• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Messianisme Jamaah AN-NADZIR di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konstruksi Messianisme Jamaah AN-NADZIR di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan."

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

ix

Manusia selalu merasa ada yang kurang dari dirinya dan terus menerus berusaha dipenuhi. ‘Kekurangan’ tersebut bisa disebabkan oleh kesenjangan ekonomi, politik, budaya, agama yang dianggap tidak ideal. Kekurangan tersebut menghadirkan rasa tidak puas yang pada akhirnya melahirkan resistensi melalui berbagai cara. Salah satu kelompok yang merasa tidak puas atau menganggap realitas hidup saat ini bukanlah realitas yang ideal dan ‘semestinya ada’ adalah Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ketidakpuasaan Jamaah an-Nadzir disebabkan konstruksi mereka tentang bagaimana seharusnya kehidupan beragama dalam Islam menurut imaji mereka yang semakin tergerus oleh arus modernisasi dan sekularisasi. Ketidakpuasan tersebut mendorong Jamaah an-Nadzir untuk membentuk sebuah komunitas mandiri di mana mereka dapat menjalankan apa yang mereka yakini secara bebas.

Gerakan yang diusung oleh Jamaah an-Nadzir sangat kental dengan unsur messianisme. Messianisme adalah sebuah gerakan yang mengharapkan dan berusaha mewujudkan ‘pemerintahan ideal’ setelah zaman yang dianggap bobrok di bawah kepemimpinan tokoh tertentu yang dianggap sebagai perwujudan kehendak ilahi. Messianisme an-Nadzir didasarkan pada klaim teologi Islam. Komunitas an-Nadzir meyakini dan sekaligus mengklaim bahwa mereka sedang mempersiapkan kedatangan sosok mesias Islam, Imam Mahdi. Imam Mahdi dalam konstruksi jamaah dibuat berbeda dengan konstruksi kelompok Islam lainnya. Di sini, mereka menambahkan unsur narasi lokal, seperti penghubungan sosok Imam Mahdi dengan tokoh lokal Kahar Muzakkar dan pendiri komunitas, Kyai Samsuri Abdul Madjid.

Messianisme an-Nadzir dalam penilitian ini akan dipandang dari perspektifinvention of tradition untuk menelusuri sejauh mana gagasan messianisme an-Nadzir hadir sebagai sebuah kreasi. Kreasi messianisme Jamaaah an-Nadzir tidak bisa dilepaskan dari konsep-konsep mesianisme yang telah mapan. Penelitian ini juga berusaha menelusuri dan menunjukkan kompleksitas relasi wacana/kekuasaan yang terdapat dalam berbagai konsep messianisme, sebab bagaimana pun juga messianisme merupakan sebuah medan kontestasi di mana makna terus menerus dipertarungkan.

(2)

x

ABSTRACT

Human being always feels that there is something missing, so they try to fullfil it. It can be caused of economic, political, religious and cultural disparity. It causes dissatisfaction that in turn stimulates resistance in many ways. One such dissatisfied community with the dissatisfaction is an-Nadzir community, who lives in Gowa District, South Sulawesi. They are not satisfied with the Islamic religious condition. This dissatisfaction is stimulated by their perspective on the ideal image of religious society, and for them, the Islamic religious condition nowadays is too much influenced by the modernity and secularity. As a result, they have built an autonomous community, in which they can freely live the life based on what they believe.

The movement is dominated by messianism movement. Messianism is a movement that tries to implement ideal governance, since they claim that the world has degenerated under the figure of the representation of God in the world. An-Nadzir messianism is based on an Islamic theological claim. They believe that the savior messiah, Imam Mahdi, would appear in this world, and they have to prepare for it. The Imam Mahdi concept is constructed differently from the other constructions. The Imam Mahdi concept is contextualized with local story. It is connected to the figure of Kahar Muzakkar and the founding father of the community, Kyai Samsuri Abdul Madjid.

In this thesis, An-Nadzir messianism is viewed from the perspective of “invention of tradition”, to investigate the emergence of an-Nadzir as a creation. The an-Nadzir messianism construction is closely related to the other established concepts of messianism. This research tries to investigate as well as to show the complexity, the power/knowledge relation of the messianism concepts. It is finally to show that messianism is an arena of ongoing contestation/negotiation for truth.

(3)

i

DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniaora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

I M R A N

116322014

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

ii

TESIS

KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR

DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN

Oleh: I M R A N 116322014

Telah disetujui oleh

Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S, Ph.D. ………

(5)

iii

TESIS

KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR

DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN

Oleh: I M R A N 116322014

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Pada tanggal 14 Juli 2014

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguji

Ketua : Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J. ………

Sekertaris : Dr. Katrin Bandel ………

Anggota :

1. Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S, Ph.D. ……….

2. Dr. Stanislaus Sunardi ……….

3. Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J. ……….

Yogyakarta, 11 Agustus 2014 Direktur Program Pascasarjana

(6)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : I M R A N

NIM : 116322014

Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas : Universitas Sanata Dharma Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis

Judul : Konstruksi Messianisme Jamaah An-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan

Pembimbing : Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S, Ph.D. Tanggal diuji : 14 Juli 2014

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam skripsi/ karya tulis/ makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum)yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 11 Agustus 2014 Yang memberikan pernyataan

(7)

v

KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : I M R A N

NIM : 116322016

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 11 Agustus 2014 Yang menyatakan

(8)

vi

PENGANTAR

Ketika saya pertama kali akan melakukan penelitian pada jamaah an-Nadzir,

messianisme bukanlah tema utama penelitian ini. Tema penelitian saya saat itu berjudul

Representasi dan Politik Identitas Jamaah An-Nadzir di Sulewesi Selatan. Konsentrasi

penilitian saya ubah setelah melakukan observasi lapangan di mana saya menemukan

bahwa keseluruhan wacana dan praktik teologi jamaah an-Nadzir diikat dan berpusat

pada sebuah semangat messianistik. Perubahan tema penilitian ini tidak lepas dari

arahan bapak St. Sunardi yang membantu saya melihat sentralitas semangat

messianisme tersebut. Perubahan tema tersebut sebenarnya tidak menghilangkan topik

awal tentang representasi dan politik identitas, sebab bagaimanapun juga messianisme

adalah pembentukan sebuah wacana yang sarat dengang representasi dan politik

identitas.

Wacana messianisme Islam sangat erat kaitannya dengan Islam Syiah. Literatur

menyangkut messinanisme Islam sangat banyak ditulis dalam kerangka teologi Syiah.

Bagaimana tidak, dalam doktrin Syiah messianisme atau mahdisme merupakan fondasi

keyakinan (Aqidah). Syiah meyakini bahwa setelah nabi terdapat para pemimpin

terpilih (imam) yang bertugas menjadi penjaga risalah ilahi, kepemimpinan tersebut

berakhir pada Imam Mahdi yang gaib pada sekitar tahun 250 hijriah dan dipercayai

akan muncul kembali pada waktu yang telah ditentukan Tuhan.

Hubungan erat antara wacana messianisme dalam Islam yang menjadi tema

utama penelitian ini dan teologi Syiah melahirkan sebuah pengalaman psikologis bagi

(9)

vii

seseorang yang tumbuh dalam tradisi pesantren. Enam tahun masa sekolah mulai dari

madrasah Tsanawiyah (SMP) sampai Madrasah Aliah saya tempuh di pondok pesantren

Darud Dakwah Wal Irsyad al-Ikhlas Takkalasi, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.

Pesantren saya tersebut seperti kebanyakan pesantren di Indonesia beraliran Sunni.

Praktis seluruh pengetahuan teologis saya dibentuk dari konstruksi teologi Ahlus

Sunnah.

Sejak di pesantren saya telah bertemu dengan wacana Syiah melalui berbagai

kitab kuning, tapi itu dilakukan dalam rangka menolak klaim-klaim Syiah. Penelitian ini

seperti yang saya katakan sebelumnya sangat erat dengan teologi Syiah mengharuskan

saya untuk membaca literatur-literatur tersebut dari sudut pandang baru dan berbeda.

Pengalaman membaca tersebut membuat saya menyadari kompleksitas sejarah Islam

dari masa lalu sampai hari ini. Harus saya akui bahwa saya menaruh simpati pada

teologi Syiah –sebab saya belum yakin untuk mengatakan bahwa saya Syiah-.

