• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI TENTANG KELUHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STUDI TENTANG KELUHAN"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

STUDI TENTANG KELUHAN SICK BUILDING SYNDROME (SBS) PADA PEGAWAI DI GEDUNG REKTORAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR TAHUN 2013

NUR HABIBI RAHMAN K111 08 972

BAGIAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2013

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv RINGKASAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT JURUSAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA MAKASSAR, NOVEMBER 2013 NUR HABIBI RAHAMAN

“STUDI TENTANG KELUHAN SICK BUILDING SYNDROME (SBS) PADA PEGAWAI DI GEDUNG REKTORAT UNIVERSITAS

HASANUDDIN MAKASSAR TAHUN 2013”

(xiv + 79 halaman + 19 tabel + 10 lampiran)

Secara sepintas gedung yang dibangun secara mewah dan dilengkapi dengan prasarana yang memadai, serta kondisi udara dalam ruangan yang dapat diatur senyaman mungkin sering dianggap tempat yang paling aman untuk bekerja. Namun kurang disadari bahwa pada kenyataannya justru di tempat inilah kesehatan orang yang bekerja kebanyakan sering terganggu salah satu fenomena yang sering terjadi yaitu Sick Building Syndrome (SBS). Sick Building Syndrome (SBS) sendiri merupakan istilah dimana penghuni gedung/bangunan mengeluhkan permasalahan kesehatan dan kenyamanan yang timbul berkaitan dengan waktu yang dihabiskan dalam gedung tersebut serta kualitas udaranya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatahui karakteristik pegawai dengan keluhan Sick Building Syndrome (SBS) berdasarkan umur, jenis kelamin, masa kerja, kebiasaan merokok dalam ruangan serta gambaran suhu dan kelembaban ruangan. Jenis penelitian yang digunakan adalah observational dengan pendekatan deskriptif. Sampel dalam penelitian ini adalah pegawai gedung Rektotar Universitas Hasanuddin dengan jumlah sampel yang berhasil diperoleh dalam penelitian ini adalah sebanyak 92 orang dengan teknik pengambilan sampel ditentukan melalui metode purposive sampling.

Hasil penelitian ini menunjukkan gejala yang paling banyak di keluhkan adalah mengantuk sebayak (29,3%) dimana persentase variabel yang lebih besar mengalami keluhan SBS, yaitu pada umur tua sebesar (44%), pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar (43,9%), pada masa kerja lama yaitu sebesar (43,5%), dan pada responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok dalam ruangan yaitu sebesar (39,2%). Sedangkan gambaran suhu dalam rungan Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin sebagian besar sudah memenuhi syarat kecuali suhu pada ruang Staf Rumah Tangga & Tata Usaha (28,7C) dan staf Biro Perencanaan (28,5C) yang sedikit melebihi syarat sebaliknya kelembaban dalam rungan Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin sebagian besar tidak memenuhi syarat kecuali kelembaban pada ruang Staf Biro Kemahasiswaan yang memenuhi syarat yakni sebesar (57%). Disarankan kepada pihak gedung Rektorat Universitas Hasanuddin agar tegas dalam penerapan peraturan tidak merokok dalam ruang kerja, pengoptimalan penggunaan AC sentral guna mengatur suhu dan kelembaban ruangan sehingga sesuai standar serta pengadaan tanaman hias penyerap polutan berbahaya di sekitar ruang kerja.

(5)

v KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul, “Studi Tentang Keluhan Sick Building Syndrome (SBS) Pada Pegawai Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2013”, sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya yang selalu eksis membantu perjuangan beliau dalam menegakkan Dinullah di muka bumi ini.

Skripsi ini penulis dedikasikan kepada ayahanda Abd. Rahman Dg.

Matajang (Alm) dan ibunda tercinta Indo Makkulau yang telah mendidik serta membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang dan tidak henti-hentinya mendo’akan, memberi semangat, serta nasehat dengan segala keikhlasannya selama ini.

Begitu pula buat saudara-saudaraku tersayang, yang senantiasa memberikan kepercayaan yang begitu besar mendukung dalam segala hal, terima kasih atas kasihsayang, doa, harapan, motivasi dan segala pengorbanan tanpa pamrih yang telah diberikan kepada penulis. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.

(6)

vi Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Begitu banyaknya dukungan dan perhatian yang penulis dapatkan selama penyusunan skripsi ini berlangsung, sehingga hambatan yang ada dapat dilalui dan dihadapi dengan penuh rasa sabar. Oleh karena itu, Dengan segala hormat, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Bapak dr. M. Furqaan Naiem, M.Sc, Ph.d selaku pembimbing I dan Ibu Dr.dr.

Hj. Syamsiar S. Russeng, MS selaku pembimbing II yang dengan penuh kesabaran dalam memberikan perhatian, arahan, motivasi, masukan serta dukungan moril dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. dr. H. Muh. Syafar, MS; Bapak Syamsuar Manyullei, SKM, M.Kes, M.Sc. PH; dan Bapak dr. Muhammad Rum Rahim, M.Sc, selaku tim penguji yang telah banyak memberikan masukan, saran serta arahan guna menyempurnakan penulisan skripsi ini.

3. Bapak Lalu Muhammad Saleh, SKM, M.Kes selaku penasehat akademik yang telah memberikan nasehat dan bimbingan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

4. Bapak Prof. Dr. dr. H. M. Alimin Maidin, MPH , selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin dan para pembantu dekan beserta seluruh staf pegawai yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama dalam proses pendidikan.

(7)

vii 5. Ketua, Sekretaris, Bapak/Ibu Dosen beserta seluruh Staf Jurusan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin yang telah memberikan bimbingan dan ilmu kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

6. Kepala Biro Adm. Umum serta seluruh staf pegawai Rektorat Uiversitas Hasanuddin atas saran, informasi serta izin yang diberikan kepada penulis guna melakukan penelitian di tempat tersebut.

7. Sahabat terbaik yaitu, Idhar, rickson, Thamar, Aie, Zul, Ambo, Ilo, Arif, Basso, Quddus, Ririn, Anni, Endacahya, Dayat, Aidil, , Lutfi, Irto, Dedi, Aga, Delon, Rais, Ugha, Ical kalian yang terbaik. Semoga kita semua menjadi orang yang sukses, amin.

8. Teman-teman jurusan Kesehatan dan keselamatan kerja (K3), dan teman- teman ROMUSA 08, semoga kita dapat menjadi pionir dalam mengembangkan profesi Kesehatan Masyarakat.

9. Teman seperjuangan saat magang, teman – teman KKN posko Desa Kapiri dan teman-teman seperjuangan saat PBL, khususnya posko Kelurahan UPB, 10. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu-persatu yang telah

banyak memberikan bantuannya dalam rangka penyelesaian skripsi ini.

Semoga Allah SWT, memberikan balasan atas semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Memohon maaf atas semua kekurangan dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis menerima segala kritik dan saran yang sifatnya konstruktif demi penyempurnaan skripsi ini.

(8)

viii Terakhir penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan bagi kemajuan ilmu kesehatan masyarakat. Amin...

