ix
Manusia selalu merasa ada yang kurang dari dirinya dan terus menerus berusaha dipenuhi. ‘Kekurangan’ tersebut bisa disebabkan oleh kesenjangan ekonomi, politik, budaya, agama yang dianggap tidak ideal. Kekurangan tersebut menghadirkan rasa tidak puas yang pada akhirnya melahirkan resistensi melalui berbagai cara. Salah satu kelompok yang merasa tidak puas atau menganggap realitas hidup saat ini bukanlah realitas yang ideal dan ‘semestinya ada’ adalah Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ketidakpuasaan Jamaah an-Nadzir disebabkan konstruksi mereka tentang bagaimana seharusnya kehidupan beragama dalam Islam menurut imaji mereka yang semakin tergerus oleh arus modernisasi dan sekularisasi. Ketidakpuasan tersebut mendorong Jamaah an-Nadzir untuk membentuk sebuah komunitas mandiri di mana mereka dapat menjalankan apa yang mereka yakini secara bebas.
Gerakan yang diusung oleh Jamaah an-Nadzir sangat kental dengan unsur messianisme. Messianisme adalah sebuah gerakan yang mengharapkan dan berusaha mewujudkan ‘pemerintahan ideal’ setelah zaman yang dianggap bobrok di bawah kepemimpinan tokoh tertentu yang dianggap sebagai perwujudan kehendak ilahi. Messianisme an-Nadzir didasarkan pada klaim teologi Islam. Komunitas an-Nadzir meyakini dan sekaligus mengklaim bahwa mereka sedang mempersiapkan kedatangan sosok mesias Islam, Imam Mahdi. Imam Mahdi dalam konstruksi jamaah dibuat berbeda dengan konstruksi kelompok Islam lainnya. Di sini, mereka menambahkan unsur narasi lokal, seperti penghubungan sosok Imam Mahdi dengan tokoh lokal Kahar Muzakkar dan pendiri komunitas, Kyai Samsuri Abdul Madjid.
Messianisme an-Nadzir dalam penilitian ini akan dipandang dari perspektifinvention of tradition untuk menelusuri sejauh mana gagasan messianisme an-Nadzir hadir sebagai sebuah kreasi. Kreasi messianisme Jamaaah an-Nadzir tidak bisa dilepaskan dari konsep-konsep mesianisme yang telah mapan. Penelitian ini juga berusaha menelusuri dan menunjukkan kompleksitas relasi wacana/kekuasaan yang terdapat dalam berbagai konsep messianisme, sebab bagaimana pun juga messianisme merupakan sebuah medan kontestasi di mana makna terus menerus dipertarungkan.
x
ABSTRACT
Human being always feels that there is something missing, so they try to fullfil it. It can be caused of economic, political, religious and cultural disparity. It causes dissatisfaction that in turn stimulates resistance in many ways. One such dissatisfied community with the dissatisfaction is an-Nadzir community, who lives in Gowa District, South Sulawesi. They are not satisfied with the Islamic religious condition. This dissatisfaction is stimulated by their perspective on the ideal image of religious society, and for them, the Islamic religious condition nowadays is too much influenced by the modernity and secularity. As a result, they have built an autonomous community, in which they can freely live the life based on what they believe.
The movement is dominated by messianism movement. Messianism is a movement that tries to implement ideal governance, since they claim that the world has degenerated under the figure of the representation of God in the world. An-Nadzir messianism is based on an Islamic theological claim. They believe that the savior messiah, Imam Mahdi, would appear in this world, and they have to prepare for it. The Imam Mahdi concept is constructed differently from the other constructions. The Imam Mahdi concept is contextualized with local story. It is connected to the figure of Kahar Muzakkar and the founding father of the community, Kyai Samsuri Abdul Madjid.
In this thesis, An-Nadzir messianism is viewed from the perspective of “invention of tradition”, to investigate the emergence of an-Nadzir as a creation. The an-Nadzir messianism construction is closely related to the other established concepts of messianism. This research tries to investigate as well as to show the complexity, the power/knowledge relation of the messianism concepts. It is finally to show that messianism is an arena of ongoing contestation/negotiation for truth.
i
DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniaora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
I M R A N
116322014
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ii
TESIS
KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR
DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN
Oleh: I M R A N 116322014
Telah disetujui oleh
Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S, Ph.D. ………
iii
TESIS
KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR
DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN
Oleh: I M R A N 116322014
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Pada tanggal 14 Juli 2014
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Tim Penguji
Ketua : Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J. ………
Sekertaris : Dr. Katrin Bandel ………
Anggota :
1. Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S, Ph.D. ……….
2. Dr. Stanislaus Sunardi ……….
3. Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J. ……….
Yogyakarta, 11 Agustus 2014 Direktur Program Pascasarjana
iv
PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : I M R A N
NIM : 116322014
Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas : Universitas Sanata Dharma Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis
Judul : Konstruksi Messianisme Jamaah An-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan
Pembimbing : Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S, Ph.D. Tanggal diuji : 14 Juli 2014
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam skripsi/ karya tulis/ makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum)yang telah saya peroleh.
Yogyakarta, 11 Agustus 2014 Yang memberikan pernyataan
v
KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : I M R A N
NIM : 116322016
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 11 Agustus 2014 Yang menyatakan
vi
PENGANTAR
Ketika saya pertama kali akan melakukan penelitian pada jamaah an-Nadzir,
messianisme bukanlah tema utama penelitian ini. Tema penelitian saya saat itu berjudul
Representasi dan Politik Identitas Jamaah An-Nadzir di Sulewesi Selatan. Konsentrasi
penilitian saya ubah setelah melakukan observasi lapangan di mana saya menemukan
bahwa keseluruhan wacana dan praktik teologi jamaah an-Nadzir diikat dan berpusat
pada sebuah semangat messianistik. Perubahan tema penilitian ini tidak lepas dari
arahan bapak St. Sunardi yang membantu saya melihat sentralitas semangat
messianisme tersebut. Perubahan tema tersebut sebenarnya tidak menghilangkan topik
awal tentang representasi dan politik identitas, sebab bagaimanapun juga messianisme
adalah pembentukan sebuah wacana yang sarat dengang representasi dan politik
identitas.
Wacana messianisme Islam sangat erat kaitannya dengan Islam Syiah. Literatur
menyangkut messinanisme Islam sangat banyak ditulis dalam kerangka teologi Syiah.
Bagaimana tidak, dalam doktrin Syiah messianisme atau mahdisme merupakan fondasi
keyakinan (Aqidah). Syiah meyakini bahwa setelah nabi terdapat para pemimpin
terpilih (imam) yang bertugas menjadi penjaga risalah ilahi, kepemimpinan tersebut
berakhir pada Imam Mahdi yang gaib pada sekitar tahun 250 hijriah dan dipercayai
akan muncul kembali pada waktu yang telah ditentukan Tuhan.
Hubungan erat antara wacana messianisme dalam Islam yang menjadi tema
utama penelitian ini dan teologi Syiah melahirkan sebuah pengalaman psikologis bagi
vii
seseorang yang tumbuh dalam tradisi pesantren. Enam tahun masa sekolah mulai dari
madrasah Tsanawiyah (SMP) sampai Madrasah Aliah saya tempuh di pondok pesantren
Darud Dakwah Wal Irsyad al-Ikhlas Takkalasi, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
Pesantren saya tersebut seperti kebanyakan pesantren di Indonesia beraliran Sunni.
Praktis seluruh pengetahuan teologis saya dibentuk dari konstruksi teologi Ahlus
Sunnah.
Sejak di pesantren saya telah bertemu dengan wacana Syiah melalui berbagai
kitab kuning, tapi itu dilakukan dalam rangka menolak klaim-klaim Syiah. Penelitian ini
seperti yang saya katakan sebelumnya sangat erat dengan teologi Syiah mengharuskan
saya untuk membaca literatur-literatur tersebut dari sudut pandang baru dan berbeda.
Pengalaman membaca tersebut membuat saya menyadari kompleksitas sejarah Islam
dari masa lalu sampai hari ini. Harus saya akui bahwa saya menaruh simpati pada
teologi Syiah –sebab saya belum yakin untuk mengatakan bahwa saya Syiah-.
Pengalaman ini saya sampaikan hanya untuk jujur tentang bagaimana
pengalaman saya melakukan penelitian ini. Namun demikian, simpati tersebut tidak
akan membuat penelitian lebih condong untuk mendukung klaim salah satu sekte atau
bersifat tidak netral. Sama sekali tidak. Toh lagi pula tulisan ini tidak dimaksudkan
sebagai kampanye atas sebuah konstruksi teologi tertentu, bahkan penelitian ini
dimaksudkan untuk memperlihatkan unsur-unsur kreasi dan relasi wacana/kekuasaan
dalam pelbagai klaim teologis.
