• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV. DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP

Analisis deskriptif dan kuadran dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan gambaran mengenai dinamika kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran di kabupaten/kota pesisir pada awal periode (tahun 2005) dan setelah 4 tahun implementasi program PEMP (tahun 2009).

4.1. Dinamika Kabupaten/Kota Pesisir

Sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia merupakan wilayah pesisir atau berbatasan langsung dengan laut. Jumlah kabupaten/kota pesisir di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 307 kabupaten/kota atau sebesar 65,18 persen dari total 471 kabupaten/kota. Mayoritas jumlah penduduk berada di wilayah pesisir yaitu sekitar 145,92 juta jiwa atau sebesar 63,2 persen dari sekitar 230,87 juta jiwa penduduk Indonesia. Banyaknya penduduk di wilayah pesisir membawa konsekuensi konsentrasi penduduk miskin terbanyak berada di kabupaten/kota pesisir. Hasil Susenas 2009 memperlihatkan bahwa dari sekitar 31,76 juta jiwa penduduk miskin, sebanyak 21,36 juta jiwa atau 67,3 persen berada di kabupaten/kota pesisir.

Sebagai upaya mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir, sejak tahun 2001 pemerintah melalui DKP memberikan bantuan kepada masyarakat pesisir yaitu berupa program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Kegiatan PEMP diluncurkan secara khusus untuk mengatasi berbagai permasalahan akibat krisis ekonomi, kenaikan BBM, kesenjangan, kemiskinan, dan rendahnya kapasitas sumberdaya manusia (masyarakat) pesisir serta upaya mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Dalam pelaksanaan program PEMP, tidak semua kabupaten/kota di pesisir mendapatkan stimulus secara berkesinambungan (rutin) setiap tahun. Sesuai petunjuk pelaksanaan program PEMP yang disusun, kabupaten/kota yang mendapatkan bantuan PEMP secara rutin setiap tahun adalah kabupaten/kota pesisir yang secara berkala memberikan laporan

(2)

pertanggungjawaban kegiatan dan progresnya secara baik. Pada tahun 2009, terdapat 307 kabupaten/kota pesisir. Selama periode 2005-2009 ,dari sejumlah kabupaten/kota pesisir tersebut sebanyak 20 kabupaten/kota mendapat program PEMP secara rutin, 257 kabupaten/kota mendapat program PEMP tidak rutin dan 30 kabupaten/ kota pesisir lain yang sama sekali belum pernah mendapat program PEMP (tanpa PEMP).

Tabel 4.1. Dinamika Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan

Kabupaten Pesisir menurut Penerima PEMP, Periode 2005-2009

Indikator Pesisir PEMP

Rutin

Pesisir PEMP Tidak Rutin

Pesisir Lain (Tanpa PEMP)

Total

Pesisir Nasional

Perekonomian

PDRB Konstan (2005)* 2.335 3.634 2.881 3.503 3.775

PDRB Konstan (2009)* 2.915 4.340 3.590 4.201 4.480

Pertumbuhan PDRB 5,70 4,54 5,66 4,64 4,38

Ketimpangan

Gini Rasio (2005) 0,35 0,37 0,32 0,37 0,38

Gini Rasio (2009) 0,32 0,33 0,31 0,33 0,34

Pertumbuhan Gini Rasio -1,75 -2,76 -0,55 -2,66 -2,61

Pengangguran

TPT (2005) 10,60 10,93 10,75 10,90 11,24

TPT(2009) 7,71 7,65 6,37 7,59 7,87

Pertumbuhan Pengangguran -7,64 -8,52 -12,24 -8,63 -8,52 Kemiskinan

PersentaseKemiskinan (2005) 16,24 17,80 20,21 17,78 16,62 PersentaseKemiskinan (2009) 13,83 14,58 16,72 14,64 13,76 Pertumbuhan Kemiskinan -3,95 -4,86 -4,63 -4,74 -4,61

Sumber: BPS (2009), diolah *) dalam juta rupiah

4.1.1. Gambaran Kemiskinan

Persentase kemiskinan di tingkat nasional menunjukkan nilai yang menurun pada periode 2005-2009. Angka kemiskinan Indonesia tahun 2009 tercatat sebesar 13,76 persen, atau mengalami perbaikan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 15,15 persen. Demikian pula dengan kondisi kabupaten/kota pesisir, capaian indikator kemiskinan pesisir juga membaik seperti yang tersaji pada Tabel 4.1.

