- 1 -
KAJI DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG KETENAGANUKLIRAN TAHUN 2017
PROF. DR. IBRAHIM R. SH. MH.
SMS. 08123815993
Materi Diskusi Publik RUU Ketenaga nukliran Penyelenggara oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir RI
Di Hotel Holiday Inn Resort Nusa Dua Bali Tanggal 12 September 2017
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
- 2 - 1. PENDAHULUAN
Negara yang tidak menguasai teknologi nuklir dan tidak memanfaatkan, adalah negara yang terkebelakang, perhatikan bahwa negara yang menguasai tenaga nuklir, misalnya:
Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Jerman, Prancis, Inggris, dan India. Kalaupun ada negara maju yang tidak menguasai tenaga nuklir, hanya kapasitasnya kecil. Abad ke-21 disebut abad teknologi dan informasi, berita dan informasi berkembang dan menyebar dalam hitungan detik, kejahatan berkembang begitu sistematis dan masif juga, maka, pengaturan tentang ketenaganukliran, menjadi penting, radiasi dan pencemarannya sangat tinggi dan biaya mahal. Pengaturan tentang Nuklir Indonesia telah tertinggal jauh dibandingkan dengan pertumbuhan ilmu dan teknologi tenaga nuklir, seperti: UU No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Tenaga Atom (berlaku sudah 33 tahun). UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (berlaku 19 tahun).
Ruang lingkup ketenaganukliran, dimana Nuklir berarti berhubungan dengan nukleus
atom (inti atom), meliputi:(1). Inti atom,
(2). Peluruhan radioaktif, (3). Teknik nuklir, (4). Bahan bakar nuklir,
(5). Siklus bahan bakar nuklir, (6). Reaksi nuklir,
(7). Daya nuklir, (8). Energi nuklir,
(9). Pembangkit listrik tenaga nuklir, (10). Reaktor nuklir,
(11). Senjata nuklir,
(12). Limbah nuklir/radioaktif.
- 3 -
Senjata Nuklir adalah senjata yang mendapat tenaga dari reaksi nuklir dan mempunyai daya pemusnah yang dahsyat, sebuah bom nuklir mampu memusnahkan sebuah kota. Senjata nuklir, baru dua senjata nuklir yang pernah digunakan, yaitu pada perang dunia ke-2 oleh Amerika Serikat di Hirosima dan Nagasaki (9 Agustus 1945), seberat 20 kilo (ribuan) ton TNT, sedangkan Bom Nuklir yang ada sekarang ini berdaya ledak lebih dari 70 mega (juta) ton TNT. Pemilik senjata nuklir, yaitu:
1) Amerika Serikat, adalah satu-satunya negara yang pernah menggunakan senjata nuklir di Hirosima dan Nagasaki tahun 1945, senjata nuklir AS 4.804 buah.
2) Rusia (Uni Soviet punya 1.512 hulu ledak strategis) 3) Tiongkok, diperkirakan memiliki 250 hulu ledak nuklir 4) Prancis, punya 290 hulu ledak
5) Inggris, punya 225 hulu ledak nuklir, 6) India, Korea Utara, dan Pakistan.
Senjata nuklir dapat dilancarkan dari berbagai cara: pesawat pengebom, peluru kendali, peluru kendali balistik, peluru kendali balistik antar benoa. Bahan bakar nuklir, adalah semua jenis material yang dapat digunakan untuk menghasilkan energi nuklir, unsur berat fossil yang dapat menghasilkan reaksi nuklir berantai di dalam reaktor nuklir. Bahaya radiasi nuklir berdampak:
1. Pendaraha saluran pencernaan 2. Merusak sel-sel tubuh
3. Kulit terbakar
4. Kerusakan jaringan kulit 5. Kerusakan DNA fatal 6. Kerusakan lingkungan 7. Kerusakan otak
8. Penyakit kelenjar gondok 9. Kerusakan sistem darah
2. TEORI BERLAKUNYA HUKUM
Hukum dapat berlaku secara baik dan efektif harus memenuhi syarat sesuai dengan
Gelding Theorie, yaitu: syarat filosofis, syarat sosiologis, dan syarat yuridis. Untuk
mendapatkan kaidah/norma hukum yang paripurna sebagai hasil kajian dan penelitian,
secara:
- 4 -
(1) Hasil kajian secara filosofis,
(2) Hasil kajian secara estetis,
(3) Hasil kajian secara ilmu pengetahuan, (4) Hasil kajian secara ekonomis,
(5) Hasil kajian secara tool of social control (6) Hasil kajian secara tool of social engineering
Untuk mengkajia RUU Ketenaganukliran Tahun 2017 ini, apakah telah dilakukan berdasarkan syarat berlakunya hukum dan pembentukan kaidah/norma hukum atau tidak. Hal tersebut mulai dimunculkan dalam Naskah Akademik RUU, berdasarkan Naskah Akademik RUU dikuantifikasikan pada: Dasar Menimbang; Dasar Mengikat; Bab; Pasal RUU
Sistematika RUU Ketenaganukliran Tahun 2017:
1) Menimbang, 2) Mengingat,
3) BAB I. KETENTUAN UMUM:
a. Bagian Kesatu. ... (1 pasal = pasal 1) b. Bagian Kedua: Asas (1 pasal = pasal 2)
c. Bagian Ketiga: Ruang Lingkup dan Tujuan (2 pasal = pasal 3, 4) 4) BAB II. RENCANA INDUK KETENAGANUKLIRAN
a. 2 pasal = pasal 5, 6
5) BAB III. PENYELENGGARAAN KETENAGANUKLIRAN a. Bagian Kesatu: Umum (1 pasal = pasal 7)
b. Bagian Kedua : Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir (3 pasal = pasal 8,9, 10)
c. Bagian Ketiga: Pemanfaatan ( 3 pasal = pasal 11, 12, 13)
d. Bagian Keempat: Pengawasan (17 pasal = pasal 14,15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30)
6) BAB IV. KELEMBAGAAN
a. 7 pasal = pasal 31, 32,33, 34, 35, 36, 37 7) BAB V. PENGUSAHAAN
a. Bagian Kesatu: Penguasaan (3 pasal = pasal 38, 39, 40)
b. Bagian Kedua: Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (5 pasal = pasal 41, 42, 43, 44, 45)
8) BAB VI. KESELAMATAN NUKLIR
- 5 -
a. 2 pasal = pasal 46, 47
9) BAB VII. PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI a. 6 pasal = pasal 48, 49, 50, 51, 52, 53
10) BAB VIII. PENGANGKUTAN
a. Bagian Kesatu: Zak Radioaktif dan Bahan Nuklir (7 pasal = pasal 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60 )
11) BAB IX. PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DAN BAHAN BAKAR NUKLIR BEKAS
a. 11 pasal = pasal 61, 62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 70, 71 12) BAB X. PERTANGGUNGJAWABAN NUKLIR
a. 13 pasal = pasal 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83 13) BAB XI. KEAMANAN NUKLIR DAN GARDA-AMAN
a. Bagian Kesatu: Umum (8 pasal = 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91) b. Bagian Kedua: Larangan (7 pasal = pasal 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98) 14) BAB XII. KERAHASIAAN INFORMASI
a. 1 pasal = pasal 99
15) BAB XIII. KERJASAMA INTERNASIONAL a. 1 pasal = pasal 100
16) BAB XIV. PENEGAKAN HUKUM
a. Bagian kesatu: Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan (1 pasal=
pasal 101
b. Bagian Kedua: Pembuktian (1 pasal = pasal 102)
c. Bagian Kedua: Pembuktian (8 pasal = pasal 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109)
17) BAB XV, KETENTUAN PIDANA
a. Bagian Kesatu: Ketentuan Pidana Keselamatan Nuklir (9 Pasal = pasal 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118,)
b. Bagian Kedua: Ketentuan Pidana Keselamatan Nuklir (7 pasal = pasal 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125)
18) BAB XVI. KETENTUAN PERALIHAN a. 1 pasal = pasal 125
19) BAB XVII. KETENTUAN PENUTUP
a. 1 pasal = pasal 126
- 6 -
3. KAJIAN DAN ANALISIS
3.1. Bab I.Ketentuan Umum.
Pasal 1 poin 1. Tenaga nuklir atau energi nuklir adalah tenaga dalam bentuk apapun yang dibebaskan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga yang berasal dari sumber radiasi pengion.
