• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan akan jasa penerbangan di kalangan masyarakat Indonesia saat ini sudah tidak lagi menjadi sebuah kebutuhan yang tergolong dalam kebutuhan mewah. Hal ini disebabkan oleh banyaknya maskapai penerbangan yang bermunculan serta menawarkan jasa penerbangan dengan tarif yang rendah. Adanya pilihan maskapai penerbangan murah di Indonesia seperti Lion Air, Citilink dan Air Asia (http://news.detik.com/read/2015/02/23/195617/2840776/103/2/maskapai- lcc-di-indonesia-tarif-murah-vs-pelayanan-dan-keamanan) membuat masyarakat sebagai pemakai jasa dapat memilih jasa maskapai penerbangan yang akan mereka gunakan untuk berpergian dengan biaya yang minim.

Kualitas pelayanan yang diberikan oleh tiap maskapai juga menjadi ladang persaingan untuk menarik dan mempertahankan pelanggan, hal ini dikarenakan tarif jasa penerbangan murah yang relatif sama antar maskapai.

Dengan hal tersebut, kini terlihat setiap maskapai penerbangan saling berlomba untuk memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada para konsumennya. Persaingan antar maskapai tersebut terlihat dari kemudahan konsumen dalam pembelian tiket, kemudahan konsumen untuk melakukan check-in, banyaknya armada yang tersedia untuk mengangkut konsumen, banyaknya rute penerbangan ke berbagai tempat tujuan, ketepatan waktu sesuai dengan jadwal, rapor kecelakaan tiap-tiap maskapai dan lainnya.

PT Indonesia Air Asia (IAA) adalah salah satu perusahaan penerbangan yang ada di Indonesia. PT IAA merupakan kerjasama bisnis antar 2 negara yakni Indonesia dengan Malaysia. Di Indonesia, Air Asia terkenal sebagai maskapai penerbangan yang menerapan sistem LCC (Low

(2)

2 Cost Carrier) yakni maskapai penerbangan dengan konsep biaya rendah.

Rendahnya biaya yang ditawarkan dengan banyaknya rute penerbangan yang di operasikan oleh armada Air Asia menjadikan Air Asia menguasai pangsa pasar masyarakat Indonesia yang menginginkan untuk berpergian dengan menggunakan pesawat namun dengan harga yang rendah. Maskapai penerbangan yang menerapkan sistem LCC juga dikenal sebagai maskapai dengan penerbangan layanan minimum. Maksudnya adalah maskapai penerbangan yang memberikan tarif rendah dengan menghapus beberapa layanan penumpang biasa agar dapat mengurangi biaya operasinya.

Meskipun menawarkan konsep biaya rendah, keselamatan, keamanan serta kenyamanan konsumen tetap harus menjadi prioritas tiap maskapai penerbangan, pelayanan yang diberikan kepada konsumen harus tetap diberikan semaksimal mungkin.

Pada hari Minggu, 28 Desember 2014, pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan QZ8501 resmi dinyatakan hilang pada pukul 07:55 WIB dalam penerbangan menuju Singapura dari Surabaya. Berita ini tentu mengejutkan banyak pihak karena sebelumnya tidak pernah ada pemberitaan kecelakaan fatal yang melibatkan maskapai penerbangan murah asal Malaysia tersebut. Setelah QZ 8501 dinyatakan hilang 2 hari kemudian tepatnya tanggal 30 Desember 2014, Tim BASARNAS yang betugas untuk mencari pesawat tersebut akhirnya menemukan puing-puing pesawat yang membawa 155 penumpang yang mayoritas bewargakenegaraan Indonesia tersebut. Selain puing-puing, Tim BASARNAS juga menemukan jenazah yang diduga adalah penumpang dari Air Asia yang hilang tersebut.

Kecelakaan ini kemudian memunculkan banyak spekulasi atas kejadian tersebut. Banyak rumor yang beredar bahwa kecelakaan tersebut terjadi karena pilot mengonsumsi narkoba sebelum menerbangkan pesawat sehingga kecelakaan tersebut murni atas kesalahan pilot, selain itu adapula rumor yang beredar bahwa pesawat tersebut terbang secara ilegal karena

(3)

3 semestinya tidak ada jadwal terbang di hari dan jam pesawat tersebut lepas landas. Rumor-rumor yang beredar tersebut tentu saja mendapatkan respon dari masyarakat bahkan pemerintah. Kepercayaan masyarakat pada maskapai penerbangan yang menerapkan sistem LCC tersebut menurun, hal ini bisa dilihat dari banyaknya pembatalan tiket dilakukan oleh penumpang karena mereka merasa trauma atas kecelakaan yang menimpa QZ 8501.

Pembatalan tiket terjadi misalnya di kota Malang, pembatalan tidak saja dilakukan secara perorangan tapi bahkan dilakukan oleh grup-grup wisata yang akan terbang dengan rute yang sama seperti QZ 8501 (http://m.suarasurabaya.net/jaringradio/detail.php?id=2rq04d2304p2dg8hg 37kbh30122014145399). Selain di Malang, pembatalan tiket juga banyak terjadi di Surabaya. Bahkan pembatalan tiket tidak hanya dilakukan oleh penumpang dengan rute Surabaya-Singapura, penumpang dengan rute terbang ke Hong Kong juga ikut membatalkan tiket setelah adanya insiden

QZ 8501

(http://regional.kompas.com/read/2014/12/28/18322651/Serbu.Gerai.Calo n.Penumpang.AirAsia.Minta.Uang.Tiket.Dikembalikan).

Respon pemerintah mengenai rumor penerbangan ilegal Surabaya- Singapura tersebut adalah dengan memberlakukan pembekuan sementara rute Surabaya-Singapura. Pembekuan rute tersebut tentu turut menambah jumlah pembatalan tiket yang dilakukan oleh penumpang. Selain itu, rumor ilegalnya penerbangan QZ 8501 membuat Kementrian Perhubungan mengaudit seluruh penerbangan di Indonesia. Dari hasil audit tersebut ditemukan bahwa Air Asia rute Palembang-Medan untuk jadwal 6-7 Januari

juga ikut dibekukan karena tidak berizin

(http://www.sriwijayatv.com/detBerita.php?ref=isi&ix=9623).

