• Tidak ada hasil yang ditemukan

BISNIS DAN PEREKONOMIAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BISNIS DAN PEREKONOMIAN INDONESIA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BISNIS DAN PEREKONOMIAN INDONESIA

“Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri”

Disusun oleh : Kelompok 2A

1. Putri Widya Ningsih 1902015059

2. Dita Rizky Aulia 1902015087

3. Dwi Ajeng Kurnia 1902015149

5B AKUNTANSI

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI FAKULATS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR.HAMKA

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya dan Shalawat serta salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang. sehingga pada kesempatan ini kami dapat meyelesaikan tugas makalah guna memenuhi tugas mata kuliah Bisnis dan Perekonomian Indonesia dengan judul : “Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri”

Besar harapan kami makalah ini dapat bernilai dengan baik dan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dalam rangka kesempurnaan makalah, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 9 November 2021

Kelompok 6

(3)

iii

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penulisan ... 3

BAB II PEMBAHASAN ... 4

2.1 Pengertian dari Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri ... 4

2.2 Faktor yang mempengaruhi terjadinya Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri ... 5

2.3 Dampak dari Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri bagi pertumbuhan Ekonomi ... 8

2.4 Sejarah Negara yang pernah mengalami Krisis Ekonomi dan mempunyai utang luar negeri ... 12

BAB III PENUTUP ... 19

A. Kesimpulan ... 19

B. Saran ... 19

DAFTAR PUSTAKA ... 20

(4)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi merupakan tahapan proses yang mutlak dilakukan oleh suatu bangsa untuk dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat bangsa tersebut. Pembangunan ekonomi suatu negara tidak dapat hanya dilakukan dengan berbekal tekad yang membaja dari seluruh rakyatnya untuk membangun, tetapi lebih dari itu harus didukung pula oleh ketersediaan sumberdaya ekonomi, baik sumberdaya alam; sumberdaya manusia; dan sumberdaya modal, yang produktif. Dengan kata lain, tanpa adanya daya dukung yang cukup kuat dari sumberdaya ekonomi yang produktif, maka pembangunan ekonomi mustahil dapat dilaksanakan dengan baik dan memuaskan. Adapun kepemilikan terhadap sumberdaya ekonomi ini oleh negara-negara dunia ketiga tidaklah sama. Ada negara yang memiliki kelimpahan pada jenis sumberdaya ekonomi tertentu, ada pula yang kekurangan. Pada banyak negara dunia ketiga, yang umumnya memiliki tingkat kesejahteraan rakyat yang relatif masih rendah, mempertinggi tingkat pertumbuhan ekonomi memang sangat mutlak diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi dari negara-negara industri maju. Oleh karena masih relatif lemahnya kemampuan partisipasi swasta domestik dalam pembangunan ekonomi, mengharuskan pemerintah untuk mengambil peran sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi nasional.

Seolah-olah segala upaya dan strategi pembangunan difokuskan oleh pemerintah untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dari tahun ke tahun. Sehingga, seringkali hal tersebut dilakukan melebihi kemampuan dan daya dukung sumberdaya ekonomi di dalam negeri yang tersedia pada waktu itu. Akibatnya, pemerintah negara-negara tersebut harus mendatangkan sumberdaya ekonomi dari negara-negara lain untuk dapat memberikan dukungan yang cukup bagi

(5)

2

pelaksanaan program pembangunan ekonomi nasionalnya. Dengan dukungan sumberdaya ekonomi dari luar negeri tersebut, maka bukanlah sesuatu yang mustahil, apabila di beberapa negara dunia ketiga atau negara yang sedang berkembang, laju pertumbuhan ekonomi dapat melebihi laju pertumbuhan ekonomi negara-negara industri maju.

Krisis keuangan dapat dikaitkan dengan beberapa hal penting, pertama adalah kegagalan di pasar keuangan, kedua, situasi dimana institusi atau lembaga keuangan kehilangan sebagian besar assetnya, ketiga, kepanikan perbankan, default kredit, dan resesi dan keempat runtuhnya bursa efek dan nilai mata uang yang terus jatuh.

Pada umumnya, sumber dana dalam negeri yang diperoleh dari berbagai jenis pajak, devisa hasil ekspor, dan dana internal lainnya masih terbatas jumlahnya. Tentunya hal ini belum mencukupi kebutuhan pembangunan yang sedemikian besarnya sehingga harus ditutup dengan utang luar negeri.

Utang luar negeri merupakan salah satu kunci dalam mengembangkan hubungan internasional sekaligus memfasilitasi ketergantungan kebutuhan modal secara global. Selain itu utang luar negeri akan membuat negara maju memiliki kesempatan untuk berkontribusi pada pertumbuhan negara berkembang melalui utang luar negeri sekaligus memperluas pasar untuk produk dan layanan industrinya (Rafik, 2015).

Krisis ekonomi global yang berimbas ke Indonesia dapat saja terulang kembali seperti tahun 2008. Hal ini terjadi karena ekonomi dunia sudah saling terkait. Terjadinya kesulitan ekonomi di suatu negara, terutama yang mendominasi ekonomi dunia seperti Amerika dan Eropa akan berdampak pada negara lain termasuk Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah Pengertian dari Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri secara signifikan?

