• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Dan Konsep Masyarakat Madani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengertian Dan Konsep Masyarakat Madani"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PENGERTIAN MASYARAKAT & MASYARAKAT MAJEMUK SERTA ETIKA KEMAJEMUKAN

>PENDAHULUAN

Manusia merupakan bagian dari masyarakat yang dituntut untuk selalu melakukan interaksi antara satu sama lainnya dalam hal pemenuhan kebutuhannya sebagai makhluk sosial. Manusia dalam menjalankan kehidupannya akan membentuk suatu ikatan terkecil yang disebut keluarga. Keluarga berfungsi dalam hal pemenuhan kebutuhaan bio-psiko-sosio manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Dalam perkembangannya kumpulan dari beberapa keluarga akan membentuk suatu masyarakat, yang akan tumbuh semakin luas menjadi suatu bangsa. Tata cara kehidupan setiap masyrakat dibentuk berdasarkan perpaduan antara berbagai sikap, cara berpikir, cara bergaul dan cara hidup dari tiap masing-masing individu sesuai dengan kultur yang dipercaya dan diyakini oleh setiap individu.

>PEMBAHASAN & ISI

Manusia dalam kehidupannya akan membentuk dan menjadi bagian dalam suatu ikatan sosial yaitu masyarakat. Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk membentuk suatu ikatan yang disebut ”masyarakat” antara lain:

Harus ada kelompok manusia

Bertempat tinggal dalam daerah tertentu dalam waktu yang relatif lama. Adanya aturan

A. Pengertian Masyarakat Menurut Para Ahli Sosiologi & Antropologi Linton

Masyarakat adalah sekelompok manusia, yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga mereka dapat mengorganisasika dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batAs-batas tertentu.

* M, J. Heskovits

Masyarakat adalah kelompok individu yang mengorganisasikan dan mengikuti suatu cara hidup tertentu.

* J.L Gillin J.P Gillin

Masyarakat adalah kelompok manusia yang tersebar mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang sama.

* S.R Steinmentz

Masyarakat adalah sebagai kelompok manusia yang terbesar meliputi pengelompokan-pengelompokan manusia yang lebih kecil yang mempunyai perhubungan erat dan teratur. Mack Ever

(2)

Jadi, Masyarakat dalam arti luas adalah keseluruhan dari semua hubungan dalam hidup bersama denagn tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan lain-lain. Masyarakat dalam arti sempit merupakan sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu. Oleh karena itu dapat disimpulkan. Masyarakat adalah kelompok manusia yang telah lama bertempat tinggal disuatu daerah yang tertentu dan memilki aturan bersama untuk mencapai tujuan bersama yaitu mencapai kesejahteraan.

> Masyarakat Majemuk

Masyarakat di Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan bangsa yang memilki latar belakang yang berbeda-beda baik dari segi kultur, letak geografis, maupun sikap dari masing-masing individu. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia dikatakan masyarakat yang majemuk, Namun, masyarakat Indonesia tetap memilki satu status dan kedudukan yang sama yakni sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara Indonesia, yang dituntut untuk selalu bersatu tanpa mempedulikan berbagai perbedaan yang ada demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ada banyak pendapat tentang pengertian masyarakat majemuk, diantaranya adalah sebagai berikut:

 Depdiknas tahun 2002, Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi dalam kelompok persatuan yang sering memilki kebudayaan yang berbeda.

 Soekanto tahun 2001, Masyarakat majemuk yaitu kemajemukan budaya, dengan kelompok etnik dan minoritas serta terpelihara identitasnya dalam suatu masyarakat.

Ilmu sosial, Masyarakat majemuk adalah suatu keadaan masyarakat dimana setiap kelompok kebudayaan memilki lembaga-lembaga yang berkaitan dengan setiap bidang kehidupan kecuali politik, dimana lembaga setiap kelompok kebudayaan tertentu memegang kekuasaan dalam masyarakat yang bersangkutan.

