SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES PENYIDIKAN
(Studi Kasus Kepolisian Resort Gowa Tahun 2014 – 2017)
OLEH : ANZAR G.
B 111 12 651
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
HALAMAN JUDUL
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES PENYIDIKAN
(Studi Kasus Kepolisian Resort Gowa Tahun 2014 – 2017)
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Program Studi Ilmu Hukum
disusun dan diajukan oleh:
ANZAR G.
B 111 12 651
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa skripsi :
Nama : ANZAR G.
Nomor Induk : B 111 12 651 Bagian : HUKUM PIDANA
Judul : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES PENYIDIKAN
(Studi Kasus Kepolisian Resort Gowa Tahun 2014 – 2017)
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Pembimbing I
Makassar, Oktober 2017
Pembimbing II
Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H.
NIP . 19631024 198903 1 002
Dr. Nur Azisa, S.H., M.H.
NIP. 19671010 199202 2 002
KATA PENGANTAR
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Segala Puji bagi Allah, kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Kami berlindung dari kejahatan amal-amal dan keburukan diri- diri kami. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad itu adalah hamba dan Rasul-Nya. Dengan seizin-Nya akhirnya penulis, dari dimulai sampai selesainya penulisan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES PENYIDIKAN”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan guna menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari, bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas seizin- Nya, doa kedua orang tua, memberikan semangat yang tak pernah henti- hentinya buat penulis, sehingga penulis berusaha seoptimal mungkin dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, motivasi, dan bimbingan dari berbagai pihak,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Universitas Hasanuddin.
2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis dalam rangka penyelesaian penulisan skripsi hukum ini.
4. Ibu Dr. Nur Azisa. S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing 2 yang telah membimbing, mengarahkan, dan penerima kehadiran penulis untuk berkonsultasi dengan tangan terbuka hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi hukum ini.
5. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan. S.H., M.H., Ibu Dr.
Haeranah. S.H., M.H., dan Bapak H.M. Imran Arief. S.H., M.H., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan evaluasi dan solusi dalam forum ujian proposal hingga skripsi hukum ini.
6. Keluarga Besar Instansi Kepolisian Resort Gowa, yang tentunya mendukung karir dan memberikan kesempatan dalam menyelesaikan skripsi hukum ini.
7. Kepala Unit dan Anggota Penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort Gowa yang memberikan terus semangat kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi hukum ini.
8. Keluarga kecil, Istri, dan Buah hati yang tentunya menjadi motivasi dan inspirasi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi hukum ini.
9. Civitas Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
10. Civitas Universitas Hasanuddin.
Makassar, Oktober 2017
Penulis
ABSTRAK
ANZAR G. (B111 12 651) dengan judul skripsi “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Proses Penyidikan (Studi Kasus Kepolisian Resort Gowa Tahun 2014 – 2017)”
Tujuan penelitian yang diharapkan penulis ialah Pertama, untuk mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana kekerasan anak di tingkat penyidikan. Kedua, untuk mengetahui peran penyidik dalam perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana kekerasan anak di Kepolisian Resort Gowa.
