BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Jantung Bawaan 2.1.1. Definisi
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah kelainan jantung yang terjadi atau
terdapat sejak janin dalam kandungan dan kelainan ini berlangsung setelah janin
dilahirkan. PJB ini merupakan kelainan posisi jantung dan sirkulasi jantung
(Brook, 2010).
2.1.2. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB belum diketahui dengan pasti.
2-4% PJB dihubungkan dengan lingkungan ataupun keadaan ibu. Adapun penyebab
eksterna dari PJB yaitu obat-obatan, virus, pajanan dari sinar rontgen (radiasi) dan
hipoksia pada saat persalinan dapat mengakibatkan tetap terbukanya duktus
arteriosus pada bayi. Di samping faktor eksterna terdapat pula faktor interna yang
berhubungan dengan kejadian PJB yaitu faktor genetik, dan sindrom tertentu erat
berkaitan dengan kejadian penyakit jantung bawaan seperti Sindrom Down, dan
Sindrom Turner (Djer dan Madiyono, 2000).
2.1.3. Jenis-Jenis Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan dibagi atas dua bagian yaitu penyakit jantung
bawaan PJB asianotik dan PJB sianotik (Brenstein, 2000).
A. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik
Penyakit jantung bawaan asianotik adalah kelainan dan struktur fungsi
jantung yang dibawa sejak lahir yang tidak ditandai dengan sianosis.
Misalnya lubang disekat jantung sehingga terjadi dari pirau kiri ke kanan,
kelainan salah satu katup jantung dan penyempitan alur keluar ventrikel
Masing-masing mempunyai gejala klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat
tergantung kelainan serta tahanan vaskuler paru (Roebiono, 2003).
Menurut Brenstein (2000) berdasarkan ada tidaknya pirau, kelompok
asianotik terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok dengan pirau kiri ke
kanan dan kelompok tanpa pirau.
Kelompok dengan pirau kiri ke kanan adalah sebagai berikut:
1. Defek Sekat Ventrikel
Defek Sekat Ventrikel (DSV) menggambarkan suatu lubang pada sekat
ventrikel.Defek ini dapat terletak dimanapun pada sekat ventrikel, baik
tunggal maupun banyak, serta ukuran dan bentuknya dapat bervariasi
(Fyler, 1996). Insiden DSV 5-50 kasus per 1000 kelahiran hidup. Defek
ini lebih sering terjadi pada wanita daripada pria (56%:46%) (Ramaswamy
et al, 2013).
Klasifikasi DSV dibagi berdasarkan letak defek yang terjadi, yaitu :
• Defek membranosa, sejauh ini merupakan defek yang paling
sering, meliputi 75% dari seluruh kasus DSV. Sekat membranosa
adalah daerah kecil, di bawah katup aorta pada sisi kiri,
berdampingan dengan daun katup septal katup tricuspid pada sisi
kanan dan menumpangi segmen kecil atrium kanan (Fyler, 1996).
• Defek muskular, merupakan jenis DSV dengan lesi yang terletak
di otot-otot septum dan sering multipel dan terjadi sekitar 5 -20%
dari seluruh angka kejadian DSV (Ramaswamy et al, 2013).
• Defek Infundibular (subpulmonal), defek ini terletak dibawah
katup pulmonal bila dilihat dari ventrikel kanan, dan bila dilihat
dari ventrikel kiri sedikit dibawah katup aorta. Daun katup aorta
yang berdekatan sering prolaps kedalam DSV dengan atau tanpa
regurgitasi aorta (Fyler, 1996).
• Defek tipe bantalan endokardium, defek ini terletak dibawah katup
dimana terdapat pembukaan atrioventrikular komunis (Fyler,
1996).
Gejala klinis DSV bervariasi, ditemukannya suara bising jantung, gagal
jantung kongestif, semua ini sangat bergantung pada besarnya defek serta
derajat piraunya sendiri. Pada DSV kecil dengan pirau dari kiri-ke-kanan
dengan gejala dan kelainan yang ditemukan ketika dilakukan pemeriksaan
fisik. Pada defek yang lebih besar hanya menimbulkan takipneu, tetapi
pada defek yang paling besar gejala-gejala gagal jantung seperti, dispneu,
kesulitan makan, pengurangan masukan cairan, gangguan pertumbuhan,
dan infeksi paru (Fyler, 1996).
