• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN USIA MUDA DI BAWAH 16 TAHUN MENURUT HUKUM ADAT ALOR NUSA TENGGARA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN USIA MUDA DI BAWAH 16 TAHUN MENURUT HUKUM ADAT ALOR NUSA TENGGARA TIMUR"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN USIA MUDA DI BAWAH 16 TAHUN MENURUT HUKUM ADAT ALOR

NUSA TENGGARA TIMUR

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1)

Oleh HAJAR KAU

45 10 060 003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR 2017

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkankepada baginda kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga sahabatnya dan kepada seluruh umat islam yang dicintai oleh Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya dukungan,bantuan serta arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. M. Saleh Pallu, M.Eng. selaku Rektor Universitas Bosowa Makassar.

2. Dr. RuslanRenggong, SH., MH. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

3. Dr. Yulia A. Hasan, SH., MH. Selaku Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

4. Hj. SitiZubaidah, S,H., M,H. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Bosowa Makassar.

5. Dr. BasoMadiong, SH., MH. Selaku Pembimbing 1 yang telah memberikan petunjuk, kritik saran dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini menjadi lebih baik.

6. ZulkifliMakkawaru, SH,. MH selaku Pembimbing 2 yang telah memberikan petunjuk, kritik, saran dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini menjadi lebih baik.

7. Dr. Yulia A Hasan, SH., MH. dan Hj. Kamsilaniah, SH., MH. selaku penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Ilmu Hukum yang tidak pernah lelah memberikan ilmunya kepada penuis selama perkuliahan.

(5)

9. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar yang sangat arif dalam melayani dan membantu kelancaran administrasi penulis.

10. Bapak Tajudin Karaing dan Bapak Abu Bakar selaku Pemangku Adat Kabupaten Alor NTT yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah sebagai syarat memperoleh gelar sarjana.

11. Kedua Orang Tuaku tercinta Ayahanda Hj. Mustakim Kau (Almarhum) dan Ibunda Fatimah Kau terima kasih atas segala doa dan pengorbanan yang telah diberikan baik moril maupun materil.

12. Kepada saudaraku tercinta Kakak Nuriliah H.M Kau SH, Rahmatullah H.M Kau, adik Shawwaliyah H.M Kau Skm, Hamsina H.M Kau yang selalu memberikan dorongan motifasi untuk selalu semangat dalam meraih cita-cita.

Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulisdalam menyelesaikan skripsi ini, semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT dan diberikan kesuksesan.Aamiin

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.Semoga karya tulis ini dapat berniai ibadah dan dapat membawa manfaat bagi para pembaca dan terkhusus bagi penulis.

Wassalamu’alaikumWarahmatullahWarahmatullah Wabarakatuh.

Makassar, Agustus 2017 Penulis

Hajar Kau

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 3

1.4 Metode Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pengertian Perkawinan ... 7

2.2 Asas-asas Perkawinan... 10

2.3 Tujuan Perkawinan ... 13

2.4 Sebab Terjadinya Perkawinan Usia Muda... 17

2.5 Perkawinan Usia Muda Menurut Hukum Adat dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 21

BAB 3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Sejauhmana Pelaksanaan Aturan Perkawinan Hukum Adat Alor Terhadap perkawinan Usia Muda ... 37

3.2 Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Di Kabupaten Alor NTT ... 41

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 44

4.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(7)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Perkawinan bagi manusia adalah suatu yang sakral dan mempunyai tujuan yang sakral pula, serta tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat agama.Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahinya, melainkan juga untuk meraih ketenangan, ketentraman, dan sikap saling mengayomi antara suami istri dengan dilandasi cinta kasih yang mendalam.

Untuk mewujudkan perkawinan salah satu syaratnya bahwa para pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus telah matang jiwa raganya supaya dapat mewujudkan perkawinan secara baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur.

Usia perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri. Selain itu seorang ibu yang berusia muda sebenarnya belum siap untuk menjadi ibu dalam arti dia belum memiliki ketrampilan yang memadai untuk mengasuh anaknya sehingga ibu muda ini lebih menonjolkan sifat keremajaanya dari sifat keibuannya.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa. “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria

(8)

sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” .

Hal ini ditafsirkan bahwa undang-undang tidak menghendaki pelaksanaan pernikahan dini, pada prinsipnya hal ini dimaksudkan agar orang yang akan menikah memiliki kematangan berfikir, kematangan jiwa, dan kekuatan fisik yang memadai.

Selain itu secara normatif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2) mengisyaratkan usia yang matang dalam perkawinan adalah umur 21 tahun, di mana pasangan calon mempelai yang hendak melangsungkan perkawinan yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin kedua orang tua.

Di pihak lain walaupun undang-undang telah membatasi usia perkawinan, tapi undang-undang telah memberikan kemungkinan untuk melakukan perkawinan di bawah usia ketentuan tersebut, yaitu dengan memberikan dispensasi kawin melalui Pengadilan Agama bagi yang belum memasuki usia kawin. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 7 ayat (2).

Adanya ketentuan dispensasi kawin secara otomatis memberikan peluang bagi masyarakat untuk dapat melangsungkan perkawinan pada usia di bawah ketentuan batas minimal yang ditentukan undang-undang itu.

Ketidaktegasan undang-undang tersebut mengakibatkan Pengadilan Agama masih sering memberi dispensasi untuk anak perempuan dibawah umur 16 tahun melakukan pernikahan.

(9)

Masalah perkawinan usia muda seringkali terjadi di Kabupaten Alor.

Hukum Adat di Kabupaten Alor dalam kenyataannya tidak terlalu mempersoalkan perkawinan usia muda ini. Dalam skripsi ini perlu dikaji pelaksanaannya dengan perbandingan aturan dalam undang-undang perkawinan dengan aturan hukum adat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Sejauhmana pelaksanaan aturan perkawinan hukum adat alor terhadap perkawinan usia muda?

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda di KabupatenAlor NTT?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui pelaksanaan aturan perkawinan hukum adat alor terhadap perkawinan usia muda.

b. Untuk mengetahui faktor-faktoryang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda di kabupaten Alor NTT.

1.3.2 Kegunaan penelitian a. Secara teoritis

Dapat memberikan informasi pengetahuan, pengembangan wawasan dan pemikiran seputar perkawinan usia muda dan segala bentuk permasalahannya menurut pandangan hukum adat di Kabupaten Alor NTT.

(10)

b. Secara praktis

Menambah literatur kajian tentang wacana tersebut dalam menyikapi perkawinan usia muda.