Konteks politik, Masyarakat majemuk adalah suatu sistem yang memungkinkan semua kepentingan dalam masyarakat besaing secara bebas untuk mempengaruhi proses politik, sehingga terhindar dari terjadinya suatu kelompok mendominasi kelompok yang lain. Jadi, masyarakat majemuk adalah suatu keadaan masyarakat yang terdiri dari berbagai kepentingan dan kedudayaan yang berdeba-beda yang melebur dan membentuk satu kesatuan yang mempunyai tujuan dan cita-cita yang sama. Masyarakat majemuk adalah Atas dasar pengertian tersebut dibedakan atas tiga kategori yaitu :

o Kemajemukan sturuktural, dominasi politik dipegang oleh suatu kelompok tertentu. o Kemajemukan sosial, suatu keadaan dimana hak dan kewajiban tersebar secara merata diantara kelompok sosial yang ada.

o Kemajemukan budaya, seluruh warga masyarakat merupan bagian dari publik tanpa memperhatikan identifikasi yang ideal maupun yang nyata.

> Etika Kemajemukan

Etika kemajemukan adalah suatu pedoman tata cara yang digunakan untuk mengatur perilaku seseorang dalam berperilaku ditengah-tengah masyarakat yang majemuk dari sudut budaya, etnis dan agama. Dalam rangka mewujudkan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis. Hal-hal yang harus dijadikan pedoman dan komitmen bagi setiap individu yang hidup dalam masyarakat majemuk diataranya adalah:

(3)

Saling mengedepankan kebersamaan, saling berbuat baik untuk bersama, membela jika salah satunya teraniaya, merasa bersaudara, mendukung keputusan bersama, berjuang menegakkan keputusan bersama, mengalah bila tidak mencapai kata sepakat.

Berperilaku saling beradab. Tidak terprovokasi saling mencintai, saling bersahabat secar akrab, saling menolong dalam kebaikan.

Berusaha untuk selalu bersikap jujur, adil, sopan, disiplin dan peduli serta dapat bertanggung jawab dan mampu bekerjasama yang baik.

>Faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut: - Keadaan geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang

terdiri dari lima pulau besar dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan penduduk yang menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku jenis tersendiri dan budayanya sendiri.

- Letak Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan.

Hal ini mempengaruhi terciptanya pluralitas/kemajemujkan agama.

- Iklim yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regiona

Masyarakat yang harmonis dapat tercipta apabila masing-masing individu memilki kesadaran yang tinggi dalam berperilaku dan selalu berusaha untuk lebih mengedepankan kepentingan kebersamaan daripada mempermasalahkan perbedaaan-perbadaan. Berikut etika yang harus diterapakan dalam kehidupan masyarakat majemuk:

Bergaullah dengan siapa saja tanpa memandang agama, suku bangsa, pandangan politik dengan saling menghargai sifat masing-masing.

Hiasilah pergaulan dengan perilau, bahasa,dan raut wajah yang sopan walaupun anda terkadang memilki pendapat dan ideologi yang berbeda.

Jadikan pertemuan sebagai suatu ajang untuk mempererat tali persaudaraan. Dalam pertemuan usahakan jangan sampai timbul caci maki, membicarakan aib, merencanakan langkah-langkah untuk menjatuhkan orang, agama, atau etnis lain. Kerjasama diarahkan untuk mengedepankan kepentingan bersama.

Jangan memanfaatkan kerjasama yang sudah terbina hanya untuk mencari kepentingan pribadi,kelompok ataupun golongan.

Akhirilah setiap pertemuan dan dialog dengan saling meminta maaf dan membuat janji serta membuat komitmen untuk meneruskan persahabatan yang sudah terjalin.

Berilah teladan dan contoh perilaku dan ucapan yang baik, jangan terlaulu sering mengobral janji.

>Diferensiasi dan Kemajemukan sosial

(4)

>Diferensiasi sosial dipahami sebagai pembeda/pemilah masyarakat ke dalam golongan atau kelompok secara horizontal (tidak secara bertingkat). Sedangkan Stratifikasi lebih dipahami sebagai gejala sosial di mana ketimpangan distribusi dan kelangkaan benda-benda berharga yang dibutuhkan masyarakat terbagi secara tidak merata. Stratifikasi sosial merupakan gejala penggolongan manusia yang bersifat hierarkis vertikal.

Ada dua proses yang mempengaruhi perilaku kelompok secara mendalam dan menyeluruh yaitu Integrasi sosial dan Diferensiasi sosial. Diferensiasi sosial dan integrasi sosial yang muncul bersamaan dengan terbentuknya stratifikasi sosial yang tumbuh sebagai konsekuensi dari perubahan sosial akibat pembagian kerja yang semakin terperinci.