Presiden Direktur Air Asia Indonesia, Sunu Widyatmoko, mengatakan bahwa penurunan jumlah penumpang juga dialami oleh Air Asia. Penurunan jumlah penumpang adalah sekitar 10-15 % (http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/01/27/presdir-airasia-akui-

(4)

4 jumlah-penumpang-turun-akibat-tragedi-qz8501). Penurunan jumlah penumpang tersebut dihitung dari turunnnya jumlah pembeli tiket pasca kecelakaan terjadi. Bahkan di beberapa kota di Indonesia misalnya Cirebon, Indramayu dan Malang, penurunan penjualan tiket terjadi hampir sebesar 90%.

Adanya kecelakaan yang terjadi serta banyaknya spekulasi yang muncul tentu disinilah peran Humas sangat dibutuhkan. Pasca kecelakaan, Humas harus bekerja secara cepat untuk mencari data aktual dan terkini atas kecelakaan tersebut. Ditambah lagi dengan catatan keselamatan yang baik yang dimiliki oleh Air Asia tentu hal ini menciptakan sebuah tantangan bagi Humas Air Asia untuk bergerak secara cepat dan tepat. Kecelakaan tersebut tidak hanya memunculkan rumor-rumor tidak sedap, tidak lama setelah kecelakaan tersebut saham Air Asia anjlok. Hal tersebut sebenarnya lumrah terjadi ketika ada sebuah maskapai yang mengalami kecelakaan. Akan tetapi, anjloknya saham Air Asia ini adalah penurunan saham terbesar sejak 2011. Padahal sebelum pesawat Air Asia tersebut hilang, sepanjang bulan Desember 2014 saham Air Asia mengalami peningkatan yang cukup signifikan sebagai imbas dari turunnya harga minyak dunia. Peningkatan saham tersebut yakni sebesar 17,6 % menyentuh RM 2,94. Namun setelah insiden hilangnya QZ 8501, saham Air Asia turun drastis sebesar 7,82 %

menjadi RM 2,72 per saham

(http://www.bareksa.com/id/text/2014/12/29/sebelum-kecelakaan-saham- airasia-dalam-tren-kenaikan-imbas-turunnya-harga-minyak/8872/news).

Selain penurunan saham yang drastis, efek lain yang dialami Air Asia atas jatuhnya QZ 8501 adalah perencanaan untuk mengurangi penerbangan, adanya reorganisasi staf serta penundaan pembeliaan armada baru sebagai upaya untuk mengurangi kerugian yang dialami (http://m.galamedianews.com/dunia/11292/pasca-musibah-qz8501-

penumpang-airasia-terus-alami-penurunan-.html).

(5)

5 Beberapa efek domino yang ditimbulkan oleh hilangnya QZ 8501 tersebut jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik dan tepat maka bukan tidak mungkin akan memicu efek lain yang lebih besar sehingga potensi krisis akan semakin besar juga. Tentu hal tersebut menjadikan peran Humas sangat diperlukan. Peran Humas yang bertugas sebagai penasehat manajemen yang diberi wewenang untuk mengatasi krisis dengan menentukan komunikasi krisis yang akan ditempuh menjadi sangat penting dalam hal ini karena kecepatan krisis berubah bergantung bagaimana penganangannya. Kecepatan dalam penanganan krisis sangat perlu untuk dilakukan karena media serta publik telah mengetahui adanya permasalahan pada perusahaan.

Kecelakaan atas hilangnya pesawat tujuan Surabaya-Singapura ini ternyata langsung mendapat respon dari pihak Air Asia, dengan segera Air Asia memberikan update terkini seputar pencarian Air Asia yang hilang pada halaman akun twitter milik Air Asia Indonesia (@AirAsiaId). Upaya yang dilakukan Air Asia ini adalah upaya untuk memberikan keterangan yang valid bagi masyarakat mengingat banyaknya berita-berita simpang siur mengenai keberadaan pesawat yang hilang tersebut. Berita yang diberikan di akun twitter official Air Asia tersebut diintregasikan dengan menggunakan link menuju laman Facebook Air Asia. Selain itu Air Asia juga menciptakan hashtag dalam akun twitter mereka yakni

“#togetherwestand”, hal ini diciptakan untuk mempermudah khalayak untuk mencari konten tentang pemberitaan kecelakaan Air Asia serta memperluas postingan mereka tentang berita terkini dari kecelakaan tersebut.

Facebook dan Twitter sebagai media sosial yang digunakan oleh Air Asia dalam menyampaikan informasi seputar kecelakaan tersebut memang media sosial yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Data statistik yang mengacu kepada data yang dikeluarkan Nielsen menyebutkan bahwa pada tahun 2014 bulan Januari jumlah pengguna internet atau

(6)

6 internet user di Indonesia diperkirakan mencapai 71 juta users. Dari jumlah itu, 70 juta diantaranya mengakses media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, LinkedIn dan Google+. Diantara media sosial tersebut, media sosial yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah Facebook dan Twitter, dengan presentase yakni sebanyak 93% dan 80%. Besarnya jumlah pengguna media sosial tersebut tentu merupakan peluang bagi praktisi Humas untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat secara tepat dan cepat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, “Bagaimana penggunaan media sosial dalam komunikasi krisis yang dilakukan oleh PT Indonesia Air Asia untuk mengatasi krisis akibat kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian sesuai dengan permasalahan yang ada yakni:

- Mengetahui penggunaan media sosial dalam komunikasi krisis yang digunakan oleh PT Indonesia Air Asia dalam menangani krisis yang terjadi akibat kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501.

- Menganalisis penggunaan media sosial dalam komunikasi krisis yang digunakan oleh PT Indonesia Air Asia dalam menangani krisis yang terjadi akibat kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai penggunaan media sosial dalam komunikasi krisis sebuah perusahaan.

(7)

7 2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak maskapai Air Asia mengenai komunikasi krisis yang dilakukan oleh PT IAA untuk menangani krisis atas kecelakaan pesawat yang terjadi di penghujung tahun tersebut.