Pengalaman ini saya sampaikan hanya untuk jujur tentang bagaimana

pengalaman saya melakukan penelitian ini. Namun demikian, simpati tersebut tidak

akan membuat penelitian lebih condong untuk mendukung klaim salah satu sekte atau

bersifat tidak netral. Sama sekali tidak. Toh lagi pula tulisan ini tidak dimaksudkan

sebagai kampanye atas sebuah konstruksi teologi tertentu, bahkan penelitian ini

dimaksudkan untuk memperlihatkan unsur-unsur kreasi dan relasi wacana/kekuasaan

dalam pelbagai klaim teologis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya harus saya sampaikan kepada pembimbing

(10)

viii

mendapatkan pola dan logikanya. Kepada seluruh dosen Ilmu Religi dan Budaya, bapak

St. Sunardi, Romo Subanar, Romo Beny H. Juliawan, bapak George Junus Aditjonro,

Mbak Katrin Bandel, dan bapak A. Supratiknya, Romo Haryatmoko, berkat mereka

semua horizon pengetahuan saya menjadi semakin bertambah.

Terima kasih juga saya haturkan kepada teman-teman seangkatan di IRB,

Arham Rahman, Kurniasih, Vini Oktaviani Handayani, Wahmuji, Frans Pangrante,

Lamser, Doni Agung Setiawan, dan teman-teman lain yang tidak sempat saya sebutkan

satu per satu. Peran mereka sangat besar selama saya menempuh studi bukan hanya

sebagai teman nongkrong, tetapi juga sebagai parner diskusi yang langsung maupun

tidak langsung memberi kontribusi terhadap penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih

juga saya sampaikan kepada pihak Lembaga Penyalur Dana Pendidikan (LPDP) yang

telah bersedia mendanai penelitian ini.

Akhirnya, inilah tesis saya, harapan saya tesis ini dapat memberi kontribusi

dalam dinamika ilmu pengetahuan khususnya untuk bidang kajian budaya danreligious

studies.

Yogyakarta, 7 Juli 2014

(11)

ix

Manusia selalu merasa ada yang kurang dari dirinya dan terus menerus berusaha dipenuhi. ‘Kekurangan’ tersebut bisa disebabkan oleh kesenjangan ekonomi, politik, budaya, agama yang dianggap tidak ideal. Kekurangan tersebut menghadirkan rasa tidak puas yang pada akhirnya melahirkan resistensi melalui berbagai cara. Salah satu kelompok yang merasa tidak puas atau menganggap realitas hidup saat ini bukanlah realitas yang ideal dan ‘semestinya ada’ adalah Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ketidakpuasaan Jamaah an-Nadzir disebabkan konstruksi mereka tentang bagaimana seharusnya kehidupan beragama dalam Islam menurut imaji mereka yang semakin tergerus oleh arus modernisasi dan sekularisasi. Ketidakpuasan tersebut mendorong Jamaah an-Nadzir untuk membentuk sebuah komunitas mandiri di mana mereka dapat menjalankan apa yang mereka yakini secara bebas.

Gerakan yang diusung oleh Jamaah an-Nadzir sangat kental dengan unsur messianisme. Messianisme adalah sebuah gerakan yang mengharapkan dan berusaha mewujudkan ‘pemerintahan ideal’ setelah zaman yang dianggap bobrok di bawah kepemimpinan tokoh tertentu yang dianggap sebagai perwujudan kehendak ilahi. Messianisme an-Nadzir didasarkan pada klaim teologi Islam. Komunitas an-Nadzir meyakini dan sekaligus mengklaim bahwa mereka sedang mempersiapkan kedatangan sosok mesias Islam, Imam Mahdi. Imam Mahdi dalam konstruksi jamaah dibuat berbeda dengan konstruksi kelompok Islam lainnya. Di sini, mereka menambahkan unsur narasi lokal, seperti penghubungan sosok Imam Mahdi dengan tokoh lokal Kahar Muzakkar dan pendiri komunitas, Kyai Samsuri Abdul Madjid.

Messianisme an-Nadzir dalam penilitian ini akan dipandang dari perspektifinvention of tradition untuk menelusuri sejauh mana gagasan messianisme an-Nadzir hadir sebagai sebuah kreasi. Kreasi messianisme Jamaaah an-Nadzir tidak bisa dilepaskan dari konsep-konsep mesianisme yang telah mapan. Penelitian ini juga berusaha menelusuri dan menunjukkan kompleksitas relasi wacana/kekuasaan yang terdapat dalam berbagai konsep messianisme, sebab bagaimana pun juga messianisme merupakan sebuah medan kontestasi di mana makna terus menerus dipertarungkan.

(12)

x

ABSTRACT

Human being always feels that there is something missing, so they try to fullfil it. It can be caused of economic, political, religious and cultural disparity. It causes dissatisfaction that in turn stimulates resistance in many ways. One such dissatisfied community with the dissatisfaction is an-Nadzir community, who lives in Gowa District, South Sulawesi. They are not satisfied with the Islamic religious condition. This dissatisfaction is stimulated by their perspective on the ideal image of religious society, and for them, the Islamic religious condition nowadays is too much influenced by the modernity and secularity. As a result, they have built an autonomous community, in which they can freely live the life based on what they believe.

The movement is dominated by messianism movement. Messianism is a movement that tries to implement ideal governance, since they claim that the world has degenerated under the figure of the representation of God in the world. An-Nadzir messianism is based on an Islamic theological claim. They believe that the savior messiah, Imam Mahdi, would appear in this world, and they have to prepare for it. The Imam Mahdi concept is constructed differently from the other constructions. The Imam Mahdi concept is contextualized with local story. It is connected to the figure of Kahar Muzakkar and the founding father of the community, Kyai Samsuri Abdul Madjid.

In this thesis, An-Nadzir messianism is viewed from the perspective of “invention of tradition”, to investigate the emergence of an-Nadzir as a creation. The an-Nadzir messianism construction is closely related to the other established concepts of messianism. This research tries to investigate as well as to show the complexity, the power/knowledge relation of the messianism concepts. It is finally to show that messianism is an arena of ongoing contestation/negotiation for truth.

(13)

xi DAFTAR ISI

JUDUL TESIS ……….. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

PENGESAHAN ……… iii

PERNYATAAN ……… iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ………... v

KATA PENGANTAR ……….. vi

ABSTRAK ……… ix

ABSTRACT ……….. x

DAFTAR ISI ……… xi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ……… 1

B. TEMA ………... 12

C. RUMUSAN MASALAH ……… 12

D. TUJUAN PENELITIAN ……… 13

E. MANFAAT PENELITIAN ……… 14

F. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS ……….. 15

F.1. Tinjauan Pustaka ………. 15

F.2. Kerangka Teori ……… 20

G. METODE PENELITIAN ………... 36

H. PENGOLAHAN DATA ……….. 38

(14)

xii BAB II

GENEALOGI JAMAAH AN-NADZIR

A. Letak Geografis ……… 39

B. Sejarah Kemunculan An-Nadzir ……… 42

C. Politik Interaksi Keseharian ... 52

D. Paham (Interpretasi) Teologis : Upaya kembali Kepada Yang “Asli” ... 62

BAB III KONSTRUKSI WACANA MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR A. Messianisme dalam Berbagai Konstruksi .……… 75

B. Messianisme di Indonesia ………... 88

C. Konstruksi Messianisme Jamaah an-Nadzir ……… 98

BAB IV KONTRUKSI KEPEMIMPINAN JAMAAH AN-NADZIR A. Konstruksi Kepemimpinan Islam: Sebuah Polemik ……… 121

B. Dinamika Konstuksi Pemerintahan Islam di Sulawesi Selatan ………… 135

C. Konstruksi Sistem Kepemimpinan Jamaah An-Nadzir ……… 149

BAB V PENUTUP A. Messianisme = Revivalisme? ……… 166

B. Messianisme Sebagai Medan Kontestasi ………. 168

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Proses liberalisasi dan globalisasi dalam berbagai bentuk yang sedang melanda

seluruh penjuru dunia serta berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia membuat

beberapa kalangan meramalkan bahwa kehidupan manusia akan terbawa pada arus

kehidupan yang lebih sekular. Manusia cenderung akan meninggalkan agama atau

setidak-tidaknya era ini akan ditandai dengan berkurangnya aspek religiusitas umat

manusia. Namun, ramalan tersebut sepertinya tidak sepenuhnya tepat jika kita

tempatkan dalam konteks masyarakat Indonesia. Globalisasi ternyata tidak serta merta

membuat masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang lebih sekular, beberapa

fenomena bahkan menunjukkan bahwa terjadi semacam penguatan aspek religuitas dan

gerakan-gerakan keagamaan pada masyarakat.

Fenomena penguatan atau kebangkitan gerakan keagamaan sebenarnya bukanlah

fenomena khas Indonesia. Di tempat lain fenomena yang demikian itu juga dapat

dengan mudah dijumpai. Hal ini boleh jadi adalah respon terhadap modernisasi yang

disikapi secara beragam oleh berbagai pihak. Bagi kaum Modernis, sekularisasi

terhadap dimensi kehidupan manusia dianggap sebagai jalan menuju pencerahan umat

manusia dari belenggu fenomena agama yang „terbelakang‟, „tahayyul‟ atau

„reaksioner‟. Sebaliknya oleh kelompok yang menolak ide modernitas (termasuk oleh

sebagian kelompok agama), modernisasi (sekularisasi) dianggap sebagai penyebab

utama dekadensi nilai-nilai agama, baik dalam ranah masyarakat maupun dalam ranah

(16)

sepertinya tidak sekadar dalam bentuk pengingkaran satu sama lain, tetapi juga terdapat

adaptasi dan negosiasi di antara keduanya.

