• Tidak ada hasil yang ditemukan

3) Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "3) Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1) 2) 3)–Model Rusunawa Ber-

MODEL RUSUNAWA BERBASIS MASYARAKAT DAN BUDAYA BALI DI KOTA DENPASAR Inovasi Desain Hunian Vertikal Sederhana Layak Huni yang Selaras dengan

Karakter dan Budaya Masyarakat Bali

Bramana Ajasmara Putra1), Ngakan Putu Sueca2), dan I Ketut Muliawan Salain3)

1)Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana [email protected]

2)Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana [email protected]

3)Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana [email protected]

ABSTRACT

The problem of housing and settlement in Denpasar City is sufficiently alarming. The inability of people to get proper housing increasing the number of slums area at various points and that is one of the factors which driving the acceleration of land conversion. The government's effort to solve this problem through the housing shaped like flats provision programs has not run well. The people of Bali generally have not been able to receive flats that are considered incompatible with the character and culture of Bali. To solved these problems, through this paper the design concept of rental flats was developed by using combination method of analysis and syntesis with the issue based design method to specify the design criteria. The concept of rental flats design is based on the habits, and the socio-cultural conditions of Balinese living patterns in the past, present, and later. The concepts are classified in to three defferent aspects, which is:

1) aspects of regional connectivity; 2) aspect of site design; and 3) functional aspects. Based on these three aspects, it can be used for design of quality rental flats, which able to fulfill the needs of the surrounding community and in harmony with the character and culture of Bali.

Keywords: Flats, character, culture, Bali

ABSTRAK

Permasalahan perumahan dan permukiman di Kota Denpasar saat ini sudah memasuki kondisi yang cukup memprihatinkan. Ketidakmampuan masyarakat untuk mendapatkan hunian layak mengakibatkan munculnya area kumuh di berbagai titik dan menjadi salah satu faktor yang mendorong percepatan terjadinya alih fungsi lahan. Upaya pemerintah mengatasi masalah ini melalui program rumah susun, belum dapat berjalan dengan baik. Masyarakat bali pada umunya belum dapat menerima keberadaan rumah susun yang dianggap tidak sesuai dengan karakter dan budaya Bali. Untuk mengatasi mengatasi tersebut, melaui tulisan ini dirumusukan konsep desain rusunawa dengan menggunakan metode kombinasi antara analisis dan sintesis dengan metode perancangan berbasis isu, sebagai dasar untuk menentikan tujuan dan kriteria perancangan sebagai landasan dari konsep perancangan rusunawa. Konsep desain rusunawa mengacu kepada kebiasaan, dan kondisi sosio-kultural pola bermukim masyarakat Bali di masa lalu, kini, dan nanti.

Konsep tersebut kemudian diklasifikasikan kedalam tiga aspek utama, yaitu: 1) aspek konektifitas kawasan;

2) aspek perancangan kawasan; dan 3) aspek fungsional bangunan. Dengan berdasar kepada tiga aspek tersebut diharapkan dapat menghasilkan desain rusunawa yang berkualitas, yang mampu mewadahi kebutuhan masyarakat dan selaras dengan karakter dan budaya Bali.

Kata Kunci: rusunawa, karakter, budaya, Bali

PENDAHULUAN

Perumahan dan permukiman menentukan citra suatu lingkungan, baik kota maupun desa, dan mempunyai cakupan masalah yang sangat luas sesuai dengan sifatnya yang multi dimensi. Kebutuhan perumahan yang dipengaruhi oleh: 1) laju pertumbuhan penduduk; 2) sebarannya; 3) daya beli masyarakat; dan 4) keterbatasan serta tingginya harga lahan kosong, menjadikan permasalahan perumahan ini sangat kompleks untuk dicarikan solusinya (Yudohusodo, 1991). Kota Denpasar sebagai salah satu kota budaya yang sedang berkembang, juga tidak luput dari permasalahan tersebut.

(2)

Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) di Kota Denpasar dari tahun 2010 hingga tahun 2016 cenderung tinggi hingga mencapai 3,90 persen atau bertambah sejumlah 33.700 jiwa hanya dalam kurun waktu 5 tahun.