E. Kerangka Pemikiran 1. Krisis

1.1. Konsep Krisis

Pada umumnya, krisis dilihat sebagai sebuah situasi atau kejadian di-mana kejadian tersebut lebih banyak implikasi negatif pada perusahaan daripada sebaliknya. Krisis didefinisikan sebagai: “crisis a major occurance with a potentially negative outcome affecting organization, company, industry, as well as it publics, products, services or good name”

(Fearn-Banks, 2010, hal 6)

Krisis dapat terjadi dimana saja dan kapan saja serta pada siapa saja.

Krisis bisa datang tanpa menunggu kesiapan dari perusahaan dan ketika krisis yang tidak pernah diperhitungkan terjadi, seluruh aktivitas perusahaan bisa menjadi lumpuh terutama jika krisis yang terjadi adalah krisis dalam skala yang cukup besar. Semua komponen dalam perusahaan akan merasakan dampaknya. Krisis jika dikelola secara baik akan mampu meningkatkan reputasi perusahaan, namun juga berlaku sebaliknya. Ini semua bergantung pada bagaimana cara pandang manajemen terhadap suatu krisis. Cara pandang yang positif dengan serangkaian perencanaan strategis yang matang akan membuahkan hasil yang baik bagi perusahaan.

Sebaliknya, cara pandang yang menganggap krisis hanya perlu ditanggapi sejauh proses ganti rugi atas dampak negatif yang ditimbulkan akan menyebabkan buruknya reputasi perusahaan.

(8)

8 Dilihat melalui proses atau waktu kejadian sebuah krisis, Linke (1989) membagi krisis ke dalam 4 tahapan utama yakni: (dalam Coombs &

Holladay, 2012)

1. The Exploding Crisis

Krisis yang terjadi karena sesuatu yang diluar kebiasaan. Misalnya kebakaran, kecelakaan kerja tau peristiwa yang dengan mudah dapat dikategorikan memiliki dampak langsung.

2. The Immediate Crisis

Sebuah kejadian yang membuat manajemen terkejut, namun masih ada waktu untuk mempersiapkan respon terhadap krisis tersebut. Misalnya laporan media massa tentang sebuah perusahaan atau peraturan pemerintah.

3. The A Building Crisis

Sebuah krisis yang sedang berproses dan dapat diantisipasi. Misalnya negosiasi dengan buruh.

4. The Continuing Crisis

Masalah kronis yang memerlukan waktu panjang untuk muncul, biasanya sangat kompleks dan kemunculannya tidak mudah bahkan tidak dikenali sama sekali.

Mengenali tahapan krisis yang terjadi merupakan salah satu langkah untuk menentukan strategi apa yang harus dilakukan perusahaan dalam menangani krisis. Sen & Egelhoff serta Coombs menjelaskan bahwa mengenali jenis ataupun tipe krisis dirasa cukup penting karena hal tersebut berkaitan dengan masalah penentuan siapa yang bersalah dan respon apa yang harus dibuat perusahaan yang sedang mengalami krisis (dalam Putra, 1999, hal 90). Secara umum terdapat 2 tindakan khas yang menjadi tuntutan yang harus dilakukan perusahaan dalam penanganan krisis, hal tersebut antara lain:

(9)

9 1. Tindakan yang bercirikan keterlibatan manajemen langsung dalam merespon krisis, yakni segi apa yang harus dilakukan perusahaan saat krisis terjadi.

2. Tindakan komunikasi, apa yang harus dikatakan oleh perusahaan ketika sedang menghadapi krisis. Saat merespon krisis, prioritas utama adalah pemenuhan akan informasi serta kecepatan penyebaran informasi.

1.2. Manajemen Krisis

Krisis yang menimpa sebuah perusahaan bisa juga dianggap sebagai

“turning point of history life” yakni suatu titik balik dalam kehidupan yang dampaknya memberikan pengaruh signifikan baik ke arah negatif maupun positif, tergantung pada reaksi yang diperlihatkan. Krisis tidak selalu bersifat negatif tetapi juga dapat berkembang ke arah yang positif. Oleh karena itu yang harus dikelola adalah faktor resiko dan faktor ketidakpastiannya agar kelangsungan perusahaan dapat diperkirakan, pengelolaan faktor-faktor tersebut dapat dilakukan dengan strategi manajemen krisis.

Definisi lain manajemen krisis adalah sebuah seni dari menghilangkan banyak resiko dan ketidakpastian untuk membuat kita dapat mengontrol takdir kita sendiri (Fink, 1986), Dapat dikatakan bahwa manajemen krisis merupakan sebuah proses di-mana terjadi tindakan- tindakan didalamnya seperti perencanaan, pengorganisasian, penggiatan serta pengawasan yang dilakukan oleh seorang praktisi Humas untuk mengatasi krisis yang sedang menimpa perusahaan. Kemampuan seorang praktisi Humas juga dapat dilihat dari bagaimana Ia mampu memimpin, melakukan peranan komunikasi dan mengatur atau mengelola arus informasi untuk menciptakan pemahaman dari permasalahan, mengatasi krisis, kepentingan publikasi dan menciptakan citra positif bagi lembaga atau perusahaan yang diwakilinya ketika perusahaan tersebut sedang terkena krisis.

(10)

10 Dalam melaksanakan manajemen krisis, tentu Humas memiliki peranan tidak terlepas dari fungsi dasar manajemen antara lain:

(http://www.prsa.org/AboutPRSA/PublicRelationsDefined/#.VTeltCGqqE 0)

- Mengantisipasi, menganalisis serta menafsirkan opini publik, sikap dan isu-isu yang mungkin akan membawa dampak baik ataupun buruk bagi operasionalisasi dan rencana-rencana perusahaan.

- Konseling manajemen di semua tingkatan dalam perusahaan berkaitan dengan keputusan kebijakan, program aksi dan komunikasi, dengan mempertimbangkan konsekuensi publik dan tanggung jawab sosial.

- Meneliti, memimpin dan mengevaluasi secara berkelanjutan, program aksi dan komunikasi untuk mencapai pemahaman publik yang dibutuhkan untuk keberhasilan tujuan perusahaan.

- Merencanakan dan melaksanakan upaya perusahaan untuk memengaruhi atau mengubah kebijakan publik.

