15 BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1. Pengamalan Agama Islam 2.1.1. Pengertian Pengamalan
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang secara langsung dan tidak langsung mewajibkan manusia dalam mengamalkan agama Islam kepada manusia lainnya. Adapun Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadinata: 1085) pengamalan yang berarti perbuatan, atau pekerjaan, mendapat imbuhan pe-an yang mempunyai arti hal atau perbuatan yang diamalkan. Menurut Djamaludin Ancok (1995: 80) dimensi pengamalan menunjukkan pada seberapa tingkatan muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yakni bagaimana individu berelasi dengan dunianya terutama dengan manusia lain.
Pengamalan adalah proses, cara perbuatan mengamalkan, melaksanakan, pelaksanaan dan penerapan. Sedangkan pengamalan dalam dimensi keberagamaan adalah sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi seseorang dalam kehidupan sosial. (Ghufron, dkk, 2012:
170).
ayat yang mewajibkan pengamalan agama Islam dalam surah Ali- Imran ayat 104:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.(Depag RI, 2010: 697)
16
Berdasarkan ayat Al-Qur’an diatas perlu adanya segolongan umat Islam yang memberikan pendidikan agama agar tercapai suatu kebajikan dan terpelihara dari perpecahan dan penyelewengan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengamalan adalah proses perbuatan atau pelaksanaan suatu kegiatan, tugas, serta kewaiban yang telah didapatkan oleh individu baik dalam kegiatan kehidupannya sendiri maupun kepada orang lain.
Keagamaan berasal dari kata dasar agama yang mendapatkan imbuhan ke- dan –an berarti hal yang berhubungan dengan agama.
Keagamaan adalah suatu keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama (Jalaludin, 1998: 211). Keagamaan menurut pengertian ini merupakan tolak ukur ketaatan seseorang terhadap agamanya.
Ketaatan ini terlihat dari tingkah laku yang tampak ketika seseorang tersebut beragama, dalam hal ini menjalankan agamanya.
Keagamaan secara khusus di dalam Islam adalah melaksanakan ajaran agama Islam secara menyeluruh. Karena itu, bagi setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak diperintahkan sesuai dengan syari’at islam. Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengamalan keagamaan adalah segala perilaku seseorang yang dimotivasi oleh ajaran agamanya terkait dengan kesadaran moral seseorang maupun hubungannya dengan orang lain atau sosial.
2.1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengamalan keagamaan
Menurut James dan Jhon Alfred (2008: 27-30) yang diterjemahkan oleh Tom Wahyu, menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengamalan, yaitu:
a. Keluarga
17
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Dalam awal kehidupan, anak-anak memunyai sifat dasar yang sangat lentur sehingga sangat mudah untuk dibentuk seperti tanah liat yang akan digunakan pengrajin menjadi tembikar. Maka hendaknya Pendidikan Agama Islam sudah mulai ditanamkan sejak kecil bahkan sejak dalam kandungan. Dalam mengajarkan Pendidikan Agama Islam orang tua harus menjadi pelopor amar ma’ruf nahi munkar. Agar seorang anak dewasanya menjadi pribadi yang berakhlak mulia.
b. Pergaulan
Teman-teman memang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan mental yang sehat bagi anak pada masa-masa pertumbuhan. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak mulia, serta pengamalan keagamaan juga baik. Namun apabila sebaliknya, yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukkan kebobrokan moral, maka anak akan cenderung terpengaruh untuk berperilaku seperti temannya tersebut dan tentu pengamalan Agama Islam juga buruk.
c. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan Masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan juga kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keberagamaan, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Keadaan seperti ini akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan.
2.1.3. Dimensi Keagamaan
Dalam bukunya, American Piety: The Nature of Religius Commitment, C.Y. Glock dan R. Stark yang dikutip oleh Jalaluddin (2002: 247-249)menyebut ada lima dimensi keagamaan dalam diri manusia, yakni, dimensi praktek agama, dimensi keyakinan, dimensi
18
pengetahuan agama, dimensi pengalaman keagamaan dan dimensi konsekuensi.
1) Religius Ractice (The Ritualistic Dimension).
Religius Ractice (The Ritualistic Dimension) yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual di dalam agamanya. Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan, kultur serta hal-hal yang lebih menunjukkan komitmen seseorang dalam agama yang dianutnya.
Wujud dari dimensi ini adalah perilaku masyarakat pengikut agama tertentu dalam menjalankan ritus-ritus yang berkaitan dengan agama.
Dimensi praktek dalam agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya.
2) Religius Belief (The Ideological Dimension).
Religius Belief (The Ideological Dimension) atau disebut juga dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, Malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul, hari kiamat, surga, neraka dan yang lain-lain yang bersifat dogmatik.
Meskipun diakui setiap agama memiliki seperangkat kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan agama lainnya, bahkan untuk agamanya saja terkadang muncul paham yang berbeda dan tidak jarang berlawanan.
Pada dasarnya setiap agama juga menginginkan adanya unsur ketaatan bagi setiap pengikutnya. Dalam begitu adapun agama yang dianut oleh seseorang, makna yang terpenting adalah kemauan untuk mematuhi aturan yang berlaku dalam ajaran agama yang dianutnya.
Jadi dimensi keyakinan lebih bersifat doktriner yang harus ditaati oleh penganut agama.
