UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Ketentuan Pidana
Pasal 113
(1) Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelang- garan hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100. 000. 000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelangga- ran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf g un- tuk Penggunaan Secara Komerial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500. 000. 000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelangga- ran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pi- dana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1. 000. 000. 000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimak- sud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembaja- kan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepu- luh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4. 000.
000. 000,00 (empat miliar rupiah).
Penulis Afifah Zulfa Azzah Ajeng Mutiara Sholihah Amalia Sastriyani Ana Siti Fatimah Andika Mukti Annisa Dwi Yani Annisa Muslimah
Annisa Yuliandita Puspitasari Atha Suwandani
Dina Wulan Ratna Sari Dwi Purwati Enes Pribadi Erviana Dwi Aksari Fachri Yusufi Maulidani Farras Pradana Herlin Wahyuni Putri Ita Rusna Dewi Kiswantara Laras Ayundhita Luthfia Sekar Wening
Melia Fathika Rochmah Nabila Nur Aldi Putra Dwi Agus Purnomo Putri Nur Indah Sari Khasanah Ragil Prasedewo
Rahma Diana Sayidah Ranita Sari
Riana Asti Fitriani Ristiyani Rizqy Arif Kurnia Santi Asesanti Sholifah Setiani Siti Fadlilah Sujianto
Teofani Widyaningsih Tika Kurniawati Tri Apriyadi Tri Wahyuni Wahyu Nurul Chayati Zariful Ajri
Penyunting Marwanto Pemeriksa Aksara Rachmat Purnanto Desain Sampul Satria Prakassiwi Tata Letak Isi Janur Jene Penanggung Jawab Ria Harlinawati Panggih Widodo Wagiman Diterbitkan oleh :
BADAn PengAwAS PemILIhAn UmUm KABUPATen KULon Progo
Jl. KH Wahid Hasyim No. 83 Bendungan, Wates, Kulon Progo 55651
P
uji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa karena berkat limpahan ridho dan rahmat-Nya, Bawaslu Kulon Progo dapat menyelesaikan penyusunan Buku berjudul“Ruang Putih Demokrasi: Antologi Puisi Pengawasan Pemilu”. 50 puisi yang ada dalam buku ini merupakan karya-karya terbaik dari sekian banyak karya puisi yang diterima oleh Bawaslu Kulon Progo dalam gelaran Lomba Cipta Puisi Bawaslu Kulon Progo dengan Tema “Pemilu Bersih” yang diadakan pada Bulan Maret-April 2020.
Kehadiran buku ini juga sekaligus sebagai penanda bahwa masih banyak masyarakat Kulon Progo yang mampu menciptakan karya- karya indah yang sarat akan makna, kepekaan, dan harapan akan terwujudnya sebuah proses
KATA PENGANTAR
demokrasi yang bersih dan jujur. Buku antologi puisi pengawasan pemilu ini juga merupakan salah satu ikhtiar Bawaslu Kulon Progo untuk senantiasa membumikan nilai-nilai pengawasan Pemilu kepada seluruh elemen masyarakat.
Melalui buku ini, Bawaslu Kulon Progo berupaya untuk menanamkan gerakan-gerakan pengawasan partisipatif pemilu dengan mengajak serta seluruh masyarakat untuk tidak lagi bersikap acuh terhadap proses pemilu di Indonesia. Masyarakat selaku pemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini harus bersama- sama mengawal demokrasi yang bersih dan bermartabat melalui caranya masing-masing.
Pesan-pesan untuk menjaga kehormatan dan martabat Pemilu tidak hanya digaungkan melalui acara-acara diskusi maupun seminar, namun juga dapat melalui rangkaian sajak yang indah.
Terakhir, kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan buku ini. Terima kasih kepada Bawaslu RI dan Bawaslu DIY atas arahan, bimbingan, dan masukannya dalam proses penyusunan buku ini. Apresiasi dan penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada seluruh penulis yang telah menyumbangkan karya
terbaiknya dalam buku ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh pihak, terutama dewan juri Lomba Cipta Puisi Bawaslu Kulon Progo yang telah membantu proses pelaksanaan lomba hingga penyusunan buku ini.
Akhir kata, semoga buku ini dapat memberikan banyak manfaat bagi semua pihak, terutama dalam upaya mengawal dan mengawasi proses demokrasi yang ada di Indonesia. Selamat menikmati setiap puisi di buku ini dengan sentuhan rasa dan menyelaminya dengan kedalaman makna.
Kulon Progo, Mei 2020
Ketua Bawaslu Kabupaten Kulonprogo
Ria Harlinawati, S.I.P., M.A.
P
emilu dan puisi, dua hal yang agaknya tak bisabertemu. Yang satu ajang kontestasi memperebutkan kekuasaan. Sementara yang satunya menyuarakan hati dan perasaan.Namun, coba simak puisi Goenawan Mohammad (GM) berikut ini:
“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”
Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya
di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.
Tapi bau asing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.
Dan kemudian mereka pun berdatangan – senter,
Puisi yANG
MENGGETARKAN HATi
(Catatan dari Dewan Juri )
suluh dan
kunang-kunang – tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini,
hansip itu berkata.
“Berikan suara-Mu”
Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar. Ia tak ada yang menangisi, karena kita tak bisa menangisi.
Apa gerangan agamanya ?
“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku ?”
Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman
pertama. Ada seorang menangis entah mengapa.
Ada seorang
yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih
dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin
kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang- layang, semua
bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,
sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan
yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.
“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”
Puisi yang berjudul Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum itu dimuat majalah sastraHorison(edisi September 1971, Thn VI). Apa yang bisa kita baca dari puisi karya seorang GM tersebut ?
Pertama, puisi itu ditulis bersamaan dengan momentum Pemilu 1971. Sebuah pemilu yang manandai berdirinya Orde Baru. Pemilu, terutama yang terjadi di Indonesia, ternyata tak hanya sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat semata. Juga bukan sekedar sebagai wahana sirkulasi elit politik (pemimpin) secara teratur dan damai. Ia, justru, acapkali digunakan untuk mendirikan rezim.Dan untuk kepentingan ini sering dibutuhkan tumbal !
Karena itu tepat, bersamaan dengan momentum reformasi di negeri ini, ada amandemen terhadap pasal 7 UUD 1945 yang mengatur jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode. Belakangan, aturan menjabat maksimal dua periode juga berlaku bagi kepada daerah. Sebab, sebuah rezim tak
hanya berdiri di pusat (negara), tapi tumbuh subur menjamur di tingkat provinsi dan kabupaten/
kota.
Kedua, ada perpaduan menarik antara Tuhan, kekuasaan, dan korban (tumbal). Lantas, dimana perasaan (yang notabene bahasa sastra) mengisi puisi GM tersebut? Perasaan melingkupi atau bermain di ketiganya. Tanpa perasaan,Tuhan sulit untuk hadir (bahkan sekedar diingat) oleh mereka yang sedang berebut kuasa.
Tanpa perasaan, kekuasaan sulit disandingkan dengan Tuhan.Tanpa perasaan, tumbal tak akan dituliskan.Adat kekuasaan selalu membiarkan tumbal tersimpan beku di dalam kulkas sejarah.
Dan tanpa perasaan, tak mungkin tercipta perpaduan apik antara Tuhan, kekuasaan, dan korban pada puisi tersebut.
Ketiga, puisi di atas jauh dari kesan reportase seorang jurnalis belaka. Memang warna naratifnya agak lebih menonjol daripada puitiknya. Namun puisi tersebut berupaya keras untuk tidak sekedar meliput atau mengungkap fenomena politik 1971 secara banal. Ia berusaha menghadirkan sesuatu yang sublim. Meski dalam konteks ini, bacaan saya, sublimasinya belum sekental puisi panjang yang ditulis penyair lain, ambil contoh puisi Selama Bulan Menyinari
Dadanya karya ChairilAnwar.
Pendek kata, dari pembacaan atas puisi GM di atas, antara pemilu dan puisi ternyata bisa bertemu. Tapi itu di tangan seorang GM, yang kita tahu, selain seorang jurnalis kawakandiajuga sastrawan yang cukup diperhitungkan.Paduan dua dunia tersebut menghasilkan puisi liris yang, walaubelum sekental puisi lirisnya Sapardi Djoko Damono, membuat kagum sebagian pembaca sastra di tanah air. Lalu, bagaimana dengan publik? Apakah bisa menghubungkan puisi dan pemilu, sehingga tercipta puisi-puisi bertema pemilu?
Ketika diminta menjadi salah satu juri lomba cipta puisi pengawasan bertema “Pemilu Bersih” olehBawaslu Kabupaten Kulonprogo saya tak sekedar menyanggupi. Lebih dari itu, saya mengapresiasi kegiatan tersebut. Saya juga angkat topi pada lembaga (tingkat kabupaten) yang dalam keseharian berkonsentrasi pada pemilu tapi punya kepedulian pada puisi.
Namun, di balik apresiasi tersebut sebenarnya saya dilingkupi rasa pesimisme. Dalam arti, apakah nanti akan banyak warga Kulonprogo yang antusias, yang mengirimkan karyanya
?Pesimisme saya itu bukan tanpa alasan.
Pertama, aktivitas seni sastra di Kulonprogo tidak semeriah seni lainnya, terutama seni pementasan (tari, musik). Tak dipungkiri, di Kulonprogo pernah muncul Sangsisaku (1998- 2000) dan komunitas Lumbung Aksara (2006- 2010), dua wadah aktivitas bersastra yang pernah melegenda pada zamannya. Juga ada forum sastra yang dibentuk oleh Dinas Kebudayaan, dengan gaung kegiatan yang masih terbatas.
Pendek kata, geliat sastra di Kulonprogo pasca vakumnyadua wadah tersebut masih terlihat sporadis.
