• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENCITRAAN MIKROSEISMIK LUBANG-BOR PADA HYDRAULIC FRACTURING: STUDI KASUS RESERVOIR COAL BED METHANE TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENCITRAAN MIKROSEISMIK LUBANG-BOR PADA HYDRAULIC FRACTURING: STUDI KASUS RESERVOIR COAL BED METHANE TESIS"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PENCITRAAN MIKROSEISMIK LUBANG-BOR PADA

HYDRAULIC FRACTURING: STUDI KASUS RESERVOIR

COAL BED METHANE

TESIS

Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari

Institut Teknologi Bandung

Oleh

REXHA VERDHORA RY

NIM: 22314002

(Program Studi Magister Teknik Geofisika)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Juli 2016

(2)

PENCITRAAN MIKROSEISMIK LUBANG-BOR PADA

HYDRAULIC FRACTURING: STUDI KASUS RESERVOIR

COAL BED METHANE

Oleh

REXHA VERDHORA RY

NIM: 22314002

(Program Studi Magister Teknik Geofisika)

Institut Teknologi Bandung

Menyetujui Tim Pembimbing Bandung, 1 Juni 2016

Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua

Prof. Sri Widiyantoro, Ph.D. NIP. 19621205 198703 1 001

Dr. Andri Dian Nugraha NIP. 19780908 200912 1 001

(3)

i

ABSTRAK

PENCITRAAN MIKROSEISMIK LUBANG-BOR PADA

HYDRAULIC FRACTURING: STUDI KASUS RESERVOIR

COAL BED METHANE

Oleh

REXHA VERDHORA RY

NIM: 22314002

(Program Studi Magister Teknik Geofisika)

Pencitraan mikroseismik di dan sekitar reservoir hidrokarbon dapat memberikan informasi deformasi terinduksi yang berkaitan dengan hydraulic fracturing. Dalam studi ini, pengamatan mikroseismik dilakukan menggunakan sensor dengan susunan single vertical di lubang bor dan diperoleh selama stimulasi rekahan di lapangan coal bed methane. Kejadian mikroseismik tersebut kemudian dicitrakan berdasarkan lokasi hiposenter dan magnitudonya. Namun, pada kasus dimana semua sensor yang dipasang hampir-vertikal di lubang bor, timbul ambiguitas tinggi terutama pada lokasi sumber. Maka, beberapa tahapan pengolahan data dilakukan untuk menyelidiki aktifitas mikroseismik yang disebabkan oleh kegiatan hydraulic fracturing tersebut. Pertama, event mikroseismik diidentifikasi dan waktu tibanya ditentukan baik secara semi otomatis. Kemudian, back azimuth diestimasi dengan melakukan analisa polarisasi gelombang P. Analisa kombinasi polaritas juga ditambahkan untuk menghilangkan ambiguitas 180o. Selanjutnya, lokasi hiposenter ditentukan menggunakan metode pencarian sistematik yang diarahkan pada area back

azimuth untuk meminimalkan fungsi misfit. Selain itu, magnitudo momen dari

setiap event mikroseismik juga ditentukan menggunakan model Brune. Kami telah berhasil menghapus ambiguitas dan menghasilkan solusi yang baik dari lokasi hiposenter seperti yang ditunjukkan secara statistik dengan misfit RMS kecil. Sebagian besar cluster memperlihatkan struktur sesar yang koheren di sekitar sumur, dimana geometri rekahan terbentuk pada arah Barat Laut – Tenggara dan memanjang dari sumur treatment. Prosedur ini juga dapat diterapkan untuk berbagai kasus lain seperti pengamatan mikroseismik di bidang CCS (carbon

capture and storage), panas bumi, dan pengembangan eksplorasi shale gas/oil.

Kata kunci: hydraulic fracturing, mikroseismik lubang-bor, polarisasi, pencarian sistematik, hiposenter, magnitudo momen.

(4)

ii

ABSTRACT

BOREHOLE MICROSEISMIC IMAGING OF HYDRAULIC

FRACTURING: CASE STUDY ON COAL BED METHANE

RESERVOIR

Oleh

REXHA VERDHORA RY

NIM: 22314002

(Program Studi Magister Teknik Geofisika)

Microseismic imaging in and around hydrocarbon reservoirs provides insight into induced deformation related to hydraulic fracturing. In this study, micro-seismic monitoring was performed using a single vertical array of sensors in a borehole and acquired during fracture stimulation of CBM field. The microseismic events are imaged based on their locations of hypocenters and magnitudes. However in the case of all the sensors being deployed in a near-vertical borehole, there is a high ambiguity in the source location. Herein we applied several steps of data processing to investigate a microseismic induced by these hydraulic fracturing activities. First, micro-seismic events were identified and their arrival times were picked semi-automatically. Then, the back-azimuth were estimated by conducting P-wave polarization analysis. The combination of polarities analysis was also added to remove 180o ambiguity. Then, hypocenters locations were determined using guided-grid-search method in the back-azimuth trace area to minimize misfit function. Furthermore, the moment magnitude of every event was determined using Brune’s model. We have successfully removed the ambiguity and produced a good solution of hypocenter locations as indicated statistically by small RMS. Most of the event clusters depict coherent structures around treatment well and inferred fault, and the geometry of fractures was formed on North West – South East direction along the treatment well. This procedure can be applied to various other cases such as microseismic monitoring in the field of CCS (carbon capture and storage), geothermal, and shale gas/oil exploration development.

Keywords: hydraulic fracturing, borehole microseismic, polarization, grid-search, hypocenter, magnitude.

(5)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya penyusunan tesis ini dapat diselesaikan pada waktu yang tepat. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan untuk jenjang magister program studi Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih penulis diberikan kepada:

1. Prof. Sri Widiyantoro, Ph.D. sebagai pembimbing penulis atas segala saran, bimbingan, dan nasihatnya selama penyusunan tesis ini.

2. Dr. Andri Dian Nugraha sebagai pembimbing penulis atas segala saran, bimbingan, dan nasihatnya selama penyusunan tesis ini.

3. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) atas bantuan Beasiswa Program Pendidikan Dalam Negeri (BPI-DN) yang diterima penulis selama pendidikan program magister ini.

4. Keluarga penulis, Ayah, Bunda, dan kedua Abang dari penulis yang memberikan dukungan serta doa sepenuhnya sejak kecil hingga sekarang. 5. Tania Meidiana, yakni sahabat, inspirasi, teman diskusi dan tempat berbagi

ilmu yang tiada hentinya memberikan masukan dan semangat hingga akhir penyusunan tugas akhir ini.

6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Program Studi Teknik Geofisika ITB atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

7. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya penulis mengharapkan saran ataupun kritik yang dapat membangun penulis menjadi lebih baik. Semoga tugas akhir ini dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan di tanah air tercinta ini, Indonesia. Terima kasih.

(6)

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

Bab I Pendahuluan ... 1

I.1 Latar Belakang... 1

I.2 Tujuan Penelitian ... 2

I.3 Batasan Masalah ... 3

I.4 Metodologi Penelitian ... 3

I.5 Sistematika Penulisan ... 4

Bab II Tinjauan Pustaka... 5

II.1 Mikroseismik ... 5

II.2 Penentuan Lokasi Hiposenter ... 7

II.3 Ketidakunikan Solusi pada Mikroseismik Lubang-Bor ... 7

II.4 Analisa Hodogram dari Polarisasi Sinyal Gelombang P ... 9

II.5 Inversi Pencarian Sistematik Terarah dan Metode Stasiun Master ... 11

II.6 Magnitudo Momen ... 13

Bab III Pengolahan Data ... 15

III.1 Pendefinisian Geometri Pengamatan dan Orientasi Sensor ... 15

III.2 Identifikasi Event Mikroseismik ... 18

III.3 Konstruksi Model Kecepatan 1-D Vp & Vs ... 21

III.4 Penentuan Lokasi Event Mikroseismik ... 22

III.5 Penentuan Magnitudo Momen ... 27

Bab IV Hasil dan Interpretasi ... 30

IV.1 Hasil ... 30

IV.2 Interpretasi ... 32

Bab V Kesimpulan dan Saran ... 34

(7)

v

V.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

LAMPIRAN ... 38

Lampiran A Pengujian pada Data Perforasi ... 39

Lampiran B Persiapan Data ... 42

Lampiran C Contoh Data Sinyal dan Hasil Picking Manual ... 45

Lampiran D Algoritma Modified Energy Ratio (MER) ... 48

Lampiran E Contoh Hasil Perbaikan Picking ... 50

Lampiran F Contoh Polarisasi ... 55

Lampiran G Ketidakpastian Lokasi Hiposenter ... 58

Lampiran H Contoh Sinyal dan Spektrum pada Penentuan Magnitudo ... 61

Lampiran I Hasil Pengolahan... 65

Lampiran J Pengaruh Hasil Picking Terhadap Lokasi Hiposenter ... 71

(8)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Berbagai macam skenario pemasangan sensor pada konfigurasi yang berbeda (kiri) dan konfigurasi vertical-downhole array (kanan) (Maxwell, 2014). ... 6 Gambar II.2 Persebaran fungsi objektif mifit pada pengamatan di permukaan

atau surface array (bagian kiri) dan pada pengamatan di lubang-bor atau vertical-downhole array (bagian kanan). Tanda bintang merah merupakan lokasi sumber sebenarnya, segitiga terbalik merupakan stasiun, dan bintang kuning merupakan lokasi sumber yang bias. ... 8 Gambar II.3 Skema optimisasi metode pencarian sistematik pada bidang radial

dari sumber mikroseismik (Jones dkk., 2013). ... 8 Gambar II.4 Contoh mosi pertama dari gelombang P pada rekaman