2. Defek Sekat Atrium
Defek Septum Atrium (DSA) adalah defek pada sekat yang memisahkan
atrium kiri dan kanan. Secara anatomis defek ini dapat terjadi pada bagian
sekat atrium yaitu defek septum primum, sekundum, dan sinus venosus
(Brenstein, 2000).
3. Defek Sekat Atrioventrikularis
Defek Septum Atrioventrikularis (DSAV) merupakan kelainan yang
meliputi bermacam-macam anomaly. Sekat atrium, ventrikel dan
bagian-bagian didekatnya yaitu katup mitral dan trikuspidal (Fyler, 1996). DSAV
ini juga dikenal sebagai defek kanal atrioventrikuler atau defek bantalan
endokardium (Brenstein, 2000).
Gejala yang dapat ditimbulkan yaitu riwayat intoleransi kerja fisik, mudah
lelah, dan pneumonia berulang dapat ditemukan terutama pada bayi
dengan pirau besar kiri-ke-kanan dan isusifiensi mitral yang berat
(Brenstein, 2000).
4. Paten Duktus Arteriosus
Paten Duktus Arteriosus (PDA) disebabkan oleh duktus arteriosus yang
tetap terbuka setelah bayi lahir. Jika duktus tetap terbuka ketika tahanan
pulmonal (vaskular paru) turun maka darah aorta yang dialirkan di dalam
arteri pulmonalis dapat bercampur (Brenstein, 2000). Kelainan ini sering
kehamilan trimester pertama. Keterbukaan duktus arteriosus menetap lebih
lama pada bayi prematur (Hull dan Johnston, 2008).
Gejala klinis PDA ini biasanya tidak ada gejala. Tergantung dari ukuran
duktusnya. Bila duktus berukuran kecil terdapat suara bising pada
pemeriksaan fisik, bila duktus yang besar akan menimbulkan gejala gagal
jantung kongestif, hipertensi pulmonal, dan suara bising mungkin tidak
khas (Fyler, 1996).
Kelompok tanpa pirau sebagai berikut:
1. Stenosis Pulmonal
Stenosis Pulmonal (SP) merupakan obstruksi aliran keluar dari ventrikel
kanan, pada katup pulmonal, atau dalam arteri pulmonalis (Fyler, 1996).
Gejala klinis pada SP ringan atau sedang biasanya tidak bergejala.
Pertumbuhan dan perkembangan seringnya normal, dan biasanya pada
bayi dan anak yang lebih tua dengan SP tampak berkembang baik dan
sehat (Bernstein, 2000).
2. Stenosia Aorta
Stenosis Aorta (SA) merupakan penyempitan pada jalan keluar ventrikel
kiri pada katup aorta ataupun area tepat di bawah atau atas katup aorta
mengakibatkan tekanan antara ventrikel kiri dan aorta.
Prevalensi SA terjadi pada 3-8% pasien dengan kelainan jantung bawaan.
Penyakit ini menempati urutan ke-4 atau ke-5 penyakit jantung bawaan
yang sering terjadi (Wahab, 2009).
Stenosis subvalvular (subaorta) dengan kerangka fibrosa tersendiri
dibawah katup aorta merupakan bentuk obstruksi saluran aliran keluar
ventrikel kiri. Lesi ini seringkali disertai dengan bentuk penyakit jantung
bawaan lain.
Stenosis aorta supravalvular, tipe ini jarang dijumpai, dapat terbatas,
familial, atau dapat disertai dengan sindrom William, yang sering terlihat
jembatan hidung datar, bibir atas panjang, dan pipi bulat) dan
hiperkalsemia idiopatik masa bayi.
Gejala klinis pada SA tergantung pada keparahan obstruksi SA. SA yang
ada pada masa bayi awal yang disebut dengan stenosis aorta kritis dan
disertai dengan gagal ventrikel kiri yang berat dengan tanda-tanda curah
jantung yang rendah, gagal jantung kongestif, kardiomegali, edema
paru-paru, nadi lemah pada seluruh ekstremitas, dan jumlah urin yang keluar
berkurang. Sedangkan pada anak dengan SA ringan tidak bergejala dan
memperlihatkan pertumbuhan dan pola perkembangan yang normal
(Brenstein, 2000).
