QALAM: Jurnal Pendidikan Islam
JURUSAN TARBIYAH - STAI SUFYAN TSAURI MAJENANG https://ejournal.stais.ac.id/index.php/qlm
SK E.ISSN No. : 0005.27458245/K.4/SK.ISSN/2020.09 || P.ISSN No. 0005.2745844X/K.4/SK.ISSN/2020.09
INTERNALISASI NILAI AGAMA DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Taqiyudin Subky, Tri Mulat
Prodi PIAUD STAI Sufyan Tsauri Majenang, [email protected]
Diterima tanggal: 28 April 2021 Dipublis tanggal: 27 November 2021
Abstract: The background of this research is that children are a mandate from Allah swt given to parents who must be educated to become human beings who believe and worship Him. In this position, the role of educators is strongly supported by educational methods in imparting education to children. The problem of this research is what values can be used in internalizing religious values into children's education. The results of this study are expected to be used to add to the scientific treasures, especially in the method of children's education.
This research is library research, namely literature review through library research using qualitative data, namely information data in the form of verbal sentences, not symbols of numbers or numbers. The approach used is a philosophical pedagogical approach, an approach which is a careful analysis of reasoning about a problem and a deliberate and systematic preparation of a point of view that forms the basis of an action.
Keywords: Early Childhood, Islam, Islamic Education.
Abstrak:.Latar belakang dari penelitian ini adalah bahwa anak merupakan amanah Allah swt yang diberikan kepada orang tua yang harus dididik agar menjadi manusia yang beriman dan beribadah kepadaNya. Dalam posisi ini, peran pendidik didukung kuat oleh metode pendidikan dalam menanamkan pendidikan terhadap anak. Permasalahan penelitian ini adalah nilai apa saja yang dapat digunakan dalam meng-internalisasi nilai agama kedalam pendidikan anak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk menambah khazanah keilmuan, khususnya dalam metode pendidikan anak.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu kajian literatur melalui riset kepustakaan dengan menggunakan data kualitatif, yaitu data informasi yang berbentuk kalimat verbal bukan berupa simbol angka atau bilangan. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis pedagogis, pendekatan yang merupakan suatu analisis secara hati-hati mengenai penalaran-penalaran mengenai suatu masalah dan penyusunan secara sengaja dan sistematis atas suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan.
Kata Kunci: Anak Usia Dini, Islam, Pendidikan Islam.
A. Pendahuluan
Islam dengan Nabi Muhammad saw sebagai guru terbesar bagi umat Islam mempunyai perhatian sangat besar dan khusus terhadap pendidikan. Islam tidak hanya dipahami dan dipandang sebagai pusat kepercayaan semata, namun lebih dari itu, bahwa Islam merupakan
sumber dari segala ide dan motivasi. Hal ini terlihat dari banyaknya nash-nash yang secara eksplisit menunjukan tentang pentingnya pendidikan (Hanipudin, 2020)
Seperti yang diketahui bahwa banyak sekali isyaroh atau hadist Nabi Muhammad saw yang menjadi petunjuk, pedoman dan acuan dalam mengajarkan dan memberikan pengetahuan kepada umatnya. Secara umum, hadits memberikan penjelasan tentang kewajiban manusia untuk menjadi hamba yang bertakwa dengan mengamalkan semua perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Dengan mengamalkan ajaran ini, diharapkan akan menjadi orang yang fid dunya hasanah wa fil al-khiroti hasanah. Untuk menjadi insan yang bertakwa, tentunya dibutuhkan pendidikan sejak dini bagi anak agar bisa tumbuh sesuai dengan harapan, dan anak pun menjadi pribadi yang shalih dan shalihah. (Abidin, 2016: 210).
Anak adalah buah hati, belahan jiwa, perhiasan dunia dan kebanggaan orang tua yang merupakan anugerah, karunia dan nikmat Allah swt terbesar yang harus dijaga. Maka kewajiban kedua orang tua adalah membimbing dan mendidiknya sesuai dengan petunjuk Allah swt dan Rasulullah saw. Tiada simpanan yang paling berharga dan kekayaan yang paling mahal nilainya untuk kehidupan dunia dan akhirat dibandingkan dengan anak yang shalih, apalagi dibarengi dengan Pendidikan dan bimbingan yang benar.
Anak shalih merupakan harapan setiap orangtua. Meski tidaklah mudah untuk meraihnya, namun orang tua sebagai first school (madrasah pertama) dianjurkan untuk mampu memotivasi perkembangan anak secara total, yang mencakup fisik, emosi, intelektual, dan spiritual; bahwa perkembangan intelektual senantiasa dibarengi dan seirama dengan perkembangan religius.
Sudah menjadi keharusan bahwa pendidikan anak merupakan tanggung jawab orang tua sepenuhnya, untuk menggali potensi dan mengenali bakat dan karakter anak. Dalam hadist disebutkan:
“tiada seorang anak pun yang lahir kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitroh, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan beragama yahudi, Nasrani atau majusi” (HR.
