• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Pembelajaran Sains 1. Pengertian Pembelajaran

Kegiatan belajar selalu melibatkan pembelajar yang berinteraksi dengan guru atau sumber belajar. Sifat dari belajar adalah disengaja, dan disadari sehingga hasilnya dapat dirasakan dan diukur. Proses belajar selalu menghasilkan perubahan, baik perubahan intelektual, sikap, mental, maupun tingkah laku. Sebagaimana teori konsep belajar Kimbel (1964) yang disampaikan oleh Supriadie dan Darmawan (2012:27), bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku, perubahan yang disadari akibat praktik, pengalaman, latihan, dan bukan secara kebetulan.

Belajar didefinisikan oleh Kimbel dan Garmezi (1963) dalam Supriadie dan Darmawan (2012:27): “Learning is a relatively permanent change in s behavioral tendency and is a relativity in reinforced practice.”

Belajar adalah suatu perubahan yang relatif dan permanen dalam suatu kecenderungan tingkah laku sebagai hasil dari praktik dan latihan.

Aktivitas belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan memadukan unsur manusiawi berupa interaksi antara siswa dan guru. Interaksi edukatif ini berlangsung dengan memanfaatkan sumber belajar baik berupa tekstual, lisan, maupun empiris. Komponen- komponen pengajaran tersebut diperankan secara optimal guna melaksanakan pembelajaran, (Djamarah dan Zain, 2002:43).

Pembelajaran ialah suatu kombinasi yang tersusun dari unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran juga merupakan proses transfer ilmu dua arah, yakni antara guru sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi, (Hamalik, O., 2005:57). Pembelajaran yang optimal perlu diusahakan oleh penciptanya, yakni guru. Sehingga seorang guru harus mempersiapkan detail komponen pengajaran yang dapat mendukung situasi pembelajaran yang

11

(2)

menggairahkan dan menyenangkan bagi anak didik, sehingga tercipta pembelajaran yang harmonis.

2. Hakikat Belajar Sains

Sains alam atau IPA mempelajari alam semesta, benda-benda yang ada di permukaan bumi, di dalam perut bumi dan di luar angkasa, baik yang dapat diamati oleh indera maupun yang tidak diindera. Oleh karena itu, dalam menjelaskan hakikat biologi, pengertian IPA dipahami terlebih dahulu. IPA atau ilmu kealaman adalah ilmu tentang dunia zat, baik makhluk hidup maupun benda mati yang diamati, (Kardi dan Nur, 1994 :1 dalam Trianto, 2011:136).

Mumpuni (2013), menyebutkan bahwa kompetensi pembelajaran biologi memuat tentang pentingya keterampilan proses. Pada UU No.22 tahun 2006 terkait dengan kompetensi biologi SMA, yaitu menyediakan berbagai pengalaman belajar untuk memahami konsep dan proses sains, dimana tidak hanya kognitif tetapi aspek afektif dan psikomotorik juga sangat diperlukan dalam menyikapi perkembangan jaman. Hal yang sama dijelaskan oleh Rustaman (2002) dalam Mumpuni (2013) dimana konstitusi biologi adalah aspek proses sains (hands on), produk sains (minds on) dan sikap sains (hearts on).

Biologi merupakan bagian dari IPA mempunyai sifat khas dibandingkan dengan sains alam lainnya, yakni kajian makhluk hidup, lingkungan, serta interaksi dan tingkah laku yang saling mempengaruhi antar keduanya. Sehingga dalam belajar biologi perlu adanya pemilihan prinsip-prinsip belajar. Dalam mempelajari biologi mencakup dua bagian yan penting yaitu bagian teori yang mempelajari fakta, konsep, dan menggunakan konsep dan prinsip untuk menyelesaikan soal-soal biologi.

Dalam satu konsep baru terbentuk pemahaman terhadap konsep sebelumnya sehingga konsep biologi tersusun sistematis. Maka, dalam belajar biologi yang terputus-putus akan mengganggu terjadinya proses belajar, dan proses belajar itu sendiri dilakukan secara kontinu.

(3)

Pembelajaran sains diharapkan dapat memberikan keterampilan (psikomotorik), kemampuan sikap ilmiah (afektif), pemahaman, kebiasaan dan apresiasi. Sains juga dipandang sebagai suatu proses, sebagai produk, dan sebagai prosedur. Pada hakikatnya, IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Selain itu, IPA dipandang pula dipandang proses, sebagai produk, dan sebagai prosedur, (Donosepoetro, 1990:6 dalam Trianto, 2011:137). Sebagai proses diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan pengetahuan baru. Sebagai produk diartikan sebagai hasil proses, berupa pengetahuan yang diajarkan dalam sekolah atau di luar sekolah ataupun bahan bacaan untuk menyebarkan pengetahuan. Sebagai prosedur adalah metodologi atau cara yang dipakai untuk mengetahui suatu riset yang lazim disebut metode ilmiah, (Trianto, 2011:137).