3. Koarktasio Aorta
Koarktasio Aorta (KoA) adalah suatu obstruksi pada aorta desendens yang
terjadi daerah duktus arteriosus (Hull dan Johnston, 2008). Gejala klinis
KoA pada anak sering asimtomatik. Sebagian besar anak mengeluh
kelemahan atau nyeri dikaki sesudah latihan fisik. Tanda klasik KoA
adalah perbedaan nadi dan tekanan darah lengan dan kaki. Nadi femoralis,
popliteal, tibialis posterior dan dorsalis pedis lemah (atau tidak ada pada
40% pada penderita), sebaliknya nadi teraba kuat pada lengan dan
pembuluh darah karotis (Brenstein, 2000). Jika terjadi penyempitan yang
berat dapat timbul gejala gagal jantung dalam beberapa hari atau beberapa
minggu pertama kehidupan (Hull dan Johnston, 2008).
B. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik
Pada PJB sianosik didapatkan kelainan struktur dan fungsi jantung
sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik
yang mengandung darah yang rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi
sistemik. Terdapat aliran darah dari pirau kanan ke kiri atau terdapat
percampuran darah balik vena sistemik dan vena pulmonalis. Sianosis
pada mukosa bibir dan mulut serta kuku jari tangan dan kaki tampak pada
PJB sianotik dan akan terlihat bila reduksi haemoglobin yang beredar
PJB sianotik yang sering dijumpai adalah tetrallogi of fallot, transposisi
ateri besar, atresia trikuspid, dan atresia pulmonal (Hariyanto, 2012).
1. Tetralogi Of Fallot
Tetralogi Of Fallot (TOF) merupakan penyakit jantung bawaan sianotik
yang terdiri dari empat kelainan yang khas, yaitu(1) Defek Septum
Ventrikel (DSV), (2) Stenosis Pulmonal, (3) hipertrofi Ventrikel Kanan,
dan (4) dekstroposisi aorta (Overriding Aorta) (Darmadi et al, 2013).
TOF ini merupkan penyakit jantung bawaan yang sering dijumpai yaitu
sekitar 3-5 % bayi yang lahir dengan PJB menderita jenis TOF. Di
Amerika Serikat 10% kasus PJB menderita TOF dan laki-laki sedikit lebih
sering terkena dibandingkan dengan perempuan. Di Indonesia sekitar 25%
pasien dengan TOF yang tidak diterapi akan meninggal 1 tahun pertama
kehidupannya, 40% meninggal sampai usia 4 tahun, 70% meninggal
sampai usia 10 tahun, dan 95% meninggal sampai usia 40 tahun (Darmadi
et al, 2013).
Pada TOF keluhan utama yang sering dijumpai pada PJB sianotik ini
adalah sianosis. Pernafasan cepat, sianosis pada mukosa bibir, mulut dan
kuku jari tangan-kaki (Darmadi et al, 2013). Sklera abu-abu, jari tangan
dan kaki tabuh, sianosis yang bertambah, lemah, bahkan dapat disertai
dengan kejang (Brenstein, 2000).
2. Atresia Pulmonal dengan Defek Ventrikel
Pada keadaan ini merupaka kejadian yang berat dari Tetralogi Fallot, dan
merupakan penyebab penting sianosis pada neonatus. Atresia dapat
mengenai katup pulmonal seluruh ventrikel kanan dialirkan ke dalam
aorta sedangkan aliran darah pulmonal tergantung pada PDA atau
pembuluh darah bronkial. Gejala klinis penderita atresia pulmonalis dan
defek sekat ventrikel datang dengan gejala yang sama dengan tetralogi
fallot yang berat (Brenstein, 2000).