Makassar, November 2013 Penulis

Nur Habibi Rahman

(9)

ix DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

RINGKASAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Sick Building Syndrome (SBS) ... 9

B. Tinjauan Umum Tentang Kualitas Udara Dalam Ruangan... ... 21

C. Tinjauan Umum Tentang Lingkungan Kerja Perkantoran ... 29

D. Tinjauan Umum Tentang Variabel Yang Diteliti... 30

1. Tinjauan Umum Tentang Umur ... 30

2. Tinjauan Umum Tentang Jenis Kelamin ... 31

3. Tinjauan Umum Tentang Masa Kerja ... 32

(10)

x

4. Tinjauan Umum Tentang Kebiasaan Merokok ... 33

5. Tinjauan Umum Tentang Suhu ... 34

6. Tinjauan Umum Tentang Kelembaban ... 35

E. Kerangka Teori... 37

BAB III KERANGKA KONSEP A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti ... 38

B. Pola Pikir Variabel yang Diteliti ... 39

C. Definisi Operasional & Kriteria Objektif ... 40

BAB IV METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 43

B. Lokasi Penelitian ... 43

C. Populasi dan Sampel... 43

D. Metode Pengumpulan Data... 44

E. Pengolahan & Penyajian Data... 45

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil ... 47

B. Pembahasan ... 66

C. Keterbatasan Penelitian ... 76

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN

(11)

xi DAFTAR TABEL

Hal Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Tiap Biro/Lokasi Pada

Pegawai Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 49 Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kelompok Umur

Pada Pegawai Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 50 Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pada

Pegawai Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 51

Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Jam Kerja Perhari Pada Pegawai Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 52

Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Jam Istirahat, Meninggalkan Kantor Pada Pegawai Di Gedung Rektorat Universitas

Hasanuddin Makassar Tahun 2013 ... 52

Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok Pada Pegawai Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 53 Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Umur Pada Pegawai

Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 54 Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Pegawai

Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 55 Tabel 9 Distribusi Responden Berdasarkan Masa Kerja Pada Pegawai

Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 55 Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok Dalam

Ruang Kerja Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 56

(12)

xii Tabel 11 Distribusi Reponsen Menurut Keluhan SBS Dalam Ruangan

Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 57 Tabel 12 Distribusi Keluhan SBS Berdasarkan Bagian Pada Pegawai

Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 58 Tabel 13 Distribusi Berdasarkan Gejala SBS Pada Pegawai

Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 59 Tabel 14 Distribusi Berdasarkan Suhu Dalam Ruangan Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin Makassar

Tahun 2013 ... 60 Tabel 15 Distribusi Berdasarkan Kelembaban Udara Dalam Ruangan

Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 61 Tabel 16 Distribusi Keluhan SBS Berdasarkan Umur Pada Pegawai

Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 62 Tabel 17 Distribusi Keluhan SBS Berdasarkan Jenis Kelamin Pada

Pegawai Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 63 Tabel 18 Distribusi Keluhan SBS Berdasarkan Masa Kerja Pada Pegawai Di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 63 Tabel 19 Distribusi Keluhan SBS Berdasarkan Kebiasaan Merokok

Pada Pegawai di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2013 ... 64

(13)

xiii DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1 Diagram Fishbone Untuk Gejala Sakit Kepala ... 14

Gambar 2 Diagram Fishbone Untuk Gejala-Gejala Bersin-Bersin, Pilek

Dan Hidung Tersumbat ... 14 Gambar 3 Kerangka Teori ... 37 Gambar 4 Kerangka Konsep ... 39

(14)

xiv DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Penelitian

2. Lembar Observasi Pengukuran Suhu Dan Kelembaban Ruangan 3. Master tabel penelitian

4. Output SPSS 16

5. Dena Gedung Rektorat perlantai

6. Surat Pengantar Izin Penelitian Dari FKM-UNHAS 7. Surat Izin Meneliti

8. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian 9. Dokumentasi Penelitian

10. Daftar Riwayat Hidup

(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, negara-negara maju dan berkembang menghadapi pembangunan fisik yang sangat pesat merefleksikan adanya kompleksitas simbol kehidupan modern. Dalam kehidupan sekarang, banyak dijumpai gedung pencakar langit yang menjadi simbol modernisasi. Kehidupan modern di kota-kota besar negara kita menuntut tersedianya prasarana yang memadai.

Salah satu diantaranya adalah gedung kantor yang megah yang dilengkapi dengan sistem Air Conditioning (AC). Gedung seperti ini biasanya dibuat tertutup dan mempunyai sirkulasi udara sendiri (Eva, 2007).

Hasil survei Enviromental Protection Agency (EPA) tahun 2007, menyatakan bahwa manusia menghabiskan waktunya 90% di dalam lingkungan konstruksi, baik itu di dalam bangunan kantor ataupun rumah dengan kualitas udara dalam ruangan yang kemungkinan telah tercemar oleh polutan yang berasal dari dalam maupun luar ruangan (Sari, 2009).

Secara sepintas ruangan gedung yang dibangun secara mewah dan dilengkapi dengan prasarana yang memadai, serta kondisi udara dalam ruangan yang dapat diatur senyaman mungkin merupakan hal yg dianggap tempat yang amat nyaman untuk bekerja. Namun pada kenyataannya justru di ruangan seperti inilah kesehatan orang yang bekerja kebanyakan sering terganggu (Joviana, 2009).

(16)

2 Berbagai keluhan dan gejala pun dapat timbul saat seseorang berada dalam gedung. Kuaitas udara, suhu, radiasi, ventiasi, pencahayaan serta penggunaan berbagai bahan kimia di dalam gedung, merupakan penyebab yang sangat potensial bagi timbulnya keluhan dan gejala pada pekerja/pegawai pada saat mereka berada di dalam gedung (Ruth, 2009).

Masalah menjadi kompleks dimana manusia mengunakan peralatan kantor yang serba canggih dan modern. Seperti mesin fotokopi dan AC yang dapat menjadi alat pencemar jika tidak dipelihara dengan baik akan mengakibatkan kualitas udara rendah dan dapat meninmbulkan gangguan kesehatan. Untuk itu kita harus tetap waspada terhadap kemungkinan adanya gangguan-gangguan kesehatan yang di akibatkan oleh kondisi gedung, yang pada akhirnya dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja yang bekerja di dalamnya.

Sejak tahun 1984, The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) USA dalam penelitiannya telah melaporkan terdapatnya sekumpulan gejala gangguan kesehatan pada tenaga kerja yang bekerja di gedung-gedung bertingkat yang disebut Sick Building Sindrome (SBS) (Ruth, 2009).

Sick Building Sindrome (SBS) sendiri merupakan sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau bangunan, yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung tersebut serta kualitas udara, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus yang dapat di identifikasi.

Keluhan-keluhan dapat timbul dari penghuni gedung pada ruang atau bagian

(17)

3 tertentu dari gedung tersebut, meskipun ada kemungkinan menyebar pada seluruh bagian gedung (Anies, 2004).

Biasanya gejala yang timbul memang berhubungan dengan tidak sehatnya udara di dalam gedung. Keluhan yang ditemui pada Sick Building Syndrome (SBS) ini biasanya dapat berupa batuk kering, sakit kepala, iritasi mata, hidung dan tenggorokan, kulit yang kering dan gatal, badan lemah, kantuk dan lain-lain. Keluhan-keluhan yang ada biasanya tidak terlalu hebat, tetapi cukup terasa mengganggu dan tentunya hal ini dapat berpengaruh terhadap produktivitas kerja seseorang yang terpapar penyakit ini. Sick Building Syndrome atau sindrom gedung sakit ini baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20% atau bahkan 50% pengguna suatu gedung mempunyai keluhan-keluhan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. (Aditama, 2002).

Menurut riset yang dilakukan The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) AS pada tahun 1997, sebanyak (52%) penyakit pernapasan yang terkait dengan Sick Building Syndrome (SBS) bersumber dari kurangnya ventilasi dalam gedung serta kinerja Air Conditioning (AC) gedung yang buruk. Perlu diketahui bahwa suhu Air Conditioning (AC) di dalam gedung bertingkat biasanya terlalu dingin, yaitu berkisar antara 20-23 derajat celsius. Rekayasa suhu udara inilah yang membuat bakteri-bakteri merugikan seperti chlamydia, escheriachia dan legionella spleluasa bergerilia di saluran pernapasan. Sisanya, 17% disebabkan pencemaran zat kimia yang ada di dalam gedung, misalnya mesin foto kopi, pengharum ruangan, larutan pembersih, atau bahan kain pelapis dinding (Joviana, 2009).

(18)

4 Contoh kasus yang paling mengejutkan adalah pada tahun 1976 telah dilaporkan bahwa sebanyak 29 peserta Amerika Legion Convention meninggal oleh penyakit yang disebut Legionnaries Diseases dan diketahui bahwa penyebabnya adalah Sick Building Syndrome (SBS) (Kurniadi, 2009). Dan kasus sindrome ini terus meningkat sesuai survey di Amerika Serikat 8.000- 18.000 kasus Sick building syndrome (SBS) terjadi setiap tahunnya (Laila, 2011).