2. Apa sajakah faktor dari sebuah negara yang mempengaruhi terjadinya Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri?

(6)

3

3. Bagaimana dampak dari Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri Terhadap pertumbuhan ekonomi sebuah negara?

4. Sejarah Negara yang pernah mengalami Krisis Ekonomi dan mempunyai utang luar negeri?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk memahami pengertian dari Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri?

2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya Krisis Ekonomi dan Utang uar Negeri pada sebuah negara

3. Untuk dapat mengetahui dampak yang terjadi akibat Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri

4. Untuk dapat memahami, mengetahui sejarah negara yang pernah mengalami Krisis Ekonomi dan mempunyai Utang Luar Negeri

(7)

4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dari Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri

Krisis ekonomi adalah suatu kondisi yang mana perekonomian dalam suatu negara mengalami penurunan yang sangat signifikan. Umumnya, negara yang mengalami kondisi tersebut akan mengalami penurunan produk domestik bruto, menurunnya harga properti dan saham, dan juga tingginya angka inflasi.

Menurut ahli ekonomi secara sederhana krisis itu terjadi karena harga-harga melonjak tinggi dari sebelumnya dan tidak adanya lagi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terkhususnya masalah finansial dimana masyarakat tersebut tidak mau lagi menyimpan uang di bank (Nur 2020).

Utang luar negeri adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia (Ulfa, 2017). Dari aspek materiil, utang luar negeri merupakan arus masuk modal dari luar ke dalam negeri yang dapat menambah modal yang ada di dalam negeri. Aspek formal mengartikan utang luar negeri sebagai penerimaan atau pemberian yang dapat digunakan untuk meningkatkan investasi guna menunjang pertumbuhan ekonomi. Sehingga berdasarkan aspek fungsinya, pinjaman luar negeri merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan yang diperlukan dalam pembangunan (Astanti, 2015). Utang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan dan bunganya yang begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang wajar sehingga biaya untuk kepentingankepentingan yang begitu mendasar dan mendesak menjadi sangat minim yang berimplikasi sangat luas.

(8)

5

2.2 Faktor yang mempengaruhi terjadinya Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri

Pandangan tentang penyebab krisis ekonomi di Indonesia sangat beragam.

Ekonomi klasik seperti Krugman melihat krisis ekonomi yang melanda Asia khususnya Indonesia disebabkan karena faktor domestik, antara lain praktek crony capitalism dan lemahnya struktur finansial yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi makro. Sebaliknya, ekonom Keynesian seperti Prof Kindlebeger melihat krisis itu terjadi karena sentimen pasar finansial yang menyebabkan kepanikan dan menimbulkan proses penularan pada sistem ekonomi nasional

Soedradjad Djiwandono (Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia) menemukakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya krisis di Indonesia, yaitu :

1. Krisis itu disebabkan oleh unsur eksternal, yaitu perubahan sentimen pasar uang secara cepat yang menimbulkan panik finansial. Panik finansial ini dengan proses penularan (contagion) menjadi krisis.

Krisis di Indonesia merupakan kombinasi dari adanya gejolak eksternal melalui dampak penularan (contagion) pada pasar finansial dengan ekonomi nasional yang mengandung berbagai kelemahan struktural, yaitu sistim perbankan dan sektor riilnya.

Dalam perkembangannya krisis ekonomi menjalar ke krisis sosial- politik karena kelemahan pada sistim sosial-politik Indonesia.

2. Krisis timbul karena adanya kelemahan struktural di dalam perekonomian nasional, dalam sistim keuangan atau perbankan dan praktek kapitalisme kroni atau kapitalisme ‘ersatz’. Proses terjadinya dimulai dengan adanya gejolak yang berdampak penularan pada pasar uang yang dihadapi Pemerintah dengan mengandalkan kebijaksan moneter yang berlaku saat itu (suatu pengambangan mata uang terkendali dengan penetapan batas ambang jual-beli valuta BI serta depresiasi merayap setiap

(9)

6

tahunnya). Pelaksanaan kebijakan ini melalui pelebaran rentang jual beli BI dan intervensi pasar pada waktu kurs di pasar uang ‘spot’

melampaui yang ditentukan. Akan tetapi sebagai dampak sampingan dari kebijakan moneter yang menyertai langkah intervensi pasar ternyata suku bunga yang meningkat telah memberatkan bank-bank yang kurang sehat, bahkan pada putaran selanjutnya bank yang sehatpun menderita dari penciutan likuiditas dalam perekonomian.

