communicator, source, sender) - Pesan (message)

- Media (channel, media)

- Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient) - Efek (effect, impact, influence)

Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Lasswell menghendaki agar komunikasi dijadikan objek studi ilmiah, bahkan setiap unsur diteliti secara khusus. Studi mengenai komunikator dinamakan control analysis; penelitian mengenai pers, radio, televisi, film dan media lainnya disebut media analysis; penyelidikan mengenai pesan dinamai content analysis, audience analysis adalah studi khusus tentang komunikan, sedangkan effect analysis merupakan penelitian mengenai efek atau dampak yang ditimbulkan oleh komunikasi.

Demikian kelengkapan unsur komunikasi menurut Harold Lasswell yang mutlak harus ada dalam setiap prosesnya.

F. Proses Komunikasi

Proses komunikasiPhilip Kotler dalam bukunya, Marketing Management, berdasarkan paradigma Harold Lasswell menampilkan model proses komunikasi. Model ini secara lebih jelas bisa dilihat dalam gambar berikut:

Unsur-unsur dalam proses komunikasi ini melipuiti:

- Sender: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang. - Encoding: Penyandaian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang.

- Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.

(19)

13 - Decoding: Penguraian sandi, yakni proses di mana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.

- Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator.

- Response: Tanggapan, seperangkat reaksi dari komunikan setelah diterpa pesan.

- Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator.

- Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.

Model komunikasi di atas menegaskan faktor-faktor kunci dalam komunikasi efektif. Komunikator harus tahu khalayak mana yang akan dijadikannya sasaran dan tanggapan apa yang diinginkannya. Ia harus terampil menyandi pesan dengan memperhitungkan bagaimana komunikan biasanya mengurai sandi pesan. Komunikator harus mengirimkan pesan melalui media yang efisien dalam mencapai khlayak sasaran.

Proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Adakalanya seseorang menyampaikan buah pikirannya kepada orang lain tanpa menampakkan perasaan tertentu. Pada saat lain seseorang menyampaikan perasaannya kepada orang lain tanpa pemikiran. Tidak jarang pula seseorang menyampaikan pikirannya disertai perasaan tertentu disadari atau tidak disadari. Komunikasi akan berhasil apabila pikiran disampaikan dengan menggunakan perasaan yang disadari, sebaiknya komunikasi akan gagal jika sewaktu menyampaikan pikiran, perasaan tidak terkontrol.

G. Komunikasi Interpersonal6

Secara konstektual, komunikasi interpersonal digambarkan sebagai suatu komunikasi antara dua individu atau sedikit individu, yang mana saling berinteraksi, saling memberikan umpan balik satu sama lain. Namun, memberikan definisi konstektual saja tidak cukup untuk menggambarkan komunikasi interpersonal karena setiapinteraksi antara satu individu dengan individu lain berbeda-beda.

Arni Muhammad (2005:159) menyatakan bahwa “komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi diantara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau

6

(20)

14 biasanya di antara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya”. Mulyana (2000: 73) menyatakan bahwa “komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya”. Dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses penyampaian informasi, pikiran dan sikap tertentu antara dua orang atau lebih yang terjadi pergantian pesan baik sebagai komunikan maupun komunikator dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian, mengenai masalah yang akan dibicarakan yang akhirnya diharapkan terjadi perubahan perilaku.

Komponen-komponen Komunikasi Interpersonal

Dari pengertian komunikasi interpersonal yang telah diuraikan di atas, dapat diidentifikasikan beberapa komponen yang harus ada dalam komunikasi interpersonal. Menurut Suranto A. W (2011: 9) komponen-komponen komunikasi interpersonal yaitu:

1. Sumber/ komunikator 2. Encoding

3. Pesan 4. Saluran

5. Penerima/ Komunikan 6. Decoding

7. Respon 8. Gangguan

9. Konteks Komunikasi

Komunikasi interpersonal merupakan suatu proses pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. Orang yang saling berkomunikasi tersebut adalah sumber dan penerima. Sumber melakukan encoding untuk menciptakan dan memformulasikan menggunakan saluran. Penerima melakukan decoding untuk memahami pesan, dan selanjutnya menyampaikan respon atau umpan balik. Tidak dapat dihindarkan bahwa proses komunikasi senantiasa terkait dengan konteks tertentu, misalnya konteks waktu. Hambatan dapat terjadi pada sumber, encoding, pesan, saluran, decoding, maupun pada diri penerima.

Komunikasi yang efektif7 ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Begitupun, komunikasi interpersonal dikatakan efektif apabila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan. Komunikasi bukan hanya sekedar

7

(21)

15 menyampaikan isi pesan, namun juga menentukan kadar hubungan interpersonal. Memahami proses komunikasi interpersonal menuntut pemahaman hubungansimbiotis antara komunikasi dengan perkembangan relasional. Komunikasi mempengaruhi perkembangan relasional dan perkembangan relasional mempengaruhi sifat komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut.

H. Media

Dalam mengkomunikasikan pesan, diperlukan sebuah media yang8 tepat untuk dapat menyampaikan pesan tersebut. Ini dimaksudakan agar makna dari pesan yang disampaikan tersebut dapat diterima dengan tepat oleh khalayaknya. Proses penyampaian pesan melalui media yang tepat merupakan bagian yang tidak kalah pentingnya dengan pesan itu sendiri.