Penelitian ini merupakan penelitian empiris. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah library reseacrh (studi kepustakaan) dan interview (wawancara). Dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, perlindungan hukum terhadap Anak pada tahap penyidikan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dapat terwujud melalui peran Penegak hukum dalam hal ini Pihak Kepolisian (Penyidik) yaitu melalui Diskresi Kepolisian, Pelaksanaan Diversi dan Faktor pendukung lainnya seperti Infrastruktur baik sarana maupun prasarana dalam proses penyidikan. Selanjutnya, Ada 3 faktor yang menjadi kendala dalam perlindungan hukum terhadap anak pada tahap penyidikan. Pertama, residivis menjadikan salah satu faktor pertimbangan untuk pemberian pemberatan hukuman kepada pelaku anak. Kedua, para pelapor dan/atau korban merasa keadilan itu terpenuhi apabila pelaku anak ini ditahan, diadili, dan dipenjara. Ketiga, kurangnya tempat penitipan anak yang layak menjadi kendala para anak untuk bersosialisasi dengan sesama anak ketika para orang tua bekerja atau tidak berada di lingkungan rumah, khususnya daerah hukum Kepolisian Resort Gowa.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
ABSTRAK ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D.. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
A. Definisi Anak ... 11
B. Hak - hak Anak ... 14
C. Perlindungan Hukum Anak ... 19
D. Tinjauan Tindak Pidana ... 28
E. Unsur Tindak Pidana ... 30
1. Unsur Formal ... 30
2. Unsur Material ... 31
F. Tinjauan Tindak Pidana Anak ... 33
1. Definisi Tindak Pidana Anak ... 33
2. Bentuk Tindak Pidana Anak ... 36
G. Tinjauan Mengenai Penyidikan dalam Tindak Pidana ... 37
1. Definisi Penyidikan ... 37
2. Proses Penyidikan terhadap Anak sebagai pelaku kejahatan ... 41
BAB III METODE PENELITIAN ... 45
A. Tipe Penelitian ... 45
B. Lokasi Peneltian ... 45
C. Jenis Data ... 45
D. Metode Pengumpulan Data ... 46
E. Analisis Data ... 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48
A. Upaya Perlindungan Hukum terhadap Anak yang menjadi Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Anak di tingkat Penyidikan ... 48
B. Kendala Penyidik dalam memberikan Perlindungan Hukum terhadap Anak yang menjadi Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Anak di Polres Gowa ... 65
BAB V PENUTUP... 69
A. Kesimpulan ... 69
B. Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 71
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Masa anak atau pengalaman hidup sebagai anak punya daya tarik tersendiri. Masa anak juga merupakan masa yang istimewa, tetapi juga adalah suatu periode batas dalam sejarah hidup seseorang, sebab keberhasilan atau kegagalan dirinya di awal kehidupan ini sangat menentukan perkembangan pribadi dan masa depannya kelak. Masalah anak selalu menjadi pusat perhatian bangsa, karena anak adalah generasi muda yang merupakan penerus cita-cita bangsa dan merupakan sumber daya manusia sebagai faktor penting dalam pelaksanaan pembangunan.
Anak merupakan bagian fundamental yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan hidup sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.1 Apabila melihat konsep bernegara Indonesia, berdasarkan Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 1 ayat (3) menetapkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Konsep negara hukum yang kemudian sangatlah menjunjung tinggi nilai – nilai hak asasi manusia, maka perlindungan terhadap anak merupakan
1 Lihat Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 28B ayat (2).
bagian dari ketentuan konstitusi negara Indonesia dan kepentingan anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup bernegara.
Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, antara lain disebabkan oleh faktor di luar diri anak tersebut.
Anak adalah cikal bakal pemuda. Oleh karena itu, penanganan terhadap Anak yang berhadapan dengan Hukum janganlah sampai memunculkan stigmatisasi dan kurangnya atau bahkan ketiadaan pembinaan terhadap mereka sehingga membuyarkan harapan mereka menjadi pemuda yang dapat berguna bagi bangsanya. Mengacu hal tersebut penting untuk menyepakati model penanganan Anak yang berhadapan dengan Hukum.
Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak – Hak Anak (convention on the rights of the child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Konvensi Hak – Hak Anak (convention on the rights of the child). Setelah dilakukannya
ratifikasi atas Konvensi Hak-Hak Anak oleh Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, maka secara hukum menimbulkan kewajiban kepada Indonesia (negara peserta) untuk mengimplementasikan hak-hak anak tersebut dengan menyerapnya ke dalam hukum nasional, dimana dalam hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang – undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Seperti halnya orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga akan mengalami proses hukum yang identik dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana, arti kata identik disini mengandung arti ”hampir sama”, yang berbeda hanya lama serta cara penanganannya. Menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional, melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional.2 Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.
Undang – undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, selanjutnya disingkat UU Sistem Peradilan Pidana Anak, dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan Hukum.
Undang-Undang ini bermaksud agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan yang diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, Bangsa, dan Negara.
Substansi mendasar yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengaturan tegas mengenai keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses
2 Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, 1997, Bandung, hal. 166.
peradilan, sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.3 Proses itu harus bertujuan pada terciptanya keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif yang dimaksud dalam Undang-Undang ini merupakan suatu proses Diversi.
Dalam Diversi semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati, yang tidak berdasarkan pembalasan. Mengingat ciri dan sifat khas pada Anak dan demi perlindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan Hukum, wajib disidangkan di Pengadilan Pidana Anak yang merupakan bagian dari ruang lingkup Peradilan umum.