1.4 Metode Penelitian

Metode penelitian hukum yang digunakan adalah : 1.4.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum empiris yang meliputi pendekatan hukum normatif dan pendekatan hukum sosiologis.Dalam hal pendekatan hukum normatif penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang- undangan, asas–asas hukum dan bahan hukum yang berhubungan dengan proposal ini.Pendekatan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Sedangkan pendekatan secara sosiologis dilakukan untuk memperoleh data primer yaitu dengan cara melakukan penelitian dan wawancara langsung di Lokasi Kabupaten Alor NTT. Dalam menganalisa data yang diperoleh, maka penulis menggunakan analisis kualitatif.

1.4.2 Lokasi penelitian

Di Kabupaten Alor NTT, dengan memilih Desa Baoraja dan Desa Alukae untuk memperoleh keterangan dan data yang diperlukan mengenai penelitian kebenaran terhadap analisis perkawinan usia muda menurut hukum adat.

(11)

1.4.3 Jenis dan sumber data a. Data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan. Data ini meliputi interview dari nara sumber diantaranya pemangku adat Desa Baoraja yang di Alor lebih dikenal dengan sebutan (Ketua Balerae), dan pemangku adat Desa Alukae yang lebih dikenal dengan sebutan (Ketua Baolang) dan pejabat KUA yang dianggap berperan dalam menikahkan para pelaku, kepala desa dan tokoh masyarakat setempat.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah buku-buku ilmiah, undang-undang Perkawinan, kompilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.

1.4.4 Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan cara:

1. Wawancara (Interview),yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dalam hal ini, penulis mengadakan wawancara

(12)

dengan informan yaitu: para pelaku pernikahan di bawah umur, orang tua, pejabat KUA, kepala desa dan tokoh masyarakat setempat.

2. Studi dokumen yaitu dengan menelaah bahan–bahan yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini berupa buku dan hasil karya tulis para sarjana hukum.

1.4.5 Analisis Data

Data yang didapat dari penelitian studi disusun secara sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang hukum perkawinan usia muda khususnya di Kabupaten Alor NTT.

Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan cara penguraian, menghubungkannya dengan peraturan–peraturan yang berlaku.

(13)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Perkawinan

Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan maka dari itu sudah menjadi kewajiban manusia untuk melaksanakan perkawinan.Perkawinan di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai adat dan budaya. Pengertian perkawinan banyak dikemukakan oleh para ahli dimana pengertian perkawinan tersebut antara satu dengan yang lain tidak saling bertentangan tetapi saling melengkapi.

Menurut Undang-Undang Nomor1 Tahun1974 tentang perkawinan padaBab 1 Dasar Perkawinan Pasal 1 dinyatakan bahwa:“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pertimbangannya adalah sebagai negara yang berdasarkan Pancasila di sila pertamannya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang penting.

Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqanghaliizhanuntuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.Dan perkawinan bertujuan

(14)

untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warohmah.

Dalam islam ditegaskan bahwa tujuan hidup kita adalah mencapai keridhaan Allah, hingga segala sesuatu yang kita perbuat adalah dalam rangka ibadah. Semuanya harus diorientasikan untuk ibadah kepada Allah, termasuk membina keluarga yakni untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan harapan dapat rukun, bahagia, sejahtera dan damai.

Ditinjau dari sudut pandang sejarah perkembangan manusia maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang hidup bersama dan yang tujuannya membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan serta mencegah perzinaan dan menjaga ketentraman baik jiwa maupun batin.

Menurut Rasjid (2000:348) Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan danmembatasi hak dan kewajiban serta serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.

Dengan demikian maka perkawinan adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna dan perkawinan ituuntuk mengatur kehidupan rumah tangga yang sejahtera dan bahagia duniaakhirat.

Sedangkan menurut Ahmad Saebani (2007:21) Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang sangat luas dalam hubungan hukum antara suami dan istri.

(15)

Setelah terjadinya perkawinan diantara suami istri akan terdapat keseimbangan kedudukan di dalam keluarga, artinya suami dan istri akan terdapat keseimbangan kedudukan di dalam keluarga, artinya suami istri mempunyai kedudukan yang sama dalam membina keluarga. Kesatuan suami istri dalam rumah tangga melalui suatu proses yang ditentukan oleh kaidah- kaidah hukum Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan:

1) Perkawinan yang sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.

2) Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur setiap tahapan proses menuju ikatan dari dua orang yang berbeda menjadi satu kesatuan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memandang Perkawinan merupakan suatu lembaga yang suci dan sakral dimana perkawinan itu diperjanjikan dan diikat dihadapan Tuhan Yang Maha Esa serta merupakan suatu ikatan yang harus di jaga keutuhannya.

Dari beberapa pandangan diatas, maka perkawinan tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami- isteri untuk maksud mendapatkan anak keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga,tetapi juga berarti hubungan hukum .yang menyangkut dengan anggota kerabat dari pihak suami.Terjadinyaperkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan yang rukun dan damai.Dengan

(16)

terjadinyaperkawinan maka diharapkan agar perkawinan itu didapatkan keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua.

2.2 Asas-asas Perkawinan

Asas-asas Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:

1.Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yang berbunyi: Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.yaitu harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.

2.Asas Monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Yang berbunyi:

Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

3.Tapi ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), yang berbunyi: Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5.

4.Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.

5.Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang- undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974) yang berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

6.Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.

(17)

7.Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut.

8.Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.

Asas-asas Perkawinan menurut Hukum Adat:

1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun, damai, kekal dan bahagia.

2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari anggota kerabat.

3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.

4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.

5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur.

Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orangtua, keluarga dan kerabat.

6. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan. Perceraian antara suami dan isteri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.

7. Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri atau isteri-isteri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada isteri yang

(18)

berkedudukan sebagai ibu rumah tangga, ada juga isteri yang bukan ibu rumah tangga.

Asas-asas Perkawinan menurut KUHPerdata

1. Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar.

2. Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan pegawai catatan sipil.

3. Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di bidang hukum keluarga.

4. Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.

5. Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan isteri.

6. Perkawinan menyebabkan pertalian darah.

7. Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan isteri itu.

Abdulkadir Muhammad, (2000:70) antara lain asas sukarela, asas partisipasi keluarga, asas perceraian dipersulit, asas poligami dibatasi dengan ketat, asaskematangan calon mempelai, asas perbaikan derajat kaum wanita, dan asas keharusan pencatatan perkawinan dan perceraian dengan ancaman hukuman bagi pelanggarnya, baik calon mempelai maupun pejabat pencatat perkawinan dan perceraian.

