EDITORIAL TEAM Ketua Penyunting
Masykur Arif, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep Penyunting Pelaksana:
Syafiqurrahman, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep. Penyunting:
Abd. Warits, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep. Mohammad Takdir, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep. Ach. Maimun, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep. Fathor Rachman, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep. Moh. Wardi, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nahzatut Thullab, Sampang.
Moh. Dannur, Institut Agama Islam (IAI) ِ◌Al-Khairat, Pamekasan. IT Support:
Faizy, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep, Indonesia
Alamat Redaksi: REDAKSI JPIK
Lembaga Penerbitan, Publikasi dan Dokumentasi (LP2D)
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Jl. Bukit Lancaran PP. Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep 69463 Email: [email protected] Website: http://jurnal.instika.ac.id/index.php/jpik
Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan, Publikasi dan Dokumentasi (LP2D) Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Jawa Timur, Indonesia. Terbit 2 kali dalam setahun yakni pada bulan Maret dan September. Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman menerbitkan hasil penelitian, baik penelitian pustaka maupun lapangan, tentang filsafat dan pemikiran serta ilmu-ilmu keislaman meliputi bidang kajian pendidikan Islam, politik, ekonomi syariah, hukum Islam atau fikih, tafsir, dan ilmu dakwah
1-28 Studi Komparasi Hukum Pencatatan Perkawinan dalam Islam dan di Negara Kontemporer
Dainori
29-56 Pendidikan Islam Inklusif dalam Pemikiran Sayyed Hossein Nasr
Tatik Hidayati dan Ah Mutam Muchtar
57-74 Mengakrabkan Anak dengan Tuhan (Upaya Membangun Kesadaran Beragama Anak-Anak) Abdul Wahid dan Abdul Halim
75-103 Sikap dan Pandangan Tokoh Pesantren Terhadap Kondisi Santri Tahfidzul Qur’an di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk-Guluk Sumenep
Fairuzah dan Unsilah
104-121 Metode Istinbath Hukum dan Pengaruhnya terhadap Fiqih di Indonesia
Moh Jazuli, A Washil, dan Lisanatul Layyinah 122-144 Zakat Profesi Menurut Pandangan Yusuf Al
Qardhawi
Pendidikan Islam Inklusif dalam Pemikiran Sayyed
Hossein Nasr
Tatik Hidayati
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep
Ah Mutam Muchtar
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep [email protected]
Abstrak
Tulisan ini berusaha menjawab keresahan tentang maraknya fenonema menurunnya sikap toleransi dalam masyarakat. Dimana salah satu penyebabnya adalah muncul dari pola Pendidikan agama yang justru mengajarkan sikap intoleran baik melalui materi dan cara mensikapi persoalan dimasyarakat. Pemikiran Sayyed Hossein Nasr akan di hadirkan sebagai solusi konseptual dalam menjawab persoalan diatas. Nasr sebagai seorang intelektual muslim pemikirannya banyak memberi pengaruh dalam dunia islam dan Barat. Pandangan Nasr tentang manusia, hakekat Pendidikan dan rumusan keilmuan dalam kurikulum Pendidikan dapat menjadi reformulasi merumuskan Pendidikan yang inclusive. Pertama, pemaknaan manusia secara metafisis. Keterikatan dengan Tuhan, menjadikan posisi manusia sebagai mahluk yang lemah. Keberagaman sebagai manusia merupakan keniscayaan yang justru menunjukkan kesempurnaan manusia melalui intelegensi dan kehendak sebagai potensi manusia yang senantiasa terhubung dengan sang ilahi. Kedua, atas dasar tersebut maka Pendidikan dijelaskan cara untuk melakukan dekonstruksi kebenaran tunggal. Dimana tradisi yang suci tidak hanya ada pada Islam, tetapi juga ada pada agama lain. Ketiga, reformulasi tersebut tampak dalam keilmuan
yang seharusnya diajarkan di Pendidikan Islam yang menghadirkan sumber ilmu tidak hanya dari Islam akan tetapi Barat dan agama Lainnya. Sehingga konteks Pendidikan Islam Sayyed Hossain Nasr menghadirkan wajah yang inclusive, pluralis dan demokratis. Maka dari perjalanan intelektual Nasr kita menemukan sikap inklusif dalam menggali dan mendapatkan ilmu dari semua penjuru baik islam ataupun diluar islam. Secara metodologis ia menggunakan filsafat perennial atau tradisionalisme dalam pemikirannya yang mampu menerima kebenaran yang suci yang datang dari islam dan diluar islam. Dan unity science, kesatuan akan ilmu yang menghilangkan dikotomi ilmu tapi kesatuan ilmu yang terhubung dari “Yang Esa” yang datangnya dari islam maupun diluar islam.
Kata Kunci: Pendidikan Islam, Inklusif, Pemikiran Sayyed Hossein Nasr
Pendahuluan
Realitas masyarakat Indonesia dalam 10 tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan sikap intoleran. Data ini dapat dilihat dari aksi-aksi intoleran yang dilakukan oleh sekelompok ummat Islam pada saat pilkada atau pilpres, menggunakan narasi-narasi pengucilan, penghinaan atau bahkan kekerasan terhadap kelompok yang menjadi lawan politiknya. Beberapa data lain juga menunjukkan, sebagaimana laporan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan oleh Wahid Foundation menunjukkan adanya peningkatan rata-rata 7,2% pertahun mulai tahun 2008 sampai 2016. Data ini senada dengan dataset National Violence Monitoring System
(NVMS).1 Hasil survey PPIM UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2017 menunjukkan banyaknya pelajar dan mahasiswa yang mempunyai pandangan intoleran terhadap kelompok minoritas dan agama lain. Menurut mereka pelajaran agama islam di sekolah dan kampus menjadi salah satu penyebab pandangan tersebut hadir. Menariknya guru dan dosen mempunyai andil besar dalam menumbuhkan sikap intoleran dan radikal. Beberapa Penelitian mengkonfirmasi sikap terbuka dan penghargaan terhadap perbedaan, pada kelompok minoritas dan marjinal yang ditunjukkan oleh aktoraktor pendidikan kita masih lemah (Sebagaimana laporan PPIM UIN Syarif tahun 2017, 2018, dan Laporan survey Wahid Foundation, 2019). Di tingkat perguruan tinggi, sejumlah studi menggambarkan maraknya paham ekstrimisme dikalangan civitas akademiknya.(Laporan Setara Institute, 2019); Fenomena eksklusifisme dalam buku teks pendidikan agama di Perguruan tinggi umum (PPIM Uin Syarif Hidayatullah, 2018), aktivis mahasiswa Muslim memeiliki pemahaman keagamaan yang cenderung tertutup (CSRC, 2017); kegiatan keagamaan dilingkungan kampus mendorong tumbuh suburnya pandangan keagamaan yang eksklusif (CISForm, 2018); infiltrasi radikalisme dan ekstrimisme di lingkungan kampus melali masjid-masjid kampus. (INFID, 2018); laporan BNPT, sebanyak 39% mahasiswa PT Negeri telah terpapar paham radikalisme (BNPT, 2018).