Bahkan, angka tersebut jauh lebih tinggi daripada LPP nasional yang hanya 1,49 persen. Peningkatan jumlah penduduk secara signifikan salah satunya disebabkan oleh arus urbanisasi, yang berimbas pada ketidakmampuan kota untuk menampung arus penghuni baru. Akibatnya, muncul permukiman kumuh kare- na kurangnya daya dukung perkotaan terhadap keberadaan hunian yang layak. Penyebab lain terjadinya kawasan kumuh adalah karena adanya backlog perumahan. Jika tidak segera diatasi, hal ini akan berdapak pada arah perkembangan kota yang semrawut, acak, tidak terstruktur, dan tidak terkendali (urban sprawl).

Berdasarkan data yang dirilis oleh BPS (2015), jumlah backlog kepemilikan rumah di Provinsi Bali adalah sebesar 241.559 unit rumah layak huni. Backlog terjadi akibat ketidakmampuan pemerintah untuk menye- diakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Saat ini terdapat 35 kawasan kumuh di Kota Denpasar, luasnya mencapai 167,32 hektare (Suarjana, 2016).

Pembangunan rumah susun merupakan salah satu cara pemerintah dalam mengatasi backlog perumahan dan kawasan kumuh. Kondisi daerah perkotaan seperti Kota Denpasar yang padat hunian, keterbatasan la- han, harga lahan yang mahal, dan kemampuan ekonomi penduduk pendatang yang cenderung rendah, menjadikan pembangunan landed housing tidak lagi tepat. Oleh karena itu, pembangunan vertikal housing atau rumah susun diyakini menjadi upaya nyata dalam pencegahan (preventif) di daerah-daerah yang ber- potensi menjadi permukiman kumuh. Rumah susun sederhana sewa (rusunawa) merupakan salah satu jenis rusun yang dapat disediakan untuk memfasilitasi hunian layak bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (se- lanjutnya disebut dengan MBR). Hal ini dengan pertimbangan bahwa MBR yang baru merintis karir di perkotaan belum mampu menjangkau rumah milik yang layak huni, sehingga cenderung mencari rumah se- wa dengan harga yang terjangkau untuk ditempati sementara. Selain itu, pemilihan rumah susun dengan stastus kepemilikan sewa juga mempertimbangkan persentase rumah tangga dengan status penguasaan bangunan tempat tinggal sewa di Kota Denpasar menempati urutan teratas yang sebesar 52.75 persen (BPS 2016).

Berdasarkan data Kementerian PUPR (2016), di Bali telah dibangun lebih dari 12 blok rumah susun yang tersebar di beberapa wilayah Denpasar dan sekitarnya. Rumah susun tersebut sebagian besar diperuntukan untuk TNI/POLRI dan mahasiswa dalam bentuk asrama. Keberadaan rumah susun tersebut sedikit tidaknya telah mampu membantu mengurangi angka backlog perumahan. Namun, keberadaan rumah susun di Denpasar masih belum dapat diterima sepenuhnya oleh mayoritas masyarakat Bali. Masih banyak yang beranggapan bahwa rumah susun belum sesuai dengan karakter dan budaya masyarakat Bali, seperti: 1) ketidaksesuaian hirarki nilai ruang; 2) minimnya ruang-ruang sosio kultural yang cenderung membatasi in- teraksi antar masyarakat sehingga menimbulkan ketidaknyamanan; 3) lingkungan kumuh karena tidak tersedianya ruang untuk keperluan servis; dan 4) bentuk rusunawa yang sederhana, dianggap tidak mereprentasikan karakter arsitektur tradisional Bali. Sehingga kedepannya dibutuhkan suatu perencanaan rusunawa yang diperuntukan bagi MBR yang selaras dan berterima dengan karakter dan budaya masyara- kat Bali sehingga keberadaan rusunawa tersebut dapat diterima dengan baik dan memberikan dampak posi- tif yang optimal terhadap kehidupan masyarakat Bali khususnya yang tinggal di Kota Denpasar.