Hal ini diungkapkan oleh Marshall McLuhan (dalam Griffin, 2003: 344). McLuhan mengungkapkan bahwa dengan pemilihan media yang tepat, maka penyampaian pesan tersebut dapat menjadi lebih efektif dan makna pesan dapat diterima lebih baik oleh khalayak (audience). McLuhan juga mengatakan bahwa pemilihan media ini dapat memberikan persepsi dan penerimaan yang berbeda-beda terhadap pesan yang dibawa oleh komunikator.

Contohnya adalah ajakan untuk dapat mencuci tangan dengan menggunakan sabun. Apabila pesan ini hanya disampaikan melalui media cetak saja (koran), maka dapat dipastikan bahwa khalayak yang menjadi sasaran (target-audience) dari pesan tersebut tidak dapat dicapai mengingat pesan tersebut ditujukan untuk anak-anak hingga orang dewasa. Oleh sebab itu, pesan tersebut disampaikan melalui media elektronik (televisi). Sehingga anak-anak dapat menyaksikan iklan tersebut dan mulai membiasakan diri untuk mencuci tangan dengan menggunakan sabun.

Contoh lain yang berkaitan dengan media adalah pada saat PLKB hendak melakukan sosialisasi mengenai KB terhadap masyarakat. Di sini pemilihan media haruslah sesuai dengan karakter masyarakat tersebut. Perlu dipahami dan dimengerti mengenai media apa yang sesuai dengan kebuituhan dan antusiasme masyarakat. Semisal media video, drama, dan lain sebagainya bisa dipakai untuk sosialisasi KB kepada masyarakat

Tak hanya itu saja, media juga merupakan sebuah alat yang dapat membantu proses transmisi pesan kepada komunikan, baik itu dalam proses produksi pesan dengan menggunakan bantuan media hingga proses distribusi pesan melalui media (Ruben and Stewart, 2006: 189). Melalui bantuan media, komunikator dapat memproduksi pesan yang bervariasi.

8

(22)

16 I. Peran Aktor dan Jejaring Aktor Dalam Implementasi Model

Dalam implementasi model solusi peran actor dan jejaring actor sangat menentukan keberhasilan suatu tindakan (program). Menurut Teori Jaringan Aktor atau Actor Network Theory yang dikembangkan oleh Bruno Latour, Michael Callon, dan John Law (1992) berpendapat bahwa masyarakat itu bukan hanya sekedar berisi unsur-unsur individu manusia serta norma yang mengatur kehidupan mereka, tetapi lebih dari itu dia bergerak dalam sebuah “jaringan”.

Dalam teori ini dikembangkan konsep mengenai Jaringan-Aktor-Translasi, dan Intermediari. Konsep jaringan tidak hanya berfokus pada relasi sosial aktor manusia, tetapi mencakup aktor-aktor nonmanusia--yaitu sebuah jaringan heterogen (beragam). Aktor didefinisikan sebagai sesuatu yang ikut beraksi, yang bukan hanya manusia, melainkan juga merupakan obyek teknis. Translasi berarti penjajakan dan penyesuaian aksi-aksi yang berlangsung antara aktor-aktor sampai tercapai suatu relasi yang stabil sehingga obyek teknis dapat terus berfungsi. Sedangkan intermediari adalah aktor yang ”bersirkulasi” di antara aktor-aktor dan yang memelihara relasi di antara mereka.

(23)
(24)

18

Bagan Implementasi Model Solusi Strategik

1. Sosialisasi dan advokasi melalui saluran/jaringan formal maupun informal

(memaksimalkan peran TOGA dan Tomas)

2. Internalisasi Kependudukan dan Keluarga Berencana melalui pendidikan sexualitas,

kesehatan reproduksi, dan perilaku menyimpang sejak dini.

(25)

19 3. Peningkatan kapasitas orang tua mengenai pendidikan sex

4. Perlu adanya media yang sesuai untuk menjangkau gap pada anak-anak muda.

(26)

20 5. Perlunya pengkaderan terhadap kader-kader muda supaya dapat menjangkau

anak-anak muda maupun remaja.

OUT COM E

M ETODE

AKTOR

Tidak Langsung Langsung

Lem baga

pendidikan PLKB/ PIK / GENRE

Pem erint ah Pem aham an

Sex t idak t abu

Org t ua t ahu dan m engert i m engenai pendidikan sex, perilaku m enim pang dan KB

(27)

21

BAB 3.

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian diskriptif. Pendekatan dan jenis penelitian ini digunakan agar diperoleh suatu pencandraan terhadap kasus perkawinan usia dini secara lebih mendalam sehingga diperoleh suatu gambaran yang mendalam terkait dengan substansi permasalahannya.

B. Unit Amatan dan Unit Analisa

Satuan amatan adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisis (Ihalauw, 2004:178). Oleh karena itu, yang menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalah para pihak yang terkait dengan kebijakan, dengan key informan meliputi: keluarga atau individu yang melakukan perkawinan usia dini, orang tua dari individu yang melakukan perkawinan usia dini, para pihak terkait dengan kependudukan seperti, Bapermas kota Salatiga, pengurus PKBI, Ikatan Bidan Salatiga, Pemerintah, Akademisi dan Tokoh-tokoh masyarakat.