Dari sebuah studi penelitian mengenai bangunan kantor modern di Singapura diketahui bahwa dari 312 responden ditemukan 33% mengalami gejala Sick Building Syndrome (SBS). Keluhan mereka umumnya cepat lelah 45%, hidung mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit kemerahan 16%, tenggorokan kering 43%, iritasi mata 37%, lemah 31% (Pusat Kesehatan Kerja Depkes RI, 2008).

Sedangkan di Indonesia, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI/FKM-UI) melakukan penelitian terhadap 350 karyawan dari 18 perusahaan di wilayah DKI Jakarta selama juli-desember 2008. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, 50% orang yang bekerja di dalam gedung perkantoran dinyatakan mengalami Sick Building Syndrome (Guntoro, 2008).

Dari hasil penelitian Ramlah di kantor pusat Bosoa Group Kota Makassar tahun 2008, menunjukkan bahwa dari lima variabel yang diteliti terbukti ditemukan ada tiga variabel yang beresiko terhadap keluhan SBS, yaitu jenis kelamin dengan jumlah ada keluhan sebesar (59,8%), jenis

(19)

5 pekerjaan (indoor/outdoor) ada keluhan sebesar (64,9%) dan kebiasaan merokok dengan jumlah ada keluhan sebesar (62,2%).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruth (2009) di PT.

Graha Elnusa menunujukkan bahwa SBS lebih berisiko pada jenis kelamin perempuan, pada usia antara 21-30 tahun, masa kerja kurang dari sama dengan 5 tahun (38,5%) dan responden yang tidak terbiasa merokok dalam ruangan (37,2%). Adapun menurut Tarwaka (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keluhan SBS dalam suatu ruangan kerja adalah kontaminan udara dalam ruangan, suhu udara, kelembaban, kecepatan udara untuk sirkulasi, dan ventilasi udara yang digunakan.

Satu masalah besar di tempat kerja saat ini adalah keluhan karyawan tentang sakit tenggorokan, mata berair, batuk, sakit kepala atau kelelahan. Ini sedikit tanda bahwa telah menderita Sick Building Syndrome (SBS). Suatu resiko kesehatan yang semakin meningkat pada berjuta - juta karyawan di seluruh dunia. Para ahli memprediksikan bahwa kualitas udara dalam ruangan akan berada di garis terdepan dari manajemen pada dekade mendatang dan akan muncul bukan saja di negara maju tetapi juga di negara yang sedang berkembang khsusunya di negara beriklim panas (Ekayanti, 2007).

Di kota Makassar sendiri telah banyak berdiri gedung-gedung tinggi salah satu diantaranya adalah gedung Rektorat Universitas Hasanuddin yang berlokasi di jalan Printis kemerdekaan km 10 makassar gedung yang terdiri atas delapan lantai dan termasuk gedung yang tertutup karena menggunakan Air Conditioning (AC) guna menjaga kestabilan suhu dalam ruangan kerja

(20)

6 aktifitas pegawainya sebagian besar bekerja di depan computer, bekerja selama 8 jam dalam ruangan dari hari senin hingga jum’at, dimana kegiatan yang dilakukan tentang pengurusan administrasi Universitas.

Fasilitas kamar mandi yang terdapat disetiap lantai, kondisi tata ruang dan jumlah pegawai yang cukup banyak, merupakan kondisi yang perlu diperhatikan karena berpotensi menimbulkan Sick Building Syndrome (SBS) yang dapat mempengaruhi status kesehatan serta menurunkan produktifitas pegawai dalam bekerja.

Berdasarkan beberapa fakta yang telah dikemukakan selain gedung rektorat universitas hasanuddin dapat mempersentasikan gedung pencakar langit yang dianggap sebagai salah satu penyebab Sick Building Syndrome (SBS), gedung rektorat saat ini pula telah mengalami beberapa tahap renovasi, tepatnya baru-baru ini di lantai delapan serta belum adanya penelitian tentang Sick Building Sindrome (SBS) di gedung Rektorat Universitas Hasanuddin Makassar maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Studi Tentang Keluhan Sick Building Sindrome (SBS) Pada Pegawai di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin Makassar Tahun 2013”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah yaitu bagaimana gambaran karakteristik pegawai terhadap keluhan Sick Building Syndrome (SBS) di gedung Rektorat Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2013.

(21)

7 C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran karakteristik pegawai dengan keluhan Sick Building Syndrome (SBS) di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

a) Untuk mengetahui distribusi keluhan Sick Building Syndrome (SBS) pada pegawai berdasarkan Umur

b) Untuk mengetahui distribusi keluhan Sick Building Syndrome (SBS) pada pegawai berdasarkan Jenis Kelamin.

c) Untuk mengetahui distribusi keluhan Sick Building Syndrome (SBS) pada pegawai berdasarkan masa kerja.

d) Untuk mengetahui distribusi keluhan Sick Building Syndrome (SBS) pada pegawai berdasarkan kebiasaan merokok.

e) Untuk mengetahui gambaran kondisi suhu udara dalam ruangan di gedung rektorat Universitas Hasanuddin Makassar 20013.

f) Untuk mengetahui gambaran kondisi kelembaban udara dalam ruangan di gedung rektorat Universitas Hasanuddin Makassar 20013.

(22)

8 D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Institusi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk lebih meningkatkan derajat kesehatan dalam bekerja.

2. Manfaat Ilmiah

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan referensi bacaan dan dapat pula dikembangkan sebagai bahan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan Sick Building Syndrome (SBS).

3. Bagi Peneliti

Memberikan pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam mengaplikasikan ilmu kesehatan masyarakat khususnya kesehatan dan keselamatan kerja.

(23)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Sick Building Syndrome 1. Pengertian Sick Building Syndrome

Istilah Sick Building Syndrome (SBS) pertama kali diperkenalkan oleh para ahli dari negara Skandinavia pada tahun 1980-an. Sick Building Syndrome (SBS) dikenal juga dengan Tigh Building Syndrome (TBS) atau Nonspecific Building-Related Symptoms (BRS) karena sindrom ini sering dijumpai dalam ruangan pada gedung pencakar langit (Bunga, 2008).

Menurut WHO Sick Building Syndrome (SBS) adalah suatu sindroma atau kumpulan keluhan-keluhan yang meliputi perasaan-perasaan yang tidak spesifik dari rasa tidak enak badan yang mana sering dijumpai pada mereka yang bekerja di bangunan moderen yang umumnya bertingkat tinggi, akan tetapi Sick building Syndrome (SBS) juga dapat dijumpai pada mereka yang bekerja di bangunan modern rendah atau tidak bertingkat (Ekayanti, 2007).

Sama halnya menurut Dian, dkk, tahun 2012 Sick Building Syndrome (SBS) adalah keadaan yang menyatakan bahwa gedung-gedung industri, perkantoran, perdagangan, dan rumah tinggal memberikan dampak penyakit dan merupakan kumpulan gejala yang dialami oleh pekerja dalam gedung perkantoran berhubungan dengan lamanya berada di dalam gedung serta kualitas udara yang buruk.

(24)

10 Sedangkan menurut Sumirat (2004) Sick Building Syndrome (SBS) adalah gejala-gejala gangguan kesehatan yang umumnya berkaitan dengan saluran pernafasan, sekumpulan gejala ini dihadapi oleh orang yang bekerja di gedung atau ruamah yang ventilasinya tidak terencanakan dengan baik.

Fenomena Sick Building Syndrome (SBS) ini sering terjadi, namun kurang disadari oleh kebanyakan orang. Banyak peneliti setujuh bahwa SBS menggambarkan dari gejala yang asal usulnya tidak diketahui dengan jelas, ditambah lagi dengan adanya pengaruh khusus dari lingkungan (Rut, 2009).

Menurut Aditama (2002), istilah SBS mengandung dua maksud yaitu:

1. Kumpulan gejala (sindroma) yang dikeluhkan seseorang atau sekelompok orang meliputi perasaan-perasaan tidak spesifik yang mengganggu kesehatan berkaitan dengan kondisi gedung tertentu, dan 2. Kondisi gedung tertentu berkaitan dengan keluhan atau gangguan

kesehatan tidak spesifik yang dialami penghuninya, sehingga dikatakan

“gedung yang sakit”.