19
3) Religius Knowledge (The Intellectual Dimension)
Religius Knowledge (The Intellectual Dimension) atau dimensi pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci maupun yang lainnya. Paling tidak seseorangyang beragama harus mengetahui hal-hal pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, situs-situs, kitab suci dan tradisi-tradisi.
Dimensi ini menunjukkan dalam Islam menunjuk kepada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya terutama mengenai ajaran pokok agamanya, sebagaiman yang termuat di dalam kitab sucinya. Hal ini berhubungan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran dalam agamanya.
4) Religius Feeling (The Experiental Dimension)
Religius Feeling adalah dimensi yang terdiri dari perasaan- perasaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan, dan sebagainya.
Dalam Islam dimensi ini dapat terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan bertawakal (pasrah diri dalam hal yang positif) kepada Allah. Perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan bergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al-Qur’an, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah.
5) Religius Effect (The Consequential Dimension)
Yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang konsekuen oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya. Dari kelima aspek religiusitas di atas, semakin tinggi penghayatan dan pelaksanaan seseorang terhadap kelima dimensi tersebut, maka
20
semakin tinggi tingkat religiusitasnya. Tingkat religiusitas seseorang akan tercermin dari sikap dan perilakunya sehari-hari yang mengarah kepada perilaku yang sesuai dengan tuntutan agama.
The consequential dimension yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, Misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, ikut dalam kegiatan konversasi lingkungan, ikut melestarikan lingkungan alam dan lain-lain.
Dimensi pengamalan ini adalah untuk mengetahui pengaruh ajaran agama terhadap perilaku sehari-hari yang terkait dengan ekspresi kesadaran moral seseorang maupun hubungannya dengan orang lain atau sosial, seperti menyikapi keadaan jika suatu ketika dihidangkan makanan yang menurut agama yang dipeluknya merupakan suatu larangan, memilihpekerjaan yang sesuai dan dan tidak dilarang dalam ajaran agamanya, sikap jika terdapat kezaliman di depan mata dan lain sebagainya.
2.1.4. Bentuk-bentuk Pengamalan Keagamaan
Dalam Bahasa Arab, agama di kenal dengan kata al-din dan al- milah. Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti. Ia bisa berarti al- mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al- ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), al- tadzallulwa al-khudu (tunduk dan patuh), al- tha‟at (taat), al-Islam al-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan).(Kahmad, 2002: 13)
Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Glock dan Stark dalam Nashori dan Rachmy (2002:
71)merumuskan religiusitas sebagai komitmen religius (yang
21
berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau keyakinan iman yang dianut. Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya.
Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam.
Dengan demikian, pengamalan keagamaan seseorang meliputi akhlak. Hal inilah yang akan menjadi bahasan dalam penelitian. Akhlak secara etimologi berasal dari kata Khalaqa yang berarti mencipta, membuat, atau menjadikan. Akhlaq adalah kata yang berbentuk mufrad, jamaknya adalah khuluqun, yang berarti perangai, tabiat, adat. Akhlak adalah sesuatu yang telah tercipta atau terbentuk melalui sebuah proses.
Karena sudah terbentuk, akhlak disebut juga dengan kebiasaan.
Kebiasaan adalah tindakan yang tidak lagi banyak memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Kebiasaan adalah sebuah perbuatan yang muncul dengan mudah(Nasirudin, 2009: 31).
Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
Artinya: “akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudahtanpa membutuhkan pertimbangan dan pikiran.”(Al-Ghazali, 2002:
49)
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah suatu bentuk pengaplikasian atau perilaku yang kita keluarkan
22
tanpa berpikir terlebih dahulu, karena kehendak dan tindakan sudah menyatu. Dikatakan akhlak jika sudah dilakukan dengan sering atau terbiasa. Akhlak dapat dinilai baik ketika perilaku yang ditimbulkan baik dan sebaliknya, penilaian ini menurut masyarakat dan agama.
Jadi yang dimaksud pengamalan Agama Islam adalah kesanggupan seseorang dalam melaksanakan suatu ajaran yang ada dalam Islam yakni Akidah, Akhlak dan Syariat yang berlandaskan kepada Al-Quran dan Hadis.
2.1.5. Agama Islam
Agama dalam Al-Qur’an disebut ad-din yang mengandung makna bahwa agama sebagai pedoman aturan hidup yang memberikan petunjuk kepada manusia sehingga dapat menjalankan kehidupan ini dengan baik, teratur aman dan tidak terjadi kekacauan yang berujung anarkis. (Mahfud, 2011: 2)
Pengertian Agama berasal dari bahasa sansekerta, yakni a berarti tidak dan gama berarti kacau, jadi agama berarti tidak kacau atau teratur, dengan demikian agama adalah aturan yang mengatur manusia agar kehidupannya menjadi teratur.
Menurut Daradjat (2005: 10), agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada manusia. Sedangkan Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan system perilaku yang terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan- persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate Mean Hipotetiking).
Dalam bahasa Inggris, agama disebut religion, dalam bahasa belanda disebut religie berasal dari bahasa latin relegere berarti mengikat, mengatur atau menghubungkan, jadi religion atau religie dapat diartikan
23
sebagai aturan hidup yang mengikat manusia dan menghubungkan manusia dengan Tuhan (Mubarok, dkk, 2001: 45).
Adapun pengertian Islam seperti yang banyak di ungkapkan diberbagai literatur keislaman dapat dilihat dari pengertian asal kata
“Islam” berasal kata “aslama” yang merupakan turunan dari kata “as- salm, as-salam, as-salamah” yang artinya bersih dan selamat dari kecacatan.