Pasal 1 poin 2, Ketenaganukliran adalah hal yang berkaitan dengan tenaga nuklir Asas, ini berkaitan dengan sistem pengelolaan atau kegunaan, biasanya berkaitan
dengan pengelolaan
Ruang lingkup dan tujuan, apa ruang lingkup pengembangan, penggunaan, dan penggunaan tenaga nuklir untuk apa saja, karena berkaitan dengan pertanggung jawaban dan pengendalian jika terjadi kebocoran atau kecelakaan
3.2. Bab II. RENCANA INDUK KETENAGANUKLIRAN
MAAF KARENA WAKTU TERBATAS, JADI BELUM SELESAI DIKAJI ---
BAB II
RENCANA INDUK KETENAGANUKLIRAN Pasal 5
(1) Penyelenggaraan
Ketenaganukliran dilaksanakan sesuai dengan rencana induk Ketenaganukliran.
(2) Rencana induk
Ketenaganukliran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
(3) Rencana induk
Ketenaganukliran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun untuk jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahundan dapat ditinjau kembali.
Pasal 6
1. Rencana induk
Ketenaganukliran disusun dengan paling sedikit memperhatikan:
a. potensi sumber daya
nasional;
b. keselamatan, keamanan,
- 7 - dan garda-aman;
c. penelitian, pengembangan,
dan penerapanKetenaganukliran;
d. pengelolaan limbah
radioaktif dan bahan bakar nuklir bekas; dan e. kepentingan nasional.
2. Rencana induk
ketenaganukliran disusun paling sedikit memuat arah kebijakan, prioritas utama, kerangka kebijakan, dan strategi penguatan kontribusi kandungan lokal dalam industri nuklir
3. Rencana induk
Ketenaganukliran disusun oleh Menteri berdasarkan masukan dari lembaga pemerintah yang membidangi pelaksanaan Ketenaganukliran dan lembaga pemerintah yang membidangi pengawasan Ketenaganukliran.
4. Menteri dalam menyusun
rencana induk Ketenaganukliran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait.
Note :
a. Menteri Ristekdikti dan
Kepala BATAN dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai riset dan pengembangan iptek nuklir untuk kesejahteraan
b. Kepala BAPETEN dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai keselamatan, keamanan, dan garda aman nuklir
c. Menko Polhukkam, Kepala
BATAN, Kepala BAPETEN, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Luar Negeri ( dan ….) dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai kebijakan politik, hukum, dan keamanan terkait nuklir
d. Menteri Kesehatan, Kepala BATAN, dan Kepala BAPETEN (dan …) dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai kebijakan di bidang kesehatan terkait nuklir
e. Menteri ESDM, Kepala
BATAN, dan Kepala BAPETEN (dan …) dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai kebijakan di bidang energi dan sumber daya mineral terkait nuklir
f. Menteri Lingkungan Hidup
dan Kesehatan, Kepala BATAN, dan Kepala BAPETEN (dan …) dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai kebijakan di bidang lingkungan hidup dan limbah terkait nuklir
g. Kepala BMKG, Kepala
BATAN, dan Kepala BAPETEN (dan …) dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai kebijakan di bidang pemantauan radioaktivitas
h. Menteri Perhubungan dan
- 8 - Kepala BAPETEN (dan …) dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai kebijakan di bidang transportasi terkait bahan nuklir/zat radioaktif.
i. Menteri Pekerjaan Umum
dan Kepala BAPETEN (dan …) dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai kebijakan di bidang bangunan khusus terkait nuklir
j. Menteri Keuangan dan
jajarannya dengan Kepala BAPETEN (dan …) dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai kebijakan di bidang pertanggungjawaban kerugian nuklir
k. Menteri Perdagangan
dengan Kepala BAPETEN (dan …) dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai kebijakan di bidang ekspor – impor terkait nuklir.
l. Menteri Perindustrian
dengan Kepala BAPETEN (dan …) dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai kebijakan di bidang pengawasan industri nuklir.
m. Kementerian/Lembaga/Pe
mda terkait dengan Kepala BAPETEN dan/atau Kepala BATAN (dan
…) dalam hal saran dan pertimbangan kepada Pemerintah (Presiden dan pembantunya) mengenai kebijakan di bidang tertentu seperti sertifikasi produk, sertifikasi personil atau SDM terkait nuklir, RTRW, hilirisasi, HAKI, BUMN, BUMD, produk pangan, dan lain-lain yang perlu dituangkan dalam Peraturan Presiden tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Keselamatan Nuklir, dan/atau Peraturan Pemerintah tentang Rencana Induk Ketenaganukliran 2017 – 2050 yang akan diamanahkan dalam RUU Penggantian UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran. (Penjabaran secara rinci perlu dituangkan di Naskah Akademik Penyusunan RUU Penggantian UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran)
4. Rencana induk
Ketenaganukliran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Note:
Pengamanahan pembentukan peraturan pemerintah yang lebih dari sekali dalam UU ini dimaksudkan hanya dalam bentuk 1 peraturan pemerintah.
BAB III
PENYELENGGARAAN KETENAGANUKLIRAN Bagian Kesatu
Umum Pasal 7 Penyelenggaraan Ketenaganukliran meliputi:
a. Penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi
b. Pemanfaatan; dan
c. Pengawasan.
Bagian Kedua
Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir
- 9 - Pasal 8
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a mencakup:
a. penelitian, pengembangan,
dan pengkajian ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir; dan Note:
penjelasan Pasal 8 huruf a:
Aktifitas penelitian, pengembangan, dan pengkajian mencakup kegiatan clearing house teknologi nuklir, pembuatan desain instalasi nuklir, memberi dukungan teknis dalam rangka pemanfaatan tenaga nuklir kepada institusi lain, pembinaan litbang, dan sertifikasi personil.
b. eksplorasi mineral
radioaktif.
Pasal 9
(1) Perumusan, pembinaan
dan penilaian kesesuaian standar ketenaganukliran dilakukan oleh Badan Pelaksana untuk melindungi kepentingan masyarakat, lingkungan, dan meningkatkan daya saing produk nasional.
(2) Penetapan standardisasi
ketenaganukliran dilakukan oleh lembaga yang menangani urusan standardisasi nasional.
(3) Pemberlakuan
standardisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh lembaga yang berwenang berkoordinasi dengan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan di bidang pelaksanaan ketenaganukliran.
(4) Standar ketenaganukliran
yang telah diberlakukan, wajib diimplementasikan oleh setiap pemangku kepentingan.
(5) Pengawasan terhadap
implementasi standardisasi ketenaganukliran dilakukan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan di bidang pengawasan ketenaganukliran.
Pasal 10
(1) Pemerintah melakukan
standardisasi ketenaganukliran untuk melindungi konsumen nasional, meningkatkan mutu dan daya saing produk nasional ketenaganukliran.