Terkait dengan unit analisa, Abell (dalam Ihalauw, 2004:174) menyatakan bahwa satuan analisis adalah hakekat dari populasi yang tentangnya hasil penelitian berlaku. Unit Analisis dalam penelitian ini adalah Tokoh-tokoh yang ada di masyarakat, tokoh pemuda, perempuan, agama, pemuda, akademisi, PLKB, Bapermas

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi, yaitu teknik yang mengabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang ada. Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda dari sumber data yang sama, atau dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang sama dari sumber data yang berbeda.

(28)

22 Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan tanya jawab kepada informan yang dilakukan untuk memperoleh gambaran dan infromasi yang seluas-luasnya berkaitan dengan persoalan yang diteliti.

2. Observasi partisipatif.

Observasi partisipatif yaitu teknik pengambilan data dimana peneliti terlibat dalam kegiatan sehari-hari sumber data. Lebih lanjut Stainback dalam (Sugiyono, 2006: 256), menyatakan bahwa dalam observasi partisipatif, peneliti mengamati yang dikerjakan orang yang dileliti, mendengarkan yang diucapkan orang yang diteliti dan berpartisipasi dalam aktivitas orang yang diteliti.

3. Study Dokumen.

Dalam rangka memperoleh gambaran yang obyektif dan utuh atas fakta – fakta yang dilapangan maka study dokumen perlu dilakukan. Kajian pustaka. Study dokumen dilakukan untuk melengkapi hasil wawancara dan observasi dalam penelitian kualitatif. Studi dokumen yaitu menghimpun data dari berbagai literature yang berhubungan dengan topik skripsi ini. Dokumen dapat berupa dokumen tertulis dan tidak tertulis. Dokumen tertulis dapat berupa sejarah kehidupan, peraturan, kebijakan, karya tulis, sedangkan dokumen dalam bentuk tidak tertulis dapat berupa gambar dan foto.

Selain menggunakan teknik tersebut diatas, peneliti dalam penggumpulan data pada awalnya juga akan menggunakan metode FGD (Fokus Group Diskusion), akan tetapi oleh karena mempertemukan para pihak yang meliputi pelaku perkawinan usia dini, eksekutif, pengurus MUI Salatiga, PKBI tidak dapat dilakukan maka pengunaan teknik FGD dibatalkan.

D. Teknik Analisa Data

(29)

23 dan Huberman 1992: 15-16). Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan melalui tiga tahap (Sugiyono, 2006: 276-284).

1. Tahap Reduksi Data.

Mereduksi data merupakan kegiatan merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dari setiap data yang diperoleh dilapangan. Pada tahap ini peneliti melakukan reduksi data dengan memilih mana data yang penting, membuat kategori dan memilah data yang tidak penting. Reduksi data akan memberikan gambaran yang jelas, dan akan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya untuk memperlengkapi data yang dicari.

2. Tahap Penyajian Data (Data Display).

Dalam penelitian kualitatif penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowcahart. Lebih lanjut Miles and Huberman dalam (Sugiyono, 2006 : 280) menyatakan bahwa paling sering penyajian data dalam kualitatif disajikan dalam bentuk teks yang bersifat naratif. Data display dapat juga berupa grafik, matrik, network (jejaring kerja), dan chart.

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verification).

(30)

24

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dipaparkan hasil penelitian sebelumnya dari penelitian “Dampak Perkawinan Usia Dini terhadap Kondisi Sosio-Ekonomi Keluarga di Kota Salatiga, Jawa Tengah oleh Daru Purnomo, Sri Suwartiningsih dan Seto Herwandito” yang terkait dengan faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda dan dampaknya terhadap kondisi sosio-ekonomi keluarga.

Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini

Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:  Masalah ekonomi keluarga

 Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya

 Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992: 65).

Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu:

 Ekonomi, Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu

 Pendidikan, Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur

 Faktor orang tua, Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya

 Media massa, Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks

(31)

25 1. Faktor Pendidikan (Anak dan Orang Tua)

Banyak peneltian yang menunjukkan bahwa faktor pendidikan baik pendidikan orang tua ataupun pendidikan formal si anak merupakan salah satu variabel (yang mungkin tidak berdiri sendiri) yang menyebabkan terjadinya perkawinan dini. Pendidikan yang rendah atau putus sekolah mau tidak mau menjadi peluang terjadinya perkawinan usia dini, karena tidak adanya kegiatan yang bersifat formal yang membatasi terjadinya suatu peristiwa perkawinan. Berdasarkan hasil penelitian Rafidah dkk (2009) menyatakan bahwa jika pasangan memiliki pendidikan yang rendah, maka potensi untuk melakukan pernikahan dini (nikah pada usia < 20 tahun) adalah 2,9 kali lebih besar jika dibandingkan meraka yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi.

Demikian halnya penelitian yang dilakukan oleh East West Center (EWC) menunjukkan bahwa Usia Kawin Pertama (UKp) berkorelasi dengan tingkat pendidikan dan daerah tempat tinggal. Perempuan daerah pedesaan dengan tingkat pendidikan rendah cenderung UKP-nya tinggi, dimana UKP < 18 tahun perempuan yang berpendidikan SD sebesar 50%, SMP 40%, dan 10 % berpendidikan > SMP. Proporsi ini agak berbeda pada perempuan yang ada di perkotaan dimana masing-masing proporsi UKP-nya adalah sebagai berikut: SD sebesar 40%, SMP sebesar 20%, dan diatas SMP sebesar 5%.

Berdasarkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa hasil-hasil penelitian sebelumnya semakin memperkuat temuan penelitian ini, hal ini nampak dari pernyataan Siti Latifah9 yang melakukan UKP pada usia 16 tahun dengan tingkat pendidikan lulus SMP, demikian halnya dengan tingkat pendidikan orang tua yang bersangkutan yang hanya mengenyam bangku SD. Dalam kasus ini faktor pendidikan (putus sekolah karena ketiadaan biaya) menjadi faktor pendorong kenapa Latifah akhirnya memutuskan untuk menikah, namun demikian ada faktor lain yaitu desakan orang tua dan juga ketidak-tahuan hukum struktural terkait kebijakan perkawinan merupakan faktor eksternal terjadinya perkawinan usia dini.

Dari kasus tersebut semakin memperkuat bahwa tingkat pendidikan yang rendah merupakan faktor pendorong terjadinya perkawinan dini (kasus Siti Latifah). Ketidak-tahuan hukum struktural juga menunjukkan bahwa tidak disemua wilayah memiliki pemahaman yang sama terkait aturan hukum perkawinan dan arti pentingnya pengunduran usia kawin dalam membangun suatu keluarga (kasus orang tua Latifah). Keely10 menyatakan bahwa perempuan yang masih berada dalam sebuah institusi pendidikan cenderung untuk menikah seusai sekolah, sehingga institusi membuat perempuan menikah di usia lanjut. Pendidikan

9

Lihat hasil pet ikan w aw ancara (life hist ory) Sit i Latifah t anggal 30 April 2013

10

(32)

26 yang rendah akan berdampak pada terputusnya informasi yang diperoleh pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi selain itu juga dapat meningkatkan kemungkinan aktivitas remaja yang kurang. Wajib belajar 9 tahun kelihatannya belum menjadi sesuatu indikator terjadinya penundaan usia kawin, karena selesai pendidikan 9 tahun mereka masih berada pada usia yang rentan untuk terjadinya perkawinan dini, apalagi setelah mereka lulus SMP dan tidak mendapat kesempatan belajar dan bekerja yang baik, maka pilihan terbaik adalah pernikahan.

2. Rasa Ingin Tahu dan Pergaulan11

Siswa SMA berada pada masa remaja yaitu usia antara 14-18 tahun. Pada masa ini telah terjadi kematangan organ-organ reproduksinya. Kematangan organ reproduksi ditandai dengan adanya mimpi basah pada pria dan terjadinya menstruasi pada wanita disebut pubertas. Hormon-hormon reproduksi telah berfungsi dengan sempurna pada masa ini. Hormon-hormon reproduksi yang sebelumnya dihasilkan dalam jumlah sangat terbatas karena pengaruh kelenjar pineal dan thyroid telah dihasilkan dalam jumlah yang cukup sehingga mempengaruhi secara hormonal remaja.

Kelenjar hipofise mensekresikan hormon gonadotrofin yang memicu gonade (kelenjar kelamin) untuk menghasilkan hormon-hormon kelamin yaitu testosteron untuk pria dan estrogen untuk wanita. Hormon-hormon kelamin selain menghasilkan spermatozoa dan sel telur juga menumbuhkan ciri-ciri kelamin sekunder seperti perubahan suara, timbulnya rambut pada organ genitalia, tumbuh kumis, dan tumbuh jakun pada pria. Sementara itu, pada wanita muncul ciri-ciri sekunder seperti payudara membesar, timbulnya rambut pada organ genitalia, dan pinggul membesar (Soewolo, 2000). Secara biologis remaja yang telah mengalami pubertas telah siap untuk melakukan tugas reproduksi.

Perubahan hormonal di dalam tubuh menyebabkan perubahan cara pandang remaja terhadap berbagai permasalahan. Secara psikologis banyaknya hormon yang dihasilkan juga mempengaruhi pandangan terhadap lawan jenis sehingga terjadi peningkatan ketertarikan terhadap lawan jenis. Suardiman (1995) menyatakan bahwa remaja pada fase akhir memiliki minat yang meningkat terhadap lawan jenis (heteroseksualitas). Sementara itu, Encharta (2005) menyatakan bahwa pada masa remaja terjadi peningkatan perilaku seksual. Lebih lanjut, dorongan untuk hubungan seks akan semakin besar jika ada rangsangan atau stimulus dari luar dalam bentuk gambar, bacaan, atu cerita.

11

Sum ber:

(33)

27 Rasa ingin tahu yang besar mendorong siswa untuk memperoleh informasi tentang seks dari berbagai sumber. Rasa ingin tahu, ketidakmampuan menyeleksi informasi, dan tiadanya bimbingan dari orang dewasa menyebabkan informasi yang diperoleh tidak benar. Lebih lanjut, kemudahan memperoleh informasi menyebabkan semakin banyak informasi yang diperoleh remaja. Informasi yang masuk merupakan stimulus yang kuat. Dorongan internal akibat banyaknya hormon yang dihasilkan ditambah stimulus yang kuat akan semakin memperbesar dorongan siswa untuk mencoba melakukan hubungan seks.