Gonzales-Herrero dan Pratt (dalam Prayudi, 1998, hal 37) mengemukakan konsep strategi manajemen krisis dengan mengacu pada tahapan krisis. Konsep tersebut adalah:

1. Manajemen Isu

Pada tahapan ini perusahaan mengambil langkah-langkah agar bisa mengadakan rencana pencegahan agar isu-isu tidak menjadi krisis yang sesungguhnya. Langkah yang dilakukan adalah:

a. Memonitor lingkungan, mencermati tren/isu baru di masyarakat yang mungkin memengaruhi perusahaan di masa datang.

b. Mengumpulkam data atas isu-isu yang berpotensi menjadi krisis dan mengevaluasinya.

c. Mengembangkan strategi komunikasi dan berkonsentrasi pada usaha mencegah terjadinya krisis.

(11)

11 2. Perencanan Pencegahan

Perencanaan merupakan landasan dari manajemen krisi. Ketika isu dipandang telah melewati batas-batas manajemen isu, ketika krisis dianggap mengancam atau ketika isu berubah dengan cepat, perusahaan harus menggunakan kumpulan informasi dan sistem peringatannya untuk memonitor krisis dengan hati-hati. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam tahap ini antara lain:

a. Menyusun kebijakan proaktif mengenai isu tersebut.

b. Menganalisa hubungan perusahaan dengan stakeholders.

c. Mempersiapkan rencana kontingensi.

d. Merancang anggota tim manajemen krisis yang potensial.

e. Menunjuk dan melatih wakil organisasi (juru bicara)

f. Menentukan pesan, sasaran dan media yang akan digunakan dalam menerapka rencana komunikasi krisis.

3. Krisis Terjadi

Bila rencana pencegahan yang disusun tidak berhasil seperti yang diharapkan, sehingga krisis tidak lagi terhindarkan. Langkah yang diambil adalah:

a. Memperbaiki atau mengimplementasikan rencana krisis.

b. Mengomunikasikan tindakan yang diambil untuk mengatasi krisis pada publik perusahaan.

c. Menangani publik yang terkena dampak krisis.

d. Mencari dukungan pihak ketiga dari para ahli.

e. Menerapkan program komunikasi internal dan menjalankan program sehari-hari dengan normal.

4. Pasca Krisis

Organisasi biasanya mengambil langkah-langkah demi perbaikan dalam menghadapi krisis di masa datang, seperti:

a. Tetap menjalin hubungan dengan publlik perusahaan.

b. Memantau isu atau krisis yang mengancam.

(12)

12 c. Menginformasikan melalui media atau tindakan yang diambil, jika

dianggap perlu.

d. Evaluasi atau rencana krisis yang ada dan kemudian menyertakan feedback atas rencana krisis yang ada.

e. Mengembangkan strategi komunikasi jangka panjang untuk mengurangi kerusakan yang diakibatkan krisis.

Penanganan krisis yang dilakukan oleh Humas dalam manajemen krisis tentu menentukan cepat atau lambatnya krisis tersebut teratasi. Semakin cepat krisis tersebut teratasi maka sama artinya dengan menyelamatkan perusahaan dari rusaknya reputasi dari krisis yang terjadi. Oleh karena itu, manajemen krisis yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan krisis yang terjadi dengan menyasar publik yang tepat serta menggunakan media yang dianggap efektif.

1.3. Komunikasi Krisis

Komunikasi krisis dapat dijelaskan sebagai berikut “when an individual or organization communicates a message to the public, usually trough the media, during a threatening, tragic or fatal accident that is unplanned or unexpected” (Woodyard, 1998, hal 11). Definisi lain mengenai komunikasi krisis adalah sebagai berikut “crisis communication is the dialog between the organization and its publics prior to, during, and after the negatice occurrence. The dialog details strategies and tactics to minimize damage to the image of the organization” (Fearn-Banks, 2010, hal 9). Dari kedua pengertian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa komunikasi krisis adalah sebuah komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan kepada publiknya yang didalamnya berisikan strategi dan taktik yang digunakan untuk meminimalisasi krisis yang terjadi secara tiba-tiba.

Perusahaan yang sedang berhadapan dengan situasi krisis harus memiliki pedoman yakni sebuah strategi komunikasi krisis, elemen yang

(13)

13 harus menjadi perhatian dalam strategi komunikasi krisis adalah:

(Anthonissen, 2008, hal 28)

- The right message (pesan yang tepat)

- To whom that message should be told (kepada siapa pesan itu harus disampaikan)

- Who should tell it (siapa yang harus mengatakannya)

- To right time to tell it (waktu yang tepat untuk menceritakannya) Elemen lain yang perlu diketahui sebelum merancang sebuah startegi komunikasi krisis adalah mengenali publik atau stakeholder perusahaan.

Fearn-Banks kemudian mengategorikan sebagai berikut: (Putra, 2008) a. Enabling Public

Publik yang punya kekuasaan untuk memutuskan suatu persoalan.

Termasuk didalamnya antara lain: Dewan Direktur, Pemegang Saham, Komisaris Perusahaan serta Pemerintah.

b. Functional Public

Kelompok orang yang menjadikan sebuah perusahaan dapat berjalan.

Termasuk didalamnya antara lain: para karyawan, konsumen, dan lainnya.

c. Normative Public

Kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama dengan perusahaan. Termasuk didalamnya adalah para anggota asosiasi atau perkumpulan perusahaan sejenis.

d. Diffused Public

Kelompok orang yang secara tidak langsung berhubungan dengan perusahaan dalam suatu krisis. Termasuk didalamnya adalah media dan kelompok komunitas.

Identifikasi publik tersebut akan memudahkan dalam proses perancangan strategi komunikasi krisis yang akan digunakan untuk

(14)

14 menyampaikan pesan kepada publik. Pilihan strategi komunikasi krisis yang dapat dilakukan antara lain: (Coombs, 1999, hal 122-123)

1. Nonexistence Strategies

Strategi yang dilakukan oleh perusahaan ketika menghadapi rumor bahwa perusahaan tersebut mengalami krisis namun sebenarnya krisis tidak terjadi. Dalam strategi ini, bentuk pesan bisa berupa:

a. Denial, yakni perusahaan menyangkal adanya sesuatu yang tidak benar.

b. Clarification, yakni perusahaan memberikan argumen kepada publik.

c. Attack, yakni perusahaan menyerang pihak yang menyebarkan rumor.

d. Intimidation, yakni perusahaan membuat ancaman terhadap penyebar rumor.