(2) Standardisasi
ketenaganukliran mencakup perencanaan, perumusan, penetapan, otorisasi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kesesuaian.
(3) Ketentuan standardisasi
ketenaganukliran diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga Pemanfaatan
Pasal 11
Pemanfaatan tenaga nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
- 10 - dilaksanakan untuk:
a. menjamin kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat;
b. menumbuhkembangkan
iklim kompetitif dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, industri nuklir serta dunia usaha secara nasional maupun internasional;
c. menerapkan budaya
keselamatan, keamanan, dan garda aman di bidang ketenaganukliran;
d. memastikan prioritas
kepentingan nasional;
e. peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat;
f. memastikan manfaat lebih
besar dari risiko radiasi;
g. optimasi antara tingkat
keselamatan risiko radiasi yang dapat diterima;
h. penerapan pembatasan
risiko radiasi;
i. meningkatkan mutu,
efisiensi produksi, memperlancar transaksi perdagangan, mewujudkan persaingan usaha yang sehat dan transparan di bidang Ketenaganukliran;
dan
j. menjamin penggunaan
nuklir yang mempertimbangkan perlindungan generasi yang akan datang.
Pasal 12
(1) Pemanfaatan tenaga nuklir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a meliputi kegiatan:
a. penambangan mineral radioaktif;
b. produksi bahan baku untuk pembuatan bahan bakar nuklir;
c. produksi bahan bakar nuklir;
d. pengangkutan, ekspor, impor zat radioaktif dan/atau bahan nuklir;
e. penjualan dan distribusi zat radioaktif dan/atau bahan nuklir;
f. pembangunan dan pengoperasian instalasi nuklir;
g. pembangunan dan pengoperasioan fasilitas radiasi dan zat radioaktif;
h. dekomisioning instalasi nuklir;
i. penutupan fasilitas radiasi;
j. produksi radioisotop;
k. aplikasi sumber radiasi pengion; dan
l. pengelolaan limbah radioaktif dan bahan bakar nuklir bekas.
(2) Dalam rangka
pemanfaatan tenaga nuklir yang berkelanjutan, Pemerintah mendorong penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi nuklir.
(3) Penguatan pertumbuhan
ketenaganukliran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
- 11 - Pasal 13
(1) Hasil penelitian dan
pengembangan tenaga nuklir ditujukan untuk penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan inovasi dan difusi teknologi serta memperkuat tarikan pasar bagi hasil kegiatan.
(2) Penguatan pertumbuhan
ketenaganukliran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
Bagian Keempat Pengawasan
Pasal 14
(1) Setiap pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi nuklir dan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki otorisasi dari Badan Pengawas
Note:
Yang dimaksud dengan otorisasi mencakup: penerbitan, perpanjangan, perubahan, pembekuan, dan pencabutan izin (termasuk persetujuan dan registrasi).
Pengawasan dilaksanakan dengan tidak terlalu membebani (over regulated) yaitu dengan menerapkan pendekatan berperingkat melalui registrasi dan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai otorisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Setiap personil tertentu
yang terlibat dalam kegiatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir dan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Badan Pengawas.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
Pengawasan tenaga nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c ditujukan untuk:
a. menjamin keselamatan
dan kesehatan pekerja dan anggota masyarakat dari bahaya radiasi serta perlindungan terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. menjamin kesejahteraan
dan ketentraman masyarakat;
c. menjamin keamanan di
bidang ketenaganukliran;
- 12 -
d. menjamin terpenuhinya
persyaratan keselamatan dan keamanan fasilitas radiasi dan fasilitas nuklir; dan;
e. meningkatkan kesadaran
hukum pengguna dan mewujudkan budaya keselamatan, budaya keamanan dan budaya garda- aman di bidang ketenaganukliran;
Pasal 17
Pengawasan terhadap keselamatan dan keamanan sumber radiasi pengion serta kegiatan dan fasilitas yang terkait nuklir dilaksanakan oleh Badan Pengawas.
Pasal 18
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilaksanakan melalui:
a. pembentukan peraturan;
pengembangan peraturan;
b. reviu dan penilaian;
c. otorisasi;
d. pelaksanaan inspeksi; dan
e. penegakan hukum
(enforcement) Note :
Yang dimaksud dengan otorisasi mencakup: penerbitan, perpanjangan, perubahan, pembekuan, dan pencabutan izin (termasuk persetujuan dan registrasi)
Pasal 19
Pengembangan peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Huruf a dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan ketenaganukliran tentang keselamatan dan keamanan yang meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan, dan pengesahan.
Pasal 20
Badan Pengawas menyusun dan menetapkan peraturan dan pedoman untuk menentukan:
a. persyaratan dan kriteria
keselamatan; dan
b. persyaratan dan kriteria
keamanan,
melalui penilaian, pengambilan keputusan dan tindakan pengawasan.
Note:
Badan Pengawas menyusun dan menetapkan peraturan dan pedoman untuk menentukan persyaratan dan kriteria keselamatan dan keamanan terkait dengan penilaian, pengambilan keputusan dan tindakan.
Peraturan dan pedoman yang dimaksud dinilai dan dimutakhirkan dengan mempertimbangkan standar teknis dan standar keselamatan internasional yang relevan. Badan Pengawas melibatkan partisipasi masyarakat dan
- 13 - mengimplementasikannya dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran.
Pasal 21
(1) Penilaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 huruf b dilaksanakan terhadap terhadap informasi yang relevan dengan fasilitas dan kegiatan dari pihak yang mengajukan otorisasi untuk memenuhi persyaratan dan kriteria keselamatan dan keamanan.
(2) Penilaian terhadap
informasi yang relevan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sebelum pemberian otorisasi, selama masa operasi fasilitas atau kegiatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
(3) Penilaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendekatan berperingkat berdasarkan potensi risiko radiasi yang ditimbulkan fasilitas atau kegiatan.
Pasal 22
(1) Setiap orang atau badan
yang melaksanakan kegiatan:
a. pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi nuklir; dan
b. pemanfaaan tenaga nuklir,
wajib mendapatkan otorisasi dari Badan Pengawas kecuali dalam hal tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.
(2) Otorisasi diberikan
berdasarkan tingkat risiko pemanfaatan tenaga nuklir.
(3) Otorisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk meliputi dapat dalam bentuk:
a. registrasi;
b. persetujuan; dan/atau
c. izin.
(4) Syarat-syarat dan tata
cara otorisasi, sebagimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 23 (1) Setiap otorisasi dikenakan biaya.
(2) Besar biaya otorisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 24
1) Setiap petugas yang
melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin dari Badan Pengawas
2) Setiap petugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki kompetensi (1) Setiap petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. petugas proteksi radiasi;
- 14 -
b. operator irradiator;
c. petugas perawatan
irradiator;
d. petugas dosimetri
irradiator;
e. radiografer industri tingkat
I;
f. radiografer industri tingkat
II;
g. operator produksi
radioisotop;
h. petugas perawatan
produksi radioisotop
i. operator fasilitas nuklir;
j. supervisor fasilitas nuklir:
k. petugas perawatan fasilitas
nuklir;
l. petugas inventori bahan
nuklir:
(2) Persyaratan dan tata cara penerbitan izin petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 25
(1) Inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d dilaksanakan terhadap fasilitas dan kegiatan untuk verifikasi kesesuaian persyaratan peraturan dengan kondisi yang disyaratkan dalam pemberian otoritas.
(2) Inspeksi terhadap fasilitas dan kegiatan meliputi inspeksi berkala dan inspeksi sewaktu-waktu, dengan pemberitahuan dan tanpa pemberitahuan.
