• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADVERSITY QUOTIENT VIEWED FROM THE DIFFERENCE PROBLEM-FOCUSED EMOTION-FOCUSED CIPONG AND PARENTS IN THE SINGLE WOMEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADVERSITY QUOTIENT VIEWED FROM THE DIFFERENCE PROBLEM-FOCUSED EMOTION-FOCUSED CIPONG AND PARENTS IN THE SINGLE WOMEN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

ADVERSITY QUOTIENT VIEWED FROM THE

DIFFERENCE PROBLEM-FOCUSED EMOTION-FOCUSED

CIPONG AND PARENTS IN THE SINGLE WOMEN

KENES PRANANDARI, IRA PUSPITAWATI, S.PSI, M.SI

Undergraduate Program, 2008

Gunadarma University

http://www.gunadarma.ac.id

Key Words:quotient, cipong, parents.

ABSTRACT :

This study aims to identify differences in terms of Adversity Quotient problem-focused

and emotion-focused coping in parents of single women. Single-parent phenomenon is

not only happening in Indonesia as a developing country, but also occurs in other

advanced countries. Even in many developed countries and industries, the single parent is

a common symptom. Since the death of a spouse or divorce, the individual becomes the

only responsible for family life. Kartena By that, he had to run all the tasks once

performed with her partner, such as home care and meet all the needs of families. These

circumstances lead to single parents bear a lot of demands (stressors) in everyday life. It

gets heavier burden for women as single parents in Indonesia itself, the community

generally considers the negative status of women as single parents. For that needed a

strategy to overcome this difficult situation, besides that, it needs its own toughness also

for single-parent women to be able to through this difficulty. The independent variables

in this study is to stress coping (problem-focused and emotion-focused), whereas the

dependent variable in this study is the Adversity Quotient. The study involved 67 female

single parents. They are asked to fill out questionnaires Adversity Quotient Scale and

Stress Coping Scale questionnaire. Adversity Quotient scale based on three dimensions of

Stoltz Adversity Quotient (1997). On this scale shows that of the 80 items tested, there

were 52 valid items. Of the 52 items, only 36 items that used to take data for 16 other

items are positive items, excluding items was scored. The reliability test result reliability

coefficient of 0.9553.. On this scale shows that of the 66 items have been tested, there

were 41 valid items. The reliability test result reliability coefficient of 0.9054. According

to analysis performed using Mann-Whitney U test found that the value Z = -3.349, and

the column Asymp. Sig (2-tailed) is 0.001 or a probability below 0.05 (0.001 <0.05).

Based on that value, then the research hypothesis is accepted. These results indicate

asignificant difference between the Adversity Quotient single parent women with

problem-focused coping strategies and female single parents with emotion-focused

coping strategies.

(2)

JURNAL

PERBEDAAN ADVERSITY QUOTIENT DITINJAU DARI

PROBLEM-FOCUSED DAN EMOTION-FOCUSED COPING

PADA ORANG TUA TUNGGAL WANITA

Kenes Pranandari

Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan Adversity Quotient ditinjau dari problem-focused coping dan emotion-focused coping pada orang tua tunggal wanita.

Fenomena orang tua tunggal bukan hanya terjadi di Indonesia sebagai negara berkembang, tetapi juga terjadi di berbagai negara maju. Bahkan di banyak negara maju dan industri, single parent merupakan gejala yang biasa. Karena kematian pasangan atau perceraian itu, individu

menjadi satu-satunya orang yang

bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga. Oleh karena itu ia harus menjalankan semua tugas yang dulu ia lakukan bersama pasangannya, seperti mengurus rumah dan memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Keadaan seperti ini menyebabkan orang tua tunggal dikenai banyak tuntutan (stresor) dalam kehidupan sehari-hari. Beban ini menjadi lebih berat bagi orang tua tunggal wanita karena di

Indonesia sendiri, umumnya orang

menganggap negatif status wanita sebagai orang tua tunggal. Selain itu, wanita lebih tergantung secara finansial terhadap suaminya, sehingga setelah perceraian atau kematian suami, orang tua tunggal wanita memiliki beban yang berlebih. Untuk itu, diperlukan strategi untuk mengatasi situasi sulit tersebut, disamping itu, diperlukan juga ketangguhan tersendiri bagi orang tua tunggal wanita agar dapat melalui kesulitan tersebut.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah coping stres (problem-focused coping dan emotion-focused coping), sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah Adversity Quotient. Penelitian ini melibatkan 67 orang tua tunggal wanita. Mereka diminta untuk mengisi angket skala Adversity Quotient dan angket skala coping stres. Skala Adversity Quotient disusun berdasarkan tiga dimensi Adversity Quotient dari Stoltz (1997). Pada skala ini diperoleh hasil bahwa dari 80 item yang diujicobakan, terdapat 52 item yang valid. Dari 52 item ini, hanya 36 item yang digunakan untuk mengambil data karena 16 item lainnya merupakan item positif, tidak termasuk item yang diskor. Adapun uji reliabilitas menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,955. Skala coping stres disusun berdasarkan ciri-ciri problem-focused coping dan emotion-focused coping dari Lazarus dan Folkman (dalam Auerbach & Gramling, 1998). Pada skala ini diperoleh hasil bahwa dari 66 item yang diujicobakan, terdapat 41 item yang valid. Adapun uji reliabilitas

(3)

menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,9054.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji U MannWhitney diketahui bahwa nilai Z = -3,349 dan pada kolom Asymp. Sig. (2-tailed) adalah 0,001 atau probabilitas di bawah 0,05 (0,001 < 0.05). Berdasarkan nilai tersebut, maka hipotesis penelitian diterima. Hasil tersebut menunjukkan adanya perbedaan tingkat Adversity Quotient yang signifikan antara orang tua tunggal wanita dengan strategi problem-focused coping dan orang tua tunggal wanita dengan strategi emotion-focused coping.

Kata kunci: Adversity Quotient, coping stres (problem-focused coping dan emotion-focused coping).