Namun awal 2019 lahir komunitas Sastra- Ku. Aktivitas sastra di Kulonprogo pun kembali bergeliat. Dari para pegiat Sastra-Ku inilah, yang kebanyakan para generasi muda,lomba cipta puisi yang diadakan Bawaslu Kulonprogo diharapkan memperoleh respon.Tapi, dalam konteks lomba cipta puisi pengawasan dengan tema “Pemilu Bersih”, saya agak ragu. Sebab, selama ini pegiat Sastra-Ku (terlihat dari kiriman karya yang didiskusikan di group internal) notabene lebih asyik dengan puisi-puisi kamar: puisi-puisi yang bergumam pada diri sendiri. Masih jarang puisi yang tercipta “berbicara tentang hal di luar diri mereka”, apalagi bertema pemilu.
Kedua, salah satu penyumbang angka golput dalam pemilu adalah generasi muda. Pada tahun 2016 KPU Kulonprogo bekerjasa dengan UPN Veteran Yogyakarta pernah melakukan penelitian tentang pemilih yang tidak menggunakan hak suara atau pemilih non-partisipatif (golput).
Penelitian tersebut menyimpulkan ada empat kriteria pemilih non-partisipatif, salah satunya adalah pemilih skeptis-idealistik yang sebagian besar terdiri dari generasi muda.Artinya, jika mereka yang tertarik pada puisi sebagian besar adalah generasi muda, padahal segmen inilah yang menjadi penyumbang angka golput maka sangat beralasan jika saya pesimis terhadap antusias publik yang akan mengirim puisi bertema pemilu.
Kekawatiran dan rasa pesimis saya di atas hampir menjadi kenyataan. Paling tidak menginjak minggu kedua setelah pengumuman lomba disampaikan ke publik. Hal ini terlihat dari kiriman naskah panitia kepada anggota dewan juri. Sejak dibuka penerimaan naskah 23 Maret 2020,tiap sore panitia selalu mengirim naskah ke dewan juri lewat email. Di minggu pertama, tiap hari rata-rata dewan juri menerima kiriman tiga sampai lima judul puisi. Namun menginjak minggu kedua, hanya ada satu atau dua judul
puisi yang diterima dewan juri –bahkanada hari yang tanpa kiriman puisi satu judul pun. Saat itu, saya memprediksi hanya akan ada sekitar 30 atau paling banter 40 judul puisi yang masuk.
Namun kiriman puisi dari panitia kembali melonjak menjelang penutupan lomba. Apalagi kemudian panitia memperpanjang waktu pengumpulan puisi (sekitar seminggu, akibat wabah Corona). Akhirnya, naskah puisi yang diterima panitia sampai penutupan pada 5 April 2020, jumlahnya diluar yang diprediksi: ada 68 judul !Jumlah ini menurut saya di luar dugaan, jika mengingat dua alasan sikap pesimis saya di atas.
Memang puisi yang masuk tidak semua bagus, juga ada satu dua puisi yang isi dan temanya kurang sesuai. Namun yang perlu digarisbawahi adalah tingginya minat dan antusias masyarakat Kulonprogo mengikuti lomba cipta puisi.
Saya, dan anggota dewan juri yang lain, tidak mengetahui 68 judul puisi itu kiriman dari berapa penulis. Sebab, sejak awal panitia membuat kebijakan naskah yang dikirim ke panitia hanya meliputi judul dan isi puisi, tanpa ada nama pengarang/penulis. Memang ada ketentuan tiap peserta boleh mengirimkan karyanya maksimal 2 judul, tapi sangat dimungkinkan tidak tiap peserta memanfaatkan peluang tersebut dengan
mengirim dua judul puisi. Dan itu terlihat setelah proses penjurian selesai, ketika nama-nama pengirim dibuka, 68 judul puisi itu tidak berasal dari 34 penulis.
Menilai puisi tanpa mengetahui nama penulisnya bagi anggota dewan juri sungguh mengasyikan. Hal ini mendorong juri bertindak bagaikan “malaikat”: melompat dengan lihai dan lincah dari satu puisi ke pusi lainnya tanpa beban. Satu-satunya beban, kalau hal ini tepat disebut sebagai beban, adalah masalah “mindset”
dewan juri. Tentu anggota dewan juri punya pandangan yang tidak sama terhadap puisi yang dianggap baik. Meski secara tekstual batasan dan pengertian puisi bisa dimengerti lewat sejumlah referensi, tapi dalam hal ini tak bisa sepenuhnya meninggalkan “urusanhati”. Dari sinilah muncul apa yang disebut “selera”. Meski selera tidak selamanya mendominasi (dalam penilaian), tapi jelas sulit dihindari.
Di samping itu, terkait urusan “selera” ini panitia berupaya mengatasidengan mengha- dirkan juri yang punya latar belakang beragam.
Memang tiga dewan juri semuanya punya latar belakang (ataupernah bersentuhan) dengan dunia kepemiluan. Tapi,di luar persinggungan mereka dengan dunia kepemiluan, ketiganya
punya latar belakang yang bebeda.Juri yang pertama, selain pernah bersentuhan dengan dunia kepemiluan, sebelumnya sejak lama telah menyelami di dunia sastra-budaya. Juri kedua, meski sedang bersentuhan dengan dunia kepemiluan, sebelumnya adalah seorang aktivis LSM. Sedangkan juri ketiga, meski saat ini juga sedang bersentuhan dengan dunia kepemiluan,sebelumnya adalah seorang pendidik.
Menilik latar be;akang yang beragam tersebut, harapannya akan berpengaruh padaselera yang juga berbeda terhadap sebuah puisi.
Dalam penilaian, panitia menentukan empat aspek, yakni: kesesuaian dengan tema, gagasan atau ide, keindahan bahasa dan orisinalitas karya.
Tiap puisi akan dinilai dengan empat aspek tersebut. Untuk memudahkan penilaian, ada juri yang menerapkan prinsip: jika pada aspek pertama sebuah puisi tidak memenuhi syarat, maka langsung dicoret dan naskah tersebut masuk tong sampah sehingga tidak perlu repot- repot memberi penilaian pada tiga aspek lainnya –meski sangat dimungkinkan puisi yang masuk tong sampah, dari aspek ide dan keindahan bahasa punya nilai lebih tinggi daripada puisi yang tidak masuk tong sampah tapi secara tema sesuai dengan yang ditentukan panitia.
Penilaian dilakukan tiap hari, begitu juri menerima kiriman email naskah puisi dari panitia.
Namun setelah menerima dan menilai seluruh naskah, juri kembali membacanya dan memberi catatan (terutama untuk puisi yang masuk nomi- nasi). Seperti yang ditentukan panitia, ada tiga kategori hasil penilaian. Pertama, juara 1 sampai 3. Kedua, 10 puisi pilihan. Ketiga, 50 puisi yang akan dibukukan (praktiknya, juri hanya perlu menyiapkan 37 puisi untuk kategori ketiga ini, sebab 13 puisi sudah diambilkan dari 3 puisi yang juara dan 10 puisi pilihan).
Salah satu catatan yang menonjol dari proses penjurian terakhir, yang dilakukan dalam sebuah rapat pleno tanggal 7 April 2020, adalah tidak mudah menyamakan persepsi tiga juri tentang puisi yang dipandang, atau paling tidak masuk kriteria sebagai puisi yang baik. Beruntungnya, hal ini terjadi terutama untuk menentukan kategori 10 puisi pilihan dan 37 puisi yang akan dibukukan. Sedangkan untuk puisi yang menjadi juara (masuk tiga besar), tiga anggota dewan juri relatif punya pandangan yang sama.
Sehingga, terjadi dinamika yang cukup tinggi untuk menentukan puisi yang masuk 10 puisi pilihan. Bagi juri A, 10 puisi yang ia pilih belum tentu masuk di 10 puisi pilihan juri B dan
C. Begitu sebaliknya. Bahkan yang lebih membuat rumit, sebuah puisi versi juri A masuk 10 puisi pilihan, oleh juri B atau C mendapat nilai yang sangat rendah (misal rangking 30 ke atas). Begitu sebaliknya. Demikian juga untuk menentukan 37 puisi yang akan dibukukan. Sebuah puisi yang dicoret oleh juri A (karena secara tema kurang sesuai), oleh juri lainnya justru memperoleh nilai lumayan bagus.
Di sinilah anggota dewan juri harus menempuh jalan komproni –dan ketiga juri punya hak suara yang sama.Meski ditempuh dengan jalan kompromi, tetap saja terjadi diskusi lumayan panas–danuntuk mendinginkan suasana rapat pleno yang dimulai habis dhuhur itu,harus dijeda dengan sholat magrib serta menikmati nasgitel.
Setelah dewan juri merasa adem dan fresh, pleno dimulai kembali dengan melihat dan menimbang puisi yang akan masuk 10 puisi pilihan dan 37 puisi yang akan dibukukan.
Namun hal itu tidak terjadi untuk menen- tukan pemenang. Sebab, puisi yang masuk tiga besar sama-sama memperoleh nilai tinggi dari semua anggota dewan juri. Puisi yang masuk tiga besardipandang bagus–dilihat dari empat aspek penilaian. Tiga puisi yang masuk tiga besar, yakni:
Ingin Kutulis Lagi Secara Nyata, Berani Bersih, dan
Ruang Putih Demokrasi, tampil dengan kekuatan masing-masing. Meski ketiganya bagus, tapi tetap harus dirangking 1 sampai 3. Untuk menentukan ini, anggota dewan juri kembali membaca tiga puisi tersebut secara berulang-ulang. Akhirnya, disepakati patokan yang simpel: menggetarkan hati dan istimewa (baca: tampil beda).
