• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Ajar MODEL EKOWISATA DI KALANGAN MILENIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Buku Ajar MODEL EKOWISATA DI KALANGAN MILENIAL"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

Buku Ajar

MODEL EKOWISATA

DI KALANGAN MILENIAL

(2)

UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4

Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.

Pembatasan Pelindungan Pasal 26

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap:

i. Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;

ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan;

iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan

iv. Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3)

Buku Ajar

MODEL EKOWISATA DI KALANGAN MILENIAL

Dr. Thomas Stefanus Kaihatu, M.M.

I Dewa Gde Satrya Widya Dutha, M.M.

Lexi Pranata, M.M.

Cv. Bakul Buku Indonesia

(logo penerbit)

(4)

BUKU AJAR MODEL EKOWISATA DI KALANGAN MILENIAL Thomas Stefanus Kaihatu, I Dewa Gde Satrya Widya Dutha & Lexi Pranata

Editor : Thomas Stefanus Kaihatu Desain Cover :

Nama Sumber :

Link Tata Letak : Amira Dzatin Nabila

Ukuran : x, 142 hlm, Uk: 14x20 cm

ISBN : 978-623-7562-52-8

Cetakan Pertama : Bulan 2021

Hak Cipta 2021, Pada Penulis Isi diluar tanggung jawab percetakan

Copyright © 2021 by CV. BAKUL BUKU INDONESIA All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau

memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Penerbit :

CV. BAKUL BUKU INDONESIA Alamat:

Tel:

Fax:

Dicetak oleh : PERCETAKAN DEEPUBLISH

Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581

Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id

www.penerbitdeepublish.com E-mail: cs@deepublish.co.id

(5)

KATA PENGANTAR

Syukur tak terhingga kami panjatkan kepada Tuhan Sang Pemilik Kehidupan, atas terselenggaranya penelitian tahun ketiga “Model Ekowisata di Kalangan Milenial” di tengah pandemi Covid-19. Keterbatasan aktivitas fisik untuk melakukan uji coba secara langsung di destinasi ekowisata yang telah ditentukan, tidak menyurutkan semangat dan pemikiran untuk mengimplementasikan model ekowisata yang telah dirumuskan pada tahun sebelumnya.

Pada tahun ketiga ini, yang merupakan tahun terakhir dari periode penelitian, atas bantuan banyak pihak dan pendalaman konseptual maupun empirical yang dilakukan tim peneliti, model ekowisata yang dirumuskan sebagai The Hepta-helix of Millennials Ecotourism yang telah diujicobakan secara virtual di Desa Adat Bayan, Desa Adat Sade di Lombok, Turtle Conservation and Education Centre (TCEC), Serangan, Bali, Kawah Dieng, Kawasan Borobudur dan Nepal Van Java.

Terima kasih kami haturkan kepada:

1. KemenRistek/BRIN

2. LPPM Universitas Ciputra Surabaya

3. Mitra Penelitian: TCEC Serangan dan Generasi Pesona Indonesia (GenPi)

Kiranya buku ajar yang dilengkapi contoh karya mahasiswa Program Studi Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya ini dapat memberikan kontribusi pada peningkatan mutu destinasi ekowisata di

(6)

Tanah Air dan mendorong perjalanan kalangan milenial ke destinasi ekowisata di Tanah Air.

Surabaya, 9 September 2021 Tim Peneliti,

Dr. Thomas Stefanus Kaihatu, M.M.

I Dewa Gde Satrya Widya Dutha, M.M.

Lexi Pranata, M.M.

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI ... vii

CAPAIAN PEMBELAJARAN ... ix

BAB 1 DEFINISI EKOWISATA ... 1

Evaluasi Sub Capaian Pembelajaran Pertama: ... 6

BAB 2 PELUANG EKOWISATA ... 7

Contoh Aktual: Taman Nasional Komodo ... 10

Evaluasi Sub Capaian Pembelajaran Kedua:... 14

BAB 3 PEMASARAN EKOWISATA... 15

The Hepta-helix of Millennials Ecotourism Model ... 22

Evaluasi Sub Capaian Pembelajaran Ketiga: ... 25

BAB 4 PROYEK PEMBELAJARAN 1: KONSERVASI DESTINASI EKOWISATA MILENIAL ... 27

4.1. Taman Nasional Bali Barat ... 28

4.2. Kampung Naga ... 35

4.3. Tangkahan ... 47

4.4. Gita Persada ... 61

4.5. Wae Rebo ... 68

(8)

BAB 5 PROYEK PEMBELAJARAN 2: IDEASI

PENGEMBANGAN DESTINASI

EKOWISATA MILENIAL ... 80

DINAMIKA KELAS ... 100

REFLEKSI MAHASISWA ... 101

PENILAIAN FORMATIF/ SUMATIF DAN STANDAR PENILAIAN ... 102

EPILOG... 103

GLOSARIUM ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 106

BIODATA PENULIS ... 109

LAMPIRAN ... 110

(9)

CAPAIAN PEMBELAJARAN

I. Capaian Pembelajaran Matakuliah Ecotourism:

Mahasiswa mampu menyajikan hasil analisis potensi ekowisata di Indonesia serta pengembangan produk ekowisata untuk milenial berdasarkan data primer dan data sekunder

Sub-Capaian Pembelajaran:

1.1 Pemahaman terhadap karakteristik ekowisata, 1.2 Pemahaman terhadap peluang ekowisata, dan 1.3 Pemahaman terhadap pemasaran ekowisata yang

diimplementasikan melalui konservasi dan ideasi pengembangan destinasi ekowisata untuk menarik pasar kalangan milenial.

II. Roadmap Perkuliahan:

1. Definisi Ekowisata 2. Peluang Ekowisata 3. Pemasaran Ekowisata

4. Studi kelompok tentang ekowisata pada kawasan konservasi untuk milenial (Proyek Pembelajaran 1) 5. Ideasi pengembangan produk ekowisata untuk

milenial (Proyek Pembelajaran 2)

III. Bobot Penilaian:

1. 50% Proyek Pembelajaran 1 2. 50% Proyek Pembelajaran 2

(10)

IV. Referensi:

Arida, I Nyoman Sukma. 2017. Ekowisata:

Pengembangan, Partisipasi Lokal, Tantangan.

Cakra Press

Damanik, Janianton & Weber, Helmut F. 2006.

Perencanaan Ekowisata: dari teori ke aplikasi.

Yogyakarta: Andi Offset

Kaihatu, Thomas Stefanus, Satrya, I Dewa Gde, Pranata, Lexi. 2019. Model Ekowisata Milenial.

(11)

BAB 1

DEFINISI EKOWISATA

Generasi muda saat ini memiliki berbagai pilihan dalam menyalurkan keinginannya berwisata. Ekowisata menjadi salah satu pilihan. Industri pariwisata yang etis dengan mengacu pada kode etik yang ditetapkan lembaga pariwisata dunia (United Nation World Tourism Organization) menjadi acuan menghadirkan pariwisata yang menyejahterakan masyarakat dan lingkungan hidup.

Pertama, pariwisata bertujuan membangun saling pengertian dan saling menghormati di antara penduduk dan masyarakat. Kedua, pariwisata merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas hidup. Ketiga, pariwisata adalah bagian dari pembangunan berkelanjutan. Keempat, pariwisata merupakan pengguna dan penyumbang pelestarian warisan budaya. Kelima, pariwisata adalah kegiatan yang menguntungkan bagi negara dan masyarakat penerima wisatawan. Keenam, kewajiban para pemangku kepentingan pariwisata. Ketujuh, hak dasar berwisata. Kedelapan, kebebasan bergerak bagi wisatawan. Kesembilan, hak pekerja dalam industri pariwisata. Kesepuluh, implementasi kode etik. Mendiang Gede Ardika, mantan Menteri Pariwisata, menyatakan peran pariwisata bagi kehidupan yang berkualitas melalui tangible and intangible culture (Venue, April 2010).

Sebagaimana diketahui, karakteristik desa ekowisata terdiri dari kombinasi beberapa unsur penting, di antaranya

(12)

konservasi, lingkungan hidup, budaya lokal. Tiga unsur penting yang menjadi karakteristik ekowisata yang Akan dieksplorasi wisatawan itu, juga merupakan unsur penting dalam kehidupan masa kini. Generasi milenial (Gen Y), generasi yang lahir pada rentang tahun 1980-2000, menjadi perhatian karena memiliki peran penting di berbagai sektor kehidupan (Horovitz, 2012, dalam Suryadi, 2015).

Generasi milenial merupakan fakta yang perlu mendapat perhatian dan pendekatan khusus yang berbeda dengan generasi periode lainnya. Menurut data BPS, diperkirakan 50% orang usia kerja saat ini adalah generasi milenial dan akan mencapai 70% usia kerja antara tahun 2020 dan 2030. Ini akan memainkan peran penting dalam banyak hal selama 10 sampai 20 tahun ke depan.