(19)

2.3 Tujuan Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan merupakan upaya pembentukan dan pembinaan keluarga, di samping itu pernikahan diperlukan untuk memperoleh ketenangan, saling mengisi, memelihara agama dan kelangsungan keturunan

Salah satu tujuan perkawinan adalah memperoleh ketenangan jiwa, fisik, pikiran dan akhlak. Hal ini sejalan dengan sejumlah penelitian yang membuktikan bahwa tatkala badai kehidupan membesar dan mengancam kehidupan pasangan suami-istri, masing-masing pihak akan saling berlindung satu sama lain demi memperoleh rasa aman dan menjalin kekuatan untuk terus melanjutkan kehidupannya (Ali Qaimi, 2002:11).

Tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 3:

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddahwarahmah.

Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.Hal tersebut dapat diartikan bahwa perkawinan tersebut haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak dapat diputuskan tanpa alasan yang tidak jelas.Pembentukan keluarga bahagia dan kekal haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila pertama Pancasila.Untuk itu suami istri perlu saling membantu melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan

(20)

kewajiban orang tua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah untuk kebahagiaan suami istri mendapat keturunan dan menegakkan keagamaan dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental (keorangtuaan).

Tujuan perkawinan menurut Soemiyati yang didasarkan pendapat Imam Ghazali ada 5, yaitu:

1. Memperoleh keturunan yang sah adalah tujuan pokok dari perkawinan itu sendiri. Memperoleh keturunan dalam perkawinan bagi penghidupan manusia mengandung 2 segi kepentingan:

a. Kepentingan diri sendiri

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan tentu mempunyai keinginan memperoleh keturunan atau anak. Bisa dirasakan perasaan suami istri tanpa mempunyai anak, tentunya kehidupan akan terasa sepi dan hampa, walaupun keadaan rumah tangga mereka berkecukupan dalam segala hal. Keinginan manusia untuk memperoleh anak dapat dipahami karena diharapkan anak-anak itu membantu orang tuanya bila sudah dewasa.

b.Aspek yang umum atau universal

Keturunan atau anak ialah karena anak itulah yang menjadi penyambung keturunan seseorang, yang akan selalu berkembang membuat damai dunia.

2. Memenuhi tuntutan naluriah atau hajat tabiat kemanusiaan.

(21)

Tuhan menciptakan manusia dalam jenis yang berbeda-beda yaitu laki-laki dan perempuan, antar kedua jenis itu saling mengandung daya tarik.Dari sudut biologis daya tarik itu ialah seksual.Dengan perkawinan pemenuhan tabiat kemanusiaan itu dapat disalurkan secara sah. Apabila tidak ada salurannya maka akan timbul perbuatan yang tidak baik dalam masyarakat

3. Menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan.

Apabila tidak ada saluran yang sah yaitu perkawinan untuk memenuhi kebutuhan seksual, biasanya manusia baik laki-laki maupun perempuan akan mencari jalan yang tidak halal. Oleh karena itu, untuk menghindari pemuasan dengan cara yang tidak sah yang akibatnya banyak mendatangi kerusakan dan kejahatan maka dilakukan perkawinan 4. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang merupakan bagian dari

masyarakat yang besar atas dasar cinta dan kasih sayang.

Ikatan perkawinan merupakan ikatan yang paling teguh dan kuat karena berdasarkan cinta dan kasih sayang. Dari cinta dan kasih sayang terbentuk rumah tangga yang bahagia.Dari rumah tangga tadi kemudian lahir anak, kemudian bertambah luas rumpun keluarga, demikian seterusnya sehingga tersusun masyarakat yang besar.

5. Menumbuhkan aktivitas dalam berusaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar tanggung jawab.

Sebelum melakukan perkawinan pada umumnya para pemuda maupun pemudi tidak memikirkan soal penghidupan karena masih

(22)

ditanggung oleh orang tua. Tetapi setelah berumah tangga mereka mulai menyadari akan tanggung jawabnya dalam rumah tangga. Hal ini akan mengakibatkan bertambah aktivitas kedua belah pihak, suami berusaha dalam mencari rezeki, sedangkan istri giat berusaha mencari jalan bagaimana menyelenggarakan rumah tangga yang damai dan bahagia.

Terlebih lagi dengan adanya anak, kegiatan tersebut tentunya akan lebih ditingkatkan.

Tujuan Perkawinan dalam Islam : Melaksanakan Sunnatullah sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an (Q.S. An-Nur:32) Yang artinya:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui “

Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.

Melaksanakan sunnah Rasul sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi SAW yang artinya :

“Perkawinan adalah peraturanku, barang siapa yang benci kepada peraturanku, bukanlah ia termasuk umatku. (H.R. Bukhari dan Muslim)“

Tujuan Pokok perkawinan dalam Islam adalah sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur’an, (Q.S Ar-Rum:21) Yang Artinya :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih

(23)

dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“

Perkawinan dalam Islam juga bertujuan untuk memelihara dan menjaga kehormatan diri sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi SAW Yang Artinya :

"Dari Abdullah Bin Mas’ud ia berkata, telah berkata kepada kami Rasulullah SAW : Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup kawin maka hendaklah ia kawin, maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh Agama) dan memelihara faraj. Dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah perisai baginya” (H.R. Buhkari dan Muslim)

Selain itu perkawinan dalam islam adalah bertujuan untuk mendapat keturunan yang sah serta sehat jasmani, rohani dan social, mempererat dan memperluas hubungan kekeluargaan serta membangun hari depan individu, keluarga dan masyarakat yang lebih baik.

2.4 Sebab Terjadinya Perkawinan Usia Muda

Perkawinan usia muda masih tetap saja terjadi terutama dikalangan masyarakat pedesaan atau pinggiran kota. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya:

1. Faktor psikologi

Menurut teori psikologi masa remaja bergerak antara umur 13 sampai dengan umur 18 tahun, dengan dimungkinkannya terjadi percepatan sehingga masa remaja datang lebih awal. Percepatan ini disebabkan oleh stimulasi sosial melalui pendidikan yang lebih baik, lingkungan sosial yang lebih mendewasakan, serta rangsangan- rangsangan media masa, terutama media masa audio visual. Pada usia 18

(24)

sampai 22 tahun, seseorang berada pada tahap perkembangan remaja akhir. Jika perkembangan remaja berjalan dengan normal seharusnya sudah menjadi dewasa yang selambat-lambatnya berusia 22 tahun, seseorang berada pada tahap perkembangan remaja akhir. Tugas perkembangan adalah segala hak yang harus dicapai individu pada suatu tahap perkembangan. Keterlambatan memenuhi tugas perkembangan membuat perkembangan individu senantiasa terbebani secara fisik dan psikis untuk memenuhi tugas perkembangan dari tahap sebelumnya yang belum terealisasikan dengan baik.

