• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM KOMUNIKASI TRANSGENDER DI KAWASAN LAPANGAN KAREBOSI MAKASSAR SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM KOMUNIKASI TRANSGENDER DI KAWASAN LAPANGAN KAREBOSI MAKASSAR SKRIPSI"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM KOMUNIKASI TRANSGENDER DI KAWASAN

LAPANGAN KAREBOSI MAKASSAR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh NUR AZIZAH NIM : 10533 5793 09

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDi PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

(2)

2015

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM KOMUNIKASI TRANSGENDER DI KAWASAN

LAPANGAN KAREBOSI MAKASSAR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh NUR AZIZAH NIM : 10533 5793 09

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDi PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

2015

(3)
(4)
(5)
(6)

1 ABSTRAK

Nur Azizah. 2014. Wujud Alih Kode dan Campur Kode dalam Ragam Komunikasi Transgender di Kawasan Lapangan Karebosi Makassar. Skripsi.

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Kamaruddin, dan Pembimbing II ST. Suwadah Rimang.

Penelitian ini dilakukan dengan mendeksripsikan adanya jenis alih kode dan faktor kode, serta faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam komunikasi transgender di Lapangan Karebosi, Makassar. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif. Dat diperoleh dengan teknik menyimak deskriptif tanpa partisipasi dan merekam. Data dianalisis dengan teknik analisis deskriptif dengan langkah pengkodean dan pengklasifikasian. Dari hasil penelitian diperoleh empat kesimpulan.

Pertama, jenis alih kode yang terdapat dalam penelitian ini adalah alih kode berupa alih kode antar-bahasa dan antar-ragam. Kedua, faktor penyebab terjadinya alih kode adalah pencapaian tujuan tertentu, perubahan topic pembicaraan, dan penguasaan bahasa penutur. Ketiga, jenis campur kode yang terdapat dalam penelitian ini adalah campur kode ke dalam dan campur kode ke luar. Campur kode ke dalam meliputi campur kode penyisipan kata, frasa, dan nama diri. Keempat, faktor peyebab terjadinya campur kode adalah pencapaian tujuan tertentu, kondisi, kepraktisan, pengaruh ragam bahasa, dan perubahan topik.

Kata Kunci: Alih Kode, Alih Kode Internal, Alih Kode Antar –Bahasa, Alih Kode Antar-Ragam, Campur Kode

(7)

2 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Interaksi sebagai kebutuhan sosial yang urgen dalam kehidupan masyarakat telah menempatkan fungsi bahasa sebagai alat dalam menyampaikan hasil pikiran atau ide. Bahasa sebagai sarana berkomunikasi dalam kehidupan sosial, tidak dapat dilepaskan dari peranan sistem penyusunnya, di antaranya kode.

Definisi kode menurut Poejosoedarmo (dalam Ahdiryono, 2014) ialah Suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur relasi penutur dengan lawan bicara, dan situasi tutur yang ada.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kode adalah satuan pembentuk fungsi bahasa yang paling dasar yang bertujuan untuk menyampaikan maksud dan tujuan szxxyang ingin disampaikan oleh si pembicara kepada lawan bicaranya. Dalam kajian linguistik, istilah kode sering dihubungkan dengan varian di dalam hierarki kebahassan yang mengacu kepada variasi bahasa seperti varian regional, varian kelas sosial, varian ragam, dan gaya rangkum dalam laras bahasam serta varian kegunaan atau register. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa kode memliki hubungan dengan fungsi-fungsi sosial bahasa yang terdapat di dalam komunikasi sehari-hari yang terjadi di lingkungan masyarakat penutur yang mendukung terjadinya berbagai bentuk alih kode dan campur kode.

(8)

3

Hubungan bahasa dengan kode dalam ragam ranah komunikasi osial kemasyarakatan semakin dipertegas dengan pendapat dari Owen (dalam Ahdiryono, 2014) yang menjelaskan bahwa definisi bahasa yaitu:

Kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi symbol-simbol yang diatur oleh ketentuan.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik sebuah kesimpula bahwa perpaduan antara kode dan fungsi-fungsi bahasa dalam tatanan sosial kemasyarakatan telah berdampak pada timbulnya variasi dalam dialog yang menggabungkan unsur-unsur kebahasaab yang dalam kajian ilmu linguistik dikenal dengan alih kode dan campur kode.

Appel mendefinisikan alih kode itu sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi” (dalam Chaer dan Agustina, 2010:107). Namun berbeda dengan Appel yang berpendapat bahwa alih kode terjadi antar bahasa, maka Hymes menyatakan bahwa “alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi alih kode juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa” (dalam Chaer dan Agustina, 2010:107). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan peran dan situasi. Alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

Sedangkan Kchru (dalam Ilmusastra, 2014) memberikan definisi bahwa

“campur kode merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsure-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara

(9)

4

konsisten.” Pengertiaan campur kode yang lebih dipertegas lagi oleh pendapat Auzar dan Hermandra (dalam As-Nawi, 2013) yang mendefenisikan campur kode sebagai “kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam satu tindakan berbahasa”. Selanjutnya Jendra (dalam Ilmusastra, 2014) menambahkan bahwa:

“seseorang yang bercampur kode mempunyai latar belakang tertentu, yaitu adanya kontak bahasa dan saling ketergantungan bahasa (language dependency), serta ada unsur bahasa lain dalam suatu bahasa, namun, unsur bahasa lain mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda.”

Meskipun terdapat definisi yang berbeda antara alih kode dan campur kode tetapi dalam pengaktualisasiannya keduanya memiliki kesamaan fungsi.