2. Distance Strategies

Perusahaan mengakui adanya krisis dan mencoba untuk memperlemah hubungan antara perusahaan dengan krisis yang sedang terjadi. Strategi yang dapat dilakukan perusahaan dalam hal ini antara lain:

a. Excuse, yakni perusahaan berusaha untuk mengurangi tanggung jawab perusahaan karena perusahaan tidak mampu mengontrol situasi.

b. Justification, yakni perusahaan melakukan klaim bahwa kerusakan yang terjadi tidak serius, mengatakan korban wajar menanggung akibat itu serta mengemukakan bahwa krisis telah salah interpretasi.

3. Ingratiation Strategies

Perusahaan berusaha untuk mencari dukungan publik dengan cara berikut:

a. Bolstering, yakni perusahaan perlu mengingatkan publik akan hal positif yang telah dilakukan perusahaan.

(15)

15 b. Transedence, yakni perusahaan berusaha menempatkan krisis

dalam konteks yang lebih luas.

c. Praising Others, yakni mengatakan hal baik yang telah dilakukan publik.

4. Mortification Strategies

Perusahaan mencoba untuk meminta maaf dan menerima kenyataan bahwa krisis memang benar-benar terjadi. Hal-hal yang dapat dilakukan dalam strategi ini adalah:

a. Remediation, yakni perusahaan bersedia untuk memberi sejumlah kompensasi kepada korban sebagai dampak dari krisis.

b. Regret, yakni perusahaan menyatakan penyesalan dan permintaan maaf kepada publik.

c. Rectification, yakni perusahaan melakukan tindakan yang dapat mengurangi kemungkinan terjadinya krisis.

5. Suffering Strategy

Perusahaan menunjukan bahwa perusahaan tersebut menderita seperti halnya pihak korban dan berusaha untuk memeroleh simpati publik.

2. Media Sosial

2.1. Media Sosial dalam Praktik Kehumasan

Media sosial didefinisikan Solis (2011) sebagai “any tool or service that uses the Internet to facilitate conversations” (dalam DiStaso & McCorkindale, 2012). Sejak tahun 2005, Wright dan Hinson (2012) menemukan bahwa telah terlihat penggunaan baru media sosial dalam dunia Humas. Mereka juga menemukan bahwa terjadi perubahan dalam praktik Humas dimana media sosial dianggap sebagai salah satu sarana yang strategis untuk berkomunikasi antara internal perusahaan dan publik.

Dalam dunia digital seperti sekarang ini, media sosial telah menjadi saluran komunikasi yang penting untuk membangun

(16)

16 hubungan antara perusahaan dengan publik. Temuan Wright dan Hinson mengungkap bahwa penggunaan media sosial dalam praktek kehumasan terus meningkat setiap tahunnya. Media sosial juga ternyata mampu meningkatkan kredibilitas perusahaan karena publik merasa apa yang disampaikan dalam media sosial akan lebih terpercaya kebenarannya dan lebih akurat. Namun walaupun demikan, kemudahan yang diberikan oleh media sosial bukan berarti tidak memberikan tantangan bagi praktisi Humas. Tantangan praktisi Humas dalam kegiatan di media sosial adalah kurangnya kontrol karena Humas tidak mengetahui apa yang orang mungkin akan katakan atau lakukan.

Media sosial yang bisa menjadi sarana penghubung antara internal perusahaan dengan publiknya, memiliki karakteristik sebagai berikut: (Chan-Olmsted, Cho, & Kyunghee, 2013)

a. Participation, mendorong kontribusi serta umpan balik dari setiap individu yang menggunakannya, sehingga mengaburkan batas antara media dengan audiens.

b. Conversationality, memungkinkan terjadinya perbincangan secara dua (2) arah.

c. Connectedness, media sosial dapat tumbuh dan berkembang karena kemampuan melayani keterhubungan antar pengguna, melalui fasilitas tautan (links) ke website, sumber informasi ataupun pengguna yang lain.

d. Openness, media sosial terbuka bagi umpan balik dan partisipasi melalui sarana-sarana seperti voting, komentar dan berbagi informasi.

e. Community, media sosial memungkinkan terbentuknya komunitas- komunitas secara cepat dan berkomunikasi secara efektif tentang beragamnya isu/kepentingan.

(17)

17 Jenis media sosial dapat dibedakan berdasarkan kegunaan saat digunakan untuk menghadapi krisis. Jenis media tersebut antara lain:

(Wendling, Radisch, & Jacobzone, 2013)

Tabel 1.1 Klasifikasi Jenis Media Sosial

Tipe Media Sosial Contoh Media Kegunaan dalam Komunikasi Krisis

Social networking Facebook MySpace Friendster

Meningkatkan koordinasi antar relawan dan layanan darurat, memungkinkan untuk berbagi informasi dalam komunitas, memberikan update pada situasi darurat, dll.

Content sharing YouTube

Flickr Vimeo

Meningkatkan kesadaran situasional melalui gambar dan video, memudahkan kampanye viral dalam keadaan darurat, mampu membantu mengidentifikasi individu atau korban yang hilang, dll.

Collaborating knowledge sharing social media

Wikis Forums

Message boards Podcasts

Meningkatkan dialog antara korban dan layanan darurat.

Blogging and microblogging Blogger Worldpress Tumblr Twitter

Menyampaikan rekomendasi, peringatan dan berbagi fakta.

Twitter memungkinkan untuk menyebarkan informasi dengan cepat dengan jangkauan yang luas serta memungkinkan adanya umpan balik.

Specialized crisis management platform managed by Volunteer Technology Communities (VTCs)

-Mapping Collaboration Open street map Crisis mappers Google map maker

-Online and Onsite Contribution Ushahidi Crisis commons Sahana foundation Geeks without bounds

-Public-Private- People Partnership Random hacks of kindness (with Google, Microsoft, Yahoo, NASA, World Bank)

Pemetaan keadaan darurat, tim fasilitator tanggap darurat.

