EKSISTENSI DAN BENTUK SENDRATARI PETERI BENSU PADA MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
ELIA ZUHRA
NIM. 2112142004
PENDIDIKAN TARI
JURUSAN SENDRATASIK
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
ABSTRAK
ELIA ZUHRA, NIM 2112142004, Eksistensi dan Bentuk Sendratari Peteri Bensu pada Masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, Jurusan Sendratasik Program Studi Pendidikan Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, 2015.
Penelitian ini merupakan kajian mengenai eksistensi dan bentuk sendratari Peteri Bensu pada masyarakat Gayo di kabupaten Aceh Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan Eksistensi dan bentuk sendratari Peteri Bensu pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah.
Dalam pembahasan penelitian ini digunakan teori-teori yang berhubungan dengan topik penelitian seperti pengertian sendratari, teori eksistensi dan teori bentuk.
Metode yang digunakan untuk membahas eksistensi dan bentuk sendratari Peteri Bensu pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah adalah metode deskriptif kualitatif. Populasi pada penelitian ini sekaligus menjadi sampel penelitian yaitu tokoh adat, seniman dan penari. Teknik pengumpulan data meliputi studi kepustakaan, wawancara, observasi dan dokumentasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa sendratari
Peteri Bensu merupakan kronologis dari sebuah peristiwa legenda Malin Dewa. Sendratari Peteri Bensu diciptakan pada tahun 1972 oleh 6 seniman Gayo yaitu ibu Asri, ibu Hadijah Rahmatsyah, ibu Sadimah, bapak Sarifuddin Kadir, Alm. Syeh Kilang, dan Alm. Ar. Mouse terkait dalam mempertahankan eksistensi Sendratari Peteri Bensu banyak upaya yang dilakukan oleh para seniman terkait dan pemerintah daerah diantaranya mendokumentasikan dalam bentuk kaset VCD lagu Gayo, mengadakan berbagi Festival pertunjukan tari dengan materi sendratari Peteri Bensu, dan menjadikan sendratari ini sebagai materi bahan ajar seni tari disekolah-sekolah baik di daerah Aceh Tengah maupun di wilayah kabupaten Bener Meriah, hingga stasiun TVRI juga ikut mengapresiasi sendratari ini dan mendokumentasikannya untuk ditayangkan di stasiun TV tersebut agar sendratari ini dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Gayo yang berada di dalam maupun di luar daerah Gayo itu sendiri. Oleh karena itu sendratari Peteri Bensu
dapat dikatakan eksis. Bentuk sendratari Peteri Bensu terdiri dari tiga tahap yaitu: tahap pembuka dengan ragam pembuka, tahap isi yang terdiri dari 7 ragam yaitu
turun muniri, ragam munawe, berpangirir, bergegure, berues ate, petemun dan
mupisah. Tahap penutup dengan ragam penutup. Pada setiap tahapan diiringi oleh syair sebagai penentu gerak dan iringan musik sebagai penambah suasana.