Bagaimana asal-usul kebangkitan agama ini bisa muncul? Peter L Berger dalam

artikelnya „The Desecularization Of The World‟1 mengajukan dua jawaban. Pertama,

modernitas cenderung memporak-porandakan kepastian-kepastian yang telah diterima

secara taken for granted oleh masyarakat sepanjang zaman. Tindakan ini amat tidak

disukai oleh penganut agama yang tidak bersikap toleran serta gerakan-gerakan

keagamaan yang menghendaki kepastian tersebut dapat dipertahankan. Kedua,

kenyataan bahwa pandangan sekuler tentang realitas memperoleh tempat sosial yang

penting dalam kultur elit, sehingga menimbulkan kemarahan dari kalangan yang tidak

ikut ambil bagian, dan kalangan yang merasa hal tersebut akan menimbulkan pengaruh

buruk.

Selain fenomena penguatan keagamaan, salah satu fenomena yang menarik

adalah munculnya aliran-aliran keagamaan yang lebih beragam. Hal ini disebabkan

keleluasaan untuk berkumpul dan berpendapat yang sudah dapat dilakukan secara lebih

terbuka oleh masyarakat setelah sekian lama dibungkam dan dikekang rezim Orde Baru

pimpinan Soeharto. Namun pertumbuhan keberagaman aliran dan penafsiran yang

berkaitan dengan persoalan keagamaan tersebut bukannya tanpa persoalan. Kehadiran

berbagai aliran baru (sebagian bahkan telah ada sebelum reformasi) seringkali tidak

dibarengi dengan kedewasaan untuk saling menerima perbedaan. Kelompok minoritas

seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif. Beberapa

1

(17)

komunitas agama non-mainstream bahkan didefinisikan sebagai aliran sesat oleh

komunitas dominan/ mainstream atau oleh institusi Negara. Tidak hanya itu, komunitas

yang didefinisikan sesat tersebut bahkan kerap kali mendapatkan perlakuan kekerasan

yang mengancam keselamatan hidup mereka. Sebut saja penyerangan, pengusiran, dan

kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia atau

penyerangan yang menyebabkan kerugian material dan korban jiwa terhadap komunitas

Syiah di Sampang, Madura oleh kelompok tertentu dengan dalih bahwa hal itu

dilakukan sebagai tindakan protektif „terhadap keyakinan yang benar‟.

Terlepas dari segala macam pembelaan yang diutarakan setiap kali terjadi

konflik berbau agama (baik antar kelompok seagama maupun antar agama) yang sering

dianggap hanya merupakan rekayasa konflik dan untuk kepentingan politis tertentu,

namun hal yang sepertinya sulit dipungkiri adalah bahwa benih kebencian terhadap

kelompok yang „berbeda‟ memang sungguh ada dan telah ditanamkan baik secara sadar

maupun tidak sadar. Sebab provokasi tidak akan berhasil dengan mudah jika

benih-benih kebencian tidak ada. Sebagian besar penganut agama masih tidak bisa menerima

kelompok lain yang „berbeda‟ dengan kelompoknya. Hal ini menunjukkan bahwa masih

ada jarak antara ajaran agama yang katanya membawa spirit perdamaian dengan

tindakan „beragama‟2.

Fenomena lain yang muncul belakangan- walaupun sebenarnya fenomena ini

bukanlah sesuatu yang benar-benar baru- adalah munculnya komunitas-komunitas

agama dengan semangat messianistik. Gerakan messianistik adalah sebuah gerakan

2Lih, Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi‟, Gramedia, Jakarta,

(18)

keagamaan yang merindukan datangnya juru selamat untuk menyelamatkan kehidupan

manusia dan menegakkan hukum Tuhan secara menyeluruh. Dalam beberapa penelitian

terdahulu, gerakan agama yang berorientasi messianistik kerap dihubungkan dengan

keadaan sosial masyarakat yang carut marut (baik dari segi sosial, ekonomi politik, dan

agama). Gerakan messianistik juga dalam arti tertentu kerap dianggap sarat dengan

semangat revolusioner dan olehnya itu dianggap sangat berpotensi mengancam

stabilitas kekuasaan pemerintah3.

Namun demikian, apakah gerakan agama yang messianistik selalu muncul

sebagai respon atas ketidakjelasan kondisi sosial masyarakat? Apakah semua gerakan

messianistik secara reduksionis dapat dikatakan berpretensi mengganggu kemapanan

kekuasaan? Kompleksitas dalam gerakan messianistik inilah yang ingin saya coba

telusuri melalui aspek-aspek gerakan messianistik yang terdapat dalam komunitas

Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Gerakan messianistik sendiri bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia.

Berbagai macam gerakan messianistik telah dikenal oleh masyarakat nusantara bahkan

ketika Indonesia sebagai Negara belum ada. Masyarakat Jawa misalnya telah mengenal

konsep Ratu Adil yang biasanya dihubungkan dengan ramalan dari Prabu Jayabaya

tentang keadaan masa depan masyarakat Jawa4. Masyarakat di Sulawesi Selatan yang

menjadi lokasi penelitian ini juga telah mengenal konsep messianisme sejak lama lewat

konsep to- manurung. Konsep tentang to- manurung ini sendiri sebenarnya tidak serta

3

Lih Sartono, Ratu Adil, Sinar Harapan, 1984, hlm 10

(19)

merta mengandung arti messianis, namun dalam perkembangannya konsep

to-manurung sangat kental dengan unsur-unsur messianistik.

Konsep To manurung sendiri merupakan konsep yang erat kaitannya dengan

sejarah terbentuknya kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan (Kerajaan Gowa,

Bone, Soppeng). Kedatangan to manurung di Sulawesi Selatan digambarkan oleh

lontara5sebagai sesuatu yang dihajatkan, antara lain untuk mengakhiri keadaan yang sedang kacau balau6. Pengharapan tentang datangnya to-manurung seringkali muncul

apabila masyarakat berhadapan dengan ketidakpastian sosial yang berlangsung secara

terus menerus. Konsep ataupun gerakan yang bersifat messianistik seperti ini di

Sulawesi Selatan mengalami metafora setelah perjumpaan antara unsur kepercayaan

lokal dengan unsur eskatologi Islam. Hal yang sama sepertinya juga berlaku dalam

konsep Ratu Adil masyarakat Jawa, bahkan dalam arti tertentu konsep tentang Ratu adil

di Jawa sedikit lebih kompleks karena mempertemukan unsur kepercayaan/kebudayaan

lokal yang bertemu dengan konsep Hindu-Budha dan konsep eskatologi Islam.

Komunitas Jamaah an-Nadzir adalah kelompok Islam minoritas yang terdapat di

wilayah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Jamaah an-Nadzir yang berasal dari

berbagai daerah dan latar belakang tersebut memilih bertempat tinggal sebagai sebuah

komunitas mandiri di tempat yang cukup terpencil tepatnya di tepi danau Mawang,

Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 20 Kilometer dari kota Makassar.

Selain di Kabupaten Gowa, Komunitas an-Nadzir memiliki jaringan di berbagai daerah

5

Manuskrip sejarah yang biasanya berkaitan dengan masyarakat, tokoh, atau sejarah kerajaan yang ditulis dalam aksara lokal

6

(20)

di Indonesia, mulai dari Jakarta, Medan, Banjarmasin, Batam, Dumai, Batubara, Bogor,

dan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.7

Jamaah an-Nadzir di Indonesia didirikan oleh Kyai Syamsuri Abdul Madjid

pada tahun 1998 yang melakukan perjalanan dakwah ke berbagai daerah di Indonesia

termasuk di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar dan di Luwu. Menariknya, Kyai

Syamsuri Abdul Madjid oleh anggota Jamaah an-Nadzir kerap dikaitkan sebagai sosok

titisan Kahar Muzakkar, tokoh pejuang gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Di awal

keberadaannya, Jamaah an-Nadzir ini sempat menimbulkan kecurigaan dari berbagai

pihak, bahkan kepolisian dan intelejen sempat mendatangi komunitas mereka karena

dicurigai melakukan praktik terorisme ataupun menyebarkan ajaran „sesat‟.

Anggapan bernada miring tersebut dikarenakan Jamaah an-Nadzir ini memiliki

kekhasan yang membedakannya atau dianggap berbeda dengan umat Muslim pada

umumnya. Kekhasan itu salah satunya berasal dari tampilan fisik mereka yang berbeda.