1 LaporanKKBWahidFoundationdapatdiunduhdihttp://wahidfoundati
on.org/index.php/publication/index/report dan Laporan NVMS Indonesia dapat diunduh di http://snpk.kemenkopmk.go.id/.
Berdasarkan data diatas, maka dibutuhkan narasi-narasi kontra intoleran, ekstrimisme dan radikalism. Baik melalui penggalian konsep yang moderat dan tindakan yang riil dalam masyarakat. Sehingga fenomena diatas tidak menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Secara konseptual kita bisa menghadirkan pemikiran dan ajaran-ajaran yang menampilkan keberagaman, kebenaran yang tidak tunggal dalam keberagamaan dan arah pemikiran yang lebih inklusif.
Upaya untuk meminimalisir dan menghilangkan sikap intoleran, ektrism dan radikal salah satu dapat melalui lembaga pendidikan. Jika beberapa data diatas pendidikan menjadi pihak yang tertuduh dalam menyuburkan berbagai sikap diatas, maka pendidikan juga menjadi solusi dalam mengatasi persoalan tersebut. hal ini bisa dimulai dari sajian konseptual yang inclusive dan praktek pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan yang mempraktekkan inclusivitas dalam pelaksanaan pembelajaran, interaksi dan reproduksi kegiatan-kegiatan pendukung yang berorientasi pada sikap moderat dan inklusif. Tawaran konsep-konsep pendidikan dapat kita kaji dari pemikir-pemikir pendidikan, terutama pendidikan Islam. Konsep Islam yang di sandarkan pada al-qur’an dan hadits layak dihadirkan dalam wujudnya yang inklusif sebagaimana semangat keislaman yang menggaungkan rahmatan lil alamin.
Sayyed Hossein Nasr seorang pemikir Islam yang kaya akan khazanah pemikiran barat maupun timur ( ilmu keislaman dan ilmu yang dikaji di barat) mengajak para intelektual untuk memaknai kebenaran yang dapat datang dari penjuru timur atau barat, namun akan berujung pada esensi Yang Tunggal. Pemikiran yang bercorak perenialis dari Nasr ini dapat menjadi salah satu rujukan yang
memberikan oase ditengah kegersangan dunia dalam menghadapi problem tentang klaim kebenaran yang berujung pada sikap ekstrim dan radikalis.
Banyak tulisan mengkaji pemikiran Nasr yang dikaitkan dengan sains, filsafat, tasawuf, pendidikan dan dialog antar agama, manusia, seni dan ekologi. 2 Tidak sedikit pula yang mengkaji beberapa kajian tersebut dikaitkan dengan dunia modern, dimana kritik Nasr tentang modernitas menjadi fokus utama yang kemudian pilihannya pada tradisionalisme.
Beberapa tulisan tentang Nasr sudah banyak yang mengkaitkan dengan pendidikan islam dan sebagaian lagi membahas berkaitan dengan dialog agama, formalisme agama. Tulisan ini akan secara spesifik mengupas pemikiran Sayyed Hossein Nasr yang relevan
2 Buku Ach. Maimun, M.Ag, Sayyed Hossein Nasr: Pergulatan Sains
dan Spiritualitas Menuju Paradigma Kosmologi Alternatif, (Yogyakarta :
IRCiSoD, 2015). Asfa Widiyanto, “Rekonstruktualisasi Pemikiran Sayyed Hossein Nasr Tentang Bangunan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Islam”,
ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman, Volume 11, Nomer 2, Maret 2017. 277-,
305. Fardana Khirzul Haq, “ Kritik Terhadap Sains Modern (Studi Pemikiran Sayyed Hossin Nasr dan Fritjof Capra”. Tesis Universitas Indonesia, 2018. Fathin Fauhatun, “Islam dan Filsafat Perenial : Respon Sayyed Hossein Nasr terhadap Nestapa Manusia Modern”,FUADUNA: Jurnal Kajian Keagamaan
dan Kemasyarakatan, Vol. 04 No. 01, Januari-Juni 2020. 54-69. Dwi
Wahyuni dkk, “Filsafat Perenial dan Dialog Antar Agama”, Jurnal al-Aqidah, Vol. 13, Nomer 1, 2021, 103-116 . Irfan Noor, “Sufisme dan Formalisme Agama”, al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 13, no.2, 2015. Dedy Irawan, Tasawuf Sebagai Solusi Krisis Manusia Modern : Analisis Pemikiran Sayyed Hoseein Nasr, Jurnal Tasfiyah Pemikiran Islam,Vol. 3, No.1, 2019. Ummu Kulsum, “Pemikiran Sayyed Hossein Nasr: Nilai Pendidikan Islam Tradisional di Tengah-Tengah Kemodernan, Ahsana Media,
Jurnal Pemikiran, Pendidikan dan Penelitian Keislaman, Vol.5, No.1, 2019,
73-80. Titin Nurhidayati, Pemikiran Sayyed Hossein Nasr: Konsep Keindahan dan Seni Islam dalam Dunia pendidikan Islam, FALASIFA, Vol.10 , No. 1, 2019, 29-44. Ahmad Sururi dkk, “Ecological Sufism Concept in Thought of Sayyed Hossein Nasr”, RSD: Reseacrh, Society and development, Vol. 9, No. 10, 2020.
dengan pendidikan Islam yang inclusive (Inclusive society), meski belum banyak mendapat perhatian khusus dalam beberapa kajian tentang Nasr sebelumnya, tentu kajian ini tanpa mengabaikan pemikiran lain yang membahas pada persoalan yang senada. Kajian ini akan secara khusus menfokuskan pada konsep tentang manusia, Islam tradisional dan pendidikan dan sains sebagai reformulasi kurikulum pendidikan.