Sementara itu, menurut Prihantoro, dkk. (1986 dalam Trianto, 2011:137) mengatakan bahwa IPA hakikatnya merupakan suatu produk, proses, dan aplikasi. Sebagai produk, IPA merupakan sekumpulan pengetahuan dan sekumpulan konsep dan bagan konsep. Sebagai proses, IPA merupakan proses yang dipergunakan untuk mempelajari objek studi, menemukan dan mengembangkan produk-produk sains. Sebagai aplikasi, teori-teori IPA akan melahirkan teknologi yang dapat mempermudah kehidupan dunia, (Trianto, 2011:137).

Semakin jelas bahwa hakikat IPA semata-mata tidaklah pada dimensi pengetahuan (keilmuan), tetapi IPA lebih menekankan pada dimensi nilai ukhrawi, di mana dengan memperhatikan keteraturan alam semesta, akan semakin meningkatkan keyakinan akan adanya sebuah kekuatan yang mahadahsyat yang tidak dapat dibantah lagi, yaitu Allah SWT. Dengan dimensi ini, IPA menautkan antara aspek logika-materiil dengan aspek jiwa-spiritual, yang sementara ini dianggap cakrawala kosong, karena suatu anggapan antara IPA dan agama merupakan dua sisi yang berbeda dan tidak mungkin dipersatukan satu sama lain dalam bidang kajian. Padahal senyatanya terdapat benang merah antara keduanya, (Trianto, 2011:138).

(4)

Nilai-nilai IPA yang ditanamkan dalam pembelajaran IPA antara lain sebagai berikut.

1. Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis menurut langkah-langkah metode ilmiah.

2. Keterampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan, mempergunakan alat-alat eksperimen untuk memecahkan permasalahan.

3. Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan masalah baik dalam kaitannya pelajaran sains maupun dalam kehidupan, (Laksmi, 1986 dalam Trianto, 2011:141-142).

B. Sains Asli (Indigenous Science)

Sains asli (indigenous science atau cultural science atau ethnoscience) didefinisikan sebagai tanggapan rasional secara kolektif tentang realitas yang tergantung pada budaya. Tanggapan ini dapat berupa tindakan mengkonstruksi realitas dan bangun realitas itu sendiri. Kolektif disini berarti diyakini dan digunakan oleh banyak orang dan tidak tergantung dari pikiran pribadi atau kelompok kecil. Seterusnya, Snively dan Corsiglia (2001) membedakan sains intuitif menjadi dua jenis, yaitu: (1) sains pribadi atau personal science; dan (2) sains tradisional atau sains asli atau pseudo science.

Hardestey dalam Snively dan Corsiglia (2001) menyebut sains asli sebagai etnosains (ethnoscience), yang dijelaskan sebagai studi sistem pengetahuan yang dikembangkan dari perspektif budaya setempat berkenaan dengan pengklasifikasian objek-objek dan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan fenomena alam. Sains asli menginterpretasi bagaimana dunia lokal bekerja melalui perspektif budaya khusus. Sains asli juga memiliki proses- proses seperti observasi, klasifikasi, serta pemecahan masalah dengan memasukkan semua aspek budaya asli mereka.

Sains asli ada dalam berbagai kehidupan masyarakat tradisional seperti ekosistem, botani, pengobatan, hortikultura, agrikultura, klimatologi, dan sebagainya yang diperoleh melalui kegiatan observasi, bertanya, klasifikasi, menyimpulkan, memprediksi, pemecahan masalah, dan

(5)

sebagainya. Pengetahuan tradisional ini biasanya dituntun oleh kearifan tradisional (traditional wisdom) yang berisi nilai-nilai perhatian, etika, kontrol saling berbagi, harmoni, toleransi, holistik, dan spiritualitas Snively dan Corsiglia (2001:12). Sains asli erat hubungannya dengan kearifan lokal yang diujikan dalam lingkup pendidikan. Menurut Wahyu (2005:8), kelebihan kearifan lokal diperoleh dari hasil uji coba yang terus-menerus dan bersifat lokal. Kelebihannya terletak pada sifatnya yang lentur dan tahan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan, sehingga dalam pemanfaatannya, sumber daya alam dan lingkungan dapat berkelanjutan.