METODELOGI

Metode yang digunakan dalam perencanaan dan perancangan rusunawa berbasis masyarakat dan budaya Bali merupakan gabungan antara langkah-langkah yang dikemukan oleh Pena dan Parshall (1977) dengan metode perancangan berbasis isu yang dikembangkan oleh Duerk (1993). Menurut Pena dan Parshall ter- dapat 5 (lima) langkah yang umum dilakukan dalam pemrograman arsitektur, yaitu: 1) menentukan tujuan; 2) mengumpulkan dan menganalisis fakta; 3) mengungkapkan dan menguji konsep; 4) menentukan kebutuhan:

ruang, uang dan kualitas; dan 5) menyatakan masalah. Sedangkan Duerk menyatakan bahwa perancangan harus diawali dengan menentukan urgensi proyek (visi perancangan), kemudian dilanjutkan pada identifikasi permasalah. Masalah kemudian dikelompokan berdasarkan isu tertentu, untuk selanjurnya dijabarkan men- jadi tujuan, untuk menentukan kriteria sebagai dasar dari konsep perancangan.

Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut, maka metode perencanaan dan perancangan rusunawa dapat dikelompokan kedalam dua kelompok utama, yaitu tahap pemrograman atau analisis dan desain atau sin- tesis. Dalam tahap pemrograman selalu diawali dengan menentukan misi perancangan atau judul tugas yang dilatarbelakangi oleh permasalahan. Kemudian diikuti dengan proses pengumpulan dan analisis data untuk merumuskan isu sebagai dasar penentuan tujuan perancangan (spesifikasi). Setelah itu, dilanjutkan dengan menentukan kebutuhan, dan kualitas ruang yang kemudian disaring dan pilah-pilah untuk merumus- kan kriteria perancangan rusunawa. Kriteria perancangan dijadikan sebagai acuan didalam perumusan konsep perancangan yang merespon misi dan tujuan perancangan.

(3)

1) 2) 3)–Model Rusunawa Ber-

KONDISI MASYARAKAT DAN PERMUKIMAN DI KOTA DENPASAR

Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sebagai Kaum Marginal di Kota Denpasar

Kaum urban Kota Denpasar umumnya adalah warga miskin yang menyasar suburban yang belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai akibat keterbatasan biaya (Sulistyawati, 2007). Selain faktor ekonomi, terdapat faktor lain yang memicu munculnya kaum urban perkotaan (Todaro dalam Rustariyuni, 2013), yaitu:

1) Faktor sosial: keinginan melepaskan diri dari kendala tradisional; 2) Faktor fisik: iklim atau akibat bencana alam; 3) Faktor demografi: laju pertumbuhan penduduk desa yang semakin cepat; 4) Faktor kultural: hub- ungan keluarga, dan daya tarik kota; dan 5) Faktor komunikasi: kualitas sarana transportasi, sistem pendidi- kan, dan modernisasi.

Kaum urban luar kota yang menempati permukiman kumuh di Denpasar banyak datang dari Singaraja dan Karangasem, tetapi paling didominasi oleh kaum urban dari jawa. Sebenarnya, Perasaan masyarakat yang bermukim di permukiman kumuh adalah tidak nyaman (Suwitri, 2006) karena: 1) Rumah yg sumpek/pengap;

2) ruang sempit; 3) atap bocor dan becek pada saat musim hujan; 4) penghuni terlalu banyak; 5) tidak adan- ya ruang pribadi atau privasi; 6) prasarana lingkungan kurang memadai; 7) lingkungan kurang bersih; 8) ja- rak antar tetangga terlalu berdekatan; 9) banjir; dan 10) sering adanya tindak kriminal. Sebagian besar masyarakat MBR tidak punya inisiatif, sehingga dibutuhkan adanya pihak ketiga untuk membantu mengatasi permasalahannya. Akan tetapi, MBR juga harus diberikan kebebasan dalam mengatur dan membentuk ka- wasan permukiman mereka kerena merekapun memiliki keunikan perilaku dan kenakaragaman kondisi so- sial, ekonomi, dan budaya sebagai jati diri.

Kondisi Permukiman Kumuh di Kota Denpasar

Menurut Suarjana (2016), saat ini terdapat 35 kawasan kumuh di Kota Denpasar, dengan luas mencapai 167,32 hektare. Pemerintah telah melakukan upaya untuk menanggulangi keberadaan kawasan kumuh ter- sebut, seperti seperti: 1) penataan dan pembinaan 14 titik lokasi kumuh ilegal; 2) pembongkaran 6 titik lokasi ilegal; 3) perbaikan lingkungan perumahan dan permukiman; 4) memberikan bantuan bahan bangunan kepada penduduk miskin; dan 5) pembangunan sistem pengolahan limbah terpadu (sanimas).