Sayyed Hossein Nasr: Setting Pendidikan dan Intelektual yang Inklusif
Sayyed Hossein Nasr (Nasr) lahir pada tanggal 7 April
1933 di Teheran Iran. Ia berasal dari berasal dari keluarga yang
taat menjalankan agama. Ayahnya seorang ulama Syiah
terkemuka dan dikenal sebagai seorang ahli fisika dan guru.
3Kristalisasi pendidikan Nasr dibesarkan dalam dua sistem
pendidikan yaitu “Islam Tradisional” dan “Barat Modern”.
Perjalanan akademik dibesarkan dalam dua tradisi ulama’ Syiah
tradisional dan pendidikan barat modern.
Pendidikan awal Nasr di Teheran Iran dengan
ditekankan, khusus pada pendidikan klasik agama Islam yang
menggunakan literatur Persia. Ayahnya berinisitif menitipkan
nasr belajar ke beberapa ulama syiah tradisional seperti
3 John L. Esposito (ed), The oxford Encycclopedia of Modern Islam
Tabataba’I, Hazbini dan Muthahhari.
4Iklim dan atmosfir
pendidkan di Iran berjalan intens dan lama telah banyak
memberikan pengaruh dan pijakan bagi Nasr dalam mendalami
keilmuan yang berada di luar Iran. Beberapa kiprah yang
mematangkan Nasr diantaranya, bersama Murtada Muthahhari
dan Ali Syari’ati mendirikan lembaga Husayniyah Irsyad, meski
lembaga ini bersifat primordial yang bertujuan untuk
mengembangkan ideologi Syi’ah, namun dalam perjalanannya
lebih focus pada pengembangan intelektual.
5Menurut Nasr
Syari’ati merupakan modernis muslim yang pertama
menciptakan “ Liberation Theologi” dalam Islam, karena
pengaruh barat dan Marxsisme,
6Pendidikan tinggi Nasr dimulai di MIT ( Massachuster
Institute of Tehnologi) Amerika Serikat dengan gelar sarjana
muda (B.A) di bidang fisika dan matematika pada tahun 1954.
Selanjutnya gelar Magister geologi dan geofisika di peroleh di
Harvard University, masih di universitas yang sama ia
menyelesaikan gelar Ph.D dalam bidang sejarah sains dan filsafat
dengan kosentrasi sains Islam. Di sini H.A.R Gibb yang menjadi
promotornya di program doctoral memuji Nasr sebagai orang
4 Azyumardi Azra, “Tradisionalisme Sayyed Hossain Nasr Eksposisi
dan Refleksi Laporan seminar Sayyed Hossein Nasr”, dalam ulumul Qur’an
No. Tahun 1993, 106
5 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam : Pesan Untuk Para
Intelektual Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), 134-135
6 Azyumardi Azra, “Tradisionalisme Sayyed Hossain Nasr Eksposisi
yang mempunyai otoritas dalam pemikiran Islam terutama dalam
memasukkan kosmologi mistik dalam pemikiran sufi secara
lengkap dan ilmiah.
7Nasr merupakan pemikir Islam yang pengaruhnya tidak
hanya di dunia Islam, tapi di dunia Barat. Pengakuan keilmuan
Nasr meliputi tiga benua dimana ia memberi kuliah di Asia,
Eropa dan Amerika yang mulai tahun 1965 sampai sekarang. Di
Asia ia menjadi dosen tamu diberbagai universitas dianataranya
Iqbal Lecture di Pakistan, di Australia Charles Strong University,
Azad memorial Lecture di India. Di Eropa seperti di Toronto
(1983), Inggris (1994), California (1995), di San Fansisco (1995)
dan universitas lainnya. Pada berbagai kuliah tersebut
merupakan kesempatan Nasr menghadirkan kajian yang di
dasarkan pada perspektif tradisional (bukan perspektif modern
yang syarat isme-isme tertentu dalam psoudo Timur) tentang
peradapan Timur kepada Audiensi Barat.
8Pengembaran Intelektual Nasr yang menarik adalah
perjumpaannya dengan dua tokoh mistis Katolik. Mereka adalah
Louis Masignon, Hanry Corbin dan seorang mistis protestan
yaitu Titus Burchart. Ia mengungkapkan ketiganya telah
menghadirkan Islam secara ilmiah akademis akan tetapi juga
7 Gioergio De Santillana dalam pengantar buku Sayyed Hossein
Nasr, Sains and Civilitation in Islam, (New York: New American Library, 1970), V
8 Yang dimaksud dengan timur adalah pengetahuan yang di
hubungkan dengan kesempurnaan yang suci dan spiritual. Lihat Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and Sacred, ( New York: Edinburgh, 1981), vii
secara mistis dalam dunia eksistensial. Dari mereka Nasr melihat
kebenaran -keberan Islam, dan tradisi dalam pengertian yang
universal, kepada dunia modern dalam Bahasa kontemporer.
9Nasr dikenal sebagai pemikir yang multidimensional,
yaitu dari pemikiran filsafat, teologi, gnostic, sains, sufi,
kosmologi, seni dan lingkungan. Kompleksitas keilmuan tersebut
menyebabkan kita tidak mudah dalam memahami pemikiran
nasr. Kita harus benar-benar mengenali dan mengurai
pemikirannya secara cermat dalam bidang yang kita kaji. Di
bidang filsafat ia banyak di pengaruhi dengan filsafat paripatik
yang menyajikan sintesis Plato dan Aristoteles dalam konteks
pandangan Islam yang dipelopori oleh al-Kindi, al- Farabi dan
Ibnu Shina. Di samping itu pengaruh pada pemikiran filsafatnya
adalah “Filsafat mazhab kedua” dalam Islam yaitu al -Isyraq
(ilumunation) dari Surahwadi, yang dilanjutkan oleh Mulla
Sandra sebagai pecetus “Filsafat mazhab ketiga”. Pemikiran
sains Nasr menjelaskan tentang sains- sacra. Dimana sains
muncul dari jantung kesucian yang mempunyai hubungan
dengan “Yang Pertama”. Nasr menuduh dunia modern yang
telah melakukan desakralisasi pengetahuan, karena telah
menjauhkan ilmu dari kesakralannya, ini sebagai penyebab
manusia modern kehilangan makna dalam kehidupan karena
yang dicari adalah dunia profan.