PERBEDAAN ANTARA DIFERENSIASI DAN STRATIFIKASI SOSIAL

Di masyarakat mana pun, struktur sosial yang ada umumnya di tandai dua cirinya yang khas, yaitu secara vertikal dan secara horizontal. Perbedaan masyarakat secara vertikal (sebagaimana dikemukakan oleh Nasikun) disebut stratifikasi sosial, sedangkan perbedaan masyarakat secara horizontal disebut diferensiasi sosial.

Di dalam stratifikasi sosial, hubungan antarkelas dalam bayak hal cenderung tidak seimbang, di mana ada pihak tertentu yang lebih dominan dan berkuasa daripada pihak yang lain. Sementara itu, di dalam diferensiasi sosial yang dipersoalkan bukanlah keseimbangan antara berbagai kelompok (bukan antar-berbagai kelas), melainkan sifat dasar masyarakat pluralis serta perbedaan yang terdapat di dalamnya.

WUJUD DIFERENSIASI SOSIAL

Bentuk-bentuk diferensiasi sosial digolongkan dalam beberapa golongan diantaranya : diferensiasi jenis kelamin (sex differentiation); diferensiasi umur (age differentiation); diferensiasi ras (racial differentiation); diferensiasi intelektual (intelectual differentiation). > Diferensiai Biologis

Diferensiasi Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan bentuk diferensiasi manusia yang paling mudah dilihat oleh mata sebab perbedaan jenis kelamin sangat mudah untuk diidentifikasi. Diferensiasi jenis kelamin telah memberikan batasan tentang pekerjaan mana yang patut atau layak dilakukan oleh laki-laki dan mana yang layak untuk perempuan. Oleh karena itu, jika seorang laki-laki-laki-laki melakukan pekerjaan wanita , maka mereka dianggap memiliki kelainan seksual. Begitupun sebaliknya dengn seorang wanita.

(5)

>Diferensiasi Umur

Penggolongan manusia berdasarkan umur melahirkan berbagai hak dan kewajiban dan kewenangan. Di dalam masyarakatv tradisional menekankan aturan bahwa orang lebih tua memiliki kewenangan menentukan kebijakan didalam kelompok nya . Sedangkan dalam masyarakat modern , lebih melihat pada kualifikasi seeorang di dalam masyarakat bukan berdasarkan usia seseorang.

> Diferensiasi Ras

Penggolongan ras manusia tidak didasarkan pada faktor sosiologis, sebab ras sebenarnya bukan identifikasi sosiologis tetapi dampaknya sosiologis terhadap titik singgung. A.L. Krober membuat pengklasifikasian ras manusia di dunia berdasarkan empat bagian yang biasanya digunakan untuk analisis di antaranya :

1. Kaukasoid, yaitu penduduk asli di wilayah Eropa, sebagian di Afrika, dan Asia antara lain meliputi; Nordic, Alpine, Mediteranian, Indic.

2. Mongoloid, yaitu penduduk asli wilayah Asia dan Amerika, antara lain; Asiatik, Malayn Mongoloid, American Mongoloid.

3. Negroid, yaitu penduduk asli wilayah Afrika dan Sebagian Asia,antara lain; Afrika Negroid, Negrito, Melanesia.

4. Ras-ras Khusus, yaitu ras yang tidak terklasifikasikan dalam keempat ras ini antara lain : Bushman, Weddoid, Australoid, Polynesia, Ainu.

> Jika dilihat dari warna kulit, penduduk Indonesia memiliki kulit berwarna sawo mateng, Tapi sebenarnya warna kulit masyarakat Indonesia bisa diperinci beberapa bagian lagi, yaitu:

1. Papua Melanosoid, yaitu berkulit hitam dan berbibir tebal.

2. Negroid, berkulit hitam, berbentuk tubuh kecil, dan berambut keriting.

3. Weddoid, berkulit sawo matang, bentuk tubuhnya kecil, dan rambutnya bergelombang. 4. Melayu Mongoloid, berkulit hitam sampai kekuning-kuningan, berambut lurus atau ikal, dan

muka agak bulat. Bagian inidibagi dua yitu: Melayu Tua (Proto Melayu), Melayu Muda (Deutro Melayu).

> Diferensiasi Intelektual

(6)

>Diferensiasi Sosiokultural

Diferensiasi sosiokultural merupakan implikasi aspek-aspek sosial dan budayayang secara riil dapat dilihat sangat beraneka ragam yang menyebar di berbagai belahan bumi ini. Kondisi ini sangat berpengaruh pada diferensiasi suku dan kebudayaan. Pemerataan penduduk sebagai akibat pemisahan oleh bentangan pulau sulit dilaksanakan.