Keterbatasan dan mahalnya harga lahan di kota besar menjadi masalah utama dalam penyediana pe- rumahan bagi MBR. Dampaknya, mendorong masyarakat yang bekerja di kota mencari lahan perumahan di kawasan sub urban yang relatif lebih terjangkau. Biaya transportasi yang lebih mahal dan kemacetan men- jadi permasalahan baru selain konflik tata guna lahan antara pertanian, industri dan perumahan. Akibatnya Bali terancam kehilangan besar lahan-lahan persawahan produktif. Dengan membangun kearah vertikal, maka: 1) konversi lahan dapat dikurangi; 2) ruang hijau dan ruang terbuka dapat diperbaiki; 3) tata ling- kungan dapat diperbaiki; dan 4) rumah terjangkau bagi masyarakat miskin kota.

Respon Masyarakat Terhadap Keberadaan Rusunawa di Kota Denpasar

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suprijanto (2009) mengenai persepsi masyarakat terhadap pembangunan rumah susun di Bali, didapatkan hasil bahwa 40% masyarakat kota Denpasar yang setuju dengan pembangunan rusun, 5% ragu-ragu, dan 55% tidak setuju. Setuju, karena mengingat keadaan kota Denpasar telah sangat padat dan semakin hari semakin padat. Tidak setuju, karena dianggap tidak sesuai dengan budaya bali serta tak selaras dengan konsep tri hita karana. Oleh karena itu, pembangunan rusun di Bali perlu diperhatikan secara cermat dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan yang mungkin timbul serta mengedepankan keharmonisan dengan kondisi sosial, budaya, dan lingkungan bali secara umum. Pemahaman terhadap budaya masyarakat bali, khususnya berkaitan dengan pengembangan tata ruang, tidak dapat dipisahkan dengan budaya agama, yang telah saling terintergrasi satu dengan lainnya dan merupakan landasan kehidupan bagi masyarakat bali.

Berdasarkan permasalahan tersebut, Suprijanto (2009) lebih lanjut menjelaskan, mengenai aspek-aspek yang perlu diperhatikan untuk pengembangan rusun di Bali, yaitu: 1) aspek agama (konsep Tri Mandala, Tri Hita Karana, sistem kemasyarakatan); 2) sasaran penghuni rumah susun (kelas sosial, jika untuk MBR agar tidak memindahkan kekumuhan ke rusun seperti yang banyak terjadi di kota lain di Indonesia); 3) aspek So- sial (heteregonitas masyarakat perkotaan dari segi agama, pendidikan, profesi, tingkat perekonomian, dan gaya hidup); 4) aspek budaya (kesenian, kekerabatan, menabuh, persantian); 5) tradisi berarsitektur (lontar- lontar kearsitekturan di bali; 6) aspek adat istiadat (upacara kematian, jemur-an, hirarki ruang); dan 7) aspek ekonomi (intensifikasi penggunaan lahan).

(4)

ISU DAN KONSEP DESAIN RUSUNAWA BERBASIS MASYARAKAT DAN BUDAYA BALI

Berdasarkan hasil analisis terhadap pola kehidupan dan bermukim masyarakat Bali di berbagai daerah, didapatkan sebuah konsep yang dinilai tepat, yaitu konsep Pakubon. Pakubon bersal dari kata “Kubu” yang dalam Bahasa Bali berarti tempat tinggal sementara, atau dalam Bahasa Inggris sering disebut House (bukan Home). Imbuhan Pa- menandakan suatu pengulangan yang mengindikasikan adanya “perkumpulan beberapa kubu”. Seringkali kubu dibuat sesederhana mungkin dengan kecenderungan mengkesampingan estektika dan tata nilai ruang yang sangat diperhatikan pada rumah Bali pada umumnya. Hal ini dikarenakan adanya pertimbangan terhadap efisiensi fungsi adalah yang utama. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui beberapa ciri dari pakubon/kubu, yaitu: 1) bentuk sederhana; 2) material alamiah disekitar kubu, dengan finishing sangat sederhana bahkan cenderung unfinished; 3) efisiensi fungsi adalah yang utama (bekerja dan atau menyimpan peralatan); dan 4) pada kasus tertentu pola penataan rumah tradisional asli masih tetap dipertahankan dalam kondisi yang serba terbatas. Salah satu penyebab dari munculnya ciri-ciri tersebut karena adanya budaya dan kepercayaan terhadap kampung halaman, sehingga kubu tersebut han- ya sebagai tempat tinggal sementara untuk kemudian ditinggalkan untuk kembali ke kampung ketika men- capai taraf hidup yang lebih baik.