Generasi Y atau milenial telah diidentifikasi dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan akrab dengan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, pengguna media sosial Facebook, Instagram, Twitter, dll (Lyons, 2004).

Alvara Research Center melakukan riset pada tahun 2016 dengan judul “The Urban MiddleClass Millennials Indonesia: Financial and Online Behavior”, di enam kota besar di Indonesia: Jabodetabek, Surabaya, Medan dan Makassar sebagai perwakilan usia milenial, dengan pengeluaran bulanan minimal $2-20 per hari sebagai perwakilan kelas menengah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa digitalisasi sangat penting dan diperlukan bagi perusahaan yang menargetkan kelas menengah milenial, karena generasi ini menghabiskan sebagian besar waktunya di internet. Perusahaan dan produk yang

(13)

tidak ada di dunia maya melambat tetapi pasti ditinggalkan oleh konsumen dunia nyata.

Karakter milenial yang dikenal dengan 3C berasal dari kreativitas, kepercayaan diri dan koneksi. Pertama, generasi milenial kelas menengah perkotaan adalah generasi kreatif. Mereka terbiasa berpikir out of the box, kaya akan ide dan kreativitas. Kedua, generasi milenial kelas menengah perkotaan merupakan generasi yang percaya diri, mereka sangat percaya diri dan berani menyampaikan pendapat tanpa ragu-ragu. Ketiga, generasi millennial kelas menengah perkotaan adalah generasi yang terkoneksi. Mereka adalah generasi yang tahu bagaimana bersosialisasi dengan baik, terutama di komunitas yang mereka ikuti. Selain itu, mereka juga menjelajahi jejaring sosial dan internet. Generasi milenial sangat dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan teknologi khususnya perangkat dan internet (Ali dan Purwandi, 2017).

Menurut Absher dan Amidjaya (2008), milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1982 dan 2002.

Generasi dari milenium ini adalah: generasi google, generasi internet, generasi Z. Oleh karena itu, generasi milenial dapat ditandai dengan semakin meningkatnya penggunaan alat komunikasi, media dan teknologi informasi yang digunakan. Misalnya: Internet, email, SMS, pesan instan, pemutar MP3, HP, Youtube, dll.

Nugroho dan Negara (2014) mendefinisikan ekowisata sebagai kegiatan perjalanan wisata yang dikemas secara profesional, terlatih, dan memuat unsur pendidikan, sebagai suatu sektor/usaha ekonomi, yang mempertimbangkan warisan budaya, partisipasi dan

(14)

kesejahteraan penduduk lokal serta upaya-upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Konsep ekowisata tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan desa wisata dan membangun desa secara umum.

Nugroho (2017) mendefinisikan karakteristik operasi jasa ekowisata sebagai berikut:

1. Efisiensi dalam sumber daya manusia

2. Perjalanan dalam grup dengan orang sedikit kurang dari 25 orang

3. Penginapan dengan kurang 100 kasur.

4. Elemen pendidikan yang sistematis dan inklusif.

5. Membutuhkan pemandu ahli

Ekowisata menurut The Ecotourism Society (1990, dalam Fandeli, 2000) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun, pada hakekatnva, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budava bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia.

Konservasionis banya dijumpai pada diri ecotraveler.

(15)

Prinsip ekowisata dari TIES (2000, dalam Maulana, 2016) yang membedakannya dengan wisata massal, sebagai berikut:

1. Mengurangi dampak negatif seperti pencemaran lingkungan dan budaya lokal yang disebabkan oleh kegiatan pariwisata.

2. Meningkatkan kesadaran dan apresiasi lingkungan dan budaya di lokasi wisata, baik bagi wisatawan, masyarakat, dan pemangku kepentingan pariwisata.

3. Memberikan pengalaman positif bagi wisatawan dan masyarakat lokal melalui kontak budaya dan kerjasama yang lebih intensif dalam menjaga atau melestarikan daya tarik wisata.

4. Memberikan keuntungan finansial langsung untuk tujuan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran pariwisata tambahan.

5. Memberikan keuntungan finansial dan memberdayakan masyarakat lokal dengan menciptakan produk pariwisata yang mempromosikan nilai-nilai lokal.

6. Meningkatkan kesadaran tentang situasi sosial, lingkungan dan politik di daerah tujuan wisata.

7. Menghormati HAM, dalam arti memberikan kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak asasi, serta tunduk pada aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam pelaksanaan transaksi wisata dengan baik dan tepat.

(16)

Evaluasi Sub Capaian Pembelajaran Pertama:

1. Secara berkelompok (beranggotakan 2-4 orang) - Uraikan gagasan tertulis dalam format artikel

ilmiah, dengan tema “Ekowisata di Indonesia dalam Perspektif Milenial: Karakteristik Ekowisata Sebagai Unique Selling Point Pasca Pandemi Covid-19”.

- Format paper: Times New Roman ukuran 12, spasi 1 ½, margin semua sisi 2 cm, 4-6 halaman.

- Struktur penulisan: pendahuluan (berisi latar belakang, rumusan masalah dan tujuan pembahasan), landasan teori, pembahasan, simpulan.

- Pengumpulan paper dan presentasi dilakukan pada tatap muka minggu ke-5 (minggu kelima) 2. Secara individu

- Refleksikan karakteristik ekowisata sebagai preferensi dalam berwisata generasi milenial.

- Format refleksi: Times New Roman ukuran 12, spasi 1 ½, margin semua sisi 2 cm, 2 halaman.

- Struktur penulisan: latar belakang masalah, pemahaman terkait ekowisata, rencana kontribusi terbaik yang ingin direalisasikan dan komitmen untuk melakukannya.

- Pengumpulan paper dan presentasi dilakukan pada tatap muka minggu ke-7 (minggu ketujuh)

(17)

BAB 2

PELUANG EKOWISATA

Ekowisata diharapkan menjadi kegiatan wisata baru yang semakin diminati masyarakat di masa pandemi.

Selain ekowisata, kegiatan wisata yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan wisata alam secara umum juga akan diminati banyak orang. Model ekowisata sebenarnya dimungkinkan pada saat ini, dengan mempertimbangkan ekowisata yang mendukung pelestarian alam serta masyarakat dan budaya lokal, dengan mempertimbangkan kapasitas wisatawan. . Artinya, ekowisata bukan hanya tentang jumlah kunjungan tetapi juga perlu menekankan kedalaman makna dan manfaat dari perjalanan tersebut.

Pariwisata massal seringkali merusak pelestarian alam dan budaya, tetapi tidak dapat disangkal bahwa pariwisata dalam jumlah besar diperlukan untuk berdampak besar pada kesejahteraan penduduk dan pendapatan pajak. Pandemi memungkinkan para pemangku kepentingan pariwisata untuk benar-benar meningkatkan kualitas destinasi pariwisata, tidak hanya berlomba-lomba menarik wisatawan untuk berkunjung, tetapi juga dengan memperhatikan keberlanjutan, keamanan dan kenyamanan perjalanan.

Kawah Ijen misalnya, membatasi jumlah pengunjung per hari (Radar Banyuwangi, 30/6/2020). Pembatasan pengunjung menjadi awal yang penting bagi penerapan

(18)

protokol kesehatan di setiap destinasi ekowisata, karena dari sana dapat diatur sistem pendaftaran kunjungan, alur berwisata yang memberi jarak antar pengunjung dan meningkatkan nilai berwisata untuk menghargai dan mensyukuri alam semesta beserta segala unsurnya.

Ekowisata berawal dari kepedulian dunia terhadap kerusakan alam dan terkikisnya budaya lokal. Penduduk daerah tujuan seringkali merasa dikucilkan dan hanya menjadi penonton, bahkan dieksploitasi secara berlebihan, seperti yang dikatakan penduduk asli Baduy. Pendekatan ekowisata membutuhkan penghormatan terhadap alam dan budaya lokal, dengan segmentasi pengunjung yang jelas, yaitu praktisi ekowisata yang sadar dan termotivasi, mencari perjalanan untuk menjaga hubungan dengan alam dan adat istiadat. Untuk tujuan ekowisata, wisatawan harus mengatur dan mempersiapkan sendiri pikiran, waktu, biaya dan tenaga untuk melakukan perjalanan. Kegiatan seperti mendaki gunung, mengamati di taman nasional, mengunjungi cagar alam dan budaya, termasuk desa wisata, merupakan beberapa kegiatan ekowisata yang saat ini berpeluang untuk dikembangkan.

Di Bali, misalnya, upaya perintisan pengembangan ekowisata dipimpin oleh beberapa pihak, antara lain masyarakat desa pakraman, LSM, atau variasi keduanya.

Dua LSM aktif mengembangkan ekowisata di Bali, yaitu Sua Bali (penasehat ekowisata di desa Kemenuh, Kabupaten Gianyar) dan Yayasan Wisnu - yang membantu mengembangkan ekowisata di desa Tenganan (Karangasem), Banjar Kiadan, Pelaga (Badung), Desa Ceningan (Klungkung), dan Tibet (Karangasem).