>Diferensiasi Suku Bangsa

Suku bangsa , meminjam batasan Koentjoroningrat, adalah kelompok masyarakat yang memiliki corak kebudayaan khas. Beberapa kriteria untuk menentukan batas-batas dari masyarakat suku bangsa yang dijadikan dasar kriteria dan wilayah uraian suatu budaya suku bangsa di antaranya:

1. Kesatuan sosial yang didasarkan pada batas-batas wilayah tertentu 2. Kesatuan sosial yang didasarkan pada identitas masyarakat. 3. Kesatuan sosial atas dasar wilayah secara geografis

4. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh ikatan ekologis

5. Kesatuan sosial yang dicirikan oleh pola-pola interaksi sistem sosialnya. >Diferensiasi Agama

Emile Durkheim memberikan batasan agama sebagai suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang suci (sakral), dan bahwa kepercayaan dan praktik tersebut mempersatukan ke dalam komunita moral yang disebut iman.Adapun menurut tata aturan yang berlaku secara legal formal, di Indonesia terdapat beberapa agama yang keberadaannya di jamin oleh pemerintah melalui undang-undang yang berlaku. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Durkheim bahwa agama selain menjadi perekat sosial, tetapi juga menyimpan potensi perpecahan sosial. Perpecahan akan muncul ketika masing-masing kelompok saling mengukuhi bahwa agama dan kepercayaan yang dianutnya adalah paling benar, dan menganggap agama dan kepercayaan yang dianut kelompok lain sesat.

Selain konflik antar-penganut agama dan kepercayaan juga terdapat konflik internal agama, ketika agama-agama tersebut tersegmentasi ke dalam sekte-sekte yang berbeda atas dasar sistem penafsiran kebenaran ajaran agama menurut sekte tertentu.

> Diferensiasi Klan

(7)

>Diferensiasi Profesi

Yang disebut profesi adalah bidang pekerjaan atau keahlian yang menjadi kebiasaan yang dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Biasanya profesi akan dihargai oleh masyarakat atau instansi seiring dengan bobot pekerjaan itu.

Beberapa hal yang merupakan bentuk konsekuensi dari kemajemukan sosial bangsa di antaranya :

Interaksi Sosial (Gejala Tumpang-Tindih)

Interseksi arti dasarnya adalah persilangan. Arti tersebut kemudian meluas yaitu titik perpotongan atau pertemuan antara dua garis atau dua arah. Interseksi berasal dari kata inter dan section, sedangkan section atau seksi artinya suatu golongan etnik dalam suatu masyarakat majemuk. Secara sederhana, interseksi merupakan persilangan atau pertemuan keanggotaan suatu kelompok sosial dari berbagai seksi baik berupa suku, agama, jenis kelamin, kelas sosial, dan lain-lain dalam suatu masyarakat yang majemuk. Menurut Soerjono Soekanto, dalam Kamus Sosiologi, sectio atau seksi adalah suatu golongan etnik dalam suatu masyarakat yang majemuk, misalnya etnik Sunda, Jawa, Bugis, Batak, dan Minang.

* Interseksi sosial di dalam struktur masyarakat majemuk berdampak pada :

> Peningkatan solidaritas, yaitu akibat pembentukan kelompok sosial dari seksi yang berbeda-beda diantaranya makin kuatnya hubungan atau ikatan antar-anggota masyarakat. > Timbulnya potensi konflik, jika perbedaan yang mereka miliki seperti latar belakang suku,

agama, ras, dan sebagainya lebih menonjol dan semakin tajam,maka konflik yang berakhir pada perpecahan akan terjadi dalam orgnisasi konflik dapat pula terjadi dalam masyarakat luas yang menempati di suatu kompleks perumahan sebab mereka berasal dari berbagai latar belakang sosial budaya yang berbeda.

>Hubungan Ekonomi

Melalui perdagangan, misalnya kelompok masyarakat yang mendiami pulau-pulau di Nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan berbagai bangsa di dunia sejak zaman dahulu kala. Dan melalui perindustrian, Interseksi melalui perindustrian menjadi semakin intensif di era yang mengutamakan produk-produk industri berteknologi tinggi.