(18)

18 Di Indonesia sendiri, tren penggunaan media sosial di kalangan masyarakat juga terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, Perhumas Indonesia memandang bahwa sudah saatnya praktisi Humas Indonesia mengetahui tren dalam media sosial sehingga dapat diolah menjadi strategi komunikasi yang efektif (http://www.koran- jakarta.com/?29733media%20sosial%20ubah%20perspektif%20kehu masan%20indonesia). Media sosial ternyata juga dapat menjadi aset berharga bagi praktisi Humas, karena media sosial dapat dikatakan sebagai salah satu media komunikasi terbesar dan paling efektif di Indonesia. Hampir seluruh kegiatan yang dilakukan dalam dunia pekerjaan, khususnya bidang komunikasi, memiliki keterkaitan dengan media sosial. Maka penting bagi praktisi Humas untuk mengetahui secara mendalam apa saja yang sedang terjadi di dalam lingkup media sosial di Indonesia.

Selain itu, banyak praktisi Humas di Indonesia yang melihat bagaimana sebuah hal kecil kemudian menjadi besar hanya dengan

melalui posting dari akun media sosial

(http://www.bestlife.co.id/portfolio/best.event/sosial.media.menguba h.perspektif.kehumasan.indonesia/005/001/315). Hal tersebut kemudian menjadi problematika yang cukup serius dan perlu penanganan yang tepat dengan strategi dalam permasalahan serupa di media sosial. Oleh karena itu komunikasi krisis melalui manajemen krisis sangat dibutuhkan untuk setidaknya memberikan pemaparan dan klarifikasi agar informasi tidak disalahartikan yang kemudian dapat berujung pada rusaknya citra perusahaan.

Komunikasi krisis merupakan kegiatan yang tergabung dalam fungsi manajemen krisis yang dilakukan oleh praktisi Humas. Melalui komunikasi yang dilakukan selama masa krisis, diharapkan Humas dapat menyampaikan informasi-informasi yang bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian informasi yang dirasakan oleh pihak-pihak

(19)

19 terutama yang terkena dampak krisis. Menurut riset yang telah dilakukan oleh Wigley dan Zhang (dalam Kriyantono, 2012) kesadaran praktisi Humas akan pentingnya penggunaan media sosial di zaman dengan teknologi yang berkembang dalam penanganan krisis sudah cukup besar, bahkan mereka berpendapat bahwa media sosial telah menjadi faktor penting bagaimana krisis diberitakan oleh media maupun publik sehingga bisa dengan segera ditangani oleh Humas.

Oleh karena hal tersebut, maka penting bagi perusahaan untuk memiliki akun resmi dalam media online dengan tujuan agar pihak perusahaan mampu mengontrol informasi yang mereka rilis dan publik memiliki tempat untuk mencari informasi yang relevan (Graham &

Avery, 2013).

2.2. Konsep PR 2.0

Kemajuan teknologi yang berkembang pesat khususnya dalam teknologi internet membuat daya jangkau semakin luas seolah tanpa batas. Dalam era ini, kemajuan teknologi juga memberikan dampak pada perushaan di-mana mereka dituntut untuk merubah pola komunikasi yang awalnya memiliki model komunikasi satu (1) atau dua (2) arah menjadi komunikasi banyak arah. Kini, banyak perusahaan yang mulai menggunakan e-mail atau web sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang mau tak mau memengaruhi pola kerja perusahaan. Kemajuan teknologi melahirkan teknologi web 2.0 yang merupakan revolusi di bidang internet. Era web 2.0 adalah era dimana para konsumen dapat melakukan komunikasi secara langsung melalui dunia maya. Hal tersebut kemudian berdampak pada perubahan pekerjaan praktisi Humas yang kini disebut sebagai PR 2.0.

Menurut Solis & Breakenridge (2009), konsep PR 2.0 merupakan sebuah konsep dimana praktisi Humas mampu terlibat dalam perbincangan secara langsung dengan publiknya melalui jaringan sosial (dalam Sancar, 2013). Komunikasi secara online juga

(20)

20 dianggap sebagai sarana unik yang memungkinkan perusahaan untuk terlibat dalam komunikasi dua (2) arah (interaktivitas). Titik kunci dari konsep PR 2.0 adalah interaktivitas, interaktivitas tersebut memungkinkan pengguna (users) bukan hanya untuk menjadi pengamat namun juga menjadi peserta sehingga tercipta hubungan timbal balik.

PR 2.0 seringkali dikaitkan dengan pekerjaan praktisi Humas di-mana mereka berhubungan dengan publiknya melalui media online, media elektronik atau media sosial. Dapat dikatakan pula bahwa PR 2.0 merupakan revolusi dari kegiatan Humas yang tidak lagi menggunakan jurnalis sebagai penyampai pesan melainkan kegiatan Humas yang berbasis pada teknologi dan web 2.0. Posisi konsumen kini tidak lagi hanya sekedar konsumen, tetapi juga sebagai publisher dan influencer. Adanya teknologi web 2.0 memungkinkan praktisi Humas untuk dapat langsung menyampaikan pesan kepada publik tanpa dibatasi oleh batasan fisik, selain itu Humas juga dapat membangun brand image serta menjalin hubungan yang baik dengan publik melalui media center online. Konsep PR 2.0 yang menggunakan dunia maya sebagai media untuk menyampaikan informasi kemudian memunculkan pula istilah cyber PR atau electronic PR (E-PR). Onggo (2004) mengungkapkan bahwa E-PR adalah penerapan dari peranglat ICT (Information and Communication Technologies) untuk keperluan Humas. Lebih jauh lagi, teknologi komunikasi digunakan untuk mencakup publik secara luas dalam rangka membangun brand derta memelihara trust.