Sedangkan secaraterminologidisepakati oleh para ulama bahwa Islam adalah, kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia diturunkan ke muka bumi dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam Al-Qur’an. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang diturunkan Allah, melalui rasul-rasul-Nya. (Yusuf, 2003: 32)
Islam adalah agama yang mengajarkan pada pemeluknya, untuk menyebarkan benih perdamaian, keamanan, dan keselamatan. Di dalamnya banyak berisi ajaran-ajaran sebagai petunjuk untuk manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia dan akhirat. Untuk melaksanakan ajaran (syari’at) Islam ini, manusia memerlukan adanya pendidikan, sehingga dapat mengetahui ajaran-ajaran yang seharusnya dapat dijalankan dalam kehidupan. Adapun pengamalan yang dimaksud di atas adalah pengamalan Agama Islam.
Landasan dalam pengamalan islam ada 2 yaitu Al-qur’an dan As- sunnah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 2 sebagai berikut:
Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.(Depag RI, 2005: 8)
24
Ayat di atas menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakanpetunjuk kebenaran yang tidak diragukan lagi, termasuk petunjuk dalam pendidikan. Selain petunjuk, ada beberapa indikasi yang terdapat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan usaha pendidikan antara lain menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah-kisah) untuk tujuan pendidikan dan memelihara keperluan-keperluan sosial masyarakat.
Menurut Muhammad Syaltut dalam Tantowi (2002: 15-16), petunjuk al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi tiga pokok yakni:
1) Petunjuk tentang akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia dan tersimpul dalam keimanan dan ke- Esa-an Tuhan, serta kepercayaan tentang adanya hari akhir.
2) Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus di ikuti manusia dalam kehidupan sehari- hari.
3) Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungan dengan Allah swt dan sesama manusia.
Berdasarkan Pendapat diatas petunjuk Al-Qur‟an itu berisikan akidah, akhlak dan syariat.
Landasan kedua Islam adalah As-sunnah. As-sunnah menurut pengertian bahasa berarti tradisi yang bisa dilakukan, atau jalan yang dilalui (al-thariqah al- maslukah) baik yang terpuji maupun yang tercela.
As- Sunnah adalah segala sesuatu yang dinukilkan kepada nabi Muhammad saw(Mujib, 2010: 38).
As-Sunnah menurut istilah syari‟at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak
25
yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari‟atan) bagi umat Islam.
Sunnah adalah setiap perkataan, ketetapan dan perbuatan Rasulullah saw yang dicontohkan kepada para sahabat dan umatnya melalui sikap, sifat dan akhlaknya berkaitan dengan hal ini, Allah swt berfirman dalam Al-qur’an Surat Al-Ahzab ayat 45:
Artinya: “Hai Nabi, Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk Jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan” (Depag RI, 2005: 349)
Ayat di atas mengandung makna bahwa tujuan kerasulan Muhammad saw adalah sebagai saksi, pemberi kabar, penyeru ke jalan yang benar dan lentera bagi kehidupan umatnya. Allah swt mengutus nabi Muhammad saw secara esensi untuk menyucikan dan mengangkat derajat manusia.
Perilaku beragama seseorang pada dasarnya tidak terlepas dari dasar-dasar atau pokok-pokok ajaran islam yang dapat diklarifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Aqidah. Aqidah adalah urusan yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, menentramkan jiwa, dan menjadi keyakinan yang tidak bercampur dengan keraguan.7 inti materi dari aqidah adalah mengenai keimanan sebagaimana terdapat dalam rukun iman, yakni meyakini tentang Allah, para malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qada dan qadar. (Alim, 2006)
2. Syariah. Syariah menurut hukum Islam, sebagai mana dikutip dari buku karya Muhammad Alim yang berjudul “Pendidikan Agama Islam” adalah hukum-hukum dan tata aturan yang disampaikan Allah agar ditaati hamba-hamba-Nya. Syariah juga diartikan sebagi satu
26
sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, serta hubungan manusia dengan alam lainnya. Secara garis besar ajaran syariah Islam adalah ibadah seperti yang terdapat dalam rukun Islam, muamalah (sosial), munakahat (hubungan keluarga), jinayat (pidana), siyasah (kemasyarakatan atau politik), dan peraturan-peraturan lainnya seperti makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar dan lain-lain. (Alim, 2006, p. 139)
3. Akhlak. Menurut bahasa akhlak ialah kata jamak dari khuluq (khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at. Akhlak disamakan dengan kesusilaan, sopan santun. Akhlak diartikan sebagai ilmu tata krama, ilmu yang berusaha mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik atau baik sesuai dengan norma-norma atau tata susila. (Abdullah , 2007)
Akhlak dalam ajaran Islam mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa). Akhlak mengandung empat unsur yaitu adanya perbuatan baik dan buruk, adanya kemampuan melaksanakan, mengetahui perbuatan yang baik dan buruk, dan adanya kecenderungan kondisi jiwa pada salah satu perbuatan terpuji maupun yang tercela. (Nasirudin, 2008) Ukuran untuk menentukan akhlak itu terpuji atau tercela adalah syara’ yakni aturan atau norma yang ada di Al-Quran maupun Sunnah dan akal sehat. Akidah, syariah dan akhlak saling berhubungan, akidah merupakan sistem kepercayaan dan dasar bagi syariah dan akhlak, sedangkan tidak ada syariah dan akhlak selama tanpa akidah Islam. (Fuad Nashori Suroso, 2008)
Eksistensi kerasulan Muhammad saw juga harus diakomodir dengan dunia pendidikan Islam. Pengajaran dan bimbingan yang diemban
27
oleh dunia pendidikan selain harus bercermin al-Qur’an juga memegang teguh teladan Rasulullah saw, jika dunia pendidikan Islam mampu menyerap dan mengakomodir perintah dan larangan yang disampaikan Rasulullah maka akan jelas arah dan tujuan yang dicapai.