Dalam pandangan tiga anggota dewan juri, puisi Ingin Kutulis Lagi Secara Nyatalebih mende- kati dua patokan tersebut daripada Berani Bersih dan Ruang Putih Demokrasi. Sejak dibaca pertama kali, bahkan ketika dibaca berulang-ulang sekalipun, puisi tersebut tetap menggetarkan hati para anggota dewan juri. Puisi tersebut juga istimewa. Salah satu yang menandakan adalah tampil beda dibanding puisi-puisi lainnya.
Permainan rima dan diksi yang konsisten, dengan tidak mengabaikan makna atau pesan yang ingin disampaikan. Membuatnya menjadisebuah puisi liris yang panjang tapi tidak melelahkan–
bahkanenak dibaca.
Sedangkan puisi Berani Bersih, yang tampil sebagai runner-up, punya kekuatan di judul maupun isi yang amat dekat dengan tema lomba.
Dengan menggunakan bahasa dan pilihan kata yang sederhana, padat dan mudah dimengerti, namun di sisi lain tidak mengeringkan imajinasi.
Sementara kekuatan puisi Ruang Putih Demokrasi yang menempati rangking tiga terletak pada keberhasilannya menampilkan secara berkelin- dan antara penyuaraan filosofis dan puitis tentang kedalaman maknademokrasi dan pemilu, dalam sebuah puisiyang menarik.
Meski juri telah sepakat dengan urutan tiga besar seperti itu, untuk meyakinkan lagi, juri masih melakukan searchingterhadap model ungkapan yang digunakan dalam puisi Ingin Kutulis Lagi Secara Nyata. Memang sekilas model ungkapan seperti pada puisi tersebutbisa ditemui pada puisi Joko Pinurbo, misal yang berjudul “Kamus Kecil”. Juga seringada pada beberapa puisi karya penulis milenial.Namun bagi juri, sepanjang tidak ada kesamaan pada judul, bagian atau rangkaian kalimat di dalamnya yang sama persis, maka sisi orisinalitas masih bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau sekedar diksi, gaya atau model peng- ung kapan, tiap periode tertentu seorang penyair jarang yang bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh bahasa ungkap yang sedang tren.Dalam sejarah perpuisian di Indonesia, setidaknya hanya ada tiga penyair yang berhasil lepas dari pengaruh bahasa ungkap yang sedang menjadi tren pada zamannya untuk kemudian menawarkan bahasa ungkap yang baru. Tiga penyair itu
adalah Chairil Anwar (yang mendobrak bahasa ungkap sastrawan era Pujangga Baru), Sutardji Calzoum Bachri (dengan kredo puisi mantra-nya) dan Afrizal Malna (yang mengusung aliran puisi gelap).Memang ada penyair lain yang tampil menonjol, semisal Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, D Zawawi Imron, Joko Pinurbo (sekedar menyebut beberapa nama),tapi belum se- fenomenal tiga penyair sebelumnya.
Meski puisi Ingin Kutulis Lagi Secara Nyata yang tampil sebagai juara pertama, namun untuk memberi judul buku antologi puisi pengawasan ini, ketiga juri sepakat memilih puisi Ruang Putih Demokrasi. Argumentasinya, judul puisi ini lebih bisa menggambarkan dan mewakili puisi yang ada di antologi tersebut. Disamping itu, judul Ruang Putih Demokrasi dipandang mampu menerjemahkan visi lomba cipta puisi bertema
“Pemilu Bersih” secara elegan dibanding judul puisi yang lain.
Ketika proses penjurian telah selesai, nama- nama penulis ataupengirim puisi pun dibuka.
Bagi saya, adasejumlah catatan menarik setelah identitas penulis dibuka.
Pertama, yang tampil sebagai juarapertama adalah penulis muda yang relatif belum dikenal di kancah sastra dan perpuisian Kulonprogo. Bisa
jadi ia telah lama berproses meski tidak tergabung dalam komunitas. Bisa jadi juga ia “belum teruji menulis puisi”. Tapi faktanya, karyanya mendapat apresiasi dari tiga anggota dewan juri. Fakta pertama ini membuat prediksi saya meleset:
saya memperkirakan yang akan tampil sebagai pemenang adalah “pelaku lama” yang telah malang-melintang dengan jam terbang tinggi- -paling tidak pernah aktif di Sangsisaku atau Lumbung Aksara.
Di balik melesetnya prediksi saya ini menunjukkan dunia sastra (dalam hal ini puisi) itu cukup dinamis.Puisi bukan lagi sebuah karya“keramat” yang hanya bisa lahir dari penulis yang telah mencapai maqam tertentu. Memang
“kesakralan” puisi tetap harga mati. Namun proses untuk mencapai karya yang “sakral” itu tiap zaman punya caranya sendiri. Putri Khasanah, penulis puisi Ingin Kutulis Lagi Secara Nyata adalah satu dari banyak generasi milenial yang menempuh proses lewat sastra digital: bisa jadi ia tak familiar dengan Chairil Anwar, Sutardji, Sapardi, Afrizal atau Joko Pinurbo.
Saat ini, lalu lintas sastra digital, seperti diungkapkan Ahda Imron, lebih pada quote yang tidak selalu mengenal si pencipta atau sastrawannya (lihat majalah MajasNo 2 Vol 1 /
Februari-April 2019).Dalam konteks ini, bagi Putri dan penulis generasi milenial lainnya, untuk menghasilkan puisi alih-alih harus menjadi seorang penyair, melahap buku sastra para sastrawan terkemuka pun mungkin hampir tak pernah. Kondisi ini memang ada plus minusnya –bahkan beberapa pengamat mengkawatirkan.
Kedua, yang menjadi runner-up dan me- nempati posisi juara ketiga, adalah pegiat komunitas Sastra-Ku. Karya dari pegiat komunitas Sastra-Ku lainnya jaga ada yang masuk 10 puisi pilihan dan masuk 50 puisi yang dibukukan. Fakta kedua ini juga membuat prediksi saya meleset:
perkiraan saya selama ini karya-karya pegiat konunitas Sastra-Ku sebagian besar adalah puisi kamar, yang jarang bersentuhan dengan tema- tema sosial politik. Namun, nyatanya ada juga karya mereka yang mengangkat fenomena sosial-politik dan masuk nominasi.Fakta kedua ini, menurut saya, menunjukkan bahwa keberadaan sebuah komunitas (sastra) tetap bermanfaat sebagai ajang belajar bersama dan saling menyemangati untuk tidak berhenti menulis dan berkarya.
Akhirnya, kesimpulan saya, tampilnya gene- rasi milenial sebagai jawara lomba cipta puisi ini mengisyaratkan bahwa masa depan sastra (di
Kulonprogo khususnya, dan di Indonesia pada umumnya) akan cemerlang.Di tangan generasi sastra yang baru (milenial) inilah, meminjam pendapat Emha Ainun Nadjib, akan tercipta ruang-ruang sastra yang tanpa fobi, tanpa senti mentalitas, dantanpa penolakan terhadap ruang sastra yang telah ada sebelumnya.
Mereka menampilkan optimisme sastra yang tak disangka-sangka dan merekahkan harapan kebudayaan.