M. Fauzil Adhim (2002:1-5) mengemukakan bahwa perkawinan remaja merupakan pilihan terbaik untuk menciptakan pergaulan yang baik dan sehat, karena mencegah bahaya harus didahulukan ketimbang mengambil manfaat. Penundaan usia perkawinan memang banyak dan tidak dapat dibantah, tetapi jika kawin sangat diperlukan untuk mengatasi bahaya, lebih baik pencegahan bahaya itu didahulukan dan agama memang membenarkannya.

M.Fauzil Adhim dalam bukunya Sarlito Wirawan menyatakan bahwa kawin muda masih banyak yang merasa asing terutama pernikahan pada saat kuliah. Tanpa memikul tanggung jawab dalam kuliah saat banyak kuliahnya terkatung-katung apalagi pada saat kuliah harus memikirkan keluarganya. Pernikahan dapat berpengaruh pada aspek, yaitu perasaan tentang diri (sense of self), dan keseahtraan jiwa (wellness).

Selanjutnya Zimbargo dan Gerrig seprti dikutip M.Fauzil Adhim

(25)

menyatakan bahwa kesejahtraan jiwa merujuk pada kondisi kesehatan jiwa yang optimal sehingga membentuk kemampuan untuk memfungsikan diri secara penuh dan aktif melampaui ranah fisik intelektual, emosional, spritual, sosial dan lingkungan dari kesehatan.

2. Faktor Biologis

Diantara kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan biologis, yaitu kebutuhan laki-laki dan perempuan terhadap lawan jenisnya melalui pernikahan dan pergaulan. Dilihat dari terciptannya dan terwujudnya manusia, maka tidak dapat diragukan bahwa diharapkan dapat melangsungkan keturunan, Allah telah menganugrahkan kepadanya potensi syahwat dan keinginan menikah sebagai sarana melestarikan kelangsungan wujud manusia.

Kelangsungan alamiah ini tidak akan mengalami benturan kecuali dengan perbuatan zina, perbuatan yang terkuat untuk menghalangi terwujudnya rumah tangga. Zina merupakan penyebab manusia untuk melangsungkan pernikahan dan mengarahkan potensi syahwatnya kepada perzinahan yang dapat membawa manusia kepada kehancuran rumah tangga serta putusnya keturunan.

Sementara itu, perkawinan melahirkan begitu besar tanggung jawab dan kewajiban bagi suami istri. Tanggung jawab dan kewajiban yang belum mampu ditanggung seorang remaja putera dan puteri, meskipun mulai merasakan dorongan seksual dimasa puber. Akibat yang muncul pada saat ini adalah makin memanjangnya rentan waktu antara

(26)

masa puber yang alami dan kematangan sosial, ketika sesorang menjadi mampu untuk membangun rumah tangga. Seorang murid dari pendidikan sekolah dasar dan sampai jenjang perguruan tinggi, jika tanpa terputus baru berusia 25 tahun ia selesai, itupun masih mempersiapkan diri menghadapi perkawinan. Hal yang sama berlaku pada remaja puteri yang hendak menempuh jenjang pernikahan yang sama. Dalam prakteknya tidak dimungkinkan bagi remaja putera yang berusia 18 tahun dan remaja puteri yang berusia 16 tahun untuk membebani tanggung jawab perkawinan permanen dan menempuh kehidupan dengan semakin banyak tugas dan kewajiban terhadap pasangan masing-masing, dan juga terhadap anak-anak mereka. (Murhadana Muthari, 2002 : 12)

3. Faktor Adat dan Budaya

Maksud adat dan budaya adalah, adat dan budaya perjodohan yang masih umum dan terjadi dibeberapa daerah Indonesia. Dimana anak gadis sejak kecil telah dijodohkan oleh kedua orang tuanya, dan segera dinikahkan sesaat setelah anak menstruasi. Umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun, jauh dibawah usia minimum pernikahan yang diamanatkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu diperbolehkannya seorang perempuan menikah apabila telah mencapai umur 16 tahun.

Selain faktor-faktor hukum di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat yaitu :

(27)

1. Faktor Ekonomi

Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.

2. Faktor Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.

3. FaktorOrang tua

Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.

4. MediaMassa

Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.

5. FaktorAdat

Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.

2.5 Perkawinan Usia Muda Menurut Hukum Adat dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

1. Perkawinan Usia Muda Menurut Hukum Adat

SoerjonoSoekanto, Mengatakan bahwa perkawinan itu bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan

(28)

laki-laki yang menikah) saja, akan tetapi juga bagi orang tuanya, saudara- saudaranya dan keluarganya.

Perkawinan adalah peristiwa yang amat penting dalam perikehidupan masyarakat kita, sebab masalah perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja tetapi juga kedua belah pihak dari orang tua, saudara-saudaranya bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.

Van Dijk perkawinan menurut hukum adat sangat bersangkut paut dengan urusan familie, keluarga, masayarakat, martabat dan pribadi. Hal ini berbeda dengan perkawinan seperti masyarakat barat (eropa) yang modern bahwa perkawinan hanya merupakan urusan mereka yang akan kawin itu saja. Hukum Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan Perdata tetapi juga merupakan

“Perikatan Adat” dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, dan kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya (Ibadah) maupun hubungan

(29)

manusia dengan manusia (Mu’Amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat didunia dan selamat di Akhirat.

Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti perikatan perdata, tetapi juga perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan ketetanggaan.Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggan, serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Begitu menyangkut perintah dan larangan.Baik menyangkut hubungan manusia dengan tuhannya dan hubungan sesama manusia.

Imam Sudiyat (1991:17) dalam bukunya Hukum Adat mengatakan bahwa:”Menurut Hukum Adat perkawinan biasa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabak, bisa merupakan urusan pribadi bergantung pada susunan masyarakat”

Demikian pula diketengahkan oleh Teer Haar menyatakan bahwa :

”Perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi” (Hilman Hadikusuma, 2003:8).

Begitu pula menyangkut urusan keagamaan sebagaimana dikemukakan oleh: Van Vollenhoven bahwa :

”Dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah- kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan dunia diluar dan diatas kemampuan manusia” (Hilman Hadikusuma, 2003:9).

Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah Perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam

(30)

masyarakat bersangkutan.Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum adanya perkawinan, misalnya adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasan sanak” (hubungan anak-anak, bujang-gadis) dan

“rasantuha” (hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami istri).Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua (termasuk anggota keluarga/kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan, dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan.

Sejauh mana ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum dalam perikatan adat, seperti tentang kedudukan suami dan kedudukan istri, begitu pula tentang kedudukan anak dan pengangkatan anak, kedudukan anak tertua, anak penerus keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lain dan harta perkawinan yaitu harta yang timbul akibat terjadinya perkawinan, tergantung pada bentuk dan system perkawinan adat setempat.

Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan ini dapat berbentuk dan bersistem “perkawinan jujur” di mana pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan istri mengikuti tempat dan kedudukan pihak suami (batak, Lampung, Bali); perkawinan

“semenda” di mana pelamaran oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat dan kedudukan pihak istri (Minangkabau, Semendo Sumatra Selatan); Perkawinan bebas (Jawa:

(31)

Mencar, Mentas) di mana pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan suami istri bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka. Yang terakhir ini banyak berlaku di kalangan masyarakat yang sudah maju (modern).

Sistem Perkawinan dalam Hukum Adat Dalam perkawinan di Indonesia selama ini ada tiga sistem yang berlaku di masyarakat yaitu endogamy, exogami dan eleutherogami.

1. Sistem Endogamy

Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri, sekarang sudah jarang sekali di Indonesia karena system ini dipandang sangat sempit dan membatasi ruang gerak orang. Sistem ini masih berlaku di daerah Toraja, tetapi dalam waktu dekat akan lenyap sebab sangat bertentangan sekali dengan sifat susunan yang ada di daerah itu, yaitu parental.

2. Sistem Exogami

Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya sendiri.Sistem ini banyak dijumpai di daerah Tapanuli, Alas Minangkabau. Namun dalam perkembangannya sedikit-sedikit akan mengalami pelunakan dan mendekati eleutherogami. Mungkin larangan itu masih berlaku pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja.

(32)

3. Sistem Eleutherogami

Pada system ini tidak mengenal larangan-larangan apapun atau batasan-batasan wilayah seperti halnya pada endogamy dan exogami.

System ini hanya menggunakan berupa larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah atau kekeluargaan (nasab) turunan yang dekat seperti ibu, nenek, anak kandung, cucu dan saudara kandung , saudara bapak atau ibu.

Menurut Hukum Adat di Indonesia perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistim perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan, isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami hal ini biasa dijumpai di (Bantul, Lampung, Bali) kemudian “ Perkawinan Semanda “ dimana pelamar dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman istri hal ini bisa dijumpai didaerah (Minangkabau, Semendo Sumatera Selatan) dan perkawinan bebas yaitu di (Jawa, Mencur, Mentas) dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami istri bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka, menurut kehendak mereka, yang terakhir ini banyak berlaku dikalangan masyarakat keluarga yang telah maju (Modern).

Perkawinan bagi masyarakat bukan sekedar acara persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda sebagaimana makhluk ciptaan Allah lainnya, akan tetapi perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang

(33)

berbahagia dan kekal. Bahkan dalam pandangan masyarakat adat bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan yang rukun dan damai.

Dikalangan masyarakat adat yang masih kuat memepertahankan prinsip kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan bahwa fungsi dari suatu perkawinan merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh atau retak, ia pun merupakan sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat dan begitu pula dengan perkawinan itu bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta kekayaan dan masalah pewarisan.

Menurut hukum adat suatu ikatan perkawinan bukan saja berarti bahwa suami dan istri harus saling bantu membantu dan melengkapi kehidupan rumah tangganya saja akan tetapi juga berarti ikut sertanya orang tua, keluarga dan kerabat kedua belah pihak untuk menunjang kebahagian dan kekekalan hidup rumah tangga keluarga mereka.

Dengan demikin Arti dan fungsi perkawinan menurut hukum adat, pengertian perkawinan lebih luas dari pengertian perkawinan menurut hukum perundang-undangan.Dengan demikian maka pelaksanaan perkawinan baik bagi pria dan wanita yang belum cukup umur maupun yang telah cukup umur dan mampu untuk hidup mandiri senantiasa harus dicampuri oleh orang tuanya, keluarganya dan kerabat-kerabatnyadantara kedua belah pihak.

(34)

Perkawinan yang dilaksanakan oleh sendiri (kedua calon) tanpa campur tangan orang tua, keluarga dan kerabat, menurut pandangan masyarakat adat adalah merupakan perkawinan yang bertentangan dengan hukum adat.

Aturan-aturan hukum adat perkawinan dibeberapa daerah diIndonesia berbeda-beda karena sifat kemasyarakatannya, adat-istiadat, agama da kepercayaan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda, serta hal itu juga dikarenakan juga oleh adanya kemajuan dan perkembangan jaman.

Perkembangan dan perubahan yang terjadi diantara masyarakat adat yang satu dengan masyarakat yang lain tidak seimbang.

Dibeberapa daerah seperti kerinci, dan suku toraja dalam hukum adat tidak melarang dilakukannya perkawinan orang-orang yang belum cukup umur (masih kanak-kanak) akan tetapi disuatu daerah tertentu seperti bali perkawinan yang dilakukan dibawah umur merupakan suatu perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman.

Didalam hukum adat, perkawinan anak-anak baru akandilaksanakana apabila anak telah mencapai umur yang pantas yaitu 15 tahun bagi perempuan dan 18 tahun bagi laki-laki. Apabila terjadi perkawinan dibawah umur 15 tahun bagi perempuan dan dibawah umur 18 tahun bagi laki-laki maka setelah menikah, hidup bersama antara mereka keduanya ditangguhkan sampai mencapai usia yang telah ditentukan.

Perkawinan semacam ini dinamakan kawin gantung.

(35)

Apabila kedua pasangan yang telah melakukan perkawinan dibawah umur telah mencapai umur yang pantas maka perkawinannya akan disusul dengan perkawinan adat. Setelah upacara pernikahan menurut hukum adat masih diwajibkan diselenggarakan pesta bimbang dan sebelum dilaksanakannya pesta tersebut maka mempelai belum dapat campur sebagimana layaknya suami-istri, bahkan direjang apabila belum dilaksanakannya pesta bimbang maka hal ini dianggap sebagai melakukan zina menurut hukum adat.

A.VanGenep (Perancis) mengatakan semua upacara-upacara perkawinan “rites depassage” yaitu upacara-upacara peralihan perubahan status dari kedua mempelai.Setelah melalui upacara-upacara itu kedua belah pihak menjadi hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama suami isteri.

Perkawinan dibawah umur merupakan perkawinan antara gadis yang belum dewasa dengan seorang pria yang dewasa atau dengan pria yang belumdewasa, didalam hukum adattidak melarang perkawinan yang dilakukan dibawah umur untukdaerah tertentu dan ada pula sebagian daerah yang melarang adanya perkawinan dibawah umur karena mereka belum dianggap pantas untuk berumah tangga.

2. Perkawinan Usia Muda Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disingkat(UUP). UU ini menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum melangsungkan pernikahan, menurut Pasal 6

(36)

ayat (1) UU No.1 tahun 1974 : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 : untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua, Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974 : Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

Sedangkan menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.