(3) Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendekatan berperingkat dengan berdasarkan tingkat risiko radiasi yang ditimbulkanfasilitas dan kegiatan.
Pasal 26
(1) Inspeksi terhadap instalasi
nuklir dan instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion dilaksanakan oleh Badan Pengawas
(2) Badan Pengawas
melakukan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut tujuan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ….
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan
pengawasan, kepala Badan Pengawas menetapkan inspektur nuklir.
(2) Dalam melaksanakan
tugasnya, inspektur nuklir dapat melakukan koordinasi dengan pihak yang dianggap perlu dalam menopang fungsi pengawasan, dan pemegang izin dilarang menghalangi pelaksanaan tugas inspeksi nuklir.
- 15 -
(3) Inspektur nuklir yang
telah mengikuti dandinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan fungsional di bidang penyidikan, yang diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia bersama dengan Badan Pengawas, dapat diangkat menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(4) Inspektur nuklir sebelum
diangkat menjadi PenyidikPegawai Negeri Sipil diajukan oleh Kepala Badan Pengawas kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(5) Pengangkatan dan
pemberhentian Penyidik Pegawai Negeri Sipil mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(6) Ketentuan lebih lanjut
mengenai inspeksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Pemegang izin wajib
menetapkan program kesiapsiagaan nuklir dalam rangka penanggulangan kedaruratan nuklir dan radiologi.
(2) Program kesiapsiagaan
nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan hasil kajian potensi bahaya radiologi sesuai dengan kategori bahaya radiologi.
Pasal 29
Kedaruratan nuklir dan radiologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 terdiri atas:
a. kedaruratan nuklir dan
radiologi tingkat instalasi atau fasilitas
b. kedaruratan nuklir dan
radiologi tingkat provinsi; dan
c. kedaruratan nuklir dan
radiologi tingkat nasional.
Pasal 30
Ketentuan kesiapsiagaan, kondisi kedaruratan nuklir dan radiologi, dan penanggulangan kedaruratan nuklir dan radiologi ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
BAB IV KELEMBAGAAN
Pasal 31
Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketenaganukliran Pasal 32
(1) Penyelenggaraan
ketenaganukliran berupa pemanfaatan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan huruf b dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
(2) Badan Pelaksana berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang mengoordinasikan.
- 16 -
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pembentukan organisasi, tugas, dan fungsi Badan Pelaksana diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 33
Dalam hal menjamin keberlangsungan pemenuhan kebutuhan masyarakat di bidang nuklir, Badan Pelaksana dapat melaksanakan tugas dan fungsi pemerintah dalam pelayanan di bidang nuklir.
Pasal 34
(1) Pemerintah
menyelenggarakan pengendalian dampak radiasi alam untuk melindungi keselamatan masyarakat dari potensi bahaya radiasi
(2) Ketentuan mengenai
pengendalian radiasi alam diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah Pasal 35
(1) Penyelenggaraan
ketenganukliran berupa pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilaksanakan oleh Badan Pengawas
(2) Badan Pengawas berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang mengoordinasikan
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pembentukan organisasi, tugas, dan fungsi Badan Pengawas diatur dengan Peraturan Presiden
Pasal 36
(1) Penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi nuklir berupa penelitian dan pengembangan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a dapat di laksanakan oleh BUMN, BUMD, perguruan tinggi, koperasi, dan swasta.
(2) Pelaksanaan penelitian
dan pengembangan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat strategisharus bekerjasama dengan Badan Pelaksana.
Pasal 37
(1) Pemanfaatan tenaga nuklir
untuk industri dapat dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, Swasta termasuk Koperasi.
(2) Pemanfaatan oleh Swasta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk: …
a. produksi radioisotop
b. pemanfaatan sumber radiasi pengion; dan c. pembangkit listrik tenaga nuklir.
BAB V PENGUSAHAAN
Bagian Kesatu Pengusahaan
Pasal 38
- 17 -
(1) Pengusahaan tenaga
nuklir dikelompokkan atas:
a. pertambangan mineral
radioaktif
b. pembangunan,
pengoperasian, dan dekomisioning instalasi nuklir
c. ekspor, impor, pengayaan,
produksi, dan pengangkutan bahan nuklir atau bahan bakar nuklir
d. pembangunan,
pengoperasian, dan penutupan fasilitas radiasi; dan
e. ekspor, impor, pengalihan,
produksi, dan pengangkutan zat radioaktif dan/atau pembangkit radiasi pengion untuk keperluan medik dan nonmedik, serta barang konsumen yang mengandung zat radioaktif.
(2) Setiap pengusahaan
tenaga nuklir wajib memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, dan garda-aman
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai keselamatan, keamanan, dan garda-aman pengusahaan tenaga nuklir diatur dalam peraturan pemerintah
Pasal 39
(1) Pengusahaan tenaga
nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a sampai huruf c hanya dapat dilaksanakan oleh BUMN dan/atau BUMD
(2) Pengusahaan tenaga
nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf d dan huruf e dilaksanakan oleh badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik berupa BUMN, BUMD, dan/atau badan usaha swasta.
Pasal 40
(1) Setiap pengusahaan
tenaga nuklir wajib memiliki izin dari Badan Pengawas.
(2) Perizinan terhadap
pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara bertingkat sesuai risiko dan/atau besaran paparan radiasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai perizinan pengusahaan tenaga nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Pasal 41
(1) BUMN, BUMD, dan/atau
swasta dapat bekerjasama dalam melaksanakan pengusahaan tenaga nuklir
(2) Pengusahaan
pembangunan reaktor nuklir yang berupa pembangkit listrik tenaga
- 18 - nuklir, ditetapkan oleh pemerintah
(3) Pengusahaan
pembangunan reaktor nuklir yang berupa pembangkit listrik tenaga nuklir diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah
Pasal 42
(1) Pengusahaan
pertambangan mineral radioaktif dikelompokkan atas:
a. pertambangan mineral
radioaktif sebagai produk utama; dan
b. pertambangan mineral
radioaktif sebagai produk ikutan.
(2) Pengusahaan
pertambangan mineral radioaktif pada tahapan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral radioaktif yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan dilaksanakan oleh BUMN dan/atau BUMD.
(3) Dalam melakukan
pengusahaan pertambangan mineral radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BUMN dan/atau BUMD harus memperoleh penetapan dari BATAN.
(4) Dalam melakukan
pengusahaan pertambangan mineral radioaktif pada tahapan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian menjadi bahan nuklir, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang, BUMN dan/atau BUMD dapat bekerjasama dengan swasta
(5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai komoditas tambang ke dalam suatu golongan pertambangan mineral radioaktif atau sebagai produk ikutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah
Pasal 43
(1) Ekspor zat radioaktif dapat
dilakukan oleh BUMN, badan swasta, dan atau badan lainnya yang telah terdaftar dan ditetapkan sebagai pengekspor oleh Menteri yang membidangi urusan perdagangan.
(2) Ekspor zat radioaktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan setelah pengimpor memperoleh persetujuan dari badan pengawas ketenaganukliran negara pengimpor.
(3) Pengekspor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab terhadap zat radioaktif yang di ekspornya
Pasal 44
(1) Setiap orang yang
mengekspor bahan nuklir dan/atau zat radioaktif wajib mendapatkan
- 19 - sertifikat pengguna akhir terlebih dahulu yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah negara pengekspor.