Dalam konteks lomba cipta puisi peng- awasan, generasi milenial yang menjadi harapan masa depan sastra itu juga generasi yang peduli dan tidak fobi pada urusan sosial politik, mereka tetap kritis tapi tidak apatis, sebab mereka adalah bagian dari tunas-tunas yang akan menyemaikan masa depan demokrasi di negeri ini.***
Kulonprogo, Juni 2020
Marwanto, S.Sos., M.Si
Penyunting dan Juri Lomba Cipta Puisi Bawaslu Kabupaten Kulonprogo 2020
Kata Pengantar...v
Puisi yang Menggetarkan Hati...ix
Daftar Isi...xxvii
Afifah Zulfa Azzah...1
Sajak Pemilu Ajeng Mutiara Sholihah...3
Untuk Indonesiaku Amalia Sastriyani...5
Dibalik Bilik Ana Siti Fatimah...7
Rindu Pemilu Itu Andika Mukti...9
Pemilu Ku Annisa Dwi Yani...11
Cinta Suci Negeriku Annisa Muslimah...14
Tranformasi Demokrasi Negeri Annisa Yuliandita Puspitasari...19
Pemilu Bersih Pemimpin Bersih
DAFTAR isi
Atha Suwandani...21 Untukmu Negeriku Dina Wulan Ratna Sari...23 Nuraniku
Dwi Purwati...25
Aku Rindu Akan Pemilu Yang Dulu Enes Pribadi...27
Hulu-Hilir Pemilu Erviana Dwi Aksari...33
Wujudkan Pemilu Yang Bersih Fachri Yusufi Maulidani...35
Pesta Demokrasi Farras Pradana...37
- Ia
- Ruang Putih Demokrasi Herlin Wahyuni Putri...40
Dedah Kolusi Ita Rusna Dewi...42
- Pejuang Pemilu - Pemilu Bersih Kiswantara...45
Untukmu Pertiwi Laras Ayundhita...47
Memilih Pemimpin
Luthfia Sekar Wening...49 - Amplop Terakhir - Pelangi
Melia Fathika Rochmah...52 Subuh Ini
Nabila Nur Aldi...55 Tsuara
Putra Dwi Agus Purnomo...58 - Bahtera Pemilu Bersih
- Kejujuran Pemilu
Putri Nur Indah Sari Khasanah...61 Ingin Kutulis Lagi Secara Nyata Ragil Prasedewo...65
- Berani Bersih
- Gelora Juang Pesta Demokrasi Rahma Diana Sayidah...68
Pesta Demokrasi Impian Ranita Sari...70
Pemilu yang Bersih dan Berdaulat Riana Asti Fitriani...72
Suara Rakyat Ristiyani...75
Biarkan Kami Rizqy Arif Kurnia...77
- Pemegang Kunci
Rr. Sholifah Setiani...81 Pemilu yang di Rindu Santi Asesanti...83
Suara Kemenangan Siti Fadlilah...85
- Kami Memilih - Pesta Rakyat Sujianto...88
Pemilu Bersih dan Terpercaya Teofani Widyaningsih...90
- Aku Rakyatmu1 - Maju Tak Gentar Tika Kurniawati...95
Secuil Aksi Kecil Tri Apriyadi...98
Tatkala Pemilu Bersih Tri Wahyuni...103
Sajak Luber Jurdil Wahyu Nurul Chayati...105
Bersih Tak Selalu Putih Zariful Ajri...108
Harapan Kami Biodata Penyunting...110
Afifah Zulfa Azzah
Afifah Zulfa Azzah lahir di Kulon Progo, 3 Februari 1998. Perempuan yang sedang menempuh pen
di dikan s1 tersebut tinggal di Klopo sepuluh, Bendungan, Wates. Peng alaman menulis didapat
kan dari mata kuliah yang diikuti selama kuliah dan beberapa kelas menulis bersama penulis novel dan puisi. Karya yang pernah dipublikasikan yaitu Buku Paket Terampil Membaca Teks Nonsastra Menggunakan Stategi PLAN untuk Siswa SMP/MTs Kelas VIII dan Kulon Progo dan Kisahnya
Sajak Pemilu
Hajat yang ditunggu telah tiba Hajat rakyat indonesia
Pemilu namanya
Tiap lima tahun sekali adanya
Terpampang wajah-wajah calon pemimpin bangsa
Terpampang juga visi misinya Tinggal kita tentukan yang mana Sesuai hati nurani kita
Jangan sampai lengah
Jangan sampai ada buzzer rupiah Jangan bertumpah darah
Jangan saling bersilat lidah
Aku, kamu dan mereka memang beda Namun itu tak apa, karna wajar adanya Aku, kamu dan mereka punya hak suara Mari melangkah ke TPS bersama
Aku kamu dan mereka mungkin sama Sama-sama punya tujuan yang sama Tujuan cari pimpinan sejati
Di hajat negri ini
Bendungan pukul 7 pagi (work from home lagi)
Ajeng Mutiara Sholihah
Ajeng Mutiara sholihah atau akrab di panggil Ajeng merupakan pelajar di sMP N 1 sentolo. Perempuan kelahiran Bandung, 03 Agustus 2005 tinggal di Wora wari sukoreno, sentolo. Menulis puisi merupakan salah satu hobi dan mengisi waktu senggang di selasela belajar.
Untuk Indonesiaku Kau adalah raja ambisi
Semua hal kau raih demi kepuasan hati Tak peduli berapa orang yang kau nodai Sadarlah wahai calon pemimpin negeri Demokrasi di negri ini harus lebih baik Lubang-lubang demokrasi harus kita tambal Tangan tangan kotor harus segera dibersihkan Demi mewujudkan pemilu yang bersih
Kepadamu rakyat di seluruh pelosok negeri Bakar semangatmu untuk menyukseskan
pemilu nanti
Suaramu menentukan nasib negri ini Kuatkan langkahmu untuk hadir di pesta
demokrasi
Kemenangan kalbu yang bersih
kemenangan yang bergerak tanpa pamrih Berjuta kepala menangis bersujud syukur Basah air mata dalam bahagia kemenangan
sebentar lagi tiba
Untuk hari hari yang lebih baik
Untuk kepemimpinan yang berpihak pada rakyat Izinkan kami memiliki pemimpin yang bijaksana Untuk seluruh umat negri ini
Wujudkan pemilu yang jujur dan damai Damai Indonesiaku, Damai Kulon Progoku
Amalia Sastriyani
Amalia sastriyani, lahir di Kulon Progo 25 Mei 2002 dan baru saja lulus dari bangku sekolah yaitu di sMK N 1 Pengasih. Perempuan yang biasa di panggil Lia tersebut tinggal di Giyoso, salamrejo, sentolo.
Di Balik Bilik
Tradisi dalam lima tahun sekali Tradisi penentu masa depan negeri
Masa depan negeri yang amat penuh perbedaan Bagaikan air dan minyak yang tak pernah
menyatu
Penyatu perbedaan hanya dengan sebuah pemilihan
Pemilihan menuju sebuah mufakat
Setiap insan akan berkumpul layaknya semut terhadap gula
Setiap insan akan terpanggil tuk memilih Setiap insan akan menuju sebuah bilik Bilik yang penuh akan misteri
Hanya di balik bilik itu yang tahu jawaban Jawaban penentu masa depan negeri Setiap insan harus patuh
Patuh pada asas tertentu Asas yang bagaikan pilar-pilar
Penegak berdirinya sebuah keadilan pemilihan Tiada yang boleh bertindak semaunya
Semua telah diatur layaknya barisan para semut
Ana Siti Fatimah
Ana siti Fatimah, lahir di Kulon Progo, 19 Februari 1998 dan tinggal di Kauman, Bendungan, Wates.
Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah sMK yaitu di sMK N 1 Pengasih. ia pernah menulis puisi dengan judul ”Takdirku” dan menulis cerpen dengan judul “Penantian Halalku” di jejak publisher.
Rindu Pemilu Itu
Pagi itu aku dibangunkan suara Suara yang menurutku tak bermuara Perlahan kubuka mata dengan penuh rasa Suara itu semakin dekat di batas asa Aku berlari di ujung depan barisan Berjalan kaki berirama menentramkan Bersama wanita-wanita kuat akan pukulan Tak goyah bahkan dalam deru hujan Salah satu pemimpin berteriak keras Dengan kalimat penuh makna yang lugas Mereka dengan bukti tegas
Tidak hanya dalam bentuk tulisan kertas Itulah masa di mana hatiku rindu
Rindu akan pelukan hangat itu Serta senyum ikhlas menembus kalbu Yang hanya ada di satu kata pemilu Di waktu itu adalah pemilu terbersih Tak ada sampah cacian berselisih Yang ada hanya pelukan kasih Serta satu kata ucapan terima kasih
Andika Mukti
Andika Mukti, lahir di Kulon Progo, 29 Juli 1997.
ia merupakan lulusan s1 Manajemen Pendidikan islam di uiN sunan Kalijaga yogyakarta. saat ini, ia tinggal di sebokarang, Wates, Kulon Progo.
Pemilu Ku
Pemilu ajang unjuk diri dan rasa Tapi bukan tuk sandiwara saja
Bukan sinetron yang penuh dengan halusinasi belaka Bukan pula sekedar retorika, agitasi apalagi
propaganda
Pemilu adalah pijakan rakyat jelata Asa dan harapan dirangkai dalam kata Maka, kumohon jangan kau tawarkan omong
kosong saja
Berikan yang terbaik untuk bangsa Adu gagasan dan adu kualitas Bukan sekedar tujuan pamer sosial
Oh... Pemiluku bersihlah dari skenario elit politik Pemiluku jujur dan adil
Pemiluku tak dapat dimahar dengan materiil
Politisasi agama, ras, dan apapun itu tak bisa ditawar Karena pemilu bukanlah pasar
Seruan moral agama dan kepentingan mayoritas Harus tetap menjadi prioritas
Lubang demokrasi kita tambal
Untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas Memang tak semudah membalikan telapak tangan Namun kita yakin jika kita bergandengan
Annisa Dwi Yani
Bernama lengkap Annisa Dwi yani namun sering di panggil Hanbin merupakan pelajar sMK N 1 Pengasih. Annisa lahir di Kulon Progo, 26 Desember 2003 dan saat ini tinggal di Gunung Gondang, Margosari, Pengasih.
Cinta Suci Negeriku
Lautan manusia itu satu Terbalik enggan menyatu Lalu langit abu-abu membiru Menyaksikan janji-janji palsu Kenapa suciku telah pergi?