(19)

Ekowisata memungkinkan pariwisata untuk bergerak dari laut, matahari, dan pasir ke berkelanjutan, damai dan spiritual. Dalam konteks pariwisata berkelanjutan, menurut Evita, Sirtha dan Sunartha (2012: 3), pembangunan pari- wisata berkelanjutan harus menghindari pariwisata massal.

Secara ekonomi, peningkatan kunjungan wisatawan ber- pengaruh positif terhadap perekonomian suatu negara. Di sisi lain, berdampak buruk bagi lingkungan. Salah satu upaya untuk mengurangi dampak negatif pariwisata mas- sal, yaitu pengembangan alternatif yang lebih memperha- tikan kelestarian lingkungan dan juga pengembangan pa- riwisata berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan memiliki sembilan indikator, yaitu kelayakan ekonomi, kemakmuran lokal, kualitas pekerjaan, keadilan sosial, pengembangan pengunjung, kontrol lokal, kesejahteraan masyarakat, kekayaan budaya, integritas fisik, keanekaragaman hayati, efisiensi sumber daya dan kemurnian lingkungan. Hingga saat ini, sangat sedikit orang yang memilih untuk mengun- jungi taman nasional, cagar alam, dan tempat-tempat lain yang menjadi pusat keanekaragaman hayati. Dengan kata lain, minimnya jumlah wisatawan yang mengakses destinasi kaya keanekaragaman hayati dikaitkan dengan perubahan peradaban pasca-biotik19. Orang-orang akan pergi ke tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang, di tempat yang tidak ramai, untuk mencari kesehatan.

Perubahan pola perjalanan dalam skala kecil (wisatawan sendiri dan keluarga), untuk mengantisipasi dominasi segmen perjalanan milenial, durasi pendek dan jarak pendek, meningkatkan harapan pada segmen ramah keluarga dan ekowisata milenial strategis untuk afiliasi, cinta lingkungan dan budaya lokal negara tersebut.

(20)

Dalam pertemuan bilateral dengan Menteri Kehutanan Korea/KFS Kim JaeHyun dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di sela-sela acara Asia Pacific Forestry Week (APFW) 2019 di Incheon, Korea, Juni 2019 Diputuskan bahwa kehutanan dan lingkungan kerjasama Indonesia dan Korea ini akan melibatkan kaum milenial, nantinya artis dan selebriti K- Pop serta tokoh masyarakat Indonesia. Bentuk kerjasama antara lain penyelenggaraan Festival Hutan Milenium, pertukaran pemuda Korea dan Indonesia khususnya dalam aspek pendidikan, budaya dan ilmu pengetahuan untuk mempersiapkan para pemimpin kehutanan, industri dan lingkungan di masa depan. Di Indonesia, beberapa tokoh seni dan musisi juga menjadi aktivis lingkungan, seperti Opie Andaresta, Nicolas Saputra, Nugie, Melanie.

Contoh Aktual: Taman Nasional Komodo

Hari Nasional Cinta Puspa dan Satwa merupakan acara tahunan yang diperingati secara nasional pada tanggal 5 November setiap tahun. Hari Nasional Cinta Puspa dan Satwa (HCPSN) telah dicanangkan 20 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 5 November 1993 dengan Keputusan Presiden No. Puspa dan satwa menjadi identitas kawasan tersebut. Sebagai bagian dari HCPSN, selain kekayaan koleksi flora dan fauna yang semakin punah hanya di Indonesia, kali ini renungan tentang fauna di Indonesia relevan dengan perhatian publik pada pembangunan dari Jemaat Jurassic Park di salah satu kota. Taman Nasional Komodo (TNK), khususnya Pulau Rinca.

(21)

Tema umum konflik gagasan penguatan dan pening- katan kualitas situs ekowisata terletak pada beberapa hal, di satu sisi kekhawatiran masyarakat akan tekanan dan gangguan terhadap habitatnya Komodo akibat pembangu- nan fasilitas. Dikhawatirkan kegiatan konservasi yang sudah terikat dan terpelihara di TNK akan terganggu. Ke- dua, aktor yang berada di sekitar dan terkena dampak pembangunan Jurassic Park, khususnya masyarakat lokal, merasa tidak dilibatkan dalam rencana pembangunan. Ke- dua hal ini berjalan seiring dengan dinamika perkem- bangan kawasan lindung, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai pelosok tanah air. Mari mencari ren- dezvous yang baik, di satu sisi mengiringi keinginan masyarakat untuk melestarikan komodo dan aplikasi kon- servasi, di sisi lain dengan niat mulia membangun fasilitas untuk meningkatkan kualitas destinasi. Taman Nasional Komodo (TN) resmi masuk dalam 7 keajaiban dunia baru.

Proses panjang mencapai pengakuan dunia mencakup sejumlah keynote yang menunjukkan betapa kuatnya hu- bungan emosional dan "cinta" bangsa dengan TNK. Pada tahun 2010, bertepatan dengan Tahun Keanekaragaman Hayati, TNK dinobatkan oleh UNESCO sebagai New 7 Wonders of the World of Shades of Nature, berhasil menghilangkan 0 pelamar dari 220 negara. Semangat un- dang-undang ini adalah pengakuan dunia atas keanekara- gaman hayati TNK.

Organisasi Pariwisata Dunia, Organisasi Pariwisata Dunia UN, menyoroti peran penting keanekaragaman ha- yati sebagai salah satu aset terbesar industri pariwisata.

Tekanan populasi dan aktivitas manusia dapat membaha- yakan spesies dan ekosistem yang unik. Industri pariwisata

(22)

yang “sehat” harus mampu melindungi dan mempertahan- kan keragaman ini baik sebagai nilai jual maupun pilar yang berkelanjutan. Aspek ini merupakan bagian dari per- hatian masyarakat umum yang menyertai rencana Jurassic Park. Sejarah melaporkan bahwa Belanda telah menamai pulau yang terletak di selatan provinsi timur Nusa Teng- gara (NTT) itu sebagai Pulau Komodo sejak tahun 1910.

Setelah itu, pemerintah Indonesia menjadikannya taman nasional pertama di Indonesia pada tahun 1980. Komodo adalah anggota dari famili Varanidae dan taxicofera (jenis kadal). beracun) dan merupakan kadal terbesar di dunia dengan panjang rata-rata 23 meter. Di TNK tidak hanya terdapat kawanan komodo liar, tetapi juga rusa, babi hu- tan, kuda liar, kerbau liar dan sekitar 300 jenis burung yang berasosiasi dengan berbagai tumbuhan khas nusantara.

TNK sendiri pada tahun-tahun sebelumnya menar- getkan maksimal 600 wisatawan per hari atau 219.000 per tahun. Peningkatan tajam jumlah wisatawan mancanegara (wisman) terjadi pada tahun-tahun pertama setelah TNK diakui sebagai New 7 Wonders. Menyusul pencapaian TNK, grup hotel membuka hotel di kawasan Labuanbajo, dan kini Labuanbajo telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Wisata Nasional (KSPN). Menurut laporan pers, pemerintah sangat berhati-hati dalam melakukan pem- bangunan Jurassic Park ini, selain pengawasan UNESCO juga dilakukan di kawasan khusus yang tidak mengganggu ekosistem. Mengurai pro dan kontra dari rencana pengem- bangan Jurassic Park, tampaknya instansi pemerintah ter- kait sudah turun ke lapangan, melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Selain memperhatikan peran serta masyarakat, elemen sentral ekowisata yang

(23)

menjadi “darah kehidupan” TNK adalah kelestarian ling- kungan. “Kesejahteraan hewan” juga dianggap sebagai faktor penting yang diperhitungkan.

Kellie Joan Eccleston (2009) dalam penelitiannya tentang kesejahteraan hewan di Jawa Timur mengangkat kesadaran tentang eksploitasi hewan. Wacana tentang hak-hak hewan memang semakin meningkat di negara- negara di dunia. Setiap tahun, hewan dieksploitasi dan dianiaya. Di Indonesia, dengan hewan yang sangat unik (sekitar 17% hewan dunia ada di Indonesia), terjadi ke- kejaman dan eksploitasi hewan akibat perdagangan ilegal.