Muslim). (al Maghribi, 2019: 118).
Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan fondasi bagi perkembangan kualitas sumber daya manusia selanjutnya. Karena itu peningkatan penyelenggaraan PAUD sangat memegang peranan yang penting untuk kemajuan pendidikan di masa mendatang. Arti penting mendidik anak sejak usia dini dilandasi dengan kesadaran bahwa masa kanak-kanak merupakan masa emas (the golden age) yang hanya sekali seumur hidup dan tidak dapat diulang. Pada masa itu anak berada pada periode sensitif (sensitive periods) dimana pada masa itu anak secara
khusus mudah menerima bebagai stimulus dari lingkungannya. Bahkan, sekitar 50%
kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika mereka berusia 4 tahun. Peningkatan 30%
berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20 tahun sisanya pada masa pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Masa peka pada masing– masing anak berbeda, seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual. Masa peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulus yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini juga merupakan masa peletak dasar untuk mengembangkan kemampuan kognitif, motorik, Bahasa, sosio emosional, agama dan moral. (Wiyani, 2014: 2014).
Hakikatnya pendidikan anak usia dini adalah stimulasi bagi masa yang penuh dengan kejadian penting dan unik yang meletakkan dasar bagi seseorang di masa dewasa. Fernie (1998) meyakini bahwa pengalaman-pengalaman belajar awal tidak akan pernah bisa diganti oleh pengalaman-pengalaman berikutnya, kecuali di modifikasi.
Namun dalam kenyataan sehari-hari, praktik pembelajaran PAUD, misalnya di Raudhatul Athfal, telah menjadi permasalahan di Indonesia secara umum. Hal ini disebabkan karena tuntutan orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan di jenjang RA/TK harus mampu “calistung” atau yang bersifat akademis lainnya sehingga seringkali mengabaikan kemampuan lain yang bersifat keteladanan dan pembiasaan yang sudah dilakukan disekolah seperti halnya kemampuan untuk melafalkan hafalan shalat, do’a sehari-hari, melakukan etika makan dan minum, mengucap salam ketika bertemu, meminta izin ketika mengambil barang milik orang lain, menaruh sepatu pada tempatnya, berani mengungkap pendapat dan masih banyak lainnya.
Bukan hanya pembiasaan yang ditanamkan sejak dini tetapi juga sebuah keteladanan.
Teladan yang baik lagi shalih termasuk saran terpenting yang memiliki pengaruh pada jiwa, mudah berhasil dalam mendidik anak dan menyiapkan sebagai makhluk pribadi di masyarakat.
Karena seorang pendidik adalah contoh paling tinggi bagi anak, baik sumber teladan itu adalah bapaknya atau gurunya, anak tetap mengikuti perilakunya, akhlaknya baik disengaja ataupun tidak. Karena perilaku anak merupakan cermin berpikirnya. Salah satu contoh dengan adanya sifat keteladanan, seorang anak akan tebiasa mengerjakan shalat dan menekuninya Ketika melihat kedua orangtuanya tekun menunaikannya disetiap waktu
Seringkali yang terjadi di masyarakat, sebagai orang tua akan merasa bangga apabila anaknya mampu ‘calistung’ di usia dini dan memandang sebelah mata ketika anak mampu dan bisa melaksanakan pembiasaan dan keteladanan yang disebutkan diatas. Hal ini disebabkan
karena minimnya pemahaman tentang konsep PAUD. Padahal seharusnya pembelajaran di usia dini adalah untuk mengembangkan potensi meliputi: fisik, motorik, kognitif, bahasa, sosio- emosional dan spiritual.
Atas dasar tersebut, maka perlu kiranya untuk meng-internalisasi nilai agama dalam pendidikan anak usia dini sebagai tawaran solusi melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cakap dalam ilmu pengetahuan semata, namun juga mampu menjadi pribadi yang penuh dengan nilai spiritualias.
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam pembahasan ini adalah metode pustaka (library research). Metode ini menggunakan langkah dengan mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan berbagai materi yang terdapat dalam perpustakaan mulai dari buku-buku referensi, jurnal ilmiah, media massa (koran dan majalah) hingga media elektronika (micro film, laman-laman yang dapat dipercaya). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisis yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan tahapan sebagai berikut:
1. Mencari dan meneliti data pustaka yang menjelaskan tentang pendidikan anak usia dini.
2. Menganalisis internalisasi nilai agama dalam pendidikan anak usia dini.
C. Pembahasan
1. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam
Islam adalah agama yang memperhatikan pendidikan setiap umatnya. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadist yang menyebutkan tetang pendidikan. Rasulullah saw juga sangat memperhatikan pendidikan terhadap anak-anak. Patutlah kita mengingat kisah Rasulullah saw yang menegur seorang wanita saat anaknya yang masih kecil tidak sengaja mengotori baju Rasulullah saw dengan air kencing saat Rasulullah menggendongnya. Kotor karena air kencing sangat mudah untuk dibersihkan, tetapi perasaan anak yang terluka akan membekas terus dihatinya. Begitu kira-kira teguran rasulullah kepada sang wanita. Kisah tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah begitu menjaga perasaan sesama bahkan perasaan anak kecil yang masih belum bisa mengontrol air kencingnya.
Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 9 menyebutkan bahwa “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan bertuturkata yang benar”. ayat tersebut menunjukkan bahwa anak sebagai generasi penerus harus diberikan pendidikan agar menjadi kuat dan bertaqwa. Pemberian pendidikan pada anak yang diterangkan oleh ayat tersebut juga dikuatkan oleh hadist yang diriwayatkan oleh Al-Hakim sebagai berikut “tiada pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik”. Sehingga pendidikan adalah hal yang harus diberikan orang tua terhadap anaknya. Pendidikan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan atau sekolah semata.Namun keluarga lebih memiliki peran besar dalam pendidikan anak. Hal ini disebabkan keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar sebelum mengenal sekolah atau sering disebut “madrasatul aula” selain itu waktu anak di rumah seharusnya lebih lama dibanding dengan disekolah. Sehingga keluarga memiliki peran lebih besar dalam menentukan keberhasilannya. Hal tersebut menuntut orang tua perlu membekali diri dengan ilmu pendidikan anak agar pendidikan yang diberikan pada anaknya akan tepat sehingga keberhasilannya dapat diraih.
Pendidikan anak dapat diibaratkan sebagai perawatan, karena seorang anak masihlah suci dan dapat menjadi apa dan bagaimanapun. Sehingga alangkah baiknya pendidikan diberikan pada anak-anak.Agar menjadi bekal kehidupannya sehingga menguarangi dan meminamalisir resiko anak berbuat yang tidak susai dengan harapan kebaikan masyarakat.
Perwujudannya adalah memberikan pendidikan moral sedini mungkin. (Al-Abrasy, 1970:
108).
Al-Ghazali mengemukakan pendapatnya sebagai berikut “ketahuilah bahwa melatih pemuda-pemuda adalah suatu hal yang terpenting dan perlu sekali. Anak-anak adalah amanah ditangan ibu bapaknya hatinya masih suci ibarat permata yang mahal harganya, maka apabila ia dibiasakan pada suatu yang baik dan dididik, maka ia akan besar dengan sifat-sifat baik serta berbahagia dunia akhirat. Sebaliknya bila terbiasa dengan adat-adat buruk, tidak diperdulikan seperti halnya hewan, ia akan hancur dan binasa. Pemeliharaan bapak terhadap anaknya ialah dengan moral yang tinggi dan menyingkirkannya dari teman- teman yang jahat”. (Al-Ghazali, 2016: 63).
Memperhatikan beberapa penjelasan di atas maka pendidikan anak dalam Islam adalah memberikan pendidikan moral pada anak sedini mungkin sesuai dengan ajaran Islam yang berpedoman pada al-Qur’an dan hadist. Sebagai langkah perawatan, dan pencegahan anak agar ia tidak terjerumus pada perbuatan yang buruk. Dengan pemberian dan
pembiasaan moral yang baik sejak dini maka anak akan terlatih untuk berbuat baik sehingga potensinya dapat berkemabang dengan sempurna dan memberikannya kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Internalisasi Nilai Agama Dalam Pendidikan
Dalam Al-Quran terdapat banyak tamsil bagaimana seharusnya mendidik anak dalam bidang aqidah, ilmu dan akhlak, ayat-ayat tersebut dapat dijadikan pedoman bagi para para pendidik.
Anak adalah anugerah termahal bagi setiap orang tua. Selain sebagai anugerah anak juga merupakan amanah yang menajadi tanggung jawab orang tua. Salah satu tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah tanggung jawab pendidikan, yang mana tanggung jawab tersebut merupakan tangung jawab yang mendapat perhatian paling besar dari para orang tua. Tanggung jawab ini merupakan tanggung jawab besar, berat dan urgen sehingga harus dilaksanakan semenjak anak baru lahir.