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Berkenaan dengan istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system tidak terpisah dari istilah sistem yang digambarkan oleh Davies et.al
sebagai “the word system conveys an impression of a complec to end”
artinya bahwa kata system menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang
3 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia, CV.Mandar Maju, 2005, Bandung, hal. 55.
komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir.4 Oleh karena itu, dalam mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu. Berproses secara terpadu artinya bahwa keempat sub sistem ini bekerja sama berhubungan walaupun masing-masing berdiri sendiri. Polisi selaku penyidik melakukan penyidikan termasuk penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik. Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum erat kaitannya dengan penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang diwujudkan dalam 4 (empat) subsistem yaitu :5
1. Kekuasaan ”Penyidikan” (oleh Badan/Lembaga Penyidik);
2. Kekuasaan ”Penuntutan” (oleh Badan/Lembaga Penuntut Umum);
4 Mardjono Reksodiputro, Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia), 1997, Jakarta, hal. 84.
5 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006, Semarang, hal. 20.
3. Kekuasaan ”Mengadili dan Menjatuhkan putusan/pidana” (oleh Badan Pengadilan);
4. Kekuasaan ”Pelaksanaan Putusan Pidana” (oleh Badan/Aparat Pelaksana/Eksekusi).
Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Oleh karena itu, perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya. Perlindungan terhadap anak sudah diatur dalam ketentuan hukum mengenai anak. Khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang – undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Anak bukan untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal
yang sehat dan cerdas seutuhnya.6 Akan tetapi, anak mengalami situasi sulit yang membuatnya melakukan tindakan yang melanggar hukum. Walaupun demikian, anak yang melanggar hukum tidaklah layak untuk dihukum apalagi kemudian dimasukkan dalam penjara.
Polisi sebagai institusi terdepan dalam penegakan hukum memiliki tanggungjawab yang cukup besar untuk mengharmonisasikan tugas dan wewenang Polri sebagaimana yang telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum, polisi senantiasa harus memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Sifat dasar anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana.
Proses penyidikan merupakan suatu tahap awal dimana seorang anak berhadapan dengan polisi, Penyimpangan yang biasanya sering terjadi dalam proses penyidikan tindak pidana anak berupa penganiyaan, pemukulan dan perlakuan buruk lainnya serta penempatannya satu sel dalam tahanan dengan tersangka dewasa. Hal ini jelas bertentangan dengan
6 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, 2013, hal.1.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. yang harus memberikan jaminan perlindungan hak-hak anak secara lebih kuat ketika berhadapan dengan hukum dan harus menjalani proses peradilan.
Berdasarkan data statistik kriminal Polres Gowa, terjadi peningkatan kasus anak sebagai tindak pidana khususnya dalam kasus kekerasan fisik.
Pada tahun 2014 ada 10 laporan yang masuk ke Polres Gowa, lalu kemudian pada tahun 2017 meningkat menjadi 43 laporan yang masuk ke Polres Gowa.7 Oleh karena itu, atas dasar situasi inilah penulis tertarik menguraikan lebih jauh mengenai anak yang berkonflik dengan hukum yaitu khususnya sebagai pelaku tindak pidana kekerasan anak dalam penulisan skripsi mengenai “Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku yang menjadi Pelaku Tindak Pidana khususnya Kekerasan Anak Ditingkat Penyidikan”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan anak di tingkat penyidikan ?
2. Bagaimanakah kendala penyidik dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan anak di Kepolisian Resort Gowa ?
7 Data dari Unit PPA, Polres Gowa, Sulawesi Selatan.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan di tingkat penyidikan.
2. Untuk mengetahui peran penyidik dalam perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan anak di Kepolisian Resort Gowa.
D. Manfaat Penilitian
1. Secara teoretis, memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat menjadi referensi khususnya bagi kalangan di bidang hukum dan bagi seluruh masyarakat pada umumnya.
2. Secara praktis, Memberikan sumbangsih pemikiran di bidang Hukum Pidana khususnya terkait dalam menangani perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Anak, Hak – Hak Anak, dan Perlindungan Hukum Anak.
1. Definisi Anak
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Dalam Undang – undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita – cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.8 Oleh karena itu, agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas – luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak – haknya serta adanya perlakuan diskriminasi.