Selain itu, hewan menderita karena tidak diperlakukan dengan baik atau diabaikan. Dalam hal ini, penting untuk mengingat kembali lima kebebasan hewan. Pertama, Be- bas dari Kelaparan dan Haus - Bebas dari Kelaparan dan Haus: menyediakan makanan dan minuman yang cukup untuk menjaga kesehatan ternak. Kedua, No Discomfort:

memberikan kondisi lingkungan yang ramah dan menye- nangkan bagi hewan. Ketiga, bebas dari rasa sakit, luka dan sakit: untuk menghindari semaksimal mungkin kemungkinan sakit atau luka, dan jika hewan tetap sakit atau terluka, pastikan hewan tersebut dapat diperiksa oleh dokter hewan pemeriksaan dan pengobatan medis. Keem- pat, kebebasan untuk berperilaku normal – kebebasan untuk bertindak secara normal, sebagai hewan:

menyediakan lingkungan yang luas yang memungkinkan hewan untuk melakukan gerakan selaras dengan hewan jenis sama. Kelima, Fearlessness and anxiety: memastikan perlakuan yang tepat terhadap hewan untuk mencegah hewan terancam dari kebosanan, stres, ketakutan.

(24)

Evaluasi Sub Capaian Pembelajaran Kedua:

1. Secara berkelompok (beranggotakan 2-4 orang) - Uraikan gagasan tertulis dalam format artikel

ilmiah, dengan tema “Ekowisata Indonesia dengan Pasar Utama Milenial: Potensi dan Strategi Pengembangan”.

- Format paper: Times New Roman ukuran 12, spasi 1 ½, margin semua sisi 2 cm, 4-6 halaman.

- Struktur penulisan: pendahuluan (berisi latar belakang, rumusan masalah dan tujuan pembahasan), landasan teori, pembahasan, simpulan.

- Pengumpulan paper dan presentasi dilakukan pada tatap muka minggu ke-12 (minggu kedua belas)

- Formasi kelompok berbeda dengan evaluasi sub capaian pembelajaran pertama.

2. Secara individu

- Refleksikan berwisata ke destinasi ekowisata sebagai lifestyle kekinian di kalangan milenial.

- Format refleksi: Times New Roman ukuran 12, spasi 1 ½, margin semua sisi 2 cm, 2 halaman.

- Struktur penulisan: latar belakang masalah, pemahaman terkait ekowisata, rencana kontribusi terbaik yang ingin direalisasikan dan komitmen untuk melakukannya.

- Pengumpulan paper dan presentasi dilakukan pada tatap muka minggu ke-14 (minggu keempat belas)

(25)

BAB 3

PEMASARAN EKOWISATA

Dalam buku Tourism Marketing 3.0 yang ditulis oleh Hermawan Kartajaya dan Sapta Nirwandar (Gramedia Pustaka Utama, 2013), konsep Marketing 3.0 di bidang pariwisata diperkenalkan. Konsep Marketing 3.0 dapat diimplementasikan dalam konteks ekowisata di Indonesia.

Hermawan Kartajaya dikenal sebagai pemimpin pemasaran Indonesia, bersama dengan Puri Saren Ubud membuka Museum Marketing 3.0 di Ubud bersama dengan Philip Kotler.

Dahulu era 2.0. Majalah SWA (17 Desember 2008, halaman 33) melaporkan bahwa fitur era 2.0 adalah peer- to-peer, open store, dan interaktif. Metode pemasaran tradisional, seperti P (produk, harga, lokasi, promosi) tidak lagi relevan. Diperlukan pendekatan yang lebih relevan dan berorientasi pasar, misalnya menggunakan blog, jejaring sosial dan komunitas/milis. 2.0 pemasar sendiri adalah orang-orang yang akrab dengan gadget dan teknologi terbaru, terlibat dalam komunitas online, ponsel, terbuka dan up to date dengan hal-hal baru.

Dalam lanskap perjalanan, pemasaran 2.0 selaras dengan tantangan zaman dan tuntutan era digital. Sarana promosi pariwisata seperti kumpul-kumpul, road show, iklan, dan acara sering kali didukung oleh alat promosi atau virtual marketing 2.0 ini. Logikanya, melalui pemasaran 2.0, dengan menggunakan teknologi informasi

(26)

dan komunikasi, pariwisata Indonesia semakin dekat dengan pasar turis asing. Selain itu, jumlah kunjungan wisatawan diperkirakan akan terus meningkat. Pemasaran 2.0 dan 3.0 keduanya melihat dunia berubah dengan cepat dan sekarang hidup di era yang berbeda. Era dimana diferensiasi horizontal terjadi dimana-mana dengan teknologi sebagai penggeraknya. Kemudian, horizontal juga merambah ke sektor bisnis dan membuat hubungan antara bisnis dan pelanggan tidak lagi sama. Perubahan terjadi mulai dari regulasi teknologi, politik, ekonomi, sosial budaya hingga perubahan pasar itu sendiri. Perubahan teknologi didorong oleh perkembangan pesat dalam konektivitas antara manusia, mesin, dan bisnis, yang dicirikan oleh perkembangan berbasis data dan teknologi cerdas. Perubahan regulasi politik dimulai dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan demokratisasi, desentralisasi, dan diversifikasi. Perubahan sosial budaya berkisar dari vertikal ke horizontal, dari eksklusif ke inklusif, dari individu ke sosial. Perubahan pasar termasuk subkultur baru Indonesia, kebangkitan pariwisata bisnis Indonesia, wanita cantik baru di Asia.

Perubahan ekonomi termasuk klub triliunan dolar, ekonomi mesin ganda, angka $5.000.

Marketing 3.0 melihat orang sebagai manusia seutuhnya untuk menghadapi aspek kecemasan dan keinginan. Marketing 3.0 diperlukan untuk mengembangkan dunia pariwisata yang tidak hanya fokus pada produk dan pelanggan, tetapi sudah mencapai level tertinggi yaitu human spirit. Artinya, dalam Marketing 3.0, orang dianggap sebagai manusia yang utuh dan kepuasan

(27)

dari kekhawatiran dan keinginan setiap orang harus mencapai pikiran manusia.

Dengan demikian, pemasaran pariwisata 3.0 dicirikan oleh minat khusus seseorang pada hal-hal yang mampu memuaskan kecemasan dan keinginannya sehingga bersifat pribadi. Tourism 3.0 adalah speciality tourism, dimana setiap individu tertarik pada aktualisasi diri dan dapat berpartisipasi secara langsung dalam pencarian nilai-nilai identitas. Jumlah dan frekuensi kedatangan jenis wisata ini paling rendah dibandingkan jenis wisata lainnya, namun memiliki pengeluaran per kapita. Dan yang terpenting dari pariwisata pada level ini adalah wisatawan akan selalu mengkampanyekan orang-orang di sekitarnya, bahkan orang-orang di belahan dunia lain, untuk mengunjungi destinasi yang sangat berkesan bagi mereka.

Dalam pemasaran pariwisata 3.0, produsen membedakan diri dari pesaing dengan nilai-nilai mereka.

Di dunia yang semakin bergejolak, jenis divergensi ini bisa sangat kuat. Kaitannya dengan perubahan ekonomi, di mana Indonesia sekarang menjadi ekonomi terbesar ke-15 di dunia, adalah bahwa wisatawan akan lebih bersedia membayar daripada sebelumnya.

Keberhasilan implementasi Marketing 3.0 untuk pariwisata Indonesia tercermin dari destinasi Ubud. Ubud semakin populer karena pelukis terkenal dunia tinggal di sana. Diantaranya adalah Walter Spies (Jerman), Rudolf Bonnet (Belanda), Antonio Blanco (Italia) dan Aris Smith (AS). Pada Oktober 2009, Ubud juga menjadi lokasi syuting film "Eat, Pray, Love" yang dibintangi oleh bintang Hollywood Julia Roberts dan Javier Bardem. Film, berdasarkan kisah nyata (ingatan) Elizabeth Gilbert, telah

(28)

terjual lebih dari 5 juta kopi di seluruh dunia dan menerima penghargaan New York Times untuk versi bukunya.

Pada poin terakhir, ini adalah alat gratis untuk mempromosikan pariwisata di Ubud pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Sinema sebagai industri kreatif berperan mengangkat suatu tempat (desa, kota atau negara) sebagai latar cerita menjadi “alat promosi”

yang efektif untuk berbagai misi, misi yang berbeda, yaitu misi budaya dan wisata. Penerapan filosofi Tri Hita Karana dan taksu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Ubud menjadi inspirasi bagi pembangunan yang tidak hanya berfokus pada profit tetapi juga menciptakan nilai-nilai positif bagi kehidupan masyarakat, lingkungan dan budaya setempat. Saatnya mengimplementasikan Marketing 3.0 dalam konteks pemasaran ekowisata di Indonesia.

Pemasaran ekowisata juga dapat melibatkan blogger. Pada Hari Blogger Nasional 27 September 2007, Profesor M Nuh (Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu) menetapkan hari ini sebagai hari blogger nasional.

Komunitas blogging menjadi semakin penting tidak hanya dalam menyebarkan informasi terkait ide dan gagasan pribadi, yang tersedia secara bebas di dunia maya. Apalagi jika kita memahami dinamika Hari Blogger Nasional, dapat dipahami sebagai gerakan kolektif blogger dari seluruh Indonesia yang berada di garis depan semua ide dan gagasan untuk mempromosikan pariwisata di berbagai daerah di tanah air. Singkatnya, komunitas blogging perlu semakin diakui keberadaannya sebagai pemasar aktif dan terpercaya yang meningkatkan citra dan mempromosikan pergerakan wisatawan di seluruh negeri. .