Selain itu juga Berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, mencegah adanya perkawinan pada usia anak-anak yaitu dimana dalam Pasal 1 tentang perlindungan anak, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam Pasal 4 UU No. 23 tahun 2002 : setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

(37)

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, Pasal 9 ayat (1) UU No.23 Tahun 2002 : Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, Pasal 11 UU No.23 Tahun 2002: setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri, Pasal 13 ayat (1) UU No.23 Tahun 2002 : setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

1. diskriminasi

2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual 3. penelantaran

4. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan 5. ketidakadilan

6. perlakuan salah lainnya.

Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak seperti yang tertulis di Pasal 26 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 : orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

1. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak

2. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya

3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

(38)

Didalam hukum positif sudah diatur tentang perkawinan, namun berkembangnya masalah tentang perkawinan menimbulkan benturan antara fakta yang ada dilapangan dengan hukum adat dan hukum positif.Hukum negara yang mengatur perkawinan adalah UU No. 1 Tahun 1974.Tetapi hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah bertolak belakang dengan hukum positif tersebut.

Jika melihat dari awal dimana hukum yang berlaku di negara kita saat ini terlahir karena adanya hukum adat.Seiring berkembangnya zaman kedua hukum tersebut akhirnya berbenturan, salah satunya dalam hal perkawinan.

Dalam undang-undang perkawinan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perkawinan sah jika dilangsungkan secara agama dan adat, walaupun tidak melalui prosedur undang-undang, akan tetapi keabsahannya juga sebatas menurut agama dan adat tersebut. Karena hukum adat bukanlah hukum perundang-undangan, walaupun sebagai hukum ia mendapat pengakuan sementara dalam aturan peralihan Pasal II UUD 1945. Hukum Perundang-undangan selalu dalam bentuk tertulis (hukum tertulis), sedangkan hukum adat bukan hukum tertulis.

(39)

Berdasarkan prinsip dalam Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945, UU berhak mengubah atau menghapuskan hukum adat, sebaliknya UU tidak berhak mengubah atau menghapuskan hukum agama dan kepercayaan yang berketuhanan yang maha esa.

Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 adalah:

1. Asas suka rela menurut Pasal 6 ayat (1) menentukan bahwa perkawinan harus didasari persetujuan kedua calon mempelai. Perkawinan disini mempunyaimaksud bahwa dalam suatu perkawinan harus mendapat persetujuan darikedua calon suami-istri atau dengan kata lain tidak ada pihak yangmemaksa dari manapun.

2. Partisipan Keluarga.Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan seseorang untuk membentuk keluarga yang bahagia, maka peran orang tua atau partisipasi keluarga sangat dibutuhkan terutamadalam hal pemberian ijin untuk melaksanakan perkawinan.

3. Perceraian dipersulit ketentuan undang-undang yang mengatur tentang perceraianterdapat dalam Pasal 39 dan 41 UU No 1 Tahun 1974, disini dijelaskan bahwa pasangan suami-istri yang hendak bercerai tidak begitu sajadilakukan karena ada akibat-akibat yang harus dipertimbangkan baik bagidiri masing-masing dan juga bagi anak- anaknya, bagi yang sudahmempunyai anak.

(40)

4. Asas monogami Penegasan asas monogami ini terdapat pada Pasal 27 yang berbunyi Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya seorang suami”.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturprinsip, bahwa calon suami dan istri itu telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

Ketentuan mengenai batas umur minimal dalam Pasal 7 ayat (1) UU No, 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”.Dari hal tersebut ditafsirkan bahwa UU No.

1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur.

Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.

(41)

Undang-undang perkawinan yang tidak menghendaki pelaksanaan perkawinan dibawah umur, agar suami istri yang dalam masa perkawinan dapat menjaga kesehatannya dan keturunannya, untuk itu perlu ditetapkan batas-batas umur bagi calon suami dan istri yang akan melangsungkan perkawinan.

Tetapi perkawinan di bawah umur dapat dengan terpaksa dilakukan karena UU No. 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan penyimpangannya.Dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut. Banyak alasan seseorang menikah di bawah umur karena wanita hamil akibat perilaku sex bebas, solusinya adalah orang tua mereka harus menikahkan mereka pada usia muda. Dan pada akhirnya banyak anggota masyarakat meminta Surat Dispensasi Kawin dengan alasan hamil diluar nikah akibat pergaulan bebas. Situasi semacam itu mengilustrasikan relevansi meningkatnya pernikahan dibawah umur karena banyaknya kehamilan pra-nikah pada usia anak-anak akibat berkembangnya budaya sex bebas.

UU Perkawinan memberikan toleransi bagi setiap warga Negara yang batas usianya belum mencukupi dengan Surat Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974. Pelaku dan para pihak yang terlibat dalam pernikahan usia muda akan sulit dikriminalkan

(42)

tanpa melihat aspek sebab-sebab (alasan), proses dan tujuan dari pernikahannya.

Namun mencegah pernikahan dibawah umur dengan mengkriminalisasi pernikahan usia muda belum tepat karena beberapa alasan, yaitu:

1. belum ada kekhawatiran kolektif (massal) akibat buruk pernikahan dibawah umur;

2. akan menafikan norma agama;

3. melawan beberapa budaya masyarakat Indonesia (seperti budaya masyarakat Karo, Sumut), dan bertentang dengan tradisi;

4. serta dapat bersifat resisten dengan perlindungan hak asasi manusia.

(43)

BAB 3

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Pelaksanaan aturan Perkawinan Usia Muda di bawah 16 tahun menurut hukum Adat Alor NTT

Sebagaimana telah disampaikan pada pembahasan awal skripsi ini, bahwa perkawinan bagi manusia adalah suatu yang sakral dan mempunyai tujuan yang mulia, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat Agama, Oleh karena itu perkawinan salah satu syaratnya bahwa para pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus telah matang jiwa raganya supaya dapat mewujutkan perkawinan secara baik dan sehat. Untuk itu haruslah ada pencegahan perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawa umur.

Untuk itu perkawinan usia muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri, oleh sebab itu seorang ibu yang berusia muda sebenarnya belum siap untuk menjadi ibu dalam arti dia belum memiliki keterampilan yang memadai untuk mengasuh anaknya sehingga ibu muda ini lebih menonjolkan sifat keremajaannya dari sifat keibuanya.

Banyak persoalan yang melatar belakangi terjadi perkawinan usia muda, mulai dari sebab-sebab yang berasal dari faktor lingkungan, pendidikan, kemapaman ekonomi dan kemapaman sosial, maupun yang berasal dalam lingkungan sendiri. Fenomena perkawinan usia muda telah

(44)

mendorong tingginya tingkat percereaian ditengah masyarakat karena pada umumnya usia pelaku belum siap untuk melangsungkan perkawinan.