Konsep pakubon dapat diimplementasikan dalam berbagai aspek pada bangunan rusunawa yang dirancang, diantaranya: 1) tata site, mengadopsi unsur keterkaitan kubu dengan lingkungannya; 2) tata bangunan, ecomimicry sosok dan bentuk bangunan dengan meniru karakter lokasi kubu yang pada umunya berupa sawah terasering dan perkebunan atau tegal; dan 3) tata ruang, penataan ruang mikro dan makro (kompak, efektif, efisien, dan multi fungsi). Secara lebih jelas implementasi konsep tersebut dapat dilihat pa- da gambar 1.

Gambar 1. Implementasi konsep pakubon pada aspek 1) tata site; 2) tata bangunan; 3) tata ruang

Konsep dasar tersebut kemudian diklasifikasikan kedalam tiga aspek, yaitu: 1) aspek konektifitas kawasan;

2) aspek perancangan tapak; dan 3) aspek fungsional bangunan. Lebih jelas lihat tabel 1, 2 dan 3.

Tabel 1. Konsep rusunawa terkait dengan aspek konektifitas kawasan.

ISU TUJUAN KRITERIA SKEMA KONSEP

Konektifitas Kawasan [01]

Integrasi dengan Fungsi Sekitar

Menentukan fasilitas rusunawa yang terin- tegrasi dengan fungsi-fungsi yang ada disekitarnya

Fasilitas yang ada pada rusunawa ada- lah berdasarkan hasil analisis terhadap kebutuhan masyarakat sekitar dan mempertimbangkan fasilitas umum lainnya yang sudah ada

Fasilitas yang disediakan mampu menarik minat masyarakat sekitar Fasilitas-fasilitas yang ada saling men- dukung, saling meningkatkan nilai, dan berfungsi efektif serta efisien

Aksesibilitas dan Sistem Sirkulasi Ek- sternal

Mengatur jalur sir- kulasi yang efektif dan tidak menyebab- kan gangguan diseki- tar

Aksesibilitas sirkulasi eksternal yang jelas, efisien, dan tidak menyebabkan kemacetan di sekitarnya

Menempatkan akeses penghuni yang tidak mengganggu aktivitas lain disekitarnya

Akses antara rusunawa dan fungsi lainnya diletakan pada posisi terpisah agar tidak saling menganggu (tercipta eksklusifitas akses)

Respon ter- hadap bentuk dan ruang kota

Mendapatkan gu- bahan bentuk bangunan rusunawa

Gubahan bentuk rusunawa yang merespon struktur morfologi bentuk dan ruang kota Denpasar

2) tata bangunan 3) tata ruang

1) tata site

(5)

1) 2) 3)–Model Rusunawa Ber-

ISU TUJUAN KRITERIA SKEMA KONSEP

konteks arsitektur ko- ta

Tampilan bangunan yang selaras dengan karakter arsitektur tradisional Bali

Aspek Perancangan Tapak [02]

Entrance

Menempatkan posisi entrance yang jelas dan mudah dicapai

Posisi entrance diletakan pada posisi yang mempertimbangkan arah kedatan- gan pengguna tertinggi

Mendapatkan bentuk entrance yang

“mengundang”

Gubahan bentuk entrance yang mampu menarik perhatian penggunjung, namun tetap harmonis dengan lingkungan seki- tar

Aksesibilitas dan Sistem Sirkulasi Inter- nal

Mengatur jalur sir- kulasi dalam tapak yang bebas hambat- an

Menciptakan pola sirkulasi yang jelas dan teratur, dan ketersediaan ruang gerak yang memadai atau sesuai dengan standard

Menciptakan sistem sirkulasi terintegrasi

Sistem jaringan sirkulasi dalam tapak yang saling berhubungan dan ter- koneksi, dengan memperhatikan se- qeunce kegiatan