Dalam proses ini, gejolak yang melanda pasar uang dengan dampak penularan ini pada akhirnya mengungkap kelemahan perbankan nasional. Sektor perbankan Indonesia yang memang lemah tersebut kemudian mengalami ‘distress’, yang secara cepat berubah menjadi krisis, karena turunnya kepercayaan masyarakat (deposan) yang kemudian melakukan penarikan dana secara bersama dan besar- besaran pada banyak bank. Masalahnya menjadi sistemik, menyangkut banyak bank dan sistim perbankan. Pemilik dana melakukan tindakan penyelamatan dana mereka dengan memindahkannya pada bank yang dalam persepsi mereka aman. Ini dikenal dengan istilah ‘flight to safety’ dan ‘flight to quality’. Setelah perbankan mengalami krisis, secara cepat kemudian masalahnya menjalar ke sektor riil dalam perekonomian (karena kredit kepada nasabah, termasuk untuk perusahaan-perusahaan banyak yang dihentikan atau suku bunganya ditingkatkan sangat tinggi) dan akhirnya terjadi krisis ekonomi (produksi dan perdagangan terganggu, kemudian lumpuh).

3. Lemahnya sektor riil dari perekonomian nasional, antara lain karena praktek kapitalisme ‘ersatz’ yang penuh dengan KKN dengan masalah yang melekat padanya. Setelah itu, dengan cepat krisis menjalar menjadi krisis sosial dan politik, mungkin budaya, juga karena kelemahan struktural pada kehidupan sosial-politik serta lemahnya berbagai nilai budaya di masyarakat. Dengan demikian ternyata dampak penularan krisis itu tidak hanya bekerja secara

(10)

7

geografis, menjalar dari Thailand ke Indonesia dan negara-negara lain di Asia. Akan tetapi juga dari kehidupan ekonomi ke kehidupan sosial dan politik di dalam suatu negara, karena kelemahan.

Struktural yang terkandung di dalamnya. Lemahnya struktur sosial- politik ini merupakan akibat dari penekanan pendekatan keamanan dengan penciptaan kestabilan sosial-politik secara dipaksakan dalam era kepemimpinan Orde Baru. Kestabilan ini dicapai melalui cara- cara represi, menghilangkan semua unsur yang berpotensi menjadi pesaing dari penguasa dengan cara apapun, bahkan yang melanggar hak azasi. Kita melihat bahwa selama ini semua organisasi, sosial, profesi, fungsional, apalagi politik, selalu mengalami ‘pembinaan’

atau ‘digarap’ dengan berbagai cara untuk tidak vokal, tidak menyuarakan sesuatu yang berbeda dari penguasa. Di dalam kehidupan politik tidak dikenal oposisis. Semua ini dikatakan tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Kestabilan yang tercapai dengan rekayasa ini merupakan kestabilan semu, dan tidak tahan lama.

4. Sikap hidup yang ‘lebih besar pasak dari tiang’ serta sikap hidup yang tertutup dan mendasarkan diri atas ‘tribalism’ (Prof. Arif Budiman). Gejolak pasar uang yang dahsyat mengungkap borok lemahnya sistim perbankan dan menimbulkan krisis perbankan nasional. Krisis perbankan mengungkap borok kapitalisme ersatz dan menimbulkan krisis ekonomi. Akhirnya, krisis ekonomi mengungkap borok lemahnya sistim sosial-politik dan menimbulkan krisis sosial-politik serta kepemimpinan nasional.

Utang Luar Negeri merupakan konsekuensi biaya yang harus dibayar sebagai akibat pengelolaan perekonomian yang tidak seimbang, ditambah lagi proses pemulihan ekonomi yang tidak komprehensif dan konsisten. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki utang luar negeri, maka Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi utang luar negeri Indonesia.

(11)

8

Faktor yang mempengaruhi jumlah utang luar negeri di Indonesia di antaranya adalah ekspor, Produk Domestik Bruto (PDB), dan nilai tukar rupiah (Kurs).

Secara umum, alasan mengapa Negara berkembang harus berutang adalah tingkat tabungan dalam negeri yang rendah sehingga harus mencari dana lain untuk membiayai investasi dan minimnya persediaan devisa untuk mengimpor barangbarang, seperti mesin-mesin pabrik atau bahan baku. Hal tersebut berkaitan erat dengan Likuiditas Nasional, yaitu ketersediaan baik mata uang lokal maupun asing untuk kebutuhan pembayaran impor ataupun membayar utang. Atas dasar inilah muncul konsep Guidotti Rule bahwa setidaknya Negara dapat dikatakan “aman” apabila mempunyai persediaan devisa yang cukup untuk kebutuhan pembiayaan satu tahun ke depan.

2.3 Dampak dari Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri bagi pertumbuhan Ekonomi

Dampak buruk krisis ekonomi dunia, yang diawali oleh krisis keuangan di Amerika, pelan namun pasti mulai dirasakan oleh bangsa Indonesia. Dampak yang tidak menguntungkan juga terjadi di sisi impor, karena dengan melemahnya Rupiah, maka nilai impor akan melonjak yang selanjutnya akan menyulitkan para importir untuk menyelesaikan transaksi impor. Dampak berikutnya adalah melonjaknya harga-harga bahan yang berasal dari impor di pasar sehingga inflasi meningkat dan daya beli masyarakat juga akan menurun.

Hal ini selanjutnya mengakibatkan turunnya daya serap masyarakat terhadap barangbarang impor, sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan jumlah impor. Menurunnya order dari rekanan di luar negeri membuat banyak perusahaan kesulitan memasarkan produknya yang pada akhirnya harus melakukan efisiensi atau rasionalisasi supaya dapat bertahan hidup. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0%, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat.

Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5%.

Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut

(12)

9

hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global. Selain dampak negatif, ternyata krisis juga memberi dampak positif bagi Indonesia, terutama terhadap kenaikan investasi. Penguatan arus dan masuk ke pasar modal ikut mengerek nilai tukar rupiah hingga menembus level Rp 9.000 atau menguat 21,5% dari posisi tertinggi pada November 2008 yang mencapai Rp12.650 per dolar AS. Selain itu, pergerakan rupiah untuk pertama kalinya sejak perdagangan Oktober 2008 terapresiasi melampaui Rp10.000 setelah IHSG menguat 8 hari berturut-turut ke level 2.078,93, atau mencetak rekor kenaikan simultan terpanjang sejak periode bullish 2007. Bayang-bayang pemutusan hubungan kerja dan kebangkrutan industri sudah mulai terasa akhir-akhir ini. Dampak yang paling terlihat dan terasa adalah penurunan ekspor sektor-sektor primer, seperti minyak sawit dan karet, yang selama ini merupakan penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dampak utama penurunan nilai tukar adalah secara efektif akan menurunkan daya beli (permintaan) konsumen terutama masyarakat berpendapatan menengah dan rendah (miskin). Dampak penurunan permintaan ini akan mendorong menurunnya produksi barang dan jasa . Dari sudut produsen, krisis penurunan nilai tukar dan naiknnya bunga uang dan kandungan input impor cukup besar akan mendorong biaya produksi, sehingga harga barang naik. Besar kemungkinan tekanan inflasi terutama cost push inflation adalah bahaya yang datang menyelinap ke dalam ekonomi Indonesia. Apabila daya beli menurun serta harga barang dan jasa meningkat, maka kemungkinan besar perusahaan akan memotong jumlah produksi (output) yang dapat berdampak terhadap PHK tenaga kerja. Kalau ini terjadi maka urban and rural unemployed labor akan semakin meningkat. Ujungnya adalah keresahan sosial.

Kalau perusahaan mengurangi output, maka jumlah pajak yang dikumpulkan pasti berkurang sehingga total penerimaan (anggaran belanja) yang bersumber dari pajak akan berkurang. Di sisi penawaran (supply) faktor pemotong anggaran belanja ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Ujungnya target pertumbuhan ekonomi yang tinggi (7-8% per tahun) akan

(13)

10

sangat sukar dipertahankan. Krisis ini telah menjungkir balikkan prediksi yang optimis (rosses) dari pengamat pada awal dan pertengahan tahun 1997 ini.

Setiap tindakan ekonomi pasti mengandung berbagai konsekuensi, begitu juga halnya dengan tindakan pemerintah dalam menarik pinjaman luar negeri.

Meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi berarti meningkatnya pendapatan nasional, yang selanjutnya memungkinkan untuk meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat, apabila jumlah penduduk tidak meningkat lebih tinggi.

Dengan meningkatnya perdapatan per kapita berarti meningkatnya kemakmuran masyarakat. Dalam jangka panjang, ternyata utang luar negeri dapat menimbulkan permasalahan ekonomi pada banyak negara debitur. Di samping beban ekonomi yang harus diterima rakyat pada saat pembayaran kembali, juga beban psikologis politis yang harus diterima oleh negara debitur akibat ketergantungannya dengan bantuan asing. Sejak krisis dunia pada awal tahun 1980-an, masalah utang luar negeri banyak negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, semakin memburuk. Negara-negara tersebut semakin terjerumus dalam krisis utang luar negeri, walaupun ada kecenderungan bahwa telah terjadi perbaikan atau kemajuan perekonomian di negara-negara itu. Peningkatan pendapatan per kapita atau laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara- negara tersebut belum berarti bahwa pada negara-negara tersebut dengan sendirinya telah dapat dikatagorikan menjadi sebuah negara yang maju, dalam arti struktur ekonominya telah berubah menjadi struktur ekonomi industri dan perdagangan luar negerinya sudah mantap. Sebab pada kenyataannya, besar- kecilnya jumlah utang luar negeri yang dimiliki oleh banyak negara yang sedang berkembang lebih disebabkan oleh adanya defisit current account, kekurangan dana investasi pembangunan yang tidak dapat ditutup dengan sumber-sumber dana di dalam negeri, angka inflasi yang tinggi, dan ketidakefisienan struktural di dalam perekonomiannya. Sehingga meskipun secara teknis, pemerintahan suatu negara telah sempurna dalam upaya pengendalian utang luar negerinya, pencapaian tujuan pembangunan akan sia- sia, kecuali bila negara tersebut secara finansial benar-benar kuat, yaitu

(14)

11

pendapatan nasionalnya mampu memikul beban langsung yang berupa pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri dan bunganya (debt service) dalam bentuk uang kepada kreditur di luar negeri, karena utang luar negeri selalu disertai dengan kebutuhan devisa untuk melakukan pembayaran kembali.