Pada Atresia Pulmonal dengan Sekat Ventrikel Utuh (APSV U) daun
katup pulmonal berfusi sempurna shingga membentuk membran, dan
saluran aliran keluar ventrikel kanan atresia. Karena tidak ada defek sekat
ventrikel maka tidak ada jalan keluar darah dari ventrikel kanan. Karena
duktus arteriosus menutup pada umur beberapa jam atau beberapa hari
pertama sangat sianotik. Jika tidak ditangani, kebanyakan penderita
meninggal. Pada pemeriksaan fisik tampak sianosis berat dan distress
pernapasan. Seringkali tidak terdengar bising, tetapi kadang - kadang
bising sistolik atau bising yang terdengar terus menerus akibat aliran darah
ke duktus (Brenstein, 2000).
4. Atresia Trikuspid
Atresia Trikuspid (AT) merupakan kelainan yang ditandai dengan agnesia
katup trikuspid. Pada AT tidak ada jalan keluar dari atrium kanan ke
ventrikel kanan dan seluruh vena kembali masuk ke jantung kiri melalui
foramen ovale atau defek sekat atrium. Apabila aliran darah ke pulmonal
berkurang maka pasien akan tampak sianosis, sianosis biasanya timbul
segera setelah lahir (Bernstein, 2000). TA merupakan penyebab ke 3
terbanyak pada PJB sianotik. 50% pada pasien TA menunjukan gejala
pada pertama kehidupan, 80% pada 1 bulah pertama kehidupan sudah
mempunyai gejala. Besarnya aliran darah pulmonal menentukan waktu
dan juga tipe dari gejala klinis TA yaitu sianosis, hipoksemia, dan
pernafasan cepat (Rao, 2009).
5. Transposisi Arteri Besar
Transposisi Arteri Besar (TAB) merupakan aliran darah vena sistemik
kembali secara normal ke atrium kanan dan vena-vena pulmonalis ke
atrium kiri. TAB aorta terletak disebelah anterior dan kanan arteri
pulmonalis. Namun yang terjadi aorta keluar dari ventrikel kanan dan
arteri pulmonalis keluar dari ventrikel kiri. Sianosis terjadi pada minggu
pertama kehidupan tetapi terkadang sianosis terlihat beberapa jam setelah
2009). TAB ini terjadi pada 1 dari 5000 kelahiran hidup dan ini sering
timbul pada bayi dari ibu yang menderita diabetes (Brenstein, 2000).
2.1.4. Diagnosis
Pada umumnya diagnosis PJB ini ditegakkan berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dasar dan lanjutan. Pemeriksaan
penunjang dasar yang penting untuk PJB adalah foto dada, elektrokardiografi dan
pemeriksaan laboratorium rutin. Pemeriksaan lanjutan untuk PJB ini adalah
ekokardiografi dan kateterisasi jantung (Roebiono, 2007).
2.1.5. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya penanganan PJB harus dilakukan sedini mungkin, untuk
mencegah terjadinya kondisi yang buruk. Berkembangnya ilmu kardiologi anak,
banyak pasien dengan penyakit jantung bawaan dan mempunyai harapan hidup
yang lebih panjang. Pada umumnya penatalaksanaan penyakit jantung bawaan ini
di tatalaksana dengan teknik non bedah dan teknik bedah.
Tatalaksana non bedah yaitu tatalaksana medikamentosa dan juga
kardiointervensi. Tatalaksanan medikamentosa ini umumnya sekunder
dikarenakan sebagai akibat dari komplikasi dari penyakit jantungnya sendiri atau
adanya akibat dari kelainan yang menyertai. Dalam hal ini tujuan medikamentosa
ini untuk menghilangkan gejala disamping untuk mempersiapkan operasi. Lama
dan cara pemberian obat-obatan ini tergantung pada jenis PJB yang dihadapi.
Tatalaksana bedah jantung ini merupakan bagian yang sangat penting
dalam penanganan PJB kemajuan dalam bidang bedah jantung ini memungkinkan
bayi dalam keaadan umumnya yang buruk dapat bertahan hidup, sementara itu
perkembangan diagnostik telah mampu mendeteksi dini kelainan jantung pada
bayi baru lahir bahkan sejak dalam kandungan dengan ekokardigrafi janin
(Madiyono dan Djer, 2000).
2.2. Haemoglobin
Haemoglobin (Hb) merupakan protein yang sangat berperan dalam
memiliki empat buah subunit polipeptida, yang dikenal juga sebagai tetramer
(Kennely, Rodwell, 2009). Tiap subunit memiliki suatu bagian heme dan satu
poliptida globin. Setiap subunit memiliki dua pasang rantai polipeptida yang
berbeda. Pada dewasa normal, Hb terdiri dari polipeptida α dan β. Semua jenis ini
disebut haemoglobin A dengan kode �2dan �2.