Dari keterangan di atas maka pelaksanaan Pendidikan Agama Islam berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah, dari kedua sumber tersebut, manusia diberi kebebasan untuk mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi zaman.
2.1.6. Fungsi Agama
Agama yang disebut J.H. Leuba sebagai cara bertingkah laku, sebagai sistem kepercayaan atau sebagai emosi yang khusus. Sementara Thouless memandang agama sebagai hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dipercayai sebagai makhluk atau sebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia. (Sururin, 2004: 4)
Sebagai apa yang dipercayai, agama memiliki peranan penting dalamhidup dan kehidupan manusia baik secara pribadi maupun secara kelompok. Secara umum agama berfungsi sebagai jalan penuntun penganutnya untuk mencapai ketenangan hidup dan kebahagian di dunia maupun dikehidupan kelak.
Melalui agama seseorang yang berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya jika seorang pelanggar telah menebus dosanya melaui tobat, pensucian atau penebusan dosa.
Agama mampu melakukan perubahan terhadap bentuk kehidupan masyarakat lama ke dalam bentuk kehidupan baru. Hal ini dapat berarti pula menggantikan nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru.
Transformasi ini dilakukan pada nilai-nilai adat yang kurang manusiawi.
Sebagai contoh kaum Qurais pada jaman Nabi Muhammad yang memiliki
28
kebiasaan jahiliyah karena kedatangan Islam sebagai agama yang menanamkan nilai-nilai baru sehingga nilai-nilai lama yang tidak manusiawi dihilangkan.(Sururin, 2004: 12)
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh.
Agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga demi kepentingan orang lain. Penganut agama tidak hanya disuruh bekerja secara rutin, akan tetapi juga dituntut melakukan inovasi dan penemuan baru.
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat duniawi namun juga yang bersifat ukhrawi. Segala usahatersebut selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, dilakukan secara tulus ikhlas karena dan untuk Allah adalah ibadah.
(Jalaluddin. 2002: 249)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan ajaran agama memberikan ajaran-ajaran yang harus patuhi. Agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang, keduanya memiliki latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.Manusia menginginkan keselamatan. Keselamatan meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan agama. Keselamatan yang diberikan agama adalah keselamatan yang meliputi dua alam, yakni dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya melalui pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.
29 2.2. Bimbingan dan Konseling Islam
2.2.1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam
Secara etimologis kata bimbingan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “guidance”. Kata “guidance” adalah kata dalam bentuk mashdar (kata benda) yang berasal dari kata kerja “to guide” artinya menunjukkan, membimbing, atau menuntun orang lain ke jalan yang benar(Munir, 2010: 3). Dengan kata lain bimbingan adalah proses membimbing, memberi arahan, memberi petunjuk pada peserta didik (binimbing) ke jalan yang baik untuk menuju kesuksesannya.
Untuk memahami makna bimbingan, ada beberapa ahli yang berpendapat sebagai berikut:
a. Miller yang dikutip oleh farit Hasyim dan Mulyono (2010: 32) mengartikan bimbingan sebagai proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum di sekolah, keluarga dan masyarakat.
b. Prayitno yang dikutip oleh Dewa Ketut (2008) Sukardi dan Nila Kusmawati mengartikan bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang individu, baik anak-anak , remaja, maupun dewasa, agar yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
c. Shertzer dan Stone, yang dikutip oleh Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2011: 6) mengartikan bimbingan sebagai proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami diri dan lingkungannya.
Ayat yang berkenaan dengan konseling Islam adalah terdapat dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 82 yang berbunyi:
30
Artinya: “dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (Depag RI, 2005: 437)
Ayat di atas menerangkan bahwa dalam kelangsungan perkembangan dan kehidupan manusia, berbagai pelayanan diciptakan dan diselenggarakan. Masing-masing pelayanan ini berguna dan bermanfaat untuk memperlancar dan memberikan dampak positif, konseling Islam ini membantu individu untuk bisa menghadapi masalah sekaligus bisa membantu mengembangkan segi-segi positif yang dimiliki oleh individu.
Berdasarkan pengertian di atas makna bimbingan bagi peserta didik, merupakan upaya memberi nasihat dan saran dari seorang atau sekelompok guru kepada peserta didik, dalam makna luas, bimbingan di sekolah merupakan program dan aktivitas terencana yang bertujuan membantu peserta didik menentukan dan melaksanakan rencana yang prima dan mencapai penyesuaian yang memuaskan dalam kehidupan akademik dan personal mereka.
Konseling merupakan terjemah dari kata Counseling (bahasa Inggris) yang berarti penyuluhan, sedangkan dalam bahasa arab konseling diartikan sebagai kegiatan untuk meluruskan perilaku yang salah atau kurang sesuai.
Shertzer dan Stone mengartikan konseling adalah upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami dari dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang
31
diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif perilakunya (Nurihsan, 2011: 10).