Telah dirindu kami Tapi tak kunjung memiliki Malahan ingin sekali Tak membangkitkan kami
Alberth enstein kulihat terlalu lambat tertarik ke Bima Sakti,
Tapi apa kata si Bima Sakti Katanya tak apa dicoba lagi Cobalah naik tangga hati-hati Tangga itu berdamai dengannya Menjaganya sampai ke ujungnya Kulihat mereka adalah puncaknya
Kemajuan merekalah menjadi dambaannya
Pulau-pulau jadi satu
Hati pun suci tak tertanggal satu Bungaku haus alami baru Hanya ahlinya yang tahu Kunciku telah berintegritas diri
Terbentuklah moral agama yang berdiri Jangan sendiri itu sangat sakit sekali Mari bersama-sama berdiri dengan
ketangguhan hati
Melawan serangkaian konflik yang tak henti-henti Pilih! jangan salah
Bersih tak sudi salah
Maka jadikan pemilihan yang sah demi kemajuan stok darah Hiduplah negriku
Jadikan aku pemilihmu
Membantumu menyongsong kehidupan itu Aku bersama cinta suci negeriku
Annisa Muslimah
Annisa Muslimah atau Nisa lahir di Kulon Progo, 27 November 1998. Tinggal di Nepi, Kranggan, Galur, saat ini Nisa sedang menempuh pen
didikan di universitas Ahmad Dahlan (uAD) Jurusan Pendidikan Agama islam. Karya yang pernah dipublikasikan berupa Jurnal berjudul
“Peran Nasyiatul ‘Aisyiah di Kulon Progo dalam Pemberdayaan Perempuan”
Tranformasi Demokrasi Negeri
Enam puluh lima tahun yang lalu tepatnya Bangsa ini memulai untuk mengukir sejarah
demokrasi
Berbondong-bondong masyarakat ke TPS dengan rasa gembira dan damai Saling berbeda pilihan tetapi satu tujuan ke
depan
Perdamaian diutamakan, kejujuran senjatanya Tak heran jika saat itu demokrasi Indonesia
menjadi prioritas di mata dunia
Sayang bangsaku kini telah kehilangan harga dirinya
Hasutan, sogokan, kecurangan, dan manipulasi dilakukan demi menaikan persentase suara
Segala cara kotor dilakukan sedangkan hati nurani kini tidak lagi diberi kesempatan bersuara
Kalah dengan ego dan nafsu picik dan licik mereka
Kotornya pesta demokrasi negeriku ini Kotor oleh tangan-tangan rakyat bawah
sampai oknum tersohor
Malunya sungguh malunya bangsaku ini Putih yang kini perlahan menjadi semakin
hitam
Menjadi catatan yang sungguh memprihatinkan dalam sejarah demokrasi
Martabat kini sudah tidak ada lagi Tergerus hancur terbawa arus zaman
degradasi moral
Yang dimana kini kemenangan adalah tujuan utama tanpa memandang cara untuk meraihnya
Sungguh sangat ironis dan miris
Tahun dua ribu sembilan belas telah menjadi saksi
Dengan banyaknya ketidakadilan dan kejanggalan
Banyak darah yang tumpah, nyawa
melayang, api disulut, batu berlayangan, mengamuk, bahkan kekerasan, dan perang saudara
Terlalu beringas dan ganas Terlalu kotor dan memalukan Saling menuduh menjadi strategi
Asas kini tidak lagi menjadi cermin Kebebasan dalam memilih telah menjadi
kebutaan
Antara baik dan buruk tidak bisa mereka bedakan
Sedangkan rahasia hanya menjadi omong kosong belaka
Bagaimana bisa menjemput masa depan bangsa yang baik
Kalau cara yang ditempuh sangat kotor dan hina Dengan rasa rindu dan juga malu sajak ini kutulis Rindu pada pesta demokrasi yang dulu bersih
dan damai seperti kata orang tua
Yang dulu belum pernah aku rasakan sehatnya untuk saat ini
Malu atas kotornya jiwa dan pikir masyarakat negeri ini
Menjadi sorot dunia bahwa negeriku tidak seperti dulu lagi
Teruntuk orang tua dan remaja putra putri harapan bangsa di seluruh pelosok negeri ini
Mari bersama-sama kita bangun kembali apa yang telah runtuh
Mari kita munculkan kembali apa yang telah hilang
Dan bersatu kembali atas segala yang telah bercerai-berai
Mari jemput kembali pemilu dengan jiwa yang besar
Dengan memilihnya secara langsung Dengan kebebasan murni tanpa hasutan Dengan rahasia tanpa transparan
Dengan kejujuran bersih tanpa kecurangan Dengan rasa adil disertai kedamaian
Pemilu bersih negara bermartabat Majulah negeriku majulah bangsaku
Annisa Yuliandita Puspitasari
Annisa yuliandita Puspitasari, lahir di Kulon Progo, 24 Juli 2000. Gadis yang akrab di sapa Nisa tersebut saat ini sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. saat ini, ia tinggal di Tapen, Hargomulyo, Kokap, Kulon Progo. ia memiliki hobi menulis, baik menulis puisi, prosa, artikel, maupun jurnal. salah satu hasil tulisannya adalah cerita rakyat berjudul “Asal Mula Dusun Tapen” dalam buku berjudul Arkais.
Pemilu Bersih Pemimpin Bersih
Kepada calon pemimpin
Rakyat butuh pemimpin yang bersih Bersih hati, bersih pikiran
Terpilih secara bersih
Bersih terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme
Atha Suwandani
Atha suwandani, Lahir yogyakarta, 23 Januari 2004 dan saat ini sedang menempuh pendidikan di sMK N 1 Pengasih. Perempuan yang tinggal di Anjir, Hargorejo, Kokap tersebut pernah mengikuti lomba menulis puisi @Coretanfilsuf
Untukmu Negeriku
Sebuah bukti untuk mewujudkan Semua janji yang telah diucapkan Menyatukan semua perbedaan Untuk persatuan dan kesatuan
Melalui mu, kami bisa menyalurkan aspirasi Demi kemajuan bangsa ini
Bangsa dengan asas demokrasi Menuju Indonesia berprestasi Pemilu yang bersih
Akankah dapat kita raih?
Apakah dapat membuat seseorang tersisih?
Dan tergantikan dengan segala dalih Pemilihan umum yang kita impikan Semua akan kukorbankan
Segala upaya akan kulakukan
Padamu Indonesia yang kubanggakan
Dina Wulan Ratna Sari
Dina Wulan Ratna sari sering disapa Dina, lahir di Kulon Progo, 14 Februari 2003. saat ini ia tinggal di Kebonromo, Giripurwo, Girimulyo, Kulon Progo dan sedang menempuh pendidikan di sMA N 1 Girimulyo.
Nuraniku
Waktu semakin dekat dengan kata pemilu
Mereka yang tergugah dengan semangat bersatu Melaju dengan langkah mendayu
Memilih sesuai rumus-rumus pemilu Jago berkokok di pagi hari
Sebagai alarm pagi demi jagoan hati
Kobaran semangat yang membara bagai api Dengan pilihan sesuai hati nurani
Mulailah dengan senyuman hangat Tiada kecurangan yang melekat Pilihlah tanpa adanya hujat
Dengan tanda biru mendarat
Dwi Purwati
Dwi Purwati lahir di Kulon Progo, 15 Januari 2004. Perempuan yang beralamat di Tejogan, Hargorejo, Kokap tersebut merupakan siswi sMK N 1 PENGAsiH. untuk mengisi waktu luang, Dwi sering menulis cerita di wattpad
Aku Rindu Akan Pemilu yang Dulu Apakah kautahu,
Apa yang kini kurasakan Rasa rindu yang membuncah Tapi bukan pada seseorang Aku rindu akan masa lalu
Dimana pesta demokrasi pertama dilangsungkan
Dimana waktu itu masih aman dan damai Tanpa terjadi pertumpahan darah
Wahai lihatlah,
Sekarang semua telah berubah Setiap lima tahun sekali
Akan terjadi pertumpahan darah Wahai dengarkan
Suara hinaan yang saling dilontarkan Hanya karena perbedaan pendapat Menjadi penyebab pertumpahan darah Wahai rakyat semua,
Marilah kita mengulang masa silam Dimana pesta demokrasi dilangsungkan Tanpa ada satu nyawa yang melayang Kulon Progo, 24 Maret 2020
Enes Pribadi
Memiliki nama asli Pribadi, lahir di Kulon Progo 1958. Dalam bersastra sering menggunakan 2 nama, yaitu Enes Pribadi dan Papi sadewa. sejak akhir tahun 1970an karyanya sering ada di koran Masa Kini, Berita Nasional, semangat dan Minggu Pagi (yogyakarta). suara Merdeka (semarang, Jawa Pos (surabaya) dan majalah Gadis (Jakarta . sejak jadi PNs jarang menulis. Tahun 1998, saat menjadi Penyiar radio Rosala mendirikan sanggar seni sastra Kulon Progo (sangsisaku) bersama Grilyadi, seorang penyiar radio RAM. Lewat 2 radio di wates itulah sastra kian berkembang di Kulon Progo. Tahun 2018 pensiun sebagai guru di sMA Negeri 1 Wates. Baginya puisi hanya sekedar “isen
isen urip” dalam hidup. Maka untuk menjaganya ya harus terus belajar menulis. Entah sampai kapan.
Hulu-Hilir Pemilu
(1)
Dari lembar-lembar buku Indah menara gading pemilu Keikutsertaan warga yang setia dengan kemerdekaan bersuara Membuka jaket
Membuka dada Mengibarkan bendera Tanpa konflik tak berguna
Melahirkan empat partai besar yang berbeda Memulai demokrasi
Melewati batu cadas sungai Mengukir prasasti
Tiba di hilir ada yang tersingkir Maka enam lima berakhir
(2) Saat aku remaja Akupun ikut serta Memilih tanda gambar Seperti diantar ke surga
Dalam perkembangan berikutnya Ketika masuk lebih dalam
Ternyata gambarnya berbeda Pelan-pelan langkahku surut Menuju hutan, menjaga hulu Biarlah semua tertata
Biarlah semua satu warna Biarlah semua satu suara Menuju Macan Asia Dengan tekad yang sama Namun sungai memang berliku Kapal bergoyang sudah biasa Tetap melaju dan melaju Tiba di hilir kakimu terkilir Sembilan delapan berakhir Akupun tak habis piker
(3)
Kini aku sudah tua Penglihatanpun berbeda Berjalan dengan meraba Lewati pagar-pagar yang dijaga Atas nama demokrasi-reformasi Ternyata sama saja
Aku ingin balik ke hulu Mereguk air yang jernih Melawan arus apalah daya Tiba di hilir anginpun tak semilir Bahkan makin khawatir
Tak indahlah samudra Makin jauhlah cakrawala
(4) Wahai anakku…
Jika langit tak lagi biru Angin tlah berubah Itu pertanda pancaroba Maka ambilah pusaka Pilih doa nabi yang teraniaya Membelah kegelapan Menuju hari baru Alam yang segar Seperti dahulu
Wates, 27 Maret 2020
Sajak Akar Rumput Akar rumput
Jangan dipandang sebelah mata Ia bisa tumbuh bunga
Dan mengantarmu ke istana Akar rumput
Jangan lengah merawatnya Pagi sore disiram ditengok Sebagai atensi batin untuknya Jika akar selalu sambung Hujan rumput akan menjelma Di halaman ujung jalan
Bukankah ini yang dikehendaki Lain halnya
Rumput hijau rumah tetangga Tanpa akar yang putih
Pasti petaka!