8 Ibid. hal. 8
Kemudian di dalam hukum adat sebagaimana yang dinyatakan oleh Soerojo Wignjodipoero bahwa:9
”kecuali dilihat oleh orang tuanya sebagai penerus generasi juga anak itu dipandang pula sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya kelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah”
Berikut ini merupakan pengertian anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku Di Indonesia antara lain:
1) Undang – undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dalam Pasal 45 menyatakan hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa yang berumur di bawah enam belas tahun karena melakukan suatu perbuatan, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa dikenakan suatu pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, bila perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 KUHP, serta belum lewat dua tahun seiak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di alas,
9 Ibid. hal. 10
dan putusannya telah menjadi tetap atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
2) Undang – undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
3) Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
4) Undang – undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang – undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
5) Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah.
6) Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan bekerja 15 tahun,
7) Undang – undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan Wajib belajar 9 tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.
8) Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak menyatakan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Berdasarkan beberapa ketentuan diatas, maka dapat dinyatakan dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa penetapan batas umur anak adalah relatif tergantung pada kepentingannya.
2. Hak – Hak Anak
Berikut ini merupakan hak-hak anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku Di Indonesia antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Dalam Bab II Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, mengatur tentang hak-hak anak atas kesejahteraan, yaitu:
1) Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan.
2) Hak atas pelayanan.
3) Hak atas pemeliharaan dan perlindungan.
4) Hak atas perlindungan lingkungan hidup.
5) Hak mendapatkan pertolongan pertama.
6) Hak untuk memperoleh asuhan.
7) Hak untuk memperoleh bantuan.
8) Hak diberi pelayanan dan asuhan.
9) Hak untuk memeperoleh pelayanan khusus.
10) Hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan.
b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Hak anak dalam Undang-Undang ini diatur dalam Bab III bagian kesepuluh, pasal 52-66, yang meliputi:
1) Hak atas perlindungan
2) Hak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
3) Hak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.
4) Bagi anak yang cacat fisik dan atau mental hak:
a) memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus.
b) untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,
c) berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
5) Hak untuk beribadah menurut agamanya.
6) Hak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing.
7) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.
8) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
9) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
10) Hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Selain itu, secara khusus dalam Pasal 66 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang hak anak-anak yang dirampas kebebasannya, yakni meliputi:
a) Hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup.
b) Hak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.
c) Hak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
d) Hak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak ini, hak-hak anak diatur dalam Pasal 4 - Pasal 18, yang meliputi:
1) Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2) Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
3) Hak untuk beribadah menurut agamanya.
4) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
5) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
6) Bagi anak yang menyandang cacat juga hak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga hak mendapatkan pendidikan khusus.
7) Hak menyatakan dan didengar pendapatnya.
8) Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang..
9) Bagi anak penyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
10) Bagi anak yang berada dalam pengasuhan orang tua/ wali, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a) Diskriminasi;
b) Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c) Penelantaran;
d) Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e) Ketidakadilan; dan f) Perlakuan salah lainnya.
11) Hak untuk memperoleh perlindungan dari : a) Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b) Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c) Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d) Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e) Pelibatan dalam peperangan.
12) Hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
13) Setiap anak yang dirampas kebebasannya hak untuk :
a) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan
anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
14) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
15) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Konstitusi Indonesia, Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah menggariskan bahwa
“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan kekerasan dan diskriminasi”10. Dengan dicantumkannya hak anak tersebut dalam batang tubuh konstitusi, maka bisa diartikan bahwa kedudukan dan perlindungan hak anak merupakan hal penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kenyataan sehari – hari.
3. Perlindungan Hukum
Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Menindaklanjuti hal tersebut maka pemerintah telah membuat berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat mengenai hak – hak anak.
Wagiati Soetodjo dalam bukunya Hukum Pidana Anak mengklasifikasikannya sebagai berikut:
a. Bidang hukum, melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.