Konseling merupakan salah satu bentuk hubungan yang bersifat membantu. Makna bantuan di sini yaitu sebagai upaya untuk membantu orang lain agar ia mampu tumbuh ke arah yang dipilihnya sendiri, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu mengatasi krisis- krisis yang dialami dalam kehidupannya.(Yusuf, Nurihsan, 2010: 9).Dari beberapa batasan tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa konseling adalah suatu bimbingan yang diberikan kepada individu (siswa) dengan tatap muka (face to face) melalui wawancara.
Bimbingan dan Konseling Islam merupakan suatu proses hubungan pribadi yang terprogram, antara seorang konselor dengan satu atau lebih klien (konseli) atau remaja, dimana konselor dengan bekal pengetahuan profesional dalam bidang ketrampilan dan pengetahuan psikologis yang dikombinasikan dengan pengetahuan keislaman membantu klien dalam upaya mengatasi masalah serta membantu kesehatan mental, sehingga dari hubungan tersebut klien dapat menanggulangi problematika hidup dengan baik dan benar secara mandiri yang berpandangan pada Al- Qur’an dan AS-sunnah.
2.2.2. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling Islam
Nilai bimbingan yang terdapat dalam ajaran al- Qur’an dapat digunakan pembimbing untuk membantu si terbimbing dalam menentukan pilihan perubahan tingkah laku positif. Diantaranya dasar- dasar Bimbingan dan Konseling dalam al-Qur’an antara lain:
1) Perintah untuk mengajak kepada kebaikan
32
Artinya: “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. An-nahl : 125). (Depag RI, 2010: 417)
Ayat di atas berisi tentang anjuran mengajak kepada kebaikan, dan memberikan pelajaran yang baik. Dari ayat ini dapat dilihat nilai korelasi yang tepat dengan Bimbingan dan Konseling Islam, di dalam ayat ini terdapat fungsi-fungsi serta tujuan dari Bimbingan dan Konseling Islam, yang didalamnya terdapat juga fungsi pencegahan dengan cara yang baik, atau membimbing nilai kesalahan dan menuju pada nilai-nilai kebaikan.
2) Perintah untuk nasehat dan menasehati
Artinya: “demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”(Q.S. Al-ashr : 1-3). (Depag RI, 2010:
766)
33
Dari ayat di atas terdapat nilai-nilai kandungan dari Bimbingan dan Konseling Islam. Yaitu adanya upaya membantu dalam kebaikan serta kesabaran, dalam hal ini kegiatan yang bersifat membantu, menasehati, mengarahkan, adalah ruang lingkup dari tujuan Bimbingan dan Konseling Islam.
3) Perintah untuk menjaga diri dan sesama
Allah berfirman dalam Qur’an surat Al-Israa’ ayat 15 yang berbunyi:
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.(Depag RI, 2010: 203)
Ayat di atas berisi tentang perintah untukmenjaga diri sendiri dan keluarga (sesama) dalam hal kebaikan, kandungan ayat ini relevan dengan fungsi- fungsi dari Bimbingan dan Konseling Islam, karena fungsi pemeliharaan adalah salah satu dari fungsi Bimbingan dan Konseling Islam.
Nabi bersabda dalam sebuah hadits yang artinya:
“Hak seorang muslim pada muslim lainnya ada enam: jika berjumpa hendaklah memberi salam; jika mengundang dalam sebuah acara, maka datangilah undangannya; bila dimintai nasehat, maka nasehatilah ia; jika memuji Allah dalam bersin,
34
maka doakanlah; jika sakit jenguklah ia; dan jika meninggal dunia, maka iringilah kekuburnya. (HR Muslim)” (Muslim,th: 1705).
Hadits di atas merupakan salah satu haditsyang mengandung nilai tentang Bimbingan dan Konseling Islam, yaitu mengenai sikap menolong ataumemberi bantuan. Di lihat dari hadits inimenganjurkan bagi seorang pembimbing maupun konselor untuk senantiasa membantu peserta didikdalam mengahadapi masalahnya. Serta menganjurkan untuk melakukan suatu kebaikan, yang berhubungan dengan ajaran Islam.
2.2.3. Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam
Dalam kelangsungan perkembangan dan kehidupan manusia, berbagai pelayanan diciptakan dan diselenggarakan. Masing-masing pelayanan ini berguna dan bermanfaat untuk memperlancar dan memberikan dampak positif, konseling Islam ini membantu individu untuk bisa menghadapi masalah sekaligus bisa membantu mengembangkan segi-segi positif yang dimiliki oleh individu.
Tujuan Bimbingan dan Konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah:
a. Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar, dan memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang dialaminya.
b. Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan.
c. Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat. (Hasyim &
Mulyono, 2010: 69)
35
Di samping tujuan sebagaimana tersebut di atas, Bimbingan dan Konseling dalam Islam juga memiliki tujuan yang secara rinci dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan, dan kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak, dan damai, (muthmainnah), bersikap lapang dada (radhiyah), dan mendapatkan pencerahan taufik dan hidayah Tuhannya (mardhiyah).
b. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, dan kesopanan, tingkah laku yang dapat memberikan manfaat, baik pada diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja, maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya.
c. Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga muncul dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan, tolong- menolong, dan rasa kasih sayang.
d. Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat kepada Tuhannya, ketulusan mematuhi segala perintah-Nya, serta ketabahan menerima ujian-Nya.
