• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN HISTORIS FENOMENOLOGIS DALAM STUDI AGAMA MENURUT MIRCEA ELIADE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENDEKATAN HISTORIS FENOMENOLOGIS DALAM STUDI AGAMA MENURUT MIRCEA ELIADE"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN HISTORIS FENOMENOLOGIS DALAM STUDI AGAMA MENURUT MIRCEA ELIADE

Jon Renis H. Saragih

Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Indonesia jonrenis20@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang pemikiran Mircea Eliade yang memberikan warna baru dalam studi agama- agama. Pendekatan yang dilakukannya lebih menghargai keunikan agama-agama dengan mengedepankan pendekatan dari dalam agama itu sendiri. Eliade tidak sepakat dengan pendekatan fungsionalis terhadap agama karena sifatnya yang reduksionis. Otonomi agama dihargai sedemikian rupa sehingga tidak mungkin dijelaskan melalui istilah lain. Menurutnya agama adalah subjek dari segala sesuatu. Hal ini sangat berdampak dalam kajian yang lebih mendalam terhadap agama, dan terlebih dalam penghargaan atas perbedaan yang antar agama. Tulisan ini membahas berbagai karya Eliade yang sangat sangat luas dan mencoba melihat inti pemikiran yang dapat dikembangkan dalam pengembangan studi agama, secara khusus dalam konteks Indonesia. Berbagai tema berkaitan dengan mitos, simbol, dan juga relasi antar agama akan terjawab melalui pemikiran Eliade.

Kata-kata kunci: Mircea Eliade, historis, fenomenologi, studi agama, mitos, simbol, sejarah dan waktu, dialog.

Abstract

This article highlights the thoughts of Mircea Eliade who have given new ideas in the study of religions. His approach appreciates the uniqueness of religions by prioritizing a religious approach from within. Eliade disagreed with the functionalist approach to religion because of its reductionist nature. Religious autonomy is valued in such a way that it is impossible to explain in other terms. According to him religion is the subject of everything. This is very useful for studying religion more deeply and respecting religions for existing differences. This paper discusses Eliade's various works and tries to see the core ideas for the development of religious studies, especially in the Indonesian context. Various themes related to myths, symbols, and relations between religions will be answered through Eliade's thoughts.

Keywords: Mircea Eliade, historical, phenomenology, study of religions, myths, symbols, history and time, dialogue.

Pendahuluan

Pemikiran Eliade merupakan sesuatu yang baru dalam studi agama-agama. Karya besar Eliade dengan meneliti berbagai agama dari hampir seluruh dunia merupakan usaha yang patut dihargai. Juga keseriusannya dalam melakukan studi agama, baik sebagai sejarawan, maupun sebagai fenomenolog yang baik untuk memahami agama dalam segala bentuknya, memberikan warna baru dalam studi agama, yang sangat berbeda dengan metode reduksionisme yang berkembang saat itu.

Dengan melihat perhatiannya kepada studi agama, karya Eliade sangat bermakna jika ditelaah dengan melihat berbagai aspek yang bisa memberikan nuansa baru dalam studi agama, khususnya di Indonesia (karya Eliade belum begitu dikenal di Indonesia, dibandingkan misalnya dengan Clifford Geertz, padahal Eliade juga meneliti sebagian daerah Indonesia), walaupun juga pasti ada kritik terhadap dirinya seperti kritik tentang kekacauan metodologis Eliade atau kritik bahwa Eliade merupakan teolog/misionaris Kristen.

Eliade dan Pandangannya dalam Studi Agama Sekilas tentang Hidup dan Karya Eliade

Mircea Eliade lahir di Bucharest, Rumania tanggal 9 Maret 1907 dan meninggal tanggal 22 April 1986. Ia adalah seorang penulis yang produktif; pada usia 18 tahun ia telah merayakan terbitnya artikelnya yang ke-100 dan ia menjadi penulis tetap dalam surat kabar. Bakatnya tersebut memang terlukis dengan banyaknya buku Eliade yang terbit yang banyak diperbincangkan, bahkan juga novelnya pernah memenangkan hadiah.

Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan atas, tahun 1925 Eliade belajar di Fakultas Filsafat

(2)

G.Gentile, filsuf idealis Italia. Tahun 1928 ia menyelesaikan MA nya dengan filsafat renaisanse Italia sebagai disertasinya. Tahun 1928-1932 Eliade tinggal di India dan belajar di Universitas Calcutta di bawah bimbingan Prof. Surendranath Dasgupta, ahli filsafat India. Tahun 1933 ia menyelesaikan Ph.D nya di Universitas Bucharest dengan tesis tentang Yoga, berdasarkan pengalamannya di India.

Eliade kemudian menjadi asisten profesor di Universitas Bucharest (1933), kemudian ia menjadi atase kebudayaan kedutaan Rumania di London dan Lisbon (1940) dan kembali ke Bucharest tahun 1942. Pada zaman Nazi ia lari ke Paris dan menjadi profesor tamu di Universitas Sarbonne dan berbagai universitas lainnya di Eropa. Tahun 1956 ia kemudian menggantikan Yoachim Wach sebagai profesor sejarah agama-agama di Universitas Chicago.

Karya Eliade yang sangat terkenal antara lain: The Sacred and The Profane (1957), Patterns in Comparative Religions (1949), The Myth of Eternal Return (1949), Yoga, Immortality and Freedom (1958), Rites and Symbols of Initiation (1958), Myths, Dreams and Mysteries: the Encounter between Contemporary Faiths and Archaic Realities (1960), Images and Symbols:

Studies in Religious Symbolism (1961), Myth and Reality (1963), Shamanism: Archaic Techniques of Ecstasy (1964), The Two and the One (1965), The Quest: History and Meaning in Religion (1969), A History of Religious Ideas, vol. I-III, From the Stone Age to the Eleusinian Mysteries (1978), From Gautama Buddha to the Triumph of Christianity (1982), From Muhammad to the Age of the Reforms (1985), Encyclopedia of Religion (Eliade sebagai editor) dan karya lainnya.

Berbagai Pandangan Eliade

Mircea Eliade menentang pendekatan Freud, Durkheim dan Marx yang mengembangkan pandangan fungsional terhadap agama dengan upaya pencarian makna yang dilakukan secara reduksionis untuk menjelaskan apa yang dasar dan fundamental dalam agama. Sebaliknya, ia mendukung pendekatan yang lebih humanistis. Tesisnya adalah bahwa agama harus selalu dijelaskan menurut istilah-istilahnya sendiri (Pals, 2001:267). Agama mempunyai independensi tersendiri dan tidak dapat dijelaskan hanya sebagai hasil dari realitas yang lain. Dengan menegaskan otonomi agama, Eliade melihat bahwa metode pendekatan yang mencoba menangkap esensi dari agama dengan alat fisiologi, psikologi, sosiologi, bahasa, dan studi lainnya adalah keliru, karena metode itu akan menghilangkan unsur yang unik dalam agama, unsur sakral yang tidak dapat direduksi.