(3)

Rata-rata persentase kemiskinan kabupaten/kota pesisir menurut penerima PEMP mengalami penurunan dalam kurun waktu 2005-2009, dengan laju penurunan sebesar -3,95% untuk kabupaten/kota pesisir penerima PEMP Rutin. Persentase penurunan penduduk miskin tertinggi adalah kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin dengan laju penurunan penduduk miskin sebesar -4,86% (Tabel 1.).

16.24 13.83

17.80 14.58

20.21

16.72 16.69 14.15

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00

PEMP Rutin PEMP Tidak Rutin

Pesisir Lain Total Pesisir

2005 2009

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.1. Tingkat Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP, Tahun 2005 dan 2009

Gambar 4.1. memberi gambaran tingkat kemiskinan di kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP secara rutin, kabupaten/kota pesisir penerima PEMP tidak rutin dan kabupaten/kota pesisir lain (tanpa bantuan PEMP) dalam rentang waktu 2005-2009. Kabupaten/kota pesisir yang memperoleh program PEMP rutin memiliki persentase penduduk miskin yang paling rendah bila dibandingkan dengan kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin maupun kabupaten/kota pesisir lainnya. Pada tahun 2005, wilayah pesisir yang mendapat program PEMP rutin persentase penduduk miskinnya sebesar 16,24 persen turun menjadi 13,83 persen pada tahun 2009. Sementara itu persentase penduduk miskin di kabupaten pesisir lainnya (kabupaten/kota tanpa PEMP) cukup tinggi, di tahun 2005 sebesar 20,21 persen turun menjadi 16,72 persen di tahun 2009.

(4)

4.1.2. Gambaran Pertumbuhan Ekonomi

Capaian pengentasan kemiskinan kabupaten/kota pesisir diikuti dengan perbaikan pada capaian indikator perekonomian. Pada Tabel 4.1. terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota pesisir (2005-2009) sebesar 4,64 %. Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota pesisir lebih banyak ditopang melalui pendapatan asli daerah dari sektor non migas.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.2. Rata-Rata PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima Program PEMP, Tahun 2005 dan 2009 (jutaan rupiah)

Gambaran rata-rata PDRB di kabupaten/kota pesisir yang memperoleh program PEMP secara rutin, kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin dan kabupaten/kota pesisir lainnya kurun waktu 2005-2009 disajikan pada Gambar 4.2.

Pada gambar tersebut terlihat bahwa kabupaten/kota pesisir yang memperoleh program PEMP rutin memiliki rata-rata PDRB paling rendah bila dibandingkan dengan kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin maupun kabupaten/kota pesisir lainnya (tanpa PEMP). Namun demikian, bila dilihat dari capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi, kabupaten/kota pesisir penerima PEMP rutin mengalami pertumbuhan yang paling tinggi dibanding capaian wilayah pesisir lainnya yaitu tercatat sebesar 5,70 % per tahun. Kondisi ini salah satunya diduga adanya upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program PEMP secara rutin setiap tahun (Tabel 4.1.).

2305 2890

3620 4324

2881

3590 3491 4198

0 1000 2000 3000 4000 5000

PEMP Rutin PEMP Tidak Rutin

Pesisir Lain Total Pesisir

2005 2009

(5)

Rata-rata PDRB di wilayah pesisir baik yang mendapat program PEMP maupun tidak, pada tahun 2009 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2005. Rata-rata PDRB di kabupaten/kota pesisir menerima PEMP tidak rutin cukup tinggi, yaitu sebesar Rp 3,620 milyar pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp 4,324 milyar pada tahun 2009.

4.1.3. Gambaran Ketimpangan Pendapatan

Gambaran ketimpangan pendapatan melalui pendekatan peubah indeks gini di kabupaten/kota pesisir disajikan pada Gambar 4.3. Ketimpangan pendapatan di kabupaten/kota pesisir sejalan dengan kondisi pada level nasional, dimana terdapat tren penurunan tiap tahunnya. Ketimpangan pendapatan menurut Oshima (1970) dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan indeks gini yaitu:

1. ketimpangan rendah apabila indeks gini lebih kecil dari 0,3.