Jamaah an-Nadzir yang bermukim di Desa Mawang (sebagian Jamaah tidak bermukim

pada pemukiman komunitas) diwajibkan memanjangkan rambut dan mewarnainya,

selain itu mereka juga lebih sering menampilkan diri dengan memakai sorban hitam.

Tak ketinggalan, mereka juga memakai celak. Sedang kaum muslimah an-Nadzir

menggunakan jilbab besar disertai kain cadar penutup muka, namun tidak sedikit juga

muslimah an-Nadzir yang hanya mengenakan jilbab biasa seperti kebanyakan wanita

muslim pada umumnya. Tata cara berpakaian seperti ini bahkan telah mereka terapkan

pada anak-anak mereka sejak dini. Tata cara berpakaian dan penampilan fisik yang

7

(21)

berbeda dengan penampilan umat Islam pada umumnya dalam pandangan jamaah ini

disandarkan pada hadits-hadits shohih dalam rangka melaksanakan sunnah rasul.

Kekhasan Jamaah an-Nadzir tidak hanya terletak pada penampilan fisik dan

tafsiran teologi mereka tetapi juga cara hidup dan pola ekonomi mereka. Komunitas

an-Nadzir berusaha mengembangkan sebuah pola ekonomi mandiri untuk menghidupi dan

membiayai komunitas mereka. Komunitas ini menyadari bahwa ekonomi yang kuat

dapat menjadi landasan komunitas agar tetap utuh, apalagi komunitas ini kebanyakan

adalah pendatang yang meninggalkan daerah dan pekerjaan mereka sebelumnya untuk

hidup sebagai sebuah komunitas. Hal ini membuat pengelolaan ekonomi sangat

dibutuhkan demi kelanjutan hidup komunitas.

Pada awalnya, komunitas an-Nadzir lebih banyak bergerak di bidang pertanian

dan pertambakan serta budi daya ikan. Jamaah an-Nadzir sejauh ini berhasil

mengembangkan kedua sektor tersebut. Keberhasilan mereka mengelola pertanian dan

perikanan membuat sebagian masyarakat setempat tertarik bekerja sama dengan

komunitas ini dengan memberikan lahan mereka untuk dikelola oleh Jamaah an-Nadzir

dengan sistem bagi hasil. Komunitas an-Nadzir juga mulai merambah dunia usaha

dengan membuka beberapa usaha seperti bengkel sepeda motor, warung pulsa dan

handphone, usaha depot air galon, dan membuka pasar tradisional. Usaha ekonomi

mandiri ini tidak hanya mereka peruntukkan kepada komunitas saja tetapi juga untuk

masyarakat umum yang ada di sekitar daerah Mawang. Menariknya mata pencaharian

jamaah ini tidak bersifat individu, namun merupakan pekerjaan jama‟ah. Seluruh

(22)

menjadi milik individu-individu melainkan diperuntukan untuk pengembangan

komunitas.

Sisi lain yang menarik dari jamaah ini adalah metode pendidikan dan

pembelajaran yang mereka terapkan pada anak-anak mereka. Jamaah an-Nadzir

mengembangkan sistem pendidikan mandiri kepada anak-anak mereka. Mereka tidak

memasukkan anak-anak ke sekolah-sekolah formal baik negeri maupun swasta. Mereka

mengambil alih pendidikan anak-anak mereka dengan mengadakan pendidikan sendiri

dengan menggunakan tenaga pengajar dari kalangan mereka sendiri. Mereka hanya

mengajarkan Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Hafalan

Alqur‟an dalam sebuah madrasah dengan tetap menerapkan disiplin waktu. Pola

pendidikan an-Nadzir ini sedikit banyak mirip dengan pola pendidikan ala pesantren

tradisional.

Sistem pendidikan seperti ini tidak menyediakan ijazah sebagaimana layaknya

sekolah-sekolah formal. Mereka sendiri tidak memproyeksikan anak-anak mereka untuk

jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mereka hanya mempersiapkan anak-anak mereka

sebagai pelanjut dari cita-cita komunitas di masa depan. Melalui sistem pendidikan yang

seperti ini, Jamaah an-Nadzir mendekonstruksi pemikiran mainstream tentang

pendidikan. Mereka seakan merevisi pandangan konvensional bahwa mereka tidak akan

bisa hidup “layak” tanpa bantuan sistem pendidikan formal. Jamaah an-Nadzir

membuktikan bahwa sebuah komunitas dapat “melanjutkan hidup” tanpa harus terjebak

(23)

Membicarakan sebuah komunitas agama (Islam) minoritas di Indonesia

sepertinya tidak lengkap tanpa membicarakan aspek tafsiran teologi yang mereka

yakini. Persoalan penafsiran keagamaan yang berbeda inilah yang kerap menjadi

musabab utama perlakuan diskriminatif dan pelabelan hal-hal tertentu pada mereka.

Namun, pembicaraan tentang hal ini tidak dalam rangka meneguhkan atau melemahkan

argumen komunitas tertentu. Semua keunikan itu akan lebih dipandang sebagai sebuah

bentuk politik identitas yang ditujukan untuk kepentingan dan maksud tertentu dari

komunitas tersebut.

Komunitas Jamaah an-Nadzir seringkali dianggap sebagai komunitas revivalis

atau fundamentalis karena cara mereka menafsirkan teks-teks suci (Al-Quran dan

Hadist) yang dianggap sangat skriptualis dan tekstual. Praktik-praktik keagamaan

mereka termasuk konstruksi identitas dan tampilan fisik mereka biasanya dijadikan

sebagai landasan dari pelabelan revivalis mereka.

Salah satu yang membedakan Jamaah an-Nadzir dengan umat Islam

kebanyakan adalah cara mereka merayakan bulan suci Ramadhan. Pada bulan suci

Ramadhan Jamaah an-Nadzir hanya melaksanakan ibadah puasa dan meniadakan

ibadah shalat tarawih di malam hari. Peniadaan ini dalam pandangan Jamaah an-Nadzir

karena ditakutkan shalat tarawih akan dianggap wajib. Mereka merujuk kepada nabi

yang semasa hidupnya hanya melakukan ibadah tarawih pada malam ke 23, 25, dan 27

bulan Ramadhan. Dalam pandangan an-Nadzir umat Islam sekarang ini seakan-akan

(24)

Hal lain yang menarik dari komunitas ini dan berbeda dengan kebanyakan

orang Islam di Indonesia adalah mengenai penentuan waktu shalat. Dalam penentuan

waktu shalat mereka tidak berpatokan pada jam (walaupun mereka tidak serta merta

menolak penggunaan jam) melainkan lebih berpatokan pada tanda-tanda alam. Salah

satu perbedaan mencolok adalah tidak seperti mayoritas umat Islam yang melaksanakan

shalat isya di malam hari mereka melaksanakan shalat isya pada dini hari antara pukul

03.00-04.00. Bagi mereka waktu itu adalah waktu yang utama (afdhal) dan mereka

tidak merasa berat apalagi terbebani melaksanakannya di waktu tersebut.

Komunitas Jamaah an-Nadzir menolak memasukkan diri dalam klasifikasi Syiah

maupun Sunni, dua sekte aliran yang paling dominan dalam Islam. Mereka bukan Syiah

maupun Sunni. Jamaah an-Nadzir mengklaim bahwa mereka adalah Ahlul Bait. Dalam

Islam dominan Ahlul Bait biasanya digunakan sebagai istilah untuk merujuk pada

keturunan atau keluarga nabi. Bagi Jamaah an-Nadzir Ahlul Bait adalah orang-orang

yang melaksanakan sunnah nabi mulai dari sunnah yang kecil hingga sunnah yang

besar. Itu berarti Ahlul Bait adalah orang yang meletakkan nabi sebagai teladan dalam

segala hal. Komunitas an-Nadzir mencoba merebut ruang dan makna tentang siapa

Ahlul Bait sesungguhnya dengan berupaya keras mempraktikkan kehidupan Nabi dan

sahabatnya, dan berupaya menerjemahkan keseluruhan praktik ibadah mereka sebagai

bagian dari “asli” nabi dalam kehidupan sehari-hari.

Komunitas an-Nadzir juga meyakini konsep tentang „messianisme‟.

Messianisme adalah suatu pandangan yang mengandaikan munculnya seorang „mesias‟

atau penyelamat umat yang akan mengeluarkan manusia dari kondisi sosial yang sedang

(25)

yang lebih layak. Lebih dari itu, Sang mesias pun menampilkan legitimasi ketuhanan

pada dirinya, misalnya sebagai penerima wahyu dari Tuhan.