Zoning

Menempatkan fungsi sesuai dengan tun- tungan ruang

Zonasi tapak terbagi berdasarkan fungsi-fungsi utama, yaitu rusunawa, stasiun dan komersial

Zona setiap fungsi yang jelas dan memungkinkan adanya integrasi antar zona

Build up Area

Menyesuaikan ter- hadap peraturan dan standard yang berla- ku

KDB maksimum adalah 60 %

KLB 240% atau bertipe susun dengan 5 lantai

Pematangan Tapak (Grading)

Meminimalisasi peru- bahan bentuk pada tapak

Sedapat mungkin mempertahakan ben- tuk asli tapak diluar rencana basement

Ruang Luar

Menciptakan ruang luar yang selaras dengan lingkungan serta karakter budaya Lokal

Penyediaan fasilitas yang diperuntukan untuk semua usia dan golongan Tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal pada penataan pola ruang baik sedara vertikal maupun horizontal

Keamanan

Terciptanya “De- fendsible space” / keamanan oleh ling- kungan

Sedapat mungkin menghindari tercip- tanya ruang-ruang negatif, gelap, dan tersembunyi

Pengaturan tata ruang yang memung- kinkan pengguna untuk saling

“mengawasi”

Utilitas Bangunan dan Kawasan

ME & P terintegrasi dengan sarana dan prasarana kota

Tersedia sarana dan prasarana kelistrikan dan utilitas bangunan dan kawasan yang memadai dan terinter- grasi

Mengolah limbah secara mandiri untuk meminimalkan dampak pencemaran terhadap lingkungan disekitarnya

Tercapainya “Zero Water Run off”

Menyediakan fasilitas pengolahan air hujan, sehingga limpasan air yang ter- buang dapat diminimalisir, efektif dan efisien

Pengelelolaan sam- pah terpadu

Mampu mengelola sampah secara mandiri dengan menyediakan fasilitas pengolahan sampah yang terintegrasi Aspek Fungsional Bangunan [03]

Pengalaman ruang

Menyajikan pengala- man ruang yang menarik bagi pengunjung stasiun dan penghuni rusunawa

Zoning dan alur sirkulasi dirancang dengan mempertimbangkan pengala- man ruang dan suasan menarik bagi pengguna

Jalur-jalur sirkulasi selain efisien juga dirancangan agar pengunjung / penghuni mampu menikmati suasana Tampilan Fisik

/ gubahan ma- sa

Menampilkan karakter fisik rusunawa dan stasiun yang beraso- siasi dengan arsi- tektur tradisional Bali

Perancangan bangunan dengan menggunakan elemen arsitektur lokal Tampilan bangunan harmonis yang dengan lingkungan (blending)

Komposisi yang pas, tidak kurang/lebih

(6)

mempertimbangkan nilai sosial budaya Bali dalam menerapkan rekayasa arsi- tektur

Material

Menggunakan mate- rial lokal yang berkarakter

Minimal 25% dari bangunan menampil- kan material lokal sebagai karakter bangunan dan memperkuat karakter kawasan

Pemilihan material

yang ekonomis yang sesuai standard

Menggunakan material bangunan yang bernilai ekonomis namun tetap memen- uhi standard kenyamanan dan kesela- matan

Material bangunan mampu bertahan la- ma, dengan perawatan seminimal mungkin

Ketinggian

Ketinggian bangunan sesuai dengan PER- DA

Ketinggian bangunan maksimal 15 me- ter;

Atap

Bentuk atap yang menampilkan karakter lokal

Bentuk atap mencerminkan karakter ar- sitektur lokal (pelana atau limasan)

Badan Bangunan

Menampilkan proporsi bangunan sesuai dengan karakter lokal

Sosok bangunan tropis yang secara kuat menampilkan proporsi dan karakter arsitektur lokal, meliputi keberadaan

“kepala, badan, dan kaki” pada bangunan.