Pengetahuan lokal juga lebih mengarah pada penyesuaian terhadap sistem ekologi, sehingga dapat menjaga keberlanjutan sistem ekologi tersebut.

Sains lokal merupakan pengalaman hidup (eksperimen alamiah) selama bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses adaptasi dengan lingkungan alam maupun budaya di mana mereka berada. Orangtua mentransformasikan pengetahuan sains asli melalui tradisi oral kepada generasi berikutnya dan pengalaman konkrit dalam berinteraksi dengan lingkungannya, (Suastra, 2008). Pembelajaran berbasis potensi keunggulan lokal merupakan penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan sains dalam potensi dan keunggulan lokal sebagai bagian dari proses pembelajaran. Pendekatan ini didasarkan pada pengakuan terhadap potensi keunggulan lokal sebagai bagian yang fundamental dalam pendidikan, ekspresi, dan komunikasi gagasan, serta perkembangan pengetahuan. Pelaksanaan pembelajaran berbasis sains lokal, keadaan setempat diintegrasikan sebagai alat bagi proses belajar untuk memotivasi siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan, bekerja secara kooperatif, dan mempersepsikan keterkaitan antara berbagai bidang ilmu.

Pembelajaran berbasis sains lokal juga mendorong terjadinya proses imaginatif, metaforik, berpikir kreatif, dan juga sadar budaya.

Pembelajaran berbasis budaya menjadikan proses belajar sebagai tempat untuk mengeksplorasi bagi siswa maupun guru dalam mencapai pemahaman dan mencapai pengertian secara rasional ilmiah dalam bidang ilmu tertentu, juga mewujudkan pengembangan keterampilan sampai tercapai

(6)

keahlian, serta mencari strategi untuk mencapai pemahaman dan mengembangkan keterampilan tersebut. Pembelajaran berbasis sains lokal juga menjadikan potensi/keunggulan/budaya setempat sebagai arena bagi peserta didik untuk mentransformasikan hasil observasi mereka ke dalam bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip yang kreatif tentang alam dan kehidupan.

C. Pembelajaran Berbasis Potensi Keunggulan Lokal Pengelolaan Tambang Batu Kapur

1. Pembelajaran Berbasis Keunggulan Lokal

Keunggulan lokal adalah segala sesuatu yang menjadi ciri khas kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi, komunikasi, ekosistem, dsb. Keunggulan lokal dapat berupa hasil bumi, kreasi seni, tradisi, budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia, atau lain sebagainya yang menjadi keunggulan suatu daerah, (Dwitagama, 2007 dalam Asmani, 2012:29). Adapun pengertian lain menyebutkan bahwa keunggulan lokal adalah potensi suatu daerah untuk menjadi produk atau jasa yang bernilai dan dapat menambah penghasilan daerah dan bersifat unik serta kompetitif, (Ahmadi, Amri dan Elisah, 2012 dalam Mumpuni, 2013).

Sumber belajar melalui potensi lokal merupakan sarana belajar yang membantu siswa mengaitkan materi yang dipelajari dengan keadaan nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan (Ahmadi, Amri dan Elisah, 2012 dalam Mumpuni, 2013).

Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal yang berupa aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi komunikasi dan informasi, ekosistem, dan lain-lain yang bermanfaat bagi perkembangan kompetensi peserta didik, (Asmani, 2012:29-30). Sehingga pendidikan sains lokal adalah hasil uji coba yang terus-menerus dan bersifat lokal, bukan universal, (Squire, K.D. 2003).

Subahan (1997 dalam Erman 2013) mengatakan bahwa pelajar-pelajar kurang berminat dengan mata pelajaran sains, karena mereka menganggap

(7)

pelajaran sains adalah sukar dan susah dalam memahami materi secara efektif. Ide-ide pelajar didapati tidak tepat dan berbeda dari ide-ide saintifik yang menjelaskan sesuatu fenomena yang dialami para pelajar.

Karakteristik utama pembelajaran berbasis sains lokal adalah dengan dimasukannya unsur-unsur lokal berupa adat/tradisi/budaya/

potensi/keunggulan setempat ke dalam proses pembelajaran, mulai dari bahan ajar yang disesuaikan dengan dengan obejk sains lokal setempat, metode pengajaran yang menuntut siswa untuk mampu mengombinasikan keunggulan lokal dengan konsep pelajaran yang dipelajarinya, serta berbagai media pembelajaran yang secara tidak langsung dapat memadukan keunggulan lokal dengan pelajaran yang diajarkan di sekolah.