2. ketimpangan sedang apabila indeks gini terletak antara 0,3 - 0,4.

3. ketimpangan tinggi apabila indeks gini lebih besar dari 0,4.

Berdasarkan kiteria tersebut, ketimpangan pendapatan kabupaten/kota pesisir penerima PEMP yang diukur dengan indeks gini tergolong sedang. Indeks gini kabupaten/kota pesisir penerima PEMP rutin pada tahun 2009 sebesar 0,32 lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan pendapatan kabupaten/kota pesisir dan kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin yaitu sebesar 0,33.

0,35

0,32

0,37

0,33

0,32 0,31

0,37

0,33

0,28 0,30 0,32 0,34 0,36 0,38

PEMP Rutin PEMP Tidak Rutin Pesisir Lain Total Pesisir

2005 2009

Sumber: BPS (2009),diolah

Gambar 4.3. Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima Program PEMP Tahun 2005 dan 2009

(6)

4.1.4. Gambaran Pengangguran

Gambaran pengangguran didekati oleh peubah tingkat pengangguran terbuka (TPT). Pada tahun 2005, TPT di ketiga kelompok kabupaten/kota pesisir tidak terlihat perbedaan yang berarti (Gambar 4.4).

10.60 7.71

10.93 7.65

10.75

6.37

11.24 7.87

0.00 5.00 10.00 15.00

PEMP Rutin PEMP Tidak Rutin Pesisir Lain Total Pesisir

2005 2009

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.4. TPT menurut Kabupaten/ Kota Pesisir Penerima Pogram PEMP Tahun 2005 dan 2009

Gambaran pengangguran didekati oleh peubah tingkat pengangguran terbuka (TPT). Pada tahun 2005, TPT di ketiga kelompok kabupaten/kota pesisir tidak terlihat perbedaan yang berarti (Gambar 4.4). TPT kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP rutin pada tahun 2005 sebesar 10,60 persen turun menjadi 7,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu TPT di kabupaten pesisir lainnya (kabupaten/kota tanpa PEMP) mengalami penurunan sebesar 4,38 persen, dimana pada tahun 2005 sebesar 10,75 persen turun menjadi persen 6,37 pada tahun 2009.

Analisis selanjutnya difokuskan pada 20 kabupaten/pesisir penerima PEMP secara rutin, untuk melihat gambaran secara rinci dampak program PEMP.

4.2. Dinamika 20 Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP

Analisis dinamika dan perkembangan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran terhadap kemiskinan di kabupaten/kota pesisir dilakukan untuk melihat dampak implementasi program PEMP yang dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terhadap 20 kabupaten/kota pesisir dalam periode 2005-2009. Tahun 2005 dan 2009 adalah kondisi awal dan akhir periode bantuan PEMP, sehingga dapat diketahui secara sederhana

(7)

implementasi program PEMP di 20 kabupaten/kota pesisir pada kurun waktu 2005-2009.

4.2.1. Dinamika Kemiskinan

Ukuran kemiskinan merupakan tolok ukur keberhasilan pembangunan pemerintah dimana salah satu target RPJMN pemerintah antara lain yaitu penurunan persentase penduduk miskin. Capaian angka kemiskinan di Indonesia cukup menggembirakan, persentase penduduk miskin pada periode 2005 hingga 2009 menunjukkan kecenderungan menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada tahun 2005 sebesar 16,62 persen, sementara itu persentase penduduk miskin pada tahun 2009 tercatat sebesar 13,76 persen. Selama periode tersebut persentase penduduk miskin di Indonesia berkurang dengan laju penurunan sebesar -4,61 persen. Demikian pula penduduk miskin di 20 kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP mengalami penurunan persentase pada periode 2005-2009 dengan laju penurunan sebesar - 0,39 persen seperti yang disajikan pada Tabel 4.1.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.5. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten/

Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Biak Numfor merupakan kabupaten yang memiliki penurunan persentase terbesar dalam periode tahun 2005-2009 yaitu sebesar 10,85 persen (Gambar 4.5).