(29)

Dengan memposting cerita, foto, dan video tentang tujuan wisata daerah, jelas membantu mempromosikan pariwisata domestik, yang tidak mungkin jika Anda hanya mengandalkan tugas dan anggaran pemerintah untuk publisitas. Selain itu, blogger yang benar secara teknis mengetahui detail algoritma dunia internet, seperti optimisasi mesin pencari, menulis artikel tentang tempat- tempat wisata negara yang meroket (th. page rank) di antara ribuan blog dan situs web dengan kata kunci yang sama di sekitar. Dunia.

Oleh karena itu, merayakan Hari Blogger tidak hanya dimaksudkan untuk diapresiasi oleh para blogger tetapi juga untuk mendorong lebih banyak wirausahawan muda untuk masuk ke ruang digital ini. Meskipun kelihatannya seperti pekerjaan sosial, pada kenyataannya potensi bisnis dan penghematan pendapatan melalui hobi dan kegiatan ini cukup besar. Dengan demikian, peningkatan blogger di tanah air sebenarnya memiliki makna ganda yang positif, di satu sisi untuk membantu meningkatkan efektivitas kegiatan promosi pariwisata dan di sisi lain untuk menjamin kehidupan penulis.

Untuk pariwisata domestik, setidaknya berdasarkan kinerja utama pada empat ukuran (nilai tukar, kedatangan wisatawan, pengeluaran wisatawan dan lama tinggal), blogger memberikan kontribusi peran strategis dengan mempromosikan pergerakan wisatawan di berbagai bagian nusantara. Menurut program yang dicanangkan Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, mempopulerkan pariwisata seharusnya tidak hanya fokus pada tujuan wisata utama Bali dan Yogyakarta.

(30)

General Manager Pengembangan Destinasi Pariwisata Dinas Pariwisata saat itu, Firmansyah mengatakan, karena model resort masih fokus pada destinasi Bali, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, maka perlu dikembangkan model pola penyebaran wisatawan ke destinasi selain destinasi wisata.

Pemerintah sedang mengembangkan model pariwisata atau model pariwisata sebagai dasar penawaran paket wisata untuk mendorong wisatawan memiliki alternatif destinasi wisata baru. Selain itu, akan dikembangkan 10 alternatif tempat wisata untuk melengkapi destinasi populer yang diminati masyarakat saat ini yaitu Jakarta, Yogyakarta dan Bali serta Bandung, Surakarta, Surabaya, Medan, Batam, Padang dan Bukittinggi, Makassar dan Manado. Pengembangan atraksi minat khusus didasarkan pada pendekatan menarik pasar dan mempromosikan produk.

Peningkatan arus wisatawan nusantara (khususnya dari Jawa) ke destinasi wisata di luar Jawa dan Bali menjadi tantangan bagi seluruh pemangku kepentingan pariwisata. Menyimak upaya Kemenpar, pengembangan destinasi fokus pada daya tarik pasar yang mencakup 1 provinsi, dan pendekatan promosi produk mencakup 8 provinsi dengan keunggulan masing-masing destinasi wisata, sangat disayangkan tidak diikuti. dengan antusiasme dan sorak-sorai yang kuat dari masyarakat Jawa, terutama respon positif terhadap upaya pemerintah tersebut. Program pengembangan destinasi yang difokuskan pada promosi produk antara lain Tanjung Lesung (Banten), Raja Ampat (Papua Barat), WehSabang (Nanggroe Aceh Darussalam), Togean Tomini (Sulawesi

(31)

Tengah), Wakatobi (Sultra), Banda (Maluku), Tanjung Puting (Kalimantan Tengah).) Dan Derawan (Kalimantan Timur). Mengembangkan destinasi dengan fokus pada daya tarik pasar di 1 provinsi: Bromo Tengger Semeru (Jawa Timur), Danau Batur (Bali), Toba Nias (Sumatera Utara), Komodo Kelimutu (NTT), Kepulauan Seribu Kota Tua (DKI Jakarta) (budpar. aller.id). Selain itu, meskipun kegiatan pariwisata wisatawan Jawa masih fokus di Jawa dan Bali, sebagai faktor stimulus melalui mendorong pariwisata ke destinasi baru seperti desa wisata. Diyakini bahwa sangat sedikit wisatawan domestik yang tahu tentang kegiatan wisata di desa wisata. Padahal, dukungan dana untuk pengembangan desa wisata di berbagai pelosok Jawa cukup besar. Dana Pariwisata Program Peningkatan Kapasitas Nasional (PNPM) untuk desa wisata meningkat 100% pada 2010, dari rata-rata Rp 50 juta/desa menjadi Rp 100 juta/desa. Selain itu, jumlah desa wisata yang mendapat dukungan meningkat dari 10 desa pada tahun 2009 menjadi 200 desa pada tahun 2010.

Secara khusus, blogger Indonesia berkontribusi besar dalam penemuan dan pengembangan model manajemen pemasaran baru. Hermawan Kartajaya (Connect: Surfing New Wave Marketing, 2010) berpendapat bahwa jika dahulu hadir teknologi peningkat produktivitas (technology drive productivity), di era gelombang baru ini, teknologi kini telah mendorong mendorong lahirnya kreativitas (technology memimpin kreativitas).). Berbeda dengan era informasi, teknologi di era gelombang baru mendorong tumbuhnya partisipasi.

Semakin banyak orang dapat terhubung satu sama lain untuk berpartisipasi, belajar, dan berkreasi. Untuk itu, para

(32)

blogger patut diapresiasi dan didorong untuk ikut serta dalam pemasaran ekowisata Indonesia.

The Hepta-helix of Millennials Ecotourism Model

Penelitian tahun pertama dan kedua “Model Ekowisata di Kalangan Milenial” menghasilkan model penelitian “The Hepta-Helix of Millennials Ecotourism”.

Model ini mencerminkan strategi kolaborasi memajukan ekowisata di Indonesia dengan pasar utama kalangan milenial, baik dalam hal pemasaran, operasional dan sumber daya manusia. Penerapan model yang diperkuat dengan penggunaan teknologi aplikasi, mempermudah dan mempermudah koordinasi antar para pemangku kepentingan yang terkait langsung dalam ekowisata yang dipengaruhi oleh interaksi dan kinerja stakeholder lainnya.

Dimulai dari kelompok academic, sebagai conceptor, kelompok academician berperan menciptakan konsep- konsep unggulan yang berdaya guna untuk memperbaiki pengelolaan destinasi ekowisata sehingga mampu meningkatkan daya tarik dan kunjungan kalangan milenial.

Selain itu kelompok NGO / LSM secara langsung berada di tengah masyarakat, memungkinkan peran mereka sebagai educator di masyarakat dalam menjalankan nilai terkait ekowisata, konservasi dan lingkungan hidup.

(33)

Peran penting kelompok media (baik mainstream media seperti media cetak, elektronik, dan digital, maupun social media), menjadi communicator yang memberikan informasi aktual terkait aktivitas di area hulu, tempat dilakukannya konservasi dan destinasi ekowisata, kepada peradaban di area hilir (perkotaan dan masyarakat luas).

Informasi dari media juga dapat memberikan wawasan dan perhatian publik pada ekowisata, konservasi dan nilai-nilai kecintaan alam. Kalangan government yang terkait dengan

(34)

ekowisata, baik sebagai management authority maupun knowledge authority, yang merupakan lintas departemen mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, berperan sebagai regulator dalam pengelolaan, pelestarian dan menumbuhkembangkan potensi ekowisata di area masing- masing. Sebagaimana dinyatakan dalam teori bahwa ecotourism berbasiskan community-based tourism, maka local community sebagai operator sekaligus owner, merupakan „garda terdepan‟ dalam pengelolaan destinasi ekowisata. Kolaborasi antar para pemangku kepentingan dibutuhkan untuk meningkatkan IPTEK bagi local community dalam pengelolaan destinasi ekowisata.

Terakhir, sektor bisnis, selain menjalankan kegiatan CSR (corporate social responsibility) untuk meningkatkan kualitas ekowisata, juga berperan sebagai investor pada zona yang ditentukan, yang dapat meningkatkan mutu destinasi ekowisata. Pada akhirnya, kolaborasi para pemangku kepentingan yang tercermin dalam model “The Hepta-Helix of Millennials Ecotourism” ini, pertama-tama akan meningkatkan kualitas destinasi ekowisata, dan selanjutnya akan mendorong perjalanan wisata kalangan milenial ke destinasi ekowisata di berbagai penjuru Nusantara, baik ekowisata berbasis konservasi lingkungan abiotic, biotic maupun culture.