Rasa ingin tahu memang menjadi alasan kenapa pasangan tersebut melakukan hubungan sexual dan akhirnya menjadi hamil. Keingintahuan tersebut menjadi hasrat dan memiliki keberanian diri untuk mencoba bersama dengan pasangannya. Lemahnya membentengi diri serta adanya pergaulan di lingkungan yang baru (sekolah, kampus, pertemanan, kelompok/komunitas, dll) menjadikan akses untuk mendapat referensi mengenai hubungan sexual menjadi mudah. Adanya internet serta HP yang berteknologi tinggi memudahkan mereka di dalam mencari film porno. Hal ini terjadi seperti pada pasangan “D” (26 tahun) dan “T” (24 tahun) yang memutuskan untuk menikah muda pada umur 19 dan 17 tahun, dalam status “D” sebagai mahasiswa dan “T” saat itu masih siswi SMA kelas III (“D” baru saja lulus kuliah, akan tetapi belum mendapat kerja, sedangkan T karena terlanjur hamil dan dikeluarkan dari sekolah).

Untuk pasangan selanjutnya “Y” (26 tahun) dan “E” (26 tahun) yang menikah pada usia 18 tahun pada saat mereka masih duduk di bangku SMK. Pernikahan yang mereka jalani sebenarnya dikarenakan kondisi yang mengharuskan mereka untuk lanjut ke pernikahan, yaitu MBA (Marriage by Accident) atau hamil duluan. Hal ini disebabkan karena pergaulan dengan lingkungan sekitar seperti di dunia pendidikan, kumpul-kumpul dengan teman-teman membuat mereka penasaran akan bidang atau hal yang baru yaitu sex. Peredaran film-film porno diantara kumpulan tersebut menambah rasa penasaran untuk mencoba.

(34)

28 Seperti yang diungkapkan oleh Videllia Engelien Pontoh, SS12 bahwa Pada era globalisasi ini, pembicaraan soal seks seakan-akan menjadi trend bagi kalangan remaja, tanpa kita sadari. Sangat lazim, kita menjumpai kaum remaja membawa Handphone maupun Smartphone, yang bisa digunakan untuk mengakses internet. Melalui alat canggih tersebut, mereka bisa mengakses konten-konten yang terkait dengan pornografi, mulai dari berita, gambar, maupun video. Cukup dengan mengakses Google maupun Youtube dan memasukkan kata-kata atau istilah-istilah tertentu akan muncul materi pornografi. Meskipun Kementrian Komunikasi dan Informatika telah memblokir ratusan ribu, bahkan jutaan situs-situs pornografi, namun tidak dapat memblokir seluruhnya.

Orang yang kecanduan pornografi akan berusaha mencari materi-materi pornografi, seperti kecanduan alkohol maupun narkoba. Tahap berikutnya adalah eskalasi, pecandu akan mencari materi pornografi yang lebih bervariasi, seperti pornografi kekerasan yang menyimpang. Tahap ketiga adalah desensitisasi, materi pornografi yang tadinya dianggap tabu, illegal dan tidak bermoral, menjadi sesuatu yang normal dan sebagai hal yang biasa saja. Tahap terakhir adalah keluar dari kebuasaan, yang tadinya hanya mengkonsumsi pornografi, kini berusaha mempraktekkan, seperti pelecehan seksual, pergi ke tempat pelacuran, seks bebas, pemerkosaan bahkan memaksa pasangan untuk mempraktekkan hubungan seks yang menyakitkan.

3. Lingkungan Keluarga13

Menurut seorang psikolog, Sarwono, dalam bukunya “Psikologi Remaja”, pendidikan seksualitas yang harus diberikan kepada remaja sebaiknya mencakupnorma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Pendidikan seksualitas bertujuan menjelaskan aspek-aspek anatomis, biologis, psikologis, moralitas serta nilai-nilai budaya dan agama. Pendidikan seksualitas bertujuan untuk membentuk sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksualitas dan membimbing remaja menjalani kehidupan dewasa yang sehat dan bertanggungjawab.

Sedangkan Menurut Dr Rose Mini AP, M.Psi, psikolog pendidikan, seksualitas bagi anak wajib diberikan orangtua sedini mungkin, saat anak masuk play group (usia 3-4 tahun), karena pada usia ini anak sudah mengenal organ tubuh mereka. Salah satu cara menyampaikan pada anak dapat dimulai dengan mengajari mereka membersihkan alat

12

ht t p:/ / sulut .kem enag.go.id/ file/ file/ Kat olik/ ipkh1363215396.pdf

13

(35)

29 kelaminnya sendiri, setelah buang air kecil maupun buang air besar, agar anak dapat mandiri dan tidak tergantung pada orang lain.

Pendidikan ini pun secara tidak langsung dapat mengajari anak untuk tidak sembarangan mengijinkan orang lain menyentuh alat kelaminnya. Pada usia balita, orangtua dapat memberitahu berbagai organ tubuhnya, mulai rambut, kepala, tangan, kaki, perut, alat kelamin (penis/vagina). Jelaskan juga perbedaan alat kelamin dari lawan jenisnya, misalnya jika si kecil memiliki saudara yang berlawanan jenis. Pada usia 5-10 tahun, anak cenderung aktif bertanya, misalnya dari mana aku berasal. Orang tua harus siap memberikan jawaban, misalnya dengan menunjukkan gambar ibu yang sedang hamil dan terlihat bayi di dalam perut ibu. Perlu juga diajarkan bahwa alat kelamin merupakan hal yang pribadi, jika ada orang lain yang memegang alat kelamin tanpa sepengetahuan orang tua, agar anak berteriak. Hal ini sebagai salah satu usaha preventif agar anak terhindar dari pelecehan seksual. Pada masa menjelang remaja dan remaja, biasanya anak-anak sudah mengalami pubertas, di mana perubahan tubuhnya secara morfologi sudah terlihat.