Akar rumput ini hanya puisi Di tanganmu entahlah jadi Kerlip bintang di malam hari Penyair tak lebih menerangi
YIA full, 29 Maret 2020
Erviana Dwi Aksari
Erviana Dwi Aksari, lahir di Kulon Progo, 27 Maret 2000. Mahasiswa jurusan Akuntansi Fakultas Bisnis universitas PGRi yogyakarta tersebut aktif sebagai anggota uKM Jurnalistik dan aktif sebagai anggota Karang Taruna di daerahnya yaitu Pedukuhan 1, Brosot, Galur. salah satu puisi yang berjudul
“sebuah pengorbanan” pernah di publikasikan dalam buku “Antologi Puisi HMP PBsi universitas PGRi yogyakarta.” Erviana juga sering mengikuti lomba puisi yang diselenggarakan media online.
Wujudkan Pemilu yang Bersih Pemilu sebentar lagi
Kepada segenap jiwa yang mempunyai hak suara Berlomba lombalah datang ke tempat
pemungutan suara
Untuk memilih mereka yang bisa dipercaya Kepada putra putri bangsa ini
Kobarkan semangatmu untuk menyukseskan pemilu nanti
Bakar jiwamu dengan rasa peduli Memang kau bukan siapa siapa Tapi negeri ini butuh dirimu
Karena kedaulatan ada ditanganmu Pilihlah sesuai dengan pilihan mu Hanya Tuhanlah yang tahu
Jadikan pemilu menjadi pemilu yang bersih sesuai dengan asas pemilu
Biarkan pemilu berjalan dengan lancar
Marilah berpatisipasi di Pemilu dan wujudkan pemilu yang bersih
Fachri Yusufi Maulidani
Fachri yusufi Maulidani lahir di Jepara, 14 Agustus 1996. ia merupakan lulusan salah satu universitas di yogyakarta dan saat ini tinggal di Gadingan, RT 002 RW 004, Wates, Wates, Kulon Progo. Punya kegemaran menulis, namun tulisannya seringkali hanya dituangkan dalam catatan pribadi.
Pesta Demokrasi
Deru ini berkumandang di mana-mana Dari sabang hingga merauke
Deru ini mengibarkan berbagai warna Merah kuning hijau hingga biru ada Janji demi janji bertebar sana sini Hingga rakyat bingung mempercayai Iming-iming akan negri yang damai Akan negri yang aman dari badai Padamu suara penentu
Gunakan hak pilihmu Langkahkan kaki ke TPSmu
Keluarkan suaramu, siapa saja kamu Karna tiap kamu adalah penentu Luber jurdil katanya
Bawaslu, KPU mengawal setia Pada tiap satu suara
Suara penentu bangsa
Farras Pradana
Farras Pradana lahir di Lombok Timur, 26 Mei 2001.
Tinggal di Ngramang, Kedungsari, Pengasih. saat ini menempuh pendidikan s1 di universitas Negeri yogyakarta jurusan Pendidikan sejarah. Farras telah aktif menulis sejak kelas dua sMK. Dan kini, di tengah kesibukannya mengerjakan tugas kuliah, masih berusaha untuk menulis. Tergabung dalam komunitas sastra di Kulon Progo, sastraKu.
Karya yang pernah dipublikasikan yaitu Cerpen yang berjudul “si Lidi Pemesan Peti Mati” terpilih sebagai salah satu cerpen pilihan Festival sastra Bengkulu 2019 (FsBBWF). Cerpencerpenya pernah dimuat di galeribukujakarta.com, basabasi.
co, detik.com, dan sejumlah media mahasiswa.
Naskah novel yang ditulisnya pada saat sMK tahun ini diterbitkan dengan nama pena “Kumbang Lanang”, dengan judul buku “Mata dan Telinga”
oleh penerbit guepedia.
Ia
Menusuk dalam gambar dengan tangan kosong artinya tanpa terlebih dahulu menerima
bayaran.
Sebab pemilihan bukan pekerjaan.
Ia tempat yang kita pijak
merupakan dinding yang berbaring membiarkan tubuhnya dijejak.
Ia adalah demokrasi yang kita sokong.
Ia mungkin adalah segala kegalauan namun mungkin juga serangan Kadang, ia kita tafsirkan begini lalu sinar mengubah bayangan dan kita tafsirkan begitu
Mungkin kita dapat lupakan kecurangan dan muncul diterik matahari siang terbasuh langsung
secara umum
menjadikan kita bebas dari rahasia
Menampatkan kita di poros jujur yang tegak adil
Menara cahaya menyelimuti dirinya Ia terbenam dalam yang terbuka
membawa kita di dalamnya untuk masuk ikut tenggelam, hirup-hidup
Ia adalah angan-angan demokrasi kita
Ruang Putih Demokrasi Ketika orang-orang bersuara dan orang-orang meminta suara Masukan saja dari jenis keduanya ke dalam satu ruangan yang jadi arena.
Apabila putih bersih dari asalnya terus jaga, jangan biarkan menganga.
Lindungi, namun tak dapat dipungkiri Yang bersuara dan yang memintanya keduanya hanyalah fana.
Ruangan itu dapat menampung semua sedikit membuka jendela
untuk menumbuhkan bunga, dan memasukan matahari.
Bukan membiarkannya tidak abadi, tapi bunga tidak dirawat tentu mati aroma busuk menghampiri menggiring keluar lalu kembali.
Setiap dimasuki, kesesakan terjadi apabila mulai dikotori.
Entah siapa yang melekasi,
namun kita sebut “menciderai demokrasi”
Herlin Wahyuni Putri
Herlin Wahyuni Putri, Lahir di Kulon Progo, 31 Oktober 2002. Tinggal di Kebonromo, Giripurwo, Girimulyo, Kulon Progo. saat ini ia masih menempuh pendidikan di sMA N 1 Girimulyo.
Herlin mulai belajar menulis sejak memasuki bangku sMA. Karya yang pernah dipublikasikan yaitu Puisi “Notasi Arloji” dalam Antologi Pusi Kenangan, Esai “Tak Mengenal Gamelan, Rugi”
dalam Antologi Esai Laskar Menoreh.
Dedah Kolusi
Katanya ini negri demokrasi Rakyat menggelar pesta Terikat rapi dalam periodisasi Persuasi menjadi strategi Sorak sorai lekas menggemai
Menyambut pesta rakyat yang akan segera dijumpai
Kala itu berbagai mangsa seakan enteng tuk diburu
Berbagai jalan seakan laju tuk berlalu Berharap berujung manis layaknya madu Hingga ternyata sebuah usaha terbentang nyata Suara rakyat bak mainan yang mudah
diperjualbelikan
Apakah hak suara hanya untuk suatu pembajakan?
Perhelatan ini bukanlah buah dalam kolusi Bukanlah eksploitasi berbagai relasi Pikirkan sekali lagi
Jangan sampai,
Memperjuangkan nikmat sesaat demi kemalangan yang hebat
Jauhi kolusi, menuju indahnya demokrasi
Ita Rusna Dewi
ita Rusna Dewi, M.s.i atau biasa di panggil ita merupakan staf Panwaslu Kecamatan Kokap dalam Pemilu 2019. Perempuan yang lahir di Kulon Progo, 12 Maret 1987 merupakan lulusan Magister studi islam universitas Muhammadiyah yogyakarta (uMy). Tinggal di Gunung Rego Rt 19/05, Hargorejo, Kokap, ita memiliki beberapa pengalaman menulis yaitu Antologi Puisi “Aku tidak Berani Bertanya” Guru sMP se Kulon Progo tahun 2016, Antologi puisi “sajak Anak Negri” tahun 2018.
beberapa judul puisi yang pernah di publikasikan yaitu Mencoba untuk Diam, Merasa Kehilangan, Perempuan di ujung Waktu, Tembang Akhir Zaman, Tetap Bertahan, Bunda selamanya
Pejuang Pemilu
Berani meluruskan langkah Derap laju tak pantang menyerah Mengetuk sanubari insan yang lengah Kau kesatria dalam suasana gundah Baris terdepan menjadi pedoman Lantang menerjang setiap rintangan Memberi energi bagi setiap insan Pengabdianmu layak dinantikan Kuat menopang tugas atasan
Meneriakkan siap dalam setiap kesempatan Semangat menjadi bagian tak terpisahkan Proses pemilu adalah hidupmu sebagian Bisa diandalkan dalam menjalani rutinitas Tegas dan bijak dalam setiap aktivitas Kemantapan hati memberantas tuntas Pejuang pemilu layak menjadi prioritas
Pemilu Bersih
Jujur melangkah sesuai alur Gegap gempita menyusuri lajur Detakan jantung kian membaur Menyambut pesta demokrasi makmur Mandiri dalam setiap prestasi
Menggaung menyampaikan maksud hati Menggetarkan sanubari berpartisipasi Menyiapkan rangkaian pesta anak negri Menolak curang dalam kebiasaan Menegur setiap tindak kejahatan Menenangkan insan dalam tindakan
Mensukseskan demokrasi di setiap kesempatan Dapat dipertanggungjawabkan aturan
Meraungkan semangat keadilan Menyertakan gembira dalam pekerjaan Pemilu bersih sangatlah dirindukan
Kiswantara
Kiswantoro atau akrab di panggil om kis lahir di Kulon Progo 28 Februari 1980. saat ini ia tinggal di sabrangkidul, Purwosari, Girimulyo. Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah s1 di salah satu universitas di yogyakarta.