9 Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia
Modern, di terjemah oleh Lukman Hakim dari “ Traditional Islam in the
Pemikiran kosmologi, seni dan lingkungan, Nasr semua
keilmuan tersebut tidak dapat dipisahkan dari dimensi
spiritualitasnya. Dalam bidang seni, nasr memandang seni suci
yang mempunyai kausal dengan wahyu Islam. Seni merupakan
kesatuan yang bersifat organis dengan ibadah, yang esensinya
dzikkruallah dan ini adalah peran seni islam secara
keseluruhan.
10Nasr merupakan intelektual muslim yang sangat
produktif yang menghasilkan puluhan buku dan ratusan artikel
yang terbit diberbagai jurnal. Metode yang ia gunakan dalam
menyajikan pemikirannya dengan cara komperatif, menemukan
kesamaan dan menjelaskan perbedaan anatara pemikiran islam
dan non islam, bahkan untuk membedakan antara nilai islam dan
dunia modern. Di sini ia menempatkan islam tradisional sebagai
perspektif dalam melakukan analisis pemikiran di luar dirinya,
yaitu islam tradisional yang didasarkan pada tradisi sacra dan
abadi.
Pendekatan yang digunakan Sayyed Hossein Nasr Islam
tradisional menurut sebagaian pemikir islam dianggap tidak
popular karena dianggap ortodok, pasif dan statis. Meskipun
demikian tuduhan itu jika dialamatkan kepada Nasr kurang tepat
karena fakta dari karya yang dihasilkan, ia tidak penyuguhkan
islam yang ofensif dan defensive, akan tetapi ia menyajikan
10 Sayyed Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality, (Lpswich :
bukti yang komprehensif melalui proses dialektika dan bersifat
argumentative yang tidak hanya berdasarkan referensi islam
klasik tetapi referensi kontemporer baik dari kalangan islam
maupun di luar itu.
Perjalanan pendidikan dan intelektualisme Nasr pada jalan yang inclusive, dimana dia belajar kepada siapa saja tanpa melihat perbedaan agama, atau dari aliran atau bangsa tertentu. Dia mengambil keilmuan dari sumber yang dianggap mempunyai otoritas yang datang dari segala penjuru dengan tetap melihat kebenaran islam tanpa mengabaikan kebenaran yang datang dari selain islam. Demikian juga pergaulan intelektualisme di dunia akademik, Nasr ada di dunia Timur dan Barat untuk memberi kuliah, diskusi dan orasi keilmuan dengan semua kalangan tanpa membedakan perbedaan-perbedaan yang sifatnya eksoteris, dia lebih mempermasalahkan sisi esoteric yang mulai di jaukan dari sumber agama baik yang datang dari islam atau agama lainnya.
Nasr, Manusia dan Pendidikan
Perspektif Islam tradisional Nasr sangat terasa disaat
menjelaskan manusia, baginya manusia saat ini mengalami
“nestapa”, yaitu terhempasnya manusia dari nilai-nilai
kemanusiannnya yang sebelumnya terhubung dengan “Yang
Satu” dan “Yang Ada”, sebagai asal dari segalanya dan
kepadaNya akan kembali. Ini di sebabkan karena pengaruh
nilai-nilai modernisme yang tidak mempunyai akar dan prinsip yang
dikoneksikan dengan yang Sacra. Posisi manusia hakekatnya
adalah sebagai penghubung atau Pofentik. Sebagai penghubung,
ia terikat pada Pusat Eksis (Transendental).
11Manusia dibekali intelegensi dan kehendak dalam
menjalankan misinya sebagai penghubung. Intelegensi bersifat
transedental, ia di ditempatkan sebagai potensi yang melampui
wilayah yang terrestrial, yang menjadikan manusia senantiasa
sadar akan kefanaannya. Potensi ini ada pada manusia sejak ia
dilahirkan, sebagaimana alqur,an menyebutnya sebagai fitroh
yang di maknai sebagai manusia primordial atau universal.
12Konsep ini menjadikan manusia universal yang mempunyai
fungsi metafisik, kosmogonik, pewahyuan dan fungsi intrisik
realitas yang menentukan totalitas keadaan manusia, baik
kemulyaan dan kepicikan yang ada pada manusia.
13Sedangkan kehendak sebagai bentuk kreatifitas manusia
untuk melakukan segala sesuatu yang ia kehendaki. Kehendak
ditentutakan oleh hukum islam (syariah), dimana kebebasan
berkehendak mengandung konsekuensi-konsekuensi moral yang
harus dipertanggungjawabkan oleh manusia. Syari’ah berperan
penting dalam memberi rambu-rambu dalam tugasnya sebagai
penghubung. Ini menjadi bagian pentahapan yang terpenting
dalam menuju eksistensi. Pada konteks ini manusia sebagai
pofentiknya, menjadikan intelegensi dan kehendak bebasnya
11 Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and Sacred,……, 160
12 Sayyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man,
(London: Longman, 1975), 9
dipelihara dan diekspresikan secara tepat sehingga
menghantarkan pada posisi universal atau sempurna (insan
al-kamil).
Sejalan dengan posisi manusia diatas, Hasan Langgulung
melihat tujuan utama pendidikan adalah kesempurnaan manusia
dalam arti mengembangkan potensi-potensi manusia sebagai
pengembangan sifat-sifat Allah yang secara spesifik diwujudkan
dalam bentuk penyembahan manusia terhadap Allah. Sehingga
pendidikan merupakan proses memelihara dan mengembangkan
potensi-potensi manusia.
14Nasr secara implisit mengemukakan
bahwa pendidikan adalah agent yang mempunyai andil besar
dalam memelihara manusia tradisional, yaitu berdasarkan potensi
intelegensi dan kehendak, jiwa dan tubuh, dan pembedaan
laki-laki dan perempuan merupakan bentuk keniscayaan yang
menunjukkan kesempurnaan manusia, dimana semua itu
senantiasa diikat, dihubungkan dan akan kembali kepada Yang
Esa.
Hakekat pendidikan menurut Nasr dapat dipahami
sebagai karakter religious yang mendalam dan senantiasa
mengkaitkan dengan nilai kesucian. Proses pendidikan sebagai
latihan yang diperuntukankan kepada wujud laki-laki dan
perempuan. Pendidikan bukan sekedar pengajaran atau
penyampaian pengetahuan ( ta’lim), akan tetapi pelatihan seluruh
14 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa
diri manusia (tarbiyah).
15Guru bukan sebagai penyampai materi
pengetahuan (mu’allim), tetapi sebagai pelatih jiwa dan
kepribadian murabbi. Wilayah pendidikan bukan saja akal yang
menghasilkan pengetahuan melibatkan juga jiwa yang
mendidikan moralitas dan religiusitas.