Jamaah an-Nadzir meyakini mesias menurut mereka adalah Imam Mahdi. Imam

Mahdi adalah keturunan atau keluarga nabi yang diramalkan akan muncul pada akhir

zaman. Menurut Jamaah an-Nadzir Imam Mahdi telah turun dan membawa peringatan

kepada umat Islam. Menariknya, Imam Mahdi sebagaimana diyakini oleh Komunitas

an-Nadzir adalah Kahar Muzakkar yang mewujud dalam diri Abah Syamsuri Madjid

(pendiri An-Nadzir). Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa Kahar Muzakkar atau Abah

Syamsuri Madjid telah mengalami tiga kali gaib. Gaib Sugra ketika dia masih kecil,

kemudian gaib di La Solo (ketika dia dianggap mati), dan terakhir dia terhijab tahun

2006 (tahun meninggalnya Abah Syamsuri Madjid). Oleh karena Imam Mahdi telah

muncul, maka kehidupan manusia saat ini menurut Jamaah ini telah memasuki fase

akhir zaman.

Rencana penelitian ini dimaksudkan untuk menelusuri seperti apa aspek-aspek

gerakan messianistik yang terdapat pada komunitas Jamaah an-Nadzir di kabupaten

Gowa, Sulawesi Selatan. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat bagaimana

ideologi messianistik tersebut dirumuskan dan dijalankan serta aspek-aspek yang

membedakannya dengan gerakan-gerakan messianistik lainnya.

Penelitian terkait keberadaan komunitas Jamaah an-Nadzir sendiri sudah pernah

dilakukan oleh beberapa orang untuk kepentingan yang beragam. Salah satu penelitian

tentang Jamaah an-Nadzir pernah dilakukan oleh Saprillah, peneliti Balai Litbang

Departemen Agama kota Makassar. Penelitian tersebut diterbitkan oleh Jurnal al-Qurba.

(26)

Kemandirian‟. Penelitian lain yang bersifat lebih akademis dilakukan oleh Muhammad

Taufan dengan judul „Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir‟ dan penelitian

yang dilakukan oleh Mustaqim Pabbaja dengan judul „Gerakan Islam Non Mainstream,

Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi Selatan‟. Dua penelitian terakhir

merupakan penelitian untuk kepentingan disertasi.

Rencana penelitian ini ingin menelusuri bagaimana Jamaah an-Nadzir

merumuskan paham messianistik mereka dan bagaimana paham atau keyakinan tersebut

dijalankan atau dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penelitian ini juga

dimaksudkan untuk melihat bagaimana kompleksitas wacana yang membangun konsep

messianistik yang mereka pahami, keadaan sosial yang menjadi tempat kemunculannya

serta metode kepemimpinan yang mereka terapkan.

B. TEMA

Adapun tema penelitian ini adalah „Aspek-aspek Messianistik pada Jamaah

an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan‟.

C. RUMUSAN MASALAH

Arah penelitian ini sebagaimana telah sedikit banyak dipaparkan dalam latar

belakang dimaksudkan untuk menelusuri aspek-aspek messianisme dari komunitas

Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Rumusan masalah dalam

penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah keadaan lingkungan sosial yang melahirkan gerakan

(27)

2. Seperti apa ideologi messianistik yang dipahami dan dikonstruksi oleh

Jamaah an-Nadzir dan digunakan untuk apa?

3. Seperti apakah bentuk kepemimpinan (leadership) yang dikembangkan

oleh komunitas Jamaah an-Nadzir yang ada di Kabupaten Gowa,

Sulawesi Selatan?

D. TUJUAN PENELITIAN

Merujuk pada rumusan masalah di atas maka adapun tujuan dari penelitian

adalah:

1. Menelusuri bagaimanakah kondisi sosial yang melahirkan gerakan

messianistik yang dipahami oleh komunitas Jamaah an-Nadzir di

Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk

melihat bagaimana latar belakang sosial yang sedikit banyak melatar

belakangi munculnya gerakan messianistik sebagaimana dipahami oleh

komunitas ini.

2. Mengurai seperti apa ideologi messianistik yang dipahami,

dikembangkan dan dijalankan oleh Jamaah an-Nadzir di Kabupaten

Gowa, Sulawesi Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk menelusuri

perbedaan-perbedaan konsep tentang messianistik yang dipahami oleh

komunitas ini. Bagian ini juga dimaksudkan untuk memperlihatkan

kekhasan dari paham messianistik Jamaah an-Nadzir dibandingkan

(28)

3. Menjelaskan bagaimana metode kepemimpinan yang dibangun dan

dilaksanakan oleh Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi

Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk melihat pola kepemimpinan yang

terdapat dalam komunitas ini. Hal ini penting mengingat pola

kepemimpinan biasanya memegang peranan sentral dalam

gerakan-gerakan messianistik seperti ini.

E. MANFAAT PENELITIAN

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Perkembangan khasanah Ilmu pengetahuan humaniora khususnya kajian

budaya. Penelitian ini diharapkan akan memperkaya eksplorasi terhadap

komunitas-komunitas minoritas dengan menggunakan pendekatan

penelitian dengan perspektif kajian budaya di Indonesia.

2. Masyarakat luas pada umumnya agar dapat lebih bijak menanggapi

berbagai perbedaan dan pluralitas dalam dinamika kehidupan

bermasyarakat.

3. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti/mahasiswa lain yang

ingin mengangkat topik serupa terutama untuk hal-hal yang tidak dibahas

(29)

F. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS

F.1. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya pada bagian latar belakang tentang

beberapa penelitian baik yang mengkaji komunitas an-Nadzir maupun komunitas

minoritas lain di Sulawesi Selatan. Bagian ini akan memaparkan kelebihan dan

kelemahan dari setiap penelitian ini. Bagian ini juga akan menunjukkan perbedaan dan

kekhasan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

Pertama, penelitian yang dilakukan Saprillah dengan judul „Jamaah an-Nadzir,

Membangun Arus Membangun Kemandirian‟. Penelitian ini menggambarkan sejarah

kemunculan, pola hidup dan bagaimana paham keagamaan khususnya yang berkaitan

dengan pelaksanaan syariat oleh Jamaah an-Nadzir. Kelemahan penelitian terletak pada

inkonsistensi argumentasinya. Sebagai contoh, di awal tulisan penulis menyanjung pola

pendidikan yang diterapkan oleh Jamaah an-Nadzir sebagai sebuah metode alternatif

dan kreatif serta dapat keluar dari logika mainstream bagaimana masyarakat menilai

pendidikan formal sebagai jaminan kesuksesan hidup, namun di akhir dia

merekomendasikan Pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional sebagai

upaya untuk menjawab keraguan komunitas ini terhadap pentingnya pendidikan

(melalui jalur sekolah formal). Inkonsistensi lain adalah pemaparannya tentang

pentingnya pluralitas dan kedewasaan menerima perbedaaan, namun lagi-lagi di akhir

tulisannya dia beranggapan bahwa komunitas ini bisa menjadi ancaman terhadap

„Islam‟ di masa depan. Penulis seperti hanya ingin menjadi legitimasi baru terhadap

(30)

Departemen Agama, tulisan seperti ini biasanya dimaksudkan untuk kepentingan

pengeluaran kebijakan pembinaan keagamaan di masyarakat.8

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Taufan dengan judul

Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir‟. Penelitian ini memfokuskan diri pada

aspek sosiologi hukum Jamaah an-Nadzir yang dipertentangkan atau diperhadapkan

dengan hukum positif dan hukum Islam. Penelitian yang dilakukan oleh Taufan ini juga

ingin meneliti sejauh mana Jamaah an-Nadzir melenceng atau tidak dari kategori

benar-sesatnya paham tafsir keagamaan- dalam konteks ini adalah agama Islam- yang telah

dibakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pihak yang dianggap

berwenang9.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Jamaah an-Nadzir bukanlah sebuah

komunitas yang mengembangkan paham aliran sesat jika merujuk pada kriteria sesat

yang ditetapkan MUI. Perbedaan yang terdapat dalam paham dan praktik keagamaan

merupakan sesuatu yang hanya bersifat furu‟iyah, bukan sesuatu yang ushuliyah.

Taufan juga mengatakan bahwa keberadaan komunitas ini jika ditinjau dari perspektif

hukum positif adalah sah karena Negara melalui konstitusi menjamin warga Negara

untuk menganut agama dan kepercayaannya secara tulus tanpa paksaan dari siapapun

dan golongan apapun. Aliran baru seperti an-Nadzir dilihat oleh Taufan sebagai sebuah

revisi, kritik atau bahkan sebagai titik balik dari ajaran induknya.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Mustaqim Pabbaja dengan judul Gerakan

Islam Non Mainstream, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi Selatan‟.

