• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sensualitas

Dalam KKBI sensualitas berarti segala suatu yang berhubungan dengan badan bukan rohani, sedangkan sensual berarti berhubungan dengan kenikmatan yang bersifat naluri, yang juga memiliki kaitan langsung dengan inderawi (senseindera) (Ari, 2011:17). Sensualitas merupakan gerakan- gerakan dan perilaku yang sengaja dilakukan untuk menarik khalayak, dalam hal ini mampu mendorong rangsangan seksual. Surya dan Ida (2003) berpendapat bahwa sensualitas juga berupa aksi panggung, serta pakaian yang sengaja dipertontonkan secara sensual (arouse sexual desire) (Ari, 2011:18).

Pada umumnya, sensual dimaknai sebagai tindakan penunjukkan bagian tubuh dengan kecenderungan adanya penonjolan perbedaan fisik pria dan wanita (Andiyah, 2011:16). Sehingga secara singkat sensualitas merupakan simbol- simbol yang melekat pada objek serta memiliki daya rangsang seksual yang dapat ditangkap oleh indera.

Sensualitas sejatinya berada dalam tataran presepsi akan bentuk

sensualitas itu sendiri. Sehingga takaran sensualitas masing-masing individu

akan berbeda, tergantung bagaimana seseorang memaknai pemahaman

sensualitas. Sensualitas dalam imajinasi atau presepsi setiap manusia tentu

memiliki dasar atau bentuk yang dianggap sebagai “sensualitas”. Dalam

penerapannya sensualitas dapat dibedakan menjadi dua bentuk yakni verbal

dan nonverbal. Adapun bentuk verbal seringkali ditandai dengan penggunaan

intonasi atau penekanan suara, seperti mendesah atau lengkingan. Sedangkan

(2)

10 sensualitas secara nonverbal seringkali ditandai dengan gestur, sentuhan, ataupun penampilan (Andiyah, 2011:16). Pada dasarnya sensualitas tidak hanya dikhususkan bagi kaum hawa, sensualitas dapat terjadi pada pria dan wanita.

Pada penerapannya kata sensual lebih sering ditujukan kepada kaum wanita, hal ini dikarenakan adanya budaya patriaki yang memposisikan wanita sebagai objek yang memberikan konstribusi pada pengkomoditian tubuh oleh media. Seperti contoh cover majalah dewasa yang kerap kali menampilkan tubuh wanita dalam balutan pakaian yang mengesankan citra sensual (Ari, 2011:17). Sedangkan dalam sinematografi, wanita divisualisasikan dengan sedemikian indah melalui sudut pandang kamera (angle) serta efek-efek tertentu, sehingga secara tidak sadar ikut membentuk dan mengukuhkan citra wanita yang telah ada (Nia & Redi, 2018:223). Hal ini menandakan mudahnya wanita dikendalikan oleh citra yang disematkan padanya.

2.2 Sinden

Mulyono (1989) menjelaskan bahwa sinden dalam pertunjukan wayang kulit, baru diadakan sekitar tahun 1925-an (Nurgiantoro, 1998:44). Dalam setiap pertunjukan, akan ada dua sampai delapan orang sinden yang bertugas membawakan lagu atau tembang Jawa. Biasanya mereka membawakan tembang-tembang tradisional, mulai Gambuh, Maskumambang, Mijil, Sinom, Pangkur, Megatruh, Kinanthi, hingga Asmaradana (Andry, 2015).

Sejak kehadirannya dalam pertunjukan wayang kulit, lambat laun

sinden menjadi primadona dalam sebuah pertunjukan wayang, dan telah

menjadi salah satu bentuk daya tarik utama bagi penonton. Hal ini sejalan

(3)

11 dengan pendapat Batari yang menyatakan bahwa dahulu sinden hanya bersifat sebagai pelengkap dalam pertunjukan wayang kulit, namun sekarang justru sinden menjadi salah satu daya tarik utama bagi pertunjukan wayang kulit itu sendiri (Saraswati, 2013:158). Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Burhan bahwa peranan sinden terlihat semakin penting dan meningkatkan daya tarik penonton, terlebih jika menghadirkan sinden ternama seperti Waljinah (Nurgiantoro, 1998:44). Namun meski tidak menghadirkan sinden terkenal, pertunjukan wayang dapat memperoleh minat penonton dengan menghadirkan sinden berbakat dalam hal menyanyi, menari dan berparas rupawan.

2.2.1 Sinden Modern

Sinden pada awal kemunculannya identik dengan kebaya, sanggul, serta wajah yang dipoles tipis. Gerak dan tuturnya melambangkan wanita Jawa yang digambarkan patuh dan lemah lembut. Namun berbeda dengan sinden yang lebih leluasa mengekspresikan dirinya sebagai seorang seniman. Perkembanagn zaman membuat sinden juga turut mengubah diri, guna mendapatkan minat penonton. Sehingga muncul pula istilah sinden modern, yang mengacu pada modernisasi dalam pengemasan pertunjukan sinden itu sendiri.

Diera digital kesenian sinden berhasil mendapatkan ruang dalam

media digital, Sehingga sinden yang menjadi sorotan media televisi ataupun

media sosial dapat disebut sebagai sinden modern. Salah satu sinden yang

disebut-sebut sebagai sinden modern adalah Rita Tila, seorang sinden yang

terkenal baik melalui media televisi maupun sosial media. Rita juga

(4)

12 mendobrak pakem sinden yakni dengan tanpa memakai sanggul. Pada Gaya rambut Rita Tila sering menggunakan gaya modern dan gaya hollywood atau barat, serta mengenakan lensa kontak warna biru atau hijau guna menambah kesan modern dalam setiap penampilannya. Riasan wajahnya pun mengikuti tren riasan ala barat yang cukup tebal saat tampil di panggung (Sarosa, 2018). Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari tampilan fisik, sinden modern merupakan sinden yang menghadirkan modernisasi atas dirinya sebagai pelaku kesenian. Dalam hal ini gaya berpakaian, riasan wajah, aksesoris, serta tatanan rambut. Sejalan dengan selera berpakaian sinden modern, penggunaan lagu pun juga terpengaruh modernisasi. yakni dengan adanya penggunaan lagu koplo, campursari, kendang kempul atau pun lagu pop. Sehingga jika dilihat dari genre musik yang dibawakan, sinden modern juga bisa diartikan sebagai sinden yang membawakan lagu-lagu diluar pakem yang ada.

2.2.2 Sinden Tradisional VS Sinden Modern

Kesenian sinden merupakan salah satu kesenian yang tidak lepas dari

kesenian wayang kulit, sebab dimana ada pertunjukan wayang kulit, maka

akan ada sinden pula didalamnya. Sinden pada zaman dahulu sangat patuh

terhadap aturan yang diberikan oleh dalang, yakni pola duduk, tutur kata,

tembang, hingga gaya berbusana yang telah disesuaikan dengan nilai-nilai

adiluhung. Dahulu para sinden duduk menghadap kearah kelir (layar putih),

sehingga membelakangi penonton. Sedangkan dalam penggunaan tutur kata

disesuaikan dengan nilai kesopanan masyarakat Jawa, yakni menggunakan

bahasa Jawa krama alus. Tembang Jawa yang dinyanyikan pun merupakan

(5)

13 tembang macapat yang bernilai tata nilai dan etika masyarakat Jawa, seperti tembang Mijil, Sinom, Gambuh, Durma, Pangkur, Pocung, Megatruh, Asmaradana, Dhandhanggula, Maskumambang, dan Kinanthi. Dalam

menunjang penampilannya sinden pada zaman dahulu menggunakan kebaya kutubaru atau kebaya yang pas ditubuh sinden, dilengkapi pula dengan penggunaan jarik, dan sampur, serta rambut yang disanggul rapi.

Namun seiring dengan perkembangan zaman peubahan terjadi dalam pertunjukan wayang kulit, sehingga sedikit banyak membuat para sinden juga harus mengikuti perubahan yang ada. Dalam hal ini sinden telah melakukan banyak perubahan dari pakem yang telah ada sejak sinden hadir dalam pertunjukan wayang kulit. Adapun perubahan tersebut terjadi dalam berbagai aspek, yakni pola duduk, tutur kata, tembang, dan gaya berbusana.

Dalang dalam pertunjukan wayang kulit modern cenderung memberikan aturan yang sesuai dengan kebutuhan komersial, sehingga pola duduk sinden diatur menghadap penonton, bahkan sinden akan diminta berdiri dan berjoget saat menyanyikan lagu atau tembang, berupa lagu koplo, dangdut atau pun pop yang sedang naik daun. Sedangkan dari segi berbusana, para sinden bebas menggunakan model kebaya yang akan dikenakan, asal sesuai dengan tema pertunjukan. Biasanya sinden muda akan menyamakan model dan warna kebayanya, sedangkan sinden senior menggunakan kebaya dengan warna senada namun berbeda dari segi model kebaya.

2.2.3 Citra Sinden dalam Kesenian Jawa

Dalam berkesenian tentu para sinden memiliki citra yang disematkan

masyarakat atas pekerjaan seni yang ditekuninya. Sebagai kesenian yang

(6)

14 lahir didaerah yang menganut sistem patriarki, tentu membuat sinden mendapat citra negatif, bahkan sejak awal kemunculannya. Menurut Ki Sutadi, pemerhati kebudayaan dan bahasa Jawa dalam wawancara pada laman berita online antara news, memaparkan bahwa citra negatif pada sinden salah satunya dikarenakan pekerjaan yang dilakukan di malam hari.

Hal tersebut juga didasari banyaknya eksploitasi pada sinden melalui lagu atau tembang yang menyudutkan wanita (Laeis, 2012).

Sedangkan modern ini, pertunjukan sinden telah banyak menyalahi

aturan pakem dalam pementasan wayang kulit. Dikutip dari kadenews.com,

menurut Ki Sudjinal, sesepuh Paguyuban Ngesthi Laras Tanggung,

sekaligus ketua Sumbud (Sumbaga Budaya) Tulungagung, banyak sekali

penyimpangan yang dilakukan para dalang era masa kini yang tidak sesuai

dengan pakem. Menurutnya seharusnya para sinden atau wira pradangga

duduk menghadap ke kayon atau gunungan, sehingga membelakangi

penonton. Tetapi sekarang para sinden nyatanya duduk menghadap

penonton, bahkan mereka berdiri pada saat menyanyi. Padahal di depannya

adalah para niyaga yang sebagian sudah tua, dalam hal ini para sinden

dianggap ra’ duwe duga (tidak sopan)” (Susetya, 2018). Hal ini tentu bukti

bahwa citra sinden dimata sesepuh penggiat seni pertunjukan wayang

menjadi sedikit tercoreng, sebab telah menyalahi aturan dan norma

kesopanan dalam kesenian wayang. Berbanding terbalik dengan pendapat

diatas, para penonton muda berpenadapat bahwa kenikmatan-kenikmatan

memandang dan mendengar para sinden telah menjadi orientasi dalam

menonton pertunjukan wayang kulit modern. Sehingga sinden menjadi

(7)

15 objek tatapan dan objek keterpandangan dari hasrat memandang para penonton (Setiawan, 2016:22).

Ikwan dalam penelitiannya, menjelaskan bahwa sinden memiliki konteks kultur yang melekat pada diri mereka. Dalam hal ini pakaian yang dikenakan, rupa-rupanya ikut memberikan batasan-batasan yang secara sadar tidak dilanggar. Mereka sadar bahwa mereka juga akan nembang (mengiringi lakon) sebagai bagian integral dari pagelaran wayang (Setiawan, 2016:13). Namun dalam penerapannya batasan-batasan yang tersebut tetap saja dilanggar, sinden yang menyanyikan lagu pop atau koplo pada sesi limbukan, seolah sengaja menggunakan gerakan atau jogetan sensual untuk menarik minat penonton. Tentu dengan adanya peran dalang atau komedian sebagai pemantik. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa kesenian sinden memiliki citra sensual.

2.2.4 Sinden dalam Sesi Limbukan

Sesi limbukan merupakan salah satu sesi yang mampu menarik minat

penonton dalam sebuah pertunjukan wayang kulit. Hal ini dikarenakan pada

sesi tersebut para sinden serta wayang Cangik dan Limbuk yang dimainkan

dalang akan menghibur penonton dengan guyonan-guyonannya. Ikwan

(2016) menjelaskan sebenarnya cangik dan limbuk merupakan nama dua

tokoh wanita jenaka, yakni ibu dan anak yang dialog di antara keduanya

biasanya membahas tentang kritik-kritik terhadap isu yang tengah hangat

diperbincangkan di masyarakat, dari persoalan moralitas, pergaulan bebas,

korupsi pejabat, bahkan masalah politik.

(8)

16 Dalam pertunjukan wayang kulit zaman dahulu, sebelum sesi limbukan dimulai, sinden akan menyanyikan tembang Jawa sebagai

pengantar cerita. Sedangkan disela-sela sesi limbukan, biasanya dalang akan mengajak sinden untuk ikut membahas isu yang diperbincangkan, meski hanya sekedar menanyakan pendapat atau memberi saran. Sehingga peran sinden dalam sesi limbukan pada pertunjukan wayang zaman dahulu, hanya sebagai pengiring serta pemanis pertunjukan. Sedangkan sesi limbukan dalam pertunjukan wayang kulit modern, sinden memiliki peran penting untuk menarik minat penonton, terlebih sinden seringkali menyanyikan lagu campursari, kendang kempul, dangdut, maupun pop yang sedang ngetren di masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Burhan, bahwa dewasa ini faktor kemenarikan pertunjukan wayang kulit terlihat tidak lagi hanya terfokus pada kehebatan dalang dan cerita wayang saja, melainkan juga pada fungsi kerawitan (musik gamelan) dan nyanyian para sinden (Nurgiantoro, 1998:44).

Dalam sesi limbukan wayang kulit modern, biasanya sebelum sinden menyanyikan lagu, dalang akan berbasa-basi menanyakan keadaannya.

Terkadang celetukan-celetukan genit dari sinden keluar dalam dialog singkat tersebut, menjadikan suasana semakin gayeng (Setiawan, 2016:16).

Namun seringkali isu yang diangkat tidak tersampaikan, sebab acara didominasi guyonan antara dalang dan sinden. Terkadang sesi limbukan juga menghadirkan komedian atau penyanyi dangdut yang tengah digandrungi guna menarik minat penonton (Setiawan, 2016:12).

(9)

17 2.3 Wanita Jawa

Endraswara (2013), menjelaskan bahwa kedudukan wanita di dalam masyarakat Jawa sering kali digambarkan sebagai kaum yang dikekang, feminin, dan tidak berdaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Handayani dan Novianto (2004:3) bahwa selama ini masyarakat masih memandang wanita Jawa sebagai wajah ketertindasan.

Dalam berbagai kesastraan Jawa, wanita di beri label sebagai makhluk yang penuh kelembutan, kesetiaan, susila, rendah hati, pemaaf, dan penuh pengabdian. Padahal, wanita Jawa pada masa Hindu-Buddha diketahui memiliki posisi yang setara dengan kaum pria. Rahadjo (2001) mengungkapkan hal ini dapat diketahui dari adanya catatan sejarah yang mengungkapkan bahwa raja wilayah Lasem pada masa Majapahit, dari lima periodenya dipimpin oleh seorang wanita (Indradjaja, 2017:106).

Wanita Jawa dengan label yang telah disebutkan diatas, mampu

menempati posisi sebagai bagian dari keberlangsungan kehidupan sosial

budayanya. Wanita Jawa pada dasarnya juga memiliki tuntutan akan

kepatuhan dalam perannya sebagai seorang wanita, istri dan anak, hingga

pada persoalan yang lebih luas (Sulastuti, 2017:3). Atas kemampuannya

menangani setiap permasalahan yang muncul, wanita Jawa mendapatkan

label prigel (ulet atau rajin) dan luwes (mudah disesuaikan). Di sisi lain,

wanita Jawa yang halus, lembut, dan lemah gemulai merupakan simbol

eksistensi budaya Jawa yang halus dan adiluhung (Sulastuti, 2017:2).

(10)

18 2.3.1 Gerakkan Tubuh dan Atribut Wanita Jawa dalam Seni Pertunjukan Jawa

Sejak lama terdapat pemahaman mengenai wanita Jawa yang halus, lembut sekaligus sebagai objek yang harus taat atau tunduk, sehingga muncul berbagai wujud ekspresi seni yang diperuntukkan bagi tubuh wanita (Sulastuti, 2017:2). Salah satu bentuk kesenian yang menonjolkan gerak tubuh sebagai bentuk pengekspresiannya adalah tarian. Beragam bentuk dan jenis tarian wanita khas budaya Jawa terus berkembang seiring kebutuhan ekspresi dan hiburan akan seni, sebagai gantinya wanita dituntut untuk meningkatkan kecerdasan tubuhnya sebagai bentuk produk kesenian Jawa.

Pada dasarnya wanita Jawa melalui kecerdasan tubuhnya memiliki

otonomi terhadap tubuhnya dalam mengambil peran di tengah kehidupan

sosial budayanya. Dengan menari, wanita Jawa membuktikan bahwa mereka

mampu menempati posisi utama sebagai media ekspresi budaya Jawa yang

adiluhung (Sulastuti, 2017:3). Sama halnya dengan menari, aksi berjoget

juga sering digunakan para seniwati dalam seni pertunjukan, terutama

pertunjukan tarik suara. Biasanya joget yang ditampilkan berupa tarian

bebas yang tidak memiliki pakem dalam gerakannya, seniwati sendirilah

yang menyesuaikan gerakan dengan lagu yang dimainkan. Sehingga dalam

joget biasanya nilai adiluhung kurang diperhatikan. Salah satu bentuk

kesenian yang mengadopsi joget dalam penampilannya adalah sinden dalam

pertunjukan wayang kulit. Seni gerak yang dipertontonkan bersifat feminin,

walaupun terkadang sedikit berlebihan, dalam hal ini diseksualkan atau

disensualkan. Gerakan-gerakan tersebut terutama ditujukan untuk publik

laki-laki (Bouvier, 2002:232).

(11)

19 Sedangkan kekuatan kecerdasan tubuh wanita Jawa juga diiringi dengan kekuatan tampilannya, dalam hal ini bagaimana cara mereka menghias diri melalui atribut yang dikenakan, seperti kemben, sampur, kain batik, sanggul, serta aksesoris pendukung lainnya. Menurut Desmond Morris (1977), atribut berupa busana memiliki tiga fungsi, yakni kenyamanan, kesopanan, dan pertunjukan atau pameran. Sedangkan busana yang nyaman adalah yang melindungi tubuh, jika pada tataran kesopanan, maka busana yang dapat menutupi tubuh. Disisi lain fungsi pertunjukan merujuk pada gaya dan bentuk busana (Widyastutieningrum, 2007:237).

Dahulu para seniwati, menggunakan kemben sebagai busana penunjang penampilannya diatas panggung, biasanya berupa kain batik atau kain bermotif bunga. Kemben merupakan penutup torso (tubuh) bagian atas yang terbuat dari kain motif dengan warna tertentu yang memiliki lebar 50 cm dan panjang dua meter. Kain tersebut dililitkan pada torso bagian atas dengan memperlihatkan bagian dada atas yang terbuka. Kemben biasanya akan dipadukan dengan sampur (selendang) yang disampirkan menutupi kedua bahu dan bagian dada, biasanya disertai pemakaian bros atau peniti untuk merapatkan sampur. Pemakaian sampur tersebut ditujukan sebagai penangkal dinginnya angin malam saat pertunjukan, terlebih pada pertunjukan semalam suntuk (Widyastutieningrum, 2007:238-241).

Namun seiring kemajuan zaman, kemben mulai digantikan dengan

kebaya yang memiliki banyak bentuk dan model yang telah disesuaikan

dengan tren yang ada. Kebaya merupakan blus tradisional Indonesia,

biasanya terbuat dari bahan tipis, tenun maupun katun yang dikenakan

(12)

20 dengan sarung, batik, atau kain tradisional lainnya (Soewardi, 2008:4).

Dalam seni pertunjukan Jawa, kebaya umumnya dipadu padankan dengan kain batik yang biasa disebut sewek atau jarik, yakni kain batik untuk perempuan (Wahyu, 2012:32), penggunaannya sendiri menyerupai sarung namun pada bagian perut, kain dililitkan secara rapi dan diperkuat dengan penggunaan centing, yakni kain berukuran 15 cm dan memiliki panjang dua meter yang berfungsi seperti ikat pinggang. Sedangkan untuk riasan wanita Jawa pada zaman dahulu lebih sering berdandan minimalis (tidak mencolok), bahkan cenderung terlihat tanpa dandanan. Atribut lain yang yang menjadi ciri khas wanita Jawa adalah menyanggul rambutnya.

Sehingga tidak heran jika muncul sanggul pasangan model gelung konde atau gelung tekuk.

Dengan adanya pengetahuan wanita Jawa akan kekuatan tampilannya yang terlihat dalam penggunaan atribut, serta kecerdasan tubuhnya dalam gerak, membuat tubuh wanita Jawa ikut menjadi bahan eksplorasi sebuah bentuk ekspresi budaya.

2.3.2 Ekspresi Wajah dan Intonasi Suara Wanita dalam Seni Pertunjukan Jawa

Sebenarnya ekspresi wajah dan suara wanita dalam seni pertunjukan

Jawa, hampir sama dengan seni pertunjukan didaerah lainnya. Ekspresi

wajah berperan sebagai penyampai suasana hati, guna memberikan

penonton gambaran rasa yang ingin disampaikan oleh seniman. Hal ini

sejalan dengan pendapat Ahli komunikasi nonverbal, Dale G. Leather

(1976), yang menyebutkan bahwa wajah merupakan alat penyampai makna,

didalamnya termasuk pula ekspresi (Sukendar, 2017:48). Misalnya dalam

(13)

21 seni tari Reog Obyogan para penarinya dianjurkan untuk berlatih ekspresi wajah, dimana para penari diharuskan selalu tersenyum genit dan diperkuat lirikan mata yang menggoda. Latihan ini dilakukan guna mengingatkan agar penari tampil dengan wajah yang gembira, murah senyum tetapi tidak boleh tertawa lebar, sebab nilainya akan turun karena dianggap kurang sopan (Martono, 2012:42). Latihan ekspresi wajah tersebut juga dilakukan dalam seni pertunjukan Jawa lainnya, hal ini menjadi penting dilakukan, sebab dalam berbagai seni pertunjukan Jawa, senyum menjadi salah satu bukti penghargaan bagi penonton, serta ketulusan hati para pelakunya.

Selain ekspresi wajah, intonasi suara juga merupakan salah satu poin penting dalam seni pertunjukan Jawa. Intonasi merupakan tinggi rendah suara, panjang pendek suara, keras lemah suara, jeda, irama, dan timbre yang menyertai tuturan (Sutanto, 1998:43). Dalam suatu komunikasi, intonasi suara dapat digunakan sebagai penekanan dalam penyampaian suatu pesan. Serta merupakan salah satu faktor penting yang berperan sebanyak 38% dalam terjadinya suatu komunikasi yang baik (Tan, 2010:49).

Menurut Don Juan DeMarco intonasi suara adalah senjata yang ampuh untuk mempengaruhi siapapun melalui rasa. Melihat pentingnya peranan intonasi suara dalam suatu proses komunikasi, maka tidak heran jika dalam seni pertunjukan intonasi suara menjadi penting.

Salah satu yang menggunakan keahlian dalam mengolah suara adalah

sinden. Para sinden diharuskan memiliki suara bagus, melankolis, dan

bervariasi, dalam hal ini, memiliki cengkok, luk, gregel serta mampu

menarik hati dan menghadirkan suasana sedih dan gembira, sesuai dengan

(14)

22 lagu yang dinyanyikan. Cengkok adalah pola dasar permainan instrumen atau lagu. Luk adalah teknik penyuaraan dari cengkok tertentu dengan cara mengadakan tambahan satu atau dua nada di atas atau di bawah nada lintasan cengkok dasar yang merupakan satu kesatuan. Gregel adalah teknik penyuaraan sebagai pengembangan cengkok dasar dengan menambah beberapa nada lintasan. Sedangkan teknik lainnya adalah wiled yang merupakan bentuk pengembangan cengkok tertentu dengan variasi melalui satu atau beberapa nada, sehingga gaya antar sinden tidak akan sama.

Kelihaian para sinden dalam melantunkan suaranya, memunculkan nama panggilan serupa dengan nama burung seperti Nyi Prenjak, Nyi Podhang, dan sebagainya (Jazuli, 2009).

2.4 Media Sosial

Dr. Elvinaro Ardianto (dalam Hamidati & dkk, 2011:xii)

mengungkapkan bahwa media sosial disebut jejaring sosial dan bukan media

massa, hal ini dikarenakan media sosial memiliki kekuatan mempengaruhi

opini publik. Sedangkan menurut Nasrullah (2015:16) media sosial memiliki

karakter yang tidak jauh berbeda dari media siber lainnya, yaitu jaringan,

informasi, arsip, interaksi, simulasi, dan konten. Karakter inilah yang

membuat penggunanya dapat merasakan sensasi berkomunikasi melalui media

secara mandiri, serta bebas mengekspresikan diri melalui unggahannya. Meski

terkesan bebas, media sosial juga memiliki aturan bagi pengguna dalam

pembuatan kontennya, aturan tersebut biasanya terdapat pada laman awal

ketika pengguna media sosial hendak mendaftarkan dirinya.

(15)

23 Media sosial dianggap sebagai ruang bebas bagi penggunanya untuk memiliki pengalaman dalam mencapai tujuan komunikasinya secara virtual.

Flew (2002) menjelaskan bahwa munculnya virtual reality, komunitas virtual, dan identitas virtual merupakan fenomena yang banyak muncul seiring dengan hadirnya media sosial. Hal ini disebabkan adanya kebebasan bagi para pengguna untuk menggunakan ruang seluas-luasnya, memperluas jaringan seluas-luasnya, dan menunjukkan identitas yang lain dengan yang dimiliki pengguna tersebut di dunia nyata (Watie, 2011:70-71). Karena tidak adanya batasan kebebasan penggunaan ruang dalam media sosial, seringkali norma atau nilai budaya asli sering terabaikan dan cenderung mengikuti budaya asing.

2.5 Instagram Sebagai Media Penyebar Konten Sensualitas

Instagram merupakan aplikasi sosial media, yang berfokus pada fitur

berbagi foto maupun video secara instan dan cepat (Ananda, 2017:9). Dengan

mengusung fitur yang menunjang penggunanya dalam bermedia sosial,

Instagram sukses menjadi salah satu media sosial yang diminati di Indonesia,

dengan pengguna aktif sebanyak 120 juta pengguna di bulan Januari 2019

(Kemp, 2019). Namun pencapaian tersebut tidak berbanding lurus dengan

penggunaan media sosial tersebut, sebab seperti yang dikutip pada

kompas.com, pada bulan Januari 2019 Instagram mendapatkan aduan

mengenai konten negatif sebanyak 11.740 konten (gabungan dengan jumlah

aduan Facebook). Konten pornografi merupakan salah satu kategori yang

sering mendapatkan aduan.

(16)

24 Munculnya unggahan-unggahan bernuansa pornografi dalam Instagram, salah satunya disebabkan adanya kebebasan serta kemudahan dalam bermedia.

Salah satu unggahan pornografi yang sering dijumpai adalah foto atau video sensual, yang seringkali digambarkan melalui sosok wanita. Hal ini dikarenakan adanya citra serta peran sensual pada wanita, seperti yang diungkapkan Laura Mulvey dalam artikelnya “Visual Pleasure and Narrative Cinema” (1974), yang menyebutkan bahwa wanita memiliki peran sebagai

objek “tatapan dan kenikmatan pria” atau sebagai objek “sensual pleasure”

pria (Ibrahim, 2001:193).

2.6 Komunikasi Massa

Meletzke mengartikan komunikasi masa sebagai komunikasi terbuka

melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada

publik yang tersebar. Sedangkan ciri komunikasi massa adalah komunikasinya

menggunakan media massa, baik audio visual maupun cetak. Komunikasi

massa dalam prosesnya selalu melibatkan lembaga, biasanya komunikatornya

merupakan seorang yang bergerak dalam sebuah organisasi. Pesan yang

diberikan dalam media massa akan bersifat umum, sehingga komunikannya

bersifat anonim serta informasi yang didapat menjadi serempak, dalam hal ini

tersampaikan dalam satu waktu yang sama. Sifat komunikasi yang terbentuk

adalah satu arah, dengan umpan balik yang tertunda dan tidak langsung, dalam

hal ini setelah komunikator memberikan informasi, ia tidak dapat secara

langsung mendapat feedback dari komunikatornya (Romli, 2016:2-6).

(17)

25 2.7 Semiotika Roland Barthes

Semiotika adalah studi mengenai bagaimana tanda atau simbol mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2014:32). Hal ini sejalan dengan pendapat Sobur (2004:87) yang mengemukakakn bahwa semiotika adalah model penelitian yang memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut mewakili suatu obyek representatif. Sedangkan menurut Barthes dalam Vera (2014:26) semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana manusia memaknai berbagai hal. Namun menurut Jane Stokes (2007:78), sebagai sebuah metode, semiotika bersifat interpretatif, hal ini tentu membuat semiotika menjadi sangat subjektif.

Teknik analisis semiotik Roland Barthes menggunakan penekanan pada pemaknaan suatu sistem tanda melalui tiga tingkatan, yaitu denotasi, konotasi, dan pengungkapan mitos. Denotasi atau tatanan pertandaan pertama adalah gambaran hubungan antara penanda dan petanda dalam sebuah tanda dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menempatkan konotasi sebagai pemaknaan tatanan kedua dari penanda.

Gunanya adalah untuk menggambarkan interaksi yang berlangsung antara tanda dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya (Fiske, 2004:118-119).

Tatanan kedua dalam menganalisis kerja tanda ialah melalui mitos.

Bagi Barthes yang dimaksud dengan mitos adalah cara berpikir dari suatu

kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau

memahami sesuatu. Mitos merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda.

(18)

26 Gambar 2.1

Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya (Fiske, 2004:122).

2.7 Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada makna sensualitas sinden modern yang ditampilkan dalam akun Instagram @sinden_modern. Dalam mengungkapkan makna sensualitas sinden modern, peneliti melihat pada aspek sensualitas yang ditampilkan melalui audio dan visual dalam unggahan video

@sinden_modern. Adapun audio yang dimaksudkan meliputi komunikasi

verbal antara sinden dan komedian atau sebaliknya, yang didalamnya terdapat

ungkapan berupa kalimat yang merujuk pada seksualitas. Serta penggunaan

lagu yang didominasi tema percintaan, dengan lirik yang ditujukan untuk

menggoda lawan jenis. Sehingga disertai dengan penggunaan intonasi suara

mendesah ataupun penekanan suara pada lirik tertentu. Sedangkan yang

dimaksud dengan visual, meliputi komunikasi nonverbal berupa gerakkan

bahu atau gerakkan pinggul, yakni gerakan yang meliputi area bawah pusar

hingga bagian atas lutut; ekspresi wajah; serta penggunaan kebaya modern

yang ketat. Bentuknya merujuk pada kemben yang diberi lengan berupa kain

tipis transparan dengan hiasan renda atau manik-manik, sehingga punggung

bagian atas, lengan dan bagian atas dada dapat terlihat.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis varians (lampiran 4) menunjukkan bahwa pemberian alga Chlorella pyrenoidosa dengan konsentrasi yang berbeda pada limbah cair industri karet

Keaktifan mahasiswa dalam kegiatan organisasi intra universitas adalah salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa, selebihnya sekitar 81,94% adalah faktor lain

minit bagi setiap 2 jam (pada siang hari) adalah memadai untuk tanaman yang ditanam di tanah rendah. Dalam tempoh ini, tiap-tiap pokok menerima lebih kurang 100 – 150 ml larutan

Hasil P-value untuk keong mas besar lebih kecil dari 0.05 sehingga dapat diartikan bahwa ekstrak daun mahkota dewa berbeda nyata terhadap penurunan daya

Kadar protein ditentukkan regresi liniernya terhadap kurva standar BSA (Harjanto, 2017). Pembuatan hidrogel ekstrak kulit nanas a. 2) Mencampurkan etanol 96% ke dalam

3.6 Tabel Tingkat Reliabilitas Berdasarkan Nilai

penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Dimensi Total Quality Management Terhadap Kinerja Manajerial Pada Wirausaha (Objek. penelitian pada CV.

Residu trenbolon (dalam bentuk TBA dan 17- β - trenbolon) ditemukan setelah 1 dan 2 minggu setelah domba Garut diimplantasi TBA yaitu pada sampel daging di sekitar lokasi