Oleh karenanya, setiap orang tua harus menyadari betul akan amanah ini. Bahwa anak-anak yang dititipkan Allah kepada kita sesungguhnya harus dididik dan dibina dengan baik sesuai dengan tata cara pendidikan yang disyariatkan Islam dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Abdullah Nashih Ulwan, dalam bukunya “Pendidikan Anak Dalam Islam”, menjelaskan bahwa, setidaknya ada tujuh tanggung jawab pendidikan yang harus ditanamkan oleh pendidik maupun orang tua kepada anak-anaknya, yaitu:
a. Tanggung Jawab Pendidikan Iman
Maksud dari pendidikan Iman adalah, mengikat anak dengan dasar-dasar keiman saat ia mulai mampu berfikir, rukun Islam dan dasar-dasar syariat semenjak anak sudah mengerti dan memahami. Yang dimaksud dengan dasar-dasar keimanan adalah segala sesuatu yang ditetapkan melalui pemberitaan yang benar akan hakikat keimanan, perkara – perkara gaib, seperti iman kepada Alloh, malaikat, kitab-kitab samawiyah, semua Rosul, azab kubur dan semua perkara yang gaib. Dengan kata lain pendidikan iman dapat diartikan dengan pendidikan akidah yang merupakan proses pembinaan dan pemantapan kepercayaan dalam diri seseorang sehingga menjadi akidah yang kuat dan benar. (Ulwan, 2018: 111).
Sedangkan yang dimaksud rukun Islam adalah semua peribadatan anggota dan harta, seperti, shalat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu melaksanakanya. Adapun yang dimaksud dengan dasar-dasar syariat adalah setiap perkara yang bisa mengantarkan kepada
Manhaj rabbani (jalan Allah, ajaran-ajaran Islam, baik akidah, ibadah, akhlak, hukum, aturan-aturan dan ketetapan-ketetapan. (Ulwan, 2018:111).
Seorang pendidik wajib untuk mengajarkan kepada anak sejak dini akan pedoman- pedoman berupa pendidikan keimanan semenjak pertumbuhannya. Juga diharuskan untuk mengajarkan fondasi-fondasi berupa ajaran Islam. Sehingga anak-anak terikat dengan agama Islam secara akidah dan ibadah, disamping penerapan metode dan aturan. Dia tidak mengtahui lagi setelah adanya pengarahan dan pendidikan ini kecuali menjadikan Islam sebagai agamanya, Al Qur’an sebagai penuntutnya dan Rasulullah sebagai pemimpin dan panutannya.
Contoh dari pendidikan keimanan :
Membuka kehidupan anak dengan kalimat Tauhid La ilahaillalah
Mengajarkan masalah halal dan haram setelah ia berakal.
Memerintahkannya untuk beribadah saat umurnya tujuh tahun
Mendidiknya untuk Cinta kepada Nabi, keluarganya, dan Cinta membaca Al Qur’a b. Tanggung Jawab Pendidikan Moral
Yang dimaksud pendidikan moral adalah kumpulan dasar-dasar pendidikan moral serta keutamaan sikap dan watak yang wajib dimiliki oleh seorang anak dan yang dijadikan kebiasanaanya semenjak usia tamyis hingga ia menjadi mukalaf (baligh). Hal ini terus berlanjut secara bertahap menuju fase dewasa sehingga ia siap mengarungi lautan kehidupan.
(Ulwan, 2018: 131).
Tidak diragukan lagi bahwa keluhuran akhlak, tingkah laku, dan watak adalah buah keimanan yang tertanam dalam menumbuhkan agama yang benar. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Tidak ada suatu pemberian yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya yang lebih utama dari pada budi pekerti yang baik”.
Jika seorang anak pada masa kanak-kanaknya tumbuh diatas keimanan kepada Allah, terdidik diatsa rasa takut kepadaNya, dan berserah diri kepadaNya, maka akan terjaga dalam dirinya kefitarahan. Sebab, pertahanan agama yang mengakar dalam sanubarinya, rasa merasa diawasi Allah telah tertanam dilubuk hatinya yang terdalam. Semua itu akan menjadi pemisah antara seorang anak dengan sifat-sifat yang tercela dan mengikuti kebiasaan jahiliyah yang merusak. Bahkan, menerima kebaikan menjadi bagian dari kebiasaannya dan kesenangannya kepada kemuliaan serta keutamaan menjadi perangai aslinya.
Sedangkan tatkala pendidikan terhadap serang anak jauh dari tuntunan akidah islam, hanya sekedar arahan agama, hubungan dengan Allah maka anak itu akan tumbuh diatas kefasikan, penyimpangan, kesesatan, dan kekafiran. Bahkan ia akan dituntun oleh hawa nafsunya dan akan berjalan mengikut keinginan diri yang selalu memerintah kepada kejelekan dan mengikuti bisikan-bisikan setan yang selaras dengan watak, keinginan, dan tuntunanya yang rendah.
Jika seandainya watak yang dimiliki anak itu termasuk yang tenang atau pasif, maka ia hidup sebagai orang lalai. Jika yang mendominasi dirinya adalah sisi fanatismenya yang ia jadikan keinginan tertinggi didunia berlaku sombong dihadapan manusia, kesewenangan terhadap orang kecil.
Demikianlah orang-orang tersebut berbuat sejalan dengan keinginan hawa nafsunya.