e. Untuk menghasilkan potensi Ilahiah, sehingga dengan potensi itu individu dapat melakukan tugasnya sebagai khalifah dengan baik dan benar, ia dapat dengan baik menanggulangi berbagai persoalan hidup, dan dapat memberikan kemanfaatan dan keselamatan bagi lingkungannya pada berbagai aspek kehidupan. (Munir, 2010: 43)
Tujuan yang ingin dicapai melalui Bimbingan dan Konseling Islami adalah agar fitrah yang dikaruniakan Allah kepada individu bisa berkembang dan berfungsi dengan baik, sehingga menjadi pribadi yang kaffah, dan secara bertahap mampu mengaktualisasikan apa yang diimaninya itu dalam kehidupan sehari-hari, yang tampil dalam bentuk
36
kepatuhan terhadap hukum-hukum Allah dalam beribadah dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan- Nya.
2.2.4. Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam
Fungsi Bimbingan dan Konseling secara umum meliputi:
a. Fungsi Pemahaman,yaitu fungsi BK membantu peserta didik agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama).
Fungsi pemahaman ini meliputi:
1) Pemahaman tentang diri peserta didik sendiri, terutama oleh peserta didik sendiri, orang tua, guru pada umumnya, dan guru pembimbing.
2) Pemahaman tentang lingkungan peserta didik, termasuk di dalamnya lingkungan keluarga dan sekolah terutama oleh peserta didik sendiri, orang tua, guru pada umumnya, dan guru pembimbing.
3) Pemahaman tentang lingkungan yang lebih luas (termasuk di dalamnya informasi pendidikan, informasi jabatan/pekerjaan, dan informasi sosial dan budaya/nilai-nilai), terutama oleh peserta didik. (Munir, 2010: 45)
b. Preventif,yaitu upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh peserta didik. (Yusuf &
Nurihsan, 2011: 16)
Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada siswa tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah layanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para siswa dalam
37
mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya minum- minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obat terlarang, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
c. Fungsi adaptasi,yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, khususnya guru/dosen, widyaiswara/ dan wali kelas untuk mengadaptasikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan individu. (Nurihsan, 2011: 9)
Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai individu, pembimbing/konselor dapat membantu para guru/dosen/widyaiswara dalam memperlakukan individu secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi perkuliahan, memilih metode dan proses perkuliahan, maupun mengadaptasikan bahan perkuliahan sesuai dengan kemampuan dan kecepatan individu.
d. Fungsi Penyembuhan(kuratif), yaitu fungsi Bimbingan dan Konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
e. Fungsi Penyesuaian,yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu (siswa) agar dapat menyesuaikan diri secara dinamis dan konstruktif terhadap program pendidikan, peraturan sekolah, atau norma agama.
f. Fungsi Pencegahan,yaitu fungsi Bimbingan dan Konseling yang akan menghasilkan tercegahnya atau terhindarnya peserta didik dari berbagai permasalahan yang mungkin timbul yang akan dapat mengganggu, menghambat, atau menimbulkan kesulitan, kerugian- kerugian tersebut dalam proses perkembangannya beberapa kegiatan bimbingan yang dapat berfungsi pencegahan antara lain: program
38
orientasi, program bimbingan karier, program pengumpulan data, dan program kegiatan kelompok.
g. Fungsi Pemeliharaan,yaitu fungsi Bimbingan dan Konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akanmenyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif, dan fakultif (pilihan) sesuai dengan minat konseling. (Hasyim &
Mulyono, 2010: 63)
Fungsi utama Bimbingan dan Konseling dalam Islam yang hubungannya dengan kejiwaan tidak dapat terpisahkan dengan masalah- masalah spiritual (keyakinan). Islam memberikan bimbingan kepada individu agar dapat kembali pada bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Fokus Bimbingan dan Konseling Islam selain memberikan perbaikan dan penyembuhan pada tahap mental, spiritual atau kejiwaan, dan emosional, seperti ungkapan dalam firman Allah: wayuzakkihim (dan mensucikan mereka), kemudian melanjutkan kualitas dari materi Bimbingan dan Konseling kepada pendidikan dan pengembangan dengan menanamkan nilai-nilai dan wahyu sebagai pedoman hidup dan kehidupan hidup, maka individu akan memperoleh wacana-wacana ilahiah tentang bagaimana mengatasi masalah, kecemasan dan kegelisahan, melakukan hubungan komunikasi yang baik dan indah, baik secara vertical maupun horizontal, dan sekaligus individu akan mempunyai kemampuan al-Hikmah, yaitu metode atau cara untuk menghayati rahasia di balik berbagai peristiwa dalamkehidupan secara nurani, empirik, dan transendental. Dengan kemampuan dan pemahaman yang matang terhadap al-Qur’an dan al-Hikmah, maka secara otomatis individu akan terhindar dan tercegah dari hal-hal yang dapat merusak dan
39
menghancurkan eksistensi dan esensi dirinya, baik kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat.
2.2.5. Langkah-langkah Bimbingan dan Konseling Islam
Dalam pemberian bimbingan dikenal adanya langkah-langkah sebagai berikut:
1) Langkah identifikasi kasus
Langkah ini dimaksudkan untuk mengenal kasus beserta gejala-gejala yang nampak. Dalam langkah ini mencatat kasus- kasus mana yang akan mendapatkan bantuan terlebih dahulu.