Kesamaan antara alih kode dan campur kode yang ditinjau dari ranah fungsinya yang sama-sama merupakan hasil perpaduan antara bahasa sebagai kode dengan keadaan sosial masyarakat direlasikan dengan kenyamanan berkomunikasi.

Kenyamanan dalam berkomunikasi tidak hanya terhubung dengan dua pribadi yang berdialog, tetapi dapat ditarik ke skala yang lebih besar yatu komunitas. Istilah komunitas berasal dari bahasa latin communitas yang berasal dari kata communis yang artinya masyarakat, public, atau banyak orang.

Wikipedia bahasa Indonesia (dalam Untukku, 2014) menjelaskan pengertian komunitas sebagai “sebuah kelompok sosia dari beberapa organism yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki keterkaitan dan habitat yang sama”. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, resiko, dan sejumlah kondisi lain yang serupa.

(10)

5

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa definisi komunitas adalah kumpulan orang yang berbeda di dalam satu lingkup sosial tertentu yang memiliki kesamaaan, baik dari cara pandang, maupun hal-hal lain yang membuat anggotanya saling terhubng. Salah satu contoh komunitas yang terbentuk di antaranya adalah komunitas berdasarkan gender.

Menurut Fakih (dalam Psikologi, 2014) gender dapat diartikan sebagai

“fungsi alat-alat biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan yang tidak dapat dipertukarkan karena sudah menjadi kodrat Tuhan”. Sedangkan Echols dan Sadhily (dalam Psikologi, 2014) mengemukakan bahwa kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin, sehingga secara umum pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku.

Berdasaarkan pengertian tersebut, gender dapat dipahami sebagai pengklaasifikasian manusia berdasarkan jenis kelamin sebagai suatu bagian yang melekat pada fisik yang memepengaruhi segala aspe tingkah laku atau cara berbahasa atau berkomunikasi.

Terkait dengan hubungan antar gender dan bahasa, para ahli seperti Sumarsono dan Partana (Herman, 2014) mengatakan bahwa “ada perbedaan yanag sangat jelas dalam penggunaan bahasa antara lai-laki dan perempuan”. Hal yang mendasari pendapat tersebut adalah hasil penelitian mereka terhadap masyarakat di Kepulauan Antinel Kecil, Hindia Barat yanag menyatakan bahwa terdapat jenis-jenis kosakata dalam bahasa mereka yang boleh diucapkan oleh kaum pria tetapi tabu untuk diucapkan oleh kaum wanita.

(11)

6

Selain Sumarsono dan Partana, ahli lain yang juga mengungkapkan adanya perbedaan bentuk pengunaan bahasa antara laki-laki dan perempuan adalah Lackoff (Nickmenik, 2014) yang secara eksplisit mengemukakan bahwa “bahasa kaum wanita bersifat intuitif penuh pertimbangan. Kata, bunyi, dan tata kalimat pada bahasa dan kaum wanita memberikan sumbangan cukup besar dalam membangun gaya dalam berkomunikasi yang sopan”.

Penelitian para ahli tentang relasi antara bahasa dan gender, seringkali hanya menitikberatkan penelitiannya kepada pembagian besar gender yaitu perempuan dan laki-laki. Padahal, ada jenis gender lain yang seringkali kurang mendapat perhatian karena termarginalkan dari kehidupan masyarakat yaitu waria atau transgender.

Definisi transgender (dalam Wikipedia, 2014) adalah:

Istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berpikir, atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat mereka lahir.

Sedangkan berdasarkan American Psychologist Assosiation (APA) Dictionary

Transgender memiliki atau berhubungan dengan identitas gender yang berbeda dari kultural peran gender yang ditentukan dan jenis kelamin secara biologika.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa transgender adalag orang-orang yang berperilaku berbeda dengan kodrat biologis mereka. Pengertian transgender berdasarkan pendapat tersebut, secara tidak langsung telah menimbulkan stigma yang negatif terhadap

(12)

7

karakter transgender, baik dalam bentuk individu maupun kelompok. Khusus di daerah Makassar,

Pandangan terhadap transgender terbagi ke dalam dua pandangan, ada yang menganggap bahwa transgender adalah layaknya manusia biasa yang juga berhak untuk dimasukkan ke dalam status kemasyrakatan. Bahkan, di beberapa daerah, peran transgender dikaitkan dengan nilai-nilai kultural yang telah melekat di dalam masyarakat (bahkan transgender dianggap sebagai penghubung dunia spiritual). Jika ada kubu yang memposisikan transgender sebagai bagian dari identitas cultural, maka di satu sisi transgender juga mengalami pemarginalan.

Khusus untuk kalangan yang biasanaya memarginalkan komunitas trasgender, seringkali nilai-nilai yang dianut adalah moral dan agama yang sejak lama memandang bahwa transgender adalah sebuah bentuk penyimpangan yang harus dijauhkan dari tatanan hidup kemasyarakatan denfan tujuan agar kehidupan sosial menjadi lebih baik

Walaupun di beberapa komunitas modern di berbagai Negara transgender telah diakui sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam konstruksi sosial masyarakat. Alas an lain timbulnya gejolak pemarginalan transgender di kalangan msyarakat Makassar lebih dikarenakan pandangan bahwa kehidupan seorang transgender identik dengan pekerjaan yang menyangkut pemuasan syahwat seksual yang bersifat abnormal (asusila).

Khusus untuk kasus yang kedua, dimana transgender sering dihubungkan dengan perilaku sosial menyimpang, ada suatu komunitas transgender yang seringkali terlihat berkmpul di alun-alun kota Makassar yaitu Lapangan Karebosi

(13)

8

menjelang waktu tengah malam. Komunitas transgender ini seringkali disebut sebagai komunitas bencong (transgender) Karebosi.

Komunitas transgender Karebosi yang seringkali mendapat ancaman keselamatan di saat mereka sedang beroperasi berusaha memproteksi diri dan komunitas mereka. Tidak hanya dengan membawa alat pelindung keselamatan tapi juga berinsiatif untuk membuat semacam kode bahasa yang bentuknya merupakan penggabungan unsur-unsur kebahasaan yang umum dengan tujuan menciptakan pemahaman dan kenyamanan dalam dalam komunkasi antar anggota transgender di dalam komunitas mereka, Penggabungan kode-kode semacam ini dalam tataran linguistik (sebagaimana yang telah dijelaskan di atas) dikenal dengan fenomena alih kode dan campur kode.

Berangkat dari hal tersebut, penulis berinisiatif untuk meneliti tentang bagaimana alih kode dan campur kode berperan di dalam komunikasi komunitas transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar

B. Rumusan Masalah

Komunitas transgender di wilayah Lapangan Karebosi Makassar merupakan bagian dari masyarakat tutur dan sosial yang menggunakan bahasa dalam bentuk kode pada saat berkomunikasi. Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Tipe alih kode dan campur kode yang terjadi pada komunikasi transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar

(14)

9

2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode dalam komunikasi antar anggota komunitas transgender Karebosi

C. Definisi Operasional Penelitian

Untuk menghindari kekeliruan penafsiran terhadap variabel, kata dan istilah teknis yang terdapat dalam judul, maka penulis merasa perlu untuk mencantumkan definisi operasional dan ruang lingkup penelitian dalam skripsi ini. Judul penelitian adalah “Alih Kode dan Campur Kode dalam Ragam Komunikasi Transgender di Kawasan Lapangan Karebosi Makassar”.

Dengan pengertian antara lain:

a. Komunitas adalah kelompok organism yang hidup dan saling berinteraksi pada satu lingkungan tertentu

b. Ragam adalah variasi dari suatu bentuk pola yang dipengaruhi oleh variabel-variabel tertentu

c. Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara ddua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami

d. Transgender adalah seseorang ynag bertingkah laku yang tida sesuai dengan kesesuaian gender aslinya

e. Alih kode atau Code Switching adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur

f. Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa yang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam satu tindakan tutur

(15)

10 D. Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. untuk mengetahui wujud alih kode dan campur kode yang terdapat pada ragam bahasa transgender di lingkungan Lapangan Karebosi Makassar

b. untuk mengetahui penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam komunikasi transgender

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi studi linguistik dan informasi yang akhir-akhir ini makin banyak memeperoleh kajian dari berbagai disiplin ilmu, baik melalui kajian teoretis maupun kajian riset di bidang terapan

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat merefleksikan tentang wujud alih kode dan campur kode dalam ragam bahasa transgender di kawasan Lapangan Karebosi dan tidak kalah pentingnya bahwa penelitian ini dapat memperkaya hasil kajian di bidang ilmu linguistic tentang hubungan bahasa dengan gender yang seringkali tidak menarik minat para peneliti (utamanya pada objek penelitian yang berkaitan dengan transgender).

(16)

11

Secara khusus, manfaat praktis bagi kalangan transgender dan masyarakat umum adalah memperkaya khazanah pengetahuan dan memperkenalkan tentang variasi bahasa yang sering digunakan dalam rangka penyampaian berbagai gagasan dalam ranah komunikasi komunitas trangender Karebosi Makassar.

(17)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Bahasa

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebutuhan untuk selalu berinteraksi dengan sesamanya dengan menggunakan bahasa. Pengertian bahasa menurut Bloomfield ( dalam Sumarsono, 2007:17) adalah

Sistem lambang yang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi.

Sedangkan menurut Wibowo (dalam Wismasastra, 2014) pengertian bahasa adalah

Sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.

Hampir senada dengan pendapat Wibowo, Walija (dalam Wismasastra, 2014), mengungkapkan definisi bahasa adalah “komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ied, pesan, maksud, dan pendapat kepada orang lain.” Pendapat lainnya tentang definisi bahasa juga diungkapkan oleh Syamsuddin (Wismasastra, 2014), beliau berpendapat bahwa, bahasa adalah “alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan, dan perbuatan- perbuatan, alat yang dipakai untuk memperngaruhi dan dipengaruhi.

(18)

13 2. Ragam Bahasa

Menurut Wikipedia (2014) ragam bahasa adalah varian dari sebuah bahasa menurut pemakaian. Berbeda dengan dialek yaitu varian dari sebuah bahasa menurut pemakai. Variasi tersebut berbentuk dialek, aksen, laras, gaya, atau berbagai variasi linguistik lain termasuk bavariasi bahasa baku itu sendiri.

Menurut Bachman (dalam Ryu, 2014) ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan menurut hubungan pembiara, orang yang dibicarakan, serta medium pembicara.

3. Gender

Gender diartikan sebagai jenis kelamin (KBBI 2008:439). Kata ”gender”

berasal dari bahasa Latin genus yang berarti jenis atau tipe. Baron (Klikpsikologi, 2014) mengartikan bahwa gender merupaka “Sebagian konsep diri yang melibatkan identifikasi individu sebagai seorang perempuan atau laki-laki”.

Sedangkan Fakih (Klikpsikologi, 2014) mengemukakan bahwa gender adalah

“Suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.” Perubahan cirri dan sifat-sifat yang terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lainnya disebut konsep gender.

Dari berbagai definisi yang disampaikan oleh para ahli tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang merujuk pada karakteristik yang membedakan antara pria dan wanita baik secara biologis, perilaku, mentalitas, dan sosial budaya.

(19)

14

Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Sejauh ini persoalan Gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum laki-laki. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan Gender.

Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.

Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).

(20)

15

Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.

Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.

Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.

Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap perubahan disfungsional.

Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama.

Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan

(21)

16

kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert Bales). Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik.

Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis kelamin (sex).

Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi tersebut tidak selalu dapat dilakukan.

Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.

Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan ketimpangan gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis), akan tetapi merupakan divine creation.

Engels memandang masyarakat primitif lebih bersikap egaliter karena ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara nomaden sehingga belum dikenal adanya pemilikan secara pribadi. Rumah tangga

(22)

17

dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang sama dengan laki-laki.

Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga akan meningkatkan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua, perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan buruh-buruh cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam solidaritas kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88).

Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya sependapat dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi pada perjuangan pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan antara anak dan orang tua, istri dengan suami, junior dengan senior dan sebagainya.

4. Pengertian Kode

Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian bahasa dalam hierarki kebahasaan selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia, dll.), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti variasi regional (bahasa Jawa dialek Banyumas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut sebagai dialek sosial dan sosiolek (bahasa Jwa

(23)

18

halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak). Pendapat tersebut senada dengan persepsi Suwito (dalam sastrapuisi, 2014) yang mendefinisikan kode sebagai “salah satu variasi dalam hierarki kebahasaan”.

Wojowasito (Sastrapuisi, 2014) yang mendefenisikan istilah kode sebagai

“pengertian yang agak lurus, tidak saja berupa bahasa dan logat tetapu juga tingkat-tingkat, gaya cerita, dan gaya percakapan”. Sedangkan Poejosoedarmo (SastraPuisi, 2014) mengartikan kode sebagai “suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai cirri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada”.

Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul degan kode yang terdiri atas varian ragam, gaya, dan register.

5. Alih Kode

Alih kode (code switching) adalah suatu gejala kebahasaan yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Gejala alih kode tersebut muncul d tengah- tengah tindak tutur yang disadari dan memiliki sebab. Berbagai tujuan dari si pelaku tindak tutur yang melakukan alih kode dapat dilihat dari tuturan yang dituturkannya. Beberapa ahli telah memberikan batasan dan pendapat mengenai alih kode. Batasan dan pendapat tersebut diperoleh setelah mereka melakukan

(24)

19

penelitian dan pengamatan terhadap objek yang melakukan alih kode dalam tindak tuturnya.

Alih kode atau code switching adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur, misalnya, penutur menggunakan bahasa Indonesia kemudian beralih menggunakan bahasa Inggris. Alih kode merupakan salah satu aspke ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual. Dalam alih kode setiap bahasa cenderung mendukung fungsi masing-masing dan sesuai dengan konteksnya.

Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2010:107) sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Namun berbeda dengan Appel yang berpendapat bahwa alih kode hanya terjadi antar bahasa, maka Hymes (Chaer dan Agustina, 2010:107) menyatakan bahwa “Alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi alih kode juga dapat terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat di dalam suatu bahasa” `

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan peran dan situasi. Alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

a. Faktor-faktor Penyebab Alih Kode 1) Pembicara

Selain sikap kemultibahasaan yang dimiliki oleh masyarakat tutur, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode, seperti

(25)

20

yang dikemukakan Chaer perilaku atau sikap penutur, yang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena tujuan tertentu. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.

Kemudian ada juga penutur yang mengharapkan sesuatu dari mitra tuturnya atau dengan kata lain mengharapkan keuntungan atau manfaat dari percakapan yang dilakukanya. Sebagai contoh, A adalah orang sumbawa. B adalah orang batak. Keduanya sedang terlibat percakapan.

Mulanya si A berbicara menggunakan bahasa Indonesia sebagai pembuka.

Kemudian ditanggapi oleh B dengan menggunakan bahasa Indonesia juga.

Namun ketika si A ingin mengemukakan inti dari pembicaraannya maka ia kemudian beralih bahasa, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Batak.

Ketika si A beralih menggunakan bahasa Batak yang merupakan bahasa asli B, maka B pun merespon A dengan baik. Maka disinilah letak keuntungan tersebut. A berbasa basi dengan menggunakan bahasa Indonesia, kemudian setelah ditanggapi oleh B dan ia merasa percakapan berjalan lancar, maka si A dengan sengaja mengalihkan ke bahasa batak.

Hal ini disebabkan si A sudah ingin memulai pembicaraan yang lebih dalam kepada si B. Selain itu inti pembicaraan tersebut dapat tersampaikan dengan baik, karena mudah dimengerti oleh lawan bicara yaitu B.

Peristiwa inilah yang menyebakan terjadinya peristiwa alih kode.

2) Lawan Tutur

Mitra tutur atau lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode.

Misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa

(26)

21

lawan tuturnya. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena mungkin bahasa tersebut bukan bahasa pertamanya. Jika lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kemudian bila lawan tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. Sebagai contoh, Rani adalah seorang pramusaji disebuah restoran. Kemudian Ia kedatangan tamu asing yang berasal dari Jepang.

Tamu tersebut ingin mempraktikkan bahasa Indonesia yang telah Ia pelajari. Pada awalnya percakapan berjalan lancar, namun ketika tamu tersebut menanyakan biaya makanya Ia tidak dapat mengerti karena Rani masih menjawab denganmenggunakan bahasa Indonesia. Melihat tamunya yang kebingungan tersebut, secara sengaja Rani beralih bahasa, dari bahasa Indonesia ke bahasa Jepang sampai tamu tersebut mengerti apa yang dikatakan Rani. Dari contoh di atas dapat dikatakan telah terjadi peristiwa peralihan bahasa atau disebut alih kode, yaitu bahasa Indonesia ke bahasa Jepang. Oleh karena itu lawan tutur juga sangat mempengaruhi peristiwa alih kode.

3) Hadirnya Penutur Ketiga

Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode.

(27)

22

Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Sebagai contoh, Tono dan Tini bersaudara.

Mereka berdua adalah orang Sumbawa. Oleh karena itu, ketika berbicara, mereka menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari, yaitu bahasa Sumbawa. Pembicaraan berjalan aman dan lancar. Tiba-tiba datang Upik kawan Tini yang merupakan orang Lombok. Untuk sesaat Upik tidak mengerti apa yang mereka katakan. Kemudian Tini memahami hal tersebut dan langsung beralih ke bahasa yang dapat dimengerti oleh Upik, yaitu bahasa Indonesia. Kemudian Ia bercerita tentang apa yang Ia bicarakan dengan Tono dengan menggunakan bahasa Indonesia. Inilah yang disebut peristiwa alih kode. Jadi, kehadiran orang ketiga merupakan faktor yang mempengaruhi peristiwa alih kode.

4) Perubahan Situasi

Perubahan situasi pembicaraan juga dapat mempengaruhi terjadinya laih kode. Situasi tersebut dapat berupa situasi formal ke informal atau sebaliknya.

5) Topik Pembicaraan

Topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Topik pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa nonbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.

(28)

23 b. Jenis Alih Kode

Wardaugh dan Hudson menyatakan bahwa alih kode dibagi menjadi dua, yaitu alih kode metaforis dan alih kode situasional.

1) Alih Kode Metaforis

Alih kode metaforis yaitu alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik.

Sebagai contoh X dan Y adalah teman satu kantor, awalnya mereka menggunakan ragam bahasa Indonesia resmi, setelah pembicaraan urusan kantor selesai, mereka kemudian menganti topik pembicaraan mengenai salah satu teman yang mereka kenal. Ini terjadi seiring dengan pergantian bahasa yang mereka lakukan dengan menggunakan bahasa daerah.

Kebetulan X dan Y tinggal di daerah yang sama dan dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Contoh ini menjelaskan bagaimana alih kode terjadi dalam satu situasi percakapan. Alih kode jenis ini hanya terjadi jika si pembicara yang pada awalnya hanya membicarakan urusan pekerjaan menggunakan ragam bahasa resmi dan terkesan kaku kemudian berubah menjadi suasana yang lebih santai, ketika topik berganti.

2) Alih Kode Situasional

Alih kode situasional yaitu alih kode yang terjadi berdasarkan situasi dimana para penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu dalam suatu situasi dan bahasa lain dalam situasi yang lain. Dalam alih kode ini tidak tejadi perubahan topik

(29)

24

Selain alih kode metaforis dan situsional, Suwito dalam Chaer (2004:114) juga membagi alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih kode ekstern.

1) Alih Kode Intern

Alih kode intern yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya.

2) Alih Kode Ekstern

Alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia ke bahasa Jepang, atau sebaliknya.

c. Fungsi Alih Kode

Fungsi bahasa yang digunakan dalam suatu peristiwa tutur didasarkan pada tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan ungkapan yang berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan, mengumumkan, memarahi, dan sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa menurut fungsi yang dikehendakinya sesuai dengan tujuan, konteks dan situasi komunikasi. Dalam kegiatan komunikasi pada masyarakat multilingual alih kode dan campur kode pada umumnya dilakukan antara lain untuk tujuan- tujuan berikut.

(30)

25 1) Mengakrabkan suasana

Sebuah informasi dalam gagasan /pesan yang disampaikan oleh seorang penutur akan lebih mudah dipahami atau lebih cepat berterima jika ada kedekatan secara emosional antara individu-individu yang terlibat dalam peristiwa tutur. Misalnya, seseorang yang baru mengenal orang lain di suatu tempat, awalnya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia tetapi ketika mengetahui bahwa lawan bicara memiliki latar kedaerahan yang sama maka keduanya segera beralih kode ke bahasa daerahnya.

2) Menghormati lawan bicara

Dalam peristiwa tutur antara seseorang yang lebih tua dengan yang lebih muda atau seseorang dengan status sosial yang lebih rendah dengan orang yang memiliki status sosial lebih tinggi, atau antara atasan dan bawahan, alih kode dan campur kode kerap terjadi dengan tujuan menghargai atau menghormati lawan bicara.

3) Meyakinkan topik pembicaraan

Kegiatan alih kode dan campur kode juga sering digunakan ketika seorang pembicara memberi penguatan untuk meyakinkan topik pembicaraannya.

4) Untuk membangkitkan rasa humor

Dalam kegiatan berbahasa dalam situasi tertentu. Biasanya terjadi alih kode yang dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara dengan tujuan membangkitkan rasa humor untuk memecahkan kekakuan.

Alih kode ini dilakukan dalam bentuk pemberian ilustrasi-ilustrasi atau anekdot-anekdot.

(31)

26 5) Untuk sekadar bergaya atau bergengsi

Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif. Gejala seperti ini banyak kita temukan pada gaya bahasa para remaja atau artis selebriti. Biasanya mereka menggunakan bahasa Indonesia ragam Jakarta yang bercampur kode bahasa Inggris seakan ingin menampilkan trend setter yang kebarat-baratan.

6. Campur Kode

Di antara sesama penutur yang bilingual atau multilingual sering dijumpai suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan berbahasa. Fenomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat. Dengan demikian campur kode dapat didefenisikan sebagai penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana.

Chaer dan Agustina (1995:114) menjelaskan bahwa campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur, di mana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar yang digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja.

Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa tertentu.

Serpihan di sini dapat berupa kata, frasa, atau unit bahasa yang lebih besar.

(32)

27

Campur kode merupakan situasi pengguanaan suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai pencampuran bahasa. Campur kode dapat juga dinyatakan pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian bahasa dalam suatu situasi tertentu. Berdasarkan KBBI (2005:190) “Campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan.”

Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu.

Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.

Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa (speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu` Dalam keadaan yang demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada dalam KBBI yang telah dikemukakan.

(33)

28

Berdasarkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan berbahasa.

Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam, dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina (1995:152) menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa- klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur kode.”

Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Dalam campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain

(34)

29

ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa tulisan, biasanya unsur- unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan penggunaan dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.

Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi sendiri.

a. Faktor Penyebab Campur Kode

Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, dan kepercayaan. Setidaknya ada dua hal yang paling melatarbelakangi penggunaan campur kode. Faktor pendorong terjadinya campur kode oleh Suwito (dalam Maulidini, 2007:37-43) dapat dibedakan atas latar belakang sikap (atitudinal type) atau nonkebahasaan dan latar belakang kebahasaan (linguistic type)

(35)

30 1) Faktor Nonkebahasaan (atitudinal type)

a. Need for Synonim maksudnya adalah penutur menggunakan bahasa lain untuk lebih memperhalus maksud tuturan.

b. Social Value,yaitu penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial. Pada kasus disini penutur cenderung bercampur kode dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris dengan maksud menunjukan bahwa penutur merupakan seorang yang berpendidikan dan modern sehingga dalam berkomunikasi dengan pelanggan banyak menyisipkan kata atau istilah dalam bahasa asing.

c. Perkembangan dan Perkenalan dengan Budaya Baru

Hal ini turut menjadi faktor pendorong munculnya campur kode oleh penutur, sebab terdapat banyak istilah dan strategi penjualan dalam bidang telekomunikasi yangmempergunakan bahasa asing. Sehingga hal ini mempengaruhi perilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh penutur yang sebenarnya bukanmerupakan bahasa asli penutur.

2) Faktor Kebahasaan (linguistic type)

Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan seseorang melakukancampur kode disebabkan oleh hal-hal berikut ini :

a. Low frequency of word,yaitu karena kata-kata dalam bahasa asing tersebut lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.

(36)

31

b. Pernicious Homonimy, maksudnya adalah jika penutur menggunakankata dari bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu.

c. Oversight, yaitu keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur.

Banyaknya istilah dalam bidang telekomunikasi yang berasaldari bahasa asing menyebabkan penutur sulit menemukan padanannyadalam bahasa penutur. Contohnya: software, install, flash, restart, hang,blank

d. End (Purpose and Goal), yaitu akibat atau hasil yang dikehendaki.

End (tujuan) meliputi membujuk, dengan meyakinkan, menerangkan.

Untuk mencapai hasil tersebebut penutur harus menggunakan campur kode.

b. Jenis – Jenis Campur Kode

Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito (1996: 92) membedakan campur kode menjadi beberapa macam antara lain.

1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata

Kata merupakan unsur terkecil dalam pembentukan kalimat yang sangat penting peranannya dalam tata bahasa, yang dimaksud kata adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri dari morfem tunggal atau gabungan morfem

(37)

32

2. Penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa

Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak prediktif, gabungan itu dapat rapat dan dapat renggang (Harimurti, 2001: 59).

3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster

Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda membentuk satu makna (Harimurti, 1993: 92)

4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata

Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari reduplikasi.

5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom

Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain atau dengan pengertian lain idiom merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya.

6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa

Harimurti (2001: 110) mendefinisikan klausa sebagai satuan gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat serta mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.

(38)

33 c. Fungsi Campur Kode

Peristiwa campur kode terjadi pula karena adanya beberapa fungsi, antara lain:

1) Sebagai Perulangan

Sering kali pesan dalam suatu bahasa (kode) diulangi dengan kode lain, baiksecara literal atau dengan sedikit perubahan. Perulangan berfungsi untuk memberikan penekanan pada sebuah pesan atau menjelaskan apa yang telah dikatakan.

2) Sebagai Penyisip Kalimat

Campur kode dapat berfungsi sebagai penyisip kalimat atau penyempurna kalimatsehingga kalimat itu menjadi kalimat yang utuh, yang bisa berbentuk kata, frasaatau ungkapan. Maksud utuh di sini, percakapan utuh bukan dalam hal kaidah,namun menyangkut penggabungan dua bahasa.

Penyisipan kalimat di sinidimaksudkan bahwa dalam peristiwa tutur yang terjadi kalimat-kalimat yangdisampaikan merupakan perpaduan antara dua bahasa atau lebih yangmengisyaratkan terjadinya peristiwa campur kode 3) Sebagai Kutipan

Dalam banyak hal, campur kode dapat diidentifikasikan baik sebagai kutipan langsung maupun sebagai laporan seorang penutur bilingual, dalam sela-sela pembicaraannya kadang-kadang menggunakan kode bahaasa lain yang telah dinyatakan oleh seseorang.

(39)

34

Alih kode ini dilakukan dalam bentuk pemberian ilustrasi-ilustrasi atau anekdot- anekdot.

Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif. Gejala seperti ini banyak kita temukan pada gaya bahasa para remaja atau artis selebriti. Biasanya mereka menggunakan bahasa Indonesia ragam Jakarta yang bercampur kode bahasa Inggris seakan ingin menampilkan trend setter yang kebarat-baratan.

8. Kerangka Pikir

Struktur peneliti ini disusun dengan kerangka piker yang menjelaskan mengenai masalah dan hasil alih kode dan campur kode dalam ragam bahasa transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar. Masalah pertama yang muncul yaitu adanya kegiatan/operasi transgender di sekitar Lapangan Karebosi Makassar.

Pada saat berkomunikasi, para transgender ini menggunakan kode bahasa.

Kode bahasa menimbulkan adanya faktor yang melatarbelakangi pengggunaan alih kode dan campur kode. Menggunakan satu kode pada saat berkomunikasi dengan sesame transgender dianggap sulit untuk dilakukan, sehingga hal ini memicu terjadinya alih kode dan campur kode. Kerangka pikiran disusun sebagai berikut:

(40)

35

Kegiatan Komunitas Transgender di Kawasan Lapangan Karebosi

Makassar

Komunikasi dalam Komunitas Transgender

Kode bahasa adalah suatu sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai cirri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan

situasi tutur yang ada

Kode Bahasa Indonesia

Kode Budaya Kode

Sastra

Alih kode Dan Campur Kode

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode

Faktor penyebab alih kode a. Lebih komunikatif

b. Lebih prestis c. Lebih argumentatif d. Lebih persuasif

e. Lebih membangkitkan rasa simpatik

Faktor penyebab alih kode a. Lebih komunikatif

b. Lebih singkat

c. Lebih mudah dipahami

(41)

36 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian mencakup kesatuan dan keserasian proses yang dilakukan untuk mendapatkan hasil analisis yang sesuai dengan gambaran penggunaan alih kode dan campur kode dalam ragam bahasa transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar. Berikut ini metode penelitian yang dimulai dari rancangan pengkhususan jenis penelitian, lokasi penelitian, penentuan data, dan sumber data, pemilihan populasi dan sampel data, alat penelitan, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Menurut Bodgan dan taylor (dalam Aneka, 2014) metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Data yang dikumpulkan dalam penelitian berbentuk kata-kata dan bukan berupa angka. Penelitian ini menjelaskan fenomena kebahasaan berupa alih kode dan campur kode dalam ragam bahasa transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar.

(42)

37 B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang diambil adalah kawasan Lapangan Karebosi di Jl.

Jenderal Ahmad Yani, Makassar. Alasan dipilihnya loasi tersebut karena lokasi tersebuut merupakan tempat beroperasinya komunitas transgender yang menjadi focus utama dalam penelitian ini.

(43)

38 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Di antara sesama penutur yang bilingual atau multilingual sering dijumpai suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan berbahasa. Fenomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat. Dengan demikian campur kode dapat didefenisikan sebagai penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana.

Chaer dan Agustina (1995:114) menjelaskan bahwa campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur, di mana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar yang digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja.

Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa tertentu.

Serpihan di sini dapat berupa kata, frasa, atau unit bahasa yang lebih besar.

Campur kode merupakan situasi pengguanaan suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai pencampuran bahasa. Campur kode dapat juga dinyatakan pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian bahasa dalam suatu situasi tertentu. Berdasarkan KBBI (2005:190) “Campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk

(44)

39

memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan.”

Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu.

Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.

Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa (speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu` Dalam keadaan yang demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada dalam KBBI yang telah dikemukakan.

Sedangkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan berbahasa.

(45)

40

Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam, dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina (1995:152) menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa- klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur kode.”

Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Dalam campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa tulisan, biasanya unsur- unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan penggunaan dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.

(46)

41

Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi sendiri.

b. Faktor Penyebab Campur Kode

Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, dan kepercayaan. Setidaknya ada dua hal yang paling melatarbelakangi penggunaan campur kode. Faktor pendorong terjadinya campur kode oleh Suwito (dalam Maulidini, 2007:37-43) dapat dibedakan atas latar belakang sikap (atitudinal type) atau nonkebahasaan dan latar belakang kebahasaan (linguistic type)

2) Faktor Nonkebahasaan (atitudinal type)

a. Need for Synonim maksudnya adalah penutur menggunakan bahasa lain untuk lebih memperhalus maksud tuturan.

(47)

42

b. Social Value,yaitu penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial. Pada kasus disini penutur cenderung bercampur kode dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris dengan maksud menunjukan bahwa penutur merupakan seorang yang berpendidikan dan modern sehingga dalam berkomunikasi dengan pelanggan banyak menyisipkan kata atau istilah dalam bahasa asing.

c. Perkembangan dan Perkenalan dengan Budaya Baru

Hal ini turut menjadi faktor pendorong munculnya campur kode oleh penutur, sebab terdapat banyak istilah dan strategi penjualan dalam bidang telekomunikasi yangmempergunakan bahasa asing. Sehingga hal ini mempengaruhi perilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh penutur yang sebenarnya bukanmerupakan bahasa asli penutur.