Model ekowisata di kalangan milenial yang tercermin melalui The Hepta-Helix of Millennials Ecotourism ini menjadi spirit dan pola pengelolaan destinasi ekowisata dalam mendorong perjalanan wisatawan domestik dari kalangan milenial ke berbagai destinasi ekowisata di Tanah Air. Melalui penerapan model ini, diharapkan akan tercipta tiga tujuan pokok ekowisata: economic

(35)

sustainability (terutama kesejahteraan bagi warga masyarakat yang berada langsung di area ekowisata), environment sustainability (lestarinya alam semesta, terjaganya keanekaragaman hayati yang menjadi kekayaan Nusatara, terjaganya peradaban di area hulu yang berdampak pada peradaban di area hilir), culture- heritage sustainability (terjaganya peradaban budaya Nusatara yang beraneka suku dengan keluhuran nilai-nilai tradisi yang diwariskan dari leluhur hingga peradaban masa kini). Ketiga tujuan pokok ekowisata paralel dengan tujuan kepariwisataan Indonesia yang diamanatkan oleh UU 10/2009 tentang kepariwisataan.

Evaluasi Sub Capaian Pembelajaran Ketiga:

1. Secara berkelompok (beranggotakan 2-4 orang) - Uraikan gagasan tertulis dalam format artikel

ilmiah, dengan tema “Pemasaran Ekowisata dengan Konsep Heptahelix Millennial Ecotourism Model”.

- Format paper: Times New Roman ukuran 12, spasi 1 ½, margin semua sisi 2 cm, 4-6 halaman.

- Struktur penulisan: pendahuluan (berisi latar belakang, rumusan masalah dan tujuan pembahasan), landasan teori, pembahasan, simpulan.

- Pengumpulan paper dan presentasi dilakukan pada tatap muka minggu ke-13 (minggu ketiga belas)

- Formasi kelompok berbeda dengan evaluasi sub capaian pembelajaran pertama.

(36)

2. Secara individu

- Refleksikan pemasaran yang efektif untuk menarik kalangan milenial berwisata ke destinasi ekowisata.

- Format refleksi: Times New Roman ukuran 12, spasi 1 ½, margin semua sisi 2 cm, 2 halaman.

- Struktur penulisan: latar belakang masalah, pemahaman terkait ekowisata, rencana kontribusi terbaik yang ingin direalisasikan dan komitmen untuk melakukannya.

- Pengumpulan paper dan presentasi dilakukan pada tatap muka minggu ke-15 (minggu kelima belas)

(37)

BAB 4

PROYEK PEMBELAJARAN 1: KONSERVASI DESTINASI EKOWISATA MILENIAL

Bagian ini menyajikan contoh strategi pengembangan destinasi ekowisata yang telah dirumuskan oleh Mahasiswa Program Studi Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya. Kajian destinasi ekowisata dilakukan secara berkelompok dengan case study destinasi ekowisata yang telah ditentukan. Panduan untuk menyusun, menganalisa dan menyajikan strategi pengembangan destinasi ekowisata mencakup tiga prioritas utama dalam ekowisata:

1. Aspek konservasi 2. Edukasi

3. Keterlibatan masyarakat

Strategi pengembangan yang disajikan dalam buku ini adalah contoh yang dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa untuk menuntaskan studi Eco and Urban Tourism, dengan case study destinasi ekowisata lain yang tersebar di Indonesia. Aspek mendasar yang dilakukan dalam merumuskan strategi pengembangan adalah, 1) analisa potensi wilayah; 2) peluang dan tantangan; 3) strategi pengembangan berdasarkan nilai entrepreneurship dan konsep ecotourism. Sumber data diperoleh melalui data primer dan data sekunder (data dan referensi).

(38)

4.1. Taman Nasional Bali Barat

Pelestarian Perkembangbiakan Burung Bermata Biru di Taman Nasional Bali Barat

Oleh: Julietta Cesilia Wahyudi & Irene Jessica Giseline Prodi Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

Abstrak

Burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) merupakan salah satu fauna endemik Bali yang populasinya hampir punah hal tersebut diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab yakni perburuan liar yang kemudian diperjual-belikan secara ilegal. Oleh karena itu pada tahun 2006 Pemerintah Daerah Bali mendirikan konservasi burung ini di Pulau Nusa Penida, guna untuk tetap menjaga fauna endemik ini agar tetap lestari dan tidak punah begitu saja dan semenjak dibangunnya konservasi ini perkembangbiakan fauna yang satu ini semakin banyak dari tahun ke tahun yang kemudian juga menarik perhatian setiap wisatawan yang berkunjung. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengajak seluruh wisatawan untuk melindungi populasi fauna langka ini.

Kata kunci: Leucopsar rothschildi, punah, endemik, perburuan liar, dan konservasi.

I. Pendahuluan

Burung Jalak Bali atau yang dikenal dengan nama Latin Leucopsar rothschildi, terletak di Teluk Brumbun yang di mana menjadi pusat penangkaran Fauna ini, tempat ini dapat ditempuh oleh wisatawan selama 45 menit

(39)

dari Dermaga Labuhan Lalang menuju ke Teluk Brumbun dan dinobatkan sebagai lambang fauna Provinsi Bali.

Burung Jalak Bali yang memiliki jenis kelamin jantan maupun betina sama-sama memiliki jambul berwarna putih yang sangat indah dan juga memiliki kelopak mata berwarna biru menambah keindahan yang eksotis pada fauna endemik yang satu ini. Ukuran badan dari Burung Jalak Bali bisa terbilang berukuran sedang, yakni antara 22-26 sentimeter untuk Burung Jalak Bali dewasa. Bagi wisatawan yang ingin tahu bagaimana cara membedakan fauna endemik ini, adalah dengan cara antara jantan dan betina bisa terlihat dari ukuran kepala yang mana untuk jantan kebanyakan lebih besar dan panjang, sedangkan untuk betina cenderung bulat, jambul yang ada di atas kepala Burung Jalak Bali. Keindahan yang dimiliki oleh burung endemik yang satu ini, menjadi daya tarik tersendiri yang mencuri perhatian wisatawan yang datang berkunjung sehingga banyak dari wisatawan tersebut mulai bertindak secara tidak bertanggung jawab yakni memburu secara ilegal lalu menjualnya secara ilegal dan sudah pada tahap berstatus “kritis” atau bahkan ditangkap dan dijadikan hewan peliharaan. Maka dari itu, akibat dari tindakan yang tidak bertanggung jawab ini, pemerintah daerah Bali memberikan perhatian lebih untuk masalah tersebut dengan mengeluarkan peraturan hukum adat Undang-Undang salah satunya Undang-Undang No.5 Tahun 1990 yang membahas tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang berisi tentang

“jika seseorang terbukti telah melakukan perburuan liar atau menembak Burung Jalak Bali secara liar maka akan

(40)

diberikan denda sebesar Rp. 100.000.000 dan pidana penjara selama 5 tahun”.

Populasi Burung Jalak Bali dari tahun ke tahun semakin meningkat terutama dengan diberlakukan undang-undang No.5 tahun 1990 yang membuat populasi fauna ini semakin terjaga dan tetap aman. Di tahun 1974 populasi Jalak Bali di alam liar berada di angka 112 ekor, namun sempat mengalami penurunan di tahun 2006.

Kemudian secara perlahan populasi Burung Jalak Bali mulai bertambah sebanyak 57 ekor di tahun 2015, kemudian bertambah lagi menjadi 256 di tahun 2019, dan bertambah menjadi 303 ekor di tahun 2020. Ini menandakan bahwa undang-undang tersebut berhasil dalam melindungi populasi Burung Jalak Bali dari kepunahan yang diakibatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab, yang tidak hanya pemerintah yang ikut serta dalam menjaga penangkarannya namun keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat lokal juga terlibat. Dalam menjaga populasi Burung Jalak Bali ini, pihak konservasi di Taman Nasional Bali Barat melakukan segala cara agar populasi fauna ini tetap hidup bebas dan juga tetap dalam pengawasan pihak konservasi salah satunya dengan cara pelepasan liar. Pelepasan liar ini dilakukan di alam bebas dan dilakukan di beberapa tempat yakni Banyuwedang, Teluk Terima, Lampu Merah, dan masih ada beberapa tempat lagi yang tentu saja masih dalam area pengawasan pihak konservasi. Saat melakukan pelepasan liar, Burung Jalak Bali yang biasa dilepas adalah burung yang sudah dewasa dan burung yang masih anak-anak tetapi sudah bisa terbang, melalui proses pelepasan ini tentu saja memiliki beberapa resiko

(41)

yakni beberapa Burung Jalak Bali yang dapat bertahan hidup sampai bisa berkembangbiak lagi dan ada pulayang tidak dapat bertahan hidup di alam bebas.