Pembelajaran berbasis keunggulan lokal merupakan penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan keunggulan lokal sebagai bagian dari proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis keunggulan lokal, budaya diintegrasikan sebagai alat bagi proses belajar untuk memotivasi siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan. Suastra (2005) mengatakan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat asli penuh dengan nilai-nilai kearifan (lokal genius).

Tujuan penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL) adalah agar siswa mengetahui keunggulan lokal daerah tempat mereka tinggal, memahami aspek yang berhubungan dengan keunggulan lokal tersebut. Mampu mengolah sumber daya, terlibat dalam pelayanan/jasa atau kegiatan lain yang berkaitan dengan keunggulan lokal sehingga memperoleh penghasilan sekaligus melestarikan budaya, tradisi, dan sumber daya yang menjadi unggulan daerah, serta mampu bersaing secara nasional maupun global, (Asmani 2012:41).

Tujuan PBKL lain yaitu untuk menerapkan sebuah kerangka pembelajaran yang menempatkan intruksi sains sekolah formal dalam konteks sains lokal untuk mendukung kosep pembelajaran dan mersangsang kemenarikan siswa dalam sains. Secara khusus, tujuan sains lokal menurut Erinosho (2013), adalah untuk memperpanjang batas ilmu

(8)

sekolah dengan komunitas lokal menggunakan contoh konsep ilmu adat untuk memperkuat pengajaran konsep sains sekolah dan menilai dampaknya pada pembelajaran kognitif dan minat siswa terhadap ilmu pengetahuan.

Adapun beberapa landasan PBKL, di antaranya adalah sebagai berikut, (Asmani 2012:42-43).

1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan.

2. PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi dalam bidang pendidikan.

3. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Bab XIV Pasal 50 Ayat 5 menegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis pendidikan lokal.

4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 Bab III Pasal 14 Ayat 1 bahwa kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh seorang guru dalam melaksanakan proses pembelajaran berbasis sains budaya lokal yaitu (1) mempersiapkan materi sesuai dengan kondisi budaya masyarakat sekitar yang akan diamati; (2) membuat bahan ajar biologi yang diintegrasikan dengan kebudayaan lokal yang akan diamati; (3) merancang rencana pembelajaran yang akan digunakan selaras dengan tuntutan tujuan pembelajaran; (4) pemilihan media pembelajaran (video) yang menuntut siswa untuk mampu mengintegrasikan kebudayaan lokal dengan konsep pelajaran yang dipelajarinya disekolah; (5) pembelajaran dimulai dengan mengeksplorasi pengetahuan awal siswa terhadap budaya yang diintegra- sikan dalam pembelajaran sains serta menuntun siswa untuk menghubung- kan budayanya menuju konsep ilmiah, (Wahidin, 2006:192-193).

Guru harus mempraktikkan banyak metodologi lain supaya berpengalaman sehingga bisa menilai keunggulan dan kelemahan masing-

(9)

masing metode. Pada program PBKL ini, anak harus mengamati potensi alam dan sosial, sehingga outdoor learning harus sering dilakukan. Guru mesti menerapkan pembelajaran yang menyenangkan supaya anak didik tidak bosan, jenuh, dalam lari dari pelajaran. PAIKEM (Pembelajaran aktif, inovatif, dan menyenangkan) harus diaplikasikan dengan baik, (Asmani 2012:118).

Membawa siswa kontak dengan orang-orang adat atau daerah keunggulan lokal dalam proses bersekolah akan membantu mereka untuk menghormati nilai budaya mereka dan untuk mengklarifikasi miskonsepsi mengenai sains lokal sebagai kekurangan nilai, tidak ilmiah, kehilangan pengetahuan yang berguna dan keluar dari alam atau ‘aslinya’ sains.

Terhitung dari sains lokal dalam kurikulum sains dapat memberikan sebuah titik awal dari “rukunnya kembali pengetahuan tradisional dengan sains” dan untuk memunculkan orang-orang yang mengorientasikan perkembangan masyarakat, (Erinosho, dkk. 2013).

2. Pengelolaan Tambang Batu Kapur

Penambangan batu kapur di Gempol, Cirebon dibangun oleh PT.