(2) Sertifikat pengguna akhir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. pernyataan bahwa bahan
nuklir dan/atau zat radioaktif hanya akan digunakan untuk tujuan yang tidak dilarang;
b. pernyataan bahwa bahan
nuklir dan/atau zat radioaktif tidak akan ditransfer kembali kepada pihak lain;
c. jenis dan jumlah bahan
nuklir dan/atau zat radioaktif yang diterima oleh pengguna terakhir;
d. penggunaan akhir bahan
nuklir dan/atau zat radioaktif yang akan ditransfer; dan
e. nama dan alamat lengkap
pengguna akhir bahan nuklir dan/atau zat radioaktif.
(3) Dalam hal importir bukan
pengguna akhir, importir yang bersangkutan wajib mencantumkan nama dan alamat lengkap pengguna akhir bahan nuklir dan/atau zat radioaktif yang dimaksud.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai ekspor dan impor bahan nuklir dan zat radioaktif diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 45
Pemerintah menetapkan dan melaksanakan program persiapan pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir yang pertama
BAB VI
KESELAMATAN NUKLIR Pasal 46
Kegiatan yang berkaitan dengantenaga nuklirwajibmenerapkan keselamatannuklir untuk menjamin kesehatan pekerja, ketenteraman masyarakat, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Pasal 47
(1) Dalam pembangunan dan
pengoperasian PLTN pertama, pemerintah dapat memfasilitasi penyiapan tapak PLTN.
Note:
Penjelasan ayat (1):
PLTN tahap pertama dimaksud merupakan rumpun teknologi PLTN seperti BWR, PWR, HTGR, FBR, HWR, MSR, dan lain-lain.
Pemerintah dapat memfasilitasi penyiapan tapak PLTN sebagai bentuk kontribusi pemerintah untuk memfasilitasi pembangunan dan pengoperasian PLTN.
- 20 - Setiap teknologi opsi nuklir disandingkan dgn partisipasi/ konsolidasi nasional, setelah penilaian holistik dan dijustifikasi oleh pemerintah.
Setiap penerapan teknologi baru dipengaruhi oleh pondasi-pondasi yang dibangun sebelumnya oleh suatu negara.
Sebagai contoh adalah teknologi BWR yang dijustifikasi di Inggris (dikeluarkan oleh Perdana Menteri Inggris)
(2) Pembangunan dan
pengoperasian PLTN mempertimbangkan rencana tata ruang dan wilayah nasional.
(3) Pembangunan PLTN
memperhatikan perencanaan yang matang terhadap desain PLTN untuk:
a. mencegah terjadinya
kecelakaan parah;
b. mencegah konsekuensi
radiologis yang tidak dapat diterima terhadap publik dan lingkungan hidup, dalam suatu kecelakaan parah;
c. mitigasi konsekuensi
kecelakaan parah untuk menghindari atau meminimalkan kontaminasi radiasi di luar tapak.
(4) Pembangunan PLTN tahap
konstruksi memperhatikan:
a. kepastian kontrak, kemampuan rekayasa, kemampuan pengadaan, dan kesiapan konstruksi;
b. kepastian pendanaan, metode pembiayaan, dan jadwal;
c. kesiapan sumber daya manusia dan tingkat kandungan dalam negeri;
d. perencanaan kemampuan industri dalam negeri; dan
e. integrasi program konstruksi dengan kebijakan, prosedur, budaya keamanan, budaya keselamatan, koordinasi antar organisasi terkait proyek, pemenuhan persyaratan desain dan proses pengadaan, dan metode konstruksi.
(5) Komisioning PLTN
dilaksanakan untuk memastikan:
a. keselamatan operasi
menjadi prioritas utama;
b. PLTN dikonstruksi sesuai
dengan tujuan desain dan dioperasikan dengan selamat;
c. uji secara menyeluruh
dilakukan sehingga PLTN memenuhi persyaratan desain, dalam hal PLTN dimodifikasi.
(6) Pengoperasian PLTN
dilaksanakan dengan memastikan:
a. semua tujuan dan prinsip
keselamatan terpenuhi;
- 21 -
b. pemegang Izin
melaksanakan kajian keselamatan sistematis terhadap PLTN sesuai persyaratan badan pengawas selama umur operasi PLTN dan memperhitungkan pengalaman operasi dan informasi terkait keselamatan yang signifikan dari berbagai sumber.
c. pemegang Izin menetapkan
dan melaksanakan penilaian program manajemen kecelakaan secara berkala;
d. pemegang Izin
menerapkan prinsip pertahanan berlapis
(7) Dekomisioning PLTN
dilaksanakan dengan memastikan:
a. Proses dekomisioning
dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan keselamatan;
b. Dilaksanakan dengan cara
yang dapat diterima dan mendukung fungsi lingkungan hidup.
(8) Untuk menjamin
keselamatan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin wajib:
a. bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan instalasi dan bahan nuklir, dan keselamatan fasilitas radiasi dan zat radioaktif;
b. menetapkan dan mempertahankan level keselamatan pada tingkat paling tinggi terhadap risiko radiasi;
c. menerapkan prinsip justifikasi, optimisasi, pembatasan, dan pertahanan berlapis (defence in-depth);
d. menjamin masyarakat, dan lingkungan terhindar dari bahaya radiasi di masa sekarang dan masa mendatang;
e. melakukan pencegahan dan mitigasi terhadap kecelakaan nuklir atau kecelakaan radiasi;
f. bertanggung jawab terhadap dosis radiasi yang diterima oleh pekerja, pasien, dan anggota masyarakat.
(9) Ketentuan mengenai
keselamatan nuklir diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI Pasal 48
(1) Setiap orang atau badan
hukum yang memanfaatkan tenaga nuklir dan fasilitas radiasi wajib bertanggung jawab terhadap proteksi dan keselamatan radiasi.
(2) Tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. membangun dan
memelihara kepemimpinan dan manajemen yang efektif untuk proteksi dan keselamatan radiasi dalam pemanfaatan tenaga nuklir dan fasilitas radiasi;
- 22 -
b. membangun dan
memelihara kompetensi;
c. menyediakan pelatihan
dan informasi yang memadai;
d. mengembangkan prosedur
dan penatalaksanaan untuk memelihara keselamatan dan keamanan;
e. memverifikasi desain dan
kualitas fasilitas dan kegiatan; dan
f. memastikan pengendalian
terhadap seluruh sumber radiasi pengion atau bahan nuklir serta limbah radioaktif yang dihasilkan
Pasal 49
Setiap pemanfaatan tenaga nuklir dan fasilitas radiasi wajib didasarkan pada prinsip:
a. justifikasi;
b. optimisasi proteksi; dan
c. limitasi risiko.
Pasal 50
Justifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a harus dapat membuktikan bahwa pemanfaatan tenaga nuklir dan fasilitas radiasi memberikan nilai manfaatlebih besar daripada risiko yang ditimbulkan;
Note:
Penjelasan: Yang dimaksud dengan manfaat adalah mencakup berbagai kepentingan umum
Pasal 51
(1) Optimisasi proteksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b harus mampu menyediakan tingkat tertinggi terhadap keselamatan radiasi.
(2) Optimisasi proteksi dan
keselamatan radiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhitungkan faktor ekonomi dan sosial.
Pasal 52
Limitasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf c harus diterapkan untuk membatasi risiko yang diterima pekerja dan masyarakat.
Pasal 53
Prinsip justifikasi, optimisasi proteksi dan limitasi risiko diatur dalam peraturan pemerintah.
BAB VIII PENGANGKUTAN
Bagian Kesatu
Zat Radioaktif dan Bahan Nuklir Pasal 54
Pengangkutan zat radioaktif dan bahan nuklir wajib memenuhi persyaratan keselamatan radiasi dan keamanan nuklir.