Menurut EPA, 2010 dalam Wahab, 2011, cara mengidentifikasi SBS yang dapat terjadi jika :

1. Terdapat sekumpulan gejala yang dirasakan yang berhubungan dengan waktu yang dihabiskan dalam suatu gedung atau suatu bagian dari gedung

2. Gejala-gejala tersebut hilang ketika individu tidak sedang berada dalam gedung,

(25)

11 3. Pekerja yang ada mengeluhkan gejala yang sama yang datang dari semua bagian gedung, satu departemen yang sama, satu ruangan yang sama serta satu lokasi yang sama.

2. Penyebab Sick Building Syndrome

Anies (2004) menyatakan bahwa kualitas udara terutama di dalam ruangan indoor air quality (IAQ), ventilasi, pencahayaan serta penggunaan berbagai bahan kimia di dalam gedung, merupakan penyebab yang sangat potensial bagi timbulnya Sick Building Syndrome (SBS).

Kondisi semakin buruk jika gedung bersangkutan menggunakan sistem Air Conditioning (AC) yang tidak terawat dengan baik. Namun disamping penyebab yang bersumber pada lingkungan penyebab lain keluhan Sick Building Syndrome (SBS) juga dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan seperti masalah pribadi, pekerjaan dan psikologi yang dianggap mempengaruhi kepekaan seseorang terhadap SBS, sedangkan faktor-faktor yang bersifat individual seperti jenis kelamin, riwayat alergi, stress emosional yang berkaitan dengan pekerjaan memberiandil besar bagi timbulnya SBS (joviana, 2009).

Berdasarkan evaluasi penyebab SBS oleh NIOSH terhadap gedung perkantoran, sekolah, universitas, dan gedung pelayanan kesehatan selama tahun 1978-1989 telah ditemukan faktor kondisi gedung yang diduga menyebabkan sick building syndrome (SBS). Faktor ventilasi gedung yang tidak adekuat menjadi penyebab utama (>50%), kontaminasi dalam ruang

(26)

12 (<20%), kontaminasi udara luar (10%), sedangkan kontaminan mikrobiologi dan material bangunan masing-masing tidak lebih dari (5%).

Beberapa faktor yang berkaitan dengan kualitas udara dalam ruangan yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan kejadian Sick Building Sindrome (SBS) menurut Kusnoputranto (2002):

a. Kondisi lingkungan dalam ruangan

Kondisi lingkungan yang sangat penting untuk diperhitungkan adalah suhu ruangan, kelembaban, dan aliran udara. Kriteria hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan pertumbuhan mikroorganisme udara, dan timbulnya bau yang tidak sedap.

b. Kondisi gedung dan furniture

Konstruksi bangunan dan furniture dapat melepaskan gas-gas polutan dalam ruangan, misalnya formaldehyde, serat asbes, cat, polutan dari karpet, fiberglass.dan lain-lain

c. Proses dan alat-alat dalam gedung

Banyak polutan dilepaskan oleh alat-alat dan proses dalam gedung, misalnya ozon dari mesin fotokopi dan asap rokok.

d. Ventilasi

Ventilasi udara merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan, ventilasi udara yang buruk dapat menyebabkan kurangnya udara segar yang masuk .

(27)

13 e. Status kesehatan pekerja

kesehatan pekerja antara lain adalah alergi /asma yang diderita pekerja yang bersangkutan, perilaku merokok, gangguan alkohol, dan sebagainya.

Menurut penelitian Hidayat (2005), karyawan kantor yang banyak menghabiskan waktunya di gedung ber AC-lah yang berpotensi besar terjangkit Sick Building Syndrome (SBS).

3. Gejala-gejala Sick Builidng Syndrome

Pada umumnya gejala dan gangguan SBS berupa penyakit yang tidak spesifik, tetapi menunjukkan pada standar tertentu, misal berapa kali seseorang dalam jangka waktu tertentu menderita gangguan saluran pernafasan. Keluhan itu hanya dirasakan pada saat bekerja digedung dan menghilang secara wajar pada akhir minggu atau hari libur, keluhan tersebut lebih sering dan lebih bermasalah pada individu yang mengalami perasaan stress, kurang diperhatikan dan kurang mampu dalam mengubah situasi pekerjaannya (EPA, 2010).

Gejala terjadinya Sick Building Syndrome (SBS) dibagi menjadi tujuh kategori utama, yaitu: sakit kepala; bersin-bersin, pilek dan hidung tersumbat; iritasi mata, hidung, dan tenggorokan; batuk dan serak; mata berkunang-kunang; gatal dan bintik merah pada kulit; serta mual (Rini, 2007)

a. Sakit Kepala, Penyebab gejala sakit kepala yang muncul di dalam sebuah ruangan dapat dilihat pada diagram fishbone Gambar 1.

(28)

14

Lingkungan

Sakit Kepala

Mesin Manusia

Lingkungkan

Bersin-bersin, pilek dan hidung tersumbat

Mesin Manusia

Kebisingan

Iluminasi Kantor

Volatile Organic Compounds (VOC)

Pekerjaan

monoton Penggunaan layar

display

Level stress

Gambar 1. Diagram fishbone untuk gejala sakit kepala

b. Bersin-bersin, Pilek, dan Hidung Tersumbat

Penyebab gejala bersin-bersin, pilek dan hidung tersumbat yang muncul di dalam sebuah ruangan dapat dilihat pada diagram fishbone Gambar 2

Polutan debu

Volatile Organic Compounds (VOCs) Polutan biologi

Sistem ventilasi

yang kotor Lalai melakukan tindakan perawatan

Gambar 2. Dagram fishbone untuk gejala bersin-bersin, pilek dan hidung tersumbat

c. Iritasi Mata, Hidung, dan Tenggorokan

Iritasi mata, hidung, dan tenggorokan yang termasuk iritasi selaput lendir. Gejala ini dapat disebabkan oleh adanya polutan umum seperti:

1) Gas CO, NO2 dan SO2 yang dihasilkan dari peralatan pemanas yang rusak atau tidak berfungsi dengan baik. Penggunaan printer,

(29)

15 scanner, mesin fax dan mesin fotokopi yang dapat menghasilkan ozon.

2) Volatile Organic Compounds (VOCs) yang bisa muncul dalam banyak substansi termasuk parfum, karpet, dan napas manusia.

3) Kondisi buruknya udara yang sampai ke membran selaput lendir yang dideteksi oleh reseptor manusia sehingga menyebabkan iritasi mata, hidung dan tenggorokan.

4) Pencemar biologis, yaitu bakteri, jamur, serbuk (pollen) dan virus yang dapat berkembang biak dalam air tergenang yang terkumpul dalam pipa, penampung air AC, atau tempat air berkumpul seperti di langit-langit (bocor), karpet, atau penyekat (insulation).

d. Batuk dan Serak

Gejala batuk dan serak dapat disebabkan oleh pencemar biologis (mikroorganisme), seperti bakteri, jamur, serbuk (pollen) dan virus.

Jamur dan bakteri biasanya ditemukan tumbuh dalam system Heating, Ventilation, and Air Conditioning (HVAC) yang menandakan bahwa sistem HVAC dalam keadaan lembab dan pembersihannya tidak dilakukan secara rutin. Sedangkan serbuk dan virus yang ditemukan di dalam ruang kerja berasal dari luar gedung terbawa oleh pekerja yang masuk-keluar ruangan tersebut. Selain itu, gejala batuk dan serak dapat juga terjadi akibat volatile organic compounds (VOCs) yang muncul dalam ruang kerja akibat penggunaan mesin fotokopi, printer, pestisida, dan material gedung.

(30)

16 e. Mata Berkunang-kunang

Gejala mata berkunang-kunang terjadi apabila seseorang menggunakan matanya untuk berakomodasi secara penuh atau berkonsentrasi dalam waktu yang lama. Gejala ini berhubungan dengan penggunaan peralatan layar display (dalam hal ini komputer) yang menuntut mata seseorang untuk menerima radiasi yang dipancarkan dan kurangnya kadar cahaya yang ada dalam ruang kerja. Gejala mata berkunang-kunang apabila dibiarkan lama akan berpengaruh pada anggota tubuh yang lain, khususnya kepala, sehingga orang tersebut akan mengeluhkan gejala sakit kepala.

f. Gatal dan Bintik Merah pada Kulit

Gejala gatal dan bintik merah pada kulit dapat disebabkan oleh debu yang ada di sekeliling pekerja dalam ruang kantor dan polutan biologis yaitu bakteri yang dibawa oleh pekerja dari luar seperti Staphylococcus dan Micrococcus yang ada pada kulit manusia, serta spesies Streptococcus yang dihembuskan dari nasal/pharynx saat seseorang berbicara. Debu di dalam ruang kerja berasal dari debu yang terakumulasi dalam karpet, lubang Air Conditioning (AC), dan permukaan terbuka yang dapat dipenuhi debu seperti rak, lemari, dan meja kantor.