Peran orang tua adalah menjelaskan mereka bahwa perubahan tersebut adalah bersifat alami, dan dialami oleh setiap orang. Masa Remaja adalah masa di mana bisa dikatakan organ seksualnya sudah matang. Di sini peran orang tua sangat di butuhkan dalam memberikan nilai moral, dampak negatif dan dampak hukum, agar anak-anak tidak yang terjerumus ke dalam masalah kawin muda. Maka dari itu perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap anak-anak yang ada pada masa remaja. Agar terhindar dari informasi-informasi yang tidak mendidik. Misalnya informasi dari teman, VCD porno, majalah, dan internet.

Kurangnya pengertian yang diberikan oleh keluarga menjadikan mereka merasa tabu untuk masalah sex, sehingga mereka akan merasa canggung untuk menanyakan hal tersebut kepada keluarga. “D” memiliki orang tua yang semuanya bekerja, ibunya berprofesi sebagai pedagang daging di pasar, sedangkan ayahnya memiliki profesi sebagai pengusaha kayu. Frekuensi pertemuan mereka antara anak dan orang tua sangatlah jarang terjadi, sehingga lingkungan keluarga juga merupakan salah satu faktor yang utama dalam terjadinya nikah usia muda.

(36)

30 Dari hasil kedua wawancara diatas dapat dilihat bahwa lingkungan keluarga memiliki peranan penting di dalam pendidikan sex untuk anak. Sudah seyogyanya apabila keluarga mendampingi dan memberi pemahaman mengenai dunia sex supaya tidak terjerumus ke dalam sex bebas ataupun norma-norma yang ada di dalam masyarakat dan agama.

Pertama-tama perlu disadari bahwa lingkungan awal bertumbuh kembangnya seorang anak adalah lingkungan keluarga. Dalam hal ini, ayah dan ibu bertanggungjawab untuk memberikan pendidikan seksualitas kepada anak-anaknya, sehingga mereka memahami apa yang terjadi dan apa yang mungkin terjadi pada diri remaja. Pendidikan seksualitas di sekolah juga dapat memberikan peranan penting dalam hal peningkatan pengetahuan, tingkah laku dan sikap yang sesuai bagi para remaja. Selain itu, peran serta masyarakat secara luas juga diperlukan supaya tercipta iklim pemberian informasi mengenai pendidikan seks yang tepat dan sesuai untuk remaja. Jika pendidikan seksulitas telah dilakukan, baik secara formal dan informal, maka bisa dipastikan pernikahan dini, penyakit kelamin, kehamilan yang tidak diinginkan, pelecehan seksual, pemerkosaan dan lain-lain akan berkurang. Jika remaja sudah mendapatkan pendidikan seksual yang terarah, maka mereka dapat mengontrol diri mereka sendiri dan tidak terjerumus dalam pergaulan bebas.

Menurut Friedman (1998)14 menyatakan bahwa tipe-tipe keluarga dibagi atas keluarga inti, keluarga orientasi, keluarga besar. Keluarga inti adalah keluarga yang sudah menikah, sebagai orang tua, atau pemberi nafkah. Keluarga inti terdiri dari suami istri dan anak mereka baik anak kandung ataupun anak adopsi. Keluarga orientasi (keluarga asal) yaitu unit keluarga yang didalamnya seseorang dilahirkan. Keluarga besar yaitu keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah seperti kakek dan nenek, paman dan bibi13.

Sedangkan Keluarga menurut Khairuddin15:

 Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil umumnya terdiri dari ayah,ibu dan anak.

 Hubungan sosial di antara nggota keluarga relatif tetap dan berdasarkan ikatan darah, perkawinan atau adopsi.

 Hubungan antara keluarga yang di jiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa penuh tanggung jawab.

14

Friedman, Sosiologi (Diterjemahkan oleh Amiruddin Ram dan Tito Sobari), Erlangga, Jakarta, 1998

15

(37)

31  Keluarga berfungsi untuk merawat,memelihara dan melindungi anak dalam rangka

sosialisasi agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial14.

Fungsi keluarga Menurut Horton dan Hurt (2001)16sebagai berikut : 1. Fungsi Biologis

Fungsi biologis berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan seksual suami istri. Keluarga ialah lembaga pokok yang secara absah memberikan uang bagi pengaturan dan pengorganisasian kepuasan seksual. Apabila salah satu pasangan kemudian tidak berhasil menjalankan fungsi biologisnya, di mungkinkan akan terjadinya gangguan dalam keluarga yang biasanya berujung pada perceraian dan poligami.

2. Fungsi Sosialisasi Anak

Fungsi sosialisasi menunjuk pada peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui fungsi ini, keluarga berusaha mempersiapkan bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan memperkenalkan pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang di anut oleh masyarakat serta mempelajari peranan yang di harapkan akan di jalankan mereka. Keluarga yang seperti ini akan menyosialisasikan anak-anak dan ketergantungan terhadap orang tua.