Pasal 55
(1) Pemerintah dapat
- 23 - menolak akses pengangkutan bahan nuklir ke wilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah.
(2) Pengangkutan Zat
Radioaktif adalah pemindahan zat radioaktif yang memenuhi ketentuan teknis Keselamatan Radiasi dan teknis Keamanan Dalam Pengangkutan Zat Radioaktif, dari suatu tempat ke tempat lain melalui jaringan lalu lintas umum, dengan menggunakan sarana angkutan darat, air, atau udara (PP 58/2015)
(3) Fasilitas nuklir yang akan
memasuki wilayah negara kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki dokumen notifikasi dari pemerintah.
Pasal 56
(1) Sebelum pelaksanaan
pengangkutan, Pengirim wajib mendapatkan persetujuan pengiriman dari BAPETEN.
(2) Pengirim dan Penerima
wajib memiliki izin pemanfaatan tenaga nuklir.
(3) Bahan nuklir dan zat
radioaktif yang akan masuk ke wilayah negara kesatuan Republik Indonesia untuk tujuan transit melalui dan/atau singgah di daerah pabean NKRI dengan atau tanpa mengganti sarana pengangkutan, wajib menyampaikan permohonan notifikasi pelaksanaan pengangkutan kepada badan pengawas.
Pasal 57
(1) Pemindahan bahan nuklir
dan zat radioaktif tertentu dapat dikecualikan dari pemenuhan ketentuan keselamatan dan keamanan dalam pengangkutan bahan nuklir dan zat radioaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal …… dan persetujuan pengiriman sebagaimana dimaksud dalam Pasal …….
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pemindahan bahan nuklir dan zat radioaktif tertentu terhadap pengecualian dari pemenuhan ketentuan keselamatan dan keamanan dalam pengangkutan bahan nuklir dan zat radioaktif diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 58
(1) 4 poin keselamatan dan
keamanan pengangkutan ...
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai bungkusan diatur dengan Peraturan Pemerintah ...
Pasal 59
Penolakan kapal asing nuklir masuk Indonesia……
Pasal 60
(1) Ketentuan lebih lanjut
mengenai persyaratan keselamatan dan keamanan dalam pengangkutan bahan nuklir dan zat radioaktif dan persetujuan pengiriman diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
- 24 - Penjelasan:
- Yang dimaksud dengan
bahan nuklir zat radioaktif tertentu adalah bahan nuklir dan zat radioaktif daya sebar rendah.
- Yang dimaksud dengan
bungkusan tertentu adalah bungkusan yang berisi zat radioaktif daya sebar rendah
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai bungkusan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DAN BAHAN BAKAR NUKLIR BEKAS
Pasal 61
(1) Pengelolaan limbah
radioaktif dan bahan bakar nuklir bekas dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup.
(2) Limbah radioaktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikelola berdasarkan klasifikasi limbah radioaktif
(3) Klasifikasi Limbah
Radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. limbah radioaktif yang
dikecualikan
b. limbah radioaktif berumur
paruh sangat pendek
c. limbah radioaktif tingkat
sangat rendah;
d. limbah radioaktif tingkat
rendah
e. limbah radioaktif tingkat
sedang; dan
f. limbah radioaktif tingkat
tinggi.
Pasal 62 Setiap penghasil limbah radioaktif yang meliputi:
a. limbah radioaktif tingkat
rendah;
b. limbah radioaktif tingkat
sedang; dan
c. limbah radioaktif tingkat
tinggi,
wajib melakukan pengolahan dan/atau penyimpanan limbah radioaktif.
- 25 - Pasal 63
(1) Pengelolaan Limbah
Radioaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) meliputi tahap:
a. prapembuangan limbah
radioaktif; dan/atau
b. pembuangan limbah
radioaktif.
(2) Tahap prapembuangan
limbah radioaktif sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 ayat (1) huruf a meliputi kegiatan:
a. prapengolahan;
b. pengolahan
c. pengondisian; dan/atau
d. pengangkutan.
Pasal 64
(1) Penghasil limbah
radioaktif bertanggung jawab melakukan pengelolaan limbah radioaktif pada tahap prapembuangan.
(2) Dalam melaksanakan
tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghasil limbah wajib paling kurang melaksanakan kegiatan prapengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf a.
(3) Pengelolaan limbah
radioaktif pada tahap prapembuangan untuk kegiatan pengolahan, pengkondisian, pengangkutan dan/atau penyimpanan sebagaimana dimakud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf d, dapat dilaksanakan oleh Penghasil Limbah Radioaktif sendiri atau diserahkan kepada pengelola limbah radioaktif.
(4) Penghasil limbah yang
melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapatkan izin pengelolaan limbah radioaktif pada tahap prapembuangan dari BAPETEN.
Pasal 65
(1) Pengelola limbah radioaktif
sebagaimaan dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) meliputi:
a. BATAN; dan
b. instansi lain.
(2) Pengelola limbah radioaktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin pengelolaan limbah radioaktif dari BAPETEN.
(3) Instansi lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa BUMN, BUMD, dan badan hukum swasta.
Pasal 66
Kegiatan pembuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal …. hanya boleh dilakukan oleh BATAN.
Pasal 67
(1) Penghasil limbah atau
pengelola limbah radioaktif dapat melakukan penggunaan kembali dan/atau mendaur ulang limbah radioaktif.
- 26 -
(2) Penggunaan kembali
dan/atau daur ulang limbah radioaktif dilaksanakan berdasarkan persetujuan dari Bapeten.
Pasal 68
(1) Penyimpanan limbah
radioaktif dan bahan bakar nuklir bekas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 46 ayat (1) dikenakan biaya.
(2) Besar biaya penyimpanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 69
(1) Pengangkutan dan
penyimpanan limbah radioaktif dan bahan bakar nuklir bekas wajib memperhatikan keselamatan pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup, serta keamanan sumber radioaktif dan keamanan nuklir.
(2) Pengirim sebelum
melaksanakan pengangkutan limbah radioaktif dan/atau bahan bakar nuklir bekas dari negara asal ke negara tujuan dengan melalui dan/atau singgah di daerah pabean Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan atau tanpa mengganti sarana pengangkutan wajib mendapat persetujuan dari Kepala BAPETEN.
(3) Pengaturan mengenai
pengelolaan sumber radioaktif yang tidak digunakan (disused radioactive sources), dan persetujuan penggunaan kembali dan/atau daur ulang sumber radioaktif bekas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
(1) Setiap orang atau badan
dilarang memasukkan Limbah Radioaktif yang berasal dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia..
(2) Larangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk Limbah Radioaktif yang berasal dari zat radioaktif yang diproduksi di dalam negeri.
Pasal 71
(1) Pengiriman Limbah
Radioaktif dan/atau Bahan Bakar Nuklir Bekas dari negara asal ke negara tujuan dengan melalui dan/atau singgah di daerah pabean Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan atau tanpa mengganti sarana pengangkutan wajib mendapat persetujuan dari Kepala BAPETEN sebelum melaksanakan pengiriman.
(2) Tata cara untuk
memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PERTANGGUNGJAWABAN NUKLIR Pasal 71
Pemegang Izin wajib bertanggung jawab atas kerugian nuklir yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang terjadi dalam instalasi nuklir tersebut
Pasal 72
- 27 -
(1) Dalam hal terjadi
kecelakaan nuklir selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas, yang bertanggung jawab atas kerugian nuklir yang diderita oleh pihak ketiga adalah pemegang izin pengirim.