Untukmu Pertiwi
Bukan untuk penguasa semata Bukan untuk yang bergelimang harta Bukan untuk yang terpandang saja
Tetapi pemilu untuk semua, rakyat dan bangsa Pemilu untuk aku kau dan dia
Tanpa paksaan juga sogokan Tanpa batas orang bawah atau atas Tanpa kecuali preman atau kiyai Untuk kejayaan negeri
Untuk kemakmuran sejati Untuk anak cucu nanti Untuk senyum Ibu Pertiwi
Ayunan langit, 26 Maret 2020
Laras Ayundhita
Laras Ayundhita, sering dipanggil Laras atau Dhita merupakan pelajar di sMK N 2 Pengasih.
Laras lahir di Kulon Progo, 23 Mei 2004. Tinggal di Kalisoka, Margosari, Pengasih, Laras pernah mengikuti lomba menulis puisi saat masih duduk di bangku sMP.
Memilih Pemimpin
Mentari bersinar menyongsong kemakmuran Papan-papan kontestan dengan segala janjinya Pilihlah saya...
Coblos saya...
Janji keadilan Janji kesejahteraan Janji kesehatan Janji kemakmuran
Ya....
Manis.. sungguh manis janjimu Atas nama golongan
Atas nama kemanusiaan Kau janjikan harapan Ketika semangat membara Menentukan langkah Akan kemana negeri ini Berbagai suara berseru Dia...
Pilihlah dia..
Namun aku tetaplah aku Dengan kemantapan hati Memilih pemimpin sejati
Luthfia Sekar Wening
Luthfia sekar Wening atau Luthfi lahir di Kulon Progo, 22 Januari 1993. Beralamat Tapen, RT 04/
RW 01, Hargomulyo, Kokap. Luthfi merupakan lulusan D3 universitas Negeri yogyakarta (uNy).
Dalam hal pengalaman menulis, Luthfi pernah mengikuti Lomba Karya Tulis BKKBN tingkat provinsi tahun 2011 dan berhasil menyabet juara iii.
Amplop Terakhir Lima tahun sekali Dapat amplop dan janji Awalnya hijau
Berikutnya biru Kemudian merah Kemudian merah biru Terakhir merah dan merah Sepertinya sudah sah!
Benarkah?
Batin tak bisa ditipu Tidur tak nyenyak Makan tak enak Istirahatpun tak jenak Begitulah hidup jika tak sekedar hanyut
pada sungai keruh dan panjang Siapa lagi akan mulai
kalau bukan kita sendiri Membersihkan langit nan biru Langitnya anak cucu
Begitulah
Ini amplop terakhir bagiku Penghalang berkah hidup yang tak maju-maju Bagimu dan bagiku Kokap, 03 April 2020
Pelangi
Seperti pelangi senja hari Merah hijau biru
Merah hijau biru
Memanggil-manggil disetiap pemilu Merangkulku seperti benar-benar rindu Tak hanya itu
Engkau mengajakku terbang jauh Pemandangan yang menakjubkan Kota-kota masa depan
dengan pepohonan yang rimbun Lampu-lampu neon
Lalu lalang kendaraan
Kaki lima tempat orang gurau-sahabat Lain waktu, angin lalu
Habis merah hijau biru Habislah pelangiku Aku sendiri, termangu
Merenungi nasib yang tak pernah berubah dari pemilu ke pemilu
Karena merah hijau dan biru Yang tak ku tahu…
Kokap, 03 April 2020
Melia Fathika Rochmah
Melia Fathika Rochmah sering disapa Meli atau Lia merupakan siswi sMA N 1 Wates yang lulus tahun 2020. ia lahir di Kulon Progo, 19 Maret 2002 dan saat ini tinggal di Kopat, Karangsari, Pengasih, Kulon Progo. sejak kecil ia memiliki hoby membaca buku serta menulis. Karya yang pernah dipublikasikan adalah sihir Batara Kala Antologi Cerpen Keluargaku inspirasiku
Subuh Ini
Nyatanya ada yang membangunkanmu pagi ini Ketokan pintu tiga kali, kula nuwun ucapnya.
Lalu dibukalah pintu, si tamu nyelonong masuk Dibawanya seplastik gula teh dan sepucuk
amplop
Pilih aku di pemilihan ini; bisiknya
Dirimu hari itu tiada makanan tersisa di meja Dengan begitu lembutnya, setan setan
mengingatkanmu
“ambil saja, tidak apa apa, ambil saja”
Hati orangmana tidak terrayu
Nyatanya ada yang lebih keras terdengar didalam hatimu
di matamu, dan mata-Nya, adzan subuh yang memanggilmu,
menyuruhmu datang bersama riuhnya dzikir di pagi hari
Bersama orang orang jujur lainnya, memanjatkan doa
Memilih pemimpin terbaik untuk kemajuan negeri ini
Dirimu pun menarik tamunya,mengembalikan bingkisannya
berjalan bersama menuju rumah-Nya di pagi nan sejuk ini
yang dipenuhi khusyuk makmum dan imam Khidmat menghadap kiblat, memanjatkan
taubat
Terima kasih melawan serangan setan fajar ini
Nabila Nur Aldi
Nabila Nur Aldi lahir di Kulon Progo, 8 Februari 2003. Pelajar sMAN 1 Wates ini beralamat di soronanggan, Tawangsari, Pengasih, Kulon Progo.
Nabila memiliki pengalaman menulis yang cukup banyak diantaranya menulis Esai dalam Dies Natalis uiN sunan Kalijaga 2019, menulis Esai Tema Agroteknologi FK unej tahun 2019, menulis Esai sejarah Tema Geger spehi Dinas Kebudayaan Diy tahun 2019, serta Projek menulis Antologi Esai Balai Bahasa Diy tahun 2019. Karya yang pernah dipublikasikan yakni Essai dengan Judul Lahanku Lahan Besi dalam Antologi Essai Pelajar Kulon Progo tahun 2019, terbitan Balai Bahasa yogyakarta.
Tsuara
Tsuara kami t’lah dibeli Karena bunyinya tak berharga Pada roda yang berputar
Mengikuti arus jam yang mulai edan Kini tsuaranya tak terdengar
Karna bising pesta punggawa yang lupa akan asal Yang menari nari dalam kemerlap lampu kesesatan Dengan baju yang penuh kehormatan
Serta kepala besar karna banyak impian Tak lupa kaki kecil yang rapuh karna tak sadar
akan kemampuan Tsuara kami telah hilang Karna mencari keadilan
Dikumpulan buih buih keraguan Dunia ini kejam
Setiap suara yang kau berikan Akan menjadi penentu beradaban Kau harus selektif
Akan berbagai janji atau dusta
Akan berbagai nimangan kasih sayang Atau tusukan pada kemaluan
Kau harus bijak memilih
Mencari seseorang yang alim tanpa melihat kopiyahnya
Seorang dermawan tanpa lihat isi dompetnya Jujur tanpa lihat penampilan
Orang yang bisa memimpin tanpa melihat isi amplop Tsuara kami telah lenyap
Karna orang t’lah berubah Kemanakah asas kejujuran Kemanakah asas kebebasan Kemanakah asas keadilan
Kemanakah semua asas itu dalam pemilihan Kemana?
Dan mengapa?
Kau ganti semua asas itu dengan
“bayar berapa? Partai apa?’’
Ahhh...
Mau jadi bagaimana negara ini
Negara butuh Pemimpin yang mengayomi Bukan pemimpin yang you not my family Rakyat butuh pemimpin yang mengispirasi Bukan sana sini tebar sensasi
Kita sama sama belajar Belajar bijak
Bijak memilih, bijak menyikapi
Dan bijak menjalakan setiap peraturan.
Putra Dwi Agus Purnomo
Putra Dwi Agus Purnomo lahir di Kulon Progo, 15 Agustus 1992. ia tinggal di Bendungan Lor, Bendungan, Wates, Kulon Progo. saat ini, ia dipercaya sebagai Dukuh Bendungan Lor, Bendungan, Wates, Kulon Progo.
Bahtera Pemilu Bersih Rasa syahdu berbalut rindu
Menantikan sebuah kehadiranmu wahai pemilu Dengan jiwa raga dan semangatmu
Aku menjadikanmu sahabatku Wahai Pemilu…..
Dengan semangat dan motivasi Tak terpengaruh imbalan pasti
Engkau telah menjadikan kejujuran dalam hati Untuk menjadi tulang punggung demokrasi Ku telah menelusuri dalam kehidupan ini Walaupun engkau banyak yang mengintogerasi Namun engkau tetap melayani dengan sebersih hati Untuk menjadikan sebuah alat perubahan generasi Atas kehendak hati menuju pemimpin yang
berprestasi Wahai Pemilu….
Bangsa dan Negara telah percaya kepadamu Dengan segala kekuranganmu
Dengan segala Iman dan Ketaqwaanmu
Engkau telah berusaha menjadikan Indonesia lebih maju
Kejujuran Pemilu
Tanpa ku sadari engkau menjadikan aku rindu Dengan semangat kehadiranmu
Aku memilih seorang yang ku tunggu - tunggu Untuk menjadikan Indonesiaku yang maju Wahai Pemilu…..
Walaupun dengan segala perbedaan Namun engkau telah menjadikan sebuah
kepuasan
Dengan semangat bersih tanpa kecurangan Engkau menjadikan kami nyaman dan aman Dengan semangat demokrasi dan kejujuran Engkau menjadikan suatu perkelahian dan
permusuhan
Menjadi sebuah harapan untuk masa depan Melahirkan sebuah demokrasi yang kredibel dan
unggulan Wahai Pemilu….