Selain hal tersebut, dijelaskan pula bahwa E-PR mampu dengan mudah melewati bahkan menghilangkan batasan-batasan yang menghalangi setiap kegiatan Humas dan langsung dapat menyampaikan pesan-pesan kepada publik sasarannya serta memanfaatkan potensi-potensi besar yang dimiliki oleh media sosial seperti (Onggo, 2004):

(21)

21 a. Komunikasi yang konstan

Internet mampu membuat kita terhubung dengan dunia 24 jam dalam sehari tanpa putus, kecuali disebabkan oleh gangguan sinyal.

b. Respon yang cepat

Sifat internet yang realtime memungkinkan praktisi Humas untuk memberikan respon yang cepat dan tepat dalam menanggapi setiap keluhan, permasalahan, pertanyaan ataupun saran dari publik.

c. Pasar Global

Internet dengan koneksi ke seluruh dunia tanpa batas telah menghilangkan hambatan dari segi geografis dalam pertukarna informasi.

d. Interaktif

Salah satu keunggulan internet dibandingkan media lainnya adalah kemampuannya untuk melakukan komunikasi 2 arah sehingga mampu mewujudkan komunikasi interaktif antara publik dengan perusahaan melalui praktisi Humasnya.

e. Komunikasi 2 Arah

Terjalinnya komunikasi antara perusahaan dengan publik merupakan salah satu tujuan aktivitas E-PR karena aktivitas ini akan membatu praktisi Humas dalam membangun hubungan yang kuat dan saling menguntungkan.

f. Hemat

Internet membantu meringankan kegiatan Humas dari segi biaya pengeluaran jika dibandingkan dengan menggunakan media konvensional.

(22)

22 F. Kerangka Konsep

Fokus pada penelitian ini adalah komunikasi krisis yang dilakukan oleh Humas dengan menggunakan media sosial. Humas memiliki peranan yang besar dalam mengambil keputusan untuk merancang serta mengimplementasikan strategi yang akan digunakan untuk mengatasi krisis.

Peranan Humas tersebut tidak terlepas dari fungsi manajemen sebuah perusahaan. Kredibilitas praktisi Humas bisa dilihat juga dari kemampuannya dalam merancang dan mengimpelentasikan strategi komunikasi krisis yang dilakukan menyelamatkan perusahaan dari krisis yang lebih parah karena peran Humas sangat memengaruhi implementasi strategi yang akan digunakan.

Penelitian ini akan dimulai dengan melihat strategi komunikasi krisis digunakan oleh PT Air Asia Indonesia saat mengalami krisis. Ada beberapa strategi yang dapat digunakan perusahaan saat terjadi krisis.

Strategi tersebut antara lain adalah nonexistence strategies yakni strategi yang dilakukan ketika menghadapi rumor terkena krisis padahal tidak, didalamnya adalah denial (penyangkalan), clarification (pemberian argument), attack (menyerang pihak lain), intimidation (membuat ancaman). Kedua adalah distance strategies yakni dilakukan untuk memerlemah krisis, didalamnya adalah excuse (mengurangi tanggung jawab) dan justification (melakukan klaim). Ketiga adalah ingratiation strategies yakni mencari dukungan publik, didalamnya adalah bolstering (mengingatkan publik akan hal positif), transedence (menempatkan krisi dalam hal yang lebih luas), praising others (mengatakan hal baik). Keempat adalah mortification strategies yakni meminta maaf dan menerima kenyataan, didalamnya adalah remeditation (memberi kompensasi), regret (meminta maaf) dan retrification (tindakan yang mengurangi krisis).

Terakhir adalah suffering strategy yakni menunjukan bahwa perusahaan menderita.

(23)

23 Pemilihan media merupakan hal pokok lain yang harus diperhatikan dalam implentasi strategi komunikasi krisis. Dalam era digital seperti sekarang ini, media sosial merupakan medium yang bisa digunakan sebagai pilihan untuk menerapkan strategi penanganan krisis karena media sosial memiliki karakteristik seperti berikut: participation, conversationality, connectedness, openness dan community. Walaupun hampir seluruh media sosial memiliki 5 karakteristik tersebut, perusahaan tetap harus menentukan dengan lebih spesifik media sosial seperti apa yang akan digunakan.

Penentuan tersebut dapat dilakukan dengan melihat jenis dan kegunaan yang berbeda-beda dari masing-masing media sosial yang ada. Media sosial yang akan digunakan tentu harus dilihat berdasarkan kegunaan yang dirasa paling tepat untuk menyasar publik. Masing-masing media sosial memiliki karakteristik kegunaan yang berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Jenis media sosial tersebut terbagi menjadi lima (5) yakni, social media networking, content sharing, collaborating knowledge sharing social media, blogging and microblogging dan specialized crisis management platform managed by VTCs. Dengan menggunakan sarana yang tepat, tentu strategi yang dipilih diharapkan dapat berjalan dengan efektif sehingga krisis mampu teratasi dengan cepat.

Kedua elemen tersebut, yakni strategi komunikasi krisis dan media sosial yang digunakan, merupakan elemen utama yang digunakan oleh peneliti untuk mengetahui penggunaan media sosial sebagai salah satu sarana untuk menjalankan strategi komunikasi krisis yang dilakukan oleh perusahaan saat krisis terjadi maupun pasca krisis.

G. Metodologi

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian dengan pendekatan kualitatif mecoba menjelaskan

(24)

24 fenomena-fenomena dengan mengumpulkan data selengkap-lengkapnya.

Pendekatan kualitatif dilakukan berdasarkan kondisi alami di lapangan untuk menggali informasi tanpa berusaha mempengaruhi informan.

Menurut Moloeng (Moleong, 2005), melalui pendekatan kualitatif maka akan diperoleh data deskriptif berupa kata-kata tertulis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian studi kasus.

Metode studi kasus bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis fakta ataupun karakteristik populasi tertentu secara faktual dan cermat.

Manajemen krisis merupakan kajian yang menarik, studi kasus merupakan strategi yang paling cocok dalam menjawab pertanyaan how dan why (Yin, 2013).

Menggunakaan metode studi kasus untuk penelitian berarti penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan variabel, tidak menguji hipotesus ataupun membuat prediksi sendiri. Didefinisikan pula bahwa metode ini merupakan suatu ikuiri empiris yang digunakan untuk menyelidiki fenomena didalam konteks kehidupan nyata bilamana batas antara fenomena dan konteks tidak tampak dengan tegas dan multi sumber bukti dimanfaatkan (Yin, 2013). Dengan menggunakan metode studi kasus, meneliti mencoba melukiskan bagaimana penggunaan media sosial sebagai strategi manajemen krisis yang dilakukan oleh perusahaan yakni Air Asia untuk menangani krisis yang terjadi akibat hilangnya pesawat QZ 8501 tujuan Surabaya – Singapura.