Pembayaran cicilan utang beserta bunganya merupakan pengeluaran devisa yang utama bagi banyak negaranegara debitur. Beban utang luar negeri dapat diukur salah satunya dengan melihat proporsi penerimaan devisa pada current account yang berasal dari ekpor yang diserap oleh seluruh debt service yang berupa bunga dan cicilan utang. Jika rasio antara penerimaan ekspor dan debt service menjadi semakin kecil, atau debt service ratio (jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang di bagi dengan jumlah penerimaan ekspor) semakin besar, maka beban utang luar negeri semakin berat dan serius. Namun, makna dari besarnya angka DSR ini tidak mutlak demikian, sebab ada negara yang DSR-nya 40%, tetapi relatif tidak menemui kesulitan dalam perekonomian nasionalnya. Sebaliknya, bisa terjadi suatu negara dengan DSR yang hanya sebesar kurang dari 10% menghadapi kesulitan yang cukup serius dalam perekonomiannya. Selama ada keyakinan dari negara kreditur (investor) bahwa telah terjadi perkembangan ekonomi yang baik di negara debiturnya, maka pembayaran kembali pinjaman diprediksikan akan dapat diselesaikan dengan baik oleh negara debitur.

Bercermin pada dampak negatif dari akibat membesarnya utang luar negeri yang terjadi di negara-negara Amerika Latin, masa sekitar krisis ekonomi di Meksiko, pada tahun 1996 pemerintah Indonesia sebenarnya telah merencanakan untuk membayar sebagian besar jumlah utang luar negerinya lebih cepat dari waktu pembayaran yang sebenarnya. Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan preventif agar Indonesia terhindar dari krisis utang luar negeri.

Juga, agar dapat lebih mempersiapkan diri memasuki tahap tinggal landas (take- off ), sebab menurut W.W. Rostow (1985), suatu negara bisa tinggal landas jika tidak lagi tergantung kepada utang luar negeri. Dia berpendapat, bahwa masalah utang luar negeri sebagai kendala serius bagi banyak negara yang sedang

(15)

12

berkembang untuk bisa masuk dalam tahap take-off. Hal ini dibuktikan dalam pengamatannya yang dilakukan selama tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1980-an, dengan kesimpulan bahwa banyak negara yang sedang berkembang yang diperkirakan akan masuk ke tahap tinggal landas justru semakin tergantung dan terjerat masalah utang luar negeri. Tapi tampaknya komitmen pemerintah tersebut tidak berlangsung lama karena terjadinya krisis moneter di Asia Tenggara dan Timur pada pertengahan tahun 1997.

2.4 Sejarah Negara yang pernah mengalami Krisis Ekonomi dan mempunyai utang luar negeri

Krisis itu sendiri di dalam laporan IMF, World Economic Outlook yang baru digolongkan menjadi berbagai jenis, yaitu (1). Currency crisis, (2). Banking crisis, (3). Systemic financial crisis dan (4). Foreign debt crisis. Kerawanan perekonomian bisa terjadi karena unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijaksanaan makro yang tidak sustainable, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidakstabilan politik, atau yang berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi keuangan global yang berubah, misalignment dari nilai tukar mata uang dunia (dollar dengan yen), atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas karena herd instinct dari pelaku dunia usaha.

Yang terjadi di Indonesia dimulai dengan dampak dari proses penularan, dimana rupiah tertekan di pasar mata uang setelah dan bersamaan dengan apa yang terjadi di negara-negara tetangga, dimulai dengan depresiasi yang drastis dari baht Thailand. Akan tetapi kemudian dengan langkah kebijakan yang dilakukan dan implikasi dari padanya (pelebaran rentang kurs intervensi, pengambangbebasan rupiah, intervensi BI dan pengetatan likuiditas), terjadi proses yang bersifat downward spiral dari proses penularan, sehingga gejolak kurs rupiah menjalar menjadi masalah tertekannya perbankan (karena kelemahan sektor ini).

Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidak percayaan terhadap perbankan (adanya flights to quality dan flights to safety) yang menimbulkan krisis

(16)

13

perbankan. Dalam keadaan ini bank tidak hanya ditinggalkan deposan akan tetapi juga ditinggalkan bank lain (terganggunya pasar uang antar bank yang tersekat- sekat), termasuk akhirnya bank-bank mitra usaha di luar negeri (penolakan L/C dari bank nasional oleh bank luar negeri). Krisis perbankan kemudian menjalar kepada nasabah mereka (mahalnya atau hilangnya kredit bank), sehingga masalah sektor keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap sektor riil (kegiatan konsumsi, produksi, perdagangan dan investasi). Dari perkembangan ini secara cepat krisis keuangan ini menjadi krisis sosial (perusahaan yang tidak memperoleh pinjaman bank mulai melakukan PHK terhadap karyawannya), dan kemudian menimbulkan krisis dalam kehidupan politik yang memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan nasional yang sampai sekarang belum terselesaikan. Mengenai perkembangan terjadinya krisis, mungkin secara kronologis dapat disebutkan secara singkat, apa yang terjadi sejak bulan Juli 1997, sebagai berikut:

1. Tertekannya nilai tukar rupiah setelah terjadi hal yang serupa terhadap baht Thailand yang diikuti dengan pengambangan baht tanggal 2 Juli 1997 dan peso Pilipina 11 Juli 1997.