Denganmu aku menaruh harapan Untuk menjadikan masa depan yang aku
inginkan
Dengan semangat kejujuran yang engkau unggulkan
Aku memperoleh pemimpin masa depan yang aku harapkan
Putri Nur Indah Sari Khasanah
Putri Nur indah sari Khasanah atau yang biasa disapa Putri saat ini beralamat di Gembongan, sukoreno, sentolo, Kulon Progo. Lahir di Kulon Progo, 30 Maret 2000, Putri kini masih berstatus sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di yogyakarta. Telah memiliki pengalaman menulis di Lomba Cipta puisi. Karya yang pernah dipublikasikan yaitu “Ruang Rindu”
Ingin Kutulis Lagi Secara Nyata Sebenarnya ya,
Aku lebih senang menorehkan tinta Di atas aksara cinta
Ya, meski ‘tak pernah ada pinta Kalau dunia bisa tercipta Atas rangkaian kata
Apakah nanti berdamai dengan semesta?
Yang mana bisa terlukis dari air mata Melihat pemilu yang terlihat pilu
Memandang politik yang dipandang antik Menata negara yang ditata dari perolehan suara Padahal ya,
Petugasnya ‘kan sudah susah payah Mempersiapkan segala kisah Sembari menyediakan cap basah
Untuk rakyat yang hanya bisa berkeluh kesah Sejatinya paragrafku ini
Bernilai persuasif agar pemilu kondusif Mengajak rakyat melahirkan semangat
Berbekal harapan agar menjadi yang terdepan Supaya tidak ada kerusuhan disamping
kedamaian
Harusnya pemilu dalam luber jurdil
Dapat terlaksana tanpa hambatan yang hanya secuil Tentang jeritan rakyat kecil
Atau pemimpin yang katanya ‘tak adil Sampai ekonomi yang tidak stabil
Hingga penguasa yang sering pamer mobil Dan hutang yang entah kapan bisa dicicil Ayolah
Jangan hanya sekedar ingin Disamping angan
Nanti bisa diterpa angin Kita dilatih untuk sabar Di atas tanah yang subur
Diantara penduduk yang hadir dengan sebar Sungguh tak ada yang mau rugi
Mengajak kita gerakkan raga Tanpa ada sedikit ragu Menanti baiknya kabar
Tentang semangat yang penuh kobar Tapi jangan malah kabur
Kita disaksikan oleh bendera di atas kibar
Sembari panjatkan doa untuk pahlawan yang telah dalam kubur
Agar setiap nafas yang kita hirup Menjelma menjadi sebuah harap
Wujudkan pemilu bersih bersama kekasih Berantas aksi golput yang sering dijemput Memburu pelaku serangan fajar secara wajar Karena ekonomi yang kian redup harus
segera hidup Sudah ya
Sampai nanti di lain cerita Di alenia selanjutnya
Aku ingin menulis secara nyata
Tentang pemilu yang benar-benar terjaga Bukan hanya sebuah harapan saja
Bukan hanya goresan semata
Kulon Progo, 1 April 2020
Ragil Prasedewo
Ragil Prasadewo lahir di Jakarta, 25 Agustus 1992. Ragil saat ini beralamat di Durungan, Wates, Kulon Progo. Menulis puisi merupakan salah satu kegemarannya. Karya puisi yang telah dipublikasikan yakni “senja Di Atas Parangtritis”
(Kontributor Antologi Puisi Ta’aruf Penyair Muda indonesia soulmedia Academy, 2016) dan “Antologi Puisi serdadu Api” (Guepedia, 2020).
Berani Bersih
Kala bilik-bilik perak memancarkan kilaunya Memanggil kepala satu demi satu tunaikan haknya Di balik kertas berukuran mega
Tidak lain dan tidak bukan tentang juara Juara yang sesuai berlandaskan wibawa Dari balik masing – masing pintu kayu Serangan fajar datang merayu
TOLAK!!
Tolak semua harapan palsu
Hanya demi menuntaskan posisi satu Kita tidak akan pernah merdeka
Jika kita tidak bisa berangkat dari nurani Jika rayuan dan intimidasi
Menggelar iming-iming soal janji
Yang akan hilang karena rendahnya harga suaramu Yakinlah semangat untuk bersatu
Menjaga amanat pahlawan pada jiwamu Demi keadilan damai dan maju
Wates, 23 Maret 2020
Gelora Juang Pesta Demokrasi Seperti kita tahu akan hari esok Bisa mujur atau harus mundur teratur Dalam sebuah kompetisi tidak mungkin
selamanya menjadi seri
Akan ada yang menang, diwajibkan tenang dan tidak jumawa
Namun yang kalah harus tahu etika serta tidak berprasangka
Sang calon yang sudah siapkan candradimuka Segera mainkan semua lakon dengan suka cita Menerima kekalahan dengan lapang dada Menjemput kemenangan dengan penuh
wibawa
Semua ada porsi dan efek sampingnya Dari sebuah momentum bersama
Jadikan rumah demokrasi sebagai penguat hati Beda pilihan bukan berarti bisa diintimidasi Ayo saudara bangkitkan api membara!
Kawal kesucian di balik kelingking berwarna!
Lawan oknum perusak demokrasi bangsa!
Demi wujudkan Indonesia merdeka
Merdeka dari hati menuju insan bernurani..
Karena demokrasi tanpa nurani Layaknya istana tanpa pondasi Wates, 23 Maret 2020
Rahma Diana Sayidah
Rahma Diana sayidah lahir di Kulon Progo, 9 Juni 2000. Rahma beralamat di Madigondo, sidoharjo, samigaluh, Kulon Progo. saat ini, Rahma berstatus sebagai mahasiswi Pendidikan Agama islam di uiN sunan Kalijaga yogyakarta. ia pernah menjadi kontributor dalam antologi puisi dan cerpen yang diadakan oleh penerbit pro kreatif dan penerbit anm. Karya yang pernah dipublikasikan yaitu essai yang berjudul “unggah ungguh dan kebudayaan”
dipublikasikan oleh gusdurian.net
Pesta Demokrasi Impian
Genderang pemilihan telah ditabuhkan Seruan demokrasi telah dikumandangkan Huru hara kampanye mulai bertebaran Menyemarakkan pesta demokrasi impian Petugas mulai menyebarkan edaran Berharap masyarakat di negeri ini sudi
mendengarkan
Bersedia menyumbangkan satu suara Demi sebuah bangsa yang berkemajuan Wahai rakyat Indonesia
Yang muda hingga lanjut usia
Yang miskin hingga yang bergelimang harta Marilah kita suarakan bersama
Suara kemenangan bangsa Indonesia Wahai rakyat Indonesia
Bukan masalah nomor satu atau nomor dua Tak masalah pula nomor dua atau tiga Yang jadi masalah jika kau tak ikut sumbang
suara
Karena satu suaramu berarti bagi masa depan bangsa
Ranita Sari
Ranita sari atau yang biasa disapa dengan Nita ini lahir di Kulon Progo, 23 Juni 1998. Gadis asal Pengasih, Kulon Progo ini memang memiliki kegemaran menulis puisi. Nita telah beberapa kali ikut serta dalam lomba cipta puisi, diantaranya Lomba Cipta Puisi yang diselenggarakan uKKi Al Mujadid uNy Wates, Lomba Puisi Diklat KMP uNy, Lomba Puisi ikut Lomba, Cipta Puisi Jejak Publisher, serta Lomba Puisi Academia id. Karya yang pernah dipublikasikan yakni “Dalam Balutan Rindu”, “Wanita Peradaban”, “Apa Kabar Pahlawan Pendidikan”, “Aku Titipkan Rindu untukmu”, “Cinta Pertama”, dan “Bersua untuk Bersama”.
Pemilu yang Bersih dan Berdaulat Seruan untuk kalian, pemilik hak suara Perjuangkan harapan kalian,demi tegaknya
negeri ini
Lantas apa , yang menjadikan kalian masih ragu?
Berduyun-duyun ke TPS, tentukan pilihan Demi kedaulatan tertanam dengan rasa
kemantapan
Karena aspirasimu harus tersalurkan,
Dengan kalian, menyalurkan aspirasimu di bilik suara
Karena hal yang kecil itu, kalian turut andil Untuk dedikasi dalam pesta demokrasi Dengan hak suara kuat, menjadikan negara
berdaulat
Bukan tentang lagi janji kosong untuk dipropagandakan,
Namun ada jawaban yang harus dipertanggung jawabkan
Dengan kebijakan negara di waktu mendatang.
Mari kawal pemilu yang bersih, berdaulat Dengan menjadi pribadi yang taat Tak ada lagi, kata golput
Indonesia maju, dengan aspirasi kalian
Riana Asti Fitriani
Gadis bernama lengkap Riana Asti Fitriani ini lahir pada tanggal 20 Februari 1996 dan beralamat di Klampok, Brosot, Galur, Kulon Progo. Riana merupakan sarjana lulusan s1PGsD yogyakarta.
sebelum mengikuti Lomba Cipta Puisi Bawaslu Kulon Progo, Riana pernah menulis karya cerpen
& puisi untuk publikasi online tabloid sekolah &
prodi.
Suara Rakyat
Pemilu bukan ajang pamer
Bukan tentang si kaya harus menang Bukan tentang si miskin jadi patuh Berkat secuil rupiah milik si kaya Pesta demokrasi katanya Hak pilih milik pribadi Apa masih milik pribadi Ketika suara dijajakan sana sini Bukankah pemimpin berkat uang Akan berkerja demi uang?
Apa kau rela negaramu dipimpin mereka?
Yang memperkaya diri dengan kursinya Yang lalu lalai pada rakyatnya
Pada suara rakyat yang ia beli Nanar bukan?
Ya.. pilu sekali
Untuk apa mengatasnamakan demokrasi Memberi istilah pesta rakyat
Tapi rakyat justru tak bergeming Bahkan tak merasa punya andil Bukan kami tak percaya
Kami hanya lelah ditipu daya