3. Fungsi Afeksi

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan kasih sayang atau rasa dicinta. Banyak fakta menunjukkan bahwa kebutuhan persahabatan dan keintiman sangat penting bagi anak, kebutuhan kasih sayang sangat diharapkan bisa di perankan oleh keluarga. Akan tetapi perlu di waspadai apabila kebutuhan afeksi itu kemudian di ambil alih oleh kelompok lain di luar keluarga

4. Fungsi Edukatif

Keluarga merupakan guru pertama dalam mendidik manusia, hal itu dapat di lihat dari pertumbuhan seorang anak mulai dari bayi, belajar jalan-jalan, hingga mampu berjalan,semuanya di ajari oleh keluarga. Tanggung jawab keluarga untuk mendidik anak-anaknya sebagian besar atau bahkan mungkin seluruhnya telah di ambil oleh lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Oleh karena itu, muncul fungsi laten pendidikan terhadap anak, yaitu melemahnya pengawasan dari orang tua.

5. Fungsi Religius

Fungsi religius dalam keluarga merupakan salah satu indikator keluarga sejahtera,Keluarga sejahtera adalah keluarga yang di bentuk berdasarkan atas

16

(38)

32 perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material yang layak. Pendidikan agama dalam keluarga tidak saja bisa di jalankan dalam keluarga, menawarkan pendidikan agama,seperti pesantren, tempat pengajian majelis taklim dan sebagainya.

6. Fungsi Protektif

Fungsi ini bertujuan agar para anggota keluarga dapat terhindar dari hal-hal yang negatif, dalam setiap masyarakat keluarga memberikan perlindungan fisik, ekonomis, dan psikologi bagi anggotanya.

7. Fungsi Rekreatif

Fungsi ini bertujuan untuk memberikan suasana yang segar dan gembira dalam keluarga, fungsi rekreatif di jalankan untuk mencari hiburan. Dewasa ini, tempat-tempat hiburan banyak berkembang di luar rumah karena berbagai fasilitas dan aktivitas rekreasi berkembang dengan pesatnya.

8. Fungsi Ekonomis

Keluarga adalah unit primer yang memproduksi kebutuhan ekonomi bagi kebutuhan keluarga, keadaanya seperti sebuah pabrik, masing-masing bertugas sesuai dengan tugasnya. keluarga di posisikan sebagai tempat bekerja bagi para anggotanya yang dewasa ini sudah berubah.

9. Fungsi Penentuan Status

Keluarga di harapkan mampu menentukan status bagi anak-anaknya.Yang dapat di jalankan dari fungsi status ini ialah menentukan status berdasarkan jenis kelamin. Latihan membedakan peran itu di lakukan secara konsisten selama bertahun-tahun sehingga membawa anak laki-laki dan perempuan kepada kematangan fisik dengan perbedaan yang besar dalam tanggapan,perasaan,serta kecenderungan mereka kelak

4. Pendidikan17 (Pendidikan Sexualitas)

Dalam hal pendidikan minimnya guru di sekolah menengah umum di dalam memberikan pendidikan sex menjadikan mereka antusias dan penasaran akan dunia sex, sehingga dari ketidak tahuan mereka lalu mereka mencoba mencari tahu dengan menonton film-film porno,dan akhirnya mencoba untuk mengetahui rasanya berhubungan sexual.

17

(39)

33 Pendidikan merupakan bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak mampu melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

Pendidikan yang rendah menjadi salah satu pemicu nikah diusia dini. Tidak hanya pendidikan umum tentang kesehatan, namun pendidikan agama dan pendidikan tentang kesehatan reproduksi juga sangat penting bagi anak-anak. Dengan adanya berbagai pendidikan tersebut, maka seseorang dapat mengetahui bagaimana cara menjaga kesehatan reproduksi, serta mereka juga dapat mengetahui bagaimana efek pernikahan di usia dini. Baik efek yang dilihat dari segi kesehatan, psikologi, ekonomi dan sebagainya.

Tema pernikahan dini bukan menjadi suatu hal yang baru untuk diperbincangkan, padahal banyak resiko yang harus dihadapi mereka yang melakukannya. Banyak pula hal-hal yang memicu nikah di usia dini. Salah satunya yaitu tingkat pendidikan yang rendah dan pengetahuan akan seks kurang. Tingkat pendidikan yang rendah dapat dilihat dari presentasi prestasi rata- rata siswanya kurang. Baik itu prestasi akademik maupun prestasi dalam bidang seni dan kreatifitas.

Pendidikan tentang seks dini yang dimaksud bukanlah untuk mengajarkan untuk berbuat seks dini, namun lebih kepada bimbingan, serta menginformasikan kepada bagaimana resiko seks diusia dini. Pendidikan seks dini bukanlah mengajarkan untuk melakukan seks diusia dini, namun untuk mengajarkan mereka agar lebih mengetahui bagaimana efeknya, sehingga mereka tau dan dapat menghindarinya. Sebab itu, untuk menekan laju pernikahan dini tersebut bukan hanya menjadi tugas pemerintah semata tapi semua pihak juga harus dilibatkan termasuk orang tua, tokoh agama dan lembaga pendidikan

Sedangkan “Y” dan ‘E” yang mulai berpacaran semenjak SMA kelas 2 menuturkan bahwa pendidikan sex memang tidak diajarkan di sekolah.

Dampak Perkawinan Usia Dini18

Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda adalah:

 Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga

 Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya

18

(40)

34  Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat.

Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja. (Mohammad Fauzil Adhim, 2002).