2) Langkah diagnosa
Langkah ini untuk menetapkan masalah yang dihadapi kasus beserta latar belakangnya. Dalam langkah ini kegiatan yang dilakukan adalah mengumpulkan data dengan mengadakan studi kasus dengan terkumpul kemudian ditetapkan masalah yang dihadapi serta latar belakangnya.
3) Langkah prognosa.
Langkah ini menetapkan jenis bantuan atau terapi apa yang akan dilaksanakan untuk membimbing kasus. Langkah ini ditetapkan berdasarkan kesimpulan dalam langkah diagnosa, yaitu setelah ditetapkan masalah beserta latar belakangnya.
4) Langkah terapi
Langkah ini adalah pelaksanaan bantuan atau bimbingan. Langkah ini merupakan pelaksanaan apa yang ditetapkan dalam langkah prognosa.
5) Langkah evaluasi
Langkah ini dimaksudkan untuk menilai atau mengetahui sejauh manakah langkah terapi yang telah dilakukan telah mencapai hasilnya. Dalam langkah follow up (tindak lanjut), dilihat dari
40
perkembangan selanjutnya dalam jangka waktu yang jauh atau panjang(Djumhur, 1975: 104-106).
2.2.6. Unsur-unsur Bimbingan Konseling Islam
Dalam pemberian Bimbingan dan Konseling Islam dikenal adanya unsur-unsur sebagai berikut:
1) Konselor
Konselor atau pembimbing merupkan seseorang yang mempunyai wewenang untuk memberikan bimbingan kepada orang lain yang sedang menghadapi kesulitan atau masalah, yang tidak bisa diatasi tanpa bantuan orang lain. Menurut Thohari Musnamar (1992:34-42) dalam bukunya “Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam”, persyaratan menjadi konselor antara lain:
a) Kemampuan Profesional b) Sifat kepribadian yang baik
c) Kemampuan kemasyarakatan (Ukhuwah Islamiyah) d) Ketakwaan kepada Allah SWT7.
Sedangkan menurut H. M. Arifin (1992: 14), syarat-syarat untuk menjadi konselor adalah:
a. Menyakini akan kebenaran Agama yang dianutnya, menghayati, mengamalkan karena ia menjadi norma-norma Agama yang konsekuensi serta menjadikan dirinya dan idola sebagai muslim sejati baik lahir ataupun batin dikalangan anak bimbingannya.
b. Memiliki sifat dan kepribadian menarik, terutama terhadap anak bimbingannya dan juga terhadap orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya.
c. Memiliki rasa tanggung jawab, rasa berbakti tinggi dan loyalitas terhadap tugas pekerjaannya secara konsisten.
41
d. Memiliki kematangan jiwa dalam bertindak menghadapi permasalahan yang memerlukan pemecahan.
e. Mampu mengadakan komunikasi (hubungan) timbal balik terhadap anak bimbingan dan lingkungan sekitarnya.
f. Mempunyai sikap dan perasaan terikat nilai kemanusian yang harus ditegakkan terutama dikalangan anak bimbingannya sendiri, harkat dan martabat kemanusian harus dijunjung tinggi dikalangan mereka.
g. Mempunyai keyakinan bahwa setiap anak bimbingannya memiliki kemampuan dasar yang baik dan dapat dibimbing menuju arah perkembangan yang optimal.
h. Memiliki rasa cinta terhadap anak bimbingannya.
i. Memiliki ketangguhan, kesabaran serta keuletan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, dengan demikian ia tidak lekas putus asa bila mengahadapi kesulitan dalam menjalankan tugasnya.
j. Memiliki watak dan kepribadian yang familiar sebagai orang yang berada disekitarnya.
k. Memiliki jiwa yang progresif (ingin maju dalam karirnya)
l. Memiliki sikap yang tanggap dan peka terhadap kebutuhan anak bimbing.
m. Memiliki pribadi yang bulat dan utuh, tidak berjiwa terpecah- pecah karena tidak dapat merekam sikap.
n. Memiliki pengetahuan teknis termasuk metode tentang bimbingan dan penyuluhan serta mampu menerapkannya dalam tugas.
Persyaratan yang banyak tersebut dikarenakan pada dasarnya seorang konselor atau pembimbing adalah seorang pengemban amanat yang sangat berat sekali. Oleh karena itu, konselor atau pembimbing juga
42
memerlukan kematangan sikap, pendirian yang dilandasi oleh rasa ikhlas, jujur serta pengabdian.
Dari beberapa pendapat di atas pada hakikatnya seorang konselor harus mempunyai kemampuan untuk melakukan bimbingan dan konseling, dengan disertai memiliki kepribadian dan tanggung jawab, serta mempunyai pengetahuan yang luas tentang ilmu Agama dan ilmu- ilmu yang lain, yang dapat menunjang keberhasilan bimbingan dan konseling.
Dari uraian di atas tentang kualifikasi seorang konselor juga tercantum dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al- Imron ayat 159 :
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”(Depag RI, 2010:
103).