(31)

17 g. Mual

Gejala mual terjadi karena berbagai faktor sebagai berikut:

1) Kebisingan dalam jangka waktu lama.

2) Ventilasi yang tidak memadai sehingga seseorang tidak mendapatkan oksigen yang cukup untuk bernapas dengan normal.

3) Volatile Organic Compounds (VOCs) yang ditemukan pada karpet baru maupun peralatan kantor yang baru seperti lemari, meja, kursi.

VOCs dapat dideteksi dengan adanya bau-bauan yang dikeluarkan dari peralatan baru tersebut.

Aditama (2002), juga membagi keluhan atau gejala Sick Building Syndrome (SBS) dalam tujuh kategori sebagi berikut:

1. Iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair 2. Iritasi hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal,

bersin, batuk kering

3. Gangguan neurotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum), seperti sakit kepala, lemah, capai, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi dan mudah mengantuk.

4. Gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa berat di dada

5. Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal 6. Gangguan saluran cerna, seperti diare

7. Gangguan lain-lain, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, dll.

(32)

18 Sedangkan Menurut Bobic et al. 2009, dalam Wahab 2010, menyatakan gejala-gejala SBS yang ada dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori menjadi, iritasi membran mukosa yang ditandai dengan gejala seperti iritasi mata, iritasi tenggorokan, batuk, kulit kering, mata kering, hidung atau tenggorokan kering. Efek neurotoksik ditandai dengan sakit kepala, kelelahan, sulit berkonsentrasi, pingsan. Gejala pernapasan ditandai dengan sulit bernapas, batuk, bersin, nyeri dada, dada seperti tertekan. Gejala kulit seperti kemerahan, kering dan ruam. Perubahan sensor kimia seperti meningkatnya atau persepsi yang abnormal, gangguan penglihatan.

Gejala yang ada biasanya tidak terlalu hebat tetapi cukup terasa mengganggu dan yang amat penting berpengaruh terhadap produktifitas kerja seseorang. Menurut Hedge (2003), gejala SBS berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Sick Building Syndrome (SBS) baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20%, atau bahkan sampai 50% pengguna suatu gedung mempunyai keluhan-keluhan seperti diatas. Kalau hanya dua atau tiga orang maka mereka mungkin sedang kena flu biasa, (Ekayanti, 2007).

Gejala SBS ini muncul apabila terjadi kondisi lingkungan yang tidak sehat di dalam ruang kerja atau gedung. Hal ini didasarkan dari penelititian- penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli dalam gedung-gedung perkantoran yang memilki berbagai fasilitas modern di dalamnya serta sistem ventilasi yang menggunakan air conditioning (AC).

(33)

19 4. Pencegahan Sick Building Syndrome

Keluhan yang timbul pada penderita biasanya dapat ditangani secara sistematis saja asal diikuti dengan upaya membuat lingkungan udara di gedung tempat kerja menjadi lebih sehat. Yang perlu mendapat perhatian utama tentu bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari suatu gedung menjadi penyebab sick building syndrome (SBS).

Ternyata upaya pencegahannya cukup luas, menyangkut bagaimana gedung itu dibangun, bagaimana desain ruangan, bahan-bahan yang digunakan di dalam gedung, perawatan alat - alat dan lain-lain (Bunga, 2008). Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi:

a. Umumnya penderita Sick Building Sindrome (SBS) akan sembuh apabila keluar dari dalam gedung tersebut dan bila perlu dapat disembuhkan dengan obat-obat simtomatis (obat-obat penghilang gejala penyakit).

b. Upayakan agar udara luar yang segar dapat masuk ke dalam gedung secara baik dan terdistribusi secara merata ke semua bagian didalam suatu gedung, sirkulasi udara dalam gedung diatur sedemikian rupa agar semua orang yang bekerja merasa segar, nyaman dan sehat, jumlah suplai udara segar sesuai dengan kebutuhan jumlah orang di dalam ruangan.

c. Perhatikan pemilihan bahan-bahan bangunan dan bahan pembersih ruangan yang tidak akan mencemari lingkungan udara di dalam gedung dan lebih memilih bahan ramah lingkungan.

(34)

20 d. Upayakan ruangan yang menggunakan karpet untuk pelapis atau lantai secara rutin dibersihkan dengan penyedot debu apabila di anggap perlu dalam jangka waktu tertentu dilakukan pencucian, demikin juga untuk AC harus terus menerus rutin dibersihkan (Anies, 2004).

e. Hindari penyalaan AC secara terus menerus, AC perlu dimatikan supaya kuman tidak berkembang biak di tempat lembab. Ketika AC dimatikan , jendela perlu dibuka lebar-lebar agar sinar matahari masuk kedalam ruangan, karena panas matahari dapat membunuh sebagian kuman (Hidayat, 2005).

f. Alat-alat kantor yang mengakibatkan pencemaran udara, seperti mesin foto copy dan printer diletakkan dalam ruangan terpisah g. Upayakan adanya tanaman hias di sekitar ruangan kerja, yang

berkhasiat mampu menguraikan udara tercemar di dalam gedung.

Misalnya, tanaman bonsai beringin (ficus benyamina), palem weru (rhapissp), jenis-jenis kaktus kecil (cactus), atau tanaman lidah mertua (sansevierasp) (Hidayat, 2005).

Dalam jurnal yang berjudul Sick Building Syndrome Solution Arnold (2001), menyatakan bahwa solusi untuk mengatasi Sick Building Syndrome (SBS) yaitu dengan memperhatikan indoor air quality (IAQ) caranya dengan memindahkan sumber polutan atau memodifikasinya, meningkatkan kecepatan ventilasi dan distribusi udara, pembersihan udara, edukasi dan komunikasi.

(35)

21 B. Tinjauan Umum Tentang Kualitas Udara Dalam Ruang

Menurut Enviromental Protection Agency (EPA) USA, Indoor air quality (IAQ) adalah hasil interaksi antara tempat, suhu, sistem gedung (baik disain asli maupun modifikasi terhadap struktur dan sistem mekanik), teknik konstruksi, sumber kontaminan (material, peralatan gedung, kelembaban, proses, dan aktifitas di dalam gedung serta sumber lain dari luar) dan pekerja (Bunga, 2008).

Menurut idham dalam Ruth (2009), kualitas udara dalam ruangan (Indoor air quality) adalah salah satu aspek keilmuan yang memfokuskan pada kualitas atau mutu udara dalam suatu ruang yang akan dimasukkan kedalam ruangan atau gedung yang ditempati oleh manusia.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas udara dalam ruangan adalah aktivitas penghuni ruangan, material bangunan, furniture dan peralatan yang ada di dalam ruangan, kontaminasi pencemar dari udara luar ruangan, pengaruh musim, suhu dan kelembaban udara dalam ruangan, serta ventilasi (Harm dan Tinlley, 2003)

Biasanya faktor penyebab tidak hanya tunggal dan spesifik, namun merupakan gabungan dari beberapa permasalahan tersebut. Kualitas udara dalam ruangan dapat di lihat dari 3 hal, yaitu faktor fisik, kimia dan biologi.

1. Kualitas Fisik

Dalam penilaian kualitas fisik udara di dalam ruangan ditentukan dengan beberapa parameter yaitu:

(36)

22 a. Suhu / Temperatur udara

Suhu udara sangat berperan terhadap kenyamanan kerja. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, tubuh manusia menghasilkan panas yang digunakan untuk metabolisme basal dan muskular, namun dari semua energi yang dihasilkan tubuh hanya 20 % saja dipergunakan dan sisanya akan dibuang ke lingkungan. Variasi suhu udara tubuh dengan ruangan memungkinkan terjadinya pelepasan suhu tubuh, sehingga tubuh merasa nyaman. Sebaliknya suhu ruangan yang tinggi merupakan beban tambahan bagi seseorang yang sedang bekerja.