Dengan demikian bahwa hasil penelitian yang penulis dapatkan dari wawancara dengan informan mengenai perkawinan usia muda di bawah 16 tahun menurut hokum adat alor NTT.

1. Menurut Tajudin Karaing selaku pemangku adat Desa Baoraja pemangku adat ketua Balarae ( Wawancara tanggal 25 januari 2015)

Bahwa : “Apabila silaki-laki dan perempuan yang berusia muda dibawah 16 tahun yang terlanjur berhubungan di luar nikah dan si perempuan hamil maka diadakan upaya hukum adat yaitu si laki- laki bersama pemangku adatnya (ketua balerae) pergi bertemu dangan orang tua si perempuan dan pemangku adatnya (ketua baolang) bahwa si anak perempuan yang sementara mengandung itu adalah anaknya atas pengakuan si laki-laki dengan syarat:

- Di adakan pengantaran sirih pinang dari keluaga laki-laki bersama dengan kepala adatnya atau pemangku adatnya ke keluarga perempuan (terang kampung)

- Ada kesepakatan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan mengenai hari dan tanggal pelunasan belis (pelunasan mas kawin)

- Di adakan kesepakatan keluarga perempuan dan laki-laki mengenai hari dan tanggal pernikahan.

(45)

2. Menurut AbuBakar selaku pemangku adat Desa Alukae (wawancara tanggal 26 januari 2015).

Bahwa: “ jika si laki-laki dan si perempuan yang sudah terlanjur berhubungan diluar nikah dan si perempuan hamil yang keduanya beraada pada Desa yang sama dengan pemangku adat yang sama maka diadakan pertemuan antara kedua keluarga untuk membicarakan masalah yang terjadi dan bagaimana cara

menyelesaikannya setelah itu si laki-laki siap bertanggung jawab maka, silaki- laki dan keluarganya beserta kepala sukunya langsung masuk minta (meminang) si perempuan yang hamil ini sehinggasi perempuan keluarganya ini tidak di ceritakan hal-hal yang tidak di inginkan di tengah masyarakat adat. Sama halnya dengan perkawinan yang berbeda pemangku adatnya dengan syarat:

- Diadakan kesepakatan keluarga perempuan dan laki-laki tentang hari dan tanggal pernikahan demi sahnya perkawinan.

- Diadakan pengantaran belis (mas kawin).

- Melangsungkan pernikahan dengan adat dan tata caranya.

3. Menurut Hamka Prasong, selaku pejabat KUA kecamatan teluk mutiara kabupaten Alor NTT ( wawancara tanggal 27 januari 2015)

Bahwa: “ada beberapa pasangan suami istri yang menikah, itu usianya dari enam belas tahun dan ada yang tujuh belas tahun, yang terlanjur berhubungan dan hamil diluar nikah maka akan dinikahkan.

4. Menurut Sudirman Busa selaku kepala desa. Desa Lendola (wawancara tanggal 28 januari 2015)

(46)

Bahwa: “Memang ada beberapa kaluarga yang usia perkawinanya sangat mudah, ada yang umurnya lima belas, empat belas dan itu sudah memilik kartu keluarga (kk) masing-masing dan tidak masuk lagi dari kartu keluarga (kk) dari orangtuanya.

5. Menurut Bapak Mansur Boli selaku tokoh masyarakat ( wawancara tanggal 29 januari 2015).

“Bahwa kebanyakan perkawinan usia muda yang terjadi di lingkungan masyarakat itu adalah si perempuan yang usianya masih muda dari si laki- laki, misalnya si perempuan yang umurnya enam belas tahun atau tujuh belas tahun sedangkan si laki-laki umur dua puluhtujuh atau dua puluh delapan tahun, sehingga di adakan aturan adat lebih dulu yaitu pengantaran sirihpinang kerumah si perempuan (meminang), kemudian di adakan kesepakatan antara kedua keluarga mangenai hari dan tanggal pernikahan.

Berdasarkan pendapat informan tersebut di atas pada umumnya menyatakan apabila silaki-laki dan perempuan yang usianya muda terlanjur berhubungan gelap di luar nikah dan si perempuan itu hamil maka langkah-langkah adat atau persyaratan adat yang harus di tempuh agar status kedua ini sah jadi suami istri adalah:

1. Pengantaran siripinang ke keluarga perempuan atau masuk minta (meminang)

2. Diadakan kesepakatan kedua, kalau si perempuan ini hamil maka yang pertama dalam waktu dan tanggal pernikahan, tapi kalau si perempuan

(47)

ini belum hamil maka yang perlu disepakati adalah belis (mas kawin) sesuai dengan persyaratan adat yang berlaku.

3. Melaksanakan perkawinan adat di rumah adatnya si perempuan.

4. Kesepakatan keluarga laki-laki dan perempuan mengenai waktu dan tanggal pengantaran si perempuan setelah menikah dari keluarga perempuan ke rumah si laki – laki atau suaminya.

5. Sah jadi suami istri dan membentuk rumah tangga baru atau keluarga baru

3.2 Faktor-faktor Apa Yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Di Kabupaten Alor NTT

Sebagaimana telah disampaikan pada pembahasan skripsi dari awal bahwa perkawinan itu sangat-sangatlah diharapkan dan mempunyai tujuan yang sakral, serta tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang di tetapkan syariat Agama, bukan semata-mata memuaskan nafsu birahinya, melainkan juga untuk mencari ketenangan, ketentraman, dan sikap saling mengayomi antara suami dan istri yang didasari cinta kasih yang dalam.

Kasus perkawinan usia muda banyak terjadi di tengah masyarakat khususnya di kalangan remaja, hal ini dipicu oleh pergaulan bebas dikalangan remaja, sehingga berujung pada kehamilan dan kelahiran anak diluar nikah. Perkawinan usia muda atau remaja telah mendorong tingginya tingkat perceraian bahkan kelahiran anak luar kawin yang tidak diharapkan atau diinginkan, oleh karena kondisi mereka belum siap

(48)

melangsungkan perkawinan bahkan berumahtangga yang harmonis dan bertakwa kepada Tuhan.

Dengan demikian bahwa hasil penelitian yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan informan tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda di Kabupaten Alor NTT adalah:

1. Faktor Perjodohan dan kurangnya pengawasan orang tua.

- Menurut Tajudin Karaing, selaku pemangku adat (wawancara tanggal 25 januari 2015).

Bahwa: “Perjodohan kedua orang tua laki-laki dan perempuan saat anak-anaknya masih kecil untuk mempererat tali kekeluargaan.