Hb dibentuk dari heme dan globin yang membentuk struktur tetrametrik.
Sintesis globin dimulai dari translasi MRNA dari inti sel di ribosom yang
kemudian dirakit menjadi asam amino pembentukan globin. Sedangkan heme
dibentuk dari hasil siklus asam sitrat, yakni asam amino glisin dan subsinil koA δ -aminolevulinat (ALA) yang terbentuk di mitokondria direaksikan kembali di
sitoplasma menjadi coproporhyrinogen hasil akhir ini dari kemudian dibawa ke
mitokondria lagi untuk ditambahkan besi ferro ke cincin protoporphyrin.
(Kennelly, Rodwell, 2009).
Tabel 2.1. Kadar Haemoglobin diagnosis anemia pada Penyakit Jantung Bawaan
(Amoozgar, 2011)
Jenis PJB Anemia
PJB Asianotik
PJB Sianotik
<12g/dl
<15g/dl
2.3. Anemia 2.3.1. Definisi
Anemia adalah penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer. Anemia dapat dilihat dari penurunan kadar hemoglobin atau
hematokrit (Bakta, 2009).
Anemia bukan suatu keadaan yang spesifik, melainkan dapat disebabkan
oleh berbagai macam-macam reaksi patologis dan fisiologis (Irawan, 2013).
Tabel 2.2. Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis (Bakta, 2009)
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum
tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
b. Anemia akibat penyakit kronik
c. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloplastik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoetin: anemia pada gagal
ginjal kronik.
B. Anemia akibat hemoragi
1. Anemia paska perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzin eritrosit (enzimopati): anemia akibat
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- thalassemia
- hemoglobinopati structural : Hbs, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ektrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan
pathogenesis yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran
morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam
klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: (Bakta, 2009).
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg.
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34
pg.
3. Anemia makrositer, bila MCV >95 fl.
Klasifikasi berdasarkan etiologi dan morfologi bila digabungkan akan
sangat membantu dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis
morfologi anemia.
Tabel 2.3. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi (Bakta, 2009).
1. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia mayor
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
2. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologic
3. Anemia makrositer
b. Anemia bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi vitamin B12
c. Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
2.3.3. Gejala Klinis Anemia
Gejala anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia, apabila
kadar hemoglobinnya dibawah normal. Gejala umum anemia timbul karena
anoksia organ, mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut
oksigen. Berat ringannya suatu gejala umum anemia tergantung pada derajat
penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan
jantung dan paru sebelumnya.
Gejala anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas
dan dyspepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak pucat, dapat mudah dilihat pada
konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku (Bakta,
2.3.4. Pendekatan Diagnosis Anemia
Anemia pada anak biasanya berkaitan dengan gannguan psikomotor,
kognitif, prestasi disekolah buruk, dan dapat terjadi hambatan pertumbuhan dan
juga perkembangan. Oleh karena itu diperlukannya anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium seminimal mungkin (Irawan, 2013).
Tabel 2.4. Pemeriksaan fisik pada pasien anemia (Irawan, 2013)
Organ Tanda dan Gejala Kemungkinan Anemia
Kulit Pucat
Hiperpigmentasi
Jaundice
Petekie, purpura
Hemangioma
kavernosus
Anemia berat
Anemia aplastik
fancori
Anemia hemolitik akut
atau kronis, hepatitis,
anemia aplastik.
Anemia hemolitik
autoimun dengan
trombositopenia,
haemolytic uremic
syndrome, aplasia atau
inflitrasi sumsum
tulang.
Anemia hemolitik
mikroangiopati
Kepala dan Leher Tulang frontal yang
menonjol, tulang
malar yang menonjol
Hematopoiesis
ekstramedular
(thalasemia mayor,
Sclera ikterus
Stomatitis angularis
(radang pada mukosa
mulut)
Glositis (peradangan
lidah)
anemia hemolitik
congenital lainya).