2. Desain Penelitian

Desain penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode studi kasus. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan suatu gejala, fakta atau realita secara lengkap mengenai setting sosial atau hubungan antara fenomena yang diuji. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggali informasi secara mendalam mengenai strategi

(25)

25 manajemen krisis yang dilakukan oleh perusahaan Air Asia untuk menangani krisis.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di kantor pusat Air Asia Indonesia tepatnya berada di jalan Marsekal Surya Darma, Tangerang.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Wawancara Mendalam

Peneliti akan menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview) untuk memperoleh data primer. Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan serta sebagainya yang dilakukan 2 pihak yakni pewawancara dan orang yang diwawancarai (Bungin, 2005). Sedangkan menurut Sugiyono (2007), dengan wawancara peneliti akan mengetahui suatu hal yang lebih mendalam tentang fenomena yang terjadi, di-mana hal tersebut tidak bisa ditemukan dalam observasi. Informan yang dianggap mampu menjawab pertanyaan penelitian adalah divisi Public Relations perusahaan maskapai Air Asia.

Agar informan yang dipilih sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka penentuan subjek yang akan menjadi informan penelitian ditentukan berdasar kriteria berikut:

a. Subjek memiliki pengetahuan tentang strategi manajemen krisis perusahan maskapai Air Asia.

b. Subjek merupakan pihak yang terkait dalam pembuatan atau pelaksanaan strategi manajemen krisis perusahaan maskapai Air Asia.

(26)

26 Pemilihan dengan menggunakan kriteria tersebut bertujuan agar informan mampu memberikan banyak informasi mendalam sesuai dengan permasalahan dalam penelitian. Pihak yang dianggap memiliki kriteria tersebut yakni divisi Public Relations Air Asia.

Divisi tersebut dipilih sebagai narasumber karena memiliki pengetahuan luas tentang strategi manajemen krisis serta turut melaksanakan strategi tersebut.

2. Observasi

Selain menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview), peneliti juga akan menggunakan observasi sebagai teknik untuk mengumpulkan data. Observasi merupakan tindakan memperhatikan secara akurat dan mencatat fenomena yang muncul dalam bentuk uraian deskriptif mengenai data konkret dan tidak berupa kesimpulan dengan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 2007).

3. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan sebuah landasan disiplin ilmu yang digunakan untuk memberi arahan yang tepat serta pedoman dalam hubungan pembahasan masalah penelitian yang memfokuskan pada bahan tertulis yang relevan yang dapat dijakan sebagai sumber bukti.

Adapun sumber tersebut antara lain buku, website, media sosial serta informasi sebagai penunjang penelitian seperti hasil penelitian, dokumen perusahaan dan bahan-bahan tertulis lainnya.

5. Teknik Analisis Data

Sumber yang akan digunakan peneliti untuk menganalisa data pada penelitian ini adalah transkrip rekaman hasil wawancara mendalam dengan informan. Data yang didapat pada saat pengumpulan data di lapangan maupun setelahnya akan diolah dengan menggunakan teknik analisis

(27)

27 interactive model Miles dan Huberman (1994) yang terdiri dari reduksi data, penyajian data serta penarikan kesimpulan. Tahapan analisis dalam penelitian ini adalah:

a. Pengumpulan Data

Peneliti akan mengumpulkan data yang didapatkan melalui wawancara, dokumentasi dan observasi.

b. Reduksi Data

Setelah melakukan pengumpulan data, peneliti akan melakukan reduksi data yakni pemilihan, pemusatan, perhatian pada penyederhanaan dan membuang hal-hal yang tidak diperlukan.

c. Penyajian Data

Peneliti akan menyajikan data mengenai penggunaan media sosial dalam komunikasi krisis dalam bentuk yang sistematis.

d. Penarikan Kesimpulan

Peneliti akan melakukan penarikan kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.

6. Keabsahan Data Peneliti

Peneliti akan melakukan penilaian keabsahan data yang didapatkan untuk mengetahui keabsahan data pada penelitian. Penilaian akan dilakukan baik kepada data primer maupun sekunder. Dalam melakukan penilaian keabsahan data tersebut, peneliti akan menggunakan analisa triangulasi.

Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan di-mana peneliti menganalisa jawab subjek dengan meneliti kebenarannya dengan data empiris (sumber data lain) yang tersedia. Menurut Dwidjowinoto (2001) macam-macam triangulasi antara lain:

a. Triangulasi Sumber (data), yakni membandingan atau mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari sumber yang berbeda. Misalnya, membandingkan hasil pengamatan dengan hasil wawancara.

(28)

28 b. Triangulasi Waktu, berkaitan dengan perubahan suatu proses dan perilaku manusia karena manusia dapat berubah setiap waktu.

c. Triangulasi Teori, yakni dengan memanfaatkan dua (2) atau lebih teori untuk dipadu atau diadu, maka diperlukan rancangan riset, pengumpulan data dan analisis data supaya hasilnya komprehensif.

d. Triangulasi Periset, yakni dengan menggunakan lebih dari satu (1) periset dalam mengadakan observasi atau wawancara.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan triangulasi data.

Triangulasi data atau sumber dilakukan dengan membandingkan apa yang didapat dari hasil wawancara dengan apa yang ada dalam data sekunder (dalam hal ini adalah media sosial milik Air Asia).

Referensi

Dokumen terkait

kemampuan yang sama dengan teman lain, maka anak akan memiliki konsep.. diri yang positif (Centi

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 19 sasaran strategis yang ingin dicapai dengan prioritas sasaran adalah: meningkatkan penerimaan Fakultas (bobot 10%),

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

Tabel item-total statistik menunjukan hasil perhitungan reabilitas untuk 10 pernyataan.Menentukan besarnya r tabel dengan ketentuan tingkat kepercayaan (degree of

Melakukan penyuluhan dengan memberikan modul dan menjelaskan kepada guru-guru mengenai media pembelajaran Google Drive dan memberikan contoh secara lisan dan non

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, keabsahan akta notaris meliputi bentuk isi, kewenangan pejabat yang membuat, serta pembuatannya harus memenuhi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata