SKRIPSI
OLEH
ROYANA PARHUSIP NIM. 141000452
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH
ROYANA PARHUSIP NIM. 141000452
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2018
penjaringan terhadap terduga pasien TB pemeriksaan fisik dan laboratories, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Puskesmas Mogang memiliki angka penemuan kasus terendah di Kabupaten Samosir pada tahun 2017 sebanyak 107 kasus (40,2%) dengan BTA+ sebanyak 10 (38,5%). Data ini membuktikan bahwa angka penemuan kasus di Puskesmas Mogang masih belum mencapai target yang ditetapkan yaitu 70%.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan pencapaian penemuan kasus penderita TB Paru di Puskesmas Mogang.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pengumpulan data wawancara mendalam dan observasi . Informan dalam penelitian ini adalah petugas sebanyak 4 orang (Penanggung jawab Program P2TB Paru, Penanggung jawab Program P2M, Kepala Puskesmas, dan Analis Laboratorium dan pasien sebanyak 10 orang.
Hasil penelitian menunjukkan kemampuan petugas dalam penemuan kasus TB Paru relatif masih kurang, motivasi kerja petugas relatif masih kurang, dan beban kerja petugas relatif berat untuk dijalani. Pengetahuan pasien tentang TB Paru relatif masih rendah dan secara umum tindakan pasien masih kurang.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada petugas Puskesmas Mogang untuk meniingkatkan kemampuan dalam pelaksanaan penemuan kasus TB perlu dilakukannya penyuluhan secara kontinu tentang TB Paru dan pencegahannya kepada masyarakat luas bukan hanya kepada pasien TB Paru yang berkunjung ke puskesmas, tetapi juga kepada pengunjung yang bukan penderita TB Paru dengan melibatkan kader-kader.
Kata kunci: TB Paru, Determinan, Penemuan kasus
determining diagnosis, determining the classification and type of TB patients, so that medication can be recovered so as not to transmit the disease to others.
Puskesmas Mogang has the lowest case finding rate in Samosir regency in 2017 as many as 107 cases (40,2%) with BTA + as much as 10 (38,5%). This data proves that case detection rate in Puskesmas Mogang still has not reached the target set that is 70%. This study aims to determine the detserminants of the achievement of case finding of Pulmonary TB patients in Mogang Community Health Center.
This type of research was qualitative research with in-depth interview data collection and observation. Informants in this research are 4 officers (responsible for P2TB Lung Program, P2M Program Officer, Head of Puskesmas, and Laboratory Analyst and patient as many as 10 people.
The results showed that the ability of officers in the finding of pulmonary tuberculosis cases was still lacking, the work motivation of the officers was still relatively low, and the workload of the officers was relatively heavy to live.
Patients' knowledge of pulmonary tuberculosis was still relatively low and generally the patient's actions were lacking.
Based on the results of the research, it was susgested that the Mogang Community Health Center staff to improve the performance of the officers for case finding pulmonary tuberculosis rate, it was necessary to conduct a continuous counseling on pulmonary tuberculosis and its prevention to the public not only to Pulmonary TB patients visiting the puskesmas, but also to visitors who are not Pulmonary TB patients with cadres involved.
Keywords: Pulmonary TB, Determinant, Case Finding
“Determinan Pencapaian Penemuan Kasus (Case Finding) Penderita TB Paru di Puskesmas Mogang Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir Tahun 2018”. Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
Banyak pengalaman yang diperoleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan semua itu berkat bantuan serta dukungan dari berbagai pohak. Sehingga pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakulltas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Drs. Zulfendri, M.kes, selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. Juanita, SE, M.Kes selaku Dosen Pembimbing yang banyak memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan dan menyempurnakan skripsi ini.
6. dr. Heldy B.Z., MPH selaku dosen penguji II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan kepada penulis dalam menyempurnakan skripsi ini.
7. Dra. Syarifah, MS sebagai dosen Pembimbing Akademik Penulis yang membimbing penulis selama mengikuti pendidikan dan menyelesaikan studi di FKM USU.
8. Seluruh dosen dan staf pegawai di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
9. Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir yang telah memberikan izin penelitian dalam penulisan skripsi ini.
10. dr. Elya Nora Girsang, selaku Kepala Puskesmas Mogang dan seluruh Pegawai Puskesmas Mogang yang telah memberikan kesempatan, mendukung, dan meluangkan waktu untuk membantu penulis melakukan penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Mogang.
11. Teristimewa kepada orang tua tercinta, Maniur Parhusip dan Hotlida Br Situmorang, dan L. Situmorang, Abang Martua Parhusip, Parasian Parhusip, Jhon v. Parhusip, Canro Parhusip. Terimakasih atas kasih sayang, kesabaran, motivasi, memberi semangat, doa, dukungan moral, dan bantuan dana yang telah diberikan kepada penulis dalam menempuh
skripsi ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat terutama dalam kemajuan ilmu pengetahuan.
Medan, Agustus 2018
Royana Parhusip
Pembangunan kesehatan merupakan bagian utama dari misi pemerintah mengenai peningkatan kesejahteraan rakyat serta pembangunan kesehatan yang berkeadilan dalam meningkatkan pembangunan manusia dan masyarakat yang menghasilkan manusia – manusia Indonesia unggul dengan meningkatkan kecerdasan otak dan fisik melalui pendidikan kesehatan dan pencegahan penularan penyakit (Kemenkes RI, 2016). Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setingi-tingginya dapat terwujud (Depkes RI, 2009).
Salah satu tujuan khusus dari program upaya kesehatan adalah mencegah terjadinya dan tersebarnya penyakit menular, dan menurunnya angka kematian dan angka kecacatan (Kemenkes RI, 2016). Tuberkulosis paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah utama dan menjadi perhatian global.
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. TB sangat berdampak luas bagi kualitas hidup, ekonomi dan bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja baik mulai dari balita sampai dewasa. Sekitar 75%
penderita TB adalah kelompok usia kerja produktif (15-49 tahun), kebanyakan dari kelompok sosial ekonomi dan berpendidikan rendah. Diperkirakan seorang penderita TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan.
Hal ini akan berakibat kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk secara sosial yaitu dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2008).
Menurut World Health Organization (WHO), jumlah kasus baru tuberkulosis (TBC) di dunia pada 2015 mecapai 10,4 juta jiwa meningkat dari sebelumnya hanya 9,6 juta. Adapun jumlah temuan TBC terbesar adalah di India sebanyak 2,8 juta kasus, di ikuti Indonesia sebanyak 1,02 juta kasus dan Tiongkok (Cina) sebanyak 918 ribu kasus. Indonesia menjadi temuan terbanyak kedua di dunia setelah India. Sebesar 60% kasus baru (WHO, 2016).
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut laporan WHO tahun 2015, diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate / CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya 314.965 adalah kasus baru (Kemenkes RI, 2016).
Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO (Tuberkulosis Resisten Obat) diperkirakan sebanyak 6.700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang. Tingkat resiko untuk terserang penyakit TB Paru di Indonesia berkisar antara 1,7% sampai 4,4%.
Penyakit TB Paru merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan pada semua kelompok usia dan nomor satu dari
golongan penyakit infeksi. Secara nasional, penderita TBC di Indonesia pada 2015 sebesar 395 per 100 ribu populasi dengan angka kematian sebesar sebesar 40 per 100 ribu populasi atau 273 orang per hari (WHO, 2016).
Sejak tahun 1995 Program pemberantasan TB Paru telah dilaksanakan dengan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO. DOTS merupakan strategi komprehensif yang digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia, untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB Paru dengan tujuan untuk memutuskan rantai penularan di masyarakat dengan mengobati penderita BTA positif sampai sembuh (WHO, 2016).
Seiring dengan berkembangnya waktu, program pemberantasan TB Paru beralih menjadi program penanggulangan yang meliputi advokasi dan pemberdayaan melalui Gerakan Terpadu Nasional (GERDUNAS) yang dicanangkan pemerintah pada tanggal 24 maret 1999, penguatan mutu pelayanan (pelatihan dasar dan penyegaran SDM, penguatan pembinaan dan supervisi, peguatan sistem informasi dari riset operasional, penguatan manajamen Obat Anti Tuberculosa (OAT) melalui penyediaan disrtibusi dan pengedalian mutu OAT, penguatan kemampuan diagnosis TB melalui pengembangan jaringan laboratorium dan pengendalian mutu diagnosis , penguatan kemampuan strategi Pengawas Menelan Obat (PMO) melalui pengembangan dan pembinaan PMO, penguatan supervisi PMO, dan penyediaan sarana penunjang (Dirjen PPM & PL, 2002).
Strategi dalam penanggulangan penularan TB Paru dalam Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga meliputi :
1) Identifikasi terduga TB diantara anggota keluarga, termasuk anak dan ibu hamil.
2) Memfasilitasi terduga TB atau pasien TB untuk mengakses pelayanan TB yang sesuai standar.
3) Pemberian informasi terkait pengendalian infeksi TB kepada anggota keluarga, untuk mencegah penularan TB di dalam keluarga dan masyarakat.
4) Pengawasan kepatuhan pengobatan TB melalui Pengawas Menelan Obat (PMO) (Kemenkes RI, 2016).
Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan, penemuan penderita perlu dilakukan dengan pencarian kasus (case finding). Penemuan kasus TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilakukan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan yang didukung oleh penyuluhan secara aktif. Menurut Depkes RI (2001) penyuluhan TB Paru perlu dilakukan, karena masalah TB banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru.
Faktor-faktor yang mempengaruhi cakupan penemuan penderita suatu penyakit adalah : faktor tenaga (petugas), faktor sarana penunjang, pengendalian mutu pelayanan, dan pengetahuan penderita. Pentingnya case finding adalah untuk menemukan sedini mungkin penderita TB melalui serangkaian kegiatan
mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB.
Kesuksesan dalam penanggulangan TB adalah dengan menemukan penderita dan mengobati penderita sampai sembuh . WHO menetapkan target global Case Detection Rate (CDR) atau penemuan kasus TB sebesar 70% dan Cure Rate (CR) atau angka kesembuhan pengobatan sebesar 85%. Angka
kesembuhan menunjukkan persentasi pasien TB Paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan diantara pasien TB Paru BTA positif yang tercatat (Depkes RI, 2007).
Sumatera Utara terdapat Penemuan kasus baru BTA+ yaitu 14.158 kasus per tahun (Depkes RI, 2009). Di tahun 2011 case detection rate TB Paru adalah 69,4% (Kemenkes RI, 2012). Di tahun 2016 Sumatera Utara merupakan jumlah kasus TB Paru terbanyak setelah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dengan jumlah kasus sebesar 22.643 jiwa dari 14.102.911 jumlah penduduk (Kemenkes RI, 2017).
Pada tahun 2017, gambaran case finding di Kabupaten Samosir dengan jumlah penduduk 123.789 jiwa, mempunyai target penemuan kasus (case finding) sebanyak 1981 kasus, akan tetapi realisasi penemuan kasus sebanyak 1.338 (67,6%), sehingga penemuan kasus TB di Kabupaten Samosir belum mencapai target nasional 70%, selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Rekapitulasi Penemuan Kasus TB Paru di Kabupaten Samosir tahun 2017
NO Puskesmas Jlh.Penduduk Perkiraan JLH %
1 PRM Buhit 30.468 487 403 82,7
2 PS Simarmata 3.821 61 62 101,4
3 PPM Ambarita 7.320 117 97 82,8
4 PRM Tuktuk Siadong 6.100 98 78 79,9
5 PS Lontung 3.191 51 27 52,9
6 PS Harian 8.114 130 71 54,7
7 PRM Limbong 9.448 151 63 41,7
8 PS Ronggur Nihuta 8.632 138 66 47,8
9 PS Mogang 16.648 266 107 40,2
10 PS Sirait 12.261 196 83 42,3
11 PS Onan Runggu 10.445 167 115 68,8
12 PS Sitio-tio 7.341 117 67 57,0
Jumlah 123.789 1.981 1.338 67,6
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir Tahun 2017
Berdasarkan studi pendahuluan yang penulis lakukan di Puskesmas Mogang, diperoleh informasi bahwa pada tahun 2017, hasil pelaksanaan case finding baru mencapai 107 (40,2%) kasus. Apabila dibandingkan dengan target
sebanyak 266 kasus dengan target kasus utama BTA+ 26 kasus, dan pencapaiannya hanya 10 (38,5%) kasus. Angka tersebut sudah cukup baik namun masih di bawah target Renstra Nasional Indonesia yang ditetapkan WHO yaitu sebanyak 70%. Maka pencapaian case finding di Puskesmas Mogang masih rendah.
Rendahnya cakupan penemuan kasus di Puskesmas Mogang di asumsikan karena kurangnya motivasi dan beban kerja petugas cukup berat yang merangkap program lain dan kurangnya pengetahuan tentang TB Paru dan bahaya TB Paru oleh masyarakat. Mengacu kepada uraian diatas, maka perlu dilakukan kajian untuk mengetahui determinan penemuan kasus (case finding) penderita TB Paru
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah apa saja determinan pencapaian case finding penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Mogang Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir tahun 2018.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apa saja determinan pencapaian case finding penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Mogang Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir tahun 2018.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Sebagai bahan masukan dalam peningkatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB Paru di Puskesmas Mogang.
2) Untuk mengetahui apa saja determinan pencapaian case finding penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Mogang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pusat Kesehatan Masyarakat
Pusat Kesehatan Masyarakat yang dikenal dengan sebutan Puskesmas adalah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya pada satu atau bagian wilayah kecamatan (Kemenkes RI,2016).Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat dinyatakan bahwa puskesmas berfungsi menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama.
Puskesmas merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)dinas kesehatan kabupaten/kota. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, akan mengacu pada kebijakan pembangunan kesehatan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bersangkutan, yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Lima Tahunan dinas kesehatan kabupaten/kota.
Dalam era reformasi ini Puskesmas mempunya visi yaitu tercapainya kecamatan sehat menuju Indonesia sehat, dengan misi : (1) Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya, (2) Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya, (3) Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan, (4) Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya.
Tugas Puskesmas yaitu Melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Fungsi puskesmas : (1) Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama di wilayah kerjanya, (2) Penyelenggaran upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama di wilayah kerjanya. Untuk menjalankan tugas dan fungsi Puskesmas (Kemenkes RI, 2016).
Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa Puskesmas adalah unit pelayanan kesehatan terdepan yang berfungsi sebagai alat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatann secara menyeluruh dan terpadu untuk masyarakat yang tinggal di suatu wilayah kerja tertentu.
2.2 Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis).Sebagian besar kuman Tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga meyerang organ tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2016).
Kuman ini berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai BTA, kuman TB Paru cepat mati bila kena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2008).
2.3 Kuman dan Cara Penularannya Penyakit TB
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis).Lebih dari 80% kelainan karena Tuberkulosis terdapat pada paru sehingga sering disebut Tuberkulosis Paru.Tuberkulosis di luar paru disebut TB Ekstra Paru yang menyerang berbagai organ tubuh seperti kelenjar limfe, tulang, sendi, usus, selaput otak dan lain-lain (Kemenkes RI, 2016).
Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M.tuberculosis, M.africanum, M.bovis, M.Leprae dsb, yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan
Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium Tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran pernafasan dikenal
sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB.
Secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis adalah
1. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.
2. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen, berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop.
3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.
4. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
5. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet.
Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada suhu antara 30-37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.
6. Kuman dapat bersifat dorman. (Kemenkes RI, 2016)
Sumber penularan adalah pasien TB terutama pasien yang mengandung kuman TB dalam dahaknya.Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik).
Infeksi akan terjadi apabila seseorang menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3.000 percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3.500 M.tuberculosis.Sedangkan kalau bersin dapat mengeluarkan sebanyak 4.500 –
1.000.000 M.tuberculosis.
2.4 Definisi Strategi DOTS
Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah strategi pengobatan yang komprehensif yang digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TB Paru. Di Indonesia pelaksanaan staretegi DOTS dimulai pada tahun 1995/1996.
Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994), angka kesembuhan TB Paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40%-60% saja, dengan strategi pengobatan DOTS yang baru ini diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru BTA positif yang ditemukan (Kemenkes RI,2016).
Strategi DOTS diartikan sebagai berikut:
1. D (Directly)
Dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop untuk menentukan apakah ada kuman atau tidak.Agar kasus penderita TB dapat disembuhkan, maka prioritas utama dari setiap program TB harus langsung pada sumber penyakit.Jadi, penderita dengan pemeriksaan sputum BTA positif, langsung diobati sampai sembuh.
2. O (Observed)
Ada observer yang mengamati pasien dalam minum obat.Hal yang diamati yaitu saat minum obat dan dosis obat.Observer dapat berupa seorang tenaga kesehatan atau kader terlatih atau keluarga pasien.
3. T (Treatment)
Pasien disediakan obat lengkap serta dimonitor. Pasien harus diyakinkan bahwa mereka akan sembuh setelah pengobatan selesai. Alat monitor berupa buku laporan yang merupakan bagian dari sistem dokumen kemajuan dalam penyembuhan.
4. S (Shortcourse)
Pengobatan TB dengan kombinasi dan dosis yang benar.Obat-obat anti TB dikenal dengan Shortcourse chemoteraphy.Pengobatan harus dilakukan dalam jangka waktu yang benar selama 6 bulan (Permatasari, 2005).
Ada lima komponen dalam strategi DOTS yaitu :
1. Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB nasional.
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
3. Pengobatan TB Paru dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO).
4. Kesinambungan persediaan OAT.
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru (Depkes RI, 2002).
2.5Penemuan kasus penyakit
Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB. Setelah diagnosis ditetapkan dilanjutkan pengobatan yang adekuat sampai sembuh, sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut (Kemenkes RI, 2016).
Strategi penemuan pasien TB dapat dilakukan secara pasif dan aktif.Upaya penemuan pasien TB harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.
1. Penemuan kasus TB dilakukan secara pasif di fasilitas kesehatan dengan jejaring layanan TB melalui Public-Private Mix (PPM), dan kolaborasi berupa kegiatan TB-HIV, TB-DM (Diabetes Mellitus), TB-Gizi, Pendekatan Praktis Kesehatan paru (PAL = Practical Approach to Lung
health), ManajemenTerpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu
Dewasa Sakit (MTDS) atau menunggu penderita yang datang berobat ke Puskesmas saja (Azwar,1999).
2. Penemuan pasien TB secara aktif berbasis keluarga dan masyarakat, dapat dibantu oleh kader dari posyandu, pos TB desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Kegiatan ini dapat berupa:
a. Investigasi kontak pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak erat dengan pasien TB.
b. Penemuan di tempat khusus: Lapas/Rutan, tempat kerja, asrama, pondok pesantren, sekolah, panti jompo.
c. Penemuan di populasi berisiko: tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh (Kemenkes RI, 2016).
2.6Penemuan penderita Tuberkulosis
2.6.1 Penemuan penderita Tuberkulosis pada orang dewasa
Penemuan penderita Tuberkulosis pada orang dewasa yaitu semua kontak penderita TBC Paru BTA positif dengan gejala yang sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian (Kemenkes RI, 2016).
2.6.2 Penemuan penderita Tuberkulosis pada anak
Penemuan penderita Tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit sesuai gejala klinis berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit selain TB, sehingga sebagian besar diagnosis Tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji tuberculin (tuberculin test(Kemenkes RI, 2016).
2.7Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Petugas TB Paru Dalam Angka Penemuan Kasus TB Paru
Salah satu faktor yang dibutuhkan dalam keberhasilan program penanggulangan TB Paru yaitu sumber daya manusia yang berkualitas dengan kinerja yang baik guna mencapai target nasional angka penemuan kasus TB Paru minimal 70%. Istilah kinerja berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance yakni prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh
seseorang.
Kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.Dalam hal ini karyawan bisa belajar seberapa besar kinerja yang dilakukan melalui sarana informasi seperti komentar baik dari atasan dan rekan-rekan kerja, sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja merupakan sarana untuk menilai dan mamantau kemampuan setiap karyawan untuk melihat keselarasan pencapaian target yang diinginkan (Mangkunegara, 2005).
Menurut Mangkunegara (2005) yang mengutip pendapat Keith Davis (1964) faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation).
1. Faktor kemampuan (ability)
Kemampuan (ability) adalah kemampuan untuk mengubah pengetahuan (knowledge) ke dalam tindakan (action) yang menghasilkan tingkat kinerja yang
diinginkan.
2. Faktor motivasi (motivation)
Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja.Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Menurut Gibson dkk (1996) ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja dan perilaku, yaitu :
1. Variabel individu
Variabel individu yang meliputi kemampuan dan keterampilan, fisik maupun mental, latar belakang, pengalaman dan demografi, umur, dan jenis kelamin, asal-usul.
2. Variabel organisasi
Variabel organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan/imbalan, struktur organisasi, pembagian tugas yang jelas, beban kerja, komitmen organisasi, struktur dan desain pekerjaan.
3. Variabel psikologis
Variabel psikologis meliputi persepsi, sikap, kepribadian, belajar, kepuasan kerja, dan motivasi. Persepsi, sikap, kepribadian, dan belajar merupakan hal yang komplek dan sulit diukur serta kesempatan tentang pengertiannya sukar dicapai, karena seseorang individu masuk dan bergabung dalam suatu organisasi
kerja pada usia, etnis, budaya, latar belakang dan keterampilan yang berbeda- beda.
Menurut Mangkunegara (2005), indikator kinerja ada 4 yaitu kualitas, kuantitas, pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, sebagai berikut :
1. Kualitas
Kualitas kerja adalah seberapa baik seseorang mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan.
2. Kuantitas
Kuantitas kerja yaitu seberapa lama seseorang bekerja dalam satu hari.
3. Pelaksanaan tugas
Pelaksanaan tugas yaitu seberapa jauh seseorang mampu melakukan pekerjaan yang akurat atau tidak ada kesalahan yang dilakukan.
4. Tanggung jawab
Tanggung jawab merupakan kesadaran akan kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan yang diberikan.
Motivasi mengandung unsur: a) Partisipasi atau keikutsertaan atasan dalam pekerjaan bawahannya, b) Komunikasi seperti konsultasi atau bimbingan kerja atasan kepada bawahan, c) Pengakuan atau penghargaan prestasi kerja, d) Pendelegasian tugas, wewenang, tanggung jawab dan pengambilan keputusan, e) Kemauan untuk menerima beban kerja lebih, f) Imbal balik dari karyawan terhadap perusahaan dan sebaliknya.
Teori motivasi yang paling terkenal adalah Abraham Maslow yang membuat hierarki kebutuhan manusia menjadi kebutuhan fisik dan biologis,
kebutuhan rasa aman dan nyaman, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri dan kebutuhan aktualisasi atau apresiasi diri. Motivasi dalam suatu pencapaian tujuan mempunyai maksud yang sangat luas dalam pengembangan organisasi, antara lain sebagai berikut :
a. Mendorong semangat kerja petugas.
b. Meningkatkan kepuasan kerja petugas.
c. Meningkatkan produktivitas kerja petugas.
d. Meningkatkan loyalitas dan integritas petugas.
e. Meningkatkan kedisiplinan petugas.
Faktor yang berkaitan dengan ketidakpuasan dalam bekerja seorang petugas disebabkan oleh faktor dari luar individu (ekstrinsik) dan dari dalam individu (intrinsik). Faktor dari luar individu meliputi kebijakan dan aturan, administrasi, motivator seperti bimbingan dan arahan dari atasan, kondisi lingkungan kerja, hubungan interpersonal, gaji, kompensasi, insentif, status kerja, keamanan dalam bekerja dan sarana prasarana. Sedangkan faktor dari dalam individu antara lain prestasi, pengakuan serta penghargaan, tanggungjawab, kemajuan dan promosi serta perkembangan diri keryawan. Motivasi kerja berkaitan dengan hasil kerja individu karyawan dan organisasi secara keseluruhan (Maslow, 1984).
Ada tiga kunci motivasi dalam kinerja organisasi, yaitu kemauan berusaha, pencapaian tujuan dan pemenuhan kebutuhan individu. Beberapa penelitian membuktikan adanya lima faktor yang mempengaruhi motivasi dalam bekerja, antara lain : a) gaji yang cukup,b) perhatian penuh terhadap pekerjaan yang
dilakukan,c) keamanan dalam bekerja,d) pertumbuhan organisasi dan peningkatan karier,e) rasa ketertarikan terhadap pekerjaan.
Dalam upaya pelayanan kesehatan, kebutuhan perorangan dan pengembangan karier pada karyawan berhubungan dengan tingkat pendidikan seorang petugas. Semakin tinggi pendidikan seorang petugas semakin tinggi pula motivasi kerja demi kebutuhan pribadi dan pengembangan karier (Maslow, 1984)
Gibson (Ilyas 2002) menyatakan terdapat tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja dan perilaku yaitu: (1) Variabel individu, yang meliputi kemampuan dan keterampilan, fisik maupun mental, latar belakang, pengalaman dan demografi, umur dan jenis kelamin, asal usul dan sebagainya. Kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kinerja individu, sedangkan demografi mempunyai hubungan tidak langsung pada perilaku dan kinerja, (2) variabel organisasi, yakni sumber daya, kepempinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan, (3) variabel psikologis, yakni persepsi, sikap, kepribadian, belajar, kepuasan kerja dan motivasi. Persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang komplek dan sulit diukur serta kesempatan tentang pengertiannya sukar dicapai, karena seseorang individu masuk dan bergabung ke dalam suatu organisasi kerja pada usia, etnis, latar belakang, budaya dan keterampilan yang berbeda satu sama lainnya.
Hall TL dan Meija (1987) dalam Ilyas (2002) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja adalah: faktor internal individu yang terdiri dari: (1) karakteristik individu seperti umur, pendapatan, status perkawinan, pengalaman kerja dan masa kerja, (2) sikap terhadap tugas yang terdiri dari persepsi,
pengetahuan, motivasi, tangggung-jawab dan kebutuhan terhadap imbalan, sedangkan faktor eksternal meliputi social ekonomi, demografi, geografi, lingkungan kerja, akseptabilitas, aksesabilitas, pengawasan, koordinasi, fasilitas, beban kerja dan organisasi yang terdiri pembinaan.
Beban kerja adalah banyaknya jenis pekerjaan yang harus diselesaikan oleh tenaga kesehatan profesional dalam satu tahun dalam satu sarana pelayanan kesehatan.Standar beban kerja adalah banyaknya jenis pekerjaan yang dapat dilaksanakan oleh seseorang tenaga kesehatan profesional dalam satu tahun kerja sesuai dengan standar profesional dan telah memperhitungkan waktu libur, sakit, dan lain-lain (Depkes RI, 2004).
Menurut Munandar (2001) mengklasifikasikan beban kerja ke dalam faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan sebagai berikut :
1. Tuntutan Fisik
Kondisi kerja tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal disamping dampaknya terhadap kinerja pegawai, kondisi fisik berdampak pula terhadap kesehatan mental seorang tenaga kerja.Kondisi fisik pekerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi faal tubuh dan psikologi seseorang.dalam hal inibahwa kondisi kesehatan pegawai harus tetap dalam keadaan sehat saat melakukan pekerjaan, selain istirahat yang cukup juga dengan dukungan sarana tempat kerja yang nyaman dan memadai.
2. Tuntutan Tugas
Kerja shift/kerja malam sering kali menyebabkan kelelahan bagi para pegawai akibat dari beban kerja yang berlebihan.beban kerja berlebihan dan beban kerja terlalu sedikit dapat berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
Beban kerja dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Beban Berlebih Kuantitatif
Beban berlebih secara fisik ataupun mental akibat terlalu banyak melakukan kegiatan merupakan kemungkinan sumber stress pekerjaan untuk yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah desakan waktu dalam menyelesaikan tuntutan pekerjaan, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara cepat dan cermat.
2. Beban Terlalu Sedikit Kuantitatif
Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif yang dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang pada pekerjaan yang sederhana, dimana banyak terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan dan rasa monoton.
3. Beban Berlebih Kualitatif
Kemajuan teknologi mengakibatkan sebagian besar pekerjaan yang selama ini dikerjakan secara manual oleh manusia/tenaga kerja diambil alih oleh mesin- mesin atau robot, sehingga pekerjaan manusia beralih titik beratnya pada pekerjaan otak.
4. Beban Terlalu Sedikit Kualitatif
Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh.
2.8 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Oleh sebab itu perilaku kesehatan dikelompokkan menjadi dua yakni:
1. Perilaku sehat agar tetap menjadi sehat dan meningkat (healthy behavior) Contoh: makan dengan gizi seimbang, olahraga teratur, tidak merokok dan minum minuman keras.
2. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya. Oleh sebab itu perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behavior).
Teori Becker (Notoatmodjo, 2012) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan dan membedakan menjadi tiga, yakni:
1. Perilaku sehat (healthy behavior)
Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Antara lain:
a. Makanan dengan menu seimbang.
b. Kegiatan fisik secara teratur.
c. Tidak merokok dan minum minuman keras.
d. Istirahat yang cukup.
2. Perilaku sakit
Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang yang sakit dan atau terkena masalah kesehatan atau keluarganya, untuk mencari penyembuhan, atau teratasi masalah kesehatan yang lain.
a. Didiamkan saja (no action), artinya sakit tersebut diabaikan, tetapi menjalankan kegiatan sehari-hari.
b. Mengambil tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri (self treatment atau self medication).
c. Mencari penyembuhan atau pengobatan keluar, yakni ke fasilitas pelayanan kesehatan, yang dibedakan menjadi dua, yakni: fasilitas pelayanan kesehatan tradisional (dukun,sinshe, dan paranormal) dan fasilitas pelayanan kesehatan modern atau professional (Puskesmas, poliklinik, dokter atau bidan praktek swasta, rumah sakit, dan sebagainya).
3. Perilaku peran orang sakit (the sick role behavior)
Menurut Becker hak dan kewajiban orang yang sedang sakit adalah perilaku peran orang sakit (the sick role behavior). Perilaku peran orang sakit ini antara lain:
a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
b. Tindakan untuk mengenal atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk memperoleh kesembuhan.
c. Melakukan kewajibannya sebagai pasien antara lain mematuhi nasihat- nasihat dokter atau perawat untuk mempercepat kesembuhannya.
d. Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhannya.
e. Melakukan kewajiban agar tidak kambuh penyakitnya.
Menurut teori Bloom (Notoadmodjo, 2012) ranah perilaku dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Secara garis besar 6 tingkat pengetahuan yakni:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Contohnya: tahu bahwa tomat mengandung vitamin C.
b. Memahami (comprehension)
Memahami objek bukan sekedar tahu, tetapi orang tersebut harus dapat mengintrepretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.Contohnya : orang yang tahu cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan hanya sekedar menyebutkan 3M (mengubur, menutup,
dan menguras),tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus menutup, menguras, dan sebagainya.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya.
Sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain. Komponen sikap yaitu: a) menerima (receiving), b)
menanggapi(responding), c) menghargai (valuing), d) bertanggung jawab (responsible).
3. Tindakan atau Praktik
Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.
Menurut kualitasnya ada 3 tingkatan tindakan yaitu:
a. Praktik terpimpin
Apabila subjek atau seseorang talah melakukan sesuatu masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.
b. Praktik secara mekanisme
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau memprkatikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.
c. Adopsi
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.
2.9 Penyuluhan Tuberkulosis
Menurut Depkes RI (2001), penyuluhan tuberculosis perlu dilakukan karena masalah tuberkulosis banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Menurut Kemenkes RI (2016) penyuluhan di kembangkan dengan promosi kesehatan.Promosi kesehatan adalah berbagai upaya yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan mereka sendiri.
Dalam promosi kesehatan dalam penanggulangan TB diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan, pengobatan, pola hidup bersih dan sehat (PHBS), sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku sasaran program TB terkait dengan hal tersebut serta menghilangkan stigma serta diskriminasi masyakarat serta petugas kesehatan terhadap pasien TB.
Sasaran promosi kesehatan penanggulangan TB adalah:
1. Pasien, individu sehat (masyarakat) dan keluarga sebagai komponen dari masyarakat.
2. Tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, petugas kesehatan, pejabat pemerintahan, organisasi kemasyarakatan dan media massa. Diharapkan dapat berperan dalam penanggulangan TB sebagai berikut:
a. Sebagai panutan untuk tidak menciptakan stigma dan diskriminasi terkait TB.
b. Membantu menyebarluaskan informasi tentang TB dan PHBS.
c. Mendorong pasien TB untuk menjalankan pengobatan secara tuntas.
d. Mendorong masyarakat agar segera memeriksakan diri ke layanan TB yang berkualitas.
3. Pembuat kebijakan publik yang menerbitkan peraturan perundang- undangan dibidang kesehatan dan bidang lain yang terkait serta mereka yang dapat memfasilitasi atau menyediakan sumber daya. Peran yang diharapkan adalah:
a. Memberlakukan kebijakan/peraturan perundang-undangan untuk mendukung penanggulangan TB.
b. Membantu menyediakan sumber daya (dana, sarana dan lain-lain) untuk meningkatkan capaian program TB.
Beberapa contoh isi promosi kesehatan penyuluhan TB:
1. Apabila batuk, agar mulut ditutup dengan saputangan.
2. Segera memeriksakan diri, keluarga atau tetangga apabila ada yang mengalami batuk lebih dari 3 minggu.
3. Pemeriksaan dahak sangat penting untuk mendiagnosis TB paru dengan tiga spesimen SPS.
4. Minumlah obat secara teratur sampai dinyatakan sembuh.
5. Agar membantu mengingatkan pasien menelan obat diperlukan adanya seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) (Anonim, 2001).
2.10Faktor Penyebab Tuberkulosis Sulit Dibasmi
Ada 10 faktor yang menyebabkanTB sulit dibasmi, dan masih memjadi masalah dewasa ini, yaitu:
1. Terdapatnya kelompok masyarakat yang telah tertular basil TB. WHO menyebutkan sepertiga penduduk dunia telah tertular TB. Di Indonesia dengan resiko penularan TB paru setiap tahun(ARTI=Annual risk of tuberkulosis infection) yang bervariasi antar 1-2 %, maka sebagian besar masyarakat berusia produktif telah tertular TB paru dan ditubuh mereka ada M.tuberculosa yang dormant. Hal ini menyebabkan salalu
menderikta TB paru kendatipun bukan infeksi baru, bila kondisi daya tahan tubuh mereka turun.
2. Masalah dalam diagnosis TB paru sacara mikriskopis, meliputi kebaradaan alat dan reagen serta kehandalan petugas. Upaya menetapkan laboratorium yang khusus merupakan hal yang patut dilakukan, seperti halnya Puskesmas Rujukan Mikroskopis(PRM) yang kini dilakukan.
3. Diagnosis non bakteriologik. Diagnose secara radiologic seringkali tidaklah mudah, demikian juga untuk memastikan aktif tidaknya penyakit tidak bisa hanya dengan diagnose radiologik saja. Cara terbaik adalah menggabungkannya dengan data klinik yang ada. Di pihak lain masih ada yang mendiagnosis TB paru hanya berdasarkan gejala klinik saja, suatu tindakan yang tidak dapat diterima, kerena angka kesalahannya sangat tinggi dan menyebapkan terjadinya over diagnosis dan over treatment. Hasil pemeriksaan serologic yang kini
telah beredar juga ternyata masih banyak kekurangan dan belum dapat dipakai sebagai dasar diagnosis yang baik.
4. Kenyataan bahwa obat yang diberikan harus beberapa macam sekaligus serta pengobatanya memakan waktu yang lama, setidaknya 6 bulan. Hal ini menyebapkan penderita putus berobat. Tidak jarang pula setelah memakan obat 2-3 bulan, keluhan yang dirasakan oleh penderita telah hilang sehingga memutuskan untuk berhenti minum obat.
5. Timbul resistensi terhadap berbagai obat TB, apalagi kalau sudah terjadi resistensi ganda (RG) , atau multi drug resistensi(MDR) yaitu kuman telah resisten terhadap setidaknya dua obat utama,rifampisin dan INH. Cara penanggulangan RG terbaik adalah terjadinya RG, dengan menjamin agar semua pasien menyelesaikan panduan pengobatan secara utuh.
6. Kenyataan bahwa vaksinasi BCG tidak menjamin 100% bahwa seseorang akan terlindungidari penyakit TB. Kini disepakati bahawa vaksinasi BCG setidaknya dapat menghindari terjadinya TB berat pada anak yaitu TB milier dan meningitis tuberculosis.
7. Terbatasnya data epidemiologi yang ada terdapat pulandi Indonesia.
Survei prevalensi berskalaTurberkulosis BTA positif sebesar 0,29%.
Dari angka ini dibuat sebagai simulasi epidemiologic, sehingga angka yang ada sekarang ini memang lebih didasarkan pada simulasi dan perhitungan epidemiologi, bukan dari hasil survey ulang di lapangan.
8. Masih semacam stigma di masyarakat yang menghubungkan TB dengan penyakit yang memalukan. Hal ini akan mempersulit diagnosis dan juga terapi kepada penderita. Dalam hal diagnosis, penderita menjadi malu untuk memeriksakan dirinya kerena takut didiagnosis TB.
9. Masalah TB pada kelompok khusus, seperti para pengungsi, dimana TB kini menjadi masalah kesehatan penting akibat turunya daya tahan tubuh mereka. Penangulangan TB seyogianya merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari program kesehatan para pengungsi, termasuk di negara kita dewasa ini.
10. Kenyataan bahwa TB tidak dapat ditangani melalui pendekatan kesehatan semata. Perlu ada koordinasi lintas program dan lintas sektor secara aktif. Masalahnya adalah tidak semua pihak sadar bahwa TB merupakan masalah yang penting. (Aditama, 2002).
2.11Pencegahan TB Paru a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk mengurangi insiden TB paru dengan cara mengendalikan penyebab penyakit TB paru dan faktor resikonya. Beberpa cara yang dapat dilakukan adalah meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan cara:
a. Mengonsumsi makanan bergizi, olahraga, istirahat yang cukup dan meningkatkan sanitasi rumah.
b. Meningkatkan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG (Girsang, 2002).
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mengobati para penderita danmengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit TB paru melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan, hal ini dapat dilakukan antara lain dengan case finding (penemuan kasus) dengan ronsen dada massal atau tuberculin-test secara Mantoux, isolasi penderita dan pengobatan penderita.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi komplikasi TB paru yang sudah terjadi, menurunkan kelemahan dan membatasi kecacatan. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan memberikan pengobatan yang adekuat sehingga infeksi paru tidak meluas, mencegah pasien yang sudah sembuh tidak kontak kembali dengan droplet infection penderita.
2.12 Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang, tujuan dan manfaat penelitian, maka dapat digambarkan fokus penelitian sbb:
v
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Faktor petugas:
1. Kemampuan 2. Beban kerja
3. Motivasi kerja Penemuan Kasus
(case finding) Penderita TB paru
Faktor pasien : 1. Pengetahuan
2. Tindakan atau praktik
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam tentang determinan pencapaian case finding penderita TB Paru di Puskesmas Mogang.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Mogang. Dilakukannya penelitian di pukesmas ini atas pertimbangan belum tercapainya case finding TB Paru minimal 70% yaitu dengan perkiraan jumlah penduduk sebanyak 16.098 jiwa, maka diperkirakan jumlah tersangka penderita TB Paru sebanyak 266 kasus.
Pada tahun 2017 hasil pelaksanaan case finding diperoleh sebanyak 107 (40,2%) kasus, dengan target case finding BTA+ sebanyak 26 kasus dan tercapainya hanya 10 (38,5%) kasus, hal ini berarti bila dibandingkan dengan perkiraan jumlah tersangka di Puskesmas Mogang masih rendah.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan februari 2018 sampai dengan selesai . 3.3 Informan
Informan dalam penelitian ini terdiri dari petugas dan pasien.
1. Petugas yaitu pemberi pelayanan, dalam hal ini adalah Pimpinan Puskesmas sebagai penanggung jawab pelaksanaan P2TB Paru 1 orang, petugas pemegang program TB Paru 1 orang, koordinator program P2M 1 orang, analis Laboratorium 1 orang.
2. Pasien yaitu pengguna pelayanan dalam hal ini adalah semua pasien penderita TB paru BTA+ tahun 2017 sebanyak 10 orang.
Dari kedua jenis informan diatas, maka jumlah informan seluruhnya adalah 14 orang.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder:
1. Data primer dikumpulkan dengan wawancara semi terstruktur. Untuk pengumpulan informasi agar tidak ada yang hilang, digunakan alat bantu tulis dan tape recorder, dengan cara :
a. Wawancara semi terstruktur. Kepada petugas dilakukan wawancara semi terstruktur. Teknik ini digunakan agar wawancara berlangsung luwes, arahnya lebih terbuka dan percakapan tidak membuat jenuh pewawancara dan informan sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya. Wawancara semi terstruktur ini menggunakan panduan wawancara yang berisi butir-butir pertanyaan untuk diajukan kepada informan. Panduan tersebut hanya untuk memudahkan wawancara, penggalian data dan informasi.
b. Observasi, dilakukan oleh peneliti terhadap keadaan pelayanan dan case finding penderita TB Paru di Puskesmas Mogang.
2. Data sekunder diperoleh dari rekap hasil penemuan kasus dalam bentuk form TB.06, serta data pendukung lainnya yang berasal dari register pada Puskesmas Mogang.
3.5 Definisi Istilah
1. Petugas adalah pemberi pelayanan, dalam hal ini adalah kepala puskesmas sebagai penanggung jawab pelaksanaan program P2TB paru, pemegang program P2TB, Koordinator P2M, Analis laboratorium.
paru pada Puskesmas Mogang.
2. Pasien adalah pengguna pelayanan dalam hal ini adalah penderita TB paru yang berobat ke Puskesmas Mogang.
3. Kemampuan adalah potensi yang ada pada petugas berupa kesanggupan, kecakapan, kekuatan berusaha dengan diri sendiri dengan dapat mengubah pengetahuan (knowledge) ke dalam tindakan (action) yang menghasilkan tingkat kinerja yang diiginkan.
4. Motivasi Kerja adalah motivasi dari dalam diri petugas (intrinsik) dan adanya reward dalam bentuk uang transportasi untuk kunjungan rumah, piagam penghargaan atau usulan percepatan kenaikan pangkat dengan meningkatnya angka kredit (ekstrinsik).
5. Beban kerja adalah beban fisik maupun non fisik yang ditanggungkan kepada petugas atau tenaga kerja dalam menyelesaikan pekerjaan.
6. Pengetahuan adalah suatu hal yang diketahui pasien tentang case fiding TB paru.
7. Tindakan atau Praktik
Tindakan adalah hasil realisasi dari sikap pasien dalam pencarian pelayanan dan tempat pengobatan pasien.
3.6 Triangulasi
Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu dengan memilih informan yang dapat memberikan jawaban sesuai dengan pertanyaan yang diajukan (Sugiyono, 2016).
3.7. Analisis Data
Menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2016) aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.
Puskesmas Mogang merupakan salah satu puskesmas yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir yang terletak di Jl. Bintang Maratur, Desa Pallombuan, Kecamatan Palipi, yang mempunyai wilayah kerja sebanyak 17 (tujuh belas) desa/kelurahan, dengan jumlah penduduk sebanyak 16.648 jiwa.
Adapun batas wilayah kerja Puskesmas Mogang adalah sebagai berikut:
Utara : Berbatasan dengan perladangan masyarakat Timur : Berbatasan dengan pemukiman penduduk Selatan : Berbatasan dengan jalan
Barat : Berbatasan dengan pemukiman penduduk
Sarana kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Mogang ada beberapa macam, di antaranya balai Pengobatan swasta 1 unit, toko obat berizin sebanyak 2 unit, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.1:
Tabel 4.1 Jumlah Sarana Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Mogang Tahun 2018
No Jenis Sarana Kesehatan Jumlah
1 2 3 4 5 6
Puskesmas
Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Posyandu
Balai Pengobatan Swasta
Toko obat swasta
1 3 1 35
1 3 Sumber: Profil Puskesmas Mogang 2017
Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan Puskesmas Mogang dilayani oleh 46 orang tenaga kesehatan, baik tenaga medis dan non medis dengan 26 orang PNS, 3 orang pegawai harian lepas dan 17 orang PTT. Diantaranya dengan spesifikasi dokter umum 1 orang, bidan 26 orang, perawat 11 orang, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.2 sebagai berikut :
Tabel 4.2 Jumlah dan jenis ketenagaan pada Puskesmas Mogang Tahun 2018
No Jenis
Ketenagaan Jumlah
(Orang) 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kepala Puskesmas Dokter Umum Dokter gigi Perawat
Bidan/Bidan desa Sanitarian
Petugas Gizi Petugas Farmasi Petugas Analis Supir
1 1 1 1 26
1 1 2 1 1 Jum
lah 36
4.2 Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini terdiri dari petugas dan pasien. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan 4.4, sebagai berikut:
a. Petugas
Petugas terdiri dari Kepala Puskesmas, Pemegang Program P2TB paru, Analis Laboratorium, dan Koordinator program P2M.
Tabel 4.3 Karakteristik Petugas Berdasarkan Aspek Sosio Demografi No Informan Jenis
Kelamin Umur Pendidikan Jabatan 1 Adriani
naibaho Perempuan 31 D3 Petugas
P2TB Paru
2 Rohani
Panjaitan
Perempuan 40 D3 Petugas P2M
3 dr.Elya Nora Girsang
Perempuan 37 S1 Kepala
Puskesmas
4 Eva
Novalina Sitinjak
Perempuan 34 S1 Analis
Laboratorium
b. Pasien
Pasien adalah Seluruh penderita TB BTA+ (10 orang) yang berobat pada Puskesmas Mogang. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Karakteristik Pasien Berdasarkan Aspek Sosio Demografi
No Informan Jenis
Kelamin Umur Pendidikan Pekerjaan
1 Lesmar Sinaga Laki-laki 59 SLTA Wiraswasta
2 Renata
Sihombing Perempuan 23 SMA Kuliah
3 Saur Simbolon Laki-laki 53 SLTA Guru
4 Fransisco
Sinaga Laki-laki 23 SMA Buruh
5 Singkat
Situmorang Laki-laki 69 SLTA PNS
6 Kariden Sigiro Laki-laki 49 SLTA Petani
7 Erdin Sinaga Laki-laki 51 SD Petani
8 Iran Sinaga Laki-laki 32 SMA Petani
9 Rudin Sinaga Laki-laki 38 SMA Wiraswasta
10 Jonri Simbolon Laki-laki 36 SMA Petani
4.3 Hasil wawancara Khusus Petugas 4.3.1 Kemampuan
Tabel 4.5 Matriks Pernyataan tentang Kemampuan Petugas
Informan Pernyataan
Pemegang program TB Paru
Pelatihan pernah, Untuk pencarian aktif sejauh ini belum ada dek, yang batuk 2 minggu keatas dianjurkan cek kesehatan. Semua pasien yang diduga TB dlakukan pemeriksaan secara lengkap, apa jenisnya, bagaimana obatnya meskipun klasifikasi dan jenisnya apa tidak diberi tahu, tetap pasien dianjurkan cek berkala, kami memberi pelayanan kesehatan sesuai degan pasien, memang kita tidak ada menganjurkan membawa keluarga untuk ikut periksa, penyuluhan ada dek, menurut saya penyuluhan yang lebih efektif kegnya perorangan, ya lebih mendalam, dan selalu ada laporan akhir tahun dek.
Penanggung jawab Program P2M
Pelatihan pernah. kita nggak ada pencarian secara aktif kerumah-rumah dek, tapi setiap pasien yang datang akan dilakukan pemeriksaan, pengkajian klasifikasi dan pengobatannya bagaimana dek, meskipun memang kita tidak ada menyarakan untuk membawa keluarga untuk cek kesehatan juga. TB tidak menjadi prioritas juga dek, Penyuluhan ada dek, Menurut tante iya lebih bagus penyuluhan perorangan, mereka bebas menanyakan,dan tidak segan dan malu.