Meskipun memiliki penurunan persentase terbesar, namun Biak Numfor merupakan kabupaten yang masih memiliki persentase penduduk miskin terbesar

(8)

di tahun 2005 dan 2009 yaitu sebesar 47,36 persen pada tahun 2005 dan 36,51 persen pada tahun 2009. Pada tahun 2005 kabupaten yang memiliki penurunan kemiskinan terkecil selama periode 2005 sampai 2009 adalah Kabupaten Bantul yaitu sebesar 0,57 persen. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam periode ini Kabupaten Bantul mengalami gempa bumi yang cukup parah . Pada tahun 2005 kabupaten yang memiliki persentase kemiskinan terkecil adalah Kota Padang yaitu sebesar 4,41 persen, sedangkan pada tahun 2009 adalah Kabupaten Pontianak sebesar 5,46 persen.

Pada Gambar 4.5 juga terlihat bahwa diantara 20 kabupaten/kota penerima program PEMP, ada 5 (lima) kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk miskin lebih tinggi pada tahun 2009 dibandingkan keadaan tahun 2005. Kabupaten/

kota yang mengalami kenaikan persentase penduduk miskin antara lain Kota Banda Aceh, Kota Padang, Kota Bengkulu, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Minahasa Utara. Kota Bengkulu adalah kota pesisir yang mengalami peningkatan persentase penduduk miskin paling tinggi yaitu sebesar 8,92 persen.

Peningkatan persentase kemiskinan di 5 kabupaten/kota pesisir terlihat wajar pada tahun 2005 hingga tahun 2007. Kota Banda Aceh mengalami penurunan disebabkan cakupan penelitian diluar wilayah yang terkena gempa. Kota Bengkulu terlihat mengalami pelonjakan kemiskinan pada periode 2007-2009 (Gambar 4.6).

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.6. Penduduk Miskin di 5 Kabupaten/Kota Pesisir yang Mengalami Peningkatan Persentase Kemiskinan, Tahun 2005-2009

Terdapat dua hal yang diduga merupakan penyebab tidak tercapainya target penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada RPJM 2005-2009.

Pertama, adanya pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga BBM

(9)

hingga 2 kali lipat pada tahun 2005. Kedua, adanya krisis ekonomi global (external shock) pada tahun 2008 (Alisjahbana, 2010). Selain dua hal yang diduga sebagai penyebab tersebut diatas, kelima kabupaten/kota pesisir tersebut juga merupakan wilayah atau daerah rawan gempa.

4.2.2. Dinamika Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting guna melakukan evaluasi dan koreksi terhadap program pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan pada masa atau periode yang lalu. Dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi digunakan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan, karena dalam penghitungan PDRB atas dasar harga konstan tersebut, pengaruh perubahan harga telah dieliminasi. Dengan demikian pertumbuhan yang dicerminkan merupakan pertumbuhan riil barang dan jasa dalam suatu periode waktu tertentu.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.7. Perbandingan PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 (juta rupiah)

Capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi 20 kabupaten/kota pesisir penerima PEMP cukup tinggi, tercatat beberapa kabupaten/kota memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 4 % (Gambar 4.7). PDRB kabupaten/kota pesisir tertinggi dicapai oleh Kota Padang baik pada tahun 2005 (9.111 juta rupiah)

(10)

maupun tahun 2009 ( 11.346 juta rupiah ). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kota Padang lebih banyak ditopang melalui pendapatan asli daerah dari sektor non migas. Sektor non migas khususnya sektor andalan antara lain bahari dan kelautan mampu memberikan kontribusi penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor bahari dan kelautan sekitar 20 persen dari total PDRB. Implikasi dari hal tersebut bahwa dengan nilai pertumbuhan yang tinggi, Kota Padang berhasil menurunkan ketimpangan pendapatannya.

4.2.3 Dinamika Ketimpangan Pendapatan

Ketimpangan pendapatan atau kesenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang tinggi merupakan dua masalah besar di banyak negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.8. Perbandingan Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Berdasarkan kiteria ketimpangan pendapatan Oshima (1970), ketimpangan distribusi pendapatan di 20 kabupaten/kota pesisir penerima PEMP yang diukur dengan indeks gini masih tergolong sebagai ketimpangan rendah sampai sedang namun tetap perlu diwaspadai karena ada beberapa wilayah memiliki kecenderungan untuk meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 4.8.