2. Dilakukan pelebaran kurs intervensi rupiah dari 8% menjadi 12% pada 11 Juli 1997, setelah dilakukan pelebaran sebanyak enam kali sejak 1994.

3. Dilakukan penghapusan rentang kurs intervensi atau pengambangbebasan rupiah pada tanggal 14 Agustus 1998.

4. Dilakukan intervensi dalam pasar valas menghadapi tekanan yang timbul baik setelah pelebaran kurs intervensi maupun setelah 14 Agustus 1997.

5. Langkah -langkah kebijakan makro dan sektoral 3 September 1997, suatu

“self imposed IMF program “

6. Keputusan untuk meminta bantuan IMF awal Oktober 1997.

7. Perundingan dengan IMF yang menghasilkan ‘letter of intent’ pertama, 31 Oktober 1997, dari precautionary menjadi standby arrangement. Program yang akan diimplementasikan meliputi kebijakan pengendalian moneter dan nilai tukar, langkah-langkah fiskal, restrukturisasi sektor keuangan dan restrukturisasi sektor riil.

(17)

14

8. Kebijakan pencabutan ijin usaha 16 bank dan implikasinya.

9. Pencairan pinjaman tahap pertama $3 milyar dari pinjaman IMF $10 milyar sebagai bagian dari paket $43 milyar. Intervensi pasar valas bersama Jepang dan Singapore yang berhasil, kemudian implementasi program dengan dukungan IMF yang kurang lancar (masalah tuntutan terhadap Gubernur BI dan Menkeu di PTUN, ketidakjelasan pelaksanaan penghapusan monopoli dan penundaan proyek-proyek serta pelaksanaan kebijakan moneter yang seret) dan reaksi pasar yang negatif

10. Proses terjadinya ‘letter of intent’ kedua, 15 Januari 1998, didahului dengan desakan G7.

11. Reaksi pasar terhadap kemungkinan pencalonan Habibie sebagai Wapres.

12. Pelaksanaan restrukturisasi perbankan dengan pemberian garansi terhadap semua deposito, giro, tabungan dan pinjaman perbankan serta pendirian BPPN.

13. Heboh CBS, usulan Steve Henke, dan implikasi yang ditimbulkan.

14. Keputusan BPPN membekukan 7 bank serta melaksanakan pengawasan intensif terhadap 7 bank lain.

15. perundingan Pemerintah dengan IMF yang menghasilkan “Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi dan Keuangan”, yang ditanda tangani Menko Ekuin pada tanggal 9 April 1998.

16. penyelesaian pinjaman swasta dengan berbagai perundingan di Tokyo, New York dan Frankfurt

17. Pengumuman Kabinet Reformasi dan pemberian status independen ke pada Bank Indonesia setelah pergantian Presiden dari Soeharto ke Habibie.

Penyebab Timbulnya Krisis

Jika dilihat dari proses terjadinya, krisis moneter di Indonesia didahului oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam kurun waktu yang lama yang digambarkan sebagai economic miracle oleh Bank Dunia) timbul perkembangan yang menampakkan tanda-tanda adanya bubbles seperti ekspansi real estates yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang luar biasa

(18)

15

bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek secara berlebihan).

Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (contagion effects) menjadi crisis.

Krisis tersebut semula terjadi di sektor keuanganperbankan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik dan akhimya krisis kepemimpinan nasional. Ini mungkin lebih tepat untuk digunakan menggambarkan perkembangan krisis di Indonesia, akan tetapi secara umum apa yang terjadi di negara-negara lain di Asia, terutama Thailand dan Korea Selatan, juga serupa. Aliran teori ekonomi dimana para penganut Ekonomi Klasik dengan berbagai versinya menilai bahwa krisis ekonomi disebabkan oleh pada bekerjanya mekanisme pasar, karena itu untuk memperoleh hasil terbaik pasar sebaiknya tidak dicampur tangani Pemerintah (pengaturan pasar yang minimal).

Sebaliknya aliran Keynesian dengan berbagai versinya, mengatakan bahwa krisis ekonomi disebabkan karena pasar tidak stabil, mempunyai gerak konjungtur naik- turun, karena itu untuk hasil yang lebih baik Pemerintah sebaiknya melakukan intervensi di pasar memalui kebijakan-kebijakannya. Dewasa ini pandangan- pandangan mengenai sebab timbulnya krisis yang beraneka ragam tersebut, mungkin dapat digolongkan menjadi dua kelompok; pertama yang mengatakan bahwa sebab utamanya adalah :

1. Masalah internal ekonomi nasional, terutama lemahnya lembaga keuangan (perbankan). (Paul Krugman, ahli ekonomi dari Stanford University).

2. Bahwa krisis ini timbul dari perubahan sentimen pasar, masalah eksternal, yang diperkuat dengan contagion effects. (Jeffrey Sachs, ahli ekonomi dari Harvard University).