Secara detail Nasr menjelaskan hakekat pendidikan dan
tujuan pendidikan berdasarkan pandangan para filosof Ikhwan
al- Shofa dari mahzab Ismaili dan hermenetik-Pytagorian, Ibnu
Shina dari mahzab paripatik, Surahwardi dari mahzab
ilumunation (isyraqi) dan Mulla Sandra dari mahzab keempat
yang bercorak teosofi Transenden (al-hikmah al-muta’aliyah).
16Pertama, Ikhwan al- Shofa menjelaskan bahwa hakekat
pendidikan adalah proses aktualisasi diri yang ada pada siswa,
menyempurnakan yang tujuannya mempersiapkan untuk
kehidupan yang kekal. Proses ini bertahap mulai dari
pembaharuan (tahzib), pemurnian (tath-hir), pelengkapan
(tatmin) dan penyempurnaan (takmil). Lembaga pendidikan
disebut sebagai Maktab, dimana pendidikan usia dini sampai
lima belas tahun di bimbing oleh seorang guru (mu’allim),
pengajarannya menggunakan metode imla’. Setelah usia itu
15 Sayyed Hossein Nasr, Island an Tradisi….,125.Formulasi Nasr
tentang pendidikan berbeda dengan M. Athiyah al-Abrasyi yang memilih kata
ta’dib, karena pndidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab manusia
sedangkan kata murabbi lebih merujuk kepada istilah Barat dalam pendifisiannnya. M. Athiyah al-Abrasyi, Aims and Objectives of Islamic
Education (London and Jeddah: University King of Abdul Aziz, 1971), 222
16 Sayyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern Word,
dibimbing oleh guru (ustazd), dengan menggunakan metode
intelek (aql), demonstrasi (burhan) dan inspirasi (ilhami).
17Kedua, Ibnu Sina memandang pendidikan sebabagai
proses yang melibatkan intelegensi dan sifat manusia melalui
dua hal tersebut untuk mencapai kesempurnaan manusia.
Pendidikan yang berkaitan dengan intelektualitas membagi
menjadi intelek-teoritis dan intelek-praktis (al- ‘aql nazdari dan
al-‘aql al-al-amali). Selanjutnya Ibnu Sina banyak berbicara
berkaitan pendidikan yang berkaitan sifat manusia atau
pembentukan karakter. Proses pendidikan dimulai sejak dalam
kandungan, pendidikan dilaksanakan secara berjenjang dengan
senantiasa memperhatikan sifat anak didik baik dari metode dan
materi yang disampaikan. Disamping itu ia juga membahas
tentang bagaimana kepribadian seorang guru terutama berkaitan
cara mengajar interaksi dengan siswa.
Ketiga, pemikiran Shihabuddin Surahwardi tentang
pendidikan sangat di pengaruhi filsafat iluminasi. Pendidikan
merupakan proses mencari pengetahuan yang diskursif hingga
tercapainya iluminasi yang melibatkan seluruh dimensi manusia,
baik mental atau psikologis, unsur rasional, dan dimensi jiwa. Ini
semua penting di wilayah yang harus di sasar oleh proses
pendidikan sehingga tercapai manusia seutuhnya. Ia menamakan
orang yang mencari ilmu sebagai thalib yang berarti anak yang
haus akan pengetahuan. Sebagaimana di jelaskan sebelumnya
pengetahuan yang dicari oleh anak yang mencari ilmu adalah
pengetahuan diskursif, untuk itu orang yang mencari
pengetahuan disebut sebagai thalib al-bahts.
18Keempat, Mulla Sandra, tujuan pendidikan merupakan
aktualisasi dan penyempurnaan jiwa dan intelektual menuju
pengetahuan tentang Tuhan (ma’rifat Allah). Pada tahap ini
manusia mencapai kesempurnaannya yang disebut sebagai
al-nafs al-nathiqah atau “jiwa rasional” Disini Mulla Sandra
mencoba mengkombinasikan filsafat paripatiknya Ibnu Shina
dan Iluminasi Surahwardi. Proses belajar (ta’lim) merupakan
transformasi kondisi potensial menuju aktualitas. Proses itu
meliputi syari’ah dan thariqoh, yang menggambarkan pendidikan
dari hal yang sifatnya lahir sampai batin atau dari aspek
korporial sampai ruh.
Uraian singkat diatas banyak dijadikan rujukan Nasr ketika membahas tentang pendidikan. Meskipun tidak secara gamblang bicara bagaimana proses pendidikan seharusnya dilakukan dalam bentuk konkrit, akan tetapi prinsip-prinsip tentang pendidikan islam sangat terasa memberi pencerahan tentang hakekat, tujuan dan domain pendidikan islam. Ini menjadi masukan penting di tengah pendidikan yang hanya menjadi komoditas dan tujuan-tujuan yang sifatnya pragmatis, maka pendidikan harus dikembalikan pada cita-cita awal yang mendidik manusia seutuhnya. Ini yang menjadi kegelisahan Nasr melihat pendidikan di dunia modern yang justru meminggirkan manusia dari pusat yang menghubungkan dengan “Yang Esa” dan
“Yang Suci”. Maka tugas pendidikan di era sekarang adalah mengembalikan manusia untuk senantiasa terikat dan terhubung dengan “Yang Esa”. Ini dapat di melakukan reorientasi tujuan pendidikan yang menyatukan unsur spiritual dan intelektual dan reformasi kurikulum dengan kembali kepada sains sacra dan metode pendidikan arahnya lebih melatih jiwa atau murabbi.
Sains Sacra : Sebuah Reformulasi kurikulum Pendidikan Islam Inklusif
Islam Tradisional memandang semua sains adalah sakral, tidak ada pembedaan antara ilmu agama dan umum. Karena semua ilmu sakral maka tidak perlu dilakukan islamisasi ilmu sebagaimana diungkapkan oleh Ismail Raji al-Faruqi 19 dan M. Nauqib al-Atas.20 Melalui penelusuran sejarah sains, maka ia melihat suatu kesinambungan dan benang merah yang dapat ditarik dari pemikiran islam awal. Di sini Nasr melihat ulama, pemikir, filosof dan ilmuwan sejak Kindi, al-Farabi dan Ibnu Shina sampai al-Ghazali, Nashir al-Din al-Thusi dan Mulla Sandra telah melakukan klasifikasi ilmu. Mereka pada dasarnya mempunyai pemikiran yang sama bahwa ilmu tersusun secara hirarkhis yang pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang “Yang Satu”.21
19 Sebagaimana dalam bukunya, Ismail Raji al-Atas, Islamisation of
Knowledge, (Washington : International Institute of Islamic Thought, 1982)
20 M. Naoqib al-Atas, Islam dan sekularisme, (Bandung: Pustaka,
1981)
21 Sayyed Hossein Nasr, Islamic Sains: An Illustradted Study,
Di sini Nasr mengamini adanya klasifikasi ilmu dalam rangka sebagai tolok ukur untuk melihat jangkauan dan posisi ilmu secara utuh. Bahkan manusia sebagai subyek ilmu juga dalam pencarian ilmu bersifat hirarkhis, mulai dari pengoprasian indra, daya khayal dan akal, ini tergantung ilmu yang akan dicari. Akal budi sebagai cara utama untuk mengetahui wahyu hingga sampai pada mata hati (ain al-qalb).