Kepala
Puskesmast Pelatihan Pernah.TB diperhatikan, cuma tidak menjadi prioritas. Kalau masalah kinerja mereka sudah lakukan sesuai SOP. Perencanaan ada, dan selalu ada evaluasi pada rapat intern, rotasi jabatan gak ada. Semua yang batuk berdahak lebih dari 2 minggu, kita anjurkan untuk periksa dahak. Untuk penyuluhan ada dek, lokakarya ada,
Analis Labora- torium
Pelatihan TB Paru pernah, tidak ada pencarian kerumah-rumah, kalau batuk lebih dari 2 minggu disarankan untuk memeriksakan diri, lalu diperiksa klasifikasinya, bagaimana pengobatannya, dan kami menyuruh pasien tetap datang periksa secara berkala dan kami meberikan pelayanan sesuai kebutuhannya, selalu menghindari kesalahan pemeriksaan ya dek,
Kemampuan kerja (ability) adalah kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan (Robbins, 2004). Kemampuan kerja antara orang-orang satu dengan orang lain berbeda-beda walaupun mereka telah bekerja pada bidang yang sama dalam tempo lama yang sama pula.
Berdasarkan hasil penelitian kemampuan baik petugas pemegang program P2TB Paru, analis laboratorium, kepala puskesmas, dan penanggung jawab P2M sudah pernah mengikuti pelatihan tentang P2TB Paru tetapi sudah lama. Petugas pemegang program P2TB Paru, penanggung jawab P2M, dan analis laboratorium ada satu kali mengikuti pelatihan yang dilakukan Dinkes Provinsi. Hal ini berbeda dengan kepala puskesmas yang sudah pernah dua kali mengikuti pelatihan P2TB Paru yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten dan Dinas Kesehatan Provinsi.
Berdasarkan penelitian Juliani dkk (2012) pelatihan sangat penting untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan kerja, dan meningkatkan kinerja pegawai. Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan kepada tenaga kesehatan serta masyarakat yang terkait dalam upaya penanggulangan TB Paru merupakan bagian dari pengembangan sumber daya manusia, dengan adanya pelatihan yang berkelanjutan tersebut maka semua petugas TB di puskesamas diharapkan mampu dalam meningkatkan angka penemuan penderita TB Paru dan mencegah sedini mungkin terhadap kemungkinan menularnya TB Paru ke orang lain.
Penelitian Ivantika (2011) di Bandung menyatakan bahwa petugas yang telah mendapatkan pelatihan sebelumnya, memiliki peluang 1,353 kali lebih besar
untuk mendapat cakupan program yang lebih tinggi dibandingkan dengan petugas yang tidak mendapat pelatihan.
Sewaktu bertugas pemegang program P2TB, analis laboratorium, mengatakan ada membuat uraian tugas yang mereka sebut SOP, tetapi tidak terlihat di tempel dibawah meja atau sekitar tempat kerjanya. Berbeda halnya dengan penanggung jawab program P2M yang tidak mempunyai urain tugas karena merasa sudah mengetahui apa yang harus dilakukan dan dikerjakan oleh penanggung jawab program P2M.
Menurut pemegang program P2TB Paru, analis laobortaorium,dan penang- gung jawab program P2M, perencanaan untuk program TB Paru selalu dibuat di awal tahun dan disusun oleh setiap pemegang program, setelah itu akan dilakukan mini lokakarya oleh kepala puskesmas dan membahas tentang hasil perencanaan yang dibuat. Setelah dibuat perencanaan, didalam mini lokakarya akan di evaluasi apa saja hal yang harus di perbaiki atau ditingkatkan.
Menurut kepala puskesmas, petugas P2TB Paru, analis laboratorium, dan penanggung jawab P2M, tidak ada dilakukannya pencarian pasien secara aktif yaitu berkunjung ke rumah, mereka hanya menunggu pasien datang untuk memeriksakan kesehatan, tetapi mereka selalu menganjurkan batuk lebih dari 2 minggu dianjurkan untuk memeriksakan diri tetapi tidak secara massal hanya membuat poster di puskesmas itu saja. Sedangkan untuk menanyakan riwayat pekerjaan dan penyakit pasien menurut penanggung jawab P2TB tidak ditanyakan secara detail, hanya langsung melalui pengisian form dan penjelasan dari apa yang dirasakan pasien saja.
Penemuan pasien TB secara aktif dapat dilakukan oleh petugas secara berbasis keluarga dan masyarakat, dapat dibantu oleh kader dari posyandu, pos TB desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Investigasi kontak pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak erat dengan pasien TB dan menganjurkan batuk lebih dari 2 minggu untuk memeriksakan diri (Kemenkes RI, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian seluruh pasien yang datang ke puskesmas akan dilakukan pemeriksaan klinis dan laboratorium untuk memastikan ia benar-benar mnderita TB, klasifikasinya, dan jenis obat mana yang diperlukan untuk mencapai kesembuhan pasien secara total. Pemeriksaan dahak secara berkala dianjurkan kepada pasien untuk datang dan dipantau perkembangan kesehatannya, tetapi tidak ada menjelaskan apa saja jenis penyakitnya dan apa penyebab sebenarnya sehingga menderita penyakit TB.
Dalam menjalankan tugasnya, analis laboratorium dan petugas P2TB melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan jenis penyakit yang diderita dan memeberikan pelayanan sesuai perkembangannya. Pemeriksaan dilakukan secara pasti dan tepat kepada pasien, akan tetapi petugas tidak ada menganjurkan kepada pasien untuk membawa keluarga yang kontak serumah dengan pasien untuk diperiksa apakah tertular atau tidak yang bertujuan untuk memutuskan rantai penularan TB di sekitar pasien yang kontak agar tidak menjadi menyebar luas.
Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB. Setelah diagnosis
ditetapkan dilanjutkan pengobatan yang adekuat sampai sembuh, sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain (Kemenkes RI, 2016).
Menurut kepala puskesmas setiap bulan, triwulan, dan akhir tahun ada diadakan mini lokakarya dalam membahas hasil dan evaluasi perencanaan yang telah dibuat dan program P2TB Paru tidak mendapatkan perhatian khusus dari kepala puskesmas, karena setiap program harusnya dipehatikan dan TB tidak merasa lebih prioritas bandingkan dengan program lain begitu juga menurut penanggung jawab P2M bahwa TB Paru tidak menjadi prioritas utama.
Setiap akhir tahun pemegang program P2TB Paru, analis laboratorium, dan penanggung jawab program P2M akan melaporkan hasil kerja kepada atasannya (Kepala Puskesmas), lalu setelah kepada kepala puskesmas akan dilaporkan kembali ke Dinas Kesehatan Kaupaten Samosir, mereka mengatakan bahwa atasan mereka memberi feed back berupa arahan, saran dan evaluasi terhadap laporan yang diberikan.
Menurut Kemenkes RI (2016) penyuluhan di kembangkan dengan promosi kesehatan. Promosi kesehatan adalah berbagai upaya yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan mereka sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian penyuluhan promotif aktif dilakukan, tetapi hanya rutinitas biasa saja dan tidak terlalu berdampak bagi penemuan kasus TB paru di Puskesmas Mogang.Menurut pemegang program P2TB Paru, analis labo- ratorium, dan penanggung jawab program P2M, menyatakan bahwa penyuluhan perorangan lebih efektif, karena lebih mendalam mendapatkan informasi oleh