Indocement pada tahun 1995. Dapat memproduksi semen sebanyak 1,3 juta ton per tahunnya. Batu kapur tersebut diambil dengan mengeruk dan blasting (pemboman) tanah perbukitan dan Gunung Cupang yang seluruhnya tersusun atas batu kapur. Proses produksi semen ini dilakukan dengan mengolah batu kapur, pasir silika, tanah liat, pasir besi, dan gipsum. Batu kapur diperoleh dengan cara menambang Gunung Cupang dan perbukitan di sekitarnya melalui pengeboran dan peledakan yang kemudian dibawa ke mesin giling yang jauh dari pusat tambang kemudian dimasukkan ke tanur untuk ditambahkan material lainnya. Proses selanjutnya yaitu pengeringan dan penggilingan hingga hasilnya menyerupai tepung. Selanjutnya yaitu pembakaran dan pendinginan hingga menghasilkan klinker. Bahan bakar yang digunakan adalah batubara, kecuali semen putih yang menggunakan gas alam. Penggilingan akhir dilakukan dengan mencampurkan gips dalam klinker dengan sistem

(10)

tangki tertutup. Hasil akhir berupa semen yang masuk ke tahap pengantongan dan siap dipasarkan.

Pengolahan limbah cair hasil tambang batu kapur sedikit mengalir ke sungai kecil sehingga berpotensi menurunkan varietas biota air di dalam sungai. Pengolah tambang berusaha menghijaukan kembali lahan bekas tambang yang sudah tak produktif batu kapur dengan cara menanaminya dengan tanaman tahan kalsium pekat, seperti pohon jarak (Jatropha curcas). Penanaman jarak juga bermaksud agar biji jarak yang dihasilkan dapat menjadi energi alternatif dalam aktvitas penambangan. Selain itu, penambang juga tidak seutuhnya hanya menggunakan batubara sebagai bahan bakar, tetapi juga menggunakan sekam padi dan biogas sebagai energi alternatif agar tidak terlalu menguras sumber daya alam. Dalam penanaman pohon jarak, penambangan tersebut melibatkan 80%

masyarakat Gempol. Lereng Gunung Cupang di areal penambangan juga merupakan sumber belerang yang mengalir melalui sungai dan sumber air panas sehingga dijadikan tempat wisata mandi belerang.

Sekitar tahun 2003, kawasan hutan batu kapur Gunung Cupang masih segar dan hijau dengan beberapa cerukan besar yang melukai penampang hijaunya. Kini, hutan batu kapur yang berupa pegunungan itu terus menerus berkurang luasnya dan tingginya akibat aktivitas tambang yang sudah meluas. Hutan yang dulu hijau menjadi hamparan tanah datar berwarna krem (warna kapur) dan udara menjadi penuh debu kapur.

Sesuai yang diutarakan para penambang yang ditemui di daerah pengolahan batu kapur menjadi bubuk kapur, bahwa adanya kegiatan penambangan, terutama penambangan modern sangat mempengaruhi bentuk tanah dan hilangnya pemandangan hijau secara bertahap karena menggunakan teknologi untuk meledakkan bukit kapur. Sedangkan penambangan secara tradisional lebih aman bagi alam, tetapi rentan keselamatan penambang karena minim pengaman. Selanjutnya, dampak dari pengolahan batu kapur yang paling dominan bagi masyarakat adalah debu kapur yang menurunkan jarak pandang, serta memicu gangguan pernapasan. Sehingga, pabrik pengolah batu kapur menjadi kapur bahan

(11)

bangunan semakin sedikit jumlahnya akibat faktor penolakan dari masyarakat. Dengan demikian, para penambang juga mengakui bahwa aktivitas penambangan berdampak buruk bagi lingkungan, terutama gangguan ekosistem, serta mempengaruhi kesehatan manusia.

Solusi untuk meminimalisir kerusakan ekosistem akibat penambangan batu kapur dilakukan dengan cara merehabilitasi lahan bekas tambang. Untuk merehabilitasi lahan bekas tambang, diperlukan suatu strategi dalam memilih spesies. Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan suatu studi awal untuk melihat apakah spesies tersebut cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti adaptif untuk tambang karena tajuknya terbentuk dengan cepat dan daunnya mudah didekomposisi. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Menurut Lugo (1997), penanaman pohon-pohon akan memberi keuntungan bagi kegiatan rehabilitasi lahan, karena akan memungkinkan terjadinya suksesi “Jump- start” (permulaan yang sangat cepat), memberikan naungan, memodifikasi ekstrim dari kerusakan lahan. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang, maka usaha-usaha seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, aplikasi teknik silvikultur yang benar, dan penggunaan pupuk biologis seperti pemberian mikroriza arbuskular perlu dilakukan, (Rahmawaty, 2002:4).

