• Tidak ada hasil yang ditemukan

E- ISSN: All Rights Reserved. P- ISSN: Volume 10 Nomor 2, Desember 2021 Page: DOI:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "E- ISSN: All Rights Reserved. P- ISSN: Volume 10 Nomor 2, Desember 2021 Page: DOI:"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Copyright ©2021 Museum Nasional All Rights Reserved

E- ISSN: 2807-1298 P- ISSN: 2355-5750

Volume 10 Nomor 2, Desember 2021 Page: 28-38

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.44

Jurnal Prajnaparamita 28

PENATAAN ARTEFAK DI MUSEUM KONFERENSI ASIA-AFRIKA SEBAGAI REPRESENTASI IDENTITAS NASIONAL

Artifact Arrangement in the Asian-African Conference Museum as a National Identity Representation

Afina Fatharani

Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Kabupaten Sumedang Pos-el: afinafatharani@gmail.com

Received: Oct 14, 2021 Accepted: Nov 19, 2021 Published: Dec 1,2021

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penataan artefak di museum dapat merepresentasikan dan memunculkan kesadaran identitas nasional. Studi kasus dilakukan di Museum Konferensi Asia-Afrika yang memiliki tema sejarah konferensi internasional pertama bagi bangsa- bangsa “kulit berwarna”. Museum yang dibangun di suatu negara cenderung menunjukkan identitas nasionalnya untuk melegitimasi kekuatan bangsa. Terdapat lima aspek yang memengaruhi bagaimana museum dapat mewakili identitas nasional, seperti tema museum, artefak, narasi pada ruang pameran, konsep identitas nasional, dan yang terakhir adalah regulasi sekaligus visi museum. Dalam menjawab pertanyaan utama penelitian, penulis menggunakan metode kualitatif, sehingga ditemukan pengetahuan mendalam dari hasil wawancara dengan informan. Penelitian ini menemukan bahwa konsepsi identitas nasional dari staf museum yang bertanggung jawab dalam penataan artefak bersifat konstruktif. Identitas nasional adalah bentuk imajinatif dari seluruh komunitas yang ada dalam suatu bangsa. Itulah yang diilustrasikan kurator melalui penataan dan pengorganisasian artefak dengan merepresentasikan peristiwa sejarah bangsa, simbol-simbol bangsa, serta ideologi nasional di ruang pameran Museum Konferensi Asia-Afrika.

Kata kunci: Museum, Identitas Nasional, Artefak.

Abstract

This research aims to ascertain how artifact arrangement represents and awakens national identity in a museum. The case study is located in the Asian-African Conference Museum which has the historical theme of the first international conference for "colored" nations. A museum that builds in a nation tends to show its national identity to legitimize nation power. It comprises five aspects that affect how the museum could represent national identity, such as museum theme, artifact, display narration, national identity conception, and the last is regulation as well as a vision of a museum itself. The writer used the qualitative method to answer this research's main question, which could find deep knowledge of information derived from interviewing the informants. This research has found that the conception of national identity from museum staff who correspond with artifact arrangement is constructive. National identity is an imaginative form of a whole community that

(2)

29 Jurnal Prajnaparamita

exists in a nation. The curator illustrates through artifact arrangement and organizing by representing the historical event of the nation, nation symbols, and national ideology in the Asian- African Conference Museum exhibition room.

Keywords: Museum, National Identity, Artifact.

PENDAHULUAN

Dibangunnya beberapa institusi museum di Indonesia berawal dari melemahnya kekuasaan Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda atau VOC dan Kongsi Dagang Hindia Timur Inggris di Asia pada waktu Indonesia masih dijajah oleh Belanda (Anderson, 2006:180). Semakin melemahnya kekuasaan dari kedua kongsi dagang terbesar di Asia tersebut mendorong didirikannya beberapa institusi museum di Asia Tenggara yang terus meningkat pada masanya, termasuk di Indonesia.

Hal ini mendorong Pemerintah Belanda untuk melancarkan kekuasaannya di Indonesia dengan gaya baru (Anderson, 2006:180). Pembangunan museum di Indonesia yang dipengaruhi oleh koloni berawal dari tiga hal. Pertama, Pemerintah Belanda memasukkan pengetahuan mengenai artefak-artefak yang telah ditemukan ke dalam kurikulum pendidikan untuk para pelajar Indonesia. Hal ini bertujuan agar pelajar Indonesia tidak memiliki pemikiran progresif yang dapat mengancam keberadaan kolonial. Kedua, Pemerintah Belanda membangun monumen bersejarah terkait dengan temuan peninggalan leluhur dari Indonesia dengan maksud memberi jarak kepada penduduk asli bahwa kejayaan leluhurnya pada masa lalu sangat berbeda dengan kondisi mereka saat ini yang tidak mungkin lagi berjaya seperti nenek moyangnya. Ketiga, penelusuran arkeolog Belanda mengenai artefak yang telah ditemukan di Indonesia memberi kesan kepada penduduk asli bahwa kaum kolonial

berjasa dalam mengangkat sejarah Indonesia di masa lampau.