Anemia hemolitik
kongenital dan krisis
hiperhemolitik yang
berkaitan dengan
infeksi (defisiensi
enzim eritrosit, defek
membrane eritrosit,
thalasemia,
hemoglobinopati.
Defisiensi besi
Defisiensi besi atau
vitamin B12
Dada Ronkhi, gallop,
takikardi, murmur
Gagal jantung
kongesti, anemia akut
atau berat
Ekstremitas Diplasia alat gerak
radius
Spoon nails (kuku
sendok)
Triphalangeal thumbs
Anemia aplastik
fancori
Defisiensi besi
Aplasia eritrosit
Limpa Splenomegali Anemia hemolitik
congenital, infeksi,
keganasan
hematologis, hipertensi
2.4. Kadar Haemoglobin pada Penyakit Jantung Bawaan
Anemia yang digambarkan pada kadar haemoglobin yang rendah
merupkan faktor resiko penting untuk morbiditas dan mortalitas pada pasien
penyakit jantung bawaan sianotik dan asianotik. Pada pasien asianotik dengan
gagal jantung dapat diperparah dengan anemia. Pada PJB sianotik terjadi
penurunan saturasi oksigen dan jumlah sel darah merah yang cukup tinggi.
Bedasarkan jenis PJB nya, anemia pada PJB asianotik adalah bila kadar Hb <12
g/dl, sedangkan anemia pada PJB sianotik adalah bila kadar Hb <15 g/dl
(Amoozgar et al, 2011).
Anemia pada PJB dapat terjadi sebagai dari akibat kehilangan darah akut
atau kronis akibat hemostasis yang abnormal, perdarahan pembuluh darah
(malformasi arteriovenouse atau pembuluh kolateral), penggunaan antikoagulan
dan antitrombosit, hemolisis, intervensi, atau operasi. Mengurangi hemopoiesis
adalah mekanisme lain anemia pada PJB. Produksi eritropoietin berkurang dan
dikaitkan dengan disfungsi ginjal, yang baru-baru ini terbukti pada PJB. Anemia
penyakit kronis adalah penyebab lain anemia pada PJB. Aktivasi kekebalan akut
atau juga kronis dasar anemia penyakit kronis, seperti sitokin dan system
retikuloendotelial yang mempengaruhi homeostasis besi, Produksi eritropoietin,
dan durasi hidup dari eritrosit. Aktivasi kekebalan meningkatkan konsentrasi
hepsidin. Hepsidin adalah suatu protein yang dilepaskan dari hati oleh IL 6 yang
menghambat ferroportin protein yang di temukan dalam usus halus dan
bertanggung jawab untuk pelepasan besi. Apabila ferroportin ini di hambat maka
akan menghambat penyerapan dari zat besi. Hasilnya zat besi rendah dan terjadi
penurunan besi ke sumsum tulang, sehingga menyebabkan anemia kekurangan
zat besi. Dengan zat besi yang tidak memadai maka akan mengakibatkan
pembawa oksigen sebagai hasil dari berkurangnya kadar hemoglobin
(Dimopoulos, 2009).
2.5. Polisitemia pada Penyakit Jantung Bawaan
Polisitemia adalah peningkatan nilai kadar haemoglobin (Hb) dan
hematokrit, yang mencerminkan rasio massa sel darah merah dengan volume
plasma (Puspitasari, Harimurti, 2010). Polisitemia dengan kadar haemoglobin
bertambah merupakan akibat lain dari ketidakjenuhan arterial bahwa kadar
oksigen arterial rendah berperan sebagai perangsang sumsum tulang (melalui
pelepasan eritropoetin dari ginjal).
Polisitemia pada defek kardiovaskular yang menyangkut dari pirau
kanan-ke-kiri dan penyakit paru yang mengganggu oksigenasi normal merupakan
penyebab polisitemia yang paling sering. Tanda-tanda klinis biasanya meliputi
sianosis, hiperemia sklera dan jari tabuh. Bila hematokrit meningkat diatas 65%
gejala hiperviskositas mungkin memerlukan flebotomi. Sebaliknya kebutuhan
yang meningkat untuk produksi eritosit dapat menyebabkan defisiensi besi.
Eritrosit yang kurang besi lebih kaku, sehingga meningkatkan resiko thrombosis