(2) Pemegang izin pengirim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengalihkan tanggung jawabnya kepada pemegang izin penerima atau pengusaha pengangkutan, jika secara tertulis telah diperjanjikan.
Pasal 73
(1) Apabila
pertanggungjawaban kerugian nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 melibatkan lebih dari satu pemegang izin dan tidak mungkin menentukan secara pasti bagian kerugian nuklir yang disebabkan oleh tiap-tiap pemegang izin tersebut, kedua pihak pemegang izin tersebut bertanggung jawab secara bersama-sama.
(2) Pertanggungjawaban tiap-
tiap pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi batas jumlah pertanggung-jawabannya.
Pasal 74
Apabila dalam suatu lokasi terdapat beberapa instalasi nuklir yang dikelola oleh satu pemegang izin, tanggung jawab atas setiap kerugian nuklir yang disebabkan oleh setiap instalasi nuklir berada pada pemegang izin tersebut.
Pasal 75
Pemegang izin tidak bertanggung jawab terhadap kerugian nuklir yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang terjadi karena akibat langsung dari pertikaian atau konflik bersenjata internasional atau non-internasional atau bencana alam dengan tingkat yang luar biasa yang melampui batas rancangan persyaratan keselamatan yang telah ditetapkan oleh BAPETEN.
Pasal 76
(1) Apabila pemegang izin
setelah melaksanakan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dapat membuktikan bahwa pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir disebabkan oleh kesengajaan penderita sendiri, pemegang izin tersebut dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk membayar seluruh atau sebagian kerugian yang diderita.
(2) Pemegang izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak untuk menuntut kembali ganti rugi yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga yang melakukan kesengajaan.
Pasal 77
(1) Pertanggungjawaban
pemegang izin instalasi nuklir terhadap kerugian nuklir paling banyak Rp.4.000.000.000.000,- (empat triliun rupiah) untuk setiap kecelakaan nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun untuk setiap pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas.
(2) Besar batas
pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
- 28 - keputusan Presiden.
(3) Jumlah
pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya digunakan untuk pembayaran kerugian nuklir, tidak termasuk bunga dan biaya perkara.
(4) Dalam hal kerugian
nuklir melebihi batas pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah menanggung kerugian tersebut.
Pasal 78
(1) Pemegang Izin wajib
mempertanggungkan pertanggungjawabannya sebesar jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) melalui asuransi atau jaminan keuangan lainnya.
(2) Ketentuan tentang
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi penerima atau pengusaha pengangkutan.
(3) Apabila dalam suatu
lokasi terdapat beberapa instalasi nuklir yang dikelola oleh satu pemegang izin, pemegang izin tersebut wajib mempertanggungkan pertanggungjawabannya untuk setiap instalasi yang dikelolanya.
Pasal 79
(1) Apabila jumlah
pertanggungan berkurang karena telah digunakan untuk membayar kerugian nuklir, pemegang izin wajib menjaga agar jumlah pertanggungan tetap sesuai dengan jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Apabila perjanjian
pertanggungan telah berakhir atau batal karena suatu sebab lain, pemegang izin tersebut wajib segera memperbaharui perjanjian pertanggungannya.
(3) Apabila pemegang izin
belum memperbaharui perjanjian pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan terjadi kecelakaan nuklir, pemegang izin tersebut tetap bertanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56.
Pasal 80
(1) Ketentuan tentang
pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak berlaku bagi instansi pemerintah yang bukan BUMN.
(2) Penggantian kerugian
nuklir akibat kecelakaan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan Presiden.
Pasal 81
(1) Perusahaan asuransi
yang menanggung ganti rugi nuklir yang disebabkan kecelakaan nuklir wajib melakukan pembayaran ganti rugi paling lama 7 (tujuh) hari setelah
- 29 - diterbitkan pernyataan adanya kecelakaan nuklir oleh BAPETEN.
(2) Pernyataan BAPETEN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diterbitkan selambat- lambatnya 3 (tiga) hari sejak terjadinya kecelakaan nuklir.
Pasal 82
(1) Hak menuntut ganti rugi
akibat kecelakaan nuklir kadarluwarsa apabila tidak diajukan dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak diterbitkan pernyataan BAPETEN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(2) Apabila kerugian nuklir
akibat kecelakaan nuklir melibatkan bahan nuklir yang dicuri, hilang, atau ditelantarkan, maka jangka waktu untuk menutut ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dari saat terjadinya kecelakaan nuklir dengan ketentuan jangka waktu ketentuan jangka waktu itu tidak boleh melebihi 40 (empat puluh) tahun terhitung sejak bahan nuklir dicuri hilang atau diselamatkan.
(3) Hak untuk menuntut
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diajukan dalan jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah penderita mengetahui atau patut mengetahui kerugian nuklir yang diderita dan pemegang izin yang bertanggungjawab dengan ketentuan jangka waktu tersebut tidak boleh melebihi jangka waktu yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 83
Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa dan mengadili tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 adalah sebagai berikut:
a. Pengadilan Negeri tempat
kecelakaan nuklir terjadi; atau
b. Pengadilan Negeri Jakarta
pusat dalam hal terjadi kecelakaan nuklir selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas diluar wilayah negara Republik Indonesia
BAB XI
KEAMANAN NUKLIR DAN GARDA-AMAN Bagian Kesatu
Umum
Setiap orang atau badan yang melakukan pemanfaatan sumber radioaktif dan bahan nuklir wajib menerapkan upaya keamanan pada masa sekarang dan yang akan datang.
Pasal 84 Keamanan nuklir bertujuan untuk:
a. melindungi pemanfaatan
instalasi nuklir, zat (sumber) radioaktif, dan bahan nuklirdarikejahatanterhadap keamanan nuklir;
b. mencegah, mendeteksi,
dan merespons kejahatan terhadap keamanan nuklir;
c. mengurangi risiko dan
- 30 - memitigasi dampak radiologi terhadap masyarakat dan lingkungan hidup dalam hal terjadi kejahatan terhadap keamanan nuklir; dan
d. memberikan jaminan
hukum dan memperkuat penguasaan teknologi serta penggunaan zat radioaktif dan bahan nuklir untuk tujuan damai.
Pasal 85 Keamanan nuklir mencakup:
a. Keamanan instalasi nuklir;
b. Keamanan bahan nuklir
dan zat (sumber) radioaktif; dan
c. Keamanan bahan nuklir
dan zat radioaktif diluar pengawasan.
Pasal 86
Keamanan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal ... ayat (1) huruf a dan huruf b menjadi tanggung jawab Pemegang Izin.
Pasal 87
(1) Keamanan instalasi
nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf a terdiri dari:
a. garda-aman; dan
b. proteksi fisik instalasi
dan bahan nuklir.
(2) Pelaksanaan keamanan instalasi
nuklir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tanggung jawab pemegang izin instalasi nuklir.
(3) Garda-aman dan proteksi fisik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selama:
a. pemantauan tapak
sebelum desain dan konstruksi;
b. desain dan konstruksi
c. komisioning dan operasi
d. perubahan garda-aman
dan sistem proteksi fisik;
e. evaluasi keamanan; dan
f. dekomisioning
(4) Ketentuan garda-aman dan proteksi
fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Pasal 88
(1) Keamanan sumber
radioaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal … huruf … terdiri dari upaya keamanan dalam kegiatan:
a. ekspor dan impor
b. penggunaan
c. penyimpanan
- 31 -
d. produksi radioisotop
e. pengelolaan limbah
radioaktif
f. pengangkutan
(2) Upaya keamanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan berdasarkan pendekatan bertingkat
(3) Pendekatan bertingkat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan berdasarkan kategori dan kelompok keamanan sumber radioaktif
(4) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 89
Keamanan nuklir di luar pengawasan dilaksanakan untuk mengembangkan dan menggunakan tenaga nuklir untuk tujuan damai.