- Menurut Abu Bakar selaku pemangku adat. (wawancara tanggal 26 januari 2015).

Bahwa: “perkawinan usia muda itu terjadi di masyarakat karena pergaulan bebas di kalangan remaja akibat kurangnya pengawasan orang tua.

2. Faktor video porno

Menurut Bapak Hamka Prasong, selaku pejabat KUA (wawancara tanggal 27 januari 2015”

Bahwa: Tersebarnya video-video porno di media massa sehinga menyebabkan remaja modern kian permitif terhadap seks.

3. Faktor Kemiskinan dan faktor kurangnya tingkat pendidikan.

(49)

Menurut Mansur Boli, selaku kepala desa (wawancara tanggal 28 januari 2015).

Bahwa: - perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya di kawinkan dengan orang yang dianggap mampu.

- kurangnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawa umur.

Berdasarkan dengan uraian-uraian dari pendapat informan tersebut, maka menurut peneliti faktor yang melatarbelakangi perkawinan usia muda di kabupaten Alor antara lain:

1. Perjodohan kedua orang tua laki-laki dan perempuan saat anak-anaknya masih kecil untuk mempererat tali kekeluargaan.

2. perkawinan usia muda itu terjadi di masyarakat karena pergaulan bebas di kalangan remaja akibat kurangnya pengawasan orang tua.

3. Tersebarnya video-video porno di media massa sehinga menyebabkan remaja modern kian permitif terhadap seks.

4. perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya di kawinkan dengan orang yang dianggap mampu

5. Kurangnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih muda.

(50)

BAB 4 PENUTUP 5.1 Kesimpulan

1. Pelaksanaan aturan perkawinan hukum adat Alorterhadap perkawinan usia muda di Alor, adalah: 1. Langkah pertama diadakan masuk minta atau terang kampung (melamar). 2. Ada kesepakatan kedua keluarga mengenai hari dan tangal pernikahan dan pelunasan belis (mas kawin), maka perkawinan tersebut menjadi sah, menurut hukum adat, hukum agama, dan Undang-undang.

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda di Kabupaten Alor NTT, Adalah

- Perjodohan kedua orang tua laki-laki dan perempuan saat anak-anaknya masih kecil untuk mempererat tali kekeluargaan.

- karena pergaulan bebas di kalangan remaja akibat kurangnya pengawasan orang tua.

- Tersebarnya video-video porno di media massa sehinga menyebabkan remaja modern kian permitif terhadap seks.

- karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya di kawinkan dengan orang yang dianggap mampu

(51)

- Kurangnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih muda.

(52)

5.2 Saran

1. Disarankan kepada Pemangku Adat agar menerapkan sanksi kepada pelaku nikah muda. Dan kepada pemangku adat agar lebih menerapkan sanksinya kepada masyarakat.

2. Disarankan kepada pejabat KUA agar menikahkan masyarakat berdasarkan Undang-undang yang telah ada dan menaati segala peraturan pernikahan yang telah ada.

3. Disarankan kepada Kepala Desa agar memperhatikan masyarakatnya mengenai umur pernikahan agar tidak sembarang memberikan izin seseorang untuk menikah.

4. Disarankan kepada masyarakat agar menaati segala peraturan yang ada di dalam masyarakat dan peraturan perundang-undangan yang ada.

5. Penulis mengharapkan agar pemangku adat, pejabat KUA, kepala desa, beserta masyarakat agar lebih memahami dan menerapkan hukum yang ada khususnya perkawinan usia muda dan memberikan sanksi yang sewajarnya bagi pelaku perkawinan usia muda.

6. Penulis mengharapkan, dalam rangka pemahaman dan penerapan hukum khususnya hukum adat Alor dalam perkawinan usia muda, perkawinantersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama dan Undang- undang, dan dapat di pahami oleh masyarakat setempat

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ahmad Saebani, 2007, Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang- Undang.Pustaka Setia. Bandung.

AliQaimi, 2002, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Raja grafindo Persada, Jakarta

Al-Qur’an (Q.S. An-Nur:32) dan Al-Qur’an, (Q.S Ar-Rum:21)

Amir Syarifuddin, 2006,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

Bambang Sunggono, 2012,Metodologi Penelitian Hukum. PT Rajagrafindo Persada, Depok.

HilmanHadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia. Penerbit Mandar Maju, Bandung.

Imam Sudiyat, 1991, Pokok-Pokok Hukum Adat. PradyaParamita, Jakarta.

Larasati, 2012/06. perkawinan di bawah umur menurut hukum.

(Online),(http://menikhukum-unknown.blogspot.com.html,diakses Minggu, 25 Mei 2014)

Muhammad Fauzil Adhim2002.Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: PT Lingkar Pena.

M. FauzilAdhim dan SarlitoWirawan, 2003, indahnya pernikahan dini.gema insani, jakarta.

MurhadanaMuthari, 2002, The Women In Islam, Penerjemah. M. Hashem, hak- hak dalam Islam, Bandung.

Rasjid, 2009, Hukum Perdata Keluarga Islam Indonesia.AcademiTazzafa, yokyakarta.

Soemiyati, 2007, Hukum perkawinan islam dan Undang-undang Perkawinan.

Liberty.

SoerjonoSoekanto, 2013,Hukum Adat Indonesia. PT Rajagrafindo Persada, Depok.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(54)

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta

Zahrasyalwati. 2012/01. Perkawinan dibawah umur menurut hukum. (Online), (http:// blogspot.com html,diaksesMinggu, 25 Mei 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa metode persalinan untuk kejadian KPD paling banyak spontan 117 orang (70,5%) dibandingkan dengan SC 49 orang

Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan tersebut antara lain: Undang-Undang Dasar

Berdasarkan hasil dari kuesioner tersebut dapat diketahui bahwa aplikasi sistem pendukung keputusan untuk menentukan vendor acara pernikahan dengan metode MAGIQ yang dibuat

Saat ini, selain menmfokuskan diri di pasar dalam negeri dalam memperoleh kontrak proyek seismic, perseroan juga sedang mengikuti tender kerja di negara negara lainnya

Menurut pasal 79 Undang-Undang No 13 Tahun 2003, telah menentukan bahwa buruh yang telah bekerja pada suatu perusahaan mendapatkan cuti tahunan, sekurang-kurannya 12

Pada penelitian ini akan dilakukan pengambilan data pada catatan medis untuk mengetahui apakah jenis infeksi oportunistik ( Pneumocystis Jiroveci Pneumonia , Limfoid

Peternak tidak memberikan konsentrat, karena sulit diperoleh di daerah setempat, padahal berdasarkan Duldjaman (2004) penambahan konsentrat, seperti am- pas tahu, di dalam