Menurut Anderson (2006, 180-182), ketiga hal ini mewarisi latar belakang pendirian museum di negara bekas koloni yang telah merdeka seperti Indonesia. Maka dari itu, kepentingan didirikannya museum di Indonesia cenderung bersifat politis, yakni untuk mempertahankan kekuasaan dan melegitimasi identitas dari bangsa Indonesia sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda ketika menemukan artefak-artefak dan mendirikan monumen serta museum.

Sekitar 60 tahun lalu, Bandung menjadi tempat dilaksanakannya konferensi internasional pertama untuk orang-orang

“kulit berwarna”. Roeslan Abdulgani (1980) selaku Sekretaris Jenderal Konferensi Asia Afrika 1955 menulis peristiwa bersejarah tersebut dalam bukunya yang berjudul The Bandung Connection. Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo sebagai tokoh nasional Indonesia berperan sangat sentral dalam Konferensi Asia-Afrika 1955.

Kedua tokoh inilah yang mengusulkan diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika.

Besarnya perhatian dunia terhadap peristiwa pergerakan orang-orang “kulit berwarna” ini membuat Bandung turut menjadi pusat perhatian dunia. Berdasarkan gagasan Menteri Luar Negeri, Mochtar Kusumaatmadja (1978--1988), didirikanlah Museum Konferensi Asia-Afrika di Jalan Asia Afrika No. 65, Bandung pada 24 April 1980 (MKAA, leaflet, 2014).

Di dalam kajian antropologi museum, museum dipandang sebagai artefak sosial.

(3)

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021 e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.44

Jurnal Prajnaparamita 30 Artefak di dalam ruang pameran museum

tidak hanya menunjukkan sudut pandang atau worldview seorang pembuatnya pada suatu masyarakat tertentu, tetapi juga mewakili atau merepresentasikan ide dari kurator yang telah melakukan proses pengumpulan, pemilihan, serta penyajian dari artefak tersebut. Fokus kajian mengenai antropologi museum telah menarik beberapa pelajar untuk mengkajinya. Beberapa di antaranya mengkaji museum dengan wacana identitas.

Salah satunya adalah kajian yang dilakukan oleh Prawirosusanto (2008:226) berjudul Sejarah, Klasifikasi, dan Politik Representasi Enam Museum di Yogyakarta.

Disimpulkan bahwa museum dengan berbagai tema dan fokusnya memiliki cara- cara yang khas untuk merepresentasikan wacana-wacana yang ingin disampaikan.

Wacana-wacana tersebut dapat berupa identitas, kisah, peristiwa, nilai, dan pengetahuan. Pengetahuan yang disampaikan oleh museum melewati proses penyeleksian, dikonstruksi, dan diwacanakan melalui ruang pameran museum (Prawirosusanto, 2008:226). Penelitian tersebut pun menunjukkan cara museum-museum di Yogyakarta mengangkat identitas kota.

Berkaitan dengan peristiwa Konferensi Asia-Afrika 1955 yang melibatkan bangsa- bangsa lain di Asia dan Afrika, Museum Konferensi Asia-Afrika mengangkat isu tersebut dengan upaya membangun identitas bangsa Indonesia. Pedoman Pancasila, Pembukaan UUD 1945, dan gagasan politik luar negeri bebas aktif menjadi dasar diselenggarakan Konferensi Asia-Afrika 1955, karena memiliki prinsip penolakan praktik imperialisme dan kolonialisme serta mengutamakan nilai kemanusiaan. Dari kesepuluh poin Dasasila Bandung yang merupakan hasil rumusan konferensi, terdapat tiga nilai penting yang diyakini

seluruh delegasi, yaitu kesetaraan, hidup berdampingan secara damai, dan kerjasama internasional. Dari sinilah penulis ingin mengetahui bagaimana Museum Konferensi Asia-Afrika menampilkan identitas nasional dalam nuansa museum yang bercerita tentang bangsa-bangsa dengan pandangan dan ideologi yang berbeda bersatu dalam suatu konferensi bersejarah.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran bagaimana cara museum menampilkan artefak dan melakukan penataan di dalam ruang pameran untuk membangun identitas bangsa Indonesia kepada publik. Selain itu, penelitian mengenai antropologi dan museum di Indonesia masih terbilang sedikit. Berbeda dengan beberapa negara di Eropa yang telah mengaitkan ilmu antropologi dengan museum sejak sejumlah negara di Eropa berekspansi ke daerah jajahan di wilayah Asia dan Afrika. Hal itu memang didukung atas kepentingan bangsa Eropa untuk mempelajari kebudayaan masyarakat jajahannya dan mendokumentasikannya di dalam museum.