Pada Gambar 4.8 juga terlihat bahwa indeks gini di 20 kabupaten/kota pesisir penerima PEMP berada pada kisaran 0,25 hingga 0,36. Pada tahun 2009, indeks gini tertinggi adalah Kabupaten Pontianak sebesar 0,30. Sebaliknya indeks

(11)

gini terendah adalah Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Ciamis dengan nilai indeks gini sebesar 0,25. Kondisi ini berarti ketimpangan distribusi pendapatan di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Ciamis termasuk kategori ketimpangan rendah.

4.2.4. Dinamika Pengangguran

Salah satu isu penting dalam ketenagakerjaan, di samping keadaan angkatan kerja (economically active population) dan struktur ketenagakerjaan adalah isu pengangguran. Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk dari ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia.

Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap masyarakat pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.

Pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga BBM hingga 2 kali lipat pada tahun 2005 dan Krisis ekonomi global pada tahun 2008 diduga merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya target pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada RPJM 2005-2009.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.9. Perbandingan TPT menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

(12)

4.3. Analisis Kuadran

Analisis yang lebih mendalam mengenai gambaran dinamika kemiskinan kabupaten/kota pesisir dapat dilihat dengan membandingkan kondisi pertumbuhan, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan pada tahun 2005 dan 2009, melalui analisis kuadran.

Berdasarkan hasil analisis kuadran diketahui bahwa dari 20 kabupaten/kota penerima PEMP rutin, di tahun 2005 ada sebanyak 10 kabupaten/kota memiliki persentase penduduk miskin dibawah rata-rata, sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 11 kabupaten/kota. Perkembangan ketimpangan pendapatan mengalami perbaikan dalam periode 2005-2009. Jumlah kabupaten yang memiliki indeks gini di atas rata-rata pada tahun 2005 sebanyak 4 kabupaten/kota dan turun menjadi 1 kabupaten di tahun 2009. Pada tahun 2005, jumlah kabupaten/kota yang memiliki pertumbuhan ekonomi (PDRB) diatas rata-rata sebanyak 6 kabupaten/kota dan bertambah menjadi 7 kabupaten/kota pada tahun 2009. Secara umum, tingkat pengangguran di 20 kabupaten/kota mengalami penurunan dalam periode 2005-2009. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki pengangguran dibawah rata-rata di tahun 2005 sebanyak 11 kabupaten/kota dan turun menjadi 9 kabupaten/kota di tahun 2009.

4.3.1 Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan

Gambar 4.9. menunjukkan dinamika pertumbuhan dan kemiskinan di 20 kabupaten pesisir penerima PEMP. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kabupaten/kota memiliki karakteristik yang hampir homogen, hal ini terlihat dari pola analisis kuadran yang banyak mengumpul pada kuadran tertentu yaitu Kuadran III dan IV. Kuadran I menunjukkan kondisi terbaik yaitu apabila kabupaten/kota memiliki persentase kemiskinan yang rendah (dibawah rata-rata) dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (diatas rata-rata). Kuadran II menunjukkan kondisi dimana kabupaten/kota memiliki karakteristik pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun disertai dengan persentase kemiskinan yang juga tinggi. Kuadran III menunjukkan kondisi yang terburuk dimana kabupaten/kota memiliki karakteristik yaitu pertumbuhan ekonomi yang rendah dan persentase kemiskinan yang tinggi.

Sementara itu, Kuadran IV memperlihatkan kondisi kabupaten/kota yang memiliki

(13)

pertumbuhan ekonomi yang rendah disertai persentase kemiskinan yang juga rendah.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.10. Perbandingan Kondisi Pertumbuhan dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Berdasarkan analisis kuadran pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan kemiskinan pada tahun 2005, terlihat bahwa kabupaten/kota yang berada dalam Kuadran 1 (kuadran terbaik) sebanyak 4 kabupaten/kota (Gianyar, Ciamis, Pontianak dan Kota Padang). Kabupaten/kota yang masuk Kuadran II ada 2 yaitu Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Bantul. Sementara itu hampir separuh kabupaten/kota ( 9 kabupaten/kota) masuk dalam kuadran terburuk (Kuadran III), sedangkan kuadran IV dihuni oleh 7 kabupaten/kota. Jika dibandingkan dengan keadaan tahun 2009, analisis kuadran untuk peubah PDRB dan kemiskinan tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Perkembangan yang baik hanya dialami oleh Kabupaten Tasikmalaya dimana pada tahun 2005 berada di Kuadran II dan pada tahun 2009 berpindah ke kuadran terbaik yaitu Kuadran I. Kondisi ini dapat diartikan sebagai perbaikan dalam hal penurunan persentase kemiskinan di