Pasal 90
(1) Kejahatan terhadap
keamanan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) meliputi:
a. penyalahgunaan zat
radioaktif atau bahan nuklir;
b. penyalahgunaan bahan
nonnuklir dan peralatan terkait daur bahan bakar nuklir; dan
c. sabotase fasilitas nuklir,
instalasi nuklir, fasilitas radiasi, atau pengangkutan zat radioaktif, pencurian dengan tujuan jahat (malicious act), pengambilan secara paksa zat radioaktif-bahan nuklir.
d. Penyelundupan
(2) Kegiatan penyalahgunaan
bahan nuklir atau zat radioaktif, bahan nonnuklir dan peralatan terkait daur bahan bakar nuklir, dan/atau sabotase fasilitas nuklir, instalasi nuklir, fasilitas radiasi, pengangkutan bahan nuklir dan zat radioaktif termasuk kejahatan terhadap keamanan nuklir.
Pasal 91
(1) Dalam rangka
mewujudkan tujuan keamanan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, diperlukan upaya keamanan nuklir.
(2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua Larangan Pasal 92
(1) Setiap orang dilarang
melakukan penyalahgunaan zat radioaktif
(2) Penyalahgunaan zat
radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tindakan:
a. membuat, menguji coba,
- 32 - atau menggunakan senjata radiologi;
b. memiliki, menguasai,
mengangkut, menyimpan, mentransfer, meneliti, atau mengembangkan senjata radiologi;
c. memproduksi, memiliki,
menyimpan, menggunakan, mentransfer, mengangkut, melakukan ekspor atau impor, atau melaksanakan penelitian dan pengembangan zat radioaktif secara tidak sahdan/atau untuk tujuan menimbulkan kejahatan keamanan nuklir;
d. turut sertapada kegiatan
militansi untuk menggunakan senjata radiologi; atau
e. turut serta, membantu
dan/atau membujuk orang lain dalam kegiatan dimaksud pada huruf a dan huruf b.
Pasal 93
(1) Setiap orang dilarang
melakukan penyalahgunaan bahan nuklir.
(2) Penyalahgunaan bahan
nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tindakan:
a. membuat, menguji coba,
atau menggunakan senjata nuklir;
b. memiliki, menguasai,
menggelarkan, membawa, mengangkut, menyimpan, mentransfer, meneliti, atau mengembangkan senjata nuklir;
c. turut serta pada
persiapan kegiatan militansi untuk menggunakan senjata nuklir;
atau
d. turut serta, membantu
dan/atau membujuk orang lain dalam kegiatan dimaksud pada huruf a dan huruf b.
Pasal 94
(1) Setiap orang dilarang
melakukan penyalahgunaan bahan nonnuklir dan peralatan terkait daur bahan bakar nuklir.
(2) Penyalahgunaan bahan
nonnuklir dan peralatan terkait daur bahan bakar nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tindakan:
a. melakukan penelitian dan
pengembangan yang terkait dengan daur bahan bakar nuklir untuk tujuan pembuatan senjata nuklir;
b. memproduksi, memiliki,
menyimpan, menggunakan, dan mentransfer bahan nonnuklir dan peralatan terkait daur bahan bakar nuklir untuk tujuan pembuatan senjata nuklir; atau
c. melakukan ekspor atau
- 33 - impor bahan nonnuklir dan peralatan terkait daur bahan bakar nuklir untuk tujuan pembuatan senjata nuklir.
Pasal 95
Setiap orang dilarang melakukan sabotase fasilitas nuklir, instalasi nuklir, fasilitas radiasi, atau pengangkutan zat radioaktif.
Pasal 96
Setiap orang dilarang meminta zat radioaktif atau bahan nuklir kepada orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Pasal 97
Setiap orang dilarang memiliki, mengalihkan, dan/atau menggunakan informasi keamanan nuklir untuk tujuan kejahatan terhadap keamanan nuklir.
Pasal 98
Setiap orang dilarang menyediakan pendanaan, sarana, dan prasarana untuk melakukan atau ikut serta dalam melakukan kejahatan terhadap keamanan nuklir.
BAB XII
KERAHASIAAN INFORMASI Pasal 99
(1) Setiap orang wajib
menjaga kerahasiaan informasi keamanan nuklir.
(2) Informasi keamanan
nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi informasi yang dapat:
a. membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
b. merugikan ketahanan nasional;
c. menghambat proses penegakan hukum;
d. membahayakan keselamatan pekerja dan masyarakat;
e. mengancam keamanan fasilitas nuklir, instalasi nuklir, atau fasilitas radiasi;dan/atau
f. mengancam pelaksanaan pengangkutan zat radioaktif
(3) Informasi keamanan
nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki masa retensi yang bersifat permanen dan non permanen.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai rincian informasi keamanan nuklir dan masa retensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
(5) Setiap orang wajib
menjaga kerahasiaan informasi keamanan nuklir.
BAB XIII
KERJA SAMA INTERNASIONAL Pasal 100
(1) Kebijakan keselamatan
dan keamanan nuklir Indonesia dalam hubungannya dengan negara
- 34 - asing, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya dilaksanakan dengan berpedoman kepada politik luar negeri Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan luar negeri, dan perjanjian internasional.
(2) Dengan mengutamakan
kepentingan nasional, pemerintah dapat melakukan kerja sama teknis dengan negara lain dan/atau organisasi internasional dalam rangka keselamatan dan upaya keamanan nuklir.
(3) Penghubung resmi antara
pemerintah Indonesia dengan organisasi-organisasi internasional terkait dengan keselamatan dan keamanan nuklir adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hubungan luar negeri.
BAB XIV
PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesatu
Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Bagian Kedua Pembuktian
Pasal 101
(1) Selain penyidik pejabat
polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengawasan radiasi diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana keselamatan, keamanan, dan garda-aman ketenaganukliran.
(2) Penyidik pejabat pegawai
negeri sipil berwenang:
a. melakukan pemeriksaan
atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang keselamatan, keamanan, dan garda-aman ketenaganukliran;
b. melakukan pemeriksaan
terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang keselamatan, keamanan, dan garda-aman ketenaganukliran;
c. meminta keterangan dan
bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang keselamatan, keamanan, dan garda-aman ketenaganukliran;
d. melakukan pemeriksaan
atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang keselamatan, keamanan, dan garda-aman ketenaganukliran;
e. melakukan pemeriksaan
di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
- 35 - f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran
yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang keselamatan, keamanan, dan garda-aman ketenaganukliran;
g. meminta bantuan ahli
dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang keselamatan, keamanan, dan garda-aman ketenaganukliran;
h. menghentikan
penyidikan;
i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;
j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau
k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
(3) Dalam melakukan
penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Dalam hal penyidik
pejabat pegawai negeri sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan.
(5) Penyidik pejabat pegawai
negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
(6) Hasil penyidikan yang
telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.
Bagian Kedua Pembuktian
Pasal 102
(1) Selain penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia, penyidik pegawai negeri sipil instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kepabeanan, dan penyidik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut diberi wewenang sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan kejahatan terhadap keamanan nuklir.
(2) Penyidik pegawai negeri
sipil dan penyidik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran informasi atau laporan berkenaan dengan kejahatan terhadap keamanan nuklir;
b. meminta keterangan dan barang bukti dari setiap orang berkenaan