Landasan Teori

Museum merupakan tempat yang dapat membangun perasaan identitas bangsa kepada pengunjung dengan menyampaikan materi kebudayaan dan sejarah suatu bangsa (Bouquet, 2012:45). Museum membangun identitas nasional melalui gaya arsitektur bangunan dan melalui koleksi-koleksinya.

Identitas bangsa yang ditonjolkan oleh museum ditampilkan melalui benda-benda pameran yang kemudian dapat dibandingkan dengan bangsa lain.

Definisi penataan ruang pameran museum dalam membangun identitas nasional adalah apabila artefak-artefak yang dipamerkan dan dipajang dalam ruang pameran menunjukkan keberhasilan suatu

(4)

31 Jurnal Prajnaparamita

bangsa agar para pengunjung yang berasal dari bangsa itu sendiri merasa berada di

“rumah” (Bouquet, 2001:18). Cara museum membangun identitas nasional adalah dengan membangun imajinasi kepada publik melalui ruang pameran dan artefak-artefak sehingga publik merasakan rasa nasionalisme, baik pada peristiwa bersejarah bangsa yang kelam maupun membanggakan.

Identitas adalah seperangkat makna yang mendefinisikan seseorang di saat ia memiliki peran dalam masyarakat, bagian kelompok, atau mengklaim karakteristik tertentu yang menandakan dirinya unik (Burke & Stets, 2009:3). Dengan banyaknya peran yang dimiliki seorang individu dalam masyarakat, maka identitas tidak bersifat tunggal.

Identitas yang bermacam-macam ini kemudian dapat memengaruhi sikap, cara berpikir, perasaan, dan emosi seseorang.

Identitas nasional diatur oleh otoritas negara dan dirasakan pada tingkat antusiasme tertentu dalam diri individu. Bangsa atau nation dapat juga disebut sebagai negara, otoritas terpusat, atau entitas politik yang disatukan oleh ruang fisik dengan identitas yang dideklarasikan (Kaplan, 2011:152).

Fitur-fitur kebangsaan seperti bahasa, kebiasaan, kepercayaan, sejarah, pakaian, dan budaya material berdampak pada pembentukan museum (Kaplan, 2011: 153- 154). Unsur-unsur tersebut berfungsi sebagai alat legitimasi kelompok etnis demi kekuasaan politik dan membangun rasa kesatuan di antara mereka. Hal ini lah yang menjadi alasan utama mengapa pembangunan museum menjadi penting METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan bertujuan untuk memperoleh pengetahuan mendalam berupa informasi dari hasil wawancara informan yang

bersangkutan, sehingga didapatkan gambaran bagaimana cara museum membangun identitas nasional melalui penataan artefak di dalam ruang pameran.

Unit analisis yang menjadi fokus penelitian ini adalah identitas nasional yang dibangun melalui penataan artefak di dalam ruang pameran museum. Informan dipilih secara purposive, yakni mereka yang terlibat dalam kegiatan di ruang pameran museum dan melalui snowball sampling, yaitu proses pendekatan bergulir dari komunitas Sahabat Museum, pemandu, hingga akhirnya mendapat informan dalam Seksi Pelestarian dan Dokumentasi Diplomasi Publik yang bertugas sebagai penata artefak di Museum Konferensi Asia-Afrika. Dalam kaitannya dengan masalah penelitian, penulis mewawancarai penata artefak ruang pameran Museum Konferensi Asia-Afrika, yaitu tiga orang staf Seksi Pelestarian dan Dokumentasi Diplomasi Publik. Penata artefak ruang pameran inilah yang berperan dalam melakukan pencarian informasi terkait sejarah Konferensi Asia-Afrika 1955, mengumpulkan artefak-artefak, dan melakukan penataan di dalam ruang pameran.

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Penulis mengamati bagaimana pihak museum membangun identitas bangsa Indonesia kepada pengunjung melalui benda display atau artefak. Selain melakukan observasi, dilakukan pula wawancara mendalam kepada penata artefak ruang pameran, pemandu, dan kepala museum.