I III

II

IV

I II III

IV

12000 10000 8000 6000 4000 2000 0

pdrb2009

40.00

30.00

20.00

10.00

miskin2009

Biak Numfor Fakfak

Seram Bagian Timur

Buru Maluku Tengah

Minahasa Utara Nunukan

Kotawaringin Barat Pontianak

Sambas

Gianyar Bantul Kulon Progo

Ciamis Tasikmalaya Bengkulu

Tanjung Jabung Barat

Padang Banda Aceh

Aceh Besar

10000 8000 6000 4000 2000 0

pdrb2005

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

miskin2005

Biak Numfor

Fakfak Seram Bagian Timur

Buru Maluku Tengah

Minahasa Utara Nunukan

Kotawaringin Barat Pontianak Sambas

Gianyar Bantul Kulon Progo

Ciamis Tasikmalaya

Bengkulu Tanjung Jabung Barat

Padang Banda Aceh

Aceh Besar

I IV

III

I II

IV

III II

(14)

Kabupaten Tasikmalaya. Sementara itu kabupaten/kota lain tidak menunjukkan perubahan yang berarti (Gambar 4.10).

4.3.2 Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan

Dalam analisis kuadran antara ketimpangan pendapatan (Indeks Gini) dan kemiskinan, Kuadran I (terbaik) didefinisikan oleh kabupaten/kota yang memiliki persentase kemiskinan yang rendah disertai indeks gini yang juga rendah.

Kuadran II, menunjukkan kondisi kabupaten/kota yang memiliki indeks gini yang tinggi namun persentase kemiskinan yang rendah. Kuadran III merupakan kondisi terburuk dimana kabupaten/kota pesisir memiliki kondisi kemiskinan dan indeks gini yang tinggi. Sementara itu Kuadran IV menunjukkan kondisi kemiskinan yang tinggi namun memiliki indeks yang rendah.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.11. Perbandingan Kondisi Indeks Gini dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Gambar 4.11 menunjukkan bahwa posisi kabupaten/kota pesisir pada tahun 2005 dan 2009 memiliki karakteristik yang mayoritas menyebar di Kuadran I dan IV.

Pada tahun 2005 terlihat bahwa kabupaten/kota pesisir yang masuk dalam Kuadran I

0.34 0.32 0.30 0.28 0.26 0.24

gini2009

40.00

30.00

20.00

10.00

miskin2009

Biak Numfor Fakfak

Seram Bagian Timur

Buru

Maluku Tengah

Minahasa Utara Nunukan

Kotawaringin Barat Pontianak Sambas

Gianyar

Bantul Kulon Progo

Ciamis Tasikmalaya

Bengkulu

Tanjung Jabung Barat

Padang Banda Aceh Aceh Besar

I

IV III

II

0.36 0.34 0.32 0.30 0.28 0.26

gini2005

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

miskin2005

Biak Numfor

Fakfak Seram Bagian Timur

Buru Maluku Tengah

Minahasa Utara Nunukan

Kotawaringin Barat Pontianak Sambas

Gianyar Bantul Kulon Progo

Ciamis Tasikmalaya

Bengkulu Tanjung Jabung Barat

Padang Banda Aceh

Aceh Besar

II I

IV III

(15)

(kuadran terbaik) sebanyak 6 kabupaten/kota (Ciamis, Pontianak, Kota Banda Aceh, Kotawaringin Barat, Sambas dan Kota Padang). Kabupaten/kota pesisir yang masuk Kuadran II, hanya satu yaitu Kota Bengkulu. Sementara itu, Kabupaten Bantul dan Biak Numfor berada di posisi kuadran terburuk (Kuadran III).

Pada tahun 2009, analisis kuadran untuk peubah Indeks Gini dan kemiskinan terjadi perubahan yang cukup berarti jika dibandingkan kondisi tahun 2005. Perkembangan yang baik dialami oleh Kabupaten Bantul, yang posisinya dari kuadran terburuk beralih ke Kuadran IV (ketimpangan rendah, kemiskinan tinggi). artinya mengalami perbaikan karakteristik ketimpangan pendapatan namun tidak dalam karakteristik kemiskinan. Sebaliknya Kabupaten Biak Numfor merupakan satu-satunya kabupaten/kota pesisir yang tetap dalam kondisi terburuk berada di Kuadran III ( kemiskinan dan indeks gini tinggi). Sementara itu kabupaten/kota lain tidak menunjukkan perubahan yang berarti.

4.3.3 Pengangguran dan Kemiskinan

Analisis kuadran antara tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan tingkat kemiskinan, disajikan pada Gambar 4.11. Jika dilihat dari posisi kuadran, Kuadran I (terbaik) didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang memiliki persentase tingkat kemiskinan yang rendah disertai TPT yang juga rendah. Kuadran II menunjukkan kondisi kabupaten/kota yang memiliki TPT yang tinggi namun persentase kemiskinan yang rendah. Kuadran III merupakan kondisi terburuk dimana kabupaten/kota memiliki kondisi kemiskinan dan TPT yang tinggi. Sementara itu Kuadran IV menunjukkan kondisi kemiskinan yang tinggi namun memiliki TPT yang rendah.

Pada Gambar 4.12, terlihat bahwa kabupaten/kota yang masuk dalam Kuadran I (kuadran terbaik) sebanyak 5 kabupaten/kota (Ciamis, Pontianak, Gianyar, Kotawaringin Barat dan Sambas). Kabupaten/kota yang berada di Kuadran II yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kota Bengkulu, Kabupaten Minahasa Utara,Kota Padang, dan Kota Banda Aceh. Sementara itu terdapat 4 kabupaten/kota yang masuk Kuadran III yaitu Kabupaten Nunukan, Biak Numfor, Aceh Besar dan Maluku Tengah.

(16)

IV

16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00

tpt2009

40.00

30.00

20.00

10.00

miskin2009

Biak Numfor

Fakfak Seram Bagian Timur

Buru

Maluku Tengah

Minahasa Utara Nunukan

Kotawaringin Barat Pontianak Sambas

Gianyar Bantul Kulon Progo

Ciamis Tasikmalaya

Bengkulu

Tanjung Jabung Barat

Padang Banda Aceh

Aceh Besar

40.00 30.00

20.00 10.00

0.00

tpt2005

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

miskin2005

Biak Numfor

Fakfak Seram Bagian Timur

Buru

Maluku Tengah

Minahasa Utara

Nunukan

Kotawaringin Barat Pontianak Sambas

Gianyar Bantul

Kulon Progo

Ciamis Tasikmalaya

Bengkulu Tanjung Jabung Barat

Padang Banda Aceh

Aceh Besar

I IV

II III

I

III II IV

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.12. Perbandingan Kondisi Tingkat Pengangguran Terbuka(TPT) dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Analisis kuadran untuk peubah TPT dan tingkat kemiskinan pada tahun 2009 menunjukkan perbedaan yang berarti jika dibandingkan dengan keadaan tahun 2005. Perkembangan yang baik dialami oleh Kabupaten Tasikmalaya dan Tanjung Jabung Barat pada tahun 2005 posisi masing-masing berada di kuadran 4 dan 2, pada tahun 2009 berubah posisinya berada di kuadran terbaik yaitu kuadran 1.

Perkembangan yang baik untuk Kabupaten Tasikmalaya dalam analisis kuadran dapat diartikan sebagai perbaikan dalam hal pertumbuhan ekonomi, penurunan pengangguran dan penurunan persentase kemiskinan di kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2009 tentang penetapan lokasi minapolitan, Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengembangan kawasan minapolitan dari 41 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Kawasan minapolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengeloaan sumberdaya alam tertentu. Saat ini sedang dibangun PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) di Kampung Pamayang, Desa Cikawungading, Kecamatan Cipatujah, selanjutnya pembangunan TPI (Tempat

(17)

Pendaratan Ikan) di beberapa desa. Pengembangan kawasan minapolitan merupakan upaya dalam mendorong pengembangan kawasan budidaya perikanan di daerah. Kegiatan di kawasan minapolitan ini bertujuan untuk meningkatkan perekonomian dan pertumbuhan wilayah dengan kegiatan budidaya perikanan sebagai penggerak utamanya (Saefulah, 2009).

Berdasarkan analisis kuadran pengangguran dan kemiskinan kabupaten yang mengalami kemunduran atau berada diposisi sangat buruk (tingkat pengangguran dan kemiskinan sangat tinggi) adalah Kabupaten Seram Bagian Timur, Biak Numfor, Maluku Tengah dan Fak-Fak. Kabupaten-kabupaten tersebut terletak di Indonesia bagian timur, posisinya sangat buruk, yang dapat diartikan bahwa kabupaten tersebut masih memiliki tingkat pengangguran sekaligus tingkat kemiskinan yang sangat tinggi. Kebijakan pemerintah dengan adanya program PEMP di kawasan timur kiranya belum dapat mendorong penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Krisis ekonomi global diduga merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya target pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada periode 2005-2009, selain akibat faktor alam yang kurang mendukung masyarakat pesisir wilayah timur untuk bekerja dalam mencari penghasilan.

4.4 Pro Poor Growth ( Growth Incidence Curve /GIC)

Analisis tentang Pro Poor Growth dengan menggunakan GIC berguna untuk mengetahui derajat manfaat pertumbuhan ekonomi di 20 kabupaten/kota penerima program PEMP bagi penduduk miskin. Distribusi pendapatan terjadi perbaikan jika GIC merupakan fungsi turun. Dalam analisis ini, GIC dilakukan dalam periode 2005-2009. Penyesuaian pada data pengeluaran di tiap kabupaten/

kota dilakukan untuk memenuhi keterbandingan data antar kabupaten dan antar periode, karena perbedaan garis kemiskinan antar kabupaten/kota dan antar waktu.

4.4.1 GIC Periode 2005-2009

Gambar 4.12. menunjukkan GIC dari 20 kabupaten/kota penerima program PEMP periode 2005-2009. Pada gambar tersebut memperlihatkan nilai pertumbuhan yang selalu positif di setiap persentil penduduk selama periode tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di periode ini bersifat

(18)

pro poor growth, yang berarti pula telah memberikan manfaat bagi penduduk miskin. Bahkan GIC tersebut juga menunjukkan sebagai fungsi turun, dimana pertumbuhan di kelompok persentil teratas justru lebih rendah dibandingkan pertumbuhan di kelompok persentil terendah (hingga persentil-60).

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.13. Growth Incidence Curve (GIC) 20 Kabupaten/Kota Penerima Program PEMP Periode 2005-2009

Hal ini menunjukkan terjadinya perbaikan distribusi pendapatan di 20 kabupaten/kota penerima program PEMP selama periode tersebut. Meskipun secara keseluruhan terjadi pertumbuhan positif di semua kelompok persentil, akan tetapi pertumbuhan yg lebih tinggi di kelompok persentil terendah mempersempit kesenjangan pendapatan yang ada. Setidaknya program PEMP memberikan dampak positif bagi penduduk miskin dengan meningkatnya pendapatan mereka melalui peningkatan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kaya.

Referensi

Dokumen terkait

memfasilitasi “pembelajaran” yang terjadi di dalam organisasi secara kelembagaan, kelompok, ataupun individual. Hal ini akan berdampak pada semakin bertambahnya modal intektual

Alasan belum disediakannya menurut 11 orang guru BK diantaranya: (1) beberapa rekan kerja guru bidang studi di sekolahnya menilai materi terkait pelecehan seksual dianggap

Bagaimana merencanakan dan merancang bangunan yang berfungsi sebagai kantor DPRD Sukoharjo sebagai wadah yang memiliki kesan terbuka lingkungan sekitar dalam hal

Coca-Cola lebih dari tiga perempat dari keuntungan dan 71% pertumbuhannya diperoleh di luar Amerika Serikat. Namun, krisis global berdampak pada penurunan kinerja, penjualan

• Kripik yang mudah menyerah air dari udara menyebabkan produk mudah rusak apabila tidak dikemas dengan bahan yang

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel Perputaran Kas, Perputaran Piutang, dan Perputaran Persediaan terhadap Profitabilitas yang diukur melalui

Berpikir kritis merupakan proses terorganisasi yang melibatkan proses mental yang menyangkut di dalamnya pemecahan masalah, pengambilan keputusan, menganalisis, dan