Padahal hawa nafsu itu membutakan dan membuat tuli dan menjadikannya sesembahan yang diibadahi. Allah SWT berfirman, yang artinya :“…dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsnya dengan tidak mendapat petunjuk dari Alloh sedikitpun…”
Dengan adanya hubungan yang kuat anatar iman dan akhlak juga ikatan yang kokoh anata akidah dan amal inilah, para pakar pendidikan dan ilmu sosial baik dari barat maupun dari berbagai Negara memberikan perhatiannya. Kemudia mereka mencetuskan pemikiran- pemikiran dan pandangan mereka bahwa tanpa benteng agama maka kemapanan tidak mungkin terjadi. Tanpa keimanan kepada Allah tidak mungkin terealisasi perbaikan dan lurusnya perilaku. Seorang filsuf jerman bernama Peagot berkata “Moral tanpa agama adalah sia-sia”. (Abidin, 2016: 23).
Para pendidik (terutama orang tua) memiliki tanggung jawab yang besar dalam mendidik diatas kebaikan dan mengajarinya kesopanan. Tanggung jawab para pendidik dalam masalah ini sangat luas, mencakup setiap hal yang bisa memperbaiki jiwa mereka, meluruskan penyimpangan, mengangkat mereka dari keterpurukan, dan berlaku yang baik dalam berinteraksi dengan orang lain. Para pendidik bertanggung jawab terhadap pembentukan moral anak-anak semenjak mereka kecil, seperti kejujuran, dipercaya, konsisten, menolong orang yang kesusahan, menghormati orang tua, berbuat baik kepada tetangga.
Sebuah pendidikan dikatakan baik menurut pandangna islam ketika menyandarkan pada kekuatan perhatian dan pengawasan. Hendaknya para pendidik senantiasa mengingat Allah
dalam mendidik anak. Laksanakan kewajiban, kerahkan semua kekuatan, dan laksanakan tanggung jawab yang dibebankan. Manakala kewajban tersebut dilaksanakan dengan baik maka akan melihat anak-anak menjadi bunga yang wangi diadalam rumah, bulan purnama yang bersinar terang di masyarkatdan seperti “malaikat” yang berjalan dimuka bumi dengan tenang.
c. Tanggung Jawab Pendidikan Fisik
Satu lagi tanggung jawab yang harus dipikul oleh para pendidik adalah tanggung jawab pendidikan fisik. Hal ini dimaksud supaya anak tumbuh dan dewasa dengan memiliki fisik yang kuat, sehat dan bersemngat. Islam telah menggariskan beberapa metode dalam pendidikan fisik anak, supaya para pendidik mengetahui besarnya tanggung jawab dan amanah Allah bebankan kepadanya, anatar lain:
1) Kewajiban menafkahi keluarga dan anak
ىَلَعَو ُهَل ِدوُلْوَمْلٱ ِب َّنُهُ تَوْسِكَو َّنُهُ قْزِرۥ
ِفوُرْعَمْلٱ ...
“...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’aruf”. (QS. Al-Baqarah; 233).
2) Mengikuti aturan-aturan kesehatan dalam makan dan minum,
Hendaknya gaya hidup sehat itu menjadi kebiasaan anak dan karakternya. Rasulullah saw bersabda :
وُلُكَّو شاَو ا ۡ وُبَر ۡ سُت َلََو ا ۡ وُفِر ۡ
ا ۡ َن ۡ ِفِر ۡسُم ۡلا ُّبُِيُ َلَ ٗهَّنِا ۡ ...
“...makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan”. (Q.S. Al- Araf: 31) 3) Membentengi diri dari penyakit menular
Kewajiban seorang pendidik (terlebih para ibu) apabila diantara anak-anaknya ada yang terserang penyakit menular, hendaknya memisahkan dengan anak-anak yang lain.
4) Mengobati penyakit
5) Membiasakan anak gemar berolahraga dan menaiki tunggangan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang artinya “Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Alloh daripada mukmin yang lemah”.
d. Tanggung Jawab Pendidikan Akal
Yang dimaksud dengan pendidikan akal adalah membentuk pola berpikir anak terhadap segala sesuatu yang bermanfaat, baik berupa ilmu syar’i, kebudayaan, ilmu modern, kesadaran, pemikiran dan peradaban.
Tanggung jawab ini tidak kurang pentingnya dari tanggung jawab lain yang telah dibahas sebelumnya, yaitu tanggung jawab iman, akhlak, dan fisik. Pendidikan iman meletakkan dasar-dasarnya. Pendidikan fisik merupakan persiapan dan pembentukan, dan pendidikan akhlak adalah penanaman akhlak dan pembiasaan dengannya. Sedangkan pendidikan irasio berfungsi menyadarkan, mencerahkan, mengajarkan, dan membudayakan.
Jika harus menjelaskan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh para pendidik dalam setiap tanggung jawab yang harus dilakukan terhadap anak, maka Abdullah Nashih Ulwan berpendapat, bahwa pendidikan ini terfokus pada tiga permasalahan.