>Hubungan Sosial

1. Melalui perkawinan, diantara pendatang yang melakukan perdagangan, perindustrian, penjelajahan, dan penyebaran agama, banyak yang melakukan pernikahan dan membentuk kehidupan keluarga dengan penduduk asli Indonesia.

(8)

keturunan mereka akan bersekolah di wilayah-wilayah yang mayoritas siswanya berbeda ras dan kebudayaan.

> Politik

Hubungan diplomatik atau hubungan antar negara juga akan menyebabkan terjadinya proses interseksi di antara para pejabat dan utusan negara masing-masing.

>Konsolidasi

Konsolidasi adalah proses penguatan atau peneguhan keanggotaan individuatau beberapa kelompok sosial yang berbeda dalam suatu kelompok sosial melalui tumpang-tindih keanggotaan. Hubungan bersifat konsolidasi terjadi karena beberapa kelompok sosial ternyata memiliki persamaan tertentu yang saling terkait.

Konsolidasi juga akan terjadi ketika suatu kelompok melihat gejala kelompok lain lebih kuat dan kompak, sehingga memicu kelompok yang tidak kuat dan tidak kompak akan menjalin konsolidasi sebagai jalan untuk memperkuat kelompoknya.

Akulturasi

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Akulturasi juga sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda melebur menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan aslinya. Dan Akulturai merupakan proses perubahan yang di dalamnya terjadi penyatuan budaya-budaya yang berbeda.

1. Akulturasi Bahasa

Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sanskerta sebagai pembendaharaan bahasa Indonesia. Prasasti Dinoyo di Malang adalah salah satu wujud dari penggunaan huruf Jawa Kuno.

2. Akulturasi Religi/Kepercayaan

Bentuk kepercayaan di Indonesia pada awalnya adalah kepercayaan yang berdasarkan pada animisme dan dinamisme. Dengan masuknya agama Hindu-Buddha ke Indonesia, masyarakat Indonesia mulai menganut/memercayainya. Tetapi masuknya agama Hindu-Buddha ke Indonesia mengalami perpaduan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme,perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu disebut sinkretisme.

(9)

3. Akulturasi Organisasi Sosial Kemasyarakatan

Wujud organisasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat di lihat dalam organisasi politik, yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India. Pemerintahan raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun menurun seperti di India dan juga ada yang menerapkan prinsip musyawarah.

4. Akulturasi Sistem Pengetahuan

Akulturasi dapat dilihat pada metode perhitungan waktu berdasarkan kalendertahun Saka, tahun dalam kepercayaan Hindu. Selain adanya pengetahuan tentang kalender Saka, juga ditemukan perhitungan tahun Saka dengan menggunakan Candrasangkala, yaitu susunan kalimat atau gambar yang dapat di baca secara angka.

5. Akulturasi Peralatan Hidup dan Teknologi

Salah satu wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi terlihat dalam seni bangunan candi yang mengandung unsur budaya India. Bentuk dasar dan fungsi candi di Indonesia dan India terdapat perbedaan. Adapun fungsi dari candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Candi sendiri di but untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka. Candi sendiri yang berada di India berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama Buddha.

6. Akulturasi Kesenian

Berbagai bentuk seni seperti seni rupa, seni sastra, dan seni pertunjukan adalah wujud dari akulturasi seni. Misalnya, relief dindingcandi (gambar timbul), gambar timbul dari candi tersebut banyak menggambarkan suatu kisah/cerita yang berhubungan dengan ajaran agama Hindu maupun Buddha yang di selaraskan dengan suasana kehidupan asli keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia.

Hubungan Primordialisme

Primordialisme adalah ikatan-ikatan dalam masyarakat yang bersifat keaslian ( seperti kesukuan, kekerabatan, keagamaan, dan kelompok) atau dibawa sejak lahir. Dalam konsep sosiologis primordilisme diartikan sebagai paham dari anggota masyarakat yag mempunyai kecenderungan untuk berkelompok sehingga terbentuklah kelompok-kelompok sosial yang memiliki karakter hubungan atas dasar pemahaman suatu keyakinan tertentu.

(10)

Hubungan Paternalisme

Peternalisme diartikan oleh Hornby sebagai “Practice of governing or controlling people in the paternal way (providing for their needs but giving them no responsibility), yang terjemahannya adalah mempraktikkan pengaruh atau pengendalian di dalam pola-pola hubungan kebapakan (memenuhi kebutuhan mereka tanpa membebankan tanggung jawab). Dalam hubungan ini pola-pola hubungan patron klien (patron clien relationship) seorang patron biasanya dijadikan sebagai panutan untuk berperilaku hingga kepatuhan itu sampai pada titik pengutusn individu. Secara sederhana hubungan patrn klien juga diartikan ebagai hubungan bapak-anak.