10Lihat Pasal 28B ayat (2) UUD 1945
b. Bidang kesehatan melalui Undang-Undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan, diatur dalam Pasal 1, Pasal 3 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (2).
c. Bidang pendidikan diatur melalui Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 tentang Dasar- dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 17.
d. Bidang ketenagakerjaan, melalui Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 tentang Peraturan Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam bagi Wanita jo Ordonansi tanggal 27 Februari 1926 stbl. No. 87 Tahun 1926 ditetapkan tanggal 1 Mei 1976 tentang Peraturan Mengenai Keselamatan Kerja Anak-anak dan Orang-orang muda di atas Kapal jo Undang-Undang No. 1 Undang-Undang Keselamatan Kerja stbl. 1947 No. 208 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 yang memberlakukan Undang-Undang Kerja No. 12 Tahun 1948 di Republik Indonesia.
e. Bidang kesejahteraan sosial, melalui Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Dalam perkembangannya perlindungan terhadap anak di bidang hukum juga ditur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa: Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, meliputi:
a. Perlindungan di bidang Agama
1) Perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya dijamin oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial. Perlindungan anak dalam memeluk agamanya meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.
b. Perlindungan di bidang Kesehatan
1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak.
2) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak jika tidak mampu melaksanakan tanggung jawab, maka pemerintah wajib memenuhinya.
3) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan
4) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
5) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan :
a) Pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak;
b) Jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan
c) Penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.
c. Perlindungan di bidang Pendidikan
1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.
2) Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
3) Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.
4) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
5) Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.
d. Perlindungan di bidang Sosial
1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial.
2) Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat :
a) Berpartisipasi;
b) Bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;
c) Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak;
d) Bebas berserikat dan berkumpul;
e) Bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
3) Anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar.
4) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak.
e. Perlindungan Khusus
1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter.
2) Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata, meliputi:
a) Pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu: pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan
b) Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.
3) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, meliputi:
a) Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c) Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
g) Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
4) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana meliputi:
a) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
c) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d) Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
5) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri.
6) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, meliputi:
a) Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b) Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c) Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.
7) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), dan terlibat dalam produksi dan distribusinya,
dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
8) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
9) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya : a) Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
10) Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat dilakukan melalui upaya :
a) Perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;
b) Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan
c) Memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu.
11) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
B. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Moeljatno yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah :
”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”
Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar
suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut.
Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula.11
Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan Hukum Pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Bambang Poernomo juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana. Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing straftbaar feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah straftbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan
11 Ibid
pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengah-tengah masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukkan pengertian perbuatan melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan Hakim agar dijatuhi pidana 12.
2. Unsur – Unsur Tindak Pidana
Unsur tindak pidana terbagi atas 2 (Dua) unsur, yakni unsur formal dan unsur material, unsur formal meliputi 13 :
- Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.
- Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.
- Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.
- Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
- Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.
12 Moeljatno, 2009. Asas-asas Hukum Pidana, Rineke Cipta,Jakarta
13 Ibid
Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :14
- Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).
- Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.
- Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.
Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana :
Ada beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti penghasutan (Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHP), pengemisan (Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP). Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.
14 Ibid
Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam delik- delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana. Misalnya dengan sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu akan berperang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang (Pasal 123 KUHP).
Tindak pidana juga mengenal adanya unsur subjektif, unsur ini meliputi :15 - Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran
kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338).
- Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lain-lain.
- Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan atau poging (Pasal 53 KUHP)
- Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian (Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan lain-lain
- Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade), dimana hal ini terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP).
15 Leden Marpaung, 2009. Asas – Teori - Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
C. Tinjauan Tindak Pidana Anak 1. Definisi Tindak Pidana Anak
Tindak pidana anak adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak- anak. Tindak pidana anak dapat dihubungkan dengan istilah “Juvenile Deliquency”, yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan beragam istilah,
yaitu kenakalan anak, kenakalan remaja, kenakalan pemuda, taruna tersesat, ataupun jalin quersi anak. Secara etimologis dapat dijabarkan bahwa
“Juvenile” berarti “anak” sedangkan “Deliquency” berarti “kejahatan”. Dengan demikian “Juvenile Deliquency” adalah “Kejahatan Anak ”, sedangkan apabila menyangkut subjek atau pelakunya, maka “Juvenile Deliquency” berarti penjahat anak atau anak jahat.
Paulus Hadisuprapto yang menyebutkan bahwa yang dimaksud Juvenile Delinquency adalah:16
Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.
Selain itu, Dr. Fuad Hasan dalam Sudarsono juga merumuskan bahwa
“Juvenile Delinquency”, adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai
16 Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak Pemahaman dan Penanggulangannya, (Malang:
Selaras, 2010), hal. 11.
tindak pidana. Khumaidi Tohar juga merumuskan bahwa yang dikatan sebagai “Juvenile Delinquency” adalah:17
Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.