Klasifikasi ilmu al-Farabi dan Ibnu Khaldun lebih banyak di pakai Nasr karena keduanya dianggap mempunyai pengaruh yang paling kuat pada masanya, meskipun ia tidak mengabaikan pemikir islam lainnya. Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu berdasarkan epistemologi, ontologi dan aksiologi. Epistemologi ilmu melalui jalan wahyu, inteleksi dan akal. Secara ontologis, materi yang diajarkan didasarkan pada tingkatan wujud dan etis dalam setiap tujuan pencarian ilmu. Nasr menganggap kelemahan al-Farabi pada tidak adanya dasar-dasar filosofis pada tiap-tiap cabang ilmu. Sedangkan Ibnu Khaldun hirarkhinya di dasarkan pada tingkatan metode dalam memperoleh ilmu dan materi.
Pilihan Nasr pada dua klasifikasi diatas dapat diidentifikasi bahwa pendidikan merupakan transformasi ilmu, yang tidak hanya terpaku pada ilmu yang melibatkan intelektual (akal), akan tetapi juga ilmu yang capaiannya melalui inteleksi dan wahyu, sehingga tujuan pendidikan yaitu sampai pada kesempurnaan dan kebenaran yang haq.
Nasr menempatkan ilmu pada posisi yang hirarkhis, bukan dikotomis. Ini untuk memudahkan dalam memperoleh ilmu melalui cara berdasarkan ilmu yang diperoleh. Semua ilmu pada dasarnya terikat pada “Yang Esa”, termasuk yang disebut sebagai “ilmu umum”. Sains filsafat dan intelektual dalam klasifikasi ilmu ibnu khaldun dan
ilmu logika, ilmu dasar dan fisika dalam adalah dapat di capai melalui akal. Sedangkan pembagian metafisis al-Farabi dan sains yang disampaikan (al-quran, hadits fiqih, teologi, tasawuf dll) untuk mencapai kebenarannya tidak cukup menggunakan akal tetapi inteleksi dan wahyu.22
Menurut Nasr persoalan dalam pengembangan ilmu pada lembaga pendidikan islam adalah sedikitnya memberikan porsi pengembangan ilmu eksak dan kealaman. Pengembangan keduanya akan banyak memberi manfaat secara tehnis bagi kehidupan manusia, sekaligus tidak mengorbankan kemanusiaan dan pluralisme. Humanisme selama ini masih menjadi persoalan sekaligus gugatan terhadap ilmu pengetahuan yang berakar pada revolusi industri.
Pemikiran pendidikan Nasr tersebut menurut Azyumardi Azra telah menyajikan anti tesis terhadap kemajuan pendidikan barat modern yang bersifat “antropo-sentris”.23 Dimana kebenaran ilmu sangat mengandalkan akal manusia, dengan mengedepankan kebenaran empiris dan menafikan kebenaran wahyu. Meskipun jika dilhat dari peta ideologi pendidikan pemikiran Nasr dapat dikategorikan berpijak pada dua kaki, yaitu fundementalis dan intelektualis, dimana fundementalis “jalan Tuhan” , serta intelektualis yang menerima Barat sebagai telaah kritis dalam memformulasikan sains islam dalam pendidikan islam.24
22 Sayyed Hossein Nasr, sains and civilitation in Islam, (New York:
New American Library, 1975), 42-46
23 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), 40
24 Peta ideologi pendidikan dapat di baca pada buku William F
O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Omi Intan Naumi (penj), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 501-505
Pemikiran islam tradisional Nasr tersebut menunjukkan adanya proses dekonstruksi kebenaran yang tidak dimaknai tunggal. Berkaitan dengan tradisi suci, sakral dalam perenial tidak hanya ada dalam islam, namun dapat ditemukan pada agama lain Hindu, Budha, Protestan, Katolik dan yang lainnya. Dekonstruksi ini memberi angin segar terhadap reformulasi demokratisasi pendidikan Islam. Dimana Islam di tangan Nasr telah dilahirkan kembali sebagai bentuk pluralisme dan demokratis. Islam di bawa kepada kekuatan penghargaan terhadap pluralisme dan demokratisasi.
Penafsiran tunggal yang selama ini di anut oleh banyak intelektual islam secara tidak sadar telah memposisikan dunia pendidikan, terutama dasar, menengah bahkan pendidikan tingggi, menjerumuskan dalam bentuk-bentul doqmatisasi dan indoktrinasi pendidikan.
Simpulan
Pendidikan Islam di Indonesia pada era sekarang disoal sebagai penyebab meningkatnya sikap-sikap intoleran. Ini dikarenakan cara-cara pengajaran agama islam terutama di sekolah-sekolah umum diajarkan secara doqmatis dan indoktrinasi. Doqma kebenaran islam diajarkan dengan mengabaikan kebenaran lain selain islam. Doktrinasi nilai-nilai islam ditanamkan dengan mengedepankan sikap ofensif dan menyerang kelompok lain diluar islam sebagai kelompok berbeda yang harus dijauhi atau senantiasa dipertentangkan. Sehingga mengajarkan islam tanpa membuat ruang-ruang perjumpaan dengan kelompok diluar islam. Ini sebagai awal munculnya benih sikap eksklusive yang melahirkan sikap intoleran, ekstrimis dan radikal.