Penilaian suhu udara ruangan umumnya dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu suhu basah dimana pengukuran dilakukan jika udara mengandung uap air, dan suhu kering bilamana udara sama sekali tidak mengandung uap air. Pembacaannya dilakukan dengan Heat Stress Monitor.

Perubahan suhu lebih dari 7ºC secara tiba-tiba dapat menyebabkan pengerutan saluran darah, sehingga perbedaan suhu dalam dan luar ruangan sebaiknya kurang dari 7ºC (Bunga, 2008).

Efek suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan:

a) Heat cramps, dialami dalam lingkungan yang suhunya tinggi, sebagai akibat bertambahnya keringat yang menyebabkan hilangnya garam natrium dalam tubuh, Heat cramps terasa sebagai kejang-kejang otot tubuh dan perut yang sangat sakit.

b) Heat exhaustion, terjadi karena kehilangan cairan tubuh melalui keringat yang disertai dengan kehilangan elektrolit tubuh.

(37)

23 c) Heat stroke, terjadi akibat tidak berfungsinya thermoregulator dan

pengeluaran keringat yang terganggu.

d) Heat collapse, terjadi karena pekerja yang melakukan aktivitas di lingkungan kerja yang panas kurang bergerak dan terlalu lama berada pada kondisi yang diam

e) Heat rashes, terjadi pada pekerja yang bekerja di area yang panas, kelembaban yang tinggi senhingga proses pengeluaran keringat menjadi terganggu yang dapat menyebabkan kulit menjadi basah dan lembab.

f) Heat fatigue, keadaan ini terjadi akibat pajanan karena tidak adanya proses aklimasi atau penyesuaian diri yang baik antara pekerja dengan lingkungan kerja yang panas.

b. Kelembaban udara

Kelembaban udara dihitung dari perbandingan suhu basah dan suhu kering (%) dengan demikian kedua ukuran ini saling berkaitan. Kombinasi suhu dan kelembaban udara yang tepat akan menciptakan kenyamanan ruangan, sebaliknya kombinasi keduanya dapat pula memperburuk kondisi udara ruangan. Kelembaban relatif udara yang rendah, yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang tinggi pada suhu tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan folmaldehid dari material bangunan (Molhave, 1990 dalam Bunga, 2008) .

(38)

24 c. Kecepatan aliran udara

Kecepatan aliran udara mempengaruhi gerakan udara dan pergantian udara dalam ruang, besarnya berkisar 0,15 – 1,5 m / dtk (nyaman), kecepatan udara kurang dari 0,1 m/dtk atau lebih rendah menjadikan ruangan tidak nyaman karena tidak ada gerakan udara, sebaliknya kecepatan udara terlalu tinggi akan menyebabkan tarikan dingin dan atau kebisingan di dalam ruangan.

d. Kebersihan udara

Kebersihan udara berkaitan dengan keberadaan kontaminasi udara baik kimia maupun mikrobiologi. Sistem ventilasi AC umumnya dilengkapi dengan saringan udara untuk mengurangi atau menghilangkan kemungkinan masuknya zat-zat berbahaya ke dalam ruangan. Untuk ruangan pertemuan dimana banyak orang berkumpul dan ada kemungkinan merokok, dibuat suatu perangkat hisap udara pada langit-langit ruangan sedangkan lubang hisap jamur dibuat dilantai dengan cenderung menghisap debu.

e. Bau

Bau merupakan faktor kualitas udara yang penting. Bau dapat menjadi petunjuk keberadaan suatau zat kimia berbahaya seperti Hydrogen Sulfida, Amonia dll. Selain itu bau juga dihasilkan oleh berbagai proses biologi

oleh mikroorganisme. Kondisi ruangan yang lembab dengan suhu tinggi dan aliran udara yang tenang biasanya menebarkan bau kurang sedap karena proses pembusukan oleh mikroorganisme

(39)

25 f. Kualitas Ventilasi

Ventilasi merupakan salah satu faktor yang penting dalam menyebabkan terjadinya SBS. Ventilasi yang paling ideal untuk suatu ruangan apabila ventilasi dalam keadaan bersih, luas memenuhi syarat, sering dibuka, adanya cross ventilation sehingga tidak menyebabkan adanya dead space dalam ruangan. Ketidak seimbangan antara ventilasi dan pencemaran udara merupakan salah satu sebab terbesar timbulnya gejala Sick Building Syndrome (SBS). Ventilasi ruangan secara alami didapatkan dengan jendela terbuka yang mengalirkan udara luar ke dalam ruangan, namun selama beberapa tahun terakhir Air Conditioner (AC) menjadi salah satu pilihan terbaik.

Mekanisme kerja AC sebagai berikut udara di luar gedung dihisap, didinginkan kemudian udara yang dingin itu dihembuskan ke dalam ruangan. Terdapat dua jenis AC, yaitu AC sentral dan AC non sentral.

Perbedaan jenis AC non sentral dan AC sentral terletak pada volume udara segar yang dipergunakan. Biasanya AC non sentral hanya memiliki gerakan udara masuk, sedangkan outlet melalui lubang atau pintu yang sedang dibuka. Sistem ventilasi AC non sentral memungkinkan masuknya zat pencemar dari udara ke dalam ruangan. Pada sistem AC sentral, udara luar dihisap masuk kedalam chiller, mengalami proses pendinginan, kemudian dihembuskan ke ruangan. Selanjutnya udara di ruangan yang masih agak dingin dihisap lagi untuk didinginkan kembali kemudian dihembuskan lagi.

(40)

26 Bangunan atau gedung yang menggunakan system sirkulasi artifisial umumnya dibuat relatif tertutup untuk mengurangi penggunaan kalor (efisiensi energi), artinya kurang memiliki sistem pertukaran udara segar dan bersih yang baik. Jenis AC peruntukan rumah, gedung dan gedung yang tidak memerlukan pengaturan suhu dan kelembaban secara tepat, umumnya menggunakan sistem penyegaran udara tunggal atau sentral.

g. Pencahayaan

Sistem pencahayaan ruangan terdiri dari dua macam yaitu pencahayaan alami (sinar matahari) dan pencahayaan buatan (lampu).

Faktor pencahayaan penting berkaitan dengan perkembangbiakan mikro organisme dalam ruangan. sinar matahari yang mengandung ultra violet dapat membunuh kuman-kuman sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat.

h. Kadar debu / Partikulat

Partikulat Respirable Suspended Particulate (RSP) adalah partikulat atau fiber yang melayang-layang diudara, dan mempunyai ukuran cukup kecil untuk dapat dihirup oleh manusia. Partikulat ini meliputi semua materi baik fisik maupun kimia, dan dalam bentuk cair maupun padat, atau kedua-duanya.

Umumnya partikulat berdiameter kurang dari 10 μm. Partikulat kecil ini bisa berasal dari material gedung, alat - alat pembakaran, aktivitas penghuni gedung, dan infiltrasi dari sumber - sumber partikulat diluar gedung. Sumber utama partikulat Respirable Suspended Particulate (RSP) di didalam ruangan adalah merokok.

(41)

27 Sumber partikulat Respirable Suspended Particulate (RSP) di dalam ruangan yang lain adalah alat-alat pembakaran, material dari asbes, dan partikulat rumah. Penggunaan aerosol spray dan kerusakan komponen gedung juga merupakan sumber partikulat RSP. Diruang-ruang tertentu gedung perkantoran, partikulat dari mesin fotocopy juga menjadi sebab tingginya kadar partikulat RSP di udara. Sebagian partikulat Respirable Suspended Particulate (RSP) berasal dari luar gedung yang masuk

melalui sistem pengatur udara, ventilasi alami atau melalui infiltrasi.

Pada umumnya konsentrasi partikulat RSP lebih besar di dalam ruangan dibanding dengan konsentrasi diluar ruangan. Konsentrasi di dalam ruangan biasanya sekitar 100 sampai dengan 500 μgr/meter kubik dengan konsentrasi yang paling tinggi berada diruangan para perokok.

Pengaruh partikulat Respirable Suspended Particulate (RSP) terhadap kesehatan tergantung kepada sifat fisik dan toksik partikulat tersebut, atau kemampuan partikulat dalam menyerap materi toksik.

Partikulat RSP dapat terakumulasi didalam paru-paru, oleh karenanya efek yang disebabkan oleh partikulat ini bisa sangat berbahaya walaupun konsentrasinya diudara sangat kecil. Didalam paru-paru, partikulat RSP dapat menetap lama dan mampu mempengaruhi jaringan-jaringan disekitarnya.

(42)

28 2. Kualitas Kimia

Pencemaran umumnya diartikan sebagai udara yang mengandung satu atau lebih bahan kimia dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk dapat menyebabkan gangguan atau bahaya terhadap manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan harta benda (Kusnoputranto, 2000).

Dalam jurnal yang dituliskan Boykin, james H; Ronald L (1996) yang dikutip dalam Ruth (2009), disebutkan bahwa substansi kimia yang dapat mencemari suatu gedung yaitu Volatile Organic Compounds (VOCs), formaldehyde, pestisida, nitrogen dioksida, nitrogen oksida, karbondioksida, sulfur dioksida, dan gas radon.

3. Kualitas Mikrobiologi

Mikroorganisme dapat menyebabkan alergi pernafasan, seperti infeksi pernafasan dan asma. Mikroorganisme yang tersebar bersama-sama dengan aerosol yang ada di udara dikenal dengan istilah bioaerosol. Dampak kesehatan dari bioaerosol, pada dasarnya berbeda-beda tergantung dari bahan-bahan kimia didalmnya. Kebanyakan dari bioaerosol adalah non pathogen dan hanya dirasakan oleh orang-orang yang sensitive. Setiap mikroorganisme Pahthogen, selalu dapat menulari hanya pada keadaan panas tertentu. Selain itu, tingkat penyakit yang dihasilkan baik oleh saprophyt atau pathogen itu berbeda, tergantung masing-masing tipe partikel dan kebanyakan tidak diketahui.

(43)

29 Sumber-sumber mikroorganisme yang menyebabkan kualitas udara di dalam ruangan tercemar mikroorganisme

a) Pemeriksaan berkala dari pembersihan sederhana pada komponen Heating Ventilating Air Conditioning (HVAC) ke replacemen total pada keseluruhan sistem pemanas ruangan

b) Pencemara dari bahan bangunan, seperti karpet, dinding, kulit pembungkus sofa dan sebagainya.

c) Sistem pemanas udara yang terkontaminasi d) Kelembaban yang terkontaminasi

C. Tinjauan Umum Tentang Lingkungan Kerja Perkantoran

Yang dimaksud dengan perkantoran biasanya adalah tempat kerja untuk melaksanakan kegiatan administrasi. Kegiatan administrasi tersebut, dapat bersifat administrasi murni, tetapi dapat pula merangkap sebagai tempat kegiatan pelayanan jasa. Keadaan lingkungan kerja administrasi biasanya lebih baik bila dibandingkan dengan lingkungan kerja produksi. Hal ini karena ada anggapan bahwa pekerjaan produksi yang menggunakan kekuatan fisik tubuh saja. Kecuali itu pekerjaan administrasi juga biasanya dikerjakan oleh para eksekutif yang menginginkan sarana tempat kerja yang nyaman (Ekayanti, 2008).

Konsep lingkungan kantor terbagi dua yaitu lingkungan fisis yang terdiri dari faktor-faktor fisis, kimia, dan lingkungan sosial yang terdiri dari faktor organisasi, aturan dan norma. Keduanya berpengaruh pada kesehatan manusia. Lingkungan kantor merupakan kombinasi antara penerangan, suhu,

(44)

30 kelembaban, kualitas udara dan tata ruang. Hubungan antara pekerja dengan lingkungan kantor dapat menimbulkan keluhan fisik (objektif) dan mental (subjektif). Sick building syndrome (SBS) disebabkan multifaktor termasuk faktor fisik, kimia, biologis dan fisiologis. Jika faktor tersebut terpelihara baik maka lingkungan kantor menjadi tempat yang nyaman dan sehat untuk bekerja. Di beberapa kantor pekerjanya dapat mengalami gangguan kesehatan karena ketidak seimbangan lingkungan kantor. Sistem pendingin merupakan penyebab terbanyak Sick Building Syndrome (SBS) karena tidak terjadi pertukaran udara optimal dan menjadi sumber infeksi mikroorganisme serta menambah kontaminasi tempat kerja. (Dian dkk, 2012).

D. Tinjauan Umum tentang Variabel Yang Diteliti 1. Tinjauan Umum Tentang Umur

Umur adalah lamanya seseorang hidup sejak lahir hingga sekarang.

Umur seseorang sangat mempengaruhi produktifitas kerja seseorang, semakin tua tenaga kerja maka kemampuan kerja semakin menurun terutama pada pekerja berat. Umur merupakan faktor penentu yang sangat penting bila dihubungkan dengan terjadinya penyakit dan distribusi penyakit (Wahyu, A 2003).

Umur kronologis manusia dapat digolongkan dalam berbagai masa yakni masa anak, remaja dan dewasa. Masa dewasa dapat dibagi menjadi dewasa muda (18-30 tahun), dewasa setengah baya (31-60 tahun) dan masa lanjut usia (lebih dari 60 tahun). Tetapi pekerja yang tua secara resmi dinyatakan oleh UUD diskriminasi usia dalam pekerjaan (Age

(45)

31 discrimination in Employment Act of) 1967, seperti diubah pada 1977 Pada usia 40 tahun kapasitas fisik seperti penglihatan, pendengaran dan kecepatan reaksi menurun. Namun, hanya sedikit orang yang berusia 40 tahun yang menganggap dirinya ”tua” atau “lebih tua” (Bustan, 2000).

Menurut hasil penelitian NIOSH dalam Sari (2009), menyatakan bahwa umur diatas 40 tahun berhubungan erat dengan peningkatan gejala Sick Building Syndrome (SBS). Faktor umur merupakan penentu yang sangat penting bila dihubungkan dengan terjadinya penyakit dan distribusi penyakit. Hal ini merupakan konsekuensi adanya hubungan faktor umur dengan potensi kemungkinan untuk terpapar terhadap suatu sumber infeksi, tingkat imunitas atau kekebalan tubuh, serta aktivitas fisiologis macam-macam jaringan yang mempengaruhi perjalanan penyakit setelah seseorang mengalami infeksi (Sutisno dalam Amriani, 2004).

2. Tinjauan Umum Tentang Jenis Kelamin

Jika dalam epidemiologi deskriptif merupakan karakteristik variabel yang selalu dipertimbangkan karena prevalensi terjadinya penyakit tertentu berbeda diantara jenis kelamin (Noor, 1997 dalam Ekayanti, 2008).

Berbagai penyakit tertentu ternyata sangat erat hubungannya dengan jenis kelamin, dengan berbagai sifat tertentu:

a. Penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam perbedaan jenis kelamin.

(46)

32 b. Penyakit yang mempunyai kecendrungan hanya pada jenis kelamin

tertentu.

c. Timbulnya perubahan frekuensi penyakit dari jenis kelamin tertentu d. Timbulnya perbedaan frekuensi penyakit dari jenis kelamin tertentu ke

jenis kelamin lainnya.

Masalah kesehatan dapat ditemukan pada laki-laki dan perempuan saja. Perbedaan penyebaran tersebut oleh Aswar A (1998) disebabkan karena beberapa hal:

a. Terdapat perbedaan anatomi dan fisiologi antara perempuan dan pria.

b. Terdapat perbedaan kebiasaan hidup antara perempuan dan pria.

c. Terdapat tingkat kesadaran berobat antara permpuan dan pria.

d. Terdapat perbedaan kemampuan atau kriteria diagnostik beberapa penyakit.

e. Terdapat macam pekerjaan antara perempuan dan pria.

3. Tinjauan Umum Tentang Masa Kerja

Pengertian Masa kerja adalah sebagai pengalaman yaitu lamanya seseorang bekerja disuatu instansi atau organisasi yang dihitung sejak pertama kali bekerja. Semakin lama bekerja, seseorang tenaga kerja akan dianggap semakin berpengalaman (Ekayanti, 2007).

Menurut Tarwaka (2004) membagi masa kerja kedalam dua kategori yaitu, dikatakan tenaga kerja baru jika memiliki masa kerja kurang dari lima tahun (<5 tahun), dan tenaga kerja lama jika masa kerjanya lebih dari atau sama dengan lima tahun (>5 tahun).

(47)

33 Ramlah (2008) menyatakan bahwa masa kerja seseorang menentukan efisiensi dan produktivitasnya, Semakin lama mereka bekerja disuatu perusahaan, semakin besar kemungkinan mereka terpapar oleh faktor-faktor linkungan kerja baik fisik maupun kimia yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit akibat kerja dalam hal ini Sick building Syndrome (SBS) sehingga berakibat menurunnya efisiensi dan produktivitas kerja seorang pekerja.

4. Tinjauan Umum Tentang Kebiasaan Merokok dalam ruangan

Kesehatan yang kian mengkuatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (perokok pasif). Hal ini tidak bisa dianggap sepele karena beberapa penelitian memperlihatkan bahwa justru perokok pasiflah yang mengalami risiko lebih besar dari pada perokok sesungguhnya (Dachroni, 2003). Asap rokok yang dihisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Asap sidestream dan asap mainstream yang ada dapat menimbulkan polusi udara sehingga memicu timbulnya SBS (Setyaningsih, 2003).

Sebagai pencemar dalam ruang, asap rokok merupakan bahan pencemar yang biasanya mempunyai kuantitas paling banyak dibandingkan dengan bahan pencemar lain. Hal ini disebabkan oleh besarnya aktivitas merokok di dalam ruangan yang sering dilakukan oleh mereka yang mempunyai kebiasaan merokok. Asap rokok yang

(48)

34 dikeluarkan oleh seorang perokok pada umumnya terdiri dari bahan pencemar berupa karbon monoksida dan partikulat. Bagi perokok pasif (mereka yang tidak merokok tetapi merasakan akibat asap rokok) hal ini juga merupakan bahaya yang selalu mengancam. Dalam jumlah tertentu asap rokok ini sangat menganggu bagi kesehatan, seperti: mata pedih, timbul gejala batuk, pernafasan terganggu, dan sebagainya (Pudjiastuti, 1998).

5. Tinjauan Umum Tentang Suhu/temperatur

Definisi suhu yang nyaman menurut ASHRE adalah suatu kondisi yang dirasakan dan menunjukkan kepuasan terhadap suhu yang ada di lingkungan. Untuk pekerja kantor dimana pekerjanya harus duduk menetap dan mengerjakan pekerjaan yang berulang-ulang selama beberapa jam, aktivitas personal, pakaian, tingkat kebugaran dan pergerakan udara merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap persepsi seseorang, terhadap kenyamanan suhu (Wenang, 2009).

Suhu ruangan dapat mempengaruhi secara langsung saraf sensorik membran mukosa dan kulit serta dapat memberikan respons neurosensoral secara tidak langsung yang mengakibatkan perubahan sirkulasi darah.

Suhu yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah bisa memepengaruhi konsentrasi dan kemampuan kerja seseorang. Temperatur yang terlalu tinggi menyebabkan seseorang kehilangan cairan lebih cepat dan pada kondisi ekstrim bisa menyebabkan heat stroke. Sebaliknya pada temperatur yang rendah memaksa seseorang untuk bekerja lebih keras

(49)

35 mempertahankan suhu tubuhnya tetap pada kondisi normal. Pada kondisi ekstrim temperature yang terlalu dingin bisa menyebabkan frost bite. Pada kedua kondisi diatas baik temperature terlalu tinggi ataupun rendah tubuh bisa merasakan kelelahan lebih cepat daripada normal dan mengalami berbagai gejala termasuk gejala-gejala SBS.

Institut Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (NIOSH) merekomendasikan bahwa suhu tidak boleh melebihi 26°C untuk pria dan 24°C bagi perempuan. Dalam beberapa sumber, suhu yang sesuai yang direkomendasikan adalah 20-24°C untuk musim dingin dan 22-26°C untuk musim panas. Dalam laporan yang berasal dari European Commision, menunjukkan bahwa suhu antara 20 dan 26°C merupakan suhu yang cocok bagi lingkungan kerja. Sedangkan persyaratan tentang kesehatan lingkungan kerja di perkantoran menurut Keputusan Mentri Kesehatan Nomor. 1405/Menkes/SK/XI/2002, adalah zona kenyamanan berada pada kisaran suhu antara 18C- 28C (Joviana, 2009).

6. Tinjauan Umum Tentang Kelembaban

Kelembaban dapat mempengaruhi gejala Sick Building Syndrome (SBS) dan terdapat hubungan signifikan antara udara kering, lembap, suhu dengan gejala pada membran mukosa. Polutan kimia dan partikel pada kelembaban rendah dapat menimbulkan kekeringan, iritasi mata serta saluran napas dan kelembaban di atas 60% menyebabkan kelelahan dan sesak.

(50)

36 Perubahan tingkat kelembaban dan suhu mempengaruhi emisi dan absorpsi volatile organic compounds (VOCs). Akumulasi uap pada konstruksi gedung menyebabkan kelembaban dan pertumbuhan mikroba.

Perubahan warna, pengelupasan permukaan meterial, noda basah, perlekatan dan bau jamur merupakan tanda kelembaban.

Berdasarkan ASHRAE kelembaban yang di persyaratkan adalah antara 30-60%, sementara menurut standar Baku Mutu sesuai Kep. Men Kesehatan No 405/Menkes/SK/XI/2002, kelembaban dalam ruangan kerja adalah 40-60%.

Harrison dkk, dalam Dian, (2012) melaporkan prevalensi gejala SBS berkaitan dengan derajat polutan bakteri dan jamur di udara pada gedung perkantoran di Inggris. Dermatophagoides pteronyssinus dan D farinae adalah tungau debu yang sering ditemukan pada gedung lembap dan menyebabkan sensitisasi alergi. Beberapa pekerja kantor pada 19 gedung di Taiwan menunjukkan keluhan pada mata, batuk dan alergi yang dikaitkan dengan kelembaban dan jamur. Aspergilus, Stachybotrys, Penicillium spesies merupakan jenis jamur yang sering ditemukan pada pemeriksaan udara dalam gedung (Dian, dkk, 2012).

(51)

37 E. KERANGKA TEORI

Gembar 3, (Indoor Air quality Handbook dalam Wenang, 2009)

 Personal factors:

Umur, Jenis Kelamin, Masa Kerja, Kebiasaan Merokok, Alergi

 Perception

 Psycosocial faktor

SICK BUILDING SYNDROME

(SBS)

INDOR AIR QUALITY

BIOLOGI

 Jamur

 Bakteri

 Virus

 Molds

FISIKA

Debu Partikulat

Kelembaban Relatife

Suhu

Tekanan

Aktivitas Radioaktif

KIMIA

 Volateline Organic Compunds (VOCs)

 Bahan Radio Aktif

 NO2

CO2

CO

 SO2

H2S

 NH3

EXTERNAL

INTERNAL

 Building factor (AC, ventilasi, material gedung, usia gedung)

 Workspace factor (karpet, perabot, furniture, kepadatan jumlah pekerja, asap rokok)

MANUSIA

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

[r]

P engaruh Model Pembelajaran TTW (Think Talk Write) Berbantuan Gambar Berseri Terhadap Keterampila n Menulis Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SD Gugus 1 Kecamatan

aatkan oleh sekolah Pada a al asa a atan sa a dan guru guru erdiskusi untuk eru uskan kegiatan a a ang da at eli atkan artisi asi orang tua dan as arakat sekitar

Pada November 2018, SMGR mengumumkan akuisisi atas Holcim Indonesia, Tbk (SMCB); SMGR melalui akusisi ini akan menjadi perusahaan semen terbesar di Asia tenggara dan

Nilai persentase kemajuan genetik harapan yang tinggi terdapat pada beberapa karakter yaitu umur panen, lebar tajuk, diameter batang, panjang daun, lebar daun, panjang