8

Lih Saprillah, Jamaah an-Nadzir, Membangun Arus Membangun Kemandirian‟, Jurnal Alqurba

9

(31)

Penelitian ini memfokuskan diri pada dimensi sosial-ekonomi Jamaah an-Nadzir

sebagai strategi pemberdayaan Jamaah. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa

gerakan pemberdayaan sosial-ekonomi Jamaah an-Nadzir lebih berorientasi pada

kesalehan sosial dan keselamatan individual untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Penegakkan syariat dan hukum Tuhan harus dimulai dari masing-masing individu dan

kelompok. Berdasarkan hal tersebut Jamaah an-Nadzir tidak mengganggap pendirian

negara Islam sebagai sesuatu yang penting. Sikap anti pendirian negara Islam menurut

Mustaqim merupakan sikap positif dari gerakan An-Nadzir. Jamaah ini tidak

menjadikan pendirian negara Islam sebagai agenda perjuangan, dan karena itu mereka

menolak penggunaan jalur politik, tetapi mereka lebih menitikberatkan nilai Islam pada

kepentingan sosial ekonomi. Perjuangan penegakan syariat Islam dianggapn sebagai

perjuangan individual karena keselamatan akhirat memang bersifat nafsi-nafsi atau

individual.10 Jamaah an-Nadzir dianggap sukses menjalankan sebuah sistem ekonomi

mandiri yang berbasis pada pengembangan ekonomi kreatif. Keberhasilan Jamaah

an-Nadzir itu tidak hanya sebatas pada komunitas mereka tetapi juga memberi banyak

manfaat terhadap masyarakat sekitar yang tanahnya mereka kelola. Jamaah an-Nadzir

disukai karena mereka menerapkan prinsip-prinsip kenabian dalam perkara muamalat

mereka.

Selain penelitian terdahulu tentang Jamaah an-Nadzir, pada bagian ini juga akan

disebutkan beberapa penelitian dengan tema gerakan messianistik yang telah dilakukan

sebelumnya. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Vittorio Lanternari

dalam bukunya The Religion of the Oppressed: A Study of Modern Messianic Cults

10

(32)

pada bagian „Messianic Movement in Asia and Indonesia‟. Penelitian ini

mengidentifikasi kemunculan orang-orang kharismatik yang mengombinasikan antara

gagasan mitos tradisional lokal dengan ide-ide messianisme Islam11.

Peran para orang kharismatik yang biasanya adalah pemimpin agama ini sangat

sentral karena orang-orang itulah yang berkeliling melakukan agitasi ke masyarakat.

Para pemimpin agama ini umumnya menyebarkan isu anti Belanda. Kebencian terhadap

penjajah (Belanda) semakin diperkuat dengan ide perang suci untuk mengusir penjajah

sekaligus juga dalam rangka mewujudkan ide messianisme yang mereka yakini.

Gerakan messianik yang diteliti oleh Lanternari yang mengambil setting masyarakat

Indonesia (Jawa) ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok petani. Kedatangan juru

selamat yang dijanjikan diramalkan akan didahului oleh bencana, kerusuhan, dan

ketidakpastian sosial. Karena kepercayaan dan keinginan yang kuat untuk meraih apa

yang diramalkan membuat masyarakat menurut Lanternari dengan mudah mengaitkan

sebuah peristiwa untuk dikaitkan dengan apa yang diramalkan.

Gerakan messianik di Indonesia mempunyai ciri yang berbeda dengan gerakan

messianistik di tempat lain. Perbedaan gerakan messianistik itu terletak pada ketiadaan

unsur kristianitas dan tidak adanya peran organisasi gereja dalam gerakan messianisme

di Indonesia. Lebih jauh Lanternari mengatakan bahwa elemen messianisme di

Indonesia dibentuk oleh inti ajaran pagan- mungkin maksudnya adalah kepercayaan

lokal-, unsur Hindu-Budha, doktrin mahdisme (Islam) dan pesan messianisme baru.12

11

Lih Lanternari, The Religion of the Oppressed: A Study of Modern Messianic Cults, London. Macgibbon & kee,1963, hlm 265

(33)

Selanjutnya adalah penelitian tentang konsep Ratu Adil dalam masyarakat Jawa

yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo. Dalam penelitian ini diberikan berbagai

contoh gerakan messianisme di Jawa yang terjadi antara abad 19 dan 20. Gerakan

messianistik tersebut kebanyakan didasarkan pada berbagai versi ramalan Prabu

Jayabaya.13 Salah satunya dan yang paling terkenal adalah pemberontakan Pangeran

Diponegoro yang mengklaim diri sebagai Erucakra. Ciri khas ramalan-ramalan juru

selamat Jawa menurut Sartono meskipun pada dasarnya bersifat non-Islam, namun

memuat unsur eskatologi Islam. Hal ini menunjukkan adanya negosiasi antara

kepercayaan lokal dan Islam.14

Kedatangan juru selamat di Jawa diramalkan akan ditandai dengan

bencana-bencana alam, dekadensi moral dan kemelaratan di kalangan masyarakat. Kedatangan

sang mesias akan mengakhiri ketidakadilan dan memulihkan keharmonisan. Sang

mesias akan menghalau penguasa yang lalim (Belanda) dan mendirikan Negara yang

adil di mana masyarakat akan hidup sejahtera dengan makanan dan pakaian yang

melimpah. Sang mesias juga akan menghapuskan wajib kerja dan wajib pajak yang

besar dan memberatkan rakyat.

Gerakan messianistik yang terjadi di banyak tempat di Jawa antara abad 19 dan

20 berlangsung di bawah penjajahan Belanda maka gerakan messianistik yang terjadi

saat itu juga memunculkan gejala nativisme sebagai reaksi terhadap kekuasaan asing

kulit putih. Kekuasaan orang asing dianggap mengancam pengertian tentang identitas

Jawa- khususnya di kalangan petani- karena meningkatnya hegemoni politik dan

13

Seorang raja Kediri, jawa timur, yang hidup sekitar abad kedua belas

14

(34)

kekuasaan asing. Pada masa itu, bukan hanya Belanda yang dimusuhi dan dibenci,

tetapi juga kalangan etnis Cina dan kalangan pribumi yang berkomplot dengan Belanda

karena akses mereka yang lebih luas dan besar terhadap pengelolaan sumber daya alam.

Para nativis mengharapkan dan membayangkan kedatangan suatu masyarakat di mana

orang kulit putih terusir dan sekutu-sekutu pribumi mereka digulingkan.

Penelitian ini secara spesifik mengambil aspek yang berbeda. Penelitian ini ingin

melihat bagaimana ideologi messianistik yang dipahami, direkonstruksi dan dijalankan

oleh Jamaah an- Nadzir yang ada di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Penelitian ini

juga ingin menelusuri apa yang berbeda dalam messianisme mereka dengan gerakan

messianisme yang sudah pernah ada. Penelitian ini difokuskan pada tema tentang aspek

messianisme yang terdapat dalam komunitas Jamaah an-Nadzir. Penelitian tentang tema

messianisme pada Jamaah an-Nadzir sepanjang penulusuran saya belum pernah diteliti

secara mendalam oleh para peneliti terdahulu. Penelitian terdahulu tentang Jamaah

an-Nadzir, jikalau pun menyebut tentang aspek messianistiknya sepertinya hanya

diperlakukan sebagai data penunjang dan dibicarakan secara sekadarnya saja. Oleh

karena itu, penelitian ini ingin memfokuskan diri untuk menelusuri aspek messianistik

seperti apa yang dikonstruksi oleh komunitas an-Nadzir, bukan dalam kerangka

justifikasi benar-sesat melainkan melihat kompleksitas wacana dan unsur-unsur yang

membangunnya.

F.2. Kerangka Teori

Kerangka teori yang akan digunakan sebagai sudut pandang dalam penelitian ini

(35)

Bahasa Indonesia mungkin bisa kita sebut „penciptaan tradisi‟). Salah satu buku yang

memfokuskan penelitian dan elaborasinya terhadap konsep „the Invention oh Tradition‟

dan berbagi contohnya di berbagai negara adalah sebuah buku berjudul The Invention of

Tradition. Buku yang dieditori oleh Eric Hobsbawm dan Terence Ranger merupakan

kumpulan esai tentang berbagai penelitian dengan tema „invention of tradition‟ yang

dilakukan di berbagai daerah dan negara. Walau dilakukan di berbagai negara, namun

buku ini tampaknya lebih berfokus pada negara-negara bekas jajahan Inggris (seperti

India, Afrika, Skotlandia dan sebagainya).

Konsep invention of traditionbukanlah sebuah konsep yang sangat „teoritis‟ jika

dibandingkan dengan teori besar seperti psikoanalisa, poskolonialisme dan sebagainya.