II. Ide Pengembangan

Burung Jalak Bali atau bisa dikenal dengan nama Burung Curik ini adalah fauna yang sangat dilindungi dan memiliki penangkaran khusus agar populasinya tidak punah. Maka dari itu perlunya inovasi baru (selain pelepasan ke alam liar) dalam pelestarian populasi Burung Jalak Bali, hal ini juga dibuktikan pada perkembangbiakan Burung Jalak Bali yang setiap tahunnya terus meningkat dan harus terus dijaga. Ide pengembangan pertama yang dianjurkan oleh penulis adalah dukungan dan peran aktif masyarakat juga sangat dibutuhkan agar program-program pengembangan berjalan dengan baik. Seperti membangun lahan penangkaran Burung Jalak Bali yang lebih besar dan nyaman (pemisahan penangkaran antara Burung Jalak Bali yang sudah dewasa dan yang masih kecil).

Untuk ide pengembangan yang kedua, masyarakat diperbolehkan untuk memelihara secara pribadi Burung Jalak Bali namun harus ada ijin resmi dari pusat untuk mendapatkan surat-surat penting seperti sertifikat kepemilikan satwa yang dilindungi serta ke depannya penulis akan mengusulkan untuk pembuatan kartu khusus yang akan diisi setiap bulan atau 2 minggu sekali saat pihak konservasi dan pihak dokter hewan melakukan pengecekkan berkala di setiap rumah-rumah yang terdaftar memelihara fauna tersebut. Setelah melakukan pengecekkan berkala maka pihak konservasi dan pihak dokter hewan kemudian mengisi kartu yang akan diisi

(42)

tanggal pengecekan, tanda tangan pihak konservasi dan dokter hewan, serta mengisi keterangan tentang kondisi jalak bali saat itu serta apa saja yang diperlukkan.

III. Potensi dan Peran Konservasi Berkelanjutan Dengan adanya ide pengembangan yang telah dipaparkan oleh penulis, pasti memiliki peran yang berkelanjutan untuk mempertahankan populasi Burung Jalak Bali, potensi tersebut dapat berupa pihak konservasi harus lebih ketat dalam pengawasan untuk setiap wisatawan yang datang berkunjung dan barang bawaan wisatawan harus di cek satu persatu guna menjamin wisatawan tidak membawa benda-benda yang berbahaya bagi flora dan fauna yang ada di wilayah konservasi maupun lingkungan konservasi. Para petugas konservasi juga harus turun langsung untuk merawat dan rutin melakukan pengecekkan kesehatan Burung Jalak Bali bukan hanya petugas yang pada umumnya memberi makan dan petugas yang membersihkan kandang, jika pihak konservasi bisa melakukan hal-hal tersebut maka, kebersihan dan kesehatan Burung Jalak Bali terjaga dan populasinya akan meningkat setiap tahunnya.

Dari ide pengembangan yang telah diungkapkan di atas, pasti akan memiliki potensi yang akan dijalankan oleh pihak konservasi Taman Nasional Bali Barat di masa yang akan datang. Potensi yang akan dijalankan oleh pihak konservasi menurut penulis ada beberapa hal yakni untuk jika masyarakat turut serta membantu pihak Taman Nasional Bali Barat melindungi fauna langka ini dengan cara membantu memelihara dan membantu perkembangbiakkan secara pribadi dengan tetap memiliki

(43)

kesadaran akan pentingnya kelestarian fauna yang satu ini maka jumlah populasi Burung Jalak Bali semakin bertambah dari tahun ke tahun dan resiko kematian Burung Jalak Bali dapat terkendali dengan baik, faktor penyebab perburuan liar pun dapat dikendalikan dan dapat tetap terpantau oleh pihak konservasi sehingga dapat meminimalkan orang-orang yang mempunyai tujuan atau niat yang kurang baik, serta potensi Sumber Daya Manusia yang ada di sekitar Taman Nasional Bali Barat juga dapat dimanfaatkan sehingga masyarakat setempat juga memiliki rasa bertanggung jawab untuk melindungi segala sesuatu yang memang milik mereka termasuk Burung Jalak Bali.

Selain itu bukan hanya laki-laki serta pemerintah saja yang turut serta melindungi fauna ini, tetapi kaum perempuan juga harus turut serta untuk terjun langsung ke lapangan guna membantu pemerintah melindungi fauna endemik ini.

Jika potensi populasi Burung Jalak Bali akan terus meningkat dan tentu saja akan membuat nama Taman Nasional Bali Barat akan semakin terkenal dengan begitu pasti akan ada lebih banyak wisatawan yang berkunjung sehingga dapat menaikkan surplus atau keuntungan negara maupun daerah. Bukan hanya itu usaha-usaha lain pun akan terkena imbasnya seperti hotel, penginapan, restaurant, dan destinasi wisata lain akan ikut merasakan dampak positifnya (mendapatkan keuntungan yang lebih besar) dan karena dampak yang positif itu pula para karyawan yang bekerja pun akan mendapatkan gaji yang cukup sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan ekonomi yang cukup, jika pendapatan daerah tersebut akan semakin meningkat, kriminalitas seperti pencurian, penipuan, dan pembajakan pun dapat teratasi

(44)

dengan baik, dan yang terakhir adalah jika potensi Taman Nasional Bali barat semakin dikenal sampai ke luar negeri maka tidak sedikit pula yang tertarik untuk berinvestasi baik untuk pihak konservasi Taman Nasional Bali Barat..

IV. Kesimpulan

Dari hal-hal yang telah ditulis oleh penulis, bisa disimpulkan bahwa perlunya peran aktif dari masyarakat dan pengelola konservasi Taman Nasional Bali Barat agar memberikan inovasi baru serta akan berdampak pada ekonomi negara dan daerah yang akan membawa suatu kemajuan pesat selain itu akan membawa kesejahteraan masyarakat dalam bidang ekonomi dan sosial. Selain peran aktif masyarakat serta pengelola konservasi, kesehatan fauna satu ini juga perlu diperhatikan terutama dari penyakit burung, karena sama saja jika pengelola konservasi telah menjalankan perannya tetapi kesehatan burung tersebut tidak diperhatikan. Burung Jalak Bali yang masih kecil (3 bulan) sebaiknya jangan dilepas terlebih dahulu di alam liar karena di umur tersebut Burung Jalak Bali maupun burung lain masih dikatakan baru bisa terbang atau masih dalam tahap belajar terbang. Apabila di lepas liarkan maka tentu saja Burung Jalak Bali tidak bisa survive di alam bebas.

Daftar Pustaka

Ardhana, I Putu Gede. Rukmana, Nana. 2017. Volum 1-6.

2017. “KEBERADAAN JALAK BALI (Leucopsar rothschildi Stresemann 1912) DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT (THE EXISTENCE OF BALI STARLING (Leucopsar rothschildi

(45)

Stresemann 1912) IN WEST BALI NATIONAL PARK)”. Diakses https://ojs.unud.ac.id/index.php/

simbiosis/article/view/32292/19474 Pada 26 Maret 2021.

Bali, Kontributor. Rosidin Imam. 2020 “Kabar Gembira, Populasi Jalak Bali di Alam Liar Terus Meningkat”.

Diakses https://regional.kompas.com/read/2020/06/

28/10292711/kabar-gembira-populasi-jalak-bali-di- alam-liar-terus-meningkat?page=all#:~:text=Pada

%202019%20populasinya%20di%20alam,burung%

20ini%20berjumlah%20303%20ekor. Pada 26 Maret 2021.

Setyorini, Virna P. 2019. “Hukum adat diterapkan dalam pelestarian jalak bali”. Diakses https://bengkulu.

antaranews.com/berita/66873/hukum-adat-

diterapkan-dalam-pelestarian-jalakbali. Pada 24 Maret 2021.

http://simlit.puspijak.org/files/buku/FULL_Pemberdayaan_

Masyarakat_di_Hutan_Konservasi.pdf hal 115

4.2. Kampung Naga

Kursus Alat Musik Tradisional: Upaya Pelestarian Alat Musik Tradisional di Kawasan Konservasi Kampung

Naga.

Oleh: Rachel Augie Zefanya & Sherly Lavenia Prodi Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang Kawasan Konservasi Kampung Naga yang terletak di Tasikmalaya,

(46)

Jawa Barat. Kampung Naga merupakan salah satu kawasan konservasi seni-budaya yang terdapat di Indonesia dan masih terjaga hingga saat ini. Salah satu seni-budaya yang terdapat di Kampung Naga adalah alat musik tradisional. Akan tetapi, saat ini orang yang mampu membuat dan memainkan alat musik tradisional yang ada di Kampung Naga semakin sedikit jumlahnya. Maka dari itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan ideasi terhadap pelestarian alat musik tradisional di Kampung Naga dalam bentuk pembuatan kursus. Kursus terkait alat musik tradisional yang ada di Kampung Naga ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pengunjung terhadap kesenian yang terdapat di Kampung Naga serta menciptakan sebuah generasi penerus yang mampu menjaga eksistensi dari alat musik tradisional di Kampung Naga. Kursus ini menjadi salah satu kegiatan yang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat Kampung Naga di mana hal ini merupakan salah satu ciri dari pengembangan destinasi ekowisata yaitu memberikan manfaat keuangan bagi masyarakat setempat. Penelitian ini mengkaji potensi kursus alat musik tradisional terhadap konservasi di Kampung Naga.