2) Konseling
Konseling adalah orang yang perlu memperoleh perhatian sehubungan dengan masalah yang dihadapinya dan membutuhkan
43
bantuan dari pihak lain untuk memecahkannya, namun demikian keberhasilan dalam mengatasi masalahnya itu sebenarnya sangat ditentukan oleh pribadi konseling itu sendiri. Konseling hendaknya memiliki sikap dan sifat sebagai berikut:
a) Terbuka
Keterbukaan konseli akan sangat membantu jalannya proses Konseling. Artinya konseling bersedia mengungkapkan segala sesuatu yang diperlukan demi suksesnya proses Konseling.
b) Sikap percaya
Agar Konseling berlangsung secara efektif, maka konseli harus dapat mempercayai konselor. Artinya konseli harus percaya bahwa konselor benar-benar bersedia menolongnya, percaya bahwa konselor tidak akan membocorkan rahasianya kepada siapapun.
c) Bersikap jujur
Seorang konseli yang bermasalah, agar masalahnya dapat teratasi, harus bersikap jujur. Artinya konseli harus jujur mengemukakan data- data yang benar, jujur mengakui bahwa masalah itu yang ia alami.
d) Bertanggung jawab
Tanggung jawab konseli untuk mengatasi masalahnya sendiri sangat penting bagi kesuksesan Konseling.
Jadi, seorang dapat dikatakan konseli apabila telah memenuhi kriteria sebagaimana tersebut di atas.
3) Masalah
Masalah adalah sesuatu yang menghambat, merintang atau mempersulit usaha untuk mencapai tujuan, hal ini perlu ditangani ataupun dipecahkan oleh konselor bersama konseli, karena masalah biasa timbul karena berbagai faktor atau bidang kehidupan, maka masalah yang ditangani oleh konselor dapat menyangkut beberapa bidang kehidupan, antara lain:
44 a) Bidang pernikahan dan keluarga b) Bidang pendidikan
c) Bidang sosial (kemasyarakatan) d) Bidang pekerjaan (jabatan)
e) Bidang keagamaan.(Winkel, 1989: 12)
2.2.7. Asas-asas Bimbingan dan Konseling Islam
Dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling Islam selalu mengacu pada asas-asas bimbingan yang diterapkan dalam penyelenggaraan dan berlandaskan pada al-Qur’an dan hadits atau sunnah Nabi. Berdasarkan landasan-landasan tersebut dijabarkan asas-asas pelaksanaan bimbingan dan konseling Islam sebagai berikut.
1.) Asas-asas kebahagiaan dunia dan akhirat
Kebahagiaan hidup duniawi, bagi seorang muslim hanya merupakan kebahagiaan yang sifatnya hanya sementara, kebahagiaan akhiratlah yang menjadi tujuan utama. Sebab kebahagiaan akhirat merupakan kebahagiaan abadi, dan bagi semua manusia jika dalam kehidupan dunianya selalu “mengingat Allah” maka kebahagiaan akhiratnya akan tercapai.
Firman Allah dalam al-Qur’an surat Ar-Ra’ad ayat 28-29:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. orang- orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik”.
45
Dari ayat di atas maka Islam mengajarkan hidup dalam keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kehidupan dunia dan akhirat.
2) Asas fitrah
Manusia menurut Islam, dilahirkan dalam atau dengan membawa fitrah, yaitu berbagai kemampuan potensi bawaan dan kecenderungan sebagai muslim atau beragama Islam. Bimbingan dan konseling membantu untuk mengenal dan memahami fitrahnya manakala pernah
“tersesat” sehingga akan mampu mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat karena bertingkah laku sesuai dengan fitrahnya.
Allah berfirman dalam al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 30:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. 30 : 30)
Dari ayat di atas menerangkan manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.
3) Asas bimbingan seumur hidup
Dalam kehidupan manusia akan menjumpai berbagai kesulitan dan kesusahan. Oleh karena itulah maka bimbingan dan konseling Islam diperlukan selama hayat masih dikandung badan. Kesepanjang hayatan bimbingan dan konseling ini, selain dilihat dari kenyataan
46
hidup, dapat pula dilihat dari sudut pendidikan, bimbingan dan konseling merupakan bagian dari pendidikan. Pendidikan sendiri berasaskan pendidikan seumur hidup, karena belajar menurut Islam wajib dilakukan oleh semua orang Islam tanpa membedakan usia.
4) Asas kesatuan jasmaniah-rohaniah
Allah telah memberikan contoh dengan kasus yang digambarkan pada al-Qur’an surat Al-Baqarah, ayat 187:
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”(QS. 2 : 187)
47
Manusia itu dalam hidupnya di dunia merupakan satu kesatuan jasmaniah-rohaniah. Bimbingan dan konseling Islam memperlakukan konselinya sebagai makhluk jasmaniah-rohaniah, tidak memandangnya sebagai makhluk biologis semata. Bimbingan konseling Islam membantu individu untuk hidupdalam keseimbangan jasmaniah dan rohaniah.
5) Asas sosialitas manusia
Dalam Bimbingan dan konseling Islam, sosialitas manusia diakui dengan memperhatikan hak individu. Manusia merupakan makhluk sosial hal ini dapat diperhatikan dalam bimbingan dan konseling Islam. Pergaulan, cinta, kasih, rasa aman, penghargaan terhadap diri sendiri, orang lain dapat memiliki dan dimiliki.
6) Asas pembinaan akhlaqul-karimah
Manusia menurut pandangan Islam, memiliki sifat-sifat yang baik (mulia). Sifat yang baik merupakan sifat yang dikembangkan oleh bimbingan dan konseling Islam.
Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 21:
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. 33 : 21)
Berdasarkan ayat di atas Bimbingan dan konseling Islam membantu konseling atau yang dibimbing, memelihara, mengembangkan, menyempurnakan sifat-sifat yang sejalan dengan tugas dan fungsi Rasulullah SAW.