Konsep ini hanya seperti sebuah batasan dan fokus penelitian. Dalam pengantarnya

pada buku tersebut Eric Hobsbawm menjelaskan tentang konsep „invention of tradition‟

sebagai

“Invented tradition” is taken to mean a set of practices, normally governed

by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values and norms of behaviour by repetition, which automatically implies continuity with the past. In fact, where possible, they normally attempt to establish continuity with a suitable historic past.15

Penjelasan Hobsbawm tersebut menunjukkan bahwa „Invented Tradition‟ yang

terjadi di berbagai tempat bukanlah praktek natural, melainkan sebuah praktek yang

memang sengaja disusun sedemikian rupa untuk maksud - kebanyakan sangat bersifat

politis- dan dalam kurun waktu tertentu. Menariknya, „penciptaan tradisi‟ tersebut

senantiasa mengandaikan keterhubungan atau kontinuitas dengan masa lalu. Artinya,

15

(36)

masa lalu berusaha dimaknai ulang pada masa sekarang. Masa lalu dimaknai kembali

untuk menyusun kondisi yang diekspektasikan pada masa sekarang dan masa depan.

Pemaknaan kembali ini- yang tentunya sekali lagi sarat nuansa politis- sangat

memungkinkan terjadinya pertarungan wacana dalam rangka merebut atau memapankan

makna tertentu.

Buku The Invention of Tradition berusaha menunjukkan bahwa banyak „tradisi‟

di berbagai tempat di dunia yang diklaim sebagai tradisi yang asli, kuno, sudah ada

sejak dulu, sebenarnya adalah sebuah hal yang masih baru-dalam hal waktu

kemunculannya –dan merupakan hasil ciptaan- dalam arti tidak sepenuhnya „asli‟. Hal

ini salah satunya dapat kita lihat dalam Penjelasan Hugh Trevor-Roper tentang

„invented tradition‟ yang dia teliti di Skotlandia. Esai Hugh Trevor-Roper ini sangat

dekat dengan definisi Hobsbawm tentang konsep „Invented Tradition‟ pada pengantar

buku. Dalam esainya, "The Invention of Tradition: The Highlander Tradisi Skotlandia,"

Trevor-Roper mengeksplorasi cara-cara di mana Skotlandia berusaha untuk

melestarikan warisan mereka dalam menghadapi peryatuan dengan Inggris. Secara

khusus, ia meneliti asal-usul Skotlandia dan pakaian "tradisional" mereka, untuk

menemukan bahwa kedua hal ini sebagian besar adalah hasil kreasi, tetapi diterima

dengan cepat dan dikultuskan oleh masyarakat Skotlandia sebagai budaya asli

Skotlandia.

Hugh Trevor-Roper memfokuskan penelitiannya pada pakaian traditional

Skotlandia yang disebut „kilt‟(pakaian traditional yang bentuknya agak mirip rok)yang

oleh masyarakat Skotlandia pada saat ini dianggap sebagai sebuah identitas nasional

(37)

menunjukkan bahwa apa yang mereka klaim kuno itu sebenarnya adalah hal baru-

dalam kemunculannya-, karena itu baru muncul sekital akhir abad 18 dan awal abad

1916.

Hugh Trevor-Roper memperlihatkan bagaimana konstruksi budaya Skotlandia

dibangun. Menurut Trevor-Roper, penciptaan tradisi Highland Skotlandia terjadi dalam

tiga tahap. Pertama, terdapat pemberontakan budaya melawan Irlandia: hal ini

menyebabkan terjadinya perampasan budaya Irlandia dan penulisan ulang sejarah awal

Skotlandia, yang berpuncak pada klaim „kurang ajar‟ bahwa Scotlandia adalah „

ibu-bangsa‟ dan asal-usul budaya Irlandia. Kedua, terdapat penciptaan tradisi Skotlandia

yang baru, diwacanakan sebagai sesuatu yang kuno, asli dan khas. Ketiga, ada proses

dimana tradisi-tradisi baru tersebut disebarkan ke wilayah-wilayah lain di Skotlandia17.

Melalui penjelasan tentang bagaimana dinamika dan hegemoni wacana yang tedapat

dalam ide tentang „kilt‟ pada masyarakat Skotlandia, Hugh sepertinya ingin

menunjukkan bahwa „kilt‟ bukan hanya sesuatu yang baru tetapi juga tidak sepenuhnya

asli dan khas Skotlandia sebagaimana yang diterima dan diyakini oleh masyarakat

Skotlandia.

Penelitian lain yang mengkaji praktek „penciptaan tradisi‟ adalah penelitian yang

dilakukan oleh Bernard S. Cohn. Dalam esainya yang berjudul „Representing Authority

in Victorian India‟ Bernard mengeksplorasi cara-cara kolonial Inggris di India sekitar

abad 18 dalam merekayasa dan menciptakan representasi otoritas baru yang berusaha

mereka ambil alih dari raja-raja lokal India.

16

Hugh Trevor-Roper, The Invention of Tradition: The Highland Tradition of Scotland dalam buku The Invention of Tradition, Cambridge University Press, 1983,hlm 16.

17

(38)

Fokus Bernard terhadap bagaimana representasi otoritas dibangun pada masa

penjajahan Inggris di India adalah untuk menunjukkan kompleksitas pembentukan dan

perubahannya dari waktu ke waktu. Pada saat penjajahan Inggris terhadap India,

pemerintah Inggris berusaha mengkodifikasi konsep tentang tatanan otoritas yang

dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara masyrakat India, penguasa-penguasa

lokal dalam relasi mereka dengan pemerintah kolonial Inggris18. Inggris, yang memulai

pemerintahan mereka sebagai „outsider', tiba-tiba memposisikan diri menjadi „insider'

dengan menjadikan India sebagai wilayah kedaulatan Inggris. Untuk memperoleh

simpati masyarakat India –khususnya para raja-raja lokal-, Inggris meyakinkan

masyarakat India bahwa di bawah kekuasaan mereka, hak, martabat dan kontrol atas

wilayah akan dihormati oleh pemerintah kolonial. Inggris juga menjanjikan penegakan

hukum yang adil serta kebebasan untuk menjalankan keyakinan dan agama

masing-masing mengingat India adalah sebuah wilayah dengan kepercayaan agama dan budaya

yang berbeda-beda. Lebih dari itu, Inggris menjanjikan kemajuan ekonomi, sebuah hal

yang sebenarnya menjadi konsen utama Inggris di India.

Upaya kodifikasi tentang representasi otoritas ini dimanifestasikan dalam

berbagai ritual dan simbol. Misalnya melalui pembedaan pakaian dan pengaturan posisi

dalam ritual yang menunjukkan hirarki kedudukan seseorang. Semakin dekat

posisi/tempat seseorang dengan tempat raja (diatur dengan cara barisan memanjang)

menandakan bahwa hirarki sosialnya semakin tinggi. Pada fase awal upaya representasi

otoritas ini, Inggris masih banyak harus bernegosiasi dengan adat kerajaan Mughal yang

sangat kental. Namun, setelah kegagalan upaya pemberontakan tahun 1857 yang

18

(39)

menyebabkan akhir kekaisaran Mughal dan membuat hegemoni Inggris menjadi

semakin kuat, Inggris kemudian mengangkat diri sebagai satu-satunya pusat kekuasaan

dan otoritas. Inggris menetapkan sebuah tatanan sosial baru dimana kriteria

kebangsawanan diatur oleh kolonial Inggris berdasarkan pendapatan dan tingkat

loyalitas mereka kepada kerajaan Inggris19.

Pada fase di mana hegemoni Inggris sudah menguat, pemerintah Inggris

berusaha melakukan proses penyatuan seluruh raja-raja lokal di bawah hegemoni

mereka dan untuk menjamin loyalitas raja-raja lokal tersebut terhadap Inggris. Raja-raja

lokal mengambil peran yang penting karena mereka adalah adalah simbol komunitas,

klan, bahkan keragaman agama dan budaya. Penyatuan ini dipandang penting karena

meskipun Inggris menguasai India, namun masyarakat India hanya loyal kepada

raja-raja lokal mereka, bukan kepada pemerintah kolonial. Memastikan loyalitas para raja-raja

lokal berarti garansi pula terhadap loyalitas masyarakat. Proses penyatuan ini dilakukan

lewat berbagai pertemuan dan ritual yang sarat simbol/kodifikasi. Proses-proses

kodifikasi representasi otoritas inilah yang oleh Bernard dipandang sebagai sebuah

praktek „invention oftradition‟.