Pemikiran Nasr yang mencoba merangkai unsur tasawuf atau spiritualitas, sanis, dialog antar agama yang dikaitkan dengan pendidikan, menjadi rangkain eksklusifitas yang patut dan layak kita perbincangkan untuk diterapkan dalam pendidikan islam. Sebagaimana kajian tentang Nasr, konsep pendidikan lebih sesuai dengan pendidikan kaum sufi atau model tasawuf25 dan spiritulitas. Kajian tersebut lebih melihat jalan sufi atau spiritualitas sebagai jalan sunyi yang hanya dapat di peroleh oleh sedikit orang. Menurut saya cara pandang tersebut justru mempersempit pemikiran besar Nasr yang berusaha mewujudkan spiritualitas ada disetiap jantung lembaga baik, pendidikan, seni, dan institusi modern yang ada sekarang. Spiritualitas tidak dipahami dan ditempatkan sebagai sesuatu yang eksklusif, justru dia menjadi ruh yang ada pada setiap kesempatan, terutama pada pendidikan Islam. Ruh spiritulitas yang sebagaimana dibangun oleh kaum sufi masa lalu ini yang hilang, bukan model pendidikan atau jalan tasawufnya, tapi esensi atau esoterisme dalam tasawuf itu sendiri. Orientasi pragmatis dalam pendidikan sebagai contoh bahwa pendidikan kehilangan spiritualitasnya. Harusnya tujuan orang sekolah adalah menghilangkan kebodohan/ spirit mencari ilmu bukan mencari pekerjaan, atau jabatan tertentu. Ini contoh kecil hilangnya spiritualitas.
Kajian pemikiran Nasr yang mengkaitkan dengan pendidikan dan sains sebagai solusi persoalan pendidikan mendapat perhatian oleh
25 Sebagaimana studi Dedy Irawan, Tasawuf Sebagai Solusi Krisis
Manusia Modern : Analisis Pemikiran Sayyed Hoseein Nasr, Jurnal Tasfiyah
beberapa akademisi. 26 Bangunan keilmuan menjadi pembahasan penting berkaitan orientasi keilmuan yang akan dicapai dalam pendidikan. Desain keilmuan dasar yang akan menentukan akan diarahkan kemana pendidikan, terutama pendidikan Islam.
Menarik juga kajian yang mengkaitkan Pemikiran Nasr dengan dialog antar agama atau antar iman. Ini salah satu pemikiran Nasr yang menggunakan pendekatan perenial dalam mencari jalan kebenaran yang di bersumber dari berbagai sumber, baik islam maupun diluar islam. Pada sisi ini spirit inklusifisme dapat tergambarkan dengan jelas oleh Nasr. Meskipun posisinya pada kebenaran Islam, namun dia tidak menafikan kebenaran yang ada pada agama yang lain.
Rajutan pemikiran Nasr yang dirangkai dari benang merah inklusifisme baik dalam tasawuf, sains, pendidikan dan di praktekkan dalam dialog antar iman. Dapat dijadikan solusi yang bukan konseptual tapi tauladan yang nyata, dalam menghadap berbagai persoalan intoleran dan sikap ekstrim dalam masyarakat di Indonesia.
Menjawab persoalan tersebut, Nasr dan perjalanan pemikirannya dapat menjadi tawaran konsep dan contoh dalam mendesain pendidikan Islam. Pertama, perjalanan intelektualisme Nasr yang dimulai dari berbagai guru atau pemikir yang datang dari berbagai kalangan baik islam atau non islam, bahkan menggunakannya sebagai bagian dari sumber kebenaran yang datang dari arah lain. Menunjukkan sikap inklusif harus dibangun dalam memulai, bahkan dalam proses perjalanan mencari ilmu. Keterbatasan dalam menggali
26 Asfa Widiyanto, “Rekonstruktualisasi Pemikiran Sayyed Hossein
Nasr Tentang Bangunan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Islam”,
ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman, Volume 11, Nomer 2, Maret 2017. 277-,
sumber kebenaran, juga akan membatasi kekayaan intelektual peserta didik yang akan berakibat pada sempitnya pandangan akan kebenaran atau hanya mendapatkan kebenaran dari satu poros dengan mengabaikan munculnya kebenaran dari poros lainnya. Ini awal munculnya sikap-sikap yang selalu mengklaim paling benar dan membentuk logika yang jumud dan kaku dalam keilmuan yang berimbas dalam memandang dan menyelesaikan suatu masalah, terutama masalah keagamaan.
Kedua, metode perenial yang di pakai Nasr, suatu metode yang digunakan untuk menggabungkan berbagai pengetahuan dan kebenaran, baik dari Barat atau Timur, Islam atau non Islam. Nasr mengikat pengetahuan dan kebenaran yang hadir dari penjuru manapun harus dikaitkan dan terhubung dengan “Yang Esa”. Ini ciri utama pemikiran tradisional Nasr yang akan berimbas dalam cara pandang filsafat, sains dan pendidikan. Penolakan terhadap filsafat platonis yang mengandalkan kebenaran berdasarkan rasionalitas dan empiris, dan memilih filsafat perenial yang lebih mengedepankan kebenaran metafisis. Pandangan ini yang menjadi kritik keras Nasr terhadap problem modernitas, dimana kehadiran dunia modern telah mengagungkan rasionalitas dan empiristik yang sifatnya profan dan mengabaikan realitas non empirik yang mengadung kesakralan (sacred). Demikian juga dalam sains bersumber pada “Yang Satu” maka sains pada hakekatnya adalah sakral (sains sacra). Sehingga pendidikan juga seharusnya mendidik manusia seutuhnya, yaitu mengembalikan manusia pada hakekat kemanusiannnya yang dihubungkan dengan Sang Pencipta.
Ketiga, sains sacra dalam pemikiran Nasr, melihat sains sebagai sesuatu yang sakral, maka obyek sains bukan terbatas pada kajian material, tapi juga yang kosmis atau matafisis. Sains bukan sesuatu yang terpecah atau terdikotomi, karena kondisinya sakral maka ia merupakan satu kesatuan yaitu ilmu-ilmu yang material (biasa di sebut sebagai ilmu umum) dan yang obyeknya metafisis, keduanya merupakan satu kesatuan ( unity). Dengan demikian maka sains dapat mengembalikan nestapa manusia modern dengan berbagai masalahnya, melalui sains manusia tidak hanya menyelesaikan problem tehnis-pragmatis dalam kehidupannya akan tetapi problem spiritualitas yang banyak dialami manusia modern.