>Politik Aliran (Sektarianisme Politik )

Berkembangnya politik aliran sering banyak dilatarbelakangi oleh gejala munculnya in group atau primary group yang memiliki sikap etnosentris. Sumner mengidentifikasi gejala etnosentrisme diwarnaioleh perasaan superior anggota-anggota in group sehingga memunculkan sikap primordialisme yang akhirnya berkembang menjadi sektarianisme politik atau politik aliran.

Kelompok politik aliran terkontaminasi oleh paham-paham tradisional seperti Hindu, Islam, Tradisionalisme Jawa; dan kelompok yang berpaham barat seperti ideologi komunisme, nasio-nalisme radikal dan sosialisme. Beberapa aliran dan golongan tersebut memengaruhi kehidupan organisasi sosial politik di Indonesia. Selain itu, perubahan sistem pemilu dengan mekanisme pemilihan suara terbanyak. Perubahan sistem ini juga menjadi pendorong perubahan perilaku memilih karena pengaruh parti makin pudar sebab yangdi pilih bukan partai tetapi figur atau orang. Keadaan ini justru memunculkan perilaku memilihkarena uang, sehingga keteriktan dengan figur atau orang juga meluntur.

DIFERENIASI DAN DISORGANISASI SOSIAL

Sepanjang perkembangan diferensiasi sosial tetap fungsional dan sifatnya saling mengisi, ketidakpuasan dan perselisihan di dalam masyarakat kecil kemungkinan bakal tersulut. Sekurang-kurangnya ada tiga faktor yang menyebabkan disintegrasi sosial dan kerjasama kelompok dalam diferensiasi sosial pecah, sehingga terjadi disorganisasisosial, yaitu :

1. Faktor Politik

(11)

2. Faktor Ekonomi

Perbedaan antar kelompok bisa berubah menjadi permusuhan atau minimal sikap antipati ketika perbedaan antara masing-masing kelompok itu bersejajar dengn kesenjangan kelas ekonomi. Di banyak negara jugasudah banyak terbukti bahwa persselisihan antar-etnis sering meledak karena dipicu oleh adanya kesenjangan dan isu ekonomi.

3. Faktor Sosial Budaya

Yang dimaksud faktor sosial budaya di sini terutama adanya ikatan primordialisme antara kelompok satu dengan kelompok yang lain atas dasar solidaritas etnis, ras, kelas, atau sentimen kedaerahan. Contoh sederhana bahwa primordialisme bisa memicu konflik antarkelompok bisa dilihat dari perselisihan antara para pendukung fanatik sepak bola.

MEMBANGUN TOLERANSI DALAM PLURALISME

Dalam sepuluh dekade terakhir semenjak era Reformasi dapat dikatakan sebagai era kemerosotan pamor ideologi bangsa. Dengan demikian dewasa ini kemajemukan masyarakat bukan menjadi modal dasar pembangunan tetapi justru menjadi beban berat bagi bangsa Indonesia.

Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar dari setiap agama adalah tolerans. Akibatnya, yang muncul adalah intoleransi dan konflik. Dan dalam hal ini pluralisme tidak dipahami sebagai bentuk kesediaan menerima kenyataan bahwa dlam masyarakat ada cara hidup, berbudaya, dan berkeyakinan agama yang berbeda, akan tetapi lebih di pahami sebagai benar dan salahnya suatu agama.

Padahal di sisi lain, pluralisme adalah syarat mutlak agar bangsa Indonesia yang begitu plural dapat bersatu, dan bangsa yang tidal menghargai pluralisme adalah bangsa yang membunuh dirinya sendiri. Melemahnya rasa kebangsaan juga muncul dengan ditandai oleh makin pudarnya rasa kebersamaan, menguatnya ikatan primordial dan antitoleransi. Dan seharusnya keragaman suku, agama, ras, dan antara golongan dapat dijadikan modal bersama untuk membangun Indonesia jika semua elemen bangsa,yang ditempatkan sebagai kekayaan sosial yang berharga ini, diperlakukan secara adil dan memiliki kesempatan untuk berkembang dan berperan membangun negeri.