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengertian keluarga secara sempit menurut Roopnarine dan Gielen (2005) adalah kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang ayah atau suami, ibu atau istri, memiliki peran sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Sebagai orang tua, ayah dan ibu memiliki kewajiban untuk mengasuh anak. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Gasser dan Navarre (dalam Burnham, 1986) bahwa salah satu tugas konkret orang tua adalah mengasuh anak, sedangkan dua lainnya adalah memberi dukungan keuangan dan mengurus rumah tangga. Pengasuhan merupakan hal yang penting sebab

pengasuhan tidak sekedar memenuhi kebutuhan jasmani, seperti makan dan pakaian, tetapi juga harus memenuhi kebutuhan rohani anak dengan ajaran agama, serta menanamkan nilai-nilai moral. Hal ini dinyatakan oleh Harrington dan Whittig (dalam Gibson dan Blumberg, 1980) bahwa pengasuhan tidak hanya merupakan keseluruhan interaksi antara orang tua dan anak tetapi juga memberi perawatan kepada anak, seperti memberi makan, menjaga kebersihan, melindungi dan mengembangkan aspek sosialisasi, yaitu mengajarkan tingkah laku yang umum dan dapat diterima masyarakat.

Pengasuhan bukan merupakan tugas yang ringan. Oleh karena itu, sudah seharusnya tugas pengasuhan menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan bersama oleh kedua orang tua. Tugas pengasuhan yang seharusnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh kedua orang tua, karena suatu sebab, misalnya kematian salah satu orang tua, perceraian atau perpisahan, terpaksa hanya satu orang tua yang dapat melaksanakan tugas-tugas pengasuhan. Situasi seperti ini memunculkan apa yang oleh Sager (dalam Duvall dan Miller, 1985) dinamakan sebagai orang tua tunggal (single parent).

Karena kematian suami atau perceraian itu, ibu menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga. Oleh karena itu ia harus menjalankan semua tugas yang dulu ia lakukan bersama suaminya, seperti mengurus rumah dan memenuhi seluruh

(4)

kebutuhan keluarga. Keadaan seperti ini menyebabkan orang tua tunggal wanita dikenai banyak tuntutan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Perlmutter dan Hall (1985) bahwa menjadi orang tua tunggal berarti mengalami perubahan dimana perubahan ini dapat menimbulkan masalah, sebab seseorang yang semula berperan hanya sebagai ibu atau sebagai ayah saja, sekarang harus berperan ganda. Melakukan berbagai tugas yang semula dilakukan berdua akan membuat orang tua tunggal wanita mengalami kelebihan tugas. Seperti yang dikatakan oleh Beal (dalam Walsh, 2003) bahwa masalah utama orang tua tunggal wanita adalah tugas yang berlebihan.

Sebagai suatu tahapan kehidupan yang “tidak normal atau tidak lazim”, orang tua tunggal wanita tentu memiliki banyak persoalan yang harus dihadapi, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun psikologis. Hal ini sesuai dengan Mahmudah (1999) yang menyatakan bahwa dari segi sosial, persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan anggapan umum yang masih menganggap negatif kehidupan orang tua tunggal wanita. Resiko ini biasanya lebih berat dihadapi karena berbagai tantangan yang diterima lebih banyak berkaitan dengan persoalan penilaian masyarakat umum. Dari segi ekonomi, persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan bagaimana menopang kehidupan ekonomi keluarga, karena kebanyakan wanita Indonesia menggantungkan kehidupannya

pada suami. Walaupun mereka bekerja atau memperoleh penghasilan sendiri sehingga dapat menopang kebutuhan ekonomi keluarga, namun pilar utama pemasok ekonomi keluarga tetap diperoleh dari penghasilan suami, sementara jika ada istri yang memperoleh penghasilan, sifatnya hanya membantu para suami dalam memenuhi ekonomi keluarga. Dari segi psikologis, persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan bagaimana menciptakan figur pengganti dari pasangannya (Mahmudah, 1999).

Akhir dari suatu perkawinan apakah itu kematian atau perceraian, menyangkut kehilangan pasangan. Individu yang mengalami perubahan tersebut cenderung berduka atas apa yang terjadi karena hilangnya persahabatan, kebersamaan, dan bagian-bagian yang indah dari perkawinan. Umumnya individu merasa tegang akan masa depan dimana tidak akan lagi seperti yang telah direncanakan. Masalah hidup sehari-hari dapat mencemaskan individu. Permasalahan yang dihadapi, seperti masalah keuangan, perumahan, kesepian dimana individu tidak menemukan seseorang untuk menanggung beban bersama, keputusan dan tanggung jawab atas anak-anak, dan juga ketegangan tentang reaksi teman-teman dan kerabat mengenai bagaimana individu mengatasi hidup sendiri (Mitchell, 1996).

Melihat situasi yang dihadapi orang tua tunggal wanita dalam keluarga, maka dapat dikatakan bahwa orang tua tunggal wanita berada dalam situasi yang penuh

(5)

tuntutan. Bila keadaan ini berlangsung terus-menerus, maka akan menimbulkan tekanan pada orang tua tunggal wanita. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kehidupan orang tua tunggal dalam keluarga merupakan stresor bagi orang tua tunggal wanita. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Fassinger dan McLanahan (dalam Zanden, 1993) bahwa keharusan orang tua tunggal wanita memenuhi semua kebutuhan keluarga, anak, serta kebutuhan dirinya sendiri membuatnya mengalami stres yang lebih besar dibanding dengan ibu yang masih memiliki suami. Dalam penelitian McLanahan (dalam Zanden, 1993) yang membandingkan keluarga dua orang tua dengan keluarga wanita sebagai kepala rumah tangga, ditemukan bahwa wanita sebagai kepala rumah tangga lebih banyak mengalami stres. Selain itu dikatakan oleh Greenberg (1999) bahwa perubahan dalam keluarga baik struktur maupun perubahan di bagian finansial dapat menyebabkan stres yang dapat berakibat timbulnya suatu penyakit. Hal ini dikuatkan dengan berbagai penelitian yang menyebutkan bahwa perubahan struktur maupun kehidupan dalam keluarga orang tua tunggal ditemukan berkorelasi tinggi dengan tingkat stres. Keluarga dengan perceraian, yang berarti adanya kepincangan dalam struktur keluarga adalah salah satu contohnya.

Menurut Lazarus (dalam Sarafino, 2002), stres dapat muncul apabila ada tuntutan-tuntutan pada diri seseorang yang dirasa menantang, membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki

seseorang. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Oleh karena itu, harus dilakukan sesuatu untuk mengatasi stres yang muncul. Usaha mengatasi stres ini dikenal dengan istilah coping. Menurut Lazarus (dalam Sarafino, 2002) coping merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang menekan atau menimbulkan perubahan emosi.

Lazarus dan Folkman (dalam Auerbach dan Gramling, 1998) menyebutkan dua jenis dari coping, yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Dalam problem-emotion-focused coping, individu mengurangi ketegangan dengan cara melakukan sesuatu, seperti memodifikasi, atau meminimalisir situasi yang sedang dihadapi. Sedangkan pada

emotion-focused coping, individu

mengurangi ketidaknyamanan tersebut dengan menggunakan pertahanan, seperti penilaian positif, penyangkalan, dan berpikir dengan penuh pengharapan. Menurut Lazarus, dkk. (dalam Auerbach dan Gramling, 1998), strategi coping ini dapat dibagi menjadi delapan sub kategori. Dua diantaranya, yaitu confrontive coping dan planful problem-solving merupakan bagian dari problem-focused coping. Sedangkan lima lainnya, yaitu distancing, self-control, accepting responsibility, escape-avoidance, dan positive reappraisal merupakan bagian dari emotion-focused coping. Satu kategori sisanya, yaitu seeking social support merupakan bagian dari problem-focused coping dan emotion-focused coping.

(6)

Dari uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa sebagai salah satu sumber stres, kehidupan orang tua tunggal wanita merupakan situasi yang dapat menimbulkan stres yang tinggi, sehingga selain diperlukan strategi maupun usaha, diperlukan juga ketangguhan tersendiri bagi seorang ibu agar dapat menampilkan perilaku yang adaptif dalam mengatasi situasi yang menimbulkan stres tersebut. Ketangguhan ini dapat terlihat dari bagaimana seseorang merespon kesulitan atau situasi yang menimbulkan stres, sehingga mampu mengatasinya. Kemampuan mengatasi kesulitan inilah yang dikemukakan oleh Stoltz (1997) sebagai Adversity Quotient (AQ) atau Adversity Intelligence.

Konsep AQ ini muncul karena ternyata konsep Intelligence Quotient (IQ) yang menggambarkan tingkat kecerdasan individu maupun Emotional Quotient (EQ) yang menggambarkan aspek empati dan keefektifan dalam berinteraksi dengan orang lain, dirasakan kurang dapat menjelaskan mengapa beberapa individu berhasil dalam hidupnya terutama dalam konteks dimana individu sedang tertimpa musibah atau kegagalan. Dahulu IQ dianggap sebagai penentu utama kesuksesan karena didefinisikan sebagai kemampuan umum untuk belajar (Drost, 1998). Kemudian Daniel Goleman (1995) mengemukakan teori kecerdasan emosional (EQ) sebagai kecerdasan atau kualitas yang dimiliki individu dan dianggap lebih berperan daripada faktor IQ. Stoltz (1997)

mengatakan bahwa IQ dan EQ tidak cukup dapat meramalkan kesuksesan seseorang karena beberapa orang yang memiliki IQ dan EQ yang tinggi ternyata menunjukkan prestasi di bawah potensi yang ada pada dirinya. Senada dengan pernyataan ini, Drost (1998) menyatakan bahwa IQ tidak lagi dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan seseorang dalam studi dan kehidupan, demikian juga dengan EQ. Stoltz (1997) juga mengatakan bahwa IQ dan EQ berpengaruh pada kesuksesan seseorang pada kondisi dan situasi normal, namun tidak terlalu berperan pada kondisi krisis atau situasi yang penuh dengan kesulitan. Pada saat kondisi ini, AQ dianggap lebih penting pengaruhnya dari kedua konsep sebelumnya.

Garmezy dan Michael (1983) mengemukakan bahwa saat dihadapkan pada kesulitan hidup, sebagian individu gagal dan tidak mampu bertahan dimana mereka mengembangkan pola-pola perilaku yang bermasalah. Sebagian lainnya bisa bertahan dan mengembangkan perilaku yang adaptif bahkan lebih baik lagi bila mereka bisa berhasil keluar dari kesulitan dan menjalani kehidupan yang sehat. Pada sisi inilah, AQ memiliki aspek-aspek yang dapat memberikan gambaran mengenai ketangguhan individu dalam menghadapi hambatan atau kegagalan dan dapat memprediksi apakah ia tetap terkendali dalam menghadapi situasi atau keadaan yang sulit. AQ mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan.

(7)

Dalam konsep AQ tinggi, individu yang mengalami kesulitan cenderung merasakan bertanggung jawab atas masalah yang dihadapinya, mampu mengontrol masalah, lihai dalam mencari pemecahan masalah yang dihadapinya tersebut, dan juga akan fokus terhadap solusi (Stoltz, 1997). Hal ini sesuai dengan cara-cara yang diterapkan dalam strategi coping, yaitu problem-focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian atau melakukan sesuatu atas masalah yang sedang dihadapi (Lazarus & Folkman dalam Auerbach & Gramling, 1998). Individu dengan adversity intelligence yang tinggi juga merupakan individu yang optimis (Stoltz, 1997). Individu-individu yang optimis lebih sering mengatasi stres dengan problem-focused coping dan terorientasi pada tindakan (Carver & Scheier, 1985). Selain itu, individu dengan AQ tinggi akan mampu membatasi reaksi emosi yang timbul sebagai akibat dari permasalahan yang dihadapi serta memiliki keyakinan diri untuk merubah hambatan menjadi peluang. Individu juga yakin bahwa permasalahan yang dihadapi memiliki nilai positif untuk pertumbuhan pribadinya (Stoltz, 1997). Hal ini sesuai dengan cara-cara yang diterapkan dalam strategi coping, yaitu emotion-focused coping, dimana individu mengurangi efek emosi yang ditimbulkan oleh stresor dan berusaha menemukan makna positif dari masalah atau situasi menekan yang dihadapi, juga berusaha untuk menemukan suatu keyakinan baru yang difokuskan pada pertumbuhan pribadinya (Lazarus dan

Folkman dalam Auerbach dan Gramling, 1998).

Dari uraian di atas, maka permasalahan yang ingin dikaji secara lebih lanjut dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan AQ pada orang tua tunggal wanita berdasarkan strategi coping problem-focused coping dan emotion-focused coping?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menguji perbedaan AQ pada orang tua tunggal wanita dengan berdasarkan problem-focused coping dan emotional-problem-focused coping.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan Psikologi Kognitif, Psikoneuroimunologi, Neurofisiologi, dan Psikologi Kesehatan yang berkaitan dengan Adversity Quotient dan coping stres dan dapat dipakai sebagai pedoman dalam melakukan penelitian secara lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada orang tua tunggal wanita untuk tidak terjebak dalam kesulitan yang dihadapi, sehingga dapat beradaptasi dan bangkit dari kesulitan-kesulitan tersebut. Selain itu juga untuk memberikan masukan

(8)

terhadap lingkungan di sekitar mereka agar selalu memberikan support dalam kehidupan sehari-hari.

TINJAUAN PUSTAKA A. Adversity Quotient

1. Pengertian Adversity Quotient (AQ)

Menurut Stoltz (1997) AQ adalah suatu pengukuran tentang bagaimana seseorang berespon terhadap kesulitan. AQ adalah suatu pengukuran kemampuan individu dalam mengatasi kesulitan dan tantangan (Stenner dan Harriate, 1999). Menurut Lasmono (2001) AQ adalah pengukuran kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan krisis.

Elkin (2002) menyebutkan bahwa AQ merupakan suatu pengukuran kemampuan individu dalam menghadapi permasalahan, musibah, atau bencana, sedangkan Shureka (2004) mendefinisikan AQ sebagai suatu pengukuran kesuksesan yang dapat digunakan untuk mengetahui siapa yang akan bertahan dalam situasi yang sulit.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa AQ adalah suatu pengukuran mengenai kemampuan individu dalam mengatasi beragam masalah, kesulitan, ataupun musibah dalam berbagai aspek kehidupannya.

2. Dimensi AQ

Dimensi-dimensi Adversity Quotient (Stoltz, 1997) akan dipaparkan sebagai berikut:

a. C = Control (Kendali)

Dimensi control (kendali) mempertanyakan seberapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan.

Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi control, cenderung lebih mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan dan tetap konsisten pada tujuan yang ingin dicapainya. Ia pun lebih lihai dalam mencari pemecahan dari masalah yang dihadapinya serta akan mengambil tindakan yang akan menghasilkan lebih banyak kendali lagi. Sedangkan individu yang memiliki skor control rendah akan merasa bahwa kesulitan atau peristiwa buruk yang dialaminya berada di luar kontrolnya dan hanya sedikit yang dapat ia lakukan untuk mencegah ataupun membatasi akibat yang ditimbulkannya (menyerah pada nasib). Semakin rendah skor control yang dimiliki individu, maka semakin besar kemungkinannya ia merasa kelelahan akibat perubahan hidup sehari-hari, padahal tidak seharusnya demikian. b. O2 = Origin dan Ownership (Asal Usul

dan Pengakuan)

Origin dan Ownership

mempertanyakan dua hal, yaitu apa atau siapa yang menjadi penyebab kesulitan dan sejauh mana individu merasa turut bertanggung jawab atas suatu kesulitan yang terjadi, apapun penyebabnya. Kondisi ideal pada saat

(9)

dihadapkan pada situasi sulit atau kemalangan adalah individu tidak terlalu menyalahkan diri sendiri sekaligus tetap merasa bertanggung jawab untuk mengatasi kesulitan yang dialami.

Individu dengan skor O2 yang tinggi akan mencerminkan kemampuan untuk menghindari perilaku menyalahkan diri sendiri yang tidak perlu sambil menempatkan tanggung jawab pada tempatnya yang tepat. Sedangkan individu dengan skor O2 yang rendah merespon kesulitan sebagai sesuatu yang terutama merupakan kesalahannya dan menganggap peristiwa yang baik sebagai keberuntungan yang berasal dari luar. Menolak pengakuan dengan menghindarkan diri dari tanggung jawab.

c. R = Reach (Jangkauan)

Dimensi ini mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dalam kehidupan. Reach menentukan seberapa besar individu mempersepsikan masalah yang ada akan berkembang atau tidak. Individu dengan skor reach yang tinggi akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Individu dengan skor reach yang rendah akan memandang kesulitan sebagai sesuatu yang merasuki wilayah-wilayah lain dalam kehidupannya.

d. E = Endurance (Daya Tahan)

Dimensi ini mempertanyakan dua hal, yaitu seberapa lama suatu kesulitan akan berlangsung dan seberapa lama pula penyebab kesulitan itu akan terus ada. Semakin rendah skor endurance, semakin besar pula individu mempersepsikan kesulitan dan/atau penyebabnya akan berlangsung lama. Individu dengan skor endurance yang tinggi akan memandang kesuksesan sebagai sesuatu yang berlangsung lama dan permanen, sebaliknya kesulitan sekaligus penyebabnya akan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu, dan sangat kecil kemungkinannya untuk terulang lagi. Sedangkan individu dengan skor

endurance rendah cenderung

mempersepsikan kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat permanen dan di sisi lain, kesuksesan ataupun keberhasilan yang ia capai hanyalah sesuatu yang sifatnya sementara waktu saja.

B. Coping Stres

1. Pengertian Coping Stres

Sarafino (2002) mendefinisikan coping stres sebagai suatu proses dimana seseorang berusaha menangani kesenjangan antara kebutuhan atau tuntutan-tuntutan dengan sumber-sumber yang ia miliki dalam situasi yang dapat menimbulkan stres.

Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 2000) mengemukakan bahwa coping stres

(10)

adalah suatu proses dimana individu merubah kognitif dan perilakunya untuk dapat menangani kebutuhan spesifik, baik yang berasal dari dalam ataupun yang berasal dari luar dirinya yang tidak sesuai dengan sumber-sumber yang ia miliki. Sedangkan menurut Ilfeld (dalam Goldberger dan Breznitz, 1983), coping stres adalah sesuatu yang dilakukan individu untuk menangani stresor-stresor dalam hidup dan mengurangi rasa sakit.

Menurut Cooper dan Payne (1991) coping stres adalah usaha kognitif dan/atau perilaku untuk menguasai, mengurangi, atau menghadapi tuntutan dari diri sendiri atau dari lingkungan yang menimbulkan perasaan menekan, mengancam atau menentang, serta usaha-usaha tersebut ditujukan untuk mengurangi pengaruh negatif dari stres pada kesejahteraan individu. Sedangkan menurut Chaplin (2000) coping stres merupakan berbagai perbuatan yang dilakukan individu yang berupa interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu masalah.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa coping stres adalah suatu usaha dimana individu mencoba untuk menangani kesenjangan antara kebutuhan (eksternal maupun internal) dengan sumber-sumber yang ia miliki dan mengurangi rasa sakit dalam situasi menekan, mengancam, dan dapat menimbulkan stres.

2. Jenis-Jenis Strategi Coping Stres

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Taylor, 1999) terdapat dua jenis

coping, yaitu yang berorientasi pada permasalahan (problem-solving focused) dan yang berorientasi pada emosi (emotion focused). Adapun kedua jenis coping tersebut dijelaskan secara lebih lanjut sebagai berikut (Lazarus dan Folkman dalam Auerbach dan Gramling, 1998): a. Problem-focused coping

1) Confrontive coping

Confrontive coping adalah strategi yang ditandai oleh usaha-usaha yang bersifat agresif untuk mengubah situasi, termasuk dengan cara mengambil resiko. Hal ini dilakukan individu dengan cara tetap bertahan pada apa yang diinginkan.

2) Planful problem-solving

Planful problem-solving adalah strategi yang menggambarkan usaha-usaha terpusat pada masalah yang dilakukan secara hati-hati untuk mengatasi situasi yang menekan. Dalam menghadapi suatu situasi yang menekan, individu mengetahui apa yang harus dilakukannya, maka salah satu langkah yang ditempuhnya adalah melipatgandakan usaha agar berhasil menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Langkah lain dari strategi coping ini adalah membuat rencana dari hal-hal yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah dan secara konsekuen akan menjalankan rencana tersebut.

(11)

3) Seeking social support (problem-focused)

Seeking social support adalah strategi yang ditandai oleh usaha-usaha untuk mencari nasihat, informasi atau dukungan emosional dari orang lain. Strategi ini dapat dilakukan dengan cara membicarakan masalah yang dihadapi dengan orang lain yang dapat memberi saran maupun alternatif pemecahan masalah secara konkret.

b. Emotion-focused coping 1) Distancing

Distancing adalah usaha yang bertujuan untuk menjaga jarak antara diri sendiri dengan masalah yang dihadapi dan bertingkah laku mengabaikan masalah yang sedang dihadapi tersebut. Individu yang menggunakan strategi ini secara sadar menolak untuk memikirkan atau larut dalam masalah dan menganggap seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.

2) Self-control

Self-control adalah strategi yang menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan individu untuk mengatur perasaan-perasaannya dengan cara menyimpan perasaan-perasaan tersebut. Umumnya individu yang menggunakan strategi ni juga berusaha menyimpan keadaan atau masalah yang sedang dihadapi agar tidak diketahui oleh orang lain.

3) Accepting responsibility

Accepting responsibility adalah suatu strategi yang pasif dimana individu mengakui atau menerima bahwa dirinya memiliki peran dalam masalah tersebut. Dalam strategi ini individu akan mengkritik diri sendiri bila ia sedang menghadapi masalah dan ia merasa dirinyalah yang bertanggung jawab atas masalah yang timbul.

4) Escape-avoidance

Escape-avoidance adalah strategi berupa perilaku menghindar atau melarikan diri dari masalah dan situasi stres dengan cara berkhayal atau berangan-angan juga dengan cara makan, minum, merokok, menggunakan obat-obatan. Dengan melakukan strategi ini individu berharap bahwa situasi buruk yang dihadapi akan segera berlalu. 5) Positive reappraisal

Positive reappraisal adalah strategi yang ditandai oleh usaha-usaha untuk menemukan makna yang positif dari masalah atau situasi menekan yang dihadapi, dan dari situasi tersebut individu berusaha untuk menemukan suatu keyakinan baru yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi.

6) Seeking social support

Seeking social support adalah stategi yang dipakai individu untuk mendapatkan simpati dan pengertian dari orang lain.

(12)

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian

Dalam penelitian ini, variabel yang akan dianalisis, yaitu:

1. Variabel Bebas: Coping Stres (problem-focused coping dan emotion-(problem-focused coping)

2. Variabel Terikat: Adversity Quotient

B.Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Coping stres adalah suatu usaha dimana individu mencoba untuk menangani kesenjangan antara kebutuhan (eksternal maupun internal) dengan sumber-sumber yang ia miliki dan mengurangi rasa sakit dalam situasi menekan, mengancam, dan dapat menimbulkan stres. Coping stres dibagi menjadi dua, yaitu problem-focused coping (confrontive coping, planful problem-solving, seeking social support) dan emotion-focused coping (distancing, self-control, accepting responsibility, escape-avoidance, positive reappraisal, seeking social support). Untuk mengetahui coping stres digunakan Skala Coping Stres yang disusun oleh peneliti berdasarkan bentuk strategi coping dari Lazarus dan Folkman (dalam Auerbach dan Gramling, 1998). 2. Adversity Quotient (AQ) adalah suatu

pengukuran mengenai kemampuan individu dalam menghadapi beragam masalah, kesulitan, ataupun musibah dalam berbagai aspek kehidupannya.

Untuk mengetahui AQ digunakan Adversity Response Profile (ARP) yang disusun oleh Wardhani (2003) yang berbentuk Skala Likert dan diadaptasi oleh peneliti sesuai dengan karakteristik sampel. AQ dalam skala ini diungkap melalui dimensi AQ (Stoltz, 1997), yaitu control (C), origin & ownership (O2), reach (R), endurance (E).

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah orang tua tunggal wanita. Adapun karakteristik sampel yang diteliti adalah wanita yang minimal telah 2 tahun menjadi orang tua tunggal dan pernah menikah. Sampel dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah pengambilan sampel yang disesuaikan dengan karakteristik dan tujuan penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti (Subagyo, 1991).

Karakteristik dipilih dengan pertimbangan karena yang umum terjadi dan ditemukan di masyarakat adalah orang tua tunggal yang pernah menikah. Sedangkan orang tua tunggal yang belum pernah menikah nampaknya memiliki stereotipe yang kurang sesuai dengan norma-norma, sehingga sulit ditemukan di masyarakat. Pada orang tua tunggal yang pernah menikah juga terjadi perubahan dalam tugas menjalankan perannya dalam rumah tangga, karena sebelumnya mereka menjalankan tugas berdua bersama pasangannya. Selain itu, pada umumnya wanita yang menjadi orang tua tunggal

(13)

minimal 2 tahun akan merespon kesulitan secara lebih positif.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode pengumpulan data primer, yaitu angket. Angket tersebut di dalamnya berisi identitas subjek penelitian, seperti nama (inisial), usia, suku, agama, pendidikan terakhir, dan urutan kelahiran. Angket juga terdiri atas Skala Coping Stres serta Skala Adversity Quotient yang berbentuk Skala Likert.

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data

1. Validitas

Menurut Azwar (2005) validitas adalah sejauh mana tes mampu mengukur atribut yang seharusnya diukur. Pengujian validitas item bagi alat pengumpul data ini dibantu dengan menggunakan teknik item total correlation.

2. Reliabilitas

Reliabilitas adalah tingkat kemampuan instrumen penelitian untuk mengumpulkan data secara tetap dari kelompok individu (Azwar, 2005). Untuk menguji reliabilitas skala digunakan teknik Alpha Cronbach.

F. Teknik Analisis Data

Metode statistik yang digunakan untuk analisis data adalah metode non parametrik uji beda data dua sampel tidak berhubungan, Uji U Mann-Whitney.

HASIL PENELITIAN

1. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas untuk Skala Adversity Quotient dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Karl Pearson, yaitu untuk melihat item total correlation. Dari 80 item yang diujicobakan, terdapat 52 item yang valid. Dari 52 item ini, hanya 36 item yang digunakan untuk mengambil data karena 16 item lainnya merupakan item positif, tidak termasuk item yang diskor. Uji reliabilitas Skala Adversity Quotient ini menggunakan koefisiensi Alpha Cronbach. Hasilnya diperoleh koefisiensi reliabilitas sebesar 0,9553, sehingga skala dinyatakan reliabel.

Uji validitas untuk Skala Coping Stres dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Karl Pearson, yaitu untuk melihat item total correlation. Dari 66 item yang diujicobakan, terdapat 41 item yang valid. Uji reliabilitas Skala Coping Stres ini menggunakan koefisiensi Alpha Cronbach. Hasilnya diperoleh koefisiensi reliabilitas sebesar 0,9054, sehingga skala dinyatakan reliabel.

2. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah uji beda data dua sampel tidak berhubungan uji U Mann-Whitney, yaitu salah satu model dalam statistik non parametrik, karena dari hasil uji asumsi data yang diperoleh tidak homogen (Sig = 0,047 (0,047 < 0,05)) dan jumlah subjek kurang dari 30.

(14)

Hasil dari analisis data dapat dilihat pada kolom Asymp. Sig. (2-tailed) adalah 0,001 atau probabilitas di bawah 0,05 (0,001 < 0.05). Berdasarkan nilai tersebut, maka hipotesis penelitian diterima yang artinya ada perbedaan tingkat Adversity Quotient yang signifikan antara orang tua tunggal wanita dengan strategi problem-focused coping dan orang tua tunggal wanita dengan strategi emotion-focused coping.

4. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan Adversity Quotient ditinjau dari problem-focused coping dan emotion-focused coping pada orang tua tunggal wanita. Hasil pengujian hipotesis dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan Adversity Quotient yang signifikan antara problem-focused coping dan emotion-focused coping, dimana subjek orang tua tunggal wanita berstrategi problem-focused coping memiliki Adversity Quotient yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek orang tua tunggal wanita berstrategi emotion-focused coping.

Adversity Quotient sangat mungkin tidak terlepas dari bagaimana individu menyikapi situasi yang menekan dalam kehidupannya dimana Adversity Quotient ini dapat dibedakan berdasarkan cara individu berusaha menyikapi situasi yang menekan, yaitu dengan problem-focused coping dan

emotion-focused coping. Meskipun

keduanya (problem-focused coping dan

emotion-focused coping) dinyatakan

konstruktif karena berguna ketika menghadapi hampir semua situasi yang

menimbulkan stres, namun hasil penelitian dari Vitaliano, dkk. (dalam Taylor, 1999), menunjukkan bahwa problem-solving focused lebih banyak digunakan pada situasi dimana individu masih merasa dapat melakukan hal yang konstruktif terhadap situasi tersebut, sedangkan emotion-focused lebih banyak digunakan ketika individu merasa ia hanya dapat menerima dan tidak dapat merubah situasi tersebut.

Individu yang menggunakan strategi

problem-focused coping memiliki

kecenderungan untuk menyikapi sebuah masalah secara lebih terbuka. Melalui sikap demikian, seorang individu mampu mempetakan persoalan lebih terperinci dan dapat melihat peluang dengan lebih jelas untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Kecenderungan dimaksud merupakan bentuk strategi coping terpusat pada masalah dan tergolong dalam planful problem-solving. Seperti dikemukan oleh Lazarus dan Folkman (dalam Auerbach dan Gramling, 1998), planful problem-solving adalah strategi yang menggambarkan usaha-usaha terpusat pada masalah yang dilakukan secara hati-hati untuk mengatasi situasi yang menekan. Dalam menghadapi situasi yang menekan, individu mengetahui apa yang harus dilakukannya, maka salah satu langkah yang ditempuhnya adalah melipatgandakan usaha agar berhasil menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Langkah lain dari strategi coping ini adalah membuat rencana dari hal-hal yang akan dilakukannya untuk mengatasi masalah yang dihadapi dan secara konsekuen akan

(15)

menjalani rencana tersebut (Lazarus dan Folkman dalam Auerbach dan Gramling, 1998).

Terdapat asumsi terkadang sebuah persoalan yang sama memiliki perbedaan tekanan yang berbeda bagi individu. Perbedaan ini memunculkan konsekuensi pendekatan persoalan. Individu yang menggunakan strategi problem-focused coping cenderung memiliki kepekaan dari adanya perbedaan tekanan dari persoalan dimaksud, sehingga respon yang diberikan individu terhadap sebuah persoalan cenderung variatif serta dinamis dibandingkan dengan individu yang menggunakan strategi emotion-focused coping, cenderung monoton dan tidak terbuka dalam melihat peluang-peluang penyelesaian persoalan (Carver, Scheier dan Weintraub dalam Taylor, 1999). Dengan kata lain, individu dengan problem-focused

coping memiliki kreativitas dalam

penyelesaian masalah yang dihadapinya. Metode pemetaan masalah serta peluang yang biasa digunakan oleh individu yang menggunakan strategi problem-focused

coping pada akhirnya memberikan

kekuatan kepada individu tersebut untuk meyakini bahwa, dia dapat mengendalikan (controlling, sebagai salah satu dimensi Adversity Quotient (Stoltz, 1997)) persoalan itu sepenuhnya. Dalam konsep AQ, individu dengan Adversity Quotient yang tinggi yang mengalami kesulitan cenderung merasakan bertanggung jawab (ownership) atas masalah yang dihadapinya, mampu mengontrol masalah, dan lihai dalam

mencari pemecahan dari masalah yang dihadapinya tersebut. Ia juga akan fokus terhadap solusi (Stoltz, 1997). Sebaliknya individu yang menggunakan strategi emotion-focused coping cenderung memiliki anggapan bahwa dia tidak dapat mengendalikan masalah itu. Dengan adanya perbedaaan controlling, individu yang menggunakan strategi emotion-focused coping lebih banyak memberikan nilai under estimate pada diri sendiri dan terkadang memberikan penilaian ekstrem dengan mempersalahkan diri sendiri (accepting responsibility) (Lazarus dan Folkman dalam Auerbach dan Gramling, 1998) bahwa sebuah persoalan selalu muncul sebagai akibat dari ketidakhandalannya untuk menjalani kehidupan. Akumulasi dari penilaian-penilaian itu biasanya akan diikuti oleh penyangkalan (denial), dimana individu menganggap bahwa masalah yang dihadapinya tidak pernah terjadi (Carver, Scheier dan Weintraub dalam Taylor, 1999). Secara praksis, individu yang menggunakan strategi problem-focused coping cenderung lebih independen untuk membuat keputusan sekalipun penuh resiko dibadingkan dengan individu yang menggunakan strategi emotion-focused coping, sehingga dapat dikatakan bahwa individu dengan emotion-focused coping adalah safety player, seperti halnya quiter atau camper dalam konsep AQ. Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz, 1997) menemukan bahwa mereka yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif lebih berani mengambil resiko.

(16)

Memandang kesulitan dalam hidup secara optimis merupakan ciri yang paling khas dari individu dengan Adversity Quotient yang tinggi. Stoltz (1997) mengatakan bahwa climbers (individu dengan AQ tinggi) adalah mereka yang optimis dan pantang menyerah dalam mencapai tujuan hidup walau rintangan menghalangi. Individu-individu yang optimis lebih sering mengatasi stres dengan problem-focused coping dan terorientasi pada tindakan serta menekankan penilaian positif terhadap peristiwa-peristiwa yang menimbulkan stres (Carver dan Scheier, 1985). Sebaliknya, individu-individu yang pesimis akan mengatasi stres secara pasif (Hansen dan Canfield, 2001), yang berarti indvidu yang pesimis lebih sering mengatasi stres dengan emotion-focused coping. Dweck (dalam Stoltz, 1997) mengatakan bahwa individu yang pesimis cenderung merespon kegagalannya sebagai sesuatu yang permanen dan bersifat personal.

Individu dengan AQ tinggi selalu memiliki fokus, hal tersebut ditunjukkan oleh sikap untuk mengabaikan aktivitas lain (suppression of competing activities), yaitu mencoba tidak terganggu bahkan bila perlu sedikit mengabaikan dengan hal-hal lain, sehingga dapat berkonsentrasi dengan masalah yang dihadapi (Carver, Scheier dan Weintraub dalam Taylor, 1999). Dengan cara demikian individu memusatkan energi yang ada untuk menuntaskan segala persoalannya. Tindakan lainnya yang biasa digunakan individu dengan AQ tinggi adalah

melakukan perencanaan (planful problem-solving), yaitu menunggu kesempatan yang tepat dan terencana untuk melakukan suatu tindakan (Carver, Scheier dan Weintraub dalam Taylor, 1999). Tindakan demikian merupakan tindakan yang muncul dari pemahaman individu tersebut atas sebuah persoalan.

Dengan demikian, berdasarkan analisis tersebut, terdapat perbedaan Adversity Quotient yang signifikan antara individu berstrategi problem-focused coping dengan individu berstrategi emotion-focused

coping. AQ pada individu yang

menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi situasi yang penuh stres lebih tinggi dibandingkan dengan AQ pada individu yang menggunakan emotion-focused coping.

PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengumpulan data dan hasil analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima yang berarti ada perbedaan Adversity Quotient yang signifikan ditinjau dari strategi coping pada orang tua tunggal wanita. Dimana individu dengan problem-focused coping lebih tinggi Adversity Quotientnya dibandingkan dengan individu emotion-focused coping dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan seperti yang dialami oleh orang tua tunggal wanita.

(17)

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan pengalaman peneliti saat melakukan penelitian, ada hambatan berkaitan dengan pengisian kuesioner. Prosedur pengisian kuesioner AQ cukup sulit dipahami oleh subjek penelitian, sehingga perlu terobosan untuk menyederhanakan kuesioner tersebut agar dapat lebih dipahami oleh subjek penelitian, mengingat adanya strata akademik dalam kehidupan sosial masyarakat.

2. Bagi orang tua tunggal wanita, hendaknya merespon kesulitan yang dihadapi dengan lebih positif, sehingga dapat melahirkan perilaku-perilaku konstruktif dalam kehidupan sehari-hari. 3. Bagi keluarga dari orang tua tunggal wanita hendaknya selalu memberi dukungan agar orang tua tunggal wanita dapat tetap berkarya meski dalam keadaan yang sulit.

4. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan agar peneliti mengaitkan AQ dengan variable-variabel yang lebih beragam, misalnya membedakan AQ berdasarkan pola pengasuhan atau menghubungkan AQ dengan religiusitas, diharapkan juga lebih memperluas penggunaan kuesioner AQ dengan subyek penelitian yang lebih beragam lagi, misalnya dengan subjek orang tua tunggal wanita yang pernah menikah, orang tua tunggal pria, ataupun remaja.

DAFTAR PUSTAKA

Aburdene, P. & Naisbitt, J. (1992). Megatrends for women. New York: Villard Books.

Anastasi, A. & Urbina, S. (2003). Tes psikologi. Alih Bahasa: Robertus H. Imam. Jakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia.

Auerbach, S. & Gramling, S.E. (1998). Stress management psychological foundation. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Azwar, S. (2005). Tes prestasi: Fungsi

pengembangan pengukuran

prestasi belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bohart, A.C. & Greening, T. (2001). Humanistic psychology and positive psychology. Journal of The

American Psychological

Association, Vol 56, No. 1, 179-196. Burnham, J.B. (1986). Family therapy.

London: Tavistock Publications. Carver, S.C. & Scheier, M.F. (1989).

Assessing coping strategies: A theoriticcelly based approach. Journal of Personality and Social Psychology, Vol 56, No. 2, 267-283. Chaplin, J. P. (2000). Kamus lengkap psikologi. Edisi pertama. Alih Bahasa: Kartini Kartono. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Cooper, C.L. & Payne, R. (1991). Personality and stress: Individual differences in the stress process. New York: John Wiley & Sons, Ltd. Drost, J. (1998). Sekolah: Mengajar atau

mendidik. Yogyakarta: Kanisius. Duvall, E.M. & Miller, B.C. (1985). Marriage

and family development. New York: Harper & Row Publishers.

Elkin, B. (2002). Coping with adversity. http://www.BruceElkin.com.

(18)

Garmezy, N. & Michael, R. (1983). Stress,

coping, and development in

children. New York: McGraw-Hill. Gibson, J. & Blumberg, P. (1980). Growing

up: Reading on the study of

children. Addison: Wesley

Publishers.

Goldberger, L. & Breznitz, S. (1983). Handbook of stress. London: Collier Macmillan Publishers.

Goleman, D. (1999). Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi. Alih Bahasa: Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Greenberg, J.S. (1999). Comprehensive stress management (6th ed). New York: McGraw-Hill.

Hadibroto, I. Alam, S. Suryaputra, E. Olivia, F. Misteri perilaku anak sulung, tengah, bungsu, dan tunggal. (2002). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hamner, T.J. & Turner, P.H. (1990). Parenting in contemporary society (2nd ed). New Jersey: Prentice-Hall. Hansen, M.V. & Canfield, J. (2001). Dare to

win. Kuala Lumpur: Golden Books Center.

Hetherington, E.M. & Blechman, E.A. (1996). Stress, coping, and resiliency in children and families. New Jersey: LEA.

Hurlock, E.B. (1996). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Alih Bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga

Jones, R.R. (1992). The empowered women. New York: SPI Books. Kartika, S. (2002). Profil perempuan

indonesia. Jurnal Perempuan, No. 22.

Kimmel, D.C. (1980). Adulthood and anging (2nd ed). New York: John Wiley & Sons.

Kissman, K. & Allen, J. (1993). Single parent families. New Bury Park: SAGE. Lasmono, H. K. (2001). Tinjauan singkat:

Adversity quotient. Anima Indonesian Psychological Journal, Vol 17, No. 1, 63.

Mahmudah, E.D. (1999). Karakteristik sosial ekonomi dan strategi kelangsungan

hidup single parent. Pusat

Penelitian Kependudukan dan Pembangunan Universitas Airlangga.

Mahmoudin, S. (1982). Sudah siapkah anda menjanda: Suatu tinjauan sudut sosial ekonomi. Jakarta: CV Idayus. Mashoedi, S. F. & Markum, M. E. (2005).

Kaitan antara gaya pengasuhan dengan gaya atribusi mahasiswa dalam prestasi akademik. Jurnal Psikologi Sosial, Vol 11, No. 03, 10-21.

Masten, A.S. (2001). Ordinary magic.

Journal of The American

Psychological Association, vol 56, No. 3, 227-238.

Mc. Quade, W. (1991). Stres. Alih Bahasa: Dra. Stella. Jakarta: Erlangga. Mitchell, A. (1996). Dilema perceraian. Alih

Bahasa: Budinah Joesoef. Jakarta: Arcan.

Ortigas, C.D. (1991). The solo parent experience: A growing social phenomenon, a resource guide on creative single parenting. Quezon City: Manila University.

Oullette, S. (1994). Family dynamics, family breakups, and their impacts on children. Buletin Psikologi Fakultas Psikologi UGM, No. 2.

Perlmutter, M. & Hall, E. (1985). Adult development and aging. New York: John Willey & Sons.

(19)

Pintrich, P.R. & Schunk, D.H. (1996). Motivation in education: Theory, research, and application. New Jersey: Prentice-Hall.

Rice, V.H. (2000). Handbook of stress, coping, and health: Implications for nursing, research, theory, and

practice. California: Sage

Publications, Inc.

Roopnarine, J.L. & Gielen, U.P. (2005). Families in global perspective. Boston: Pearson Education, Inc. Sarafino, E.P. (2002). Health psychology:

Biopsychosocial interaction (4th ed). New York: John Wiley & Sons, Inc. Smet, B. (1994). Psikologi kesehatan.

Jakarta: Gramedia.

Stenner, P. & Harriate, M. (1999). AQ methodological study of rebelliousness. Europian Journal of Social Psychology, Vol 25, No. 6, 621-636.

Stoltz, P.G. (1997). Adversity quotient: Turning obstacles into opportunities. New York: John Wiley & Sons, Inc. Stoltz, P.G. (2000). Adversity quotient:

mengubah hambatan menjadi

peluang. Alih Bahasa: T. Hermaya. Jakarta: PT Grasindo.

Subagyo, J. P. (1991). Metode penelitian dalam teori dan praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Surekha, M. (2004). What’s different about AQ?

http://www.hinduonnet.com/jobs/011 0/05030054.htm.

Suryabrata, S. (1999). Pengembangan alat ukur psikologis. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Taylor, S.E. (1999). Health psychology (4th ed). Singapura: McGraw-Hill. Walsh, F. (2003). Normal family processes

(3rd ed). New York: The Guilford Press.

Wardhani, D. A. (2003). Hubungan antara adversity quotient dengan tingkat aspirasi akademis pada remaja tuna netra. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Universitas Indonesia. Weiten, W. & Lloyd, M.A. (1997).

Psychology applied to modern life: adjustment in the 90’s (5th

ed). California: Brooks/Cole Publishing Company.

Wirutomo, P. (1994). Sosialisasi dalam keluarga indonesia: Suatu perspektif perubahan sosial. Prisma, No. 6. Zanden, J.V. (1993). Human development

(5th ed). New York: McGraw-Hill Book Company.

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya dari praktik baik ( best practice ) tersebut dikembangkan draf model implementasi kebijakan sistem pelayanan perijinan terpadu satu loket yang efektif yang

Ditinjau dari kesesuaian program dengan kebutuhan siswa, guru menyatakan bahwa program yang dilakukan sangat sesuai dengan kebutuhan para siswa di SD

APM dihitung berdasarkan data yang dapat menggambarkan keempat komponen, yaitu angka harapan hidup yang mewakili bidang kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata

[r]

menyelesaikan Laporan Tugas Akhir dengan Judul “ Analisis Kinerja Keuangan Tahun 2013 – 2015 Di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Karanganyar Dan Kabupaten Sukoharjo”

Fungsi sistem yang penulis buat ini adalah untuk memberikan informasi atau gambaran tentang wisata budaya yang ada di pulau lombok dalam format multimedia

Jika peralatan yang dilengkapi dengan perangkat ko- munikasi Product LinkCaterpillar terletak di atau di- pindahkan ke lokasi di mana (i) persyaratan hukum tidak terpenuhi atau

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data laporan keuangan dan data pasar modal perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI sejak