1) Kewajiban Mendidik
Kita yakin bahwa Islam memandang tanggung jawab ini sebagai hal yang sangat penting. Sesungguhnya Islam telah membebani para pendidik dan orang tua dengan tanggung jawab yang besar di dalam mengajar anak-anak, menumbuhkan kesadaran mempelajari ilmu pengetahuan dan budaya, serta memusatkan seluruh pikiran untuk mencapai seluruh pemahaman secara mendalam, pengetahuan yang murni dan pertimbangan yang matang serta benar. Dengan demikian, pikiran mereka akan terbuka dan kecerdasan mereka akan tampak. Secara historis dapat diketahui, bahwa ayat-ayat dari Al Quran (QS. Al-Alaq: 1-5) yang pertama kali di turunkan ke hati sanubari Rasulullah saw adalah mengangkat peran besar dari baca tulis dan ilmu pengetahuan, mengingat alam pikiran dan akal serta membuka pintu hidayah yang sebesar-besarnya.
2) Penyadaran (pencerahan) Pikiran
Diantara tanggung jawab besar yang dijadikan sebagai amanat oleh Islam, yang harus dipikul oleh orang tua dan pendidik adalah menumbuhkan kesadaran berpikir anak sejak masih balita hingga ia mencapai masa dewasa (baligh) dan matang. Yang dimaksud dengan menumbuhkan kesadaran disini adalah mengikat anak dengan:
a) Islam, baik sebagai agama maupun Negara
b) Al-Qur‟an, baik sebagai sistem maupun perundang-undangan c) Sejarah Islam, baik sebagai kejayaan maupun kemuliaan
d) Kebudayaan Islam secara umum, baik sebagai jiwa maupun pikiran
e) Dakwah Islam sebagai motivasi gerak laku anak.
3) Tanggungjawab Kesehatan Akal
Diantara sekian tanggung jawab yang dijadikan oleh Allah sebagai amanat yang dibebankan kepada orang tua dan pendidik adalah memperhatikan kesehatan akal anak- anak mereka. Oleh karena itu, mereka harus menjaga dan memelihara akal anak-anak, sehingga pemikiran mereka tetap jernih dan akal mereka tetap tenang.
Akan tetapi, sampai sejauh mana batas-batas tanggung jawab para pendidik di dalam memelihara kesehatan akal anak itu?
Tanggung jawab ini berkisar pada upaya menjauhkan mereka dari kerusakan- kerusakan yang tersebar di dalam masyarakat. Karena kerusakan- kerusakan itu mempunyai dampak yang sangat besar terhadap akal, ingatan dan fisik manusia pada umumnya.
e. Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan
Pendidikan kejiwaan dimaksudkan untuk mendidik anak sejak ia mampu berpikir untuk berwatak berani, berterus terang, tidak takut, mandiri, suka menolong orang lain, mampu mengontrol emosi dan menghiasi diri dengan segala bentuk kemuliaan diri baik secara kejiwaan dan akhlak secara mutlak.
Berikut ini adalah contoh-contoh bagaimana cara As-Salafush shalih mendidik anak- anak mereka untuk berani dan terhindar dari sifat minder.
Dalam satu riwayat dikatakan yang artinya: “...Dan aku melihat Abu Bakar dan Umar tidak berbicara, maka aku segera berbicara. Namun, ketika kami berdiri, aku berkata kepada ayahku tentang apa yang terbetik dalam hatiku. Ayahku berkata: “Jika kamu berkata (menjawab pertanyaan Rasulullah saw) lebih aku sukai dari pada aku mempunyai beberapa onta hamil.”
Imam Muslim meriwayatkan dari Sahal bin Sa‟ad As-Sa’idi RA. Bahwa Rasulullah saw, membawa minuman lalu meminumnya. Sedang disebelah kanan beliau ada anak kecil, dan di sebelah kirinya ada orang-orang yang berumur. Beliau bertanya kepada anak kecil itu:
“Apakah engkau mengijinkan aku memberi sesuatu kepada mereka? Anak kecil itu menjawab: Tidak, demi Allah, Aku tidak akan mengutamakan seseorang mengambil bagian darimu”.
Demikianlah Rasulullah saw, dan para sahabat memperlakukan anak-anak. Mereka memberi semangat agar anak-anak berani berbicara, dan memberi kesempatan untuk
mengambil sebuah keputusan. Yang dengan demikian, akan membangkitkan rasa percaya diri anak, terhindar dari rasa takut dan minder, walau dihadapan orang dewasa sekalipun.
f. Tanggung Jawab Pendidikan Sosial
Yang dimaksud dengan pendidikan sosial adalah mendidik anak sejak dini untuk berpegang pada etika sosial yang utama dan dasar-dasar kejiwaan yang mulia, yang bersumber dari akidah Islam yang abadi dan perasaan iman yang tulus. Tujuan pendidikan sosial ini adalah agar seorang anak tampil dimasyarakat sebagai generasi yang mampu berinteraksi sosial dengan baik, beradab, seimbang, tatkala mereka sudah terdidik dan terbentuk, mereka akan mengarungi kehidupan dengan memberikan gambaran sesungguhnya akan sosok manusia yang cakap, seimbang, cerdas dan bijaksana.