3-komponen (Havskov dan Ottemoller, 2010). ... 9 Gambar II.5 Skematik gambar hodogram dari dua komponen: komponen N-S

(jingga) dan komponen E-W (merah), (Maxwell, 2014). ... 10 Gambar II.6 Sinyal yang kemudian di-window (atas) dan hasil fitting pada

spektrum frekuensi (bawah), (Rodriguez-Pradilla, 2015). ... 14 Gambar III.1 (a) Peta geometri dari sumur pengamatan (seismometer

lubang-bor) dan sumur treatment. (b) Penampang vertikal Utara – Selatan yang ditandai zona abu-abu pada peta; bintang merah merupakan tembakan perforasi (penomoran dimulai dari paling bawah) dan segitiga biru terbalik merupakan sensor seismometer (penomoran dimulai dari paling atas). (c) Peta lokasi lapangan CBM. ... 16 Gambar III.2 (a) Ilustrasi geometri pengamatan dan orientasi alat terhadap

geografik bumi. (b) Contoh hasil polarisasi yang ditemui akibat orientasi alat yang berbeda dengan geografik bumi. ... 17 Gambar III.3 (a) Sinyal event mikroseismik dengan rasio S/N tinggi, hasil

picking manual gelombang P dan S (garis magenta), dan hasil

perbaikan picking (garis hitam). (b) Kurva MER untuk sampel yang dibatasi berdasar-kan informasi picking manual. (c) Kurva MER untuk seluruh sampel. ... 19 Gambar III.4 (a) Sinyal event mikroseismik dengan rasio S/N tipikal, hasil

picking manual gelombang P dan S (garis magenta), dan hasil

perbaikan picking (garis hitam). (b) Kurva MER untuk sampel yang dibatasi berdasar-kan informasi picking manual. (c) Kurva MER untuk seluruh sampel. ... 20 Gambar III.5 Model kecepatan 1-D untuk Vp dan Vs. ... 21

(9)

vii

Gambar III.6 Contoh analisa polarisasi gelombang P. (a) Rekaman sinyal yang dicuplik 0.002 detik sejak tiba; (b) Cuplikan sinyal komponen horizontal dan hodogram yang dihasilkan. ... 23 Gambar III.7 Contoh hodogram di setiap stasiun pengamat untuk suatu event

yang sama. ... 24 Gambar III.8 Ilustrasi penggunaan polaritas dalam menghilangkan ambiguitas

180o. ... 25 Gambar III.9 Ilustrasi pencarian sistematik pada area back azimuth terhadap

sumber. Segitiga biru terbalik merupakan stasiun pengamat dan zona abu-abu merupakan ruang model. ... 26 Gambar III.10 (a) Contoh sinyal event mikroseismik dan window cuplikan

masing-masing untuk fasa P dan S. (b) Spectral fitting untuk gelombang P dan (c) gelombang S pada event tersebut. Garis biru adalah spektrum observasi dan garis merah adalah spektrum teoritik. ... 29 Gambar IV.1 Peta persebaran event mikroseismik: (a) Peta episenter, (b) Peta

penampang Utara-Selatan. Hiposenter ditunjukkan oleh bulatan merah beserta elips kepercayaan (elips merah muda), segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor di sumur

pengamatan, dan kotak hitam merupakan sumur treatment dimana pengerjaan hydraulic fracturing dilakukan. (c) Histogram dari misfit RMS hasil hiposenter. (d) Histogram waktu tempuh

residual untuk fasa P dan S... 30 Gambar IV.2 Peta persebaran event mikroseismik beserta magnitudo momen

(skala bulatan): (a) Peta episenter, (b) Penampang Utara-Selatan. ... 32

(10)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Kombinasi dari polaritas dan kasus dimana 180O perlu ditambahkan. ... 11 Tabel III.1 Orientasi alat dari setiap seismometer. ... 18

(11)

1

Bab I

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Pemanfaatan sumber energi hidrokarbon non-konvensional telah muncul menjadi harapan baru dalam mewujudkan kelangsungan ketahanan energi di Indonesia. Berkaca dari negara lain, Amerika Utara selama beberapa dekade telah berhasil memanfaatkan sumber daya energi non-konvensional dan mengubah lanskap energi dalam negeri, serta menjadi pelopor dalam teknologi di bidang shale gas. Tantangan utama pada eksploitasi energi non-konvensional adalah karakter dari reservoir yang bersifat tight dan non-permeabel, berbeda halnya pada reservoir konvensional. Teknologi hydraulic fracturing perlu dilakukan dalam upaya membuka reservoir non-konvensional dengan merangsang aliran dan menciptakan jalur hidrolik konduktif pada batuan non-permeabel secara intrisik. Geofisika memiliki peranan penting dalam pemanfaatan teknologi tersebut, yakni adanya kebutuhan teknis untuk melacak rekahan yang diinduksi, berkaitan dengan optimasi stimulasi. Pengamatan dan pencitraan mikroseismik menjadi kunci utama dalam pengembangan energi non-konvensional ini.

Pengamatan mikroseismik melibatkan perekaman seismik pasif dari gempa mikro atau emisi akustik. Kejadian mikroseismik berhubungan dengan pergerakan rekahan yang terjadi secara alami, ataupun terinduksi secara artifisial, menghasilkan deformasi rekahan geomekanik inelastik. Pengamatan ini dilakukan dengan identifikasi event mikroseismik, picking fasa, dan estimasi lokasi dan atribut sumber, dimana metode pengolahan tersebut mirip dengan metode yang digunakan pada gempa tektonik. Mikroseismik telah lama menjadi metode handal untuk mencitrakan dan memetakan rekahan. Metode mikroseismik ini pun terus dikembangkan dan melaju pesat selama beberapa dekade akhir.

Di Indonesia, pengamatan mikroseismik sudah banyak dilakukan terutama di bidang panas bumi. Namun, teknologi hydraulic fracturing belum banyak dilakukan sehingga pengamatan mikroseismik dan pengembangan metode pada aplikasi hydraulic fracturing masih jarang / belum pernah dilakukan. Seiring

(12)

2

dengan pengembangan sumber daya non-konvensional, pemanfaatan teknologi

hydraulic fracturing di Indonesia dan pengamatan mikroseismik pada bidang ini

juga akan berkembang pesat. Bagaimanapun, pengamatan mikroseismik pada bidang panas bumi memiliki beberapa aspek yang berbeda dengan aplikasi pada

hydraulic fracturing, salah satunya disebabkan oleh geometri survey yang berbeda

antara pengamatan di permukaan dan pengamatan di lubang-bor. Oleh karena itu, pengembangan metode mikroseismik menjadi hal penting yang harus dilakukan.

Aplikasi teknologi hydraulic fracturing telah dilakukan pada suatu lapangan coal

bed methane (CBM). Pengamatan mikroseismik di lapangan ini menjadi

kesempatan besar untuk mengembangkan metode mikroseismik lubang-bor di Indonesia. Hasil pengamatan ini dapat digunakan untuk mencitrakan geometri rekahan yang terjadi akibat stimulasi hidrolik di sekitar reservoir. Citra geometri dan volume rekahan akan menjadi informasi utama pada perencanaan pengembangan lapangan sumber daya non-konvensional ini nantinya. Ke depannya, selain aplikasi pada pengembangan lapangan coal bed methane, pengamatan mikroseismik lubang-bor dan hasil pengembangan ini dapat diaplikasikan juga pada sumber daya non-konvensional lainnya seperti shale gas,

shale oil, carbon capture and storage (CCS), dan panas bumi.

I.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Melakukan identifikasi dan penentuan fasa event mikroseismik hasil

hydraulic fracturing di lapangan CBM.

2. Menentukan lokasi hiposenter event mikroseismik dengan melakukan optimisasi metode pada pengamatan single vertical-borehole array.

3. Menganalisa ketidakpastian lokasi hiposenter pada pengamatan lubang-bor. 4. Menentukan nilai magnitudo dari setiap event mikroseismik tersebut.

5. Memetakan area rekahan yang terstimulasi untuk mengestimasi geometri rekahan dan stimulated reservoir volume (SRV).

(13)

3 I.3 Batasan Masalah

Batasan masalah yang digunakan pada penelitian tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Data mikroseismik yang digunakan merupakan data time series particle

velocity hasil pengamatan saat hydraulic fracturing menggunakan 8

seismometer ultrasensitif tiga komponen (3-C) pada konfigurasi single

vertical-borehole di lapangan CBM..

2. Perbaikan hasil picking dilakukan dengan metode modified energy ratio.

3. Pengolahan data dilakukan untuk mengestimasi lokasi hiposenter, nilai

ketidakpastian lokasi, dan besar magnitudo dari event mikroseismik menggunakan perangkat lunak MATLAB.

4. Optimisasi penentuan lokasi event mikroseismik pada pengamatan lubang-bor dilakukan menggunakan analisa polarisasi gelombang P.

5. Hanya 2 faktor yang diperhitungkan pada analisa ketidakpastian hiposenter, yaitu berdasarkan persebaran misfit dan jumlah data pengamatan.

6. Nilai magnitudo yang diolah pada penelitian ini adalah magnitudo momen. 7. Hasil akhir merupakan peta spasial dari area rekahan yang terstimulasi,

ditunjukkan oleh distribusi lokasi event mikroseismik dan magnitudo. tanpa memperhitungkan data log sumur dan seismik aktif.

I.4 Metodologi Penelitian

Secara umum, pendekatan yang telah dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Studi Literatur

Beberapa literatur terkait yang dipelajari antara lain: (a) konsep pengamatan mikroseismik pada pengerjaan hydraulic fracturing; (b) konsep dan algoritma penentuan lokasi hiposenter dan optimisasi pada pengamatan

single vertical-borehole array; (c) konsep dan perhitungan ketidakpastian;

(d) konsep dan algoritma penentuan magnitudo momen menggunakan model Brune; (e) studi lainnya mengenai aplikasi hydraulic fracturing. 2. Pengolahan Data dan Pemrograman

Beberapa tahap yang dilakukan pada pengolahan data adalah: (a) penentuan orientasi sensor seismometer lubang-bor; (b) identifikasi event, penentuan

(14)

4

fasa, dan perbaikan waktu tiba gelombang P dan S; (c) konstruksi model kecepatan 1-D Vp dan Vs; (d) penentuan lokasi hiposenter event mikroseismik; (e) perhitungan ketidakpastian hiposenter; (f) penentuan magnitudo momen event mikroseismik. Pengolahan data ini dilakukan dengan membuat algoritma pemrograman di perangkat lunak Matlab. 3. Analisa dan Interpretasi

Ketidakpastian lokasi hiposenter digunakan untuk melihat tingkat percayaan dan kontrol kualitas dari hasil yang diperoleh, terutama untuk menguji seberapa optimum penentuan lokasi hiposenter pada pengamatan single

vertical-borehole array. Melalui hasil distribusi lokasi hiposenter dan

magnitudo, interpretasi kemudian dilakukan dengan memetakan area rekahan yang terstimulasi untuk menentukan geometri rekahan dan mengestimasi stimulated reservoir volume (SRV).

I.5 Sistematika Penulisan

Penulisan makalah penelitian tesis ini akan dibagi menjadi 5 bab, yaitu: 1. Bab I Pendahuluan

Bab ini membahas latar belakang, tujuan penelitian, ruang lingkup masalah, metode penelitian, serta sistematika penyajian.

2. Bab II Tinjauan Pustaka

Bab ini membahas perkembangan keilmuan dalam topik kajian. 3. Bab III Pengolahan Data

Bab ini membahas area penelitian, data yang digunakan, langkah-langkah pengolahan data, optimisasi penentuan lokasi hiposenter, perhitungan ketidakpastian hiposenter, dan penentuan magnitudo.

4. Bab IV Hasil dan Analisis

Bab ini membahas hasil distribusi lokasi event mikroseismik dan magnitudo untuk menginterpretasi SRV dan geometri rekahan yang terjadi.

5. Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini membahas kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini dan saran perbaikan untuk penelitian selanjutnya.

(15)

5

Bab II Tinjauan Pustaka

II.1 Mikroseismik

Kejadian atau event mikroseismik berhubungan dengan pergerakan rekahan yang terjadi secara alami, ataupun terinduksi secara artifisial, menghasilkan deformasi rekahan geomekanik inelastik. Kejadian mikroseismik sering juga disebut sebagai gempa mikro. Pengamatan mikroseismik melibatkan perekaman seismik pasif pada emisi akustik dari sumber. Aplikasi modern dari pengamatan mikroseismik pada ekstraksi dan injeksi fluida termasuk stimulasi rekahan hidrolik, dimulai pada tahun 1970 sebagai teknik untuk mengamati enhanced geothermal system (EGS). Pada masa ini, aplikasi pengamatan mikroseismik berkembang pesat pada eksplorasi sumber daya energi non-konvensional.

Pengamatan mikroseismik merupakan teknik handal dalam mencitrakan rekahan. Pada saat ini, mikroseismik merupakan satu-satunya teknologi yang dapat memberikan gambaran mengenai geometri dari rekahan yang distimulasi oleh proses hydraulic fracturing (Maxwell, 2014). Melalui mikroseismik, informasi-informasi dari pekerjaan hydraulic fracturing yang dapat diketahui antara lain:

 Orientasi rekahan hidrolik, beserta panjangnya dari setiap arah.  Bentuk rekahan yang terstimulasi.

 Apakah rekahan berinteraksi dengan sesar dan menyebabkan anomali pada geometri rekahan.

 Apakah rekahan terbentuk sepanjang sumur treatment.  Area dan volume rekahan yang distimulasi.

 Peningkatan permeabilitas dari reservoir.

Akuisisi mikroseismik melibatkan perekaman seismik pasif secara kontinu menggunakan beberapa sensor yang disusun dalam konfigurasi tertentu. Sensor (seismometer) ini dapat dipasang dalam berbagai konfigurasi seperti di dalam lubang-bor ataupun di atas permukaan tanah, tergantung pada tujuan pengamatan. Gambar 2.1 (kiri) menunjukkan berbagai kemungkinan konfigurasi yang dapat digunakan. Adapun, pada makalah ini, penelitian difokuskan pada pengamatan

(16)

6

mikroseismik yang dilakukan di vertical-downhole array (sensor dipasang secara vertikal pada lubang-bor pengamatan, ditunjukkan pada gambar 2.1 kanan).

Gambar II.1 Berbagai macam skenario pemasangan sensor pada konfigurasi yang berbeda (kiri) dan konfigurasi vertical-downhole array (kanan) (Maxwell, 2014).

Konfigurasi borehole array sendiri merupakan skenario yang paling sering digunakan untuk pengamatan mikroseismik pada hydraulic fracturing (Maxwell dkk., 2010). Bagaimanapun, pengolahan data yang dilakukan akan berbeda dengan pengolahan yang umumnya dilakukan pada pengamatan mikroseismik menggunakan surface array. Secara umum, pengolahan data mikroseismik yang dilakukan menggunakan borehole array adalah sebagai berikut:

1. Pendefinisian geometri pengamatan dan orientasi alat/sensor. Hal ini disebabkan karena arah Utara dari orientasi alat belum tentu sama dengan arah Utara bumi.

2. Konstruksi model kecepatan. Umumnya, model kecepatan diperoleh melalui data log, berupa model kecepatan 1-D untuk Vp dan Vs.

3. Identifikasi event mikroseismik, picking awal, dan perbaikan waktu tiba. 4. Penentuan lokasi hiposenter event mikroseismik. Pada tahap yang

melibatkan metode inversi ini, optimisasi metode perlu dilakukan pada konfigurasi ini untuk mendapatkan hasil yang akurat.

5. Analisa tingkat kepercayaan dan kontrol kualitas dari hasil komputasi. 6. Penentuan atribut sumber: magnitudo, dll.

(17)

7 II.2 Penentuan Lokasi Hiposenter

Penentuan lokasi hiposenter melibatkan suatu proses inversi untuk mencari suatu lokasi hiposenter yang memiliki error minimum antara waktu tempuh observasi dengan waktu tempuh kalkulasi. Persamaan umum yang digunakan adalah:

= + = + ∫ ( )

(

2.1)

Keterangan: tj = waktu tiba (arrival time) di stasiun pengamat j,

τi = waktu terjadinya gempa (origin time) dari sumber i,

Tij = waktu tempuh antara sumber i dan stasiun pengamat j,

dl = panjang segmen sinar seismik dari lintasan integrasi Lij, bergantung pada lokasi hiposenter dan penerima

s(r) = perlambatan (slowness) sebagai fungsi dari posisi.

Adapun pada proses tersebut, informasi atau parameter yang telah diketahui hanyalah waktu tiba gelombang dan posisi stasiun perekam gempa.

II.3 Ketidakunikan Solusi pada Mikroseismik Lubang-Bor

Pengamatan mikroseismik menggunakan borehole/vertical-downhole array memiliki kelebihan yaitu kedalaman dari sumber mikroseismik dapat dibatasi dengan sangat baik sehingga kita bisa mendapatkan resolusi kedalaman yang tinggi. Namun, pada pengamatan ini terdapat permasalahan ambiguitas solusi pada bidang horizontal sehingga kita tidak dapat menggunakan metode inversi yang banyak digunakan pada pengamatan di permukaan. Ambiguitas atau ketidakunikan solusi ini disebabkan karena konfigurasi pemasangan sensor yang berupa vertical array sehingga tidak dapat membatasi fungsi objektif misfit dari sumber pada bidang horizontal. Ilustrasi dari persebaran fungsi objektif misfit ini pada pengamatan di permukaan jika dibandingkan dengan pada pengamatan di

single vertical-downhole, ditunjukkan oleh gambar 2.2.

Pada pengamatan di permukaan (gambar 2.2 bagian kiri), fungsi objektif pada bidang horizontal dapat dibatasi dengan baik. Misalnya, jika sumber mikroseismik dikelilingi secara baik oleh empat buah stasiun sesuai gambar, fungsi misfit akan tersebar dan mengerucut ke arah lokasi sumber sebenarnya. Lokasi sumber yang

(18)

8

ditunjukkan oleh bintang merah akan memiliki nilai fungsi misfit yang paling kecil. Lain halnya pada pengamatan di vertical array, pada pengamatan ini (gambar 2.2 bagian kanan), fungsi objektif hanya bisa dibatasi dengan baik pada fungsi kedalaman, tidak pada bidang horizontal. Lingkaran merah menunjukkan area yang akan memiliki fungsi misfit bernilai sama dengan lokasi sumber sebenarnya. Hal ini menyebabkan munculnya lokasi hiposenter bias (ditunjukkan oleh bintang kuning) yang memiliki nilai misfit sama kecilnya dengan hiposenter sebenarnya pada area lingkaran.

Gambar II.2 Persebaran fungsi objektif mifit pada pengamatan di permukaan atau

surface array (bagian kiri) dan pada pengamatan di lubang-bor atau vertical-downhole array (bagian kanan). Tanda bintang merah

merupakan lokasi sumber sebenarnya, segitiga terbalik merupakan stasiun, dan bintang kuning merupakan lokasi sumber yang bias.

Gambar II.3 Skema optimisasi metode pencarian sistematik pada bidang radial dari sumber mikroseismik (Jones dkk., 2013).

Permasalahan ini dapat diselesaikan salah satunya menggunakan analisa polarisasi gelombang P (Jones dkk., 2010; Jones dkk., 2013). Melalui analisa hodogram dari

(19)

9

polarisasi gelombang P, kita dapat mengetahui back azimuth dari stasiun pengamat terhadap sumber mikroseismik. Hal ini akan memberikan informasi mengenai arah radial kedatangan sumber mikroseismik. Maka, ambiguitas pada bidang horizontal dapat direduksi dengan melakukan optimisasi pencarian sistematik hanya pada bidang radial ini (gambar 2.3).

II.4 Analisa Hodogram dari Polarisasi Sinyal Gelombang P

Salah satu sifat dari gelombang P adalah arah gerak partikel akan searah dengan arah penjalaran gelombangnya. Maka karena itu, gelombang P akan terpolarisasi secara vertikal dan radial. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk mengestimasi back

azimuth terhadap sumber mikroseismik dengan menggunakan vektor dari

amplitudo gelombang P (Havskov dan Ottemoller, 2010). Hal ini ditunjukkan pada gambar 2.4. Komponen radial dari gelombang P akan terekam pada dua komponen horizontal dari seismometer (komponen North-South dan East-West). Jika AE merupakan amplitudo pada komponen East-West dan AN merupakan amplitudo pada komponen North-South, maka rasio amplitudo AE /AN pada komponen horizontal tersebut dapat digunakan untuk menghitung back azimuth ∅ terhadap sumber mikroseismik dengan persamaan sebagai berikut:

∅ =

(2.2)

Gambar II.4 Contoh mosi pertama dari gelombang P pada rekaman 3-komponen (Havskov dan Ottemoller, 2010).

(20)

10

Analisa hodogram dapat dilakukan dapat dilakukan untuk memperkirakan polarisasi sinyal. Hal ini dilakukan dengan melakukan crossplotting amplitudo sinyal relatif dari dua komponen horizontal yang dimiliki (ditunjukkan oleh gambar 2.5). Hodogram ini menampilkan penggambaran grafis dari pergerakan tanah, dimana selanjutnya beberapa teknik analisa dapat digunakan untuk memperkirakan arah pergerakan partikel, salah satunya adalah principal

component analysis.

Gambar II.5 Skematik gambar hodogram dari dua komponen: komponen N-S (jingga) dan komponen E-W (merah), (Maxwell, 2014).

Namun perlu diperhatikan bahwa hasil perhitungan ini akan memiliki ambiguitas 180o. Untuk itu, analisa selanjutnya perlu dilakukan menggunakan kombinasi polaritas untuk menghilangkan ambiguitas ini. Polaritas pertama pada rekaman seismogram di ketiga komponen dapat bernilai positif ataupun negatif bergantung

(21)

11

pada arah penjalaran gelombang tersebut. Misalnya, jika polaritas pertama bernilai positif pada komponen vertikal (berarti arah gerak partikel ke atas), maka komponen radial gelombang P tersebut berarah menjauh dari hiposenter. Hasil sebaliknya juga akan berlaku jika polaritas tersebut bernilai negatif. Kombinasi dari polaritas pada setiap komponen ini dan kasus dimana 180O perlu ditambahkan untuk memperoleh back azimuth dari stasiun, ditunjukkan oleh tabel 2.1 (diperoleh dari Havskov dan Ottemoller, 2010).

Tabel II.1 Kombinasi dari polaritas dan kasus dimana 180O perlu ditambahkan.

II.5 Inversi Pencarian Sistematik Terarah dan Metode Stasiun Master Salah satu cara untuk memperoleh solusi inversi non-linier menggunakan pendekatan global adalah dengan mengevaluasi secara sistematik nilai fungsi obyektif untuk setiap model pada ruang model (Grandis, 2009). Evaluasi secara sistematik fungsi obyektif untuk setiap sampel model pada ruang model merupakan cara yang paling mudah untuk memperoleh solusi inversi non-linier. Perhitungan fungsi obyektif pada dasarnya merupakan perhitungan pemodelan kedepan yang kemudian dibandingkan dengan data observasi.

Dimisalkan tjobs adalah waktu tiba gelombang seismik pada stasiun j (xj, yj, zj) dari hiposenter sumber (xi, yi, zi), Tijcaladalah waktu tempuh kalkulasi dari sumber i ke stasiun j (hasil ray tracing), dan τi adalah waktu terjadinya gempa (origin time) pada sumber i. Maka, dti atau merupakan selisih antara hasil observasi dan hasil kalkulasi pada stasiun j, dapat dihitung dengan persamaan:

= − − (2.3) Fungsi objektif kemudian diperoleh dengan menghitung jumlah kuadrat residual terkecil dari seluruh stasiun:

(22)

12

Kemudian, fungsi objektif dihitung secara sistematik untuk setiap grid atau sampel dalam ruang model yang telah didefinisikan sebelumnya dihitung. Ruang model dapat dibatasi dan diarahkan berdasarkan arah back azimuth dari stasiun pengamat. Lokasi hiposenter yang memiliki fungsi objektif terkecil dapat dipilih dan dianggap sebagai lokasi terbaik yang memiliki misfit minimum antara waktu tempuh observasi dengan waktu tempuh kalkulasi.

Adapun perhitungan fungsi objektif ini memiliki kelemahan. Perhitungan ini membutuhkan informasi mengenai waktu terjadinya gempa, padahal umumnya informasi ini belum diketahui dan juga menjadi parameter model yang dicari. Data observasi yang kita miliki adalah waktu tiba observasi di setiap stasiun, sedangkan hasil pemodelan kedepan yang kita miliki adalah waktu tempuh kalkulasi. Maka, permasalahan inversi non-linier ini tidak dapat disederhanakan hanya sebagai inversi waktu tempuh, melainkan harus berupa inversi waktu tiba gelombang. Untuk mengatasi permasalahan ini, metode stasiun master (Zhou, 1994; Lomax, 2005) dapat diaplikasikan.

Pada metode stasiun master, Zhou (1994) mendefinisikan bahwa selisih antara waktu tiba gelombang di setiap stasiun akan bernilai sama dengan selisih antara waktu tempuh gelombang di setiap stasiun. Maka, fungsi objektif pada persamaan 2.3 dan 2.4 dapat dimodifikasi menjadi:

( ) = ∑ ∑ − − ( − ) (2.5)

dimana j dan k merupakan nomor stasiun berbeda yang merekam kejadian mikroseismik dari sumber i. Sama halnya seperti di atas, fungsi objektif kemudian dihitung secara sistematik untuk mencari lokasi hiposenter terbaik, yaitu lokasi dengan fungsi objektif terkecil.

Kemudian, waktu kejadian gempa (origin time) dapat dihitung dengan merata-ratakan selisih antara waktu tiba observasi dengan waktu tempuh kalkulasi. Hal ini dilakukan dengan catatan bahwa waktu tempuh kalkulasi tersebut diperoleh dari lokasi terbaik. Perhitungan dilakukan dengan persamaan:

(23)

13 II.6 Magnitudo Momen

Beberapa hal utama yang menjadi pertanyaan pada suatu kejadian mikroseismik adalah dimana lokasi dari sumber kejadian tersebut dan seberapa besar kekuatannya. Magnitudo merupakan suatu nilai besaran yang menunjukkan kekuatan dari suatu gempa. Perhitungan nilai manitudo merupakan hal yang penting untuk mengetahui energi yang terlepaskan untuk mengestimasi potensi kerusakan yang terjadi oleh suatu gempa; ukuran fisik dari gempa; dan perkiraan pergerakan tanah (ground motion) dan seismic hazard.

Pada penelitian ini, skala magnitudo yang akan digunakan pengolahan data adalah

moment magnitude atau magnitudo momen (Mw). Sebagian besar skala magnitudo didasarkan pada pengukuran amplitudo dalam domain waktu. Untuk mendapatkan hasil yang umum, digunakan estimasi spektral. Dengan menghubungkan

seismograph accordance dengan actual physical displacement yang muncul

selama kejadian mikroseismik, maka akan didapatkan suatu skala magnitudo berupa magnitudo momen (Mw). Penentuan magnitudo ini tidak hanya dilihat dari nilai amplitudo, namun menggunakan informasi parameter-parameter gempa yang terdapat dalam data rekaman gempa, yaitu momen seismik.

Momen seismik / seismic moment didefinisikan sebagai besarnya gaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan rekaman gelombang. Nilai momen seismik pada suatu bidang sumber didefinisikan sebagai berikut,

= (2.7)

dengan adalah shear modulus, adalah average slip, dan adalah area rupture.

Momen seismik dapat dihitung menggunakan analisis spektral. Parameter gempa ini dalam Newton meter dapat diestimasi dari seismogram menggunakan persamaan dalam domain frekuensi, dihitung dengan melakukan pencocokkan spektrum frekuensi dari displacement sinyal seismik terhadap spektrum sumber teoritik So(f) dari Model Brune (Brune, 1970; Rodriguez-Pradilla, 2015) yang dapat didefinisikan sebagai berikut,

( ) =

(24)

14

dengan f adalah frekuensi data, Ωo adalah low frequency spectral level, fo adalah frekuensi corner, dan n adalah konstanta yang mempengaruhi bentuk kurva dan bernilai khusus pada kasus tertentu (misalnya bernilai 2 untuk kasus sinyal dengan konten frekuensi tinggi). Untuk mendapatkan nilai Ωo dan fo dari setiap event mikroseismik, waveform gelombang P yang memiliki rasio S/N tinggi di-window kemudian di-FFT untuk mendapatkan spektrum frekuensi. Kemudian data observasi ini dicocokkan terhadap spektrum teoritik menggunakan persamaan kuadrat terkecil. Contoh fitting / pencocokkan ini ditunjukkan pada gambar 2.4.1.

Gambar II.6 Sinyal yang kemudian di-window (atas) dan hasil fitting pada spektrum frekuensi (bawah), (Rodriguez-Pradilla, 2015).

Kemudian, momen seismik dapat dihitung sebagai berikut,

= (2.9)

dengan adalah densitas (kg/m3), adalah kecepatan gelombang (m/s), adalah low frequency level (ms) dari spectrum amplitude yang ekuivalen dengan area di bawah displacement pulse, r merupakan jarak sumber ke stasiun pengamat (hasil ray-tracing dalam meter), dan R merupakan nilai koreksi dari radiation

pattern dan free surface. Setelah memperoleh nilai momen seismik, maka nilai

magnitudo momen dapat dhitung sebagai berikut:

(25)

15

Bab III Pengolahan Data

III.1 Pendefinisian Geometri Pengamatan dan Orientasi Sensor

Pada pengamatan mikroseismik menggunakan borehole array, orientasi dari sensor perlu dicari, berbeda halnya dengan pengamatan di permukaan. Pada konfigurasi ini, hanya komponen vertikal yang sudah dapat ditentukan, sedangkan komponen horizontal bisa saja terdapat dalam orientasi ke arah manapun di dalam lubang-bor. Kita perlu mengembalikan komponen horizontal (X dan Y) sensor ke arah geografik bumi, yaitu menjadi komponen North-South dan East-West. Untuk itu, suatu tembakan kalibrasi dibutuhkan untuk menghitung orientasi dari alat.

Langkah pertama dalam tahapan ini adalah menyusun geometri pengamatan yang terdiri dari lokasi well-head dan lokasi seismometer lubang-bor (posisi x, y, dan kedalaman). Selanjutnya, informasi mengenai tembakan kalibrasi dibutuhkan. Tembakan kalibrasi ini merupakan sumber buatan yang telah pasti diketahui lokasinya (posisi x, y, dan kedalaman). Pada penelitian ini, tembakan kalibrasi yang digunakan merupakan tembakan perforasi. Terdapat empat tembakan perforasi pada kedalaman berbeda yang dilakukan sebagai kalibrasi. Geometri pengamatan ini ditunjukkan pada gambar 3.1.

Analisa hodogram dari polarisasi sinyal gelombang P dapat digunakan untuk menghitung arah kedatangan event mikroseismik. Dengan menggunakan analisa ini, kita dapat menghitung arah kedatangan dari tembakan perforasi terhadap orientasi alat (bukan terhadap geografik bumi). Selain itu, lokasi dari tembakan perforasi telah diketahui sehingga kita memiliki informasi mengenai sudut back

azimuth sebenarnya pada geografik bumi. Dengan kedua informasi ini, kita dapat

menghitung orientasi alat terhadap geografik bumi. Informasi orientasi alat dibutuhkan untuk mengembalikan sinyal secara komputasi ke komponen horizontal yang sesuai dengan geografik bumi.

Sebagai contoh, ilustrasi ini ditunjukkan oleh gambar 3.2. Misalkan pada tembakan perforasi pertama, lokasi dari sumber buatan ini sudah diketahui berada

(26)

16

Gambar III.1 (a) Peta geometri dari sumur pengamatan (seismometer lubang-bor) dan sumur treatment. (b) Penampang vertikal Utara – Selatan yang ditandai zona abu-abu pada peta; bintang merah merupakan tembakan perforasi (penomoran dimulai dari paling bawah) dan segitiga biru terbalik merupakan sensor seismometer (penomoran dimulai dari paling atas). (c) Peta lokasi lapangan CBM.

di sumur treatment, sesuai dengan geometri pada gambar. Dengan melakukan analisa polarisasi di stasiun pengamatan (seismometer lubang-bor), seharusnya perhitungan back azimuth akan menghasilkan nilai berupa 193o terhadap Utara bumi. Namun, hasil perhitungan dari data observasi akan berbeda karena arah Utara pada komponen horizontal tidak mengarah ke geografik Utara bumi. Pada gambar 3.2.b, hasil perhitungan polarisasi akan menghasilkan nilai back azimuth yaitu sebesar 148o. Perbedaan nilai inilah yang akan menjadi acuan untuk menentukan arah orientasi alat. Pada ilustrasi ini, dapat dihitung bahwa orientasi

(27)

17

alat bernilai 45o dari Utara bumi, atau dapat dikatakan bahwa arah Utara alat berada pada azimuth 45o dari arah Utara bumi. Untuk itu, kita perlu merotasi sinyal sesuai hasil tersebut untuk memperoleh sinyal dengan arah komponen horizontal yang sesuai dengan geografik bumi secara komputasi.

Perlu dicatat bahwa setiap nomor seismometer dapat memiliki arah orientasi yang berbeda. Untuk itu, pada tembakan perforasi yang sama, analisa ini dilakukan pada semua data di setiap seismometer. Pada penelitian ini, terdapat 4 tembakan perforasi. Oleh karena itu, untuk setiap seismometer, kita dapat merata-ratakan orientasi alat yang diperoleh dari 4 perforasi tersebut. Orientasi setiap sensor terhadap Utara bumi ditunjukkan oleh tabel 3.1.

Gambar III.2 (a) Ilustrasi geometri pengamatan dan orientasi alat terhadap geografik bumi. (b) Contoh hasil polarisasi yang ditemui akibat orientasi alat yang berbeda dengan geografik bumi.

Dapat disimpulkan bahwa, arah orientasi dari setiap seismometer memiliki nilai konsisten pada satu perforasi ke perforasi lainnya, kecuali seismometer 8 pada

(28)

18

tembakan perforasi ketiga. Hal ini disebabkan karena pada perforasi ini, seismometer 8 memiliki rasio S/N (signal to noise) yang sangat rendah. Analisa polarisasi sangat bergantung pada rasio S/N dari data yang kita miliki. Maka karena itu, agar tidak merusak hasil yang sudah baik diperoleh dari perforasi lainnya, hasil tersebut tidak diikutkan pada perhitungan rata-rata orientasi alat dan tidak digunakan pada perhitungan selanjutnya.

Tabel III.1 Orientasi alat dari setiap seismometer.

III.2 Identifikasi Event Mikroseismik

Pengerjaan hydraulic fracturing di lapangan coal bed methane (CBM) pada penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap stimulasi. Stimulasi rekahan dibagi menjadi 11 hari tahap injeksi, yang berlokasi di treatment well (gambar 4.1). Pengamatan mikroseismik ini dilakukan dilakukan pada semua hari di tahap stimulasi tersebut. Aktifitas mikroseismik direkam menggunakan 8 seismometer

downhole 3-komponen (gambar 3.1) dengan sampling rate 4000 Hz atau 0.25 ms.

Beberapa persiapan data yang dilakukan adalah (secara rinci pada Lampiran B): 1. Rotasi sinyal berdasarkan informasi orientasi sensor (tabel 3.1), bertujuan

untuk mengembalikan sinyal pada komponen horizontal (komponen N-S dan E-W) ke arah geografik bumi sebenarnya.

2. Short time fourier transform untuk melihat kandungan frekuensi sinyal. 3. Band-pass filtering untuk meningkatkan rasio S/N (signal to noise).

Seluruh event mikroseismik diidentifikasi berdasarkan analisa short time average terhadap long time average atau STA/LTA (Earle dan Shearer, 1994). Kemudian, waktu tiba untuk gelombang P dan S ditentukan (di-picking) secara manual. Terdapat 1864 event mikroseismik yang telah diidentifikasi dan di-picking.

(29)

19

Seluruh event ini terjadi pada 11 hari pengamatan tersebut. Contoh sinyal dan hasil picking pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran C.

Pada penentuan waktu tiba gelombang P dan S, picking hanya dilakukan pada sinyal yang jelas dan memiliki rasio S/N yang baik. Rekaman sinyal yang buruk atau bias di beberapa stasiun pengamatan akan ditinggalkan untuk menjaga tingkat kepercayaan hasil picking. Selain itu, untuk menjaga kualitas picking pada penelitian ini, kontrol kualitas dilakukan menggunakan diagram Wadati (Lampiran C). Hal ini dilakukan dengan menge-plot selisih antara waktu tiba S dan waktu tiba P terhadap waktu tiba gelombang P. Semakin lama gelombang P tiba di suatu stasiun, maka semakin besar juga selisih antara gelombang S dan P.

Ketelitian hasil picking atau penentuan waktu tiba gelombang P dan S di setiap stasiun memiliki peranan penting terhadap solusi lokasi hiposenter. Untuk mereduksi human error pada saat picking manual, perbaikan kemudian dilakukan terhadap hasil picking awal tersebut menggunakan algoritma modified energy

ratio (MER) (Akram, 2014; Akram dan Eaton, 2016). Secara rinci, algoritma

MER dapat dilihat pada Lampiran D.

Gambar III.3 (a) Sinyal event mikroseismik dengan rasio S/N tinggi, hasil

picking manual gelombang P dan S (garis magenta), dan hasil perbaikan picking (garis hitam). (b) Kurva MER untuk sampel yang dibatasi

(30)

20

Informasi hasil picking awal dapat digunakan untuk membatasi ruang sampel perhitungan MER. Gambar 3.3 menunjukkan hasil perbaikan picking fasa gelombang P dan S untuk sinyal yang memiliki rasio S/N tinggi. Secara visual, dapat dilihat bahwa hasil perbaikan picking berada tepat di first break sinyal dan lebih baik dibandingkan hasil picking manual. Garis merah putus-putus memberikan informasi bahwa first break dari gelombang tepat berada pada saat nilai MER maksimum, baik jika perhitungan nilai MER dibatasi informasi picking manual (gambar 3.3.b), maupun jika nilai MER dihitung untuk seluruh sampel (gambar 3.3.c). Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbaikan hasil

picking akan optimal meskipun tidak terdapat informasi picking awal.

Gambar III.4 (a) Sinyal event mikroseismik dengan rasio S/N tipikal, hasil

picking manual gelombang P dan S (garis magenta), dan hasil perbaikan picking (garis hitam). (b) Kurva MER untuk sampel yang dibatasi

berdasar-kan informasi picking manual. (c) Kurva MER untuk seluruh sampel.

Namun, kesimpulan tersebut tidak berlaku pada sinyal lainnya yang memiliki rasio S/N tipikal atau umum. Gambar 3.4 menunjukkan hasil perbaikan picking fasa gelombang P dan S untuk sinyal tersebut. Garis merah putus-putus memberikan informasi bahwa first break dari gelombang tepat berada pada saat nilai MER maksimum hanya jika sampel dibatasi berdasarkan informasi picking manual (gambar 3.4.b). Kurva MER pada perhitungan seluruh sampel (gambar 3.4.c) menunjukkan puncak lain yang akan memberikan hasil ambigu. Melalui perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa algoritma perbaikan hasil picking ini

(31)

21

membutuhkan informasi picking manual untuk membatasi sampel perhitungan MER, terutama untuk sinyal lainnya yang memiliki rasio S/N beragam.

III.3 Konstruksi Model Kecepatan 1-D Vp & Vs

Pada penelitian ini, model kecepatan dibutuhkan untuk menghitung waktu tempuh kalkulasi dari sumber ke stasiun, baik model kecepatan gelombang P maupun gelombang S. Model kecepatan ini kemudian diturunkan dari sonic logs yang diukur di treatment well. Data sonic logs tersebut kemudian diperhalus menjadi suatu model blok kecepatan 1 dimensi. Model blok kecepatan ini hanya bervariasi terhadap kedalaman.

Gambar III.5 Model kecepatan 1-D untuk Vp dan Vs.

Setiap blok pada model kecepatan merepresentasikan grup litologi pada area penelitian. Gambar 3.5 menunjukkan model kecepatan 1-D untuk Vp dan Vs yang digunakan pada penelitian ini, beserta kondisi nyatanya di geometri pengamatan. Lapisan tipis dengan nilai kecepatan rendah merupakan lapisan batubara dimana

(32)

22

gas methane dicurigai berada. Lapisan inilah yang menjadi area reservoir yang akan distimulasi. Selain itu, lapisan lain merupakan litologi yang dianggap sebagai model background, terdiri dari batuan sedimen.

III.4 Penentuan Lokasi Event Mikroseismik

Total jumlah event mikroseismik yang telah diidentifikasi dan ditentukan waktu tibanya untuk fasa gelombang P dan S, adalah 1864 event. Selanjutnya, kita perlu menentukan lokasi hiposenter dari setiap event. Hal ini dilakukan untuk memetakan potensi rekahan yang terjadi akibat pengerjaan hydraulic fracturing. Penentuan lokasi hiposenter ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu:

1. analisa hodogram dari polarisasi gelombang P untuk mengestimasi back

azimuth dari stasiun pengamat ke sumber,

2. analisa kombinasi polaritas untuk menghilangkan ambiguitas 180o,

3. proses inversi menggunakan pencarian sistematik terarah, dimana ruang model diarahkan pada area back azimuth dengan toleransi sebesar 5o.

Analisa hodogram dari polarisasi gelombang P dilakukan untuk mengestimasi arah kedatangan radial dari sumber mikroseismik berdasarkan nilai back azimuth. Contoh analisa hodogram yang dilakukan pada event ditunjukkan oleh gambar 3.6. Pertama-tama, sinyal dicuplik pada bagian paling pertama semenjak gelombang P tiba di stasiun untuk memperoleh gelombang P yang tajam dan terpolarisasi linear. Melalui hasil short time fourier transform (dapat dilihat pada Lampiran B), informasi mengenai periode dominan dari sinyal dapat diperoleh. Pada penelitian ini, panjang window cuplikan yang digunakan adalah 1.5 kali periode dominan dari sinyal suatu event mikroseismik tertentu (nilainya berbeda untuk tiap event). Dalam arti lain, jika suatu sinyal event memiliki periode dominan sebesar 1.34 milisekon, maka cuplikan sinyal yang digunakan pada analisa hodogram adalah sinyal ketika gelombang P tiba di stasiun pengamat sampai 2 milisekon setelahnya. Setelah itu, cuplikan sinyal tersebut yang diperoleh dari kedua komponen horizontal: komponen Utara-Selatan dan komponen Barat-Timur, di-plot pada grafik hodogram untuk memperoleh informasi mengenai back azimuth dari stasiun pengamat.

(33)

23

Gambar III.6 Contoh analisa polarisasi gelombang P. (a) Rekaman sinyal yang dicuplik 0.002 detik sejak tiba; (b) Cuplikan sinyal komponen horizontal dan hodogram yang dihasilkan.

Analisa yang sama dilakukan pada setiap stasiun (dari total 8 stasiun pengamat). Dengan menggunakan principal component analysis, kita dapat memperoleh amplitudo utama dari komponen Utara-Selatan dan komponen Barat-Timur, sehingga kemudian kita dapat menghitung back azimuth dari masing-masing stasiun (gambar 3.7) menggunakan persamaan 2.2. Dengan pengamatan pada konfigurasi near-vertical borehole, nilai back azimuth dari setiap stasiun seharusnya cenderung sama. Maka karena itu, nilai back azimuth dari suatu event mikroseismik didefinisikan sebagai rata-rata dari nilai back azimuth di semua stasiun pengamat. Selain itu, pembobotan juga dilakukan, dimana stasiun yang lebih dekat dengan event (dicirikan oleh waktu tiba P yang lebih kecil) akan memiliki bobot lebih tinggi ketika perata-rataan.

Dari total 1864 event, nilai back azimuth untuk setiap event mikroseismik bisa diperoleh. Namun, tingkat kualitas analisa polarisasi sangat bergantung pada rasio

signal to noise (S/N) data. Pada beberapa event, polarisasi yang dihitung di setiap

stasiun tidak cukup konsisten. Hal ini disebabkan rasio S/N yang rendah. Keberadaan noise yang tinggi pada rekaman di suatu stasiun akan memberikan

(34)

24

nilai back azimuth yang salah. Hal ini umumnya terjadi pada saat rasio S/N di suatu stasiun bernilai kurang dari 1 dB. Maka karena itu, pembobotan perlu dilakukan berdasarkan rasio S/N setiap stasiun ketika melakukan perata-rata back

azimuth dari semua stasiun pengamat. Hal ini mempertimbangkan bahwa hasil

polarisasi ini memiliki peranan penting untuk membatasi model pencarian di proses inversi nantinya. Stasiun yang memiliki rekaman sinyal dengan rasio S/N tinggi akan diberikan bobot yang lebih tinggi pula saat perata-rataan, dan begitu juga sebaliknya. Contoh hasil polarisasi dari beberapa event pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran F.

Gambar III.7 Contoh hodogram di setiap stasiun pengamat untuk suatu event yang sama. Selanjutnya, seperti yang telah dibahas sebelumnya, hasil back azimuth yang kita dihasilkan ini memiliki ambiguitas 180o. Lokasi sumber event mikroseismik bisa berada pada bagian lain terhadap sumur pengamatan. Maka karena itu, kita perlu menghilangkan ambiguitas 180o untuk memperoleh nilai back azimuth yang benar. Pengolahan ini dilakukan berdasarkan analisa kombinasi polaritas yang ditunjukkan oleh tabel 2.1.

Polaritas pertama pada rekaman seismogram di ketiga komponen dapat bernilai positif ataupun negatif bergantung pada arah penjalaran gelombang tersebut. (Havskov dan Ottemoller, 2010). Ilustrasi tahap pengolahan ini ditunjukkan melalui gambar 3.8. Melalui analisa hodogram dari polarisasi gelombang di suatu

(35)

25

stasiun, perhitungan memberikan informasi back azimuth bernilai 312o. Kemudian, melalui pengamatan sinyal dari event mikroseismik di stasiun tersebut, dapat ditentukan bahwa:

1. polaritas sinyal bernilai positif di komponen vertikal, 2. polaritas sinyal bernilai positif di komponen Utara-Selatan, 3. polaritas sinyal bernilai positif di komponen Barat-Timur.

Berdasarkan hal tersebut (dapat dilihat pada tabel 2.1), kita perlu menambahkan 180o pada hasil back azimuth yang kita peroleh. Maka, nilai back azimuth dari stasiun pengamat ke sumber mikroseismik tersebut adalah 132o.

Gambar III.8 Ilustrasi penggunaan polaritas dalam menghilangkan ambiguitas 180o. Tahap terakhir pada penentuan lokasi hiposenter ialah proses inversi menggunakan pencarian sistematik terarah. Ray-tracing dilakukan dengan metode

shooting. Melalui tahap sebelumnya, kita telah memiliki informasi mengenai back azimuth terhadap suatu event mikroseismik. Menggunakan informasi ini, kita

dapat membatasi ruang model kita dalam pencarian sistematik untuk mereduksi ambiguitas misfit pada bidang horizontal dan menghasilkan solusi terbaik.

Pada penelitian ini, toleransi sudut yang digunakan adalah 5o. Toleransi ini diberikan mempertimbangkan kesalahan yang mungkin dihasilkan pada tahap perhitungan polaritas gelombang. Sebagai ilustrasi, kita misalkan back azimuth terhitung dari suatu event bernilai 90o (ditunjukkan pada gambar 3.9). Pencarian sistematik kemudian hanya dilakukan pada ruang model yang ditunjukkan oleh zona abu-abu. Selain untuk membatasi ruang model kita, pencarian sistematik

(36)

26

yang diarahkan ini berguna untuk mencegah solusi terletak pada zona cermin akibat ambiguitas persebaran misfit di konfigurasi single-vertical borehole.

Gambar III.9 Ilustrasi pencarian sistematik pada area back azimuth terhadap sumber. Segitiga biru terbalik merupakan stasiun pengamat dan zona abu-abu merupakan ruang model.

Keakuratan lokasi hiposenter bergantung pada beberapa faktor antara lain model kecepatan, hasil picking waktu tiba, jumlah data, distribusi misfit, dll (Maxwell, 2014). Faktor-faktor ini dapat memberikan ketidakpastian / uncertainty pada lokasi hiposenter berupa pergeseran posisi dari lokasi sebenarnya. Maka karena itu, lokasi absolut yang akurat akan sulit untuk diperoleh. Ketidakpastian lokasi hiposenter perlu ditaksir untuk mempertimbangkan kesalahan interpretasi yang mungkin dihasilkan akibat adanya lokasi hiposenter yang semu.

Pada penelitian ini, faktor pertama yang diperhitungkan adalah persebaran misfit pada pengamatan single vertical-borehole array. Geometri pengamatan ini memiliki resiko yaitu solusi hiposenter dapat terjebak pada bidang pencerminan yang bias akibat persebaran misfit (lihat Bab 2.3). Untuk mengestimasi ketidakpastian lokasi hiposenter akibat faktor ini, simulasi kemudian dilakukan berdasarkan pencarian sistematik. Melalui tahap-tahap inversi sebelumnya, kita telah memperoleh lokasi hiposenter dari suatu event mikroseismik, dicirikan dengan nilai misfit terkecil. Informasi lokasi awal ini dapat kita gunakan untuk mencari lokasi-lokasi lain di sekitar yang memiliki nilai misfit mirip dengan lokasi awal tersebut. Pencarian sistematik dilakukan dengan ruang model yang dibatasi disekitar lokasi hiposenter awal. Lokasi-lokasi lain yang memiliki selisih

(37)

27

misfit lebih kecil dari 5% kemudian diambil sebagai cluster alternatif. Selanjutnya, solusi hiposenter pada cluster ini digunakan untuk menghitung elips kepercayaan / confidence ellipse dari suatu event dengan menggunakan principal

component analysis berdasarkan matriks kovarians (Lampiran G).

Faktor kedua yang diperhitungkan adalah jumlah data pengamatan di stasiun. Suatu event mikroseismik akan lebih mudah dikerucutkan jika data yang dimiliki semakin banyak. Namun, emisi akustik sumber mikroseismik yang memiliki energi rendah belum tentu dapat terekam dengan baik di suatu stasiun pengamatan sehingga jumlah data bisa berkurang. Untuk mengestimasi ketidakpastian lokasi hiposenter akibat faktor ini, simulasi kemudian dilakukan berdasarkan metode Monte-Carlo. Pada setiap event, simulasi dilakukan dengan menghilangkan sejumlah n data pada stasiun ke-i. Nilai n diambil secara acak dan dibatasi dengan rentang n=[1, 2, …, N], dimana N adalah jumlah total data pengamatan. Stasiun ke-i kemudian dipilih secara acak sejumlah nilai n. Selanjutnya, tahapan inversi dilakukan menggunakan data pengamatan tersebut. Sebanyak 30 kali simulasi dilakukan dan kemudian setiap solusi hiposenter diambil sebagai cluster alternatif. Sama seperti pada perhitungan di faktor pertama, cluster ini digunakan untuk menghitung elips kepercayaan dari suatu event (Lampiran G).

III.5 Penentuan Magnitudo Momen

Atribut sumber adalah parameter lainnya yang perlu diketahui dari suatu event mikroseismik selain lokasi hiposenter. Salah satu atribut sumber tersebut adalah magnitudo. Magnitudo dapat memberikan informasi mengenai energi yang dilepaskan dari sumber kejadian. Pada hydraulic fracturing, sumber ini berhubungan langsung dengan rekahan-rekahan yang terstimulasi, baik rekahan baru ataupun rekahan lama yang membuka kembali. Nilai magnitudo dapat memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai rekahan yang terstimulasi ini. Pada penelitian ini, besaran magnitudo yang digunakan adalah magnitudo momen. Penentuan nilai magnitudo momen dilakukan melalui beberapa tahap yaitu:

1. koreksi instrumen dan konversi data rekaman sinyal yang berupa ground

(38)

28

2. spectral fitting pada cuplikan sinyal gelombang P dan S untuk menghitung dan frekuensi corner,

3. perhitungan momen seismik menggunakan persamaan 2.9, 4. perhitungan magnitudo momen menggunakan persamaan 2.10.

Data mikroseismik yang terekam oleh stasiun / seismometer pada penelitian ini merupakan ground velocity dengan satuan count. Koreksi instrumen perlu dilakukan untuk mengembalikan amplitudo data rekaman ke satuan yang standar (yaitu m/s). Berdasarkan spesifikasi alat yang digunakan, koreksi ini dilakukan mengikuti persamaan berikut:

=

(2.8)

dimana N adalah jumlah sensor (N=8). Selanjutnya, rekaman sinyal yang berupa

ground velocity (satuan m/s) dikonversi ke ground displacement. Hal ini

dilakukan dengan melakukan integral trapesium terhadap data rekaman sinyal di setiap sampel. Beberapa contoh konversi sinyal ini dapat dilihat pada Lampiran H.

Setelah kita memiliki data rekaman sinyal mikroseismik berupa ground

displacement, langkah selanjutnya yang dilakukan adalah spectral fitting.

Informasi hasil picking waktu tiba gelombang P dan S dibutuhkan pada tahap ini untuk mencuplik sinyal. Tahap ini dilakukan terpisah untuk gelombang P dan S. Pertama-tama untuk gelombang P, sinyal dipilih pada komponen yang memiliki rasio S/N tertinggi. Sinyal kemudian dicuplik dalam panjang window tertentu mulai dari pertama kali gelombang P datang. Cuplikan sinyal ini harus dipastikan hanya mengandung gelombang P. Maka karena itu, panjang window yang digunakan adalah selisih nilai ts-tp dibagi dua. Cuplikan sinyal kemudian di-FFT ke domain frekuensi. Hal yang sama juga dilakukan untuk gelombang S.

Sinyal spektrum dalam domain frekuensi dibutuhkan pada tahap spectral fitting untuk memperoleh parameter spektral yang dibutuhkan, yaitu low frequency

spectral level, dan frekuensi corner, fo. Sinyal spektrum observasi ini kemudian dicocokkan dengan spektrum sumber teoritik So(f) dari Model Brune (Brune, 1970). Spektrum teoritik dibuat berdasarkan persamaan 2.8, dimana =2

(39)

29

dan n=2, untuk kasus sinyal dengan konten frekuensi tinggi (Rodriguez-Pradilla, 2015). Nilai dan fo kemudian menjadi model yang disimulasikan menggunakan metode pencarian sistematik. Spektrum teoritik yang memiliki misfit paling kecil terhadap spektrum observasi menunjukkan solusi nilai dan fo yang terbaik. Hal ini dilakukan untuk setiap cuplikan gelombang P dan S di semua stasiun.

Masing-masing nilai akan digunakan untuk menghitung momen seismik menggunakan persamaan 2.9. Pada penelitian in, nilai ρ yang digunakan adalah 1.3 g/cm3 untuk event yang terjadi di seam batubara, dan 2.3 g/cm3 untuk event yang terjadi di lapisan lain. Nilai V (dalam m/s) dan r (dalam meter) diperoleh berdasarkan ray-tracing dari sumber ke stasiun melewati model kecepatan 1-D. Nilai koreksi radiation pattern yang digunakan adalah 0.44 untuk fasa P dan 0.6 untuk fasa S, dan koreksi free surface bernilai 2 (Rodriguez-Pradilla, 2015).

Melalui tahap ini, kita akan memperoleh nilai momen seismik dari fasa gelombang P dan S di setiap stasiun pengamat untuk suatu event yang sama. Nilai momen seismik pada event tersebut kemudian didefinisikan sebagai rata-rata dari seluruh nilai momen seismik di seluruh stasiun pengamat. Selanjutnya, nilai magnitudo momen dapat dihitung menggunakan persamaan 2.10.

Gambar III.10 (a) Contoh sinyal event mikroseismik dan window cuplikan masing-masing untuk fasa P dan S. (b) Spectral fitting untuk gelombang P dan (c) gelombang S pada event tersebut. Garis biru adalah spektrum observasi dan garis merah adalah spektrum teoritik.

(40)

30

Bab IV Hasil dan Interpretasi

IV.1 Hasil

Sebanyak total 1864 event mikroseismik telah berhasil ditentukan lokasi hiposenternya berdasarkan tahap-tahap ini. Peta persebaran hiposenter beserta analisa ketidakpastian berdasarkan persebaran misfit ditunjukkan pada gambar 4.1. Peta persebaran hiposenter ini dan analisa ketidakpastian berdasarkan jumlah data secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran I.

Gambar IV.1 Peta persebaran event mikroseismik: (a) Peta episenter, (b) Peta penampang Utara-Selatan. Hiposenter ditunjukkan oleh bulatan merah beserta elips kepercayaan (elips merah muda), segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor di sumur pengamatan, dan kotak hitam

(41)

31

merupakan sumur treatment dimana pengerjaan hydraulic fracturing dilakukan. (c) Histogram dari misfit RMS hasil hiposenter. (d) Histogram waktu tempuh residual untuk fasa P dan S.

Lokasi hiposenter ini tersebar dengan nilai misfit RMS bervariasi dengan rentang 0 sampai 10 ms (gambar 4.1.c dan 4.1.d). Secara statistik, persebaran nilai misfit yang cukup kecil ini menunjukkan solusi hiposenter yang baik. Selanjutnya, ketidakpastian lokasi hiposenter menunjukkan hasil yang mirip baik berdasarkan persebaran misfit maupun jumlah data. Pada bidang horizontal, ketidakpastian lokasi bervariasi antara 5 sampai 20 meter. Namun, elips kepercayaan dari setiap lokasi hiposenter hanya tersebar pada bidang tegasan cluster. Maka dapat disimpulkan bahwa kedua faktor ini tidak mempengaruhi hasil interpretasi karena kemungkinan kesalahan lokasi hiposenter masih jatuh pada cluster yang sama.

Pada bidang vertikal, ketidakpastian lokasi hiposenter bervariasi antara 2 sampai 5 meter. Kebanyakan event mikroseismik terjadi pada kedalaman antara 570 sampai 580 meter, yaitu pada sekitar lapisan pertama batubara. Hal ini sangat masuk akal jika dihubungkan dengan tahap injeksi hydraulic fracturing yang dilakukan. Tahapan injeksi utama dilakukan di 9 Agustus 2012 pada lapisan batubara tersebut. Hal ini mendukung kelebihan dari konfigurasi vertical borehole, yaitu kedalaman dari event mikroseismik akan terlingkupi dengan baik. Dapat disimpulkan bahwa persebaran event mikroseismik tersebut telah menunjukkan hasil yang baik pada segi kedalaman. Kemungkinan adanya kesalahan lokasi juga akan sangat kecil, terutama pada batas lapisan batubara.

Pada Lampiran J, ditunjukkan bahwa hasil picking waktu tiba gelombang P dan S untuk kasus mikroseismik lubang-bor dapat memberikan pengaruh yang unik pada hasil lokasi hiposenter. Pada bidang horizontal, pergeseran lokasi dapat terjadi akibat pencerminan di bidang 180o dari back azimuth. Informasi hasil

picking waktu tiba yang kurang tepat dapat berujung pada kesalahan informasi

mengenai kombinasi polaritas gelombang pada suatu stasiun sehingga penghilangan ambiguitas 180o gagal dilakukan.

(42)

32 IV.2 Interpretasi

Secara umum, kebanyakan event mikroseismik yang terjadi memang terstimulasi pada batas lapisan batubara. Area rekahan ini pada bidang horizontal dapat dipetakan dalam cluster berdasarkan persebaran event mikroseismik, yaitu:

1. Cluster Selatan. Pada kelompok ini, event tersebar dengan arah orientasi Barat Laut ke Tenggara dan memanjang mulai dari sumur treatment. 2. Cluster Timur. Pada kelompok ini, event tersebar dengan arah orientasi

Barat Laut ke Tenggara mirip seperti cluster Selatan, namun event berada jauh dari sumur treatment dimana terdapat celah pemisah di antaranya.

Gambar IV.2 Peta persebaran event mikroseismik beserta magnitudo momen (skala bulatan): (a) Peta episenter, (b) Penampang Utara-Selatan.

Kelompok / cluster Selatan merupakan perbesaran event mikroseismik yang paling sesuai dengan keberadaan sumur treatment. Event mikroseismik ini tersebar di sekitar sumur treatment dengan magnitudo relatif kecil dan kemudian menyebar ke arah Tenggara dengan magnitudo semakin membesar. Studi yang sedang dilakukan Septyana (2015) (komunikasi personal) juga menunjukkan suatu sesar lokal dengan orientasi Barat Laut ke Tenggara pada area tersebut.

Pada cluster Selatan, event mikroseismik pertama kali terinduksi di sekitar sumur

Gambar

Gambar II.1  Berbagai macam skenario pemasangan sensor pada konfigurasi yang  berbeda  (kiri)  dan  konfigurasi  vertical-downhole  array  (kanan)  (Maxwell, 2014).
Gambar II.4  Contoh  mosi  pertama dari  gelombang  P  pada  rekaman  3-komponen  (Havskov dan Ottemoller, 2010)
Gambar II.5  Skematik  gambar  hodogram  dari  dua  komponen:  komponen  N-S  (jingga) dan komponen E-W (merah), (Maxwell, 2014)
Gambar III.1  (a)  Peta  geometri  dari  sumur  pengamatan  (seismometer  lubang- lubang-bor)  dan  sumur  treatment
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tercatat 2 lembaga yang pernah mengeluarkan aturan perpajakan di TL yaitu UNTAET (badan PBB yang mengasuh negara baru TL) yang mengeluarkan sebuah petunjuk tentang:

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan data-data pada tahapan persiapan awal (preliminary phase) penelitian arsitektur enterprise Badan Perizinan Terpadu dan

Dari hasil wawancara singkat penulis dengan salah satu pengelola web server http://trans-jbtb.pln.co.id bahwasanya pengelola web server http://trans- jbtb.pln.co.id

Kaibotan Sri Kamusan FFBCC Fortuna FFBCC Hibumas 2-Parcel 6 Hibumas 2-Parcel 7 Sapi Sugut-Koperasi Sapi Sugut-Aktif Kukuh Hibumas 1-Parcel 9/23 Jebawang Hibumas 1-Parcel 10

secara khusus dari masing-masing jenis tersebut memiliki definisi bahasa.. Dari segi penyimpangannya pun juga masing-masing jenis tabu tersebut memiliki arti dan makna

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antara penggunaan Instagram dengan perilaku narsisme mahasiswa Jurnalistik UIN Alauddin, meskipun tidak

Penelitian ini penulis menggunakan metode Sosiologis atau Empiris. 13 Dan penelitian Empiris adalah berkaitan dengan sifat objektif dan empiris dari ilmu

Selain membatu siswa untuk memahami isi bacaan karya sastra dalam Inggris, literature circles juga bermanfaat dalam pengembangan karakter siswa yang juga sejalan