Juvenile Delinquency merupakan istilah yang dalam bahasa Indonesia
melahirkan berbagai macam istilah dengan latar belakang pemikiran sendiri- sendiri. Salah satu terjemahan Juvenile Delinquency adalah perilaku delinkuensi anak. Menurut Pasal 1 Huruf 2 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat membuat seorang anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal offences. Status Offence adalah perilaku kenakalan
anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
sedangkan Criminal Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasadianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Namun terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak- anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap
17 Khumaidi Tohar, Artikel “Memahami perilaku Delinkuensi dan Rasionalisasinya” (Jakarta:
2007), hal. 2.
kritis, agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukannya.18
Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya kejahatan yang dilakukan anak, yaitu:19
1. Faktor lingkungan 2. Faktor ekonomi/ sosial 3. Faktor psikologis
Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak merupakan manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimana pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya itu serta pelaku mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran diri dari orang tua anak yang bersangkutan bahwa anak juga berpotensi menjadi pelaku perbuatan terlarang menurut hukum yang berlaku.
18 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), hal. 12.
19A.Syamsudin Meliala dan E.Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum (Yogyakarta: Liberty, 1985), hal. 31.
2. Bentuk Tindak Pidana Anak
Menurut Sudarsono, norma-norma hukum yang sering dilanggar oleh anak-anak remaja pada umumnya adalah Pasal – pasal tentang :20
a. Kejahatan – kejahatan kekerasan 1) Pembunuhan
2) Penganiayaan 3) Pemerkosaan 4) Pemukulan 5) Intimidasi
b. Kejahatan terhadap suatu benda 1) Pencurian biasa
2) Pencurian dengan pemberatan c. Penggelapan
d. Penipuan e. Pemerasan f. Gelandangan g. Narkotika
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dinyatakan bahwa tindak pidana anak merupakan salah satu dari pelanggaran terhadap Pasal 489, 490, 492, 497, 503, 505, 514, 517, 518, 519, 526, 531, 532, 536, dan
20Sudarsono. Kenakalan Remaja. Rineka Cipta. Jakarta : 1991. Hlm 32.
540, yaitu:
a. Pelanggaran keamanan umum, seperti:
1) Mabuk di muka umum dan merintangi lalu lintas, menganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain.
2) Menyebabkan kebakaran di muka umum.
b. Melakukan pelanggaran terhadap ketertiban, meliputi:
1) Membuat kegaduhan, keramaian sehingga mengaganggu masyarakat.
2) Menggelandang.
3) Penadah.
4) Pemalsuan.
5) Perusakan informasi di muka umum.
c. Melakukan pelanggaran kesusilaan, meliputi:
1) Menyanyikan lagu, berpidato, dan menyebarkan tulisan yang melangggar kesusilaan di muka umum.
2) Berzina 3) Berkata dusta
D. Tinjauan Mengenai Penyidikan dalam Tindak Pidana 1. Definisi Penyidikan
Definisi penyidikan seperti yang terkandung di dalam Undang- Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 Ayat ( 2 ) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 Ayat ( 13 ) memuat pemahaman yang sama tentang penyidikan yaitu serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dalam sistem hukum Indonesia sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 6 Ayat ( 1 a ) disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Kemudian Pasal 7 Ayat ( 1 g ) bahwa karena kewajibannya penyidik memiliki wewenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab Selanjutnya di dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 10 Ayat ( 1 ) bahwa dalam melaksanakan kewenangannya penyidik di bantu oleh Penyidik pembantu.
Kemudian Pasal 11 juga menyebutkan bahwa Penyidik pembantu memiliki wewenang seperti penyidik kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya yang mengacu kepada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yang mana sesuai pula dengan ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri sebagai penyidik tindak pidana berwenang untuk :
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalakan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk kepentingan penyidikan, pihak Kepolisian sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan yang selanjutnya melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan cukup adalah bukti yang berupa keterangan – keterangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara :21
1) Laporan Polisi.
2) B.A.P di Tempat Kejadian Perkara.
3) Keterangan saksi termasuk saksi ahli (visum et Repertum).
4) Barang bukti.
21Sonaryo, dkk , Himpunan Juklak dan Juknis tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana , Jakarta 1982, hal. 78.