Pada awalnya, utang luar negeri Indonesia lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Pinjaman pemerintah tersebut diterima dalam bentuk hibah serta soft loan dari negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga supra nasional, baik secara bilateral maupun multilateral (IGGI dan CGI). Selanjutnya seiring dengan semakin berkembangnya perekonomian Indonesia, pinjaman luar negeri bersyarat lunak

(19)

16

menjadi semakin terbatas diberikan, sehingga untuk keperluan-keperluan tertentu dan dalam jumlah yang terbatas, pemerintah mulai menggunakan pinjaman komersial dan obligasi dari kreditur swasta internasional. Karena semakin pesatnya pembangunan dan terbatasnya kemampuan pemerintah untuk secara terus menerus menjadi penggerak utama pembangunan nasional, terutama sejak krisis harga minyak dunia awal tahun 1980-an, menyebabkan pemerintah harus mengambil langkah-langkah deregulasi di berbagai sektor pembangunan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan dorongan kepada peran serta swasta dalam pembangunan perekonomian Indonesia, melalui peningkatan minat investasi di berbagai sektor pembangunan yang diizinkan. Dengan semakin besarnya minat investasi swasta, tapi tanpa didukung oleh sumber-sumber dana investasi di dalam negeri yang memadai, telah mendorong pihak swasta melakukan pinjaman ke luar negeri, baik dalam bentuk pinjaman komersial maupun investasi portofolio, yang tentu saja pada umumnya dengan persyaratan pinjaman yang tidak lunak (bersifat komersial), baik suku bunga maupun jangka waktu pembayaran kembali.

Studi Kasus Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri di Indonesia

krisis ekonomi 1997- 1998 di era Orde Baru. Para investor baik dari Asia Tenggara maupun dari negara-negara lain mulai menarik investasi dari kawasan (Malaysia, Singapura, Indonesia dan Filipina) untuk mengamankan aset-asetnya.

Dampaknya sangat jelas yaitu bahwa nilai tukar mata uang negaranegara ini merosot, pada gilirannya menyebabkan hutang yang semakin membengkak.

Indonesia merupakan negara Asia yang paling parah terkena krisis 1997 ini. Hal ini antara lain disebabkan oleh struktur ekonomi Indonesia yang didominasi oleh kekuatan kroni yang berpusat pada lingkungan kekuasaan (Eklof, Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto 1966-98, 1999). Nilai Rupiah anjlok dari sekitar Rp 2.600,00 ke Rp 18.000,00 per dolar Amerika, dari bulan Desember 1997 hingga 1998 angka inflasi mencapai 59,1%. Krisis Ekonomi Asia 1997-1998 dengan seketika menghancurkan fondasi perekonomian Indonesia yang kala itu mengalami peningkatan secara drastis sejak Indonesia membuka diri terhadap penanaman modal asing yang dengannya mampu untuk menjalankan program

(20)

17

pembangunan. Perlu diketahui bahwa kegiatan industri yang dilangsungkan selama era tersebut amat sangat bergantung kepada kehadiran modal asing—baik berbentuk modal tetap maupun tidak tetap, sehingga kegiatan industrialisasi yang berlangsung cenderung bersifat pseudo-industrialisasi ketimbang berupaya menumpuk modal untuk mendirikan industri nasional. Relasi ekonomi yang tidak seimbang inilah yang menyebabkan perekonomian Indonesia amat bergantung kepada kegiatan ekonomi dari perusahaan multinasional asing, menyebabkan bertumbuh maupun anjloknya perekonomian Indonesia bergantung pada kondisi perusahaan asing. Berikut adalah tabel Kurs Rupiah pada saat reformasi.

Utang Luar Negeri

sejak tahun 2005-2014, Utang Luar Negeri pemerintah Indonesia cenderung bertambah. Bahkan pada tahun 2013 menyentuh angka tertinggi yaitu USD 126,119 juta. Hal ini dikarenakan selama ini Utang Luar Negeri digunakan untuk membiayai sektor keuangan dibandingkan sektor riil, sehingga jumlah Utang Luar Negeri bertambah setiap tahunnya. Angka terendah tercatat pada tahun 2007 yaitu USD 75,809 juta. Pada tahun 2008 Utang Luar Negeri Indonesia mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 6,33 % atau kisaran USD 4,80 juta, hal ini disebabkan karena terjadinya krisis global yang menyebabkan nilai tukar Rupiah

(21)

18

terhadap Dollar AS dan beberapa mata uang utama dunia mengalami depresiasi yang sangat tajam. Kenaikan akumulasi utang berdampak pada terjadinya defisit pada neraca pembayaran. Dengan kondisi inilah yang akhirnya memaksa pemerintah Indonesia untuk berhutang kepada International Monetary Fund (IMF).