Ketiga inti dari pemikiran Nasr dapat diimplementasikan dalam pendidikan islam di indonesia. Sikap inklusif dapat di lahirkan dari proses pendidikan dengan mengedepankan kemauan untuk belajar dengan siapa saja tanpa harus melihat perbedaan agama dan golongan tertentu. Apa yang seharusnya di ajarkan dan dipelajari di dunia pendidikan islam harus melibatkan semua ilmu, tanpa harus mengabaikan salah satu ilmu, apalagi dengan alasan tidak suka atau mendiskriditkan kelimuan lainnya.
Meskipun demikian menerapkan pemikiran Nasr dalam praktik pendidikan islam membutuhkan kemampuan dan kemauan dari semua pihak. Dimana kemampuan untuk mendesain keilmuan (basis ontologis), bagaimana mengajarkan keilmuan tersebut (basis epistemologis) dan bagaimana mengaitkan dengan kemanfatan keilmuan bagi kebutuhan praktis dan spirit bagi manusia (basis Axiologis). Ini merupakan kerja-kerja tehnis yang perlu pengetahuan yang mendalam tentang sains.
Kompleksitas pemikiran Nasr memerlukan pemahaman yang utuh dari semua sudut pandang. Untuk itu membutuhkan penjelasan yang komplek sebagai sebuah konsep yang dapat dengan mudah pahami. Terlebih ini akan lebih rumit dan complicated pada penerapan konsep tersebut di dunia pendidikan. Banyak problem yang akan muncul mulai dari sumber daya manusia, maupun faktor market yang ada di tengah masyarakat. Terlebih pada regulasi pendidikan, baik pada pendidikan dasar, menengah dan tinggi, mulai dari perumusan tujuan, kurikulum, dan tehnis penyelenggaraan pendidikan. Kerumitan-kerumitan tentu akan bermunculan, ini yang kemudian harus membutuhkan kemauan untuk melakukan perubahan dalam pendidikan. Membangun paradigma baru dalam pendidikan islam yang inklusif memang menjadi salah satu solusi munculnya sentimen keagamaan dalam masyarakat, meningkatnya islamisme, dimana agama di maknai secara formal-tekstualis. Maka pemikiran Nasr dapat menjadi kontribusi penting dalam merumuskan paradigma pendidikan islam inklusif pada masyarakat Indonesia.
Daftar Pustaka
A. Buku
al-Atas, Ismail Raji, 1982, Islamisation of Knowledge,
Washington : International Institute of Islamic Thought
al-Atas, M. Naoqib, 1981, Islam dan sekularisme, Bandung:
Pustaka
al-Abrasyi, M. Athiyah, 1971, Aims and Objectives of Islamic
Education (London and Jeddah: University King of
Abdul Aziz
Azra, Azyumardi, 1999, Pendidikan Islam: Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos
Azra, Azyumardi “Tradisionalisme Sayyed Hossain Nasr
Eksposisi dan Refleksi Laporan seminar Sayyed
Hossein Nasr”, dalam ulumul Qur’an No. Tahun 1993
Esposito, John L. (ed), 1995, The oxford Encycclopedia of
Modern Islam Word., Vol. 3, New York: Oxford
University Press
Langgulung, Hasan, 1995, Manusia dan Pendidikan: Suatu
Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Al-Husna
Zikra
O’neil,William F, 2001, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Omi
Intan Naumi (penj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Maimun, Ach. 2015, Sayyed Hossein Nasr: Pergulatan Sains
dan Spiritualitas Menuju Paradigma Kosmologi
Alternatif, Yogyakarta : IRCiSoD
Syari’ati, Ali 1993, Membangun Masa Depan Islam : Pesan
Untuk Para Intelektual Muslim, Bandung: Mizan
Nasr, Sayyed Hossein, 1970, Sains and Civilitation in Islam,
New York: New American Library
__________________, 1975, sains and civilitation in Islam,
New York: New American Library
__________________, 1976, Islamic Sains: An Illustradted
Study, London
__________________, 1981, Knowledge and Sacred, New
York: Edinburgh
__________________, 1994, Islam Tradisi di Tengah Kancah
Dunia Modern, di terjemah oleh Lukman Hakim dari “
Traditional Islam in the Modern Word” Bandung:
Pustaka
__________________, 1987, Islamic Art and Spirituality,
Lpswich : Golgonooza Press
__________________, 1987, Traditional Islam in The Modern
Word, Kuala Lumpur: Foundation For Traditional
Islamic Studies
__________________, 1975, Islam and the Plight of Modern
Man, London: Longman
B. Jurnal
Asfa Widiyanto, “Rekonstruktualisasi Pemikiran Sayyed
Hossein Nasr Tentang Bangunan Ilmu Pengetahuan dan
Pendidikan Islam”, ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman,
Volume 11, Nomer 2, Maret 2017. 277-, 305.
Fardana Khirzul Haq, “ Kritik Terhadap Sains Modern (Studi
Pemikiran Sayyed Hossin Nasr dan Fritjof Capra”. Tesis
Universitas Indonesia, 2018.
Fathin Fauhatun, “Islam dan Filsafat Perenial : Respon Sayyed
Hossein Nasr terhadap Nestapa Manusia
Modern”,FUADUNA: Jurnal Kajian Keagamaan dan
Kemasyarakatan, Vol. 04 No. 01, Januari-Juni 2020.
54-69.
Dwi Wahyuni dkk, “Filsafat Perenial dan Dialog Antar Agama”,
Jurnal al-Aqidah, Vol. 13, Nomer 1, 2021, 103-116 .
Irfan Noor, “Sufisme dan Formalisme Agama”,
al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 13,
no.2, 2015.
Dedy Irawan, Tasawuf Sebagai Solusi Krisis Manusia Modern :
Analisis Pemikiran Sayyed Hoseein Nasr, Jurnal
Tasfiyah Pemikiran Islam,Vol. 3, No.1, 2019.
Ummu Kulsum, “Pemikiran Sayyed Hossein Nasr: Nilai
Pendidikan Islam Tradisional di Tengah-Tengah
Kemodernan, Ahsana Media, Jurnal Pemikiran,
Pendidikan dan Penelitian Keislaman, Vol.5, No.1,
2019, 73-80.
Titin Nurhidayati, Pemikiran Sayyed Hossein Nasr: Konsep
Keindahan dan Seni Islam dalam Dunia pendidikan
Islam, FALASIFA, Vol.10 , No. 1, 2019, 29-44.
Ahmad Sururi dkk, “Ecological Sufism Concept in Thought of
Sayyed Hossein Nasr”, RSD: Reseacrh, Society and
development, Vol. 9, No. 10, 2020.
C. Laporan Survey dan penelitian
1