2. Proses Penyidikan Terhadap Anak sebagai Pelaku Kejahatan Seperti halnya orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga akan mengalami proses hukum yang identik dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana, arti kata identik disini mengandung arti ”hampir sama”, yang berbeda hanya lama serta cara penanganannya. Lama penahanan pada tingkat penyidikan untuk anak – anak di tahap pertama adalah 7 (tujuh) hari dan jika proses penyidikan belum selesai dapat di perpanjang selama 8 (delapan) hari, jadi totalnya adalah 15 (lima belas) hari.
Sedangkan untuk orang dewasa pada proses penyidikan tahanan dewasa untuk tahap pertama di tahan selama 20 (dua puluh) hari dan dapat di perpanjang paling lama 40 (empat) hari jadi totalnya adalah 60 (enam puluh) hari.
Di samping itu, penanganan oleh petugas Polri atau penyidik terhadap anak – anak tidak sama dengan penyidik untuk orang dewasa, hal ini di atur di dalam Pasal 26 Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Penangkapan dan penahanan terhadap anak pelaku kejahatan atau anak yang berhadapan dengan hukum diatur dalam Pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, dan 40 Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa : Penangkapan anak yang berhadapan dengan hukum sama seperti penangkapan terhadap orang dewasa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 19 dan penangkapan tersebut dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 ( satu ) hari.
Penahanan tahap pertama terhadap anak yaitu dilakukan hanya berlaku paling lama 15 (dua puluh) hari dan apabila belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 5 (lima) hari.
Dalam waktu 15 (lima belas) hari, Polri sebagai penyidik tindak pidana sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum. Apabila jangka waktu tersebut dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Perbedaan antara penahanan terhadap anak dengan penahanan orang dewasa terletak di jangka waktu perpanjangan penahanan apabila proses penyidikan belum selesai. Jika anak – anak diperpanjang paling lama 8 (delapan) hari tapi jika orang dewasa dapat diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari. Disamping itu penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat tertentu.
Pasal 27 Undang – undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau kepentingan masyarakat.
Alasan penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah
penahanan. Tempat penahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani serta sosial anak harus dipenuhi.
Proses penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang diatur dalam Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 26 ayat (1) dan (3) menetapkan bahwa :
1) Penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai penyidik sebaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a) Telah berpengalaman sebagai penyidik
b) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak, dan
c) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.
Selanjutnya, di dalam Pasal 18 dan Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menetapkan bahwa :
Pasal 18
“Dalam menangani perkara anak, anak korban, dan/atau anak saksi, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional dan tenaga
kesejahteraan sosial, penyidik, penuntut umum, hakim, dan advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memerhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.”
Pasal 19
1) Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik 2) Identitas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi nama anak,
nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah dan hal lain dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.
BAB III Metode Penelitian A. Tipe Penelitian
Penulis menggunakan tipe penelitian hukum empiris adalah suatu tipe penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat.
Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.22
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan diwilayah hukum Kepolisian Resort Gowa.
Penulis memilih lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian relevan dengan masalah yang akan ditelliti. Perlu suatu penelusuran secara sistematis terhadap instansi tersebut.
C. Jenis dan sumber data
Adapun jenis dan sumber data dalam penelitian ini adalah, sebagai
22 Diakses https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan- normatif/#sthash.0XRyeJoy.dpuf pada tanggal 13 April 2017, pukul 19.00
berikut :
a) Data Primer, yakni data yang diperoleh langsung di lapangan dengan cara mengadakan wawancara terhadap pihak Kepolisian di Polres Gowa.
b) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari beberapa literatur, dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, dan sumber-sumber kepustakaan lain yang mendukung.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara sebagai berikut : a) Wawancara (Interview) dengan mendatangi narasumber dan
responden, dan melakukan tanya jawab langsung, tipe pertanyaannya teratur dan terstruktur yang berkaitan dengan penelitian ini.
b) Sumber Penelitian Kepustakaan (Library Research), sumber data yang diperoleh dari hasil penelaahan beberapa literatur dan sumber bacaan lainnya yang dapat mendukung penulisan skripsi ini.
E. Analisis data
Data yang diperoleh baik data primer dan data sekunder akan diolah dan di analisis berdasarkan rumusan masalah yang telah diterapkan
sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas. Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data yang berupaya memberikan gambaran secara jelas dan konkrit terhadap objek yang dibahas secara kuantitatif dan selanjutnya data tersebut disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.