Pereduksian terhadap agama mengandaikan agama sebagai sebuah hasil dari sesuatu, atau merupakan akibat dari suatu peristiwa dalam kehidupan. Eliade tidak menempatkan agama dalam posisi sebagai ‘akibat’, melainkan dia menegaskan bahwa agama berfungsi sebagai ‘sebab’ (Pals, 2001:272). Dengan menempatkannya sebagai sebab dan penolakannya terhadap reduksionisme, maka metode yang dipakai Eliade adalah menghubungkan dengan dua sudut visi yang terpisah. Di satu sisi sebagaimana sejarawan, maka diperlukan pengumpulan dan penyusunan fakta, membuat generalisasi, mengkritisi dan mencoba menemukan sebab atau konsekwensi. Di sisi lain, selain hal tersebut dibutuhkan studi perbandingan terhadap hal-hal dalam bentuk atau penampilan yang hadir dengan menerapkan fenomenologi. Dengan membandingkan suatu bentuk keagamaan dengan yang lain maka pemahaman tentang agama menjadi ditemukan. Eliade berpendapat bahwa waktu dan tempat mungkin berbeda, tetapi konsep sering sama.

Pandangan Eliade tentang Agama

Eliade membagi dua wilayah kehidupan manusia purba yaitu bidang yang sakral dan bidang yang profan. Dalam usaha memahami agama, maka seorang sejarawan modern harus keluar dari peradaban modern dan masuk ke dalam kehidupan manusia purba. Bidang yang profan adalah wilayah urusan sehari-hari, hal-hal yang biasa dan tidak penting sedangkan yang sakral adalah wilayah supranatural, hal-hal yang luar biasa dan sangat penting. Yang profan adalah yang menghilang dan mudah pecah, bayang-bayang, sedangkan yang sakral adalah yang abadi, penuh dengan substansi dan realitas. Yang profan adalah urusan manusia yang dapat berubah-ubah dan kacau, sedangkan yang sakral adalah wilayah keteraturan dan kesempurnaan, rumah para leluhur,

(3)

pahlawan dan dewa. Agama suku-suku purba dimulai dari pemisahan yang fundamental ini (Pals, 2001:275).

Dalam membahas yang sakral dan yang profan ini, Eliade dipengaruhi oleh Durkheim walaupun mereka berbeda. Durkheim menempatkan yang profan dan yang sakral ketika ia berbicara tentang masyarakat dan kebutuhannya. Bagi Durkheim, yang sakral adalah yang sosial, yang memiliki arti bagi masyarakat sedangkan yang profan adalah yang individual, hanya berarti bagi dirinya sendiri. Yang supranatural dibutuhkan adalah dalam rangka mengingatkan tugas dan tanggung jawab sosial dengan menjadikan klan sebagai dewa totem mereka. Hal ini berbeda dengan Eliade yang yang menekankan bahwa agama pertama-tama dan terutama sebagai kepercayaan pada wilayah dari wujud yang supranatural.

Pemahaman Eliade dipengaruhi oleh Rudolf Otto yang adalah pembimbingnya. Dengan menggunakan istilah Latin, Otto menyebut ‘mysterium’ yang bersifat ‘tremendum et fascinans’

sebagai yang misteri yang sekaligus bersifat menawan dan menakutkan untuk menggambarkan pengalaman manusia yang dramatis dan khas dalam perjumpaannya dengan sesuatu yang benar- benar luar biasa dan dahsyat. Sesuatu itu adalah realitas yang sama sekali lain dibandingkan dengan mereka yang merupakan pengalaman yang sakral. Otto percaya bahwa perasaan terhadap numinous yang membangkitkan rasa hormat ini adalah unik dan tidak dapat direduksi. Eliade juga melihat bahwa dalam perjumpaannya dengan yang sakral, orang-orang merasa bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat di luar duniawi (otherworldly), sebuah dimensi yang betul-betul menggetarkan, sangat berbeda dan sangat nyata.

Dalam masyarakat purba, ide tentang yang sakral memegang peranan penting. Yang sakral adalah penting bagi keberadaan mereka yang betul-betul membentuk setiap aspek kehidupan mereka. Dengan menjelaskan beberapa contoh dari keberagamaan orang-orang Yunani, orang Skandinavia dan yang lainnya, Eliade melihat bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat purba dalam kehidupan mereka adalah merupakan semacam gambaran dari yang sakral. Model-model kedewaan yang merupakan wilayah yang supranatural menunjukkan bagaimana kehidupan mereka harus dijalani dan diberi makna. Otoritas yang sakral mengontrol semua kehidupan masyarakat.

Dengan konsep hierofani (berasal dari bahasa Yunani ‘hieros’ dan ‘phainen’ artinya penampakan yang betul-betul sakral), Eliade menjelaskan bagaimana tempat tersebut merupakan titik pusat sebuah dunia (kosmos), sebuah axis mundi (bhs.Latin ‘pusat dunia’). Masyarakat purba akan membangun komunitas di sekitar tempat tersebut dengan cara sedemikian rupa untuk menunjukkan bahwa komunitas tersebut benar-benar memiliki suatu ilahi yang teratur, yakni sebuah sistem yang sakral. Kehidupan mereka berorientasi di sebuah pusat yang sakral, simbol kebaikan yang vertikal, menghubungkan langit dengan bumi, yang sakral dengan yang profan.

Kehidupan manusia purba selalu berupaya untuk menirukan dewa. Mereka tidak hanya ingin mencerminkan wilayah yang sakral, tetapi bagaimana agar benar-benar masuk ke dalamnya untuk hidup di anatara para dewa. Sebuah desa, kuil atau rumah purba harus menggambarkan ‘imago mundi’ sebagai bayangan dari seluruh dunia, sebagaimana dunia ini pertama sekali dibentuk para dewa. Manusia purba menempatkan arti besar mitos-mitos kosmogonik, cerita-cerita tentang penciptaan dunia pertama, sebagai dasar untuk mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh dewa.

Eliade melihat bahwa bagi manusia purba, apapun dan kapanpun sesuatu yang baru dibangun - apakah sebuah kuil atau rumah, dilahirkan, suatu fase baru kehidupan – proses tersebut merupakan sebuah pengulangan, pemeranan kembali perbuatan dan perjuangan awal para dewa saat menciptakan dunia.

Pandangan Eliade tentang Simbol dan Mitos

Manusia purba menggambarkan yang sakral tersebut dalam ungkapan yang tidak langsung yaitu di dalam simbol atau mitos. Sebuah alat, sebuah benda, batu, bintang dan apa saja dapat menjadi tanda yang sakral dalam hubungannya dengan hierofani tersebut.i Dengan ‘dialektika yang sakral’ Eliade melihat bahwa pemasukan yang supranatural kepada objek-objek yang natural, memberikan makna mitos kepada simbol tersebut, menjadikannya bukan lagi sekedar batu atau bintang tetapi membawa kepada yang sakral, yang tak terbatas dan absolut. Untuk mengatasi

(4)

konsep irasional, Eliade menyebutkan bahwa dalam hal seperti itu akal manusia tidak dalam tugas transaksi (Pals, 2001:287).