Kata Kunci : Eksistensi, Bentuk, Sendratari, Peteri Bensu
vi
BAB II LANDASAN TEORISTIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL A. Landasan Teoristis ...12
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ...20
vii
E. Teknik Analisis Data ...26
BAB IV PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ...27
1. Letak Geografis ...27
2. Latar Belakang Masyarakat Gayo ...29
a. Agama...30
b. Adat Istiadat...31
c. Kesenian ...34
B. Asal Usul Sendratari Peteri Bensu pada Masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ...35
1. Kekeberen ...36
2. Legenda Malin Dewa ...37
C. Eksistensi Sendaratari Peteri Bensu Pada Masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ...41
a. Eksistensi Sendratari Peteri Baensu Pada Tahun 1972-2000 ...43
b. Eksistensi Sendratari Peteri Baensu Pada Tahun 2001-Sekarang ...44
D. Bentuk Sendratari Peteri Bensu ...47
1. Tema ...47
2. Gerak ...48
3. Musik Pengiring ...77
a. Musik Pengiring Tari yang berasal dari Alat Musik (Musik Eksternal) ...77
b. Musik Pengiring yang Berasal dari Vokal ...78
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Peta Kabupaten Aceh Tengah ... 27
Gambar 4.2 Cover Cerita Rakyat Nusantara ... 41
Gambar 4.3 Legenda Malin Dewa Dalam Buku Cerita Rakyat Nusantara ... 41
Gambar 4.4 Gerak Pembuka ... 49
Gambar 4.5 Gerak Melempar Pancing ... 49
Gambar 4.6 Gerak Menarik Pancing ... 50
Gambar 4.7 Malin Dewa Menemukan Beberapa Helai Rambut ... 50
Gambar 4.8 Motif Gerak Terbang Membuks Kedua Sayap ... 51
Gambar 4.9 Tahap Gerak Terbang Bergegalak ... 52
Gambar 4.10 Tahap Gerak mumaren Opoh ... 52
Gambar 4.11 Tahap Gerak Munuke Baju ... 53
Gambar 4.12 Tahapan Gerak Munawe ... 54
Gambar 4.13 Gerak Terbang Berketibung ... 54
Gambar 4.14 Tahapan Tanpa Selendang ... 55
Gambar 4.15 Motif Gerak Berpangir ... 56
Gambar 4.16 Motif Gerak Mungusuk Tungem ... 57
Gambar 4.17 Ketika Malin Dewa Mencuri Selendang ... 57
Gambar 4.18 Tahapan Gerak Munawe Ku Kuduk ... 58
Gambar 4.19 Tahapan Gerak Mungusuk Punguk ... 59
Gambar 4.20 Tahapan Gerak Munuet Selendang ... 59
Gambar 4.21 Tahapan Gerak Berues Ate ... 60
Gambar 4.22 Tahapan Gerak Munosah Bunge ... 61
Gambar 4.23 Tahapan Gerak Berebot ... 61
Gambar 4.24 Tahapan Gerak Mudemu ... 62
Gambar 4.25Motif Gerak Petemun ... 63
Gambar 4.26 Motif Gerak Mupisah ... 64
Gambar 4.27 Motif Gerak Penutup ... 64
Gambar 4.28 Busana Tari Perempuan Tujuh Bidadari ... 83
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Aceh merupakan salah satu provinsi yang terletak diujung Utara pulau
Sumatera. Provinsi Aceh terbagi menjadi 23 Kabupaten, salah satunya Kabupaten
Aceh Tengah. Aceh Tengah dengan ibukota Takengon merupakan salah satu
kabupaten yang terletak ditengah-tengah Provinsi Aceh, yang memiliki topografi
wilayah bergunung dan berbukit dengan ketinggian bervariasi rata-rata antara 200
– 2.600 meter diatas permukaan laut. Suhu udara rata-rata Kabupaten Aceh
Tengah mencapai 20,1ºC, sehingga udaranya sejuk, dilengkapi dengan panorama
alam pegunungan, danau dan sungai yang berada di tengah-tengah kotanya.
Orang-orang dari pesisir Aceh menyebut wilayah Aceh Tengah sebagai
nanggroe antara,1 karena dianggap sebagai kawasan yang terletak diantara langit dan bumi. Penduduk asli kota Takengon adalah suku Gayo juga sering disebut
urang Gayo2, yang kesehariannya menggunakan bahasa Gayo sebagai media untuk berkomunikasi. Suku Gayo mendiami wilayah Kabupaten Gayo Lues (Aceh
Tenggara), Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kabupaten Bener Meriah merupakan
Kabupaten termuda dalam wilayah Provinsi Aceh, yang merupakan hasil
pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah dengan berdasarkan undang- undang No.
41 tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bener
Meriah di Provinsi Aceh. Diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 7
1
Nanggroe antara yaitu sebutan untuk wilayah yang berada di atas pegunungan dianggap sebagai kawasan yang terletak diantara langit dan bumi karena letaknya di atas pengunungan terlihat dekat dengan langit oleh sebab itu dikatakan negeri antara atau nangroe antara.
2Urang Gayo
merupakan sebutan untuk orang yang bersuku Gayo.
Januari 2004 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah. Oleh
sebab itu kebudayaan yang dimiliki masyarakat Bener Meriah memilki banyak
kesamaan dengan kebudayaan yang dimilki oleh kabupaten Aceh Tengah.
Dalam segi kehidupan, urang Gayo memiliki kebudayaan tersendiri
sebagai ciri khas dan menjadi pembeda antara masyarakat Gayo dengan
masyarakat Aceh pada umumnya. Menurut ilmu antropologi, “Kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.
Dalam pahamnnya E.B Taylor dalam Soekanto (1990:172) menyatakan bahwa
“Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
Maka dapat disimpulkan kebudayaan adalah hasil dari karya cipta, karsa dan rasa
yang merupakan suatu kebiasaan yang integritas, dimiliki oleh manusia mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat mempunyai sifat
dinamis, artinya selalu berubah mengikuti setiap perkembangan dan daya nalar
manusia sesuai zamannya.
Menurut J.J Honigmann dalam (Koentjanigrat, 1980) ada tiga “gejala
kebudayaan”, yaitu 1. Ideas, 2. Activities, dan 3. artifacts. Dari ketika gejala
kebudayaan tersebut diatas dapat dipahami bahwa kebudayaan memilki tiga
wujud yaitu: 1. Wujud kebudayaan sebagai bentuk yang sempurna dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, 2. Wujud
dalam masyarakat, 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia. Ketiga wujud kebudayaan ini tidak akan terpisah satu sama lain.
Didalam wujud kebudayaan tersebut terdapat unsur-unsur kebudayaan yaitu:
bahasa, sistem, pengetahuan, organisasi, sosial, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.3 Dari
ketujuh unsur budaya tersebut tercipta nilai-nilai budaya, pandangan hidup, dan
ideologi yang berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat.
Untuk mencapai kemakmuran urang Gayo menerapkan nilai-nilai budaya sebagai acuan hidup. Adapun nilai-nilai budaya Gayo tersebut antara lain :
mukemel (harga diri), tartib (tertib), setie (setia), semayang gemasih (kasih sayang), munentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat (musyawarah),
alang tulung (tolong-menolong), bersikemelen (kompotitif).4 Nilai-nilai ini
diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi,
kesenian, kekerabatan, dan pendidikan yang bersumber dari agama Islam serta
adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.
Pengaruh alam sangat dominan dalam membentuk kebudayaan manusia,
sampai tahun 1970 didataran tinggi Gayo hanya beberapa jam saja terlihat
matahari, sisanya selalu ditutupi awan, curah hujan yang cukup tinggi, hutannya
lebat berisi pohon kayu yang rindang dan besar, hawanya dingin, inilah faktor
yang menyebabkan urang Gayo menjadi manusia yang artistik.5 Artinya peka dengan hal-hal yang bersifat indah, merdu, lembut, maka tidak aneh jika dalam
3
Koentjanigrat pengantar ilmu antropologi, Aksara Baru : 1980 : hal.217
4Ibrahim, mahmud Drs. H., Syari‟at dan Adat Istiadat,
jilid I, yayasan magamam mahmuda Takengon: 2003: hal.19
5
hal berkesenian urang Gayo sebagian besar ahli dalam menciptakan dan mengalunkan syair-syair bersifat pujian akan keindahan alam dan kekuasaan sang
Pencipta serta hal-hal mengenai cinta/romantis, demikian juga suara dari alat-alat
musiknya yang mampu menyentak perasaan orang lain, ukiran-ukirannya
mencerminkan kemampuan urang Gayo dalam merekam peristiwa alam dengan mengukirnya di atas tanah, kayu maupun kain (rupa), demikian juga dalam seni
gerak (tari) yang melambangkan gerak-gerak gagah tapi lembut dan bersahaja,
dalam hal cerita rakyat dan legenda,6 urang Gayo membuat cerita yang disampaikan secara turun temurun (kekeberen) melalui lisan sebagai media
penyampaiannya.
Kekeberen adalah seni sastra berbentuk prosa yang disampaikan secara foklor oleh orang-orang yang lebih senior kepada juniornya seperti nenek kepada
cucunya, bibik kepada untilnya (keponakan) dan lain-lain pada waktu senggang atau menjelang tidur yang pada umumnya bertema pendidikan.7 Kekeberen yang
terdapat pada masyarakat Gayo adalah Legenda Atu Belah, Inen Mayak Pukes, Peteri Ijo, Gajah Putih, Malin Dewa dan sebagainya. Kisah-kisah yang terdapat dalam kekeberen menginspirasi para seniman-seniman berbakat untuk
menuangkan ide kreatifnya dalam sebuah karya seni yang berupa rangkaian gerak
ritmis biasa disebut sendratari. Hal ini terjadi pada sebuah sendratari yang
berjudul Peteri Bensu yang diciptakan kerena terinspirasi dari sebuah kekeberen
6
Legenda adalah prosa rakyat yang dianggap oleh empunya sebagai suatu yang benar-benar terjadi.
7
yaitu legenda Malin Dewa. Legenda Malin Dewa 8 berawal dari kisah turunnya tujuh bidadari kakak beradik yang sangat cantik dari kayangan dengan sayap
berkepak-kepak hendak membersihkan tubuhnya (mandi) ke Kali Peusangan,9
ketika tengah asik bersenda gurau didalam sejuknya udara dan segarnya air Kali
Peusangan tersebut, tanpa sadar selendang yang merupakan alat untuk terbang kembali kekayangan milik salah seorang putri hilang dicuri oleh seorang pria
yang sedang memancing di bawah Buntul Kubu,10 yang bernama Malin Dewa.
Ketika ketujuh putri tersebut selesai membersihkan tubuhnya barulah mereka
sadar bahwa salah satu selendang mereka telah hilang, ternyata selendang tersebut
milik Peteri Bensu, sampai akhirnya Peteri Bensu harus tinggal dibumi karena tanpa selendang tersebut ia tak bisa kembali kekayangan. Peteri Bensu sangat sedih karena ia hanya sebatang kara di bumi, kemudian Peteri Bensu bertemu
dengan Inen Keben dan Malin Dewa. Hingga akhirnya Peteri Bensu dan Malin Malin Dewa saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah. Sampai tiba
saatnya Peteri Bensu menemukan kembali selendang yang telah lama hilang, dan
Malin Dewa harus merelakan Peteri Bensu kembali ke kayangan.
Kata Peteri Bensu berasal dari kata „peteri‟ yang berarti putri dan ‘bensu’ yang berarti bungsu yang jika disambungkan menjadi „Peteri Bensu’ yang berarti
putri bungsu. Sendratari Peteri Bensu ditarikan oleh sembilan penari, satu penari
laki-laki dan delapan penari perempuan. Tujuh orang penari perempuan sebagai
8
Legenda Malin Dewa juga banyak terdapat didaerah lain sperti Jawa, Aceh Utara, dan daerah lainnya, dengan ide cerita yang sama tetapi versi yang berbeda.
9
Kali Peusangan merupakan sungai yang berhulu ke danau lot tawar, letaknya tepat di tengah-tengah kota takengon.
10
“Peteri”, satu penari perem puan sebagai “Inen Keben” dan satu penari laki-laki
sebagai “Malim Dewa”.
Sendratari Peteri Bensu disajikan dengan menggunakan unsur-unsur drama lewat geraknya, sajiannya merupakan kronologis dari sebuah peristiwa
tertentu. Tarian semacam ini sering kali disebut sendratari. Sebagian besar
gerakan-gerakan yang terdapat pada sendratari ini masing-masing memilki makna
tertentu, yang mengambarkan bagaimana alur cerita sendratari tersebut, didukung
oleh adanya syair sebagai penentu gerak (pembawa suasana) dalam mengiringi
tarian ini namun terdapat pula gerakan-gerakan yang digunakan sebagai peralihan
antara gerak satu dengan gerak lainnya..
Musik iringan adalah salah satu elemen tari yang merupakan unsur
pendukung dalam sebuah tarian, musik iringan berfungsi sebagai penambah
suasana dalam sebuah tari, yang dapat berasal dari penari berupa nyanyian tubuh
penari disebut musik internal. Sedangkan musik yang berasal dari alat musik
sebagai media ekspresi dalam pengiring tari disebut musik eksternal. Dalam
sendratari Peteri Bensu musik iringan yang digunakan adalah musik eksternal, yang menggunakan alat musik tradisional seperti gitar dan gegedem akan tetapi
seiring perkembangan zaman musik iringan tarian ini juga berubah. Para pelaku
sendratari ini sudah mulai memadukan alat musik tradisional dengan
menggunakan alat musik modern seperti keybord dan biola. Selain diiringi oleh alat musik, tarian ini juga menggunakan syair lagu yang dilantunkan secara
bersamaan dengan musik yang dimainkan. Syair lagu dalam tarian ini sesuai
maka tarian ini juga dapat diiringi oleh syair lagu tersebut. Misalnya pada saat
gerakan mumaren opoh (meletakkan pakaian), syair yang dilantunkan yakni “ wo
isone i paren opoh peteri beloh ku waeh jernih” yang artinya “ disana diletakkan kain, putri pergi ke air jernih”. Begitu pula dengan gerakan selanjutnya saling
berhubungan dengan syair yang dilantunkan. Pada sendratari ini syair juga
dijadikan sebagai pembeda antara ragam satu dengan ragam lainnya.
Busana yang dipakai dalam sendratari ini adalah baju kerawang. Baju
kerawang Gayo memiliki ciri khas berupa warna dan ukiran. Warna dasar adalah
hitam yang melambangkan segala keputusan di tangan adat. Ada berbagai warna
lain yang terdapat pada kerawang Gayo yakni: warna putih lambang kesucian dan
keiklasan, hijau lambang kesuburan, kuning lambang kejayaan, dan merah
lambang keberanian. Sendratari ini juga menggunakan properti yaitu selendang
untuk penari perempuan, pancing untuk penari laki-laki dan bunga untuk inen keben.
Eksistensi (keberadaan) sendratari Peteri Bensu pada masyarakat Gayo tidak hanya sekedar hasil kreatifitas, tetapi sebagai hiburan dan pertunjukkan
pendukung untuk menyemarakkan acara-acara tertentu pada masyarakat Gayo,
yang diciptakan berdasarkan pendalaman konsep, idealistik, yang tidak
semata-mata berorentasi pada upaya membuat penonton senang atau menghibur, akan
tetapi sebuah ungkapan dalam gerak dan memuat komentar-komentar terhadap
realitas yang tetap bertahan di benak penonton setelah pertunjukkan selesai.
Artinya setelah penonton selesai menyaksikan pertunjukkan sendratari ada
tentang realitas yang terjadi. Gaya dalam sebuah sendratari dapat berubah sesuai
perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya. Eksistensi sendratari tidak akan
lepas dari masyarakat pendukungnya,11 hal tersebut sangat dipengaruhi oleh
penciptaan sendratari yang sebagian besar bersumber dari latar belakang tradisi
dan budaya yang telah melegenda. Sama halnya dengan sendratari Peteri Bensu,
masyarakat Gayo sangat berperan penting dalam melestarikan sendratari ini,
seiring berjalannya waktu sendratari Peteri Bensu semakin berkembang.
Perkembangan sendratari Peteri Bensu, disambut baik oleh semua pihak seperti, para seniman, pemerintah, tokoh masyarakat, dan masyarakat Gayo itu sendiri.
Berdasarkan fenomena tersebut, perlu dilakukan penelitian agar dapat
mendeskripsikan eksistensi dan bentuk sendratari Peteri Bensu pada masyarakat
Gayo. Adapun judul penelitian ini adalah “Eksistensi dan Bentuk Sendratari
Peteri Bensu pada Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah” untuk
dideskripsikan dalam bentuk karya ilmiah yang dikemas dalam bentuk skripsi.
11
B. Identifikasi masalah
Mecermati paparan latar belakang masalah di atas maka dapat
diidentifikasi berbagai masalah yang berhubungan dengan sendratari Peteri Bensu. Indentifikasi masalah terjadi akibat hubungan dari beberapa faktor seperti
keadaan, kebiasaan dan sebagainya yang akhirnya menimbulkan beberapa
pertanyaan. Tujuan dari identifikasi masalah adalah agar penelitian yang
dilakukan menjadi terarah serta cakupan masalah yang dibahas tidak terlalu luas.
Berdasarkan pendapat diatas maka permasalahan dalam penelitian
eksistensi dan bentuk sendratari Peteri Bensu didentifikasi menjadi beberapa hal,
diantaranya:
1. Bagaimanakah Eksistensi Sendratari Peteri Bensu pada Masyarakat Gayo di kabupaten Aceh Tengah?
2. Bagaimanakah Bentuk penyajian Sendratari Peteri Bensu pada Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah?
3. Bagaimanakah Perkembangan Sendratari Peteri Bensu pada Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah
4. Bagaimanakah musik iringan Sendratari Peteri Bensu pada Masyarakat Gayo
Kabupaten Aceh Tengah?
C. Pembatasan masalah
Berdasarkan gambaran umum pada latar belakang yang telah peneliti
paparkan diatas agar cakupan permasalahan yang diteliti tidak terlalu luas, maka
peneliti membatasi permasalahan yang akan diteliti agar terarah dan terfokus. Hal
“Sebuah masalah yang dirumuskan terlalu luas tidak perlu dipakai
sebagai masalah penyelidikan tidak akan pernah jelas batasan-batasan
masalah pembatasan ini perlu bukan saja untuk mempermudah atau
menyederhanakan masalah bagi penyelidikan akan tetapi juga
menetapkan lebih dahulu segala sesuatu yang diperlukan dalam
memecahkan segala sesuatu yang diperlukan dalam memecahkan
masalah waktu, ongkos, dan lain sebagainya”.
Mengingat perlunya pembatasan masalah dalam sebuah penelitian, maka
peneliti kemudian menentukan batasan-batasan masalah yang akan dibahas dalam
eksistensi dan bentuk sendratari Peteri Bensu sebagai berikut:
1. Bagaimana eksistensi sendratari Peteri Bensu pada masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah?
2. Bagaimana bentuk sendratari Peteri Bensu pada masyarakat Gayo Kabupaten
Aceh Tengah?
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah sangat penting kedudukannya di dalam kegiatan
penelitian, karena melakukan perumusan masalah merupakan kegiatan separuh
dari penelitian itu sendiri, maka peneliti membentuk rumusan masalah
berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah serta pembatasan pada
umumnya perumusan masalah disajikan secara singkat dalam bentuk kalimat
tanya, yang isinya mencerminkan adanya permasalahan yang perlu dipecahkan
atau yang perlu dicari jawabannya. Oleh sebab itu maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Bagaimana eksistensi dan bentuk
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan arah dari penelitian itu sendiri. Menetapkan
hasil yang akan dicapai apabila kegiatan penelitian telah selesai, sebagai tolak
ukur untuk menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan penelitian yang
merupakan tujuan penelitian tersebut. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mendeskripsikan eksistensi sendratari Peteri Bensu pada masyarakat Gayo
Kabupaten Aceh Tengah.
2. Sebagai upaya pendokumentasian bentuk sendratari Peteri Bensu untuk dapat
dimanfaatkan sebagai upaya pelestarian seni budaya dan pendidikan bagi generasi
selanjutnya dimasa yang akan datang.
F. Mamfaat Penelitian
Manfaat yang di ambil dari penelitian yang diwujudkan dalam laporan
penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan motivasi bagi setiap pembaca, khususnya generasi muda baik
masyarakat penikmat seni maupun masyarakat Gayo di Takengon Kabupaten
Aceh Tengah
2. Sebagai bahan masukan (referensi) untuk menjadi acuan pada penelitian yang
relevan di kemudian hari.
3. Sebagai bahan informasi kepada masyarakat atau lembaga yang membangun
kebudayaan khususnya dibidang seni tradisional.
4. Sebagai apresiasi bagi mahasiswa dan mahasiswi program studi seni tari di
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan di lapangan dan penjelasan yang
sudah di uraikan mulai dari latar belakang hingga pembahasan, maka dapat di
tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Sendratari Peteri Bensu merupakan salah satu tari kreasi dari masyarakat Gayo yang didalamnya memilki unsur-unsur drama lewat geraknya, sajiannya
merupakan kronologis dari sebuah peristiwa legenda Malin Dewa. Sendratari
Peteri Bensu diciptakan pada tahun 1972 oleh beberapa seniman diantaranya ibu Asri,ibu Hadijah Rahmatsyah, ibu Sadimah, bapak Sarifuddin kadir, Alm.
Syeh Kilang, dan Alm. Ar. Mouse untuk mengikuti Pekan Kebudayaan Aceh
II (PKA) yang ditampilkan oleh kontingen Aceh Tengah. Sendratari ini
ditarikan oleh peneri yang berjumlah 9 (sembilan) orang dengan peran
masing-masing diantaranya 7 (tujuh) penari perempuan berperan sebagai
tujuh bidadari, 1 (satu) penari perempuan berperan sebagai Inen Keben, dan 1
(satu) penari laki-laki berperan sebagai Malin Dewa.
2. Sendratari Peteri Bensu terdiri dari tiga tahap yakni tahap pembuka, tahap isi dan tahap penutup yang memilki jumlah ragam yakni 9 ragam yang
didalamnya terdapat 17 motif gerak yaitu motif gerak pembuka, terbang,
toron muniri, munawe, berketibung, terbang (tanpa menggunakan selendang),
berpanggir, mungusuk tungem, munawe ku kuduk, mungusuk punguk, munuet selendang, berues ate, munosah bunge, mudemu, petemun, mupisah dan motif
gerak penutup. Sendratari Peteri Bensu ditampilkan dengan syair sebagai penentu gerak dan musik pengiring eksternal yang dihasilkan oleh beberapa
alat musik diantaranya gegedem dan gitar, namun seiring berjalannya waktu
sendratari ini mulai ditampilkan dengan menggunakan alat musik tambahan
seperti keyboard, biola, bass, canang dan teganing.
3. Kostum atau busana yang digunakan dalam sendratari ini yaitu seperangkat baju tari kerawang gayo (baju adat suku gayo) yakni baju, ketawak, pawak
(rok), dan penutup kepala (jilbab) bagi penari perempuan, baju, ketawak, opoh kerong, seruel (celana) bulang (topi) bagi penari laki-laki, sedangkan
inen keben memakai baju kebaya dan pawak (rok) dari kain batik. Sendratari
Peteri Bensu menggunakan properti yakni selendang bagi 7 penari perempuan yang berperan sebagai 7 bidadari, kayu pancing untuk Malin Dewa, dan
sepucuk bunga yang digunakan oleh inen keben.
4. Berbagai upaya dilakukan untuk mempertahakan eksistensi sendratari Peteri
Bensu, mulai dari mendokumentasikan kedalam bentuk kaset VCD lagu Gayo, di adakannya lomba (kelangsungan budaya) pertunjukan tari dengan
materi sendratari Peteri Bensu, menjadikan sendratari ini sebagai materi
bahan ajar seni tari disekolah-sekolah baik di daerah Aceh Tengah maupun di
wilayah kabupaten Bener Meriah, hingga stasiun TVRI juga ikut
mengapresiasi sendratari ini dan mendokumentasikannya untuk ditayangkan
di stasiun TVRI tersebut agar sendratari ini dikenal oleh seluruh lapisan
masyarakat Gayo yang berada di dalam maupun di luar daerah Gayo itu
B. SARAN
Setelah melakukan penelitian mengenai Eksistensi dan bentuk sendratari
Peteri Bensu pada masyarakat Gayo di kabupaten Aceh Tengah, maka muncullah
beberapa saran sebagai upaya pengembangan kesenian sendratari Peteri Bensu
sebagai berikut:
1. Penulis berharap dengan adanya penelitian ini, masyarakat Gayo agar
dapat menjaga , mengembangkan serta melestarikan tari-tarian yang
berada pada masyarakat Gayo sehingga terhindar dari kepunahan dan
tetap eksis khususnya di kabupaten Aceh Tengah.
2. Penulis juga berharap kepada masyarakat Gayo khususnya kepada
pemerintah daerah agar senantiasa memperkenalkan berbagai bentuk
kesenian khususnya seni tari kepada masyarakat luas baik didalam
maupun di luar daerah Gayo. Dengan demikian keberadaan bentuk
kesenian tersebut akan lebih dikenal dan di apresiasi oleh berbagai
kalagan.
3. Kepada seluruh lapisan masyarakat Gayo agar dapat lebih
meningkatkan kepedulian terhadap bentuk kesenian daerah, dengan
demikian berarti telah membantu menjaga dan melestarikannya
sehingga menyelamatkan anak cucu kita dari pengaruh budaya luar.
4. Diharapkan kepada para seniman-seniman yang berkecimpung dalam
bidang tari di kabupaten Aceh Tengah agar kedepannya untuk
bergantung kepada syair (tidak memakai syair sebagai penentu gerak),
karena bentuk seni yang memakai syair berbahasa daerah sulit
dipahami oleh maasyarakat yang berbeda suku dan bahasa. Sehingga
bentuk tari itu akan berdiri ditempat karena hanya akan dipahami satu
suku bangsa saja, sedangkan di indonesia memilki berbagai suku
bangsa. Hal ini akan mempersulit perkembangan dan pelestarian
sebuah karya seni tersebut ke seluruh lapisan masyarakat di indonesia.
92
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. (2007). Analisis Esensial. PT. Raja Grafindo Jakarta:Persada.
Desiana Syahzuar, Wahyu. (2014) “Tari Kesume Gayo Pada Masyarakat gayo
Kabupaten Aceh Tengah Tinjauan Terhadap Bentuk”. Skripsi.
Universitas Negeri Medan.
Endaswara, Suwardi. (2006). Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Slemean: Pustaka Widyatama.
Hadi, Sumandiyo (2007). Kajian Teks dan Konteks. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Hadi, Sumandiyo (2005). Sosiologi Tari. Yogyakarta: Pustaka
Hidajat, Robby. (2005). Wawasan Seni Tari. Universitas Negeri Malang
Insani, Nurul (2013). Sejarah dan Bentuk Penyajian Tari Resam Berume pada Masyarakat Gayo di Aceh Tengah. Skripsi. Universitas Negeri Medan. Ibrahim, Mahmud. (2007). Mujahid Dataran Tinggi Gayo. Takengon: Yayasan
Maqmam Takengon.
Ibrahim, Mahmud. (2010). Syariat dan Adat Istiadat Jilid I. Takengon: Yayasan Maqmam Takengon.
Ibrahim, Mahmud. (2003). Syariat dan Adat Istiadat Jilid II. Takengon: Yayasan Maqmam Takengon.
Kayam, umar. 1981. Seni, Tradisi, masyarakat (Atr, Tradition and Populace). Jakarta: Sinar Harapan.
Khutniah, Nainul. (2012). Upaya Mempertahankan Eksistensi Tari Kridhajati di Sanggar Hayu Budaya Kelurahan Pengkol Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara. Jurnal. Universitas Negeri Semarang.
Koentjaranungrat. (1980). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Nurwani. (2007). Pengetahuan Tari. Diktat. Universitas Negeri Medan.
Saadah (2013). Etika dan Estetika Tari Guel Pada Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah. Skripsi. Universitas Negeri Medan.
93
Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. (1983). Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Ulfah, Nazrial (2011), Keberadaan dan Perkembangan Tari Lawuet pada Masyarakat Aceh di Langsa. Skripsi. Univrsitas Negeri Medan.
http://imarho.files.wordpress.com
http://www.lintasGayo.com/23688/ini-makalah-muchlis-Gayo-sh-pada-seminar-jetrada-di-takengon.html
http://www.perkuliahan.com/apa-pengertian-studi-kepustakaan.
http://agusbwaceh.blogspot.com/2009/02/pekan-kebudayaan-aceh-pka-di-aceh.html
http/www.google.com
www.penataanruang.net/taru/BD/Aceh.pdf
www.alwanku.com/2013/02/defenisi-keberadaan-menurut-para-ahli.htm’1