Hutan bukit kapur adalah hutan yang tumbuh di atas batuan karbonat. Batuan karbonat atau biasa disebut batu gamping atau dolomit, merupakan jenis batuan sedimen yang umumnya terbentuk di lingkungan laut dangkal, (Samodra, 2001 dalam Achmad, 2011). Jika batuan ini mengalami pengangkatan dari permukaan laut, maka ia akan mengalami proses kartilisasi (pelarutan) oleh air hujan sehingga membentuk suatu topografi yang unik yang dikenal dengan istilah karst, (Vermeulen dan Whitten, 1999 dalam Achmad, 2011).

(12)

Bentang alam karst yang menopang vegetasi hutan bukit kapur, merupakan salah satu ekosistem hutan yang rentan terhadap gangguan sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Faktor pembatas yang sangat ekstrim seperti sangat tipisnya permukaan tanah, bahkan pada bagian tertentu lapisan ini tidak dijumpai, serta kondisi mineral yang didominasi oleh karbonat, menyebabkan tumbuhan yang bisa beradaptasi pada habitat tersebut juga sangat spesifik, (Whitten dkk., 1987 dalam Achmad, 2011:7).

Hal inilah yang menyebabkan para ahli ekosistem hutan mengelompokkan hutan bukit kapur sebagai satu ekosistem hutan tersendiri, yang sangat berbeda dengan ekosistem hutan lainnya, (Van Stenis, 1957 dalam Achmad, 2011:8).

Meskipun karst termasuk ekosistem yang rentan terhadap gangguan, tetapi juga sekaligus unik karena merupakan penggabungan dari dua ekosistem, yakni ekosistem hutan di bagian atas (eksokarst) dan ekositem gua di bagian bawah (endokarst). Keanekaragaman jenis dan keberlanjutan perkembangan tumbuhan hutan di bagian atas, selain dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia batuan serta iklim, juga dipengaruhi oleh organisme penghuni gua, terutama oleh kelelawar dan beberapa jenis burung yang melakukan pollinasi dan menyebarkan biji, sehingga tumbuhan bisa tersebar di areal karst. Degradasi keanekaragaman hayati pada ekosistem hutan bukit kapur di kawasan Gempol dipengaruhi oleh kegiatan penambangan.

Menurut Utami (2009) dalam Soewandita (2010:14), sifat biologi tanah adalah sifat tanah yang berhubungan dengan makhluk hidup atau faktor biotik tanah. Sifat biologi tanah yang diukur antara lain mikroorganisme tanah, jumlah bakteri pelarut posfat, jumlah fungi tanah, dan total respirasi tanah. Kegiatan penambangan batu kapur telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada sifat biologi tanah.

Analisis hubungan sains dalam Tambang Batu Kapur dengan konsep materi ekosistem dirinci dalam tabel berikut.

(13)

Tabel 2.1: Analisis hubungan Pengelolaan Tambang Batu Kapur dengan Materi Ekosistem

No. Tambang Batu Kapur Materi Ekosistem

1. Adanya hutan bukit batu kapur

Komponen fungsional dan struktural dalam ekosistem hutan

2. Eksploitasi batu kapur di bukit dan Gunung Cupang

 Interaksi biotik dengan abiotik menurun

 Komponen ekosistem berubah, berimbas pada rantai makanan

3.

Rehabilitasi lahan bekas tambang dengan ditanami pohon jarak

Ekosistem alami dan ekosistem buatan

4. Pembuangan limbah ke sumber air

Ekosistem air tawar menjadi tidak seimbang, biota air menurun karena habitat rusak

5. Debu kapur dan hutan menjadi gundul

 Aliran energi semakin sedikit

 Perubahan iklim mikro

 mempengaruhi siklus hidrologi

 Pencemaran udara 6. Terdapat sumber belerang di

areal tambang batu kapur

Daur sulfur, termasuk dalam siklus biogeokimia

7 Mineral penyusun batu kapur (CaCO3)

 Daur karbon dan oksigen

 Daur fosfor 8 Bekas tambang membuat

gunung menjadi rata

Perubahan penampakan relief bumi (biosfer)

Kelebihan dari penerapan sains keunggulan lokal pengelolaan tambang batu kapur terhadap konsep ekosistem yaitu dapat menjelaskan secara komplit hubungan komponen-komponen dalam ekosistem, aliran energi, serta beberapa siklus yang terjadi dalam suatu ekosistem, seperti siklus hidrologi, sulfur, karbon, dan oksigen yang termasuk dalam daur biogeokimia. Tambang batu kapur sendiri meliputi ekosistem hutan batu

(14)

kapur. Dampak dari tambang batu kapur sendiri dapat menyebabkan perubahan iklim mikro di Daerah Gempol, seperti daerahnya menjadi panas dan berdebu. Kekurangannya yaitu areal tambang kapur yang tertutup untuk masyarakat umum maupun pelajar sehingga tidak bisa dilakukan observasi atau pengamatan jarak dekat untuk lebih mengetahui aktivitas penambangan, pengolahan kapur serta dampaknya terhadap perubahan ekosistem hutan bukit batu kapur.