Observasi dan wawancara dilandasi oleh studi-studi kepustakaan yang memunculkan fokus masalah penelitian. Studi kepustakaan tidak hanya memberangkatkan penulis untuk memahami suatu fenomena sosial, tetapi juga

(5)

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021 e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.44

Jurnal Prajnaparamita 32 berguna dalam menafsirkan dan memberi

kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan.

Analisis data yang mendukung penelitian kualitatif ini adalah kerangka analisis interpretatif atau tafsir kebudayaan.

Alasannya adalah karena data-data yang diambil oleh penulis melalui teknik observasi dan wawancara memerlukan suatu penafsiran. Artefak digunakan oleh museum untuk menyampaikan wacana identitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, analisis interpretatif sangat diperlukan dalam penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Museum Konferensi Asia-Afrika tergolong sebagai museum event yang menceritakan suatu peristiwa sejarah perjuangan. Oleh karena itu, pengunjung perlu digiring rasa emosionalnya untuk merasakan bagaimana perjuangan orang-orang “dunia ketiga”

dalam melawan praktik-praktik kolonialisme dan imperialisme. Praktik penjajahan memungkinkan terjadinya interaksi lintas bangsa, sehingga memengaruhi pembentukan identitas nasional. Era kebangkitan nasional yang dialami Inggris, Perancis, dan Jerman pada 1780-1860 juga disebut sebagai era romantis, di mana identitas nasional diimajinasikan secara virtual dan naratif (Casaliggi & Porscha, 2016 : 136-137).

Kurator menggunakan pendekatan romantisme dalam melakukan penataan artefak. Romantisme bagi Friedrich Nietzsche adalah pelarian individu dari konflik melalui mimpi, imajinasi, serta bentuk penyangkalan diri lainya (Casaliggi &

Porscha, 2016 : 28). Keterkaitan antara romantisme dengan nasionalisme dijelaskan

oleh Chandler dalam Casaliggi dan Porscha (2016:35), yakni berawal dari peristiwa- peristiwa bersejarah yang di dalamnya ada perubahan ideologi, teknologi, politik, maupun transformasi budaya.

Salah satu sisi romantisme yang ditunjukan dalam ruang museum adalah panel foto Soekarno saat memberi pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika berjudul Let a New Asia and a New Africa be Born yang membangun semangat peserta sidang di Gedung Merdeka.

Dalam melakukan penataan artefak di dalam ruang pameran, staf bagian koleksi museum memiliki pertimbangan yang didasari oleh sejarah diplomasi Indonesia dalam Konferensi Asia-Afrika dan tujuan museum untuk menyampaikan nilai-nilai Konferensi Asia-Afrika 1955. Dengan begitu, terdapat isu identitas nasional yang diharapkan dapat sampai kepada pengunjung.

Anderson dalam Hall (1996:613) menyebut identitas nasional dengan komunitas terbayang atau imagined community. Hal yang membedakan suatu masyarakat bangsa dengan bangsa lain tidak lain adalah dari cara masyarakat tersebut membayangkan bangsanya. Identitas nasional ini kemudian direpresentasikan melalui lambang-lambang negara.

Kebudayaan nasional dibentuk melalui simbol dan representasi yang bersifat diskursif, yaitu memiliki makna yang dapat mengatur seorang individu berperilaku dan mengonsepsikan dirinya (Hall, 1996:613).

Kurator museum Konferensi Asia-Afrika membangun identitas nasional sesuai dengan konsep dari Benedict Anderson dalam menata displai, yakni melalui emblem.

Anggota masyarakat memiliki respons yang ia pelajari sebagaimana orang pada umumnya

(6)

33 Jurnal Prajnaparamita

dalam memaknai emblem atau lambang negara (Anderson, 2006:9). Identitas nasional dalam diri individu dapat dibangun dengan mengingatkan publik mengenai sejarah suatu bangsa, simbol, dan ideologi negara . Proses konstruksi identitas nasional inilah yang mereka lakukan dalam menata artefak di ruang pameran Museum Konferensi Asia- Afrika, yakni melalui panel berisi makna lambang burung Garuda dan sejarah pembentukannya.

Untuk memunculkan rasa “bersatu”

terhadap suatu bangsa tempat seseorang lahir dan dibesarkan, juga dapat direpresentasikan melalui kisah heroik ataupun kisah tidak menggembirakan yang terjadi pada suatu negara. Penyajian dan pengilustrasian peristiwa Konferensi Asia-Afrika 1955 di dalam ruang pameran museum memang diarahkan untuk menunjukkan peran bangsa Indonesia di dalam konferensi. Diorama sidang pembukaan Konferensi Asia-Afrika mengilustrasikan Presiden Soekarno yang sedang membaca pidato, meski beberapa delegasi dari negara sponsor juga turut menyampaikan pidato.