Terima kasih yang sebesar-besarnya harus saya sampaikan kepada pembimbing
viii
mendapatkan pola dan logikanya. Kepada seluruh dosen Ilmu Religi dan Budaya, bapak
St. Sunardi, Romo Subanar, Romo Beny H. Juliawan, bapak George Junus Aditjonro,
Mbak Katrin Bandel, dan bapak A. Supratiknya, Romo Haryatmoko, berkat mereka
semua horizon pengetahuan saya menjadi semakin bertambah.
Terima kasih juga saya haturkan kepada teman-teman seangkatan di IRB,
Arham Rahman, Kurniasih, Vini Oktaviani Handayani, Wahmuji, Frans Pangrante,
Lamser, Doni Agung Setiawan, dan teman-teman lain yang tidak sempat saya sebutkan
satu per satu. Peran mereka sangat besar selama saya menempuh studi bukan hanya
sebagai teman nongkrong, tetapi juga sebagai parner diskusi yang langsung maupun
tidak langsung memberi kontribusi terhadap penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih
juga saya sampaikan kepada pihak Lembaga Penyalur Dana Pendidikan (LPDP) yang
telah bersedia mendanai penelitian ini.
Akhirnya, inilah tesis saya, harapan saya tesis ini dapat memberi kontribusi
dalam dinamika ilmu pengetahuan khususnya untuk bidang kajian budaya danreligious
studies.
Yogyakarta, 7 Juli 2014
ix
Manusia selalu merasa ada yang kurang dari dirinya dan terus menerus berusaha dipenuhi. ‘Kekurangan’ tersebut bisa disebabkan oleh kesenjangan ekonomi, politik, budaya, agama yang dianggap tidak ideal. Kekurangan tersebut menghadirkan rasa tidak puas yang pada akhirnya melahirkan resistensi melalui berbagai cara. Salah satu kelompok yang merasa tidak puas atau menganggap realitas hidup saat ini bukanlah realitas yang ideal dan ‘semestinya ada’ adalah Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ketidakpuasaan Jamaah an-Nadzir disebabkan konstruksi mereka tentang bagaimana seharusnya kehidupan beragama dalam Islam menurut imaji mereka yang semakin tergerus oleh arus modernisasi dan sekularisasi. Ketidakpuasan tersebut mendorong Jamaah an-Nadzir untuk membentuk sebuah komunitas mandiri di mana mereka dapat menjalankan apa yang mereka yakini secara bebas.
Gerakan yang diusung oleh Jamaah an-Nadzir sangat kental dengan unsur messianisme. Messianisme adalah sebuah gerakan yang mengharapkan dan berusaha mewujudkan ‘pemerintahan ideal’ setelah zaman yang dianggap bobrok di bawah kepemimpinan tokoh tertentu yang dianggap sebagai perwujudan kehendak ilahi. Messianisme an-Nadzir didasarkan pada klaim teologi Islam. Komunitas an-Nadzir meyakini dan sekaligus mengklaim bahwa mereka sedang mempersiapkan kedatangan sosok mesias Islam, Imam Mahdi. Imam Mahdi dalam konstruksi jamaah dibuat berbeda dengan konstruksi kelompok Islam lainnya. Di sini, mereka menambahkan unsur narasi lokal, seperti penghubungan sosok Imam Mahdi dengan tokoh lokal Kahar Muzakkar dan pendiri komunitas, Kyai Samsuri Abdul Madjid.
Messianisme an-Nadzir dalam penilitian ini akan dipandang dari perspektifinvention of tradition untuk menelusuri sejauh mana gagasan messianisme an-Nadzir hadir sebagai sebuah kreasi. Kreasi messianisme Jamaaah an-Nadzir tidak bisa dilepaskan dari konsep-konsep mesianisme yang telah mapan. Penelitian ini juga berusaha menelusuri dan menunjukkan kompleksitas relasi wacana/kekuasaan yang terdapat dalam berbagai konsep messianisme, sebab bagaimana pun juga messianisme merupakan sebuah medan kontestasi di mana makna terus menerus dipertarungkan.
x
ABSTRACT
Human being always feels that there is something missing, so they try to fullfil it. It can be caused of economic, political, religious and cultural disparity. It causes dissatisfaction that in turn stimulates resistance in many ways. One such dissatisfied community with the dissatisfaction is an-Nadzir community, who lives in Gowa District, South Sulawesi. They are not satisfied with the Islamic religious condition. This dissatisfaction is stimulated by their perspective on the ideal image of religious society, and for them, the Islamic religious condition nowadays is too much influenced by the modernity and secularity. As a result, they have built an autonomous community, in which they can freely live the life based on what they believe.
The movement is dominated by messianism movement. Messianism is a movement that tries to implement ideal governance, since they claim that the world has degenerated under the figure of the representation of God in the world. An-Nadzir messianism is based on an Islamic theological claim. They believe that the savior messiah, Imam Mahdi, would appear in this world, and they have to prepare for it. The Imam Mahdi concept is constructed differently from the other constructions. The Imam Mahdi concept is contextualized with local story. It is connected to the figure of Kahar Muzakkar and the founding father of the community, Kyai Samsuri Abdul Madjid.
In this thesis, An-Nadzir messianism is viewed from the perspective of “invention of tradition”, to investigate the emergence of an-Nadzir as a creation. The an-Nadzir messianism construction is closely related to the other established concepts of messianism. This research tries to investigate as well as to show the complexity, the power/knowledge relation of the messianism concepts. It is finally to show that messianism is an arena of ongoing contestation/negotiation for truth.
xi DAFTAR ISI
JUDUL TESIS ……….. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii
PENGESAHAN ……… iii
PERNYATAAN ……… iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ………... v
KATA PENGANTAR ……….. vi
ABSTRAK ……… ix
ABSTRACT ……….. x
DAFTAR ISI ……… xi
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ……… 1
B. TEMA ………... 12
C. RUMUSAN MASALAH ……… 12
D. TUJUAN PENELITIAN ……… 13
E. MANFAAT PENELITIAN ……… 14
F. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS ……….. 15
F.1. Tinjauan Pustaka ………. 15
F.2. Kerangka Teori ……… 20
G. METODE PENELITIAN ………... 36
H. PENGOLAHAN DATA ……….. 38
xii BAB II
GENEALOGI JAMAAH AN-NADZIR
A. Letak Geografis ……… 39
B. Sejarah Kemunculan An-Nadzir ……… 42
C. Politik Interaksi Keseharian ... 52
D. Paham (Interpretasi) Teologis : Upaya kembali Kepada Yang “Asli” ... 62
BAB III KONSTRUKSI WACANA MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR A. Messianisme dalam Berbagai Konstruksi .……… 75
B. Messianisme di Indonesia ………... 88
C. Konstruksi Messianisme Jamaah an-Nadzir ……… 98
BAB IV KONTRUKSI KEPEMIMPINAN JAMAAH AN-NADZIR A. Konstruksi Kepemimpinan Islam: Sebuah Polemik ……… 121
B. Dinamika Konstuksi Pemerintahan Islam di Sulawesi Selatan ………… 135
C. Konstruksi Sistem Kepemimpinan Jamaah An-Nadzir ……… 149
BAB V PENUTUP A. Messianisme = Revivalisme? ……… 166
B. Messianisme Sebagai Medan Kontestasi ………. 168
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Proses liberalisasi dan globalisasi dalam berbagai bentuk yang sedang melanda
seluruh penjuru dunia serta berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia membuat
beberapa kalangan meramalkan bahwa kehidupan manusia akan terbawa pada arus
kehidupan yang lebih sekular. Manusia cenderung akan meninggalkan agama atau
setidak-tidaknya era ini akan ditandai dengan berkurangnya aspek religiusitas umat
manusia. Namun, ramalan tersebut sepertinya tidak sepenuhnya tepat jika kita
tempatkan dalam konteks masyarakat Indonesia. Globalisasi ternyata tidak serta merta
membuat masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang lebih sekular, beberapa
fenomena bahkan menunjukkan bahwa terjadi semacam penguatan aspek religuitas dan
gerakan-gerakan keagamaan pada masyarakat.
Fenomena penguatan atau kebangkitan gerakan keagamaan sebenarnya bukanlah
fenomena khas Indonesia. Di tempat lain fenomena yang demikian itu juga dapat
dengan mudah dijumpai. Hal ini boleh jadi adalah respon terhadap modernisasi yang
disikapi secara beragam oleh berbagai pihak. Bagi kaum Modernis, sekularisasi
terhadap dimensi kehidupan manusia dianggap sebagai jalan menuju pencerahan umat
manusia dari belenggu fenomena agama yang „terbelakang‟, „tahayyul‟ atau
„reaksioner‟. Sebaliknya oleh kelompok yang menolak ide modernitas (termasuk oleh
sebagian kelompok agama), modernisasi (sekularisasi) dianggap sebagai penyebab
utama dekadensi nilai-nilai agama, baik dalam ranah masyarakat maupun dalam ranah
sepertinya tidak sekadar dalam bentuk pengingkaran satu sama lain, tetapi juga terdapat
adaptasi dan negosiasi di antara keduanya.
Bagaimana asal-usul kebangkitan agama ini bisa muncul? Peter L Berger dalam
artikelnya „The Desecularization Of The World‟1 mengajukan dua jawaban. Pertama,
modernitas cenderung memporak-porandakan kepastian-kepastian yang telah diterima
secara taken for granted oleh masyarakat sepanjang zaman. Tindakan ini amat tidak
disukai oleh penganut agama yang tidak bersikap toleran serta gerakan-gerakan
keagamaan yang menghendaki kepastian tersebut dapat dipertahankan. Kedua,
kenyataan bahwa pandangan sekuler tentang realitas memperoleh tempat sosial yang
penting dalam kultur elit, sehingga menimbulkan kemarahan dari kalangan yang tidak
ikut ambil bagian, dan kalangan yang merasa hal tersebut akan menimbulkan pengaruh
buruk.
Selain fenomena penguatan keagamaan, salah satu fenomena yang menarik
adalah munculnya aliran-aliran keagamaan yang lebih beragam. Hal ini disebabkan
keleluasaan untuk berkumpul dan berpendapat yang sudah dapat dilakukan secara lebih
terbuka oleh masyarakat setelah sekian lama dibungkam dan dikekang rezim Orde Baru
pimpinan Soeharto. Namun pertumbuhan keberagaman aliran dan penafsiran yang
berkaitan dengan persoalan keagamaan tersebut bukannya tanpa persoalan. Kehadiran
berbagai aliran baru (sebagian bahkan telah ada sebelum reformasi) seringkali tidak
dibarengi dengan kedewasaan untuk saling menerima perbedaan. Kelompok minoritas
seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif. Beberapa
1
komunitas agama non-mainstream bahkan didefinisikan sebagai aliran sesat oleh
komunitas dominan/ mainstream atau oleh institusi Negara. Tidak hanya itu, komunitas
yang didefinisikan sesat tersebut bahkan kerap kali mendapatkan perlakuan kekerasan
yang mengancam keselamatan hidup mereka. Sebut saja penyerangan, pengusiran, dan
kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia atau
penyerangan yang menyebabkan kerugian material dan korban jiwa terhadap komunitas
Syiah di Sampang, Madura oleh kelompok tertentu dengan dalih bahwa hal itu
dilakukan sebagai tindakan protektif „terhadap keyakinan yang benar‟.
Terlepas dari segala macam pembelaan yang diutarakan setiap kali terjadi
konflik berbau agama (baik antar kelompok seagama maupun antar agama) yang sering
dianggap hanya merupakan rekayasa konflik dan untuk kepentingan politis tertentu,
namun hal yang sepertinya sulit dipungkiri adalah bahwa benih kebencian terhadap
kelompok yang „berbeda‟ memang sungguh ada dan telah ditanamkan baik secara sadar
maupun tidak sadar. Sebab provokasi tidak akan berhasil dengan mudah jika
benih-benih kebencian tidak ada. Sebagian besar penganut agama masih tidak bisa menerima
kelompok lain yang „berbeda‟ dengan kelompoknya. Hal ini menunjukkan bahwa masih
ada jarak antara ajaran agama yang katanya membawa spirit perdamaian dengan
tindakan „beragama‟2.
Fenomena lain yang muncul belakangan- walaupun sebenarnya fenomena ini
bukanlah sesuatu yang benar-benar baru- adalah munculnya komunitas-komunitas
agama dengan semangat messianistik. Gerakan messianistik adalah sebuah gerakan
2Lih, Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi‟, Gramedia, Jakarta,
keagamaan yang merindukan datangnya juru selamat untuk menyelamatkan kehidupan
manusia dan menegakkan hukum Tuhan secara menyeluruh. Dalam beberapa penelitian
terdahulu, gerakan agama yang berorientasi messianistik kerap dihubungkan dengan
keadaan sosial masyarakat yang carut marut (baik dari segi sosial, ekonomi politik, dan
agama). Gerakan messianistik juga dalam arti tertentu kerap dianggap sarat dengan
semangat revolusioner dan olehnya itu dianggap sangat berpotensi mengancam
stabilitas kekuasaan pemerintah3.
Namun demikian, apakah gerakan agama yang messianistik selalu muncul
sebagai respon atas ketidakjelasan kondisi sosial masyarakat? Apakah semua gerakan
messianistik secara reduksionis dapat dikatakan berpretensi mengganggu kemapanan
kekuasaan? Kompleksitas dalam gerakan messianistik inilah yang ingin saya coba
telusuri melalui aspek-aspek gerakan messianistik yang terdapat dalam komunitas
Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Gerakan messianistik sendiri bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia.
Berbagai macam gerakan messianistik telah dikenal oleh masyarakat nusantara bahkan
ketika Indonesia sebagai Negara belum ada. Masyarakat Jawa misalnya telah mengenal
konsep Ratu Adil yang biasanya dihubungkan dengan ramalan dari Prabu Jayabaya
tentang keadaan masa depan masyarakat Jawa4. Masyarakat di Sulawesi Selatan yang
menjadi lokasi penelitian ini juga telah mengenal konsep messianisme sejak lama lewat
konsep to- manurung. Konsep tentang to- manurung ini sendiri sebenarnya tidak serta
3
Lih Sartono, Ratu Adil, Sinar Harapan, 1984, hlm 10
merta mengandung arti messianis, namun dalam perkembangannya konsep
to-manurung sangat kental dengan unsur-unsur messianistik.
Konsep To manurung sendiri merupakan konsep yang erat kaitannya dengan
sejarah terbentuknya kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan (Kerajaan Gowa,
Bone, Soppeng). Kedatangan to manurung di Sulawesi Selatan digambarkan oleh
lontara5sebagai sesuatu yang dihajatkan, antara lain untuk mengakhiri keadaan yang sedang kacau balau6. Pengharapan tentang datangnya to-manurung seringkali muncul
apabila masyarakat berhadapan dengan ketidakpastian sosial yang berlangsung secara
terus menerus. Konsep ataupun gerakan yang bersifat messianistik seperti ini di
Sulawesi Selatan mengalami metafora setelah perjumpaan antara unsur kepercayaan
lokal dengan unsur eskatologi Islam. Hal yang sama sepertinya juga berlaku dalam
konsep Ratu Adil masyarakat Jawa, bahkan dalam arti tertentu konsep tentang Ratu adil
di Jawa sedikit lebih kompleks karena mempertemukan unsur kepercayaan/kebudayaan
lokal yang bertemu dengan konsep Hindu-Budha dan konsep eskatologi Islam.
Komunitas Jamaah an-Nadzir adalah kelompok Islam minoritas yang terdapat di
wilayah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Jamaah an-Nadzir yang berasal dari
berbagai daerah dan latar belakang tersebut memilih bertempat tinggal sebagai sebuah
komunitas mandiri di tempat yang cukup terpencil tepatnya di tepi danau Mawang,
Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 20 Kilometer dari kota Makassar.
Selain di Kabupaten Gowa, Komunitas an-Nadzir memiliki jaringan di berbagai daerah
5
Manuskrip sejarah yang biasanya berkaitan dengan masyarakat, tokoh, atau sejarah kerajaan yang ditulis dalam aksara lokal
6
di Indonesia, mulai dari Jakarta, Medan, Banjarmasin, Batam, Dumai, Batubara, Bogor,
dan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.7
Jamaah an-Nadzir di Indonesia didirikan oleh Kyai Syamsuri Abdul Madjid
pada tahun 1998 yang melakukan perjalanan dakwah ke berbagai daerah di Indonesia
termasuk di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar dan di Luwu. Menariknya, Kyai
Syamsuri Abdul Madjid oleh anggota Jamaah an-Nadzir kerap dikaitkan sebagai sosok
titisan Kahar Muzakkar, tokoh pejuang gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Di awal
keberadaannya, Jamaah an-Nadzir ini sempat menimbulkan kecurigaan dari berbagai
pihak, bahkan kepolisian dan intelejen sempat mendatangi komunitas mereka karena
dicurigai melakukan praktik terorisme ataupun menyebarkan ajaran „sesat‟.
Anggapan bernada miring tersebut dikarenakan Jamaah an-Nadzir ini memiliki
kekhasan yang membedakannya atau dianggap berbeda dengan umat Muslim pada
umumnya. Kekhasan itu salah satunya berasal dari tampilan fisik mereka yang berbeda.
Jamaah an-Nadzir yang bermukim di Desa Mawang (sebagian Jamaah tidak bermukim
pada pemukiman komunitas) diwajibkan memanjangkan rambut dan mewarnainya,
selain itu mereka juga lebih sering menampilkan diri dengan memakai sorban hitam.
Tak ketinggalan, mereka juga memakai celak. Sedang kaum muslimah an-Nadzir
menggunakan jilbab besar disertai kain cadar penutup muka, namun tidak sedikit juga
muslimah an-Nadzir yang hanya mengenakan jilbab biasa seperti kebanyakan wanita
muslim pada umumnya. Tata cara berpakaian seperti ini bahkan telah mereka terapkan
pada anak-anak mereka sejak dini. Tata cara berpakaian dan penampilan fisik yang
7
berbeda dengan penampilan umat Islam pada umumnya dalam pandangan jamaah ini
disandarkan pada hadits-hadits shohih dalam rangka melaksanakan sunnah rasul.
Kekhasan Jamaah an-Nadzir tidak hanya terletak pada penampilan fisik dan
tafsiran teologi mereka tetapi juga cara hidup dan pola ekonomi mereka. Komunitas
an-Nadzir berusaha mengembangkan sebuah pola ekonomi mandiri untuk menghidupi dan
membiayai komunitas mereka. Komunitas ini menyadari bahwa ekonomi yang kuat
dapat menjadi landasan komunitas agar tetap utuh, apalagi komunitas ini kebanyakan
adalah pendatang yang meninggalkan daerah dan pekerjaan mereka sebelumnya untuk
hidup sebagai sebuah komunitas. Hal ini membuat pengelolaan ekonomi sangat
dibutuhkan demi kelanjutan hidup komunitas.
Pada awalnya, komunitas an-Nadzir lebih banyak bergerak di bidang pertanian
dan pertambakan serta budi daya ikan. Jamaah an-Nadzir sejauh ini berhasil
mengembangkan kedua sektor tersebut. Keberhasilan mereka mengelola pertanian dan
perikanan membuat sebagian masyarakat setempat tertarik bekerja sama dengan
komunitas ini dengan memberikan lahan mereka untuk dikelola oleh Jamaah an-Nadzir
dengan sistem bagi hasil. Komunitas an-Nadzir juga mulai merambah dunia usaha
dengan membuka beberapa usaha seperti bengkel sepeda motor, warung pulsa dan
handphone, usaha depot air galon, dan membuka pasar tradisional. Usaha ekonomi
mandiri ini tidak hanya mereka peruntukkan kepada komunitas saja tetapi juga untuk
masyarakat umum yang ada di sekitar daerah Mawang. Menariknya mata pencaharian
jamaah ini tidak bersifat individu, namun merupakan pekerjaan jama‟ah. Seluruh
menjadi milik individu-individu melainkan diperuntukan untuk pengembangan
komunitas.
Sisi lain yang menarik dari jamaah ini adalah metode pendidikan dan
pembelajaran yang mereka terapkan pada anak-anak mereka. Jamaah an-Nadzir
mengembangkan sistem pendidikan mandiri kepada anak-anak mereka. Mereka tidak
memasukkan anak-anak ke sekolah-sekolah formal baik negeri maupun swasta. Mereka
mengambil alih pendidikan anak-anak mereka dengan mengadakan pendidikan sendiri
dengan menggunakan tenaga pengajar dari kalangan mereka sendiri. Mereka hanya
mengajarkan Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Hafalan
Alqur‟an dalam sebuah madrasah dengan tetap menerapkan disiplin waktu. Pola
pendidikan an-Nadzir ini sedikit banyak mirip dengan pola pendidikan ala pesantren
tradisional.
Sistem pendidikan seperti ini tidak menyediakan ijazah sebagaimana layaknya
sekolah-sekolah formal. Mereka sendiri tidak memproyeksikan anak-anak mereka untuk
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mereka hanya mempersiapkan anak-anak mereka
sebagai pelanjut dari cita-cita komunitas di masa depan. Melalui sistem pendidikan yang
seperti ini, Jamaah an-Nadzir mendekonstruksi pemikiran mainstream tentang
pendidikan. Mereka seakan merevisi pandangan konvensional bahwa mereka tidak akan
bisa hidup “layak” tanpa bantuan sistem pendidikan formal. Jamaah an-Nadzir
membuktikan bahwa sebuah komunitas dapat “melanjutkan hidup” tanpa harus terjebak
Membicarakan sebuah komunitas agama (Islam) minoritas di Indonesia
sepertinya tidak lengkap tanpa membicarakan aspek tafsiran teologi yang mereka
yakini. Persoalan penafsiran keagamaan yang berbeda inilah yang kerap menjadi
musabab utama perlakuan diskriminatif dan pelabelan hal-hal tertentu pada mereka.
Namun, pembicaraan tentang hal ini tidak dalam rangka meneguhkan atau melemahkan
argumen komunitas tertentu. Semua keunikan itu akan lebih dipandang sebagai sebuah
bentuk politik identitas yang ditujukan untuk kepentingan dan maksud tertentu dari
komunitas tersebut.
Komunitas Jamaah an-Nadzir seringkali dianggap sebagai komunitas revivalis
atau fundamentalis karena cara mereka menafsirkan teks-teks suci (Al-Quran dan
Hadist) yang dianggap sangat skriptualis dan tekstual. Praktik-praktik keagamaan
mereka termasuk konstruksi identitas dan tampilan fisik mereka biasanya dijadikan
sebagai landasan dari pelabelan revivalis mereka.
Salah satu yang membedakan Jamaah an-Nadzir dengan umat Islam
kebanyakan adalah cara mereka merayakan bulan suci Ramadhan. Pada bulan suci
Ramadhan Jamaah an-Nadzir hanya melaksanakan ibadah puasa dan meniadakan
ibadah shalat tarawih di malam hari. Peniadaan ini dalam pandangan Jamaah an-Nadzir
karena ditakutkan shalat tarawih akan dianggap wajib. Mereka merujuk kepada nabi
yang semasa hidupnya hanya melakukan ibadah tarawih pada malam ke 23, 25, dan 27
bulan Ramadhan. Dalam pandangan an-Nadzir umat Islam sekarang ini seakan-akan
Hal lain yang menarik dari komunitas ini dan berbeda dengan kebanyakan
orang Islam di Indonesia adalah mengenai penentuan waktu shalat. Dalam penentuan
waktu shalat mereka tidak berpatokan pada jam (walaupun mereka tidak serta merta
menolak penggunaan jam) melainkan lebih berpatokan pada tanda-tanda alam. Salah
satu perbedaan mencolok adalah tidak seperti mayoritas umat Islam yang melaksanakan
shalat isya di malam hari mereka melaksanakan shalat isya pada dini hari antara pukul
03.00-04.00. Bagi mereka waktu itu adalah waktu yang utama (afdhal) dan mereka
tidak merasa berat apalagi terbebani melaksanakannya di waktu tersebut.
Komunitas Jamaah an-Nadzir menolak memasukkan diri dalam klasifikasi Syiah
maupun Sunni, dua sekte aliran yang paling dominan dalam Islam. Mereka bukan Syiah
maupun Sunni. Jamaah an-Nadzir mengklaim bahwa mereka adalah Ahlul Bait. Dalam
Islam dominan Ahlul Bait biasanya digunakan sebagai istilah untuk merujuk pada
keturunan atau keluarga nabi. Bagi Jamaah an-Nadzir Ahlul Bait adalah orang-orang
yang melaksanakan sunnah nabi mulai dari sunnah yang kecil hingga sunnah yang
besar. Itu berarti Ahlul Bait adalah orang yang meletakkan nabi sebagai teladan dalam
segala hal. Komunitas an-Nadzir mencoba merebut ruang dan makna tentang siapa
Ahlul Bait sesungguhnya dengan berupaya keras mempraktikkan kehidupan Nabi dan
sahabatnya, dan berupaya menerjemahkan keseluruhan praktik ibadah mereka sebagai
bagian dari “asli” nabi dalam kehidupan sehari-hari.
Komunitas an-Nadzir juga meyakini konsep tentang „messianisme‟.
Messianisme adalah suatu pandangan yang mengandaikan munculnya seorang „mesias‟
atau penyelamat umat yang akan mengeluarkan manusia dari kondisi sosial yang sedang
yang lebih layak. Lebih dari itu, Sang mesias pun menampilkan legitimasi ketuhanan
pada dirinya, misalnya sebagai penerima wahyu dari Tuhan.
Jamaah an-Nadzir meyakini mesias menurut mereka adalah Imam Mahdi. Imam
Mahdi adalah keturunan atau keluarga nabi yang diramalkan akan muncul pada akhir
zaman. Menurut Jamaah an-Nadzir Imam Mahdi telah turun dan membawa peringatan
kepada umat Islam. Menariknya, Imam Mahdi sebagaimana diyakini oleh Komunitas
an-Nadzir adalah Kahar Muzakkar yang mewujud dalam diri Abah Syamsuri Madjid
(pendiri An-Nadzir). Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa Kahar Muzakkar atau Abah
Syamsuri Madjid telah mengalami tiga kali gaib. Gaib Sugra ketika dia masih kecil,
kemudian gaib di La Solo (ketika dia dianggap mati), dan terakhir dia terhijab tahun
2006 (tahun meninggalnya Abah Syamsuri Madjid). Oleh karena Imam Mahdi telah
muncul, maka kehidupan manusia saat ini menurut Jamaah ini telah memasuki fase
akhir zaman.
Rencana penelitian ini dimaksudkan untuk menelusuri seperti apa aspek-aspek
gerakan messianistik yang terdapat pada komunitas Jamaah an-Nadzir di kabupaten
Gowa, Sulawesi Selatan. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat bagaimana
ideologi messianistik tersebut dirumuskan dan dijalankan serta aspek-aspek yang
membedakannya dengan gerakan-gerakan messianistik lainnya.
Penelitian terkait keberadaan komunitas Jamaah an-Nadzir sendiri sudah pernah
dilakukan oleh beberapa orang untuk kepentingan yang beragam. Salah satu penelitian
tentang Jamaah an-Nadzir pernah dilakukan oleh Saprillah, peneliti Balai Litbang
Departemen Agama kota Makassar. Penelitian tersebut diterbitkan oleh Jurnal al-Qurba.
Kemandirian‟. Penelitian lain yang bersifat lebih akademis dilakukan oleh Muhammad
Taufan dengan judul „Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir‟ dan penelitian
yang dilakukan oleh Mustaqim Pabbaja dengan judul „Gerakan Islam Non Mainstream,
Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi Selatan‟. Dua penelitian terakhir
merupakan penelitian untuk kepentingan disertasi.
Rencana penelitian ini ingin menelusuri bagaimana Jamaah an-Nadzir
merumuskan paham messianistik mereka dan bagaimana paham atau keyakinan tersebut
dijalankan atau dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penelitian ini juga
dimaksudkan untuk melihat bagaimana kompleksitas wacana yang membangun konsep
messianistik yang mereka pahami, keadaan sosial yang menjadi tempat kemunculannya
serta metode kepemimpinan yang mereka terapkan.
B. TEMA
Adapun tema penelitian ini adalah „Aspek-aspek Messianistik pada Jamaah
an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan‟.
C. RUMUSAN MASALAH
Arah penelitian ini sebagaimana telah sedikit banyak dipaparkan dalam latar
belakang dimaksudkan untuk menelusuri aspek-aspek messianisme dari komunitas
Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Rumusan masalah dalam
penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah keadaan lingkungan sosial yang melahirkan gerakan
2. Seperti apa ideologi messianistik yang dipahami dan dikonstruksi oleh
Jamaah an-Nadzir dan digunakan untuk apa?
3. Seperti apakah bentuk kepemimpinan (leadership) yang dikembangkan
oleh komunitas Jamaah an-Nadzir yang ada di Kabupaten Gowa,
Sulawesi Selatan?
D. TUJUAN PENELITIAN
Merujuk pada rumusan masalah di atas maka adapun tujuan dari penelitian
adalah:
1. Menelusuri bagaimanakah kondisi sosial yang melahirkan gerakan
messianistik yang dipahami oleh komunitas Jamaah an-Nadzir di
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk
melihat bagaimana latar belakang sosial yang sedikit banyak melatar
belakangi munculnya gerakan messianistik sebagaimana dipahami oleh
komunitas ini.
2. Mengurai seperti apa ideologi messianistik yang dipahami,
dikembangkan dan dijalankan oleh Jamaah an-Nadzir di Kabupaten
Gowa, Sulawesi Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk menelusuri
perbedaan-perbedaan konsep tentang messianistik yang dipahami oleh
komunitas ini. Bagian ini juga dimaksudkan untuk memperlihatkan
kekhasan dari paham messianistik Jamaah an-Nadzir dibandingkan
3. Menjelaskan bagaimana metode kepemimpinan yang dibangun dan
dilaksanakan oleh Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi
Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk melihat pola kepemimpinan yang
terdapat dalam komunitas ini. Hal ini penting mengingat pola
kepemimpinan biasanya memegang peranan sentral dalam
gerakan-gerakan messianistik seperti ini.
E. MANFAAT PENELITIAN
Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Perkembangan khasanah Ilmu pengetahuan humaniora khususnya kajian
budaya. Penelitian ini diharapkan akan memperkaya eksplorasi terhadap
komunitas-komunitas minoritas dengan menggunakan pendekatan
penelitian dengan perspektif kajian budaya di Indonesia.
2. Masyarakat luas pada umumnya agar dapat lebih bijak menanggapi
berbagai perbedaan dan pluralitas dalam dinamika kehidupan
bermasyarakat.
3. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti/mahasiswa lain yang
ingin mengangkat topik serupa terutama untuk hal-hal yang tidak dibahas
F. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS
F.1. Tinjauan Pustaka
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya pada bagian latar belakang tentang
beberapa penelitian baik yang mengkaji komunitas an-Nadzir maupun komunitas
minoritas lain di Sulawesi Selatan. Bagian ini akan memaparkan kelebihan dan
kelemahan dari setiap penelitian ini. Bagian ini juga akan menunjukkan perbedaan dan
kekhasan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Pertama, penelitian yang dilakukan Saprillah dengan judul „Jamaah an-Nadzir,
Membangun Arus Membangun Kemandirian‟. Penelitian ini menggambarkan sejarah
kemunculan, pola hidup dan bagaimana paham keagamaan khususnya yang berkaitan
dengan pelaksanaan syariat oleh Jamaah an-Nadzir. Kelemahan penelitian terletak pada
inkonsistensi argumentasinya. Sebagai contoh, di awal tulisan penulis menyanjung pola
pendidikan yang diterapkan oleh Jamaah an-Nadzir sebagai sebuah metode alternatif
dan kreatif serta dapat keluar dari logika mainstream bagaimana masyarakat menilai
pendidikan formal sebagai jaminan kesuksesan hidup, namun di akhir dia
merekomendasikan Pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional sebagai
upaya untuk menjawab keraguan komunitas ini terhadap pentingnya pendidikan
(melalui jalur sekolah formal). Inkonsistensi lain adalah pemaparannya tentang
pentingnya pluralitas dan kedewasaan menerima perbedaaan, namun lagi-lagi di akhir
tulisannya dia beranggapan bahwa komunitas ini bisa menjadi ancaman terhadap
„Islam‟ di masa depan. Penulis seperti hanya ingin menjadi legitimasi baru terhadap
Departemen Agama, tulisan seperti ini biasanya dimaksudkan untuk kepentingan
pengeluaran kebijakan pembinaan keagamaan di masyarakat.8
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Taufan dengan judul
„Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir‟. Penelitian ini memfokuskan diri pada
aspek sosiologi hukum Jamaah an-Nadzir yang dipertentangkan atau diperhadapkan
dengan hukum positif dan hukum Islam. Penelitian yang dilakukan oleh Taufan ini juga
ingin meneliti sejauh mana Jamaah an-Nadzir melenceng atau tidak dari kategori
benar-sesatnya paham tafsir keagamaan- dalam konteks ini adalah agama Islam- yang telah
dibakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pihak yang dianggap
berwenang9.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Jamaah an-Nadzir bukanlah sebuah
komunitas yang mengembangkan paham aliran sesat jika merujuk pada kriteria sesat
yang ditetapkan MUI. Perbedaan yang terdapat dalam paham dan praktik keagamaan
merupakan sesuatu yang hanya bersifat furu‟iyah, bukan sesuatu yang ushuliyah.
Taufan juga mengatakan bahwa keberadaan komunitas ini jika ditinjau dari perspektif
hukum positif adalah sah karena Negara melalui konstitusi menjamin warga Negara
untuk menganut agama dan kepercayaannya secara tulus tanpa paksaan dari siapapun
dan golongan apapun. Aliran baru seperti an-Nadzir dilihat oleh Taufan sebagai sebuah
revisi, kritik atau bahkan sebagai titik balik dari ajaran induknya.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Mustaqim Pabbaja dengan judul Gerakan
Islam Non Mainstream, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi Selatan‟.
8
Lih Saprillah, Jamaah an-Nadzir, Membangun Arus Membangun Kemandirian‟, Jurnal Alqurba
9
Penelitian ini memfokuskan diri pada dimensi sosial-ekonomi Jamaah an-Nadzir
sebagai strategi pemberdayaan Jamaah. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
gerakan pemberdayaan sosial-ekonomi Jamaah an-Nadzir lebih berorientasi pada
kesalehan sosial dan keselamatan individual untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Penegakkan syariat dan hukum Tuhan harus dimulai dari masing-masing individu dan
kelompok. Berdasarkan hal tersebut Jamaah an-Nadzir tidak mengganggap pendirian
negara Islam sebagai sesuatu yang penting. Sikap anti pendirian negara Islam menurut
Mustaqim merupakan sikap positif dari gerakan An-Nadzir. Jamaah ini tidak
menjadikan pendirian negara Islam sebagai agenda perjuangan, dan karena itu mereka
menolak penggunaan jalur politik, tetapi mereka lebih menitikberatkan nilai Islam pada
kepentingan sosial ekonomi. Perjuangan penegakan syariat Islam dianggapn sebagai
perjuangan individual karena keselamatan akhirat memang bersifat nafsi-nafsi atau
individual.10 Jamaah an-Nadzir dianggap sukses menjalankan sebuah sistem ekonomi
mandiri yang berbasis pada pengembangan ekonomi kreatif. Keberhasilan Jamaah
an-Nadzir itu tidak hanya sebatas pada komunitas mereka tetapi juga memberi banyak
manfaat terhadap masyarakat sekitar yang tanahnya mereka kelola. Jamaah an-Nadzir
disukai karena mereka menerapkan prinsip-prinsip kenabian dalam perkara muamalat
mereka.
Selain penelitian terdahulu tentang Jamaah an-Nadzir, pada bagian ini juga akan
disebutkan beberapa penelitian dengan tema gerakan messianistik yang telah dilakukan
sebelumnya. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Vittorio Lanternari
dalam bukunya The Religion of the Oppressed: A Study of Modern Messianic Cults
10
pada bagian „Messianic Movement in Asia and Indonesia‟. Penelitian ini
mengidentifikasi kemunculan orang-orang kharismatik yang mengombinasikan antara
gagasan mitos tradisional lokal dengan ide-ide messianisme Islam11.
Peran para orang kharismatik yang biasanya adalah pemimpin agama ini sangat
sentral karena orang-orang itulah yang berkeliling melakukan agitasi ke masyarakat.
Para pemimpin agama ini umumnya menyebarkan isu anti Belanda. Kebencian terhadap
penjajah (Belanda) semakin diperkuat dengan ide perang suci untuk mengusir penjajah
sekaligus juga dalam rangka mewujudkan ide messianisme yang mereka yakini.
Gerakan messianik yang diteliti oleh Lanternari yang mengambil setting masyarakat
Indonesia (Jawa) ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok petani. Kedatangan juru
selamat yang dijanjikan diramalkan akan didahului oleh bencana, kerusuhan, dan
ketidakpastian sosial. Karena kepercayaan dan keinginan yang kuat untuk meraih apa
yang diramalkan membuat masyarakat menurut Lanternari dengan mudah mengaitkan
sebuah peristiwa untuk dikaitkan dengan apa yang diramalkan.
Gerakan messianik di Indonesia mempunyai ciri yang berbeda dengan gerakan
messianistik di tempat lain. Perbedaan gerakan messianistik itu terletak pada ketiadaan
unsur kristianitas dan tidak adanya peran organisasi gereja dalam gerakan messianisme
di Indonesia. Lebih jauh Lanternari mengatakan bahwa elemen messianisme di
Indonesia dibentuk oleh inti ajaran pagan- mungkin maksudnya adalah kepercayaan
lokal-, unsur Hindu-Budha, doktrin mahdisme (Islam) dan pesan messianisme baru.12
11
Lih Lanternari, The Religion of the Oppressed: A Study of Modern Messianic Cults, London. Macgibbon & kee,1963, hlm 265
Selanjutnya adalah penelitian tentang konsep Ratu Adil dalam masyarakat Jawa
yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo. Dalam penelitian ini diberikan berbagai
contoh gerakan messianisme di Jawa yang terjadi antara abad 19 dan 20. Gerakan
messianistik tersebut kebanyakan didasarkan pada berbagai versi ramalan Prabu
Jayabaya.13 Salah satunya dan yang paling terkenal adalah pemberontakan Pangeran
Diponegoro yang mengklaim diri sebagai Erucakra. Ciri khas ramalan-ramalan juru
selamat Jawa menurut Sartono meskipun pada dasarnya bersifat non-Islam, namun
memuat unsur eskatologi Islam. Hal ini menunjukkan adanya negosiasi antara
kepercayaan lokal dan Islam.14
Kedatangan juru selamat di Jawa diramalkan akan ditandai dengan
bencana-bencana alam, dekadensi moral dan kemelaratan di kalangan masyarakat. Kedatangan
sang mesias akan mengakhiri ketidakadilan dan memulihkan keharmonisan. Sang
mesias akan menghalau penguasa yang lalim (Belanda) dan mendirikan Negara yang
adil di mana masyarakat akan hidup sejahtera dengan makanan dan pakaian yang
melimpah. Sang mesias juga akan menghapuskan wajib kerja dan wajib pajak yang
besar dan memberatkan rakyat.
Gerakan messianistik yang terjadi di banyak tempat di Jawa antara abad 19 dan
20 berlangsung di bawah penjajahan Belanda maka gerakan messianistik yang terjadi
saat itu juga memunculkan gejala nativisme sebagai reaksi terhadap kekuasaan asing
kulit putih. Kekuasaan orang asing dianggap mengancam pengertian tentang identitas
Jawa- khususnya di kalangan petani- karena meningkatnya hegemoni politik dan
13
Seorang raja Kediri, jawa timur, yang hidup sekitar abad kedua belas
14
kekuasaan asing. Pada masa itu, bukan hanya Belanda yang dimusuhi dan dibenci,
tetapi juga kalangan etnis Cina dan kalangan pribumi yang berkomplot dengan Belanda
karena akses mereka yang lebih luas dan besar terhadap pengelolaan sumber daya alam.
Para nativis mengharapkan dan membayangkan kedatangan suatu masyarakat di mana
orang kulit putih terusir dan sekutu-sekutu pribumi mereka digulingkan.
Penelitian ini secara spesifik mengambil aspek yang berbeda. Penelitian ini ingin
melihat bagaimana ideologi messianistik yang dipahami, direkonstruksi dan dijalankan
oleh Jamaah an- Nadzir yang ada di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Penelitian ini
juga ingin menelusuri apa yang berbeda dalam messianisme mereka dengan gerakan
messianisme yang sudah pernah ada. Penelitian ini difokuskan pada tema tentang aspek
messianisme yang terdapat dalam komunitas Jamaah an-Nadzir. Penelitian tentang tema
messianisme pada Jamaah an-Nadzir sepanjang penulusuran saya belum pernah diteliti
secara mendalam oleh para peneliti terdahulu. Penelitian terdahulu tentang Jamaah
an-Nadzir, jikalau pun menyebut tentang aspek messianistiknya sepertinya hanya
diperlakukan sebagai data penunjang dan dibicarakan secara sekadarnya saja. Oleh
karena itu, penelitian ini ingin memfokuskan diri untuk menelusuri aspek messianistik
seperti apa yang dikonstruksi oleh komunitas an-Nadzir, bukan dalam kerangka
justifikasi benar-sesat melainkan melihat kompleksitas wacana dan unsur-unsur yang
membangunnya.
F.2. Kerangka Teori
Kerangka teori yang akan digunakan sebagai sudut pandang dalam penelitian ini
Bahasa Indonesia mungkin bisa kita sebut „penciptaan tradisi‟). Salah satu buku yang
memfokuskan penelitian dan elaborasinya terhadap konsep „the Invention oh Tradition‟
dan berbagi contohnya di berbagai negara adalah sebuah buku berjudul The Invention of
Tradition. Buku yang dieditori oleh Eric Hobsbawm dan Terence Ranger merupakan
kumpulan esai tentang berbagai penelitian dengan tema „invention of tradition‟ yang
dilakukan di berbagai daerah dan negara. Walau dilakukan di berbagai negara, namun
buku ini tampaknya lebih berfokus pada negara-negara bekas jajahan Inggris (seperti
India, Afrika, Skotlandia dan sebagainya).
Konsep invention of traditionbukanlah sebuah konsep yang sangat „teoritis‟ jika
dibandingkan dengan teori besar seperti psikoanalisa, poskolonialisme dan sebagainya.
Konsep ini hanya seperti sebuah batasan dan fokus penelitian. Dalam pengantarnya
pada buku tersebut Eric Hobsbawm menjelaskan tentang konsep „invention of tradition‟
sebagai
“Invented tradition” is taken to mean a set of practices, normally governed
by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values and norms of behaviour by repetition, which automatically implies continuity with the past. In fact, where possible, they normally attempt to establish continuity with a suitable historic past.15
Penjelasan Hobsbawm tersebut menunjukkan bahwa „Invented Tradition‟ yang
terjadi di berbagai tempat bukanlah praktek natural, melainkan sebuah praktek yang
memang sengaja disusun sedemikian rupa untuk maksud - kebanyakan sangat bersifat
politis- dan dalam kurun waktu tertentu. Menariknya, „penciptaan tradisi‟ tersebut
senantiasa mengandaikan keterhubungan atau kontinuitas dengan masa lalu. Artinya,
15
masa lalu berusaha dimaknai ulang pada masa sekarang. Masa lalu dimaknai kembali
untuk menyusun kondisi yang diekspektasikan pada masa sekarang dan masa depan.
Pemaknaan kembali ini- yang tentunya sekali lagi sarat nuansa politis- sangat
memungkinkan terjadinya pertarungan wacana dalam rangka merebut atau memapankan
makna tertentu.
Buku The Invention of Tradition berusaha menunjukkan bahwa banyak „tradisi‟
di berbagai tempat di dunia yang diklaim sebagai tradisi yang asli, kuno, sudah ada
sejak dulu, sebenarnya adalah sebuah hal yang masih baru-dalam hal waktu
kemunculannya –dan merupakan hasil ciptaan- dalam arti tidak sepenuhnya „asli‟. Hal
ini salah satunya dapat kita lihat dalam Penjelasan Hugh Trevor-Roper tentang
„invented tradition‟ yang dia teliti di Skotlandia. Esai Hugh Trevor-Roper ini sangat
dekat dengan definisi Hobsbawm tentang konsep „Invented Tradition‟ pada pengantar
buku. Dalam esainya, "The Invention of Tradition: The Highlander Tradisi Skotlandia,"
Trevor-Roper mengeksplorasi cara-cara di mana Skotlandia berusaha untuk
melestarikan warisan mereka dalam menghadapi peryatuan dengan Inggris. Secara
khusus, ia meneliti asal-usul Skotlandia dan pakaian "tradisional" mereka, untuk
menemukan bahwa kedua hal ini sebagian besar adalah hasil kreasi, tetapi diterima
dengan cepat dan dikultuskan oleh masyarakat Skotlandia sebagai budaya asli
Skotlandia.
Hugh Trevor-Roper memfokuskan penelitiannya pada pakaian traditional
Skotlandia yang disebut „kilt‟(pakaian traditional yang bentuknya agak mirip rok)yang
oleh masyarakat Skotlandia pada saat ini dianggap sebagai sebuah identitas nasional
menunjukkan bahwa apa yang mereka klaim kuno itu sebenarnya adalah hal baru-
dalam kemunculannya-, karena itu baru muncul sekital akhir abad 18 dan awal abad
1916.
Hugh Trevor-Roper memperlihatkan bagaimana konstruksi budaya Skotlandia
dibangun. Menurut Trevor-Roper, penciptaan tradisi Highland Skotlandia terjadi dalam
tiga tahap. Pertama, terdapat pemberontakan budaya melawan Irlandia: hal ini
menyebabkan terjadinya perampasan budaya Irlandia dan penulisan ulang sejarah awal
Skotlandia, yang berpuncak pada klaim „kurang ajar‟ bahwa Scotlandia adalah „
ibu-bangsa‟ dan asal-usul budaya Irlandia. Kedua, terdapat penciptaan tradisi Skotlandia
yang baru, diwacanakan sebagai sesuatu yang kuno, asli dan khas. Ketiga, ada proses
dimana tradisi-tradisi baru tersebut disebarkan ke wilayah-wilayah lain di Skotlandia17.
Melalui penjelasan tentang bagaimana dinamika dan hegemoni wacana yang tedapat
dalam ide tentang „kilt‟ pada masyarakat Skotlandia, Hugh sepertinya ingin
menunjukkan bahwa „kilt‟ bukan hanya sesuatu yang baru tetapi juga tidak sepenuhnya
asli dan khas Skotlandia sebagaimana yang diterima dan diyakini oleh masyarakat
Skotlandia.
Penelitian lain yang mengkaji praktek „penciptaan tradisi‟ adalah penelitian yang
dilakukan oleh Bernard S. Cohn. Dalam esainya yang berjudul „Representing Authority
in Victorian India‟ Bernard mengeksplorasi cara-cara kolonial Inggris di India sekitar
abad 18 dalam merekayasa dan menciptakan representasi otoritas baru yang berusaha
mereka ambil alih dari raja-raja lokal India.
16
Hugh Trevor-Roper, The Invention of Tradition: The Highland Tradition of Scotland dalam buku The Invention of Tradition, Cambridge University Press, 1983,hlm 16.
17
Fokus Bernard terhadap bagaimana representasi otoritas dibangun pada masa
penjajahan Inggris di India adalah untuk menunjukkan kompleksitas pembentukan dan
perubahannya dari waktu ke waktu. Pada saat penjajahan Inggris terhadap India,
pemerintah Inggris berusaha mengkodifikasi konsep tentang tatanan otoritas yang
dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara masyrakat India, penguasa-penguasa
lokal dalam relasi mereka dengan pemerintah kolonial Inggris18. Inggris, yang memulai
pemerintahan mereka sebagai „outsider', tiba-tiba memposisikan diri menjadi „insider'
dengan menjadikan India sebagai wilayah kedaulatan Inggris. Untuk memperoleh
simpati masyarakat India –khususnya para raja-raja lokal-, Inggris meyakinkan
masyarakat India bahwa di bawah kekuasaan mereka, hak, martabat dan kontrol atas
wilayah akan dihormati oleh pemerintah kolonial. Inggris juga menjanjikan penegakan
hukum yang adil serta kebebasan untuk menjalankan keyakinan dan agama
masing-masing mengingat India adalah sebuah wilayah dengan kepercayaan agama dan budaya
yang berbeda-beda. Lebih dari itu, Inggris menjanjikan kemajuan ekonomi, sebuah hal
yang sebenarnya menjadi konsen utama Inggris di India.
Upaya kodifikasi tentang representasi otoritas ini dimanifestasikan dalam
berbagai ritual dan simbol. Misalnya melalui pembedaan pakaian dan pengaturan posisi
dalam ritual yang menunjukkan hirarki kedudukan seseorang. Semakin dekat
posisi/tempat seseorang dengan tempat raja (diatur dengan cara barisan memanjang)
menandakan bahwa hirarki sosialnya semakin tinggi. Pada fase awal upaya representasi
otoritas ini, Inggris masih banyak harus bernegosiasi dengan adat kerajaan Mughal yang
sangat kental. Namun, setelah kegagalan upaya pemberontakan tahun 1857 yang
18
menyebabkan akhir kekaisaran Mughal dan membuat hegemoni Inggris menjadi
semakin kuat, Inggris kemudian mengangkat diri sebagai satu-satunya pusat kekuasaan
dan otoritas. Inggris menetapkan sebuah tatanan sosial baru dimana kriteria
kebangsawanan diatur oleh kolonial Inggris berdasarkan pendapatan dan tingkat
loyalitas mereka kepada kerajaan Inggris19.
Pada fase di mana hegemoni Inggris sudah menguat, pemerintah Inggris
berusaha melakukan proses penyatuan seluruh raja-raja lokal di bawah hegemoni
mereka dan untuk menjamin loyalitas raja-raja lokal tersebut terhadap Inggris. Raja-raja
lokal mengambil peran yang penting karena mereka adalah adalah simbol komunitas,
klan, bahkan keragaman agama dan budaya. Penyatuan ini dipandang penting karena
meskipun Inggris menguasai India, namun masyarakat India hanya loyal kepada
raja-raja lokal mereka, bukan kepada pemerintah kolonial. Memastikan loyalitas para raja-raja
lokal berarti garansi pula terhadap loyalitas masyarakat. Proses penyatuan ini dilakukan
lewat berbagai pertemuan dan ritual yang sarat simbol/kodifikasi. Proses-proses
kodifikasi representasi otoritas inilah yang oleh Bernard dipandang sebagai sebuah
praktek „invention oftradition‟.
Penelitian yang tampaknya agak sedikit menyimpang dari definisi Hobsbawm
adalah penelitian David Cannadine yang berjudul, " The Context, Performance and
Meaning of Ritual: The British Monarchy and the 'Invention of Tradition', c. 1820-1977"
Mungkin penting bahwa Cannadine menempatkan 'penemuan tradisi' dalam tanda kutip,
karena artikel ini memaparkan tradisi baru yang „diciptakan‟ di Inggris, dan lebih lanjut
artikel ini mengupas tentang perubahan persepsi kerajaan Inggris. Cannadine
19
menekankan cara bahwa tradisi secara aktual seputar upacara kerajaan mengalami
sedikit perubahan, misalnya, keluarga kerajaan terus menggunakan kereta kuda yang
ditarik sebagai sarana transportasi bahkan setelah kebanyakan orang lain sudah
menggunakan mobil. Persepsi penggunaan kereta, bagaimanapun, berubah secara
drastis –di mana kereta kerajaan sebelumnya dipandang sebagai kendaraan yang biasa,
lalu kemudian digunakan untuk melambangkan kekunoan dengan penggunaan kereta
tersebut. Sementara praktik tradisi itu sendiri tidak banyak berubah, makna dari tradisi
yang mengalami banyak perubahan. Inilah yang menjadi letak perbedaan penelitian
Cannadine dengan penelitian lain di dalam buku ini, jika yang lain meneliti bagaimana
praktek tradisi „diciptakan‟, maka Cannadine menunjukkan aspek lain dari „invented
tradition‟ di mana praktik tradisinya masih sama, namun pemaknaannya yang sudah
diubah.
Konsep „Invention of Tradition‟ inilah yang akan saya gunakan sebagai
kerangka dalam melihat fenomena messianisme yang terdapat pada Jamaah an-Nadzir
di Kabupaten Gowa. Messianisme adalah gerakan yang mengamsumsikan bahwa di
akhir zaman- banyak yang mengatakan akhir zaman itu adalah masa sekarang ini- akan
datang seorang mesias yang akan mengeluarkan manusia dari belenggu penderitaan dan
akan membawa manusia menuju masa gemilang yang dipenuhi dengan limpahan
kesejahteraan serta penegakan keadilan yang merata bagi seluruh umat manusia.
Gerakan messianisme dalam banyak kasus sangat berasosiasi dengan gerakan
keagamaan. Gerakan messianisme yang berbasis agama seperti pernah dipandang sinis-
bersifat tahayyul, fantasi, kesadaran palsu, dan dogmatis20. Namun demikain, kiranya
gerakan messianis yang berbasis agama sekalipun saat ini tidak dapat lagi dipandang
sebagai gerakan keagamaan semata, karena dalam gerakan tersebut juga terdapat
dimensi sekuler dan simbolis yang sangat kental seperti politik, ekonomi, bahkan
budaya.
Konsep „Invention of Tradition‟ akan digunakan untuk melihat bagaimana
messianisme Jamaah an-Nadzir dikonstruksi, bagaimana relasi konsep messianisme
Jamaah an-Nadzir dengan konsep-konsep messianistis lain yang telah ada sebelumnya,
sejauh mana konsep-konsep tersebut mempengaruhi mereka serta bagaimana konsep
tersebut dimodifikasi untuk menetapkan konsep messianisme tersendiri yang „khas‟
an-Nadzir. Penelitian ini juga akan melihat bagaimana konsep tersebut dipraktekkan dalam
kehidupan mereka dan tantangan, serta hubungannya dengan masa lalu yang
direpresentasikan melalui penciptaan simbol-simbol dan narasi yang mereka bangun.
Membicarakan konsep messianisme dan bagaimana hal tersebut dikonstruksikan
sepertinya tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang konstruksi identitas. Richard
Beardsworth dengan mengutip Derrida dalam essaynya„The Messianic Now: A Secular
Response‟ mengatakan bahwa messianisme sebagai sebuah identitas- salah satu hal
yang menandai kebangkitan agama abad XX-XXI- sangat mungkin kemunculannya
disebabkan oleh kontaminasi identitas yang menyebabkan adanya keinginan untuk
kembali ke identitas awal yang dianggap ideal. Bagi Derrida sebagaimana disebutkan
20
Beardsworth, sebenarnya tidak ada kebangkitan agama sebab agama hanya bisa dimulai
dan dimulai kembali21.
Konsep identitas yang dipahami dalam ilmu budaya sebagai sesuatu yang selalu
berada dalam konstruksi, senantiasa dalam proses dan tidak pernah sempurna kiranya
sejalan dengan konsep „Invention of Tradition‟ yang melihat bahwa banyak praktik
budaya adalah hasil dari proses „penciptaan‟ yang dilakukan secara terus menerus.
Kedua konsep ini juga mengandaikan adanya imaji terhadap „other‟ dalam konstruksi
tersebut dan kontinuitas dengan masa lalu.
Di Indonesia, terdapat beberapa penelitian yang dapat dilihat sebagai penelitian
dengan konsep „invention of tradition‟ atau menggunanakan konsep-konsep yang mirip
dengan konsep „invention of tradition‟ meskipun menggunakan bahasa atau istilah yang
berbeda. Salah satu dari penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Jhon
Pemberton pada masyarakat Jawa melalui bukunya „On the Subject of Java‟.
Pemberton sendiri dalam bukunya tidak pernah menyatakan tentang konsep
invention of tradition secara ekspilisit, namun demikian, hal tersebut bukan berarti
bahwa penelitian Pemberton tersebut tidak dapat dipandang sebagai penelitian dengan
konsep invention of tradition. Kedekatan penelitian Pemberton dengan konsep
„invention of tradition‟ sudah dapat kita lihat dari subjudul bukunya On The Subject Of
Java yang menunjukkan bahwa Pemberton sejak awal telah menempat kejawaan bukan
sebagai sesuatu yang sudah terberi (meskipun pastinya banyak klaim tentang keaslian,
kekunoan dan sebagainya) melainkan sesuatu yang sudah melalui pelbagai macam
21
pembentukan atau konstruksi. Kedekatan dengan konsep „invention of tradition‟
semakin dipertegas melalui pernyataan Pemberton pada bagian pendahuluan bukunya
Walau saya menelaah dalam-dalam manuskrip-manuskrip Jawa dari beberapa abad yang lalu, saya tidak melakukannya dalam rangka menulis sejarah dari, misalnya Jawa abad kesembilan belas melainkan saya lakukan itu dalam upaya untuk menulis mengarungi balik arus kronologi, ke belakang sampai ke wacana mengenai asal-usul yang memengaruhi masa kini Orde Baru22.
Penegasan Pemberton tentang fokus penelitiannya tersebut memperlihatkan
bahwa seperti halnya konsep „invention of tradition‟ yang memandang sejarah masa lalu
atau lebih tepatnya konstruksi tentang masa lalu kerap dihubungkan dan digunakan
secara politis untuk membentuk masyarakat masa kini. Pemberton juga menggunakan
pandangan yang demikian itu dalam konteks bagaimana Orde Baru berusaha
merekonstruksi konsep-konsep kejawaan tertentu secara politis selama periode
kekuasaan mereka.
Objek penelitian Pemberton adalah Jawa khususnya Jawa tengah dan secara
lebih spesifik banyak berkaitan dengan kesultanan Surakarta dari rentan abad kedelapan
belas sampai dengan masa-masa kejayaan Orde Baru (sekitar tahun 1980an). Sekali
lagi, hal ini tidak cukup hanya dipahami dalam kerangka kronologis karena data-data
yang disajikan Pemberton memperlihatkan bagaimana wacana tentang apa yang disebut
„Jawa‟, „tradisi‟, „ritual‟ digunakan untuk proyek politis khususnya oleh rezim Orde
Baru.
Pada bab-bab awal bukunya, Pemberton berargumentasi bahwa apa yang disebut
„Jawa‟ yang adiluhung merupakan hasil dari sebuah kontruksi panjang, berubah-ubah
22