Bukaan

Optimalisasi pengha- waan dan pencaha- yaan alami

Jumlah bukaan sesuai dengan standard yang berlaku dan mudah dalam operasional maupun perawatan

Pencapaian dan Sirkulasi dalam

Bangunan

Kenyamanan dan keamanan dalam bersirkulasi baik vertikal maupun hori- zontal untuk semua golongan

Kualitas pencahayaan dan penghawaan yang baik pada ruang-ruang sirkulasi Penempatan posisi tangga pada lokasi yang mudah dilihat dan mudah dicapai dengan dimensi yang memperhitungkan keadaan darurat

Menyediakan akses khusus untuk difa- bel

SIMPULAN DAN SARAN

Untuk dapat menghasilkan desain rusunawa yang dapat diterima ditengah masyarakat Bali diperlukan suatu desain yang mampu merespon kebutuhan, karakter, dan kondisi bermukim masyarakat Bali. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan: 1) konektivitas kawasan, mencakup kesesuain dengan karakter kawasan (tidak mengurangi nilai-nilai yang sudah ada, tetapi justru meningkatkan nilai tersebut), in- tegrasi dengan fungsi-fungsi yang sudah ada, sebagai generator perbaikan kualitas lingkungan permukiman (tabel 1, sub 01); 2) penataan tapak, mencakup penataan pola masa bangunan yang memberikan ruang yang cukup untuk tejadinya aktifitas sosio-kultural dan meminimalisir terjadinya tindak kejahatan melalui pe- nataan ruang atau defensible space (tabel 1, sub 02); dan 3) tata ruang dalam dan bangunan, mencakup perwujudan desain bangunan sederhana layak huni, dengan efinsiensi tinggi namun tetap berkualitas dan mampu mewadahi tuntutan pengguna, serta mampu meningkatkan nilai-nilai karakter pengguna yang belum baik menjadi baik (tabel 1, sub 03). Dengan menerapkan ketiga aspek utama tersebut dalam desain rusunawa, diharapkan fungsi rusunawa sebagai agen perubahan dapat berjalan secara optimal dan berke- lanjutan dimanapun berada, khusunya di Kota Denpasar, Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Duerk, D.P. 1993. Architectural Programming. Van Nostrand Reinhold: New York

Pena, William M. & Parshall, Steven A. 2001. Problem Seeking An Architectural Programming Primer. John Willey. New York.

Rustariyuni, S. D. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat Migran Melakukan Mobilitas Non Per- manen ke Kota Denpasar. PIRAMIDA 9(2)

Suarjana, N. 2016. Kawasan Kumuh Mencapai 165 Hektar. Bali Tribun, 2 Juni 2016

Sulistyawati. 2007. Arsitektur dan Permukiman Kelompok Sosial Terpinggirkan di Kota Denpasar. Jurnal Permukiman Natah Vol. 5 No. 2 Agustus 2007 62 : 108.

Suprijanto, Iwan. 2009. Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan Rumah Susun di Bali. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Vol. 1 No. 1 April 2009.

Suwitri. 2006. Karakteristik Permukiman Kumuh di Kota Denpasar (Tidak di Publikasikan). Skripsi. Program Studi Teknik Arsitektur Udayana.

Yudohusodo, Siswono, dkk. 1991. Rumah untuk Seluruh Rakyat. INKOPPOL. Jakarta.

Gambar

Gambar 1. Implementasi konsep pakubon pada aspek 1) tata site; 2) tata bangunan; 3) tata ruang

Referensi

Dokumen terkait

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Komunikasi efektif dalam pelayanan publik, terutama dalam konteks komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh petugas pelayanan publik ditentukan oleh faktor

KORELASI KOMPONEN VISUAL, KOMPONEN AUDITORIAL, DAN KOMPONEN KINESTETIK DARI GAYA BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS VIIIA SMP.. KANISIUS GAYAM YOGYAKARTA

Masalah screening atau filtering antara saham saham syariah dan non syariah, yang menjadi acuan utama di pasar modal syariah Indonesia adalah apakah perusahaan mempunyai

Selisih antara rata-rata ukuran perusahaan untuk konservatisme akuntansi di atas dan di bawah rata-rata tidak cukup besar yang menunjukkan bahwa ukuran

Dari 74 data petir negatif terminologi BIL yang ada pada bulan Maret – April 2016 dengan perbandingan sampling rate 1 MS/s dan 25 MS/s terlihat adanya indikasi

No.6 Tahun 2014 tentang Desa, bahwa Camat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai tugas, kewenangan dan kewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan

Syukur dalam Surmayadi (2005 : 79) mengemukakan ada tiga unsur penting dalam proses implementasi yaitu: (1) adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan (2) target group