Tidak disangsikan lagi bahwa tanggung jawab ini merupakan tanggung jawab terpenting bagi para pendidik dan orang tua di dalam mempersiapkan anak, baik pendidikan keimanan, moral maupun kejiwaan. Sebab, pendidikan sosial ini merupakan manifestasi perilaku dan watak yang mendidik anak untuk menjalankan kewajiban, tata krama, kritik sosial, keseimbangan intelektual, politik dan pergaulan yang baik bersama orang lain.
Sarana para pendidik yang bisa mengantarkan kepada pendidikan sosial yang utama, intinya ada 4 perkara yaitu:
1) Penenaman dasar -dasar kejiwaan yang mulia
Islam menegakkan dasar-dasar pendidikan ssosial yang utama dalam diri tiap individu diatas dasar-dasar kejiwaan yang mulia dan kuat serta pendidikan yang abadi. Tidak sempurna pembentukan kepribadian Islam kecuali dengannya. Dan tidak akan paripurna kecuali merealisasikannya. Untuk menanamkan prinsip dasar kejiwaan dalam diri individu dan masyarakat Nabi saw telah memberikan arahan dan wasiat yang lurus. Prinsip-prinsip itu anatara lain:
a) Takwa b) Persaudaraan c) Kasih sayang
d) Itsar (mengutamakan orang lain) e) Memaafkan orang lain
f) Keberanian
2) Menjaga hak orang lain
Hak-hak masyarakat sangat berkaitan dengan dasar-dasar kejiwaan yang mulia.
Ungkapan lain mengatakan bahwa, dasar-dasar kejiwaan adalah suatu makna sedangkan hak-hak masyarakat adalah manifestasinya. Hak-hak sosial yang wajib ditanamkan kepada anak antara lain:
a) Hak orang tua
Perkara penting yang harus dijaga oleh pendidik adalah mengenalkan hak kedua orag tua. Hal ini terwujud dalam bentuk berbuat baik kepada keduanya, menaati, berbakti, melayani, mengasuh saat tua, tidak meninggikan suara diatas suara keduanya, mendoakan mereka jika telah tiada.
b) Hak kerabat
Kerabat disini adalah orang-orang yang terikat hubungan kekerabatan dan keturunan. Mereka adalah ayah, ibu, kakek, nenek, saudar laki- laki, saudara perempuan, paman dan bibi serta yang lainnya. Para pendidik hendaknya berusaha memberikan pemahaman kepada anak sejak tamyiz akan hak-hak kerabat. Sehingga dalam diri anak tumbuh keperdulian terhadap orang lain dan tertanam rasa kasih saying kepada sanak saudara. Sehingga ketika memasuki masa baligh dan kematangn dapat melaksanakn kewajiban kepada saudaranya.
c) Hak tetangga
Tetangga adalah mereka yang tinggal disekitar kita dengan jarak empat puluh rumah dari segala arah. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.
Semua hak tetangga dalam Islam itu terletak pada empat hal: tidak menyakiti tetangga, melindungi tetangga, berbuat baik kepada tetangga, menangung kesusahan tetangga.
d) Hak guru
Diantara hak penting dalam bermasyarakat yang harus diperhatikan dan diingat oleh setiap pendidik adalah mendidik anak supaya hormat kepada guru dan melaksanakn hak-haknya. Wasiat Nabi saw tentang hak-hak ulama: hendaknya seorang siswa bersikap tawaduk kepada gurunya, tidak menyelisish pendapat dan arahannya, hendaknya seorang murd melihat gururnya mempunyai kedudukan yang sempurna.
e) Hak teman
Wajib diperhatikan oleh para guru dalam mendidik anak adlah memilihkan teman yang beriman dan shalih untuknya. Karena, teman yang shalih mempunyai pengaruh
yang besar dalam mejaga anak agar tetap istiqamah, shalih dan lurus akhlaknya.
Kewajiban utama terhadap teman yang diajarkan pendidik kepada anak didik antara lain: mengucapkan salam ketika bertemu, menjenguknya ketika sakit, mendoakannya ketika bersin, mengunjunginya karena Alloh.
f) Hak orang yang lebih tua
Lebih tua yang di maksud disini adalah orang yang lebih tua umurnya, lebih banyak ilmunya, lebih tinggi ketakwaan kepada Allah dan lebih tinggi kedudukannya daripada kita. Contoh penghormatan kepada yang lebih tua: menempatkan orang yang lebih tua pada posisi selayaknya, mendahulukan orang yang lebih dalam segala urusan, mengingatkan anak kecil yang meremehkan orang yang lebih tua.
g) Kewajiban melaksanakan etika bermasyarakat
Salah satu kaidah yang diletakkan Islam dalam pendidikan anak di masyarakat adalah membiasakan mereka untuk berkomitmen pada etika umum dalam masyarakat dan membentuk akhlak kepribadiannya sejak dini dengan dasar-dasar pendidikan yang baik. Dengan demikian, ketika mereka dewasa dan secara bertahap mengetahui hakikat kehidupan, pergaulan mereka dengan orang lain sangat baik. Agar mempunyai sifat lemah lembut, mencintai orang lain, memiliki akhlak mulia. Langkah-langkahnya sebagai berikut: etika makan dan minum, etika mengucapkan salam, etika meminta izin, etika bermajelis, etika berbicara, etika bergurau. (Abidin, 2016: 90).
g. Tanggung Jawab Pendidikan Seks
Yang dimaksud dengan pendidikan seks adalah memberikan pengajaran, pengertian dan keterangan yang jelas kepada anak ketika ia sudah memahami hal-hal yang berkaitan seks dan pernikahan. Sehingga ketika anak memasuki usia baligh dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan hidupnya, ia tahu mana yang halal dan haram, dan sudah terbiasa dengan akhlak Islam. Sikapnya baik, tidak mengumbar nafsunya dan tidak bersikap membolehkan segala hal.
Menurut Abdullah Nashih Ulwan, pendidikan seksual yang penting mendapat perhatian secara khusus dari para pendidik, hendaklah dilaksanakan berdasarkan fase-fase sebagai berikut ini:
Fase pertama, usia 7-10 tahun, disebut masa tamyiz (pra pubertas). Pada masa ini, anak diberi pelajaran tentang etika meminta izin dan memandang sesuatu.
Fase kedua, usia 14-16 tahun, disebut masa baligh (adolesen). Jika anak sudah siap untuk menikah, pada masa ini anak diberi pendidikan tentang etika (adab) mengadakan hubungan seksual.
Fase keempat, setelah masa adolesen, disebut masa pemuda/pemudi: anak diajarkan tentang cara-cara menjaga kehormatan dan menahan diri ketika ia belum mampu untuk menikah.
Fase kelima, terakhir apakah boleh berbicara eksplisit kepada anak tentang seks, ketika masih diusia akhir kanak-kanak. (Muliawan, 2016: 87).
D. Kesimpulan
Tanggung jawab pendidikan anak tidak hanya terletak pada seorang pendidik, baik guru, tapi juga ayah, ibu, maupun tokoh masyarakat. Ketika melaksanakan tanggung jawabnya secara sempurna, melaksanakan kewajiban-kewajiban dengan penuh rasa amanat, kesungguhan serta sesuai dengan petunjuk Islam, maka sesungguhnya ia telah mengerahkan segala usahanya untuk membentuk individu yang penuh dengan kepribadian dan keistimewaan. Dengan demikian, baik disadari atau tidak, ia telah ikut ambil bagian penting dalam membangun masyarakat ideal yang nyata dengan berbagai kepribadian dan keistimewaan dalam membentuk individu serta keluarga yang shaleh. Inilah logika Islam dalam menciptakan kemaslahatan.
Daftar Pustaka
Arifin. 2014. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanipudin, Sarno. 2020. “Konsepsi Guru Modern Dalam Pendidikan Islam”. Dalam Jurnal Al- Munqidz: Jurnal Kajian dan Keislaman. Vol 8 (No.3) 2020.
https://ejournal.iaiig.ac.id/index.php/amk/article/view/265
Hanipudin, Sarno. " Pendidikan Islam di Indonesia dari Masa ke Masa." Matan : Journal of Islam and Muslim Society [Online], 1.1 (2019): 39-53. Web. 16 Nov. 2021
Hanipudin, Sarno. 2020. “Konsepsi dan Praktik Pendidikan Pranatal Dalam Islam”. Dalam Jurnal Qalam: Jurnal Pendidikan Islam. Vol 2 No.1 2021.
https://ejournal.stais.ac.id/index.php/qlm/article/view/52
Ibnu, Abidin. 1998. Pemikiran Al Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Megawangi, Ratna. 2005. Pendidikan Holistik, Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.
Muliawan. 2015. Ilmu Pendidikan Islam: Studi Kasus terhadap Struktur Ilmu, Kurikulum, Metodologi, dan Kelembagaan Pendidikan, Jakarta: Jasa Ungguh.
Muzaki, Akh., dan Kholilah. 2020. Ilmu Pendidikan Islam. Surabaya: Kopertais IV Press.
Nasution, S. 1996. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara.
Nata, Abidin. 2016. Pendidikan dalam perspektif Al-Qut’an. Jakarta: Kencana.
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ramayulis. 2013. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D).
Bandung : Alfabeta.
Yusuf, Munir. 2018. Pengantar Ilmu Pendidikan. Palopo: Lembaga Penerbit Kampus IAIN Palopo.