D. Hakikat Hasil Belajar

Hasil belajar adalah kemampuan siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar. Hasil belajar siswa dapat ditentukan oleh pengalaman belajar yang dialami oleh siswa tersebut, berupa penguasaan materi (pengetahuan), kemampuan maupun sikap yang dapat menimbulkan perubahan tingkah laku yang positif dan adaptasi. Hasil belajar menurut Gagne yang termuat dalam Dahar (2011:118) merupakan lima kemampuan yang harus dicapai siswa, yaitu keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, informasi verbal, dan keterampilan motorik.

Benjamin Bloom (dalam Sudjana, 2002:50-54) membagi hasil belajar menjadi tiga ranah, yaitu: (a) ranah kognitif: berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Kedua aspek pertama termasuk aspek kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi; (b) ranah afektif: berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi dan internalisasi; (c) ranah psikomotorik: berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotor, yakni: 1) gerakan refleks, 2) keterampilan gerakan dasar, 3) kemampuan perseptual, 4) keharmonisan atau ketepatan, 5) gerakan keterampilan kompleks, dan 6) gerakan ekspresif serta interpretatif.

Bukti bahwa seseorang telah mengalami proses belajar adalah adanya perubahan tingkah laku, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu. Tingkah laku memiliki unsur subjektif (rohani) dan unsur motoris (jasmani). Tingkah laku

(15)

manusia sebagai hasil belajar terbagi menjadi beberapa aspek, meliputi pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emoional, hubungan sosial, jasmani, etis atau budi pekerti, dan sikap, (Hamalik, 2013:30). Adapun sifat-sifat dari hasil belajar yang telah dicapai siswa yakni bersifat fungsional atau bertalian satu sama lain tetapi dapat didiskusikan secara terpisah, hasil belajar diterima oleh siswa apabila memberi kepuasan pada kebutuhannya, hasil belajar berguna dan bermakna bagi siswa, hasil belajar dilengkapi dengan serangkaian pengalaman yang dapat dipersamakan atau dipertimbangkan, dan hasil belajar bersifat kompleks, dapat berubah- ubah (adaptable) sehingga tidak sederhana dan statis, (Hamalik, 2013:31-32).

Belajar efektif ditentukan faktor-faktor belajar yang mempengaruhi hasil belajar. Menurut Hamalik (2013:32), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain, faktor kegiatan (didesain oleh guru), asosiasi, pengalaman, kesiapan belajar, minat, usaha siswa, fisiologis (keadaan kesehatan), dan intelegensi.

E. Ekosistem

Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari ekosistem, atau hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi. Jadi, ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi.

Ekosistem terbentuk dari beberapa komponen-komponen pembentuk yaitu komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen abiotik atau komponen tak hidup adalah komponen fisik dan kimia yang merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup. Komponen biotik secara fungsionalnya meliputi 3 jenis

(16)

organisme, yakni produsen, konsumen, dan pengurai (detritivor dan dekomposer). Komponen abiotik atau sering disebut komponen tak hidup adalah faktor tak hidup yang meliputi faktor fisik dan kimia, diantaranya yaitu suhu, sinar matahari, air, tanah, kelembapan, derajat keasaman (pH), ketinggian dan angin.

Komponen biotik adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebut sesuatu yang hidup (organisme). Komponen biotik adalah suatu komponen yang menyusun suatu ekosistem selain komponen abiotik (tidak bernyawa). Berdasarkan peran dan fungsinya, makhluk hidup dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) komponen heterotrof terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya; (2) komponen autotrof yang dikenal sebagai produsen yang dapat mengolah bahan anorganik menjadi senyawa organik berupa zat makanan; dan (3) pengurai atau dekomposer adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati. Pengurai disebut juga konsumen makro (saprofit) karena makanan yang dimakan berukuran lebih besar.

Berdasarkan tingkat kehidupannya, makhluk hidup dapat dikatakan individu atau makhluk hidup tunggal, populasi atau sekumpulan makhluk hidup sama dalam tempat dan waktu yang sama, komunitas atau sekumpulan beberapa jenis makhluk hidup yang menempati suatu daerah dalam waktu yang sama, dan ekosistem atau hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lain dan makhluk hidup dengan lingkungannya.