Perkembangan Utang Luar Negeri masih dapat dikatakan dalam keadaan stabil Ketergantungan akan pinjaman luar negeri tersebut menjadikan Indonesia rentan tidak dapat melunasi pinjaman tersebut karena rendahnya nilai tukar mata uang Rupiah terhadap valuta asing—dalam hal ini dollar AS—sehingga pemerintah Indonesia perlu untuk melakukan pinjaman lebih lanjut kepada lembaga keuangan internasional seperti IMF (Bank Indonesia). Dengan demikian dua dari tiga tesis ketergantungan Dos Santos sebagaimana dalam tulisannya: The Structure of Dependence telah terbukti dalam fenomena hancurnya perekonomian Indonesia pada Krisis Ekonomi Asia 1997-1998 dengan ketiadaan modal untuk mempertahankan kegiatan produksi pasca penutupan beberapa perusahaan dan amat bergantung pada pinjaman luar negeri untuk membeli produk-produk impor.

(22)

19

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan jumlah utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai konsekuensi bagi bangsa Indonesia, baik dalam periode jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam periode jangka pendek, utang luar negeri harus diakui telah memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pembiayaan pembangunan ekonomi nasional Sehingga dengan terlaksananya pembangunan ekonomi tersebut, tingkat pendapatan per kapita masyarakat bertumbuh selama tiga dasawarsa sebelum terjadinya krisis ekonomi.

Untuk keluar dari krisis terlebih dahulu harus ada suatu titik balik, suatu ‘turning point’, dari pesimisme menjadi optimisme, dari ketidak percayaan menjadi percaya, dari tanpa harapan menjadi penuh harapan.

Kemudian, tindakan yang diambil harus disesuaikan dengan masalah yang dihadapi. Beberapa aspek seperti kebijakan makro, moneter dan fiskal untuk mengatasi masalah nilai tukar, inflasi dan memburuknya perekonomian, kebijaksanaan restrukturisasi keuangan dan perbankan, termasuk restrukturisasi pinjaman perusahaan dan restrukturisasi perusahaan, kebijaksanaan restrukturisasi sektor riil, kebijakan restrukturisasi kelembagaan, dan penaggulangan dampak sosial krisis.

B. Saran

Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

(23)

20

DAFTAR PUSTAKA

Afriyenis, W. (2016). PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM TERHADAP UTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH. Jurnal Kajian Ekonomi Islam.

Arfah, W. (2016). Analisis Determinan Utang Luar Negeri Indonesia.

Defrizal Saputra, H. A. (2018, September 5). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UTANGLUAR NEGERI DI INDONESIA.

EcoGen.

Diki Drajat, B. R. (2018). KRISIS EKONOMI 98 DITINJAU DARI PERSPEKTIF KETERGANTUNGAN. Academia.

Fatmawati, R. Y. (2015). Analisis Pengaruh Perdagangan Internasional dan Utang Luar Negeri Terhadap Gross Domestic Product Indonesia. JESP-Vol. 7,.

Gemilang, A. R. (2017). POSISI DEFISIT ANGGARAN DAN KURS. Jurnal Economix.

Junaedi, D. (2018). HUBUNGAN ANTARA UTANG LUAR NEGERI DENGAN PEREKONOMIAN. 154-Article Text-2338-1-10-20181109.pdf.

Kurnia, A. M. (2017, Januari). PENGARUH UTANG LUAR NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING. Jurnal Akuntansi. Vol. 3 No. 2.

Sari, D. M. (2019). Analisis Utang Luar Negeri dan Inflasi Indonesia. Jurnal Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Vol. 19No.1.

Tambunan, M. (2014). Perkiraan Dampak Krisis Keuangan Terhadap Ekonomi, khususnya sektor pertanian dan agribisnis di Indonesia. publications/43833- ID-perkiraan-dampak-krisis-keuangan-terhadap-ekonomi-khususnya- sektor-pertanian-dan.pdf.

Referensi

Dokumen terkait

Rancangan pemikiran penelitian yang tergambar dalam hubungan keterkaitn antara variabel di atas, merupakan model hubungan ganda dengan dua variabel independen X 1 ,yaitu

Seba liknya, apabila perbandingan kinerja syaraf baru dan kinerja syaraf lama kurang dari maksimum kenaikan kerja, maka nilai bobot-bobot akan dipertahankan, dan nilai

Adapun pengaruh atau dampak yang ditimbulkan terhadap suatu proyek sistem informasi dapat berpengaruh kepada a) nilai unjuk kerja dari sistem yang dikembangkan,

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa Delta ω yang dihasilkan dari pengontrolan sistem dengan menggunakan Robust Fuzzy menghasilkan nilai IAE yang lebih baik

Dengan dibantu metode AHP untuk melakukan pembobotan resiko, kemudian melakukan korelasi uji konsistensi, diperoleh 10 (sepuluh) faktor yang mempengaruhi pembangunan

Memberikan pembebasan dan pelunasan tanggung jawab sepenuhnya ( ) kepada Dewan Komisaris dan Direksi Perseroan atas tindakan pengawasan dan pengurusan yang telah dilakukan selama

Menambahkan kata tanya apa atau apakah, Membalikkan urutan kata biasanya ditambah dengan partikel kah, Menambahkan kata bukan, belum dan tidak, Mengubah intonasi

Oleh karena itu, dalam mengukur partisipasi penerimaan pajak bumi dan bangunan bukan hanya dilihat dari apakah wajib pajak patuh dalam melaksanakan kewajibannya,