Simbol dan mitos memberi daya tarik pada imajinasi, yang sering hidup di atas ide kontradiksi. Keduanya memikat orang sepenuhnya, emosi, kehendak dan bahkan aspek kepribadian yang bersifat bawah sadar. Bagi manusia purba, semua yang ada di dunia adalah bagian dari kerangka besar yang diciptakan dewa di permulaan zaman dan dimanapun di dalamnya, yang sakral menanti untuk bersinar. Dengan ‘modalitas yang sakral’ Eliade mengatakan bahwa di dalam segala keindahan dan kegarangannya, misteri dan variasinya, dunia natural secara terus menerus menyingkapkan berbagai aspek yang supranatural.

Simbol-simbol tersebut tidak hanya mengatakan tentang yang sakral dan yang profan tetapi juga menunjukkan kontinuitas antara struktur keberadaan manusia dengan struktur kosmis. Tipe dewa yang dekat dengan manusia sebagai penyelamat memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia purba karena sifat kemanusiaannya yang mencolok. Dalam analisisnya tentang agama Kristen, Eliade melihat bahwa tipe Allah menjadi manusia dalam Yesus Kristus, apalagi mengalami penderitaan merupakan sebuah dambaan manusia beragama.

Mengenai peranan simbol dalam masyarakat modern dengan pola berpikir yang logistis rasionalistis, Eliade menyebutkan bahwa manusia modern tidak kehilangan kemampuan menjangkau pengalaman religius, karena manusia nonreligius juga berasal dari manusia religius.

Manusia modern tidak dapat menghapus semua masa lampaunya karena dia tetap merupakan bagian dari masa lampau, yang didesakralisasi. Tantangan filsafat dan pandangan alegorisasi manusia modern yang melihat mitos sebagai rasionalisme elementer dan psikologi yang simplistis, sebagai dunia imajiner tetap tidak menghilangkan fakta bahwa pemikiran mistis tetap hidup dalam manusia modern. Berbagai peristiwa seperti Reformasi, Revolusi Prancis, nudisme, mitos Pulau Firdaus selalu berkaitan dengan gerak kembali kepada awal, asal usul kuno. Sebagian besar manusia yang tanpa agama sebetulnya tetap memiliki pseudo agama dan mitologi-mitologi yang tersamar (Eliade, 1963:432-434). Dalam hal ini Eliade menempatkan struktur alam bawah sadar sebagai nafas religius yang tetap hidup dalam manusia modern. Di sini Eliade berhutang terhadap penemuan psikologi dalam, dan memang Eliade dekat dengan Carl G. Jung, bahkan ada yang menyebutnya sebagai seorang Jungian. Namun pemakaian istilah ‘arketipe’ Eliade dan Jung berbeda, karena Eliade menggunakan istilah tersebut sebagai sinonim bagi “model yang dijadikan contoh” atau

“paradigma” pada hakikatnya berdasarkan arti Agustinian.

Menurut Eliade, simbol dan mitos jarang terisolasi, dan selalu merupakan bagian dari sistem simbol yang lebih besar yang membentuk sebuah susunan. Ada sistematisasi simbol dan mitos yang saling berhubungan. Alam pemikiran manusia purba dipenuhi dengan asosiasi, hubungan dan pengulangan yang terus menerus meluaskan arti yang sakral ke dalam setiap dimensi kehidupan.

Dihubungkan dengan persoalan tingkatan simbol dan mitos, Eliade melihat bahwa ada beberapa yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain dengan pemikiran bahwa semakin besar simbol, semakin lengkap dan universal, maka semakin banyak ia membawa sifat sejati dari yang sakral.

Namun dengan meneliti perubahan sejarah bentuk-bentuk agama, Eliade bukan seorang yang evolusioner. Eliade percaya bahwa logika simbol dan mitos yang dasar selalu mendorong mereka menjadi lebih universal. Perubahan tersebut dilihat dengan perubahan dimensi yang sakral. Ketika perubahan terjadi, beberapa dimensi yang baru ditemukan namun yang lain ada yang hilang.

Pandangan Eliade tentang Sejarah dan Waktu

Menurut Eliade, tema yang mendominasi pemikiran manusia purba adalah dorongan untuk menghapus sejarah dan kembali ke tempat di luar waktu ketika dunia dimulai. Mungkin ini dapat dibandingkan dengan ‘gerak kembali’ Freud kepada masa awal untuk membebaskannya dari trauma yang membelenggu hidup seseorang, walaupun perbedaan Eliade dengan Freud sangat besar.

Semua tema yang konstan dari ritual dan mitos purba adalah keinginan untuk hidup di dunia seperti saat dunia itu datang dari tangan pencipta, yang bersih murni dan kuat. Inilah juga yang mempengaruhi mengapa mitos tentang penciptaan selalu sangat penting. Biasanya ritual-ritual masyarakat purba melibatkan suatu pemeranan kembali tentang apa yang dilakukan para dewa dalam ‘in illo tempore’ (bhs. Latin: ‘di dalam waktu itu’), pada saat ketika dunia diciptakan. Setiap

(5)

perayaan tahun baru, mitos kelahiran, ritus inisiasi adalah sesuatu yang kembali ke permulaan, sebuah kesempatan untuk memulai dunia sekali lagi.

Dengan pandangannya tentang ‘teror sejarah’, yang melihat hidup sebagai tidak berarti, kosong dan kematian yang tidak terelakkan, Eliade menjelaskan bagaimana kehidupan riil tidak penting, karena makna yang riil tidak pernah ditemukan dalam sejarah, maka manusia purba memilih pendirian di luar sejarah. Adalah merupakan kebutuhan manusia purba untuk meregenerasikan diri mereka secara periodik melalui penghapusan waktu. Penolakan untuk menyimpan memori masa lampau mengacu kepada penolakan manusia purba untuk menerima dirinya sendiri sebagai mahluk historis (Eliade, 2002:88). Masa lampau tidak lain merupakan prefigurasi bagi masa depan. Tidak ada kejadian yang tidak dapat diubah dan tidak ada transformasi yang bersifat final. Hal ini berkaitan dengan pandangan waktu manusia purba yang bersifat siklus, bukan linear. Dalam arti tertentu, bahkan mungkin untuk dikatakan bahwa tidak ada sesuatu yang baru terjadi di dunia, karena segala sesuatu tidak lain merupakan pengulangan atas arketipe primordial yang sama. Waktu tidak memiliki pengaruh akhir pada eksistensi mereka, karena waktu terus menerus mengalami regenerasi (Eliade, 2002:93).

Pandangan Eliade tentang Revolusi Agama

Eliade melihat bahwa Yudaisme dan Kristen merupakan sebuah revolusi melawan agama purba. Bagi Yudaisme dan Kristen, yang sakral dapat ditemukan di dalam sejarah maupun di luarnya. Penderitaan yang dilihat sebagai ‘teror sejarah’ manusia purba, bagi Yudaisme justru bukan sebagai penderitaan yang harus dihindari, tetapi sebagai hukuman yang harus ditahan, di dalam sejarah, karena itu datang dari Tuhan. Agama Yudaisme dan Kristen tidak bertindak berdasarkan pengulangan kepada permulaan, melainkan mengingat peristiwa historis tertentu yang final dan mengambil sebuah keimanan personal yang sama-sama final.

Revolusi yang lebih besar lagi menurut Eliade adalah penerimaan secara luas terhadap filsafat yang mengingkari keberadaan dan nilai yang sakral sekaligus. Peradaban Barat, terutama Eropa modern dan Amerika melihat bahwa tidak ada bedanya manusia menemukan yang sakral, ‘di dalam sejarah’ atau ‘di luar sejarah’, karena manusia tidak membutuhkan yang sakral, yang dapat menunjukkan bagaimana harus hidup dan tujuan utama yang diharapkan. Tipe-tipe purba yang sakral, dewa-dewa tidak ada.

Dengan demikian Eliade melihat bahwa perubahan perasaan keagamaan terjadi dalam masyarakat. Mulai dari agama-agama alam ke agama-agama sejarah dan berlanjut kepada filsafat sejarah yang membuang agama sama sekali. Bentuk historisisme hanya mengakui bentuk-bentuk yang profan dan tidak memberikan tempat bagi yang sakral, baik itu developmentalisme Hegel, kapitalisme Marx, fasisme dan komunisme atau juga kaum eksistensialis. Namun Eliade menyatakan bahwa banyak bentuk dari kebudayaan sekarang tetap dekat kepada agama purba dalam berbagai bentuk yang diterjemahkan pada masa kini. Simbol dan mitos masyarakat purba tidak hilang, tetapi hadir dalam bentuk baru, karena manusia pada dasarnya adalah homo religius.

Pandangan Tentang Eliade dan Kehidupan Beragama di Indonesia Historis Fenomenologis sebagai studi Agama di Indonesia

Gabungan metode historis fenomenologis Eliade merupakan ladang yang kaya bagi studi agama. Pandangan Eliade yang menentang reduksionisme merupakan pemikiran baru dalam studi agama. Jika setiap orang menjadikan agama sebagai akibat dari sesuatu, Eliade justru menempatkannya sebagai subjek, sebab segala sesuatu. Berbeda dengan pendekatan ketika itu, Eliade juga menentang evolusionisme agama, yang biasanya dikategorikan sebagai perkembangan dari magis, agama dan sains. Animisme Taylor menjadi tingkat pertama yang adalah magis kemudian berkembang melalaui perbesaran kesadaran tentang magis yang adalah agama dan kemudian berkembang dengan hasil koreksi lanjutan dalam sikap rasio, pemikiran dan saintifik.

Eliade melihat bahwa perubahan mitos dan simbol bukan dalam kerangka pemikiran evolusioner tetapi adalah sebagai perubahan yang sakral yang semuanya nyata. Dengan demikian pandangan Eliade berada dalam sebuah alur yang berbeda dengan evolusionisme Taylor dan Frazer, juga

(6)

berbeda dengan pandangan anti reduksionis Evans-Pitchard dan Clifford Geertz, juga berbeda dengan pendekatan universalnya berbeda dengan pendekatan partikular Freud, Marx dan Durkheim.

Eliade justru dekat dengan Rudolf Otto dengan pendekatan fenomenologisnya dan pendekatan Wilhem Schmidt dengan pendekatan historisnya. Eliade kemudian menggabungkan keduanya menjadi historis fenomenologis yang merupakan sumbangan yang sangat besar dalam perkembangan studi agama-agama. Tanpa fenomenologis, sejarah agama akan jatuh kepada reduksionis yang tidak menyadari totalitas religius yang harus terlibat di dalamnya. Sejarah agama- agama harus memakai suatu hermeneutik yang berlaku adil terhadap yang rasional dan yang irrasional, terhadap yang intelektual dan yang emosional, terhadap antropologi, sosiologi, psikologi, dan ilmu lainnya. Menekankan secara sepihak kepada sejarah agama, akan menjadikan seseorang jatuh kepada historisisme tanpa mengandung makna dan nilai transhistoris. Di lain pihak tanpa sejarah, pendekatan fenomeologis akan menghilangkan makna historis dan perkembangan fakta- fakta religius.

Karena itu keduanya saling membutuhkan, seperti disebutkan Raffaele Pettazzoni bahwa fenomenologi memberikan makna manusia religius yang tak dapat dijangkau oleh ilmu-ilmu historis, namun fenomenologi tidak dapat berbuat apa-apa tanpa etnologi, filologi dan disiplin ilmu historis lainnya. Fenomenologi agama dan sejarah agama bukan merupakan dua ilmu, tetapi merupakan dua aspek dari satu ilmu pengetahuan agama integral yang saling melengkapi (Susanto, 1987:39).

Pendekatan Eliade yang menempatkan dirinya tidak sebagai seorang pengamat di luar agama, tetapi lebih dari perspektif dari orang beriman tersebut merupakan sebuah sumbangan yang sangat berarti dalam studi agama. Merupakan kenyataan bahwa manusia purba atau juga manusia sekarang ini percaya dan mengimani salah satu agama. Seorang peneliti historis sekarang ini mengetahui bahwa adalah tidak mungkin mencapai keaslian agama kecuali melihat berbagai fase dan aspek kehidupan masyarakat dan menemukan peranan agama dalam pribadi dan masyarakat (Parrinder, 1985:14). Bukan sebaliknya memberikan interpretasi bagaimana masyarakat atau pribadi menciptakan agama untuk berbagai maksud dan tujuan kehidupannya.

Sekarang ini secara umum seseorang mempercayai satu agama lebih karena faktor kelahiran atau keturunan. Namun hal tersebut tidak meninggalkan pertanyaan apakah manusia menjadi sebuah mekanik yang harus mengikuti agama kelahirannya? Mengapa seseorang menjadi beragama dan tetap mempertahankan agamanya? Dengan melihat hubungan sosial dalam masyarakat, sepertinya tidak sempurna, karena selalu ada alasan supranatural mengapa seseorang menjadi percaya. Mungkin pertanyaan ini tidak terlalu berpengaruh dalam konteks Indonesia, yang justru sejak awalnya menginternalisasi simbol-simbol agama menjadi sesuatu yang sakral. Yang berarti ada perasaan senang dan perasaan yang menarik minatnya untuk tetap hidup dan mempercayai agama tersebut. Kehilangan pendekatan ini akan menyebabkan kesulitan mengerti agama lain dan kecenderungan untuk menjadikannya sebagai objek akan menghilangkan aspek-aspek intuitif yang hidup dalam kepercayaan tersebut.

Manusia dalam pandangan Eliade adalah homo religiosus yang selalu berhubungan dengan wilayah yang sakral dan hal ini memberi arti yang banyak jika dibandingkan dengan pemikiran masyarakat Indonesia. Pemahaman tentang mitos dan simbol-simbol sebagai hakikat hidup rohani sendiri dan fungsinya sebagai ungkapan ketergantungan manusia pada realitas transenden dan suatu tujuan metaempiris tidak dapat dihancurkan atau disingkirkan (Dillistone, 2002:143). Walaupun pendekatan Eliade dalam pengumpulan data dan juga dalam mengamati fenomena keberagamaan pasti selalu mempunyai unsur subjektifitas, namun kerangka berpikir dengan menempatkan semua manusia sebagai homo religiosus memberikan penghargaan besar terhadap keberagamaan setiap orang, kuno atau modern, tua atau muda, atau kategori apa saja yang dimungkinkan dalam pembedaan keberagamaan. Dengan pendekatan ini, keberagamaan terlepas dari sikap menghakimi agama lain sebagai yang ‘tidak lengkap’ atau sebagai yang ‘bukan agama’.

Mitos dan Simbol dalam Masyarakat Indonesia

Berkaitan dengan lambang-lambang dan simbol-simbol kebudayaan masyarakat Indonesia ditemukan adanya keterikatan yang erat dengan yang supranatural.ii Dalam membahas kebudayaan

(7)

Indonesia, Jakob Sumardjo membedakan alam pikiran Indonesia lama dengan alam pikiran modern.

Alam pikiran Indonesia lama adalah totalitas kosmik, semua yang ada berada dalam kesatuan yang agung, baik secara ruang maupun waktu dengan pendekatan secara sintetik dan partisipatif.

Lambang tidak harus mempunyai hubungan dengan yang empirik, tetapi langsung berhubungan dengan arti idea dan spiritualnya. Bisa saja lambang-lambang tersebut tidak memiliki sebuah gambaran yang empirik, meskipun tidak menutup kemungkinan peniruan lambang-lambang empirik. Lambang tersebut dilihat sebagai representasi dari yang dilambangkan. Sedangkan manusia modern lebih cenderung membuat lambang berdasarkan hubungannya dengan realitas empirik dan budaya. Namun manusia modern juga tidak meninggalkan arti spiritualnya. Benda lambang tersebut memiliki arti empirik, namun di sisi lain juga mempunyai arti realitas lain, baik secara idea-rasional maupun kepercayaan spiritual, sehingga benda lambang tersebut tidak dibaca secara empirik tetapi secara ‘realitas lain’. Benda lambang tersebut adalah representasi dari ‘realitas lain’ berdasarkan realitas empirik (Sumardjo, 2002:134-135).

Pemikiran mistis tidak bisa dipisahkan dari wawasan masyarakat Indoensia. Sikap yang diterima sebagai warisan nenek moyang adalah bahwa dirinya merupakan bagian dari alam (bnd.

Peursen, 1976:34-37). Bangsa Indonesia tidak mewarisi sikap ilmuwan yang mengambil jarak dari objek dan membuat analisis dengan cara mereduksinya. Sebagaimana disebutkan Bakdi Soemanto yang dikutip Susanto menyatakan bahwa ‘barang-barang baru’ yang datang ke Indonesia hanya membuat perubahan di permukaan saja. Agama – sebagai contoh – tidak pernah dihayati tanpa suasana mistis ini yang sangat fundamental (Susanto, 1987:133). Praktek-praktek keagamaan dalam berbagai ritual, benda-benda simbolis, semuanya berhubungan dengan yang sakral, sebuah hierofani. Hierofani memegang peranan penting, karena simbol dan mitos tersebut selalu merupakan penampakan dari yang sakral. Simbol dan mitos selalu melibatkan dimensi eksistensial manusia secara keseluruhan dan mengalamatkan dirinya kepada totalitas kehidupan psikis dan tidak hanya kepada kesadaran. Dengan simbol dan mitos, manusia mengulang kembali arketipe pada masa nontemporal, yang adalah sakral dan berbeda dengan yang profan.

Memang ada perbedaan dasar dalam penentuan simbol dari manusia Indonesia lama dengan manusia modern, namun hal itu hanya dalam kerangka bentuk simbol itu sendiri, bentuk yang tampak secara empirik. Sedangkan pemahaman tentang yang supranatural, ‘realitas lain’, tetap mewarnai alam pikiran masyarakat Indonesia. Mitos-mitos mengisahkan kesatuan dualistik antara dunia manusia dengan dunia atas. Sifat yang dualistis ini mengisyaratkan bahwa kesempurnaan dan kesejahteraan hanya dapat diperoleh melalui harmoni atau perkawinan dari dunia atas dan dunia manusia. Karena itu diperlukan unsur ketiga yaitu dunia tengah, dunia perantara atau medium dari kedua pasangan tadi untuk mengharmonisasikan kedua ekstrim yang berbeda tersebut.

Harmoni yang menjadi ciri masyarakat sangat dekat dengan fungsi simbol dalam pandangan Eliade yang menghapuskan batas-batas manusia dalam masyarakat dan kosmos, sehingga manusia tidak lagi merasa dirinya sebagai fragmen yang ‘kedap udara’ tetapi sebuah kosmos yang hidup, terbuka kepada dunia sekelilingnya yang mengelilinginya (Eliade, 1963:455). Harmoni tersebut menjadi tujuan setiap individu dalam mayarakat. Dunia tengah inilah dunia gaib, dunia ambivalen, dunia transenden dan semua laku upacara ritual berpusat di dunia tengah ini. Jakob Sumardjo menyebutkan bahwa bagi masyarakat Indonesia dunia tengah tersebut merupakan ‘axis mundi’, sama seperti ‘pusat dunia’ yang disebutkan Eliade (Sumardjo, 2002:5).

Pemahaman ini tetap berkembang hingga saat ini sehingga simbol dan mitos tetap menjadi sebuah cerita yang memegang peranan penting dalam keberagamaan masyarakat. Karena pendekatan terhadap simbol dan mitos keagamaan di Indonesia tidak hanya bisa dijadikan sebagai bahan studi tetapi juga harus dilihat sebagai sumber yang harus didengarkan (Waardenburg, 1980:61). Apakah melalui desimbolisasi atau demitologisasi, untuk mereduksi simbol dan mitos selalu ada bagian mitos dan sumbol yang rusak. Karena itu menempatkan diri bukan hanya sebagai peneliti tetapi juga pendengar merupakan tugas ilmu agama di Indonesia.

Jika dihubungkan dengan Clifford Geertz yang juga meneliti simbol dan mitos di Indonesia, Eliade mempunyai persamaan dan perbedaan. Cillford Geertz berbeda dengan Eliade yang menempatkan peranan simbol-simbol agama dalam masyarakat Indonesia dalam struktur

(8)

menolak reduksionisme sama seperti Eliade.iii Pandangan ini memberikan sebuah pemikiran bahwa berpikir secara reduksionis bukan pendekatan yang tepat dalam studi agama di Indonesia, walaupun mereka berbeda dalam pandangan universalisme Eliade dan partikularisme Geertz yang sudah tentu mengakibatkan perbedaan yang tidak sedikit. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah bagaimana Geertz memandang aspek supranatural dalam konsep berpikir masyarakat yang selalu ada? Bagi Geertz, simbol berguna dalam rangka untuk mengerti kebudayaan, karena simbol bersifat teraba, tercerap, umum dan konkrit. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensintesiskan dan mengintegrasikan dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan (Dillistone, 2002:116). Dengan demikian simbol menjadi sebuah konsepsi manusiawi untuk kebutuhan masyarakat, sebuah akibat dari keinginan dan harapan. Seperti disebutkan Henri Munson bahwa dalam pertunjukan Rangda dan Barong yang dramatis di Bali, Geertz dengan lancar dan luas dapat menguraikan tentang etos Bali, gabungan emosi horor dan kegembiraan, namun Geertz hampir melewatkan seluruh mitos pribumi yang menjadi dasar dari cerita tersebut (Eliade, 1963:445).

Secara implisit hal ini bisa dikaitkan dengan pandangan Freud tentang pribadi manusia.

Namun jika pandangan Freud yang menghubungkan simbol dengan ilusi, ekspresi neurosis dan ketidakmatangan psikologi (regresi) yang mendasari gagasan religius dalam rangka pemuasan harapan dijadikan dasar dalam keberagamaan masyarakat, bagaimana menjelaskan proyeksi imajinasi masyarakat tentang yang supranatural yang tidak mempunyai kecenderungan untuk membuktikan secara eksistensi atau non-eksistensi? (Bnd. Kung, 2003:96). Jika hal ini diterapkan dalam konteks keberagamaan masyarakat Indonesia, maka tentunya konflik yang sudah terjadi selama ini akan menjadi semakin parah. Dengan melihat sesama yang lain sebagai masyarakat yang

‘penyakitan’, sudah bisa dibayangkan apa yang akan terjadi di Indonesia. Dengan melihat hal ini, pendekatan Eliade memberikan sebuah jalan bagi ‘perbincangan’ keagamaan di Indonesia.

Berkaitan dengan orientasi Barat kontemporer yang membatasi cara berada dan kondisi manusia dalam istilah temporal, rasional, ilmiah, yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan masyarakat Indonesia, apa yang disebutkan Eliade tentang tetap hidupnya pandangan mistis dalam lapisan psikis dan muncul dalam masyarakat sekarang, merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Pola pemikiran masyarakat religius Indonesia yang lebih sering menempatkan kategori

‘cocok – tidak cocok’ dari pada pemikiran ‘benar-salah’ merupakan bukti bahwa aspek intuitif mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka harmonisasi kehidupan. Bukan saja karena seperti yang disebutkan Eliade bahwa manusia modern juga tetap hidup dalam simbol dan mitos dalam warna baru (Eliade, 1966:37-38).iv, namun masyarakat Indonesia justru tetap hidup dalam kerangka mitos dan simbol yang supranatural. Bukan juga hanya karena sebuah rasa frustrasi, seperti pandangan beberapa ahli tentang perkembangan zaman bahwa semakin berkembang rasio manusia, semakin dirasakan suatu kebutuhan akan sesuatu yang nonrasional, walaupun hal ini dapat menjelaskan bagaimana manusia Barat modern sekarang ini banyak berorientasi kepada sesuatu yang irrasional. Walaupun mungkin hal itu tetap mempengaruhi, namun masyarakat Indonesia selalu berada dalam perpaduan antara yang rasional dan irrasional, antara yang sakral dan yang profan.

Metode Eliade dalam Kerangka Dialog Umat Beragama di Indonesia

Mencari kembali makna mitos dalam agama-agama menjadi sebuah pendekatan yang dikembangkan dalam rangka dialog antar umat beragama. Dalam rangka kehidupan umat beragama pada masa kini dengan fenomena beragama menjadi sangat beragam. Kalau dalam masyarakat purba, simbol dan mitos memainkan peranan yang sama dalam sebuah komunitas, pada masa sekarang ini makna simbol dan mitos peran-peran tersebut telah berbeda. Sebuah persoalan dalam kerangka dialog antar umat beragama pada masa ini adalah dalam persoalan tentang simbol-simbol ini - simbol-simbol keagamaan yang menjadi pertentangan - khususnya karena dunia simbol dekat dengan masyarakat Indonesia.

Jika dihubungkan dengan pandangan beberapa ahli agama/teolog seperti Raimundo Panikkar tentang dialog yang dialogis, pendekatan Eliade merupakan pendekatan yang sangat berguna. Pannikar melihat bahwa untuk memiliki visi yang tak terdistorsi tentang realitas dalam pengalaman manusia, kita tidak bisa secara eksklusif hanya berpijak kepada kesadaran kita semata,

(9)

melainkan perlu memadukan kesadaran orang lain tentang diri mereka dan dunia (Panikkar, 2000:202). Walaupun perbedaan antara Eliade dengan Panikkar sangat besar karena Panikkar melihat bahwa realitas hakiki secara universal berbeda. Eliade lebih dekat dengan John Hick, Paul Knitter, Langdon Gilkey, W.C. Smith atau Stanley S. Samartha dengan pandangan tentang bentuk yang berbeda-beda tentang realitas yang satu dan pengalaman mistik memberikan dasar dalam hubungan agama-agama.

Dialog tidak akan mungkin terjadi ketika seseorang tidak memberikan pemahaman tentang yang sakral dalam agama orang lain. Juga dialog mensyaratkan bahwa ada yang perlu diberikan dan dijelaskan kepada orang lain tentang diri sendiri. Pengalaman yang sakral dari orang yang beragama lain, mungkin tidak berarti apa-apa bagi bagi agama yang lain, namun dengan membiarkan diri mengerti melalui perspektif orang beriman, apa yang dimaksudkan dalam dialog tersebut menjadi sesuatu yang berarti. Terlibat dalam dialog berarti didorong kepada upaya untuk menafsirkan lambang-lambang seseorang bukan dengan maksud menyisihkan atau melanggar yang lainnya (Gilkey, 2001:64). Seseorang yang beragama Kristen tidak dapat mengasumsikan bahwa ia tahu dengan sempurna apa yang dimaksud oleh seorang Budhis ketika berbicara tentang nirvana, juga seorang Muslim tidak dapat diharapkan dapat langsung mengerti tentang Trinitas dalam ajaran Kristen. Ada mitos dan simbol tertentu dalam setiap agama yang bukan dalam tingkatan evolusi melainkan merupakan sesuatu yang sakral yang selalu mendominasi kehidupan profan masyarakat.

Pandangan Eliade tentang manusia modern yang tidak kehilangan kemampuan menjangkau pengalaman religius mendasari pemikirannya bahwa seorang pemikir modern perlu mengorientasikan tugasnya bukan untuk mencari pengalaman religius, juga bukan untuk memulihkan bahasa religius melainkan terletak pada cara-cara untuk menyelidiki lambang-lambang religius, yaitu mitos-mitos, simbol-simbol dan ritus-ritus yang mampu mengungkapkan berbagai nilai aktual, sehingga dapat memberikan suatu inspirasi baru kepada manusia untuk saling memahami dan bertindak. Pandangan ini dapat dihubungkan dengan pandangan Smith yang mengatakan bahwa sebagai seorang sejarah agama, yang meneliti berbagai masa atau era, meskipun terdapat variasi, jarang sekali terdapat ketidaksadaran radikal terhadap dimensi transenden, baik dulu maupun sekarang (Smith, 2001:91). Karena itu para pemikir modern harus berpartisipasi dalam suatu dialog eksterior dengan manusia religius dan kebudayaan-kebudayaan purba. Selain itu mereka juga harus mengadakan dialog interior dengan kerohanian itu sendiri yang berada di dalam imajinasi dan alam bawah sadar manusia. Dalam melaksanakan tugasnya, para pemikir modern dituntut untuk menemukan suatu pendekatan filosofis baru, berbicara dalam suatu bahasa filosofis yang baru dan membicarakan suatu daftar acara filosofis yang baru pula. Eliade melihat bahwa para pemikir modern perlu merefleksikan fenomena-fenomena modern yang fundamental untuk suatu pendobrakan yang kreatif, pada penemuan alam-alam makna yang baru, pada suatu antropologi filosofis yang baru.

Pandangan ini memberikan gambaran bahwa gerak kembali kepada masa lalu bukan berarti menjadi sama dengan masa lalu, tetapi dalam kerangka refleksi untuk suatu antropologis filosofis baru. Kerangka dialog antar umat beragama yang tetap mempertahankan kekhasan masa lalu sebagai sesuatu yang harus diulang secara material dalam konteks modern bukanlah merupakan tujuan Eliade. Dialog eksterior dan dialog interior merupakan hal yang perlu dikembangkan dalam kerangka dialog antar umat beragama. Jika kita sebutkan simbol dan mitos merupakan sesuatu yang khas dan unik, maka berbagai pendekatan dalam studi pluralisme agama memang memperlihatkan bahwa aspek simbol dan mitos merupakan sesuatu yang harus dipercakapkan.v

Upaya-upaya ini mengandaikan bahwa semua agama mempunyai keunikan tersendiri dan selalu harus menempatkan diri secara terbuka untuk melihat dimensi esoteris dari agama lain.

Namun kerangka dialog antar umat beragama tersebut tidak tinggal dalam pemikiran yang simbolistis dan mistis tetapi hal tersebut mengarah kepada penafsiran antropologis filosofis secara baru, yang sakral ada dalam dunia profan. Dialog dalam rumusan tema-tema humanisme memang merupakan sumbangan agama-gama yang sangat berarti. Namun dalam dialog seperti ada kemungkinan untuk melupakan dasar dan makna supranatural agama sendiri, dan kemungkinan untuk menjadi sekular saja selalu terbuka. Iman kepada yang supranatural menjadi sebuah yang

(10)

Jika iman bisa dilepaskan begitu saja, hal ini juga mensyaratkan bahwa iman sebenarnya tidak mempunyai pengaruh yang fundamental dalam kehidupan kemanusiaan. Di lain pihak, menjadi fundamental dengan hanya melihat simbol dan mitos agamanya sendiri sebagai yang benar akan menyebabkan dialog antar agama hanya sebagai wacana surgawi, bahkan akan mengakibatkan pandangan yang menyalahkan atau merendahkan mitos dan simbol agama lain. Karena itu kerangka dialog antar umat beragama adalah dialog eksterior dan dialog interior, dialog yang sakral dan yang profan dalam agama-agama, dialog yang membicarakan kembali pemikiran mistis agama-agama serta menerjemahkannya untuk kepentingan antropologis yang baru.

Panikkar menyebutkan bahwa perjumpaan agama tidak hanya berhenti dalam dimensi historis, tetapi merupakan dialog yang hidup, yang kreatif untuk jalan-jalan baru yang imajinatif, yang tidak memutuskan hubungan dengan masa lampau melainkan meneruskannya dan mengembangkannya (Panikkar, 1994:66). Dengan demikian dialog religius harus berada dalam suasana yang autentik, tanpa superioritas dan lepas dari praduga. Dialog religius adalah mendengarkan dan mengobservasi, berbicara, mengoreksi dan dikoreksi untuk saling pengertian.

Selain itu dialog religius juga harus bersifat religius, bukan sekedar pertukaran opini-opini intelektual. Dengan demikian dialog harus bergerak dari sikap religius seseorang ke dasar sikap religius yang sama dalamnya dari partner dialog. Adalah tidak mungkin memahami secara rasional saja sesuatu yang dinyatakan lebih dari rasionalitas belaka tanpa jatuh kepada irrasionalitas (Panikkar, 1994:93).

Dengan demikian dengan tidak melupakan berbagai kelemahan pandangannya, Eliade memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam melihat dialog antar agama. Karena dengan mengembangkan pendekatan Eliade, dialog bukan hanya menjadi dialog pemeluk agama, tetapi juga dialog religius yang menyentuh mitos dan simbol dalam keberagamaan. Pendekatan universalisme Eliade memungkinkan adanya pemahaman yang tidak apriori terhadap simbol dan mitos agama lain, tetapi memberikan saling pengertian antara sesama umat beragama.

Secara khusus, hal ini penting dalam konsep dialog antar umat beragama di Indonesia.

Konflik masyarakat Indonesia di satu sisi sering menjadikan agama sebagai topeng untuk menyatakan kesahihan perbuatannya. Walaupun di sisi lain potensi konflik agama memang besar dalam masyarakat Indonesia. Pendekatan dengan melibatkan yang sakral dan yang profan ini akan memberikan suasana baru dalam hubungan agama-agama di Indonesia.

Subjektivitas dan Pengalaman Beragama

Dengan melihat studi agama Eliade, mungkin kita bisa mengatakan bahwa pemeluk agama mempunyai peranan yang sangat penting sebagai subjek. Di satu sisi hal ini mungkin akan mengakibatkan sebuah relativitas yang mutlak, sebuah kecenderungan untuk mengklaim diri sebagai pemilik simbol dan mitos paling benar. Namun penolakan Eliade tentang evolusionisme tidak dapat dilupakan, walaupun dalam beberapa karyanya, Eliade secara implisit melihat bahwa agama Kristen mempunyai keunggulan dalam beberapa mitos dan simbol. Penolakan terhadap evolusionisme memberikan indikasi bahwa seseorang harus menempatkan diri bukan sebagai yang paling lengkap atau paling benar. Klaim seperti ini dekat dengan masyarakat Indonesia sehingga dalam tatanan praktis secara historis, ada banyak tindakan separatis, politis dan perjuangannya lainnya untuk menjadikan simbol sebuah agama menjadi sebuah yang benar.

Eliade ini mempunyai kedekatan dengan etos postmodern yang melihat nilai kebenaran bukan semata-mata dalam kerangka universal. Mungkin muncul pertanyaan tentang bagaimana pandangan Eliade tentang universalisme yang ada dalam berbagai agama? Dalam hal ini harus tetap diingat bahwa Eliade tidak hendak menyatakan bahwa universalisme tersebut bukan dalam rangka membenarkan tradisi melainkan mencoba melihat berbagai kesamaan arketipe manusia purba.

Walaupun dengan pemahaman ini kemungkinan untuk melihat pengalaman religius, sebuah hierofani, menjadikan simbol dan mitos sendiri sebagai sesuatu yang universal, harus tetap diingat bahwa hal itu juga mengindikasikan bahwa agama lain memiliki hierofani juga. Dengan demikian universalisme Eliade bukan pertama-tama hendak menyatakan bahwa sebuah hierofani mutlak benar secara universal, melainkan setiap hierofani adalah benar pada dirinya.

(11)

Namun dalam konteks keberagamaan pluralis, studi agama sebaiknya tidak hanya membicarakan pengalaman agamawi, karena bagaimanapun juga pengalaman religius adalah hadir di dunia, untuk manusia dan kehidupannya. Sebagaimana disebutkan Frank Whaling tentang konteks global studi agama bahwa menatap dunia secara empati melalui mata orang dari kebudayaan lain sangat berguna untuk memperbaharui pandangan dunia seseorang dan ini membantu usaha pencarian kesatuan dalam keragaman pandangan dunia yang ada (Whaling, 200:

543). Pengalaman agama yang subjektif hendaknya tidak menjadi dasar untuk menyatakan pengalaman agama lain sebagai ‘yang salah’ atau ‘kurang benar’. Namun sebaliknya kesadaran bahwa setiap agama mempunyai cara khas dalam pengalaman agamawi, dalam pengungkapan yang sakral di dunia profan, akan membuka paradigma melihat luas dan dalamnya pengalaman tersebut, dengan mengakui adanya peran subjek yang kemungkinan bersifat subjektif.

Penutup

Dengan melihat pendekatan Eliade dalam studi agama, dengan tidak meninggalkan kekurangannya, dapat dilihat berbagai aplikasi positif bagi studi agama-agama di Indonesia, khususnya dalam membangun relasi yang baik antar umat beragama. Studi agama yang hanya menekankan satu sisi dari dunia sakral atau dunia profan akan kehilangan fungsinya sebagai studi agama. Karena itu pendekatan Eliade tentang hal ini memungkinkan ketidakterpisahannya dalam studi agama, walaupun dalam kerangka praktis dialog beragama pasti akan banyak tantangan.

Pendekatan Eliade memberikan sebuah inspirasi bahwa keberagamaan universal bukan menjadi sebuah alasan dogmatis atau juga apologetis membenarkan diri, melainkan sebagai langkah awal yang menandai adanya kebersamaan dalam agama untuk kehidupan manusia. Tinggal di masa lalu dan tetap hidup dalam mitos formal masa lalu bukan tujuan Eliade. Penemuan bentuk-bentuk baru dalam masyarakat modern dengan tidak meninggalkan arketipe sakral seharusnya menjadi fokus studi agama demi kepentingan humanisme universal di dunia yang profan.

Daftar Pustaka

Dillistone, F.W. The Power of Simbol, Yogyakarta : Kanisius, 2002

Eliade, Mircea. “Myths, Dreams and Mysteries”, dalam F.W. Dillistone, (ed), Myth and Symbol, London : SPCK, 1966

Eliade, Mircea. Mitos Gerak Kembali Yang Abadi, Yogyakarta : Ikon, 2002

Eliade, Mircea. Patterns in Comparative Religion, New York : Meridian Books, 1963

Gilkey, L. “Pluralitas dan Implikasi-implikasi Teologisnya”, dalam John Hick & Paul F. Knitter, (peny), Mitos Keunikan Agama Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001

Kung, Hans. Sigmund Freud vis-à-vis Tuhan, Yogyakarta : IRCiSoD, 2003 Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion, Yogyakarta : Qalam, 2001

Panikkar, R. “Dialog yang Dialogis”, dalam A. N. Permata, Metodologi Studi Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000

Panikkar, R. Dialog Intra Religius, Yogyakarta : Kanisius, 1994 Parrinder, G. (ed), World Religions, New York : Facts of File, 1985 Sumarjdo, J. Arkeologi Budaya Indonesia, Yogyakarta : Qalam, 2002

Susanto, P.S.H. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta : Kanisius, 1987 Van Peursen, C.A. Strategi Kebudayaan, Jakarta : BPK & Yogyakarta : Kanisius, 1976

Waardenburg, J. “Symbolic Aspects of Myth”, dalam Alan M. Olson (ed), Myth, Symbol and Reality, Notre Dame : University of Notre Dame Press, 1980

Whaling, F. “Studi Agama dalam Konteks Global”, dalam A.N. Permata, Metodologi Studi Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000

i Eliade melihat bahwa hal ini juga yang mendasari mengapa Yakub ketika bermimpi naik tangga ke sorga, ia kemudian memberikan tanda di tempat itu, sebuah simbol hierofani, yang sakral hadir di dunia profan.

ii Eliade juga meneliti berbagai daerah di Indonesia sebagai bagian dari ilmu agamanya, seperti Bali, Timor, Seram dan Kei (dekat Irian Jaya).

iii Bnd. Analisis Clifford Geertz, dalam bukunya yang berjudul Agama Sebagai Sistem Budaya. Perhatian Geertz yang besar terhadap agama, sehingga Daniel Pals mengatakan bahwa mungkin tidak ada sarjana Eropa yang lebih besar dari

(12)

iv Bnd. pendapat Eliade bahwa komunisme Marxis berhubungan dengan mitos eskatologi di dunia Timur Tengah dan Mediterania. Hal itu berhubungan dengan mitos Golden Age yang dipengaruhi ideology Judeo-Christianity.

v Misalnya buku The Myth of Christian Uniqueness (peny. John Hick & Paul Knitter), atau buku Christian Uniqueness Reconsiderd : the Myth of a Pluralistic theology of religion (peny. Cavin D’Costa), yang mencoba melihat berbagai tema yang dapat menjembatani agama-agama untuk menafsirkan keunikan agama Kristen secara baru (keduanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Atau juga buku Membongkar Mitos Masyarakat Madani, yang mencoba melihat mitos masyarakat madani seperti mitos ratu adil dalam penciptaan masyarakat ideal Indonesia secara rasionalisasi.

Referensi

Dokumen terkait

2 Tahun 2008 tetang Partai Politik, bahwa yang disebut partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara

Hasil penelitian sebelumnya menunjukan hasil dengan kategori yang sama untuk varietas Batu tegi dimana memiliki jumlah anakan, jumlah malai per rumpun dan bobot 1000 biji rendah

Potensi di bidang industri pertambangan tersebut membutuhkan strategi perencanaan dan pengembangan yang lebih komprehensif yang mempertimbangkan beberapa aspek,

• Produsen sabun mulai memikirkan untuk memudahkan konsumen dengan membuat bentuk sabun yang mudah dipegang dan juga menampilkan informasi sabun pada tampilan

Pada bagian bagian duodenum kelompok P1 (dosis 50 mg/kg BB) ditemukan pelebaran lamina propria, penebalan epitel mukus, penyatuan vili, penumpukan limfosit dan

Dengan teorema ini, nilai integral tertentu lebih mudah diketahui. Bukti teorema di atas adalah

Kecamatan Pelabuhan Ratu merupakan kecamatan perikanan tangkap yang paling produktif di banding dengan kecamatan pesisir yang lainnya, dengan jumlah nelayan kurang lebih 4.489

Kondisi ini membaik dari tahun 2007 hingga 2011 menunjukkan penurunan angka debt to equity ratio yang berarti penurunan resiko financial perusahaan. Net