Interaksi terjadi pada suatu ekosistem, ada yang diuntungkan, dirugikan dan tidak merasa diuntungkan maupun dirugikan, serta adanya persaingan antar komponen penyusun ekosistem. Interaksi-interaksi yang terjadi antar komponen ekosistem, yaitu: 1) simbiosis mutualisme, merupakan interaksi antar organisme yang saling menguntungkan, contohnya adalah kupu-kupu dengan tanaman berbunga; 2) simbiosis komensalisme, merupakan interaksi antar organisme di mana yang satu diuntungkan dan yang lain tidak dirugikan, contohnya tanaman anggrek yang menempel pada pohon mangga;

3) simbiosis parasitisme, merupakan interaksi antar organisme di mana yang

(17)

satu diuntungkan dan yang lain dirugikan, contohnya kutu rambut dengan rambut manusia; 4) kompetisi merupakan hubungan persaingan antar organisme untuk melangsungkan kehidupan, contohnya tanaman padi dengan gulma; 5) predatorisme: interaksi antar organisme, di mana yang satu memakan yang lain, contohnya harimau memangsa rusa; 6) netralisme:

interaksi antar organisme yang saling lepas atau tidak saling memengaruhi, contohnya kambing dan kucing di halaman.

Ekosistem terbentuk dengan adanya komponen biotik atau antara komponen biotik dan abiotik. Ketergantungan antar komponen biotik dapat terjadi melalui rantai makanan, yaitu perpindahan materi dan energi melalui proses makan dan dimakan dengan urutan tertentu. Jaring-jaring makanan, yaitu rantai makanan yang saling berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga membentuk seperi jaring-jaring. Jaring-jaring makanan terjadi karena setiap jenis makhluk hidup tidak hanya memakan satu jenis makhluk hidup lainnya. Energi dalam ekosistem mengalir dari tiap tingkatan trofik organismenya. Terdapat 3 jenis piramida ekologi dalam menjabarkan aliran energi, yaitu piramida energi, piramida biomassa, dan piramida jumlah.

Ketergantungan antara komponen biotik dan abiotik dapat terjadi melalui siklus materi, seperti siklus karbon, siklus air, siklus nitrogen, dan siklus sulfur. Siklus ini berfungsi untuk mencegah suatu bentuk materi menumpuk pada suatu tempat. Ulah manusia telah membuat suatu sistem yang awalnya siklik menjadi nonsiklik, manusia cenderung mengganggu keseimbangan lingkungan.

Whitten (1987) dalam Achmad (2011:1) menyatakan bahwa ekosistem memiliki keanekaragaman sendiri, seperti ekosistem pantai yang didominasi mangrove dan Prescaprae, ekosistem gurun yang didominasi tanaman berduri dan hewan melata, ekosistem hutan hujan tropis, padang rumput (sabana), stepa, hutan batu kapur, dll. Ekosistem hutan bukit kapur merupakan salah satu ekosistem hutan hujan dataran rendah yang unik karena memiliki kondisi morfologi dan sifat batuan yang berbeda dengan tipe ekosistem lainnya.

Ekosistem hutan bukit kapur juga kaya akan potensi sumberdaya non hayati seperti gua dan mineral untuk bahan baku semen dan marmer.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menghasilkan telur dengan berat yang optimal diperlukan pakan dengan kandungan protein pakan yang tinggi, Menurut IP2TP Jakarta (2000) untuk itik periode bertelur,

Secara keseluruhan dari evaluasi produk ini, tujuan yang telah ditetapkan baik oleh lembaga maupun oleh warga belajar dalam program keterampilan menjahit yang

Abstrak Pada kasus-kasus aktual di lapangan, penelitian mengenai kondisi air tanah adalah sulit untuk dilakukan, sehingga untuk mempelajari lebih lanjut mengenai tinggi muka air

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Informan ini menganggap bahwa penggunaan bahasa Inggris dalam iklan Nokia 2600 Classic membuat pesan lebih sampai pada remaja karena bahasa Inggris sangat

Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnīf) dan kodifikasi (tadwīn) ilmu tafsir, hadis, fikih, sastra serta sejarah mengalami perkembangan cukup signifikan di era Al-Mansūr

Termasuk semua hambatan tetap (kolom, elevator, tangga, dan lain-lain). Cari daerah penerima dan pengiriman.. Cari berbagai jenis penyimpanan. Menetapkan bahan-bahan untuk

Pada sistem reproduksi, estrogen dihasilkan terutama oleh sel-sel folikel berukuran kecil, berperan menginduksi sintesa protein kuning telur oleh hati serta bekerjasama