3) Faktor Kebahasaan (linguistic type)

Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan seseorang melakukancampur kode disebabkan oleh hal-hal berikut ini :

e. Low frequency of word,yaitu karena kata-kata dalam bahasa asing tersebut lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.

f. Pernicious Homonimy, maksudnya adalah jika penutur menggunakankata dari bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu.

g. Oversight, yaitu keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur.

(48)

43

Banyaknya istilah dalam bidang telekomunikasi yang berasaldari bahasa asing menyebabkan penutur sulit menemukan padanannyadalam bahasa penutur. Contohnya: software, install, flash, restart, hang,blank

h. End (Purpose and Goal), yaitu akibat atau hasil yang dikehendaki.

End (tujuan) meliputi membujuk, dengan meyakinkan, menerangkan.

Untuk mencapai hasil tersebebut penutur harus menggunakan campur kode.

c. Jenis – Jenis Campur Kode

Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito (1996: 92) membedakan campur kode menjadi beberapa macam antara lain.

1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata

Kata merupakan unsur terkecil dalam pembentukan kalimat yang sangat penting peranannya dalam tata bahasa, yang dimaksud kata adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri dari morfem tunggal atau gabungan morfem

2. Penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa

Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak prediktif, gabungan itu dapat rapat dan dapat renggang (Harimurti, 2001: 59).

3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster

(49)

44

Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda membentuk satu makna (Harimurti, 1993: 92)

4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata

Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari reduplikasi.

5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom

Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain atau dengan pengertian lain idiom merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya.

6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa

Harimurti (2001: 110) mendefinisikan klausa sebagai satuan gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat serta mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.

d. Fungsi Campur Kode

Peristiwa campur kode terjadi pula karena adanya beberapa fungsi, antara lain:

1) Sebagai Perulangan

Sering kali pesan dalam suatu bahasa (kode) diulangi dengan kode lain, baiksecara literal atau dengan sedikit perubahan. Perulangan berfungsi

(50)

45

untuk memberikan penekanan pada sebuah pesan atau menjelaskan apa yang telah dikatakan.

2) Sebagai Penyisip Kalimat

Campur kode dapat berfungsi sebagai penyisip kalimat atau penyempurna kalimatsehingga kalimat itu menjadi kalimat yang utuh, yang bisa berbentuk kata, frasaatau ungkapan. Maksud utuh di sini, percakapan utuh bukan dalam hal kaidah,namun menyangkut penggabungan dua bahasa.

Penyisipan kalimat di sinidimaksudkan bahwa dalam peristiwa tutur yang terjadi kalimat-kalimat yangdisampaikan merupakan perpaduan antara dua bahasa atau lebih yangmengisyaratkan terjadinya peristiwa campur kode 3) Sebagai Kutipan

Dalam banyak hal, campur kode dapat diidentifikasikan baik sebagai kutipan langsung maupun sebagai laporan seorang penutur bilingual, dalam sela-sela pembicaraannya kadang-kadang menggunakan kode bahaasa lain yang telah dinyatakan oleh seseorang.

4) Sebagai Fungsi Spesifikasi Lawan Tutur

Penutur bermaksud menyampaikan pesan dengan kode lain kepada salah satu dari beberapa kemungkinan lawan tutur yang mengerti bahasa penutur.

5) Unsur Mengkualifikasi Isi Pesan

Bentuk lain dari campur kode adalah pengelompokkan isi-isi pesan dalam bentuk kalimat, kata kerja, kata pelengkap atau predikat dalam konstruksi bahasa lain

(51)

46

Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu.

Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.

Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa (speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu` Dalam keadaan yang demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada dalam KBBI yang telah dikemukakan.

Sedangkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan berbahasa.

Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi

(52)

47

saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam, dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina (1995:152) menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa- klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur kode.”

Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Dalam campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa tulisan, biasanya unsur- unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan penggunaan dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.

Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini

(53)

48

dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi sendiri.

Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu.

Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.

Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa (speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu` Dalam keadaan yang demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada dalam KBBI yang telah dikemukakan.

Sedangkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) struktur novel Megamendung Kembar (MK); (2) latar belakang sosial budaya ditulisnya novel MK; (3) sosial

Hasil simulasi yang didapat yaitu mekanisme spectrum sharing rule C menghasilkan alokasi kanal bagi secondary user yang bebas konflik satu sama lain dengan jumlah kanal

Ketiga hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan absorbs polutan mikroba dalam ruangan, pertumbuhan mikroorganisme di udara, dan meningkatkan bau yang tidak sedap;

Pada proses pembentukan portfolio, model MAD dari permasalahan seleksi portfolio selanjutnya diselesaikan dengan menggunakan algoritma titik interior dan hasilnya

Pendekatan Coordinated Management of Meaning (CMM) yang digunakan dalam penelitian ini membantu untuk menganalisa mengenai fenomena Proses Konstruksi Ilmu Sejati Orangtua

Dari penelitian yang telah dilaksanakan, orang tua dengan anak HIV/AIDS di poli VCT RSUD Waluyo Jati Kraksaan pada tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua sangat

Kontribusi langsung yang diberikan fokus pada konsumen terhadap kepuasan kerja karyawan ini menjelaskan bahwa perubahan kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh

sarana pendidikan menurut (Tim Penyusun Pedoman Media Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) adalah semua fasilitas yang diperlukan dalam