Kata Kunci: Kampung Naga, pelestarian seni dan budaya, alat musik tradisional, ekowisata, konservasi.

Latar Belakang

Sektor pariwisata adalah salah satu sektor yang sangat berpengaruh bagi perekonomian sebuah negara.

Pengembangan pariwisata di suatu negara sangat

(47)

diperlukan agar tetap dapat menjadi sumber pendapatan dari suatu daerah. Berbagai macam pengembangan saat ini telah dilakukan. Salah satu konsep yang sedang dikembangkan saat ini adalah ekowisata. Ekowisata dikembangkan sebagai upaya untuk tetap melindungi sebuah tempat wisata dan meminimalkan dampak negatif dari kegiatan pariwisata terhadap alam. Selain untuk melindungi kawasan alam, ekowisata merupakan bentuk keprihatinan terhadap kondisi sosial dan ekonomi.

Indonesia memiliki banyak sekali wilayah wisata dengan pemandangan yang indah. Namun, kondisi ekonomi dari masyarakat setempat masih terhitung kurang. Maka dari itu, konsep ekowisata ini juga dapat menciptakan sebuah lapangan kerja baru yang bisa menguntungkan bagi masyarakat setempat. Kemudian, adanya ekowisata ini juga berdampak dalam segi edukasi. Pengunjung yang mengunjungi sebuah kawasan ekowisata bisa mendapatkan sebuah pengalaman serta pengetahuan yang baru. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa ekowisata meliputi aspek konservasi, aspek pemberdayaan masyarakat, dan aspek edukasi.

Konservasi yang dilakukan pada konsep ekowisata tidak hanya konservasi alam tetapi bisa juga konservasi seni dan budaya. Budaya merupakan sebuah gaya hidup yang telah dilakukan sejak lama dan diturunkan sehingga gaya hidup tersebut akan terus ada. Namun, keberadaan budaya saat ini sangat terancam. Semakin sedikit orang yang melakukan suatu budaya tertentu. Selain itu, rumah- rumah adat juga mulai rusak dan tidak terawat. Oleh karena itu, ekowisata juga dapat mencegah hilangnya budaya dan rusaknya aset-aset budaya dengan cara

(48)

menjadikan kawasan tersebut sebagai sebuah tempat konservasi. Terdapat salah satu destinasi ekowisata yang unik di Indonesia yaitu Kampung Naga. Kampung Naga terletak di Jawa Barat, tepatnya di perbatasan antara Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut. Secara administratif, Kampung Naga terletak di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.

Konservasi yang dilakukan di Kampung Naga adalah konservasi seni dan budaya. Penduduk Kampung Naga masih sangat menjaga seni-budaya dan masih melakukan adat istiadatnya hingga saat ini. Rumah adat Sunda yang berbentuk rumah panggung juga merupakan salah satu yang dikonservasi karena struktur bangunan yang ada di Kampung Naga masih menunjukkan struktur bangunan asli dari adat Sunda. Kampung Naga ini dijadikan sebuah tempat konservasi karena kearifan lokal dan sistem tata ruang penduduk setempat yang masih menjaga alamnya sehingga terhindar dari kerusakan.

Adat yang dianut dan dipertahankan di Kampung Naga adalah adat Sunda. Kampung Naga dibagi menjadi tiga bagian oleh penduduk yaitu Leuweung Keramat (makam leluhur) di bagian barat, perkampungan di bagian tengah, dan Leuweung Larangan (hutan terlarang) di bagian timur. Penduduk sangat menjaga wilayah yang mereka tempati karena mereka percaya bahwa bencana alam itu disebabkan oleh perilaku manusia. Maka dari itu, terdapat kawasan hutan terlarang. Penduduk masih menggunakan hasil alam dari hutan tetapi dalam jumlah yang kecil. Hingga saat ini, penduduk Kampung Naga masih melakukan upacara adat seperti upacara menyepi, upacara hajat sasih yang bertujuan untuk memohon

(49)

keselamatan dan berkah dari para leluhurnya, upacara perkawinan (upacara nincak endog, upacara buka pintu, upacara ngampar, upacara riungan, upacara munjungan, dan khitanan). Tetapi meskipun sangat menjaga budaya tradisional, penduduk tidak melarang modernisasi sepenuhnya asalkan tidak membawa dampak buruk bagi lingkungan atau mengubah prinsip budaya mereka.

Kemudian, yang menarik dari Kampung Naga adalah struktur bangunan rumah milik penduduk. Karena rawan bencana, penduduk membangun rumah yang aman terhadap bencana dengan menggunakan bahan alam yang elastis dan ringan seperti bambu dan kayu sehingga ketika terdapat goncangan, rumah tidak akan runtuh. Rumah adat berbentuk rumah panggung. Terdapat golodog yang berfungsi untuk menerima tamu, ruang tengah atau ruang tamu, kamar tidur, serta dapur dan goah (tempat penyimpanan beras).

Salah satu kesenian yang terdapat di Kampung Naga adalah alat musik tradisional. Namun, sebagian besar pengunjung yang mengunjungi Kawasan Konservasi Kampung Naga hanya melihat dan melakukan penelitian terhadap struktur wilayah dan bangunan yang ada di Kampung Naga. Sedangkan, alat musik tradisional yang terdapat di Kampung Naga kurang memperoleh perhatian dari pengunjung. Alat musik tradisional merupakan suatu aset budaya yang sangat penting untuk dijaga kelestariannya. Akan tetapi, saat ini jumlah orang yang dapat memainkan dan membuat alat musik tradisional semakin hari semakin berkurang jumlahnya. Hal ini membuat eksistensi dari alat musik tradisional di Kampung Naga terancam. Kami berusaha menjaga kelestarian

(50)

kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Naga yaitu alat musik tradisional dengan cara membuat sebuah kursus.

Kursus Alat Musik Tradisional

Penduduk Kampung Naga cenderung menolak pendirian bangunan baru di wilayah mereka karena mereka menganggap bahwa hal tersebut dapat mengganggu kelestarian kawasan di Kampung Naga.

Maka dari itu, salah satu ide pengembangan yang kami gunakan adalah membuat sebuah kursus alat musik tradisional di Kampung Naga. Kursus merupakan kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki banyak pengetahuan kepada individu atau kelompok yang memiliki keinginan untuk belajar. Kursus alat musik tradisional ini bertujuan untuk mendukung konservasi berkelanjutan dengan cara mempertahankan eksistensi dari alat musik tradisional yang ada di Kampung Naga.

Terdapat berbagai alat musik tradisional yang ada di Kampung Naga yaitu, karinding, celempung, teureubang gembrung, teureubang sejak, dan angklung. Alat-alat musik tersebut merupakan alat musik tradisional asal Sunda. Salah satu yang saat ini jarang ditemukan adalah alat musik karinding. Karinding merupakan sebuah alat musik yang terbuat dari bahan bambu atau pelepah aren.

Cara memainkan alat musik ini adalah dengan menempelkan karinding ke bibir dan menepuk bagian kanan alat musik dengan jari telunjuk sehingga mengeluarkan suara. Alat musik ini awalnya merupakan sesuatu yang selalu dibawa oleh petani saat berada di sawah yang bertujuan untuk mengusir hama yang

Referensi

Dokumen terkait

Nitroprusid IV dimulai dari dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai

Persoalan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi pembelajaran pada mata pelajaran Fiqih yang digunakan oleh guru mata pelajaran Fiqih di

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa: (i) respons yang berasal dari responden dengan estimasi ke- mampuan tinggi memiliki tingkat kebenaran respons tinggi,

Pemahaman tentang lansia pada saat ini sudah mulai banyak, namun minimnya penyediaan akses bagi lansia seperti saat lansia harus ke Rumah Sakit, perlakuan kepada

Sejalan dengan pengertian tersebut, Zainul dan Nasution (2001) menyatakan bahwa evaluasi dapat dinyatakan sebagai suatu proses pengambilan keputusan

Peranan yang berkaitan dengan informasi, mencakup kepala sekolah sebagai pemonitor, disseminator, dan spokesman yang menyebarkan informasi ke semua

Bersama ini STMIK Jakarta STI&K ingin mengadakan Kejuaraan Taekwondo SE- DKI JAKARTA kategori yang di pertandingkan Pra Yunior (Kelompok Usia Dini), Junior dan

Orde dua survei hidrografi diperuntukan di daerah dengan kedalaman kurang dari 200 meter yang tidak termasuk dalam orde khusus maupun orde satu, dan dimana gambaran batimetri