Begitu pula dengan ditampilkannya ideologi bangsa Indonesia pada tiga buah panel berisi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, dan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia. Ketiga hal tersebut disampaikan sebagai konsep dasar dari usulan Indonesia untuk menggagas Konferensi Asia-Afrika. Peserta Konferensi Asia-Afrika terdiri atas berbagai bangsa di Asia dan Afrika yang memiliki keragaman ideologi politik, seperti demokrasi, monarki, dan teokrasi serta paham ekonomi yang beragam pula, seperti marhaenisme, sosialisme, kapitalisme, dan komunisme. Di sisi lain, ideologi yang ditampilkan di dalam ruang pameran museum adalah Pancasila dan pedoman “Bhinneka Tunggal Ika”. Kedua gagasan milik Indonesia ini disampaikan

karena dapat menjadi pedoman bersatunya Asia-Afrika dengan keragaman agama, etnis, paham politik, paham ekonomi, dan lain-lain.

Terdapat dua unsur pembentukan imaji suatu bangsa, yaitu batas dan kedaulatan.

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang terbatas karena meskipun di dalam suatu masyarakat bangsa terdapat jumlah penduduk yang sangat banyak, ia tetap memiliki batas- batas untuk bangsa lain seluwes apa pun batas-batas tersebut (Anderson, 2006:7).

Inilah yang dilakukan oleh pihak kurator museum Konferensi Asia-Afrika, yaitu memberi batas serta menunjukkan kedaulatan bangsa Indonesia melalui ideologi bangsa Indonesia itu sendiri yang ditampilkan pada beberapa panel.

Selain itu, bangsa dibayangkan sebagai komunitas karena bangsa selalu dipahami sebagai kesatuan persahabatan yang sangat dalam dan bersifat horizontal tanpa melihat adanya perbedaan dan eksploitasi (Anderson, 2006:7). Konteks persaudaraan inilah yang menurut Anderson memungkinkan anggota masyarakat suatu bangsa rela berkorban dan bertaruh nyawa melawan bangsa penjajah . Pihak kurator ruang pameran pun menunjukkan pengorbanan para generasi tua dan muda dari Indonesia sewaktu mengusir bangsa penjajah melalui teks pidato Soekarno yang ditampilkan pada panel.

Tabel 1

Analisis Komparatif Konsep Imagined Community pada Penataan Ruang Pameran

Museum Representasi

Identitas Nasional sebagai Imagined Community

Penataan Ruang Pameran Museum Konferensi Asia- Afrka

(7)

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021 e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.44

Jurnal Prajnaparamita 34 Lambang Negara

Panel berisi makna lambang burung Garuda dan sejarah pembuatannya

Figur heroik

Presiden Soekarno pada diorama

pembukaan konferensi

Ideologi

Panel Pembukaan UUD 1945, Pancasila, Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Batas dan kedaulatan Panel Pembukaan

UUD 1945

Kesatuan horizontal

Teks pidato Soekarno tentang pengorbanan generasi tua dan muda melawan penjajah.

Hal-hal yang melatarbelakangi pemahaman identitas nasional menurut kurator Museum Konferensi Asia-Afrika Pemahaman pengertian identitas nasional menurut kurator museum Konferensi Asia- Afrika dilatarbelakangi pengalaman dalam merasakan identitas kebangsaan di dalam dirinya. Pengalaman di sini berupa sesuatu yang sifatnya emosional. Roy D’Andrade dalam Barnard & Spencer (2002:219) menjelaskan pengalaman emosional dan motivasi yang mengikuti pengalaman itu sendiri membentuk struktur yang disebut dengan skema kebudayaan. Skema kebudayaan kemudian terinternalisasi dalam diri individu sehingga ia memiliki motivasi akan perilaku dalam situasi sosial.

Kurator mengalami berbagai macam situasi sosial yang dapat menimbulkan

kesadaran identitas nasional. Identitas bersifat relatif dan situasional (Eriksen 1992:30). Proses kesadaran akan identitas yang bersifat relatif dan situasional terjadi dalam negara yang memiliki beragam golongan etnis seperti di Indonesia. Pihak kurator beberapa kali melakukan interaksi dengan pengunjung. Pengunjung asal Afrika yang pernah ditemuinya menangis karena tersadar negaranya terbebas dari belenggu penjajahan akibat dorongan dari Konferensi Asia-Afrika 1955. Adanya suatu perasaan dan/atau kesadaran menjadi bagian dari suatu bangsa inilah yang melatarbelakangi pemahaman kurator museum terkait dengan identitas nasional.

Pada era pemerintahan Soeharto (1965-- 1998), Museum Konferensi Asia-Afrika resmi didirikan. Di era tersebut, sosok Soekarno tidak begitu ditonjolkan. Padahal, berdasarkan sejarah Konferensi Asia-Afrika 1955, Soekarno yang kala itu menjabat sebagai presiden memegang peranan penting dalam mengusulkan solidaritas negara “kulit berwarna” untuk melawan kolonialisme dan menggagas Konferensi Asia-Afrika 1955.

Namun, selepas pemerintahan Soeharto hingga sekarang, secara bertahap konstruksi sejarah mengenai Konferensi Asia-Afrika 1955 terus dikembangkan. Apabila dahulu gambar Soekarno hanya ditampilkan pada sebuah poster yang ditempel di dinding saja di dalam ruang pameran Museum Konferensi Asia Afrika, saat ini gambaran mengenai Presiden Soekarno lebih banyak diperlihatkan. Hal itu dapat dilihat dari adanya diorama yang mengilustrasikan Presiden Soekarno pada sidang pembukaan

(8)

35 Jurnal Prajnaparamita

Konferensi Asia-Afrika 1955, cuplikan video Soekarno saat membaca pidato, dan foto Soekarno lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan konferensi.

Adamson (1980:142) dalam bukunya berjudul Hegemony and Revolution menuliskan pandangan dari Gramsci bahwa segala bentuk hubungan hegemoni tidak lain adalah hubungan pendidikan. Pendidikan yang dimaksud, dapat berupa pendidikan formal atau informal berupa pengetahuan yang didapat dari generasi sebelumnya.

Pengetahuan inilah yang memunculkan pemahaman akan identitas nasional yang dimiliki kurator museum.

Penataan Artefak di Dalam Ruang Pameran Didasari oleh Tema dan Kebijakan Museum Konferensi Asia- Afrika

Penataan artefak di dalam ruang pameran Museum Konferensi Asia-Afrika semenjak dibangun pada tahun 1980 mengalami perubahan pada tahun 1992 dan 2005.

Perubahan penataan ini dilatarbelakangi situasi sosial yang telah berubah, tidak hanya dari segi teknologi, tetapi juga kondisi politik. Museum Konferensi Asia-Afrika mengalami beberapa kali perubahan pemajangan benda-benda koleksi dari segi tata letak, tempat displai, dan materi sejarah yang disampaikan.

Proses kuratorial melibatkan kegiatan menciptakan, membangun, dan mengembangkan tema di dalam ruang pameran dengan cara memilah dan mengatur karya seni terkait dengan tema serta memastikan seluruh aspek pameran dapat merepresentasikan pesan kepada pengunjung

dari berbagai latar belakang (Richardson, 2012:2). Meskipun mengalami dua kali perombakan di dalam ruang pameran, yaitu pada tahun 1992 dan 2005, tema sejarah diplomasi Indonesia di dalam Konferensi Asia-Afrika tetap menjadi isu utama dalam mempertimbangkan penataan.

Perubahan penataan artefak tidak dilatarbelakangi dari kepentingan dari kurator, tetapi dibatasi tema dan kebijakan museum. Museum publik seperti halnya Museum Konferensi Asia-Afrika dibiayai dan dijalankan oleh pemerintah atau negara, yaitu di bawah naungan Kementerian Luar Negeri. Maka dari itu, kurator disebut juga sebagai pelayan masyarakat. Ia memberi jasa kepada masyarakat sebagai politisi dan birokrat (Fowle, 2010:10-11).

Pertimbangan lain yang dilakukan kurator dalam menata artefak adalah berdasarkan keputusan dari Kementerian Luar Negeri. Dengan kata lain, apabila terjadi pergantian staf Seksi Pelestarian dan Dokumentasi Diplomasi Publik atau kurator di dalam ruang pameran museum, tidak akan memengaruhi terjadinya perubahan penataan ruang pameran Museum Konferensi Asia- Afrika.

Ruang pameran harus memiliki tema.

Tema inilah yang mendasari objek koleksi apa saja yang dapat ditampilkan. Objek koleksi pertama yang dijangkau oleh pengunjung ketika memasuki ruang pameran adalah diorama Sidang Pembukaan Konferensi Asia-Afrika 1955. Posisi diorama ini dekat dengan panel mengenai sejarah Gedung Merdeka. Antarkoleksi artefak tidak menceritakan suatu rentetan peristiwa yang sistematis, tetapi berdasarkan pertimbangan

(9)

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021 e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.44

Jurnal Prajnaparamita 36 sisi “emosi” mengenai praktik-praktik

penjajahan di Asia dan Afrika serta nilai-nilai Asia-Afrika, yaitu malalui pemilihan warna dan pencahayaan.

Dari segi bagaimana pihak kurator museum berinteraksi dengan pengunjung dalam merepresentasikan tema serta menyampaikan pesan-pesan melalui artefak, terdapat dua pendekatan, yaitu didactic approach dan triadic approach (Bouquet, 2012: 107). Didactic approach berarti pendekatan dalam menyampaikan pesan museum adalah melalui koneksi antara kurator museum dan artefak yang dipamerkan. Sementara itu, triadic approach merupakan pendekatan yang tidak hanya menunjukkan adanya interaksi antara kurator museum dan artefak, tetapi juga dengan pengunjung museum. Panel-panel berisi poster dengan rangkaian foto serta narasi mengenai peristiwa Konferensi Asia-Afrika 1955 merupakan didactic approach.

Sementara itu, multimedia dengan sistem layar sentuh merupakan triadic approach.

Dalam hal ini, kurator museum mengisi materi melalui media komputer dan pengunjung memilih sendiri materi yang ingin dipelajarinya.

Sesuai dengan fungsi museum, yaitu tempat untuk mendokumentasikan peristiwa bersejarah melalui pengoleksian artefak dan menyampaikan pengetahuan kepada publik, Museum Konferensi Asia-Afrika memiliki tujuan mengumpulkan bukti-bukti sejarah Konferensi Asia-Afrika 1955 dan mengomunikasikannya kepada publik.

Adanya kebijakan dari institusi yang menaungi Museum Konferensi Asia-Afrika

terhadap penataan artefak memang dapat membatasi pertimbangan dari kurator dalam melakukan penataan, tetapi hal ini tetap dapat dinegosiasikan oleh kurator. Oleh karena itu, di sini kita dapat melihat bahwa hubungan hegemoni tidak hanya terjadi antara kurator dan publik, tetapi juga pihak yang mengatur kebijakan museum. Hubungan hegemoni melalui penataan artefak di dalam museum dapat kita lihat dari cara Franz Boas melakukan proses kuratorial di Museum Nasional Amerika (Hasinoff, 2010:3).

Penataan artefak yang dilakukan oleh Boas tersebut ditunjukkan melalui hasil studinya tentang kebudayaan masyarakat Kanada di tepi Barat Laut. Meskipun studi etnologi dan kuratorial yang dilakukannya ditentukan oleh pemerintah Amerika, ia tetap memiliki kepentingannya tersendiri. Hal ini terkait dengan perjalanan yang dilakukan oleh Boas ke Pasifik Utara Jesup dan Asia Timur. Perjalanan yang dilakukannya menunjukkan bahwa ia ingin memperluas representasi geografis dalam penataan artefak di museum tempatnya bekerja (Hasinoff, 2010:3).

SIMPULAN

Kurator memiliki pendekatan tersendiri untuk menyampaikan pesan-pesan melalui penataan artefak. Museum Konferensi Asia- Afrika menggunakan pendekatan romantisme dan edukatif terkait dengan perannya sebagai museum event yang menceritakan suatu peristiwa sejarah perjuangan. Dengan digunakannya pendekatan romantisme, pertimbangan penataan ruang pameran didominasi oleh hal- hal yang menggugah emosi, seperti panel pidato Soekarno saat pembukaan sidang.

(10)

37 Jurnal Prajnaparamita

Dalam memunculkan tema museum, kurator senantiasa berinteraksi dengan artefak dan pengunjung, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendekatan ini dibagi menjadi dua, yaitu pendekatan didactic dan triadic. Penata artefak ruang pameran memilah artefak, merawat, dan kemudian memajangnya adalah bentuk interaksi yang disebut dengan pendekatan didactic. Sementara itu, interaksi antara penata artefak dan pengunjung melalui media dalam ruang pameran dinamakan dengan pendekatan triadic.

Kegiatan kuratorial dibatasi oleh tema museum. Namun, kurator memiliki kebebasan untuk mengonstruksikan sendiri konsepsi yang dimilikinya dengan syarat tetap dilakukan negosiasi terhadap institusi yang menaungi museum. Kurator Museum Konferensi Asia-Afrika mengonsepsikan identitas nasional dapat terbangun melalui atribut-atribut negara, ideologi bangsa, dan sejarah. Konsep dari kurator ini merupakan bentuk “imaji” terhadap komunitas terbayang atau dalam hal ini adalah bangsa Indonesia.