Penelitian yang tampaknya agak sedikit menyimpang dari definisi Hobsbawm

adalah penelitian David Cannadine yang berjudul, " The Context, Performance and

Meaning of Ritual: The British Monarchy and the 'Invention of Tradition', c. 1820-1977"

Mungkin penting bahwa Cannadine menempatkan 'penemuan tradisi' dalam tanda kutip,

karena artikel ini memaparkan tradisi baru yang „diciptakan‟ di Inggris, dan lebih lanjut

artikel ini mengupas tentang perubahan persepsi kerajaan Inggris. Cannadine

19

(40)

menekankan cara bahwa tradisi secara aktual seputar upacara kerajaan mengalami

sedikit perubahan, misalnya, keluarga kerajaan terus menggunakan kereta kuda yang

ditarik sebagai sarana transportasi bahkan setelah kebanyakan orang lain sudah

menggunakan mobil. Persepsi penggunaan kereta, bagaimanapun, berubah secara

drastis –di mana kereta kerajaan sebelumnya dipandang sebagai kendaraan yang biasa,

lalu kemudian digunakan untuk melambangkan kekunoan dengan penggunaan kereta

tersebut. Sementara praktik tradisi itu sendiri tidak banyak berubah, makna dari tradisi

yang mengalami banyak perubahan. Inilah yang menjadi letak perbedaan penelitian

Cannadine dengan penelitian lain di dalam buku ini, jika yang lain meneliti bagaimana

praktek tradisi „diciptakan‟, maka Cannadine menunjukkan aspek lain dari „invented

tradition‟ di mana praktik tradisinya masih sama, namun pemaknaannya yang sudah

diubah.

Konsep „Invention of Tradition‟ inilah yang akan saya gunakan sebagai

kerangka dalam melihat fenomena messianisme yang terdapat pada Jamaah an-Nadzir

di Kabupaten Gowa. Messianisme adalah gerakan yang mengamsumsikan bahwa di

akhir zaman- banyak yang mengatakan akhir zaman itu adalah masa sekarang ini- akan

datang seorang mesias yang akan mengeluarkan manusia dari belenggu penderitaan dan

akan membawa manusia menuju masa gemilang yang dipenuhi dengan limpahan

kesejahteraan serta penegakan keadilan yang merata bagi seluruh umat manusia.

Gerakan messianisme dalam banyak kasus sangat berasosiasi dengan gerakan

keagamaan. Gerakan messianisme yang berbasis agama seperti pernah dipandang sinis-

(41)

bersifat tahayyul, fantasi, kesadaran palsu, dan dogmatis20. Namun demikain, kiranya

gerakan messianis yang berbasis agama sekalipun saat ini tidak dapat lagi dipandang

sebagai gerakan keagamaan semata, karena dalam gerakan tersebut juga terdapat

dimensi sekuler dan simbolis yang sangat kental seperti politik, ekonomi, bahkan

budaya.

Konsep „Invention of Tradition‟ akan digunakan untuk melihat bagaimana

messianisme Jamaah an-Nadzir dikonstruksi, bagaimana relasi konsep messianisme

Jamaah an-Nadzir dengan konsep-konsep messianistis lain yang telah ada sebelumnya,

sejauh mana konsep-konsep tersebut mempengaruhi mereka serta bagaimana konsep

tersebut dimodifikasi untuk menetapkan konsep messianisme tersendiri yang „khas‟

an-Nadzir. Penelitian ini juga akan melihat bagaimana konsep tersebut dipraktekkan dalam

kehidupan mereka dan tantangan, serta hubungannya dengan masa lalu yang

direpresentasikan melalui penciptaan simbol-simbol dan narasi yang mereka bangun.

Membicarakan konsep messianisme dan bagaimana hal tersebut dikonstruksikan

sepertinya tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang konstruksi identitas. Richard

Beardsworth dengan mengutip Derrida dalam essaynya„The Messianic Now: A Secular

Response‟ mengatakan bahwa messianisme sebagai sebuah identitas- salah satu hal

yang menandai kebangkitan agama abad XX-XXI- sangat mungkin kemunculannya

disebabkan oleh kontaminasi identitas yang menyebabkan adanya keinginan untuk

kembali ke identitas awal yang dianggap ideal. Bagi Derrida sebagaimana disebutkan

20

(42)

Beardsworth, sebenarnya tidak ada kebangkitan agama sebab agama hanya bisa dimulai

dan dimulai kembali21.

Konsep identitas yang dipahami dalam ilmu budaya sebagai sesuatu yang selalu

berada dalam konstruksi, senantiasa dalam proses dan tidak pernah sempurna kiranya

sejalan dengan konsep „Invention of Tradition‟ yang melihat bahwa banyak praktik

budaya adalah hasil dari proses „penciptaan‟ yang dilakukan secara terus menerus.

Kedua konsep ini juga mengandaikan adanya imaji terhadap „other‟ dalam konstruksi

tersebut dan kontinuitas dengan masa lalu.

Di Indonesia, terdapat beberapa penelitian yang dapat dilihat sebagai penelitian

dengan konsep „invention of tradition‟ atau menggunanakan konsep-konsep yang mirip

dengan konsep „invention of tradition‟ meskipun menggunakan bahasa atau istilah yang

berbeda. Salah satu dari penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Jhon

Pemberton pada masyarakat Jawa melalui bukunya „On the Subject of Java‟.

Pemberton sendiri dalam bukunya tidak pernah menyatakan tentang konsep

invention of tradition secara ekspilisit, namun demikian, hal tersebut bukan berarti

bahwa penelitian Pemberton tersebut tidak dapat dipandang sebagai penelitian dengan

konsep invention of tradition. Kedekatan penelitian Pemberton dengan konsep

„invention of tradition‟ sudah dapat kita lihat dari subjudul bukunya On The Subject Of

Java yang menunjukkan bahwa Pemberton sejak awal telah menempat kejawaan bukan

sebagai sesuatu yang sudah terberi (meskipun pastinya banyak klaim tentang keaslian,

kekunoan dan sebagainya) melainkan sesuatu yang sudah melalui pelbagai macam

21

(43)

pembentukan atau konstruksi. Kedekatan dengan konsep „invention of tradition‟

semakin dipertegas melalui pernyataan Pemberton pada bagian pendahuluan bukunya

Walau saya menelaah dalam-dalam manuskrip-manuskrip Jawa dari beberapa abad yang lalu, saya tidak melakukannya dalam rangka menulis sejarah dari, misalnya Jawa abad kesembilan belas melainkan saya lakukan itu dalam upaya untuk menulis mengarungi balik arus kronologi, ke belakang sampai ke wacana mengenai asal-usul yang memengaruhi masa kini Orde Baru22.

Penegasan Pemberton tentang fokus penelitiannya tersebut memperlihatkan

bahwa seperti halnya konsep „invention of tradition‟ yang memandang sejarah masa lalu

atau lebih tepatnya konstruksi tentang masa lalu kerap dihubungkan dan digunakan

secara politis untuk membentuk masyarakat masa kini. Pemberton juga menggunakan

pandangan yang demikian itu dalam konteks bagaimana Orde Baru berusaha

merekonstruksi konsep-konsep kejawaan tertentu secara politis selama periode

kekuasaan mereka.

Objek penelitian Pemberton adalah Jawa khususnya Jawa tengah dan secara

lebih spesifik banyak berkaitan dengan kesultanan Surakarta dari rentan abad kedelapan

belas sampai dengan masa-masa kejayaan Orde Baru (sekitar tahun 1980an). Sekali

lagi, hal ini tidak cukup hanya dipahami dalam kerangka kronologis karena data-data

yang disajikan Pemberton memperlihatkan bagaimana wacana tentang apa yang disebut

„Jawa‟, „tradisi‟, „ritual‟ digunakan untuk proyek politis khususnya oleh rezim Orde

Baru.

Pada bab-bab awal bukunya, Pemberton berargumentasi bahwa apa yang disebut

„Jawa‟ yang adiluhung merupakan hasil dari sebuah kontruksi panjang, berubah-ubah

22

Referensi

Dokumen terkait

Awalnya Riani tidak setuju dengan rencana Genta tersebut dengan alasan akan berat sekali baginya untuk tidak bertemu keempat sahabatnya itu.. Namun setelah keempat

pertumbuhan bakteri dengan spektrum yang luas, yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif yang telah diwakilkan oleh kedua bakteri uji

1) Selama tahun 2020 Pengadilan Agama Tanjung Pati telah melaksanakan program kerja dengan baik, meskipun dana dan prasarana terbatas, serta masih banyak dijumpai

Triplexer yang di gunakan pada contoh kasus kali ini adalah triplexer dengan external DC stop, alasan di perlukan nya DC stop karena digunakan nya MHA pada

terdapat himbauan dan ajakan dari pemerintah kepada masyarakat terutama ASN untuk mengurangi pemanasan global akibat efek gas rumah kaca yang sudah terjadi hampir di

Larva yang mati ditandai dengan adanya pe- rubahan warna larva Aedes aegypti akibat senyawa alkaloid pada buah pare hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh

Berdasarkan nilai yang diperoleh dari berbagai evaluasi, dapat disimpulkan bahwa Metode SOM-ANN memiliki performansi dan akurasi yang lebih baik dibandingkan

Keberadaan ternak sapi sangat menunjang kegiatan budidaya jambu mete karena memberikan beberapa keuntungan seperti tambahan pendapatan (dari proses produksi), sumber tenaga