Dampak perkawinan usia muda akan menimbulkan hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak, baik dalam hubungannya dengan mereka sendiri, terhadap anak-anak, maupun terhadap keluarga mereka masing-masing. Dampak yang ditimbulkan akibat perkawinan usia dini antara lain:

1. Dampak terhadap suami istri, tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istrti yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi

2. Dampak terhadap anak-anaknya, masyarakat yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda atau di bawah umur akan membawa dampak. Selain berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia muda, perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena bagi wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah usia 20 tahun, bila hamil akan mengalami gangguan-gangguan pada kandungannya dan banyak juga dari mereka yang melahirkan anak

3. Dampak terhadap masing-masing keluarga, selain berdampak pada pasangan suami-istri dan anak-anaknya perkawinan di usia muda juga akan membawa dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan di antara anak-anak mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak bahagia dan akhirnya yang terjadi adalah perceraian. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya biaya hidup mereka dan yang paling parah lagi akan memutuskan tali kekeluargaan di antara kedua belah-pihak

(41)

35 Selain dampak ekonomi, dampak sosial dirasa sangat berat juga. Tempat tinggal mereka masih bergabung dengan keluarga dari pihak laki-laki di daerah pinggiran atau bisa dibilang desa, otomotis dampak sosial dengan lingkungan sekitar harus mereka tanggung. Mereka harus mengeluarkan biaya untuk menjenguk orang sakit atau bayi, biaya pernikahan (sumbangan mantenan), dll.

Selain dampak ekonomi, dampak lainnya adalah dari aspek pendidikan. Karena hamil, maka perempuan tersebut harus keluar dari sekolah karena aturan sekolah yang tidak membolehkan siswa yang hamil, sehingga menyebabkan masa depan pendidikan menjadi terbengkalai dan menyebabkan ia harus mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan pendidikan dan otomatis memupus semua cita-cita di bidang pendidikan.

Dampak terberat yang mereka alami yaitu ekonomi menjadi satu masalah yang paling berat, dan menjadi sumber seringnya terjadi percekcokan dalam keluarga. Walaupun ada dukungan dari keluarga di dalam menafkahi baik yang laki-laki, perempuan atau si bayi maka dirasa dampak tersebut sedikit terbantu khususnya masalah biaya/uang.

Sedangkan hasil wawancara dari pasangan “Y” dan ‘E” dampak yang paling dirasa sangat berat adalah sama yaitu dampak ekonomi, atau dari sisi ekonomi, karena yang laki-laki belum lulus dari kuliah dan belum bekerja, begitu pula dengan “E” dimana statusnya hanya sebagai ibu rumah tangga. Mereka hingga sampai sekarang masih bergantung pada kedua orang tua mereka. Sama dengan pasangan sebelumnya, bahwa mereka harus bergumul dengan kesulitan-kesulitan ekonomi demi menyambut si bayi, katakanlah biaya dokter, obat, popok, makanan, dan lain-lain, sedangkan untuk Siti Latifa masih beruntung walaupun masih bersama mertua, tetapi suami sudah bekerja sejak dia menikah walaupun hanya sebagai buruh bangunan. Namun pada usianya yang baru menginjak 20 tahun sudah memiliki 2 anak dan pasangan ini sejak menikah sampai sekarang tidak ikut program KB. Pada saat ditanya berapa jumlah anak yang diinginkan dan mengapa tidak ikut KB, yang bersangkutan hanya menjawab tidak tahu dan terserah pada kehendak Tuhan mau memberi momongan berapa. Tentunya jawaban ini cukup memberikan gambaran betapa perencanaan keluarga sama sekali tidak dimiliki oleh keluarga muda ini.

Gambar

Tabel 1. Banyaknya Penduduk Usia 10 thn Keatas yang Bekerja
Tabel  2. Banyaknya Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin 2013

Referensi

Dokumen terkait

Ismidar Rahman Jurusan PLB FIP UNP 330 huruf yang anak bisa tuliskan yaitu (I, u, dan o) dalam jumlah yang tidak banyak dan hasil tulisan yang kurang baik. Namun pada kondisi

A GreenSeekerrel folytatott mérés eredményei alap ján megállapítható, hogy az eszköz gyorsan és pon tosan megismerhetjük a talajfelszínen elhelyezkedő

Berdasarkan pertimbangan dari kapasitas pabrik yang sudah berdiri dan kebutuhan impor FAE yang semakin naik, maka untuk prarancangan pabrik FAE yang akan didirikan

Pada modul pengirim sinyal terdiri dari beberapa komponen antara lain Load Cell yang digunakan untuk sensor berat cairan intravena, sensor Photodiode yang

Tegangan yang timbul karena pensakelaran dapat mencapai 2 atau 3 kali tegangan normal, oleh karena itu dikhawatirkan tegangan karena pensakelaran dapat

sebuah konsep untuk merencanakan dan mengelola sumber daya perusahaan yang meliputi dana, sumber daya manusia, mesin, waktu, material dan kapasitas yang berpengaruh untuk

Takeshi (1981) dalam Kurniawan (2010, hal.11) menjelaskan bahwa sistem kerja seumur hidup (lifetime employment), dimana dengan semakin lama pekerja bekerja dalam satu

Prasasti mempunyai sifat resmi sebagai suatu keputusan atau perintah yang diturunkan oleh seorang raja atau penguasa, sehingga dalam penulisannya ada aturan- aturan penulisan