Kebijakan museum dalam

menyampaikan pesan-pesan kepada pengunjung pun dapat memengaruhi pertimbangan kurator dalam melakukan penataan artefak. Terkait dengan hal itu, museum berkuasa untuk menyampaikan pengetahuan kepada publik. Museum Konferensi Asia-Afrika menyampaikan pengetahuan kepada publik mengenai sejarah diplomasi bangsa Indonesia dalam menggagas dan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika 1955. Cerita mengenai peran bangsa Indonesia di dalam peristiwa Konferensi Asia-Afrika 1955 yang dimunculkan di dalam ruang pameran ini menjadi salah satu faktor untuk mengonstruksi identitas nasional atau komunitas terbayang.

Apabila diturunkan lagi, nasionalisme dapat berupa pengakuan seseorang akan

identitas suatu bangsa. Artinya, alasan suatu museum membangun identitas nasional melalui penataan ruang pameran adalah untuk memberikan legitimasi kepada suatu bangsa. Dengan adanya kedua faktor ini, yaitu tema dan kebijakan museum, apabila terjadi pergantian kurator, tidak akan memengaruhi perubahaan penataan. Hal tersebut terjadi karena adanya batasan dari tema dan kebijakan museum itu sendiri dalam mengonstruksi identitas nasional melalui penataan artefak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, Roeslan. (1980). The Bandung Connection. Jakarta : Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Adamson, Walter L. (1980). Hegemony and Revolution: a Study of Antonio Gramsci’s Political and Cultural Theory. California: University of California Press.

Anderson, Benedict. (2006). Imagined community: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London:

Verso.

Barnard, Alan, dan Spencer. (2002).

Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology. London: Routledge.

Bouquet, Marry (Ed). (2001). Academic Anthropology and the Museum. Oxford:

Berghahn Books.

______. (2012). Museums, A Visual Anthropology. London : Berghahn Books.

Burke, Peter J., dan Jan E Stets. (2009).

Identity Theory. Oxford: Oxford University Press.

(11)

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021 e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.44

Jurnal Prajnaparamita 38 Casaliggi, Carmen, dan Porscha Fermanis.

(2016). Romanticism a Literary and Cultural History. New York: Routledge.

Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri.

(2015). Pamflet Museum of The Asian- African Conference. Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Eriksen, Hylland Thomas. (1993). Ethnicity

& Nationalism, Anthropological Perspectives. London: Pluto Press.

Fowle, Kate. (2010). Who Cares?

Understanding the Role of The Curator.

Dalam Cautionary Tales: Critical Curating pp (26-35). New York:

Apexart.

Hall, Stuart (ed). (1996). Modernity: An Introduction to Modern Societies.

Oxford: Blackwell.

Hasinoff, Erin. (2010). Franz Boas and the Missionary Exhibit. History of Anthropology Newsletter Vol 37.2 (Dec 2010). Philadelphia: University of Pennsylvania.

Kaplan, Flora Edouwaye S. (2011). Making and Remaking National Identities. In a Companion to Museum Studies, Edited by Sharon Macdonald, 152-169.

Malden, MA: Wiley-Blackwell.

Prawirosusanto, Marsanto Khidir. (2008).

Gedung-Gedung Bercerita : Sejarah, Klasifikasi, dan Politik Representasi

Enam Museum di Yogyakarta. Skripsi.

Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Richardson, Shelby. (2010). Curatorial Practice in Anthropology: Organized Space and Knowledge Production.

Thesis. Victoria: Department of Anthropology, The Ontario College of Art and Design University.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengujian secara parsial, variabel leverage menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 1,906 dengan nilai probabilitas (Sig.) 0,146 yang lebih besar dari

Sumber: (Museum Nasional, 2019) Seperti terlihat pada Gambar di atas, bagian kerangka atap Rumah Nias Utara dan Selatan ini disusun berdasarkan pengulangan bentuk dan pola

Nama Jurnal, Tahun terbit, Volume, Nomor,

Berdasarkan hasil analisis kajian museum terkait dengan tata kelola termasuk alur cerita dan pola komunikasi koleksi di tiga museum; yaitu Museum Siginjai, Museum

Jurnal Konseling Andi Matappa Volume 4 Nomor 1 Februari 2020 Hal 28 34 p ISSN 2549 1857; e ISSN 2549 4279 (Diterima Oktober 2019; direvisi Desember 2019; dipublikasikan Februari 2020)

bahwa untuk menilai kesesuaian kompetensi dengan standar kompetensi jabatan terhadap pegawai negeri sipil yang akan diangkat dalam jabatan fungsional widyaiswara

Setelah melakukan beberapa penilaian validasi maka media ini secara keseluruhan dinyatakan valid dan layak untuk digunakan, maka tahap terakhir adalah produksi media

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hasil pengembangan media pembelajaran sejarah dengan doodle art pada materi sejarah lokal Semende.. Metode penelitian yang digunakan