(12)

Menurut Nort, masyarakat majemuk dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu : 1) Kemajemukan masyarakat yang disebabkan adanya ketimpangan distribusi dan keterbatasan

barang-barang berharga. Kemajemukan ekonomi ini menimbulkan kemajemukan vertikal. 2) Menurut diferensiasi fungsional, yaitu berdasarkan pembagian kerja dalam suatu organisai

yang muncul karena melakanakan pekerjaanyang berlainan, baik berdasarkan keahlian, keterampilan, pendidikan maupun yang lainnya.

3) Kemajemukan menurut adat, yaitu aturan-aturan untuk berperilaku yang dianggap tepat bagi suatu masyarakat sesuai dengan waktu dan tempat yang digunakan.

> Tiap-tiap masyarakat memiliki aturan (nilai-nilai dan norma) bagi warganya, dan aturan yang berlaku pada masyarakat yang diterapkan oleh masing-masing masyarakat berbeda satu sama lain. Aturan tersebut meliputi tata cara, kebiasaan, atau adat istiadat.

> Magnis Suseno menyatakan bahwa jika seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat menghayati kebudayaan lokalnya secara sempit dan seluruh identitasnya berdasarkan kelompok kecilnya sendiri, maka hal ini dapat menjadi suatu ancaman bagi integrasi nasional. Menurut Harolrd Coward, klaim-klaim kebenaran (truith claim) dan klaim keselamatan (salvation claim), ditambah doktrin agama yang sempit, tentu akan mengental menjadi ideologi yang akan mendorong tumbuhnya fanatisme yang berlebihan. Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya konflik di dalam struktur masyarakatmajemuk. Dua faktor tersebut adalah ; cross cutting affiliations yaitu masyarakat akan terintegrasi karena berbagai anggota dari kelompok masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial. Dan cross cutting loyalities yaitu konflik sosial antarkelompok sosial dapat dinetralisasi jika masing-masing kelompok terdapat loyalitas ganda dari para anggota masyarakat terhadap terhadap kelompok sosial.

> Kekhawatiran akan terjadinya fanatisme sempit dan sentimen primordial juga akan dapat dinetralisasi karena kegandaan loyalitas yang dimiliki oleh masing-masing anggota kelompok.

> Keserasian sosial, kehidupan sosial yang harmoni dan kerukunan pada dasarnya adalah sebuah mozaik yang di susun dari sebuah perca-perca (serpihan) perbedaan. Artinya konflik yang berakar pada perbedaan antarkelompok sosial akan menjadi harmoni sosial jika di kelola oleh orang-orang yang bijak dan profesional dalam mengelola kemajemukan sosial. > Jika sosialisasi ini ditanamkan sejak dini, maka mereka akan menyadari bahwa perbadaan bukanlah konflik-konflik terbuka (manifes) atau pertengkaran, akan tetapi justru yang akan hadir adalah rasa toleransi dan kesadaran untuk menerima bahwa dalam kehidupan nyata selalu ada wilayah yang mesti di bagi dengan pihak lain. Dan yang penting dalam kehidupan masyarakat majemuk adalah adanya pengakuan dan penerimaan akan perbedaan.

(13)

warga negara, sedangkan tolerani yang dimaksud adalah menanamkan nilai dasar pada setiap penganut agama agar bisa bersikap menghormati perbedaan dan kesediaannya untuk berbagi tempat dengan kelompok lain, terutama kelompok minoritas serta mengembangkan dialog untuk mencapai kemaslahatan bersama.

> Singkatnya toleransi setara dengan bersikap positif dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai manusia. Ada dua model toleransi, yaitu Pertama, toleransi pasif, yakni sikap menerima perbedaan sebagai sesuatu yang bersifat faktual. Kedua, toleransi aktif, melibatkan diri dengan yang lain di tengah perbedaan dan keragaman. Adapun hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai di antara keragaman dan sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling menerima di tengah keragaman budaya, suku, agama, dan kebebasan berekspresi. > Jadi, dapat dipahami bahwa masyarakat plural adalah masyarakat majemuk yang di tandai adanya beragam suku bangsa, agama, budaya atau adat istiadat yang di dalamnya terdapat kerja sama dengan sikap toleransi dalam menghadapi berbagai tantangan untuk memperkuat ketahan sosial untuk komunitas.

TOLERANSI MEMPERKUAT KETAHANAN SOSIAL

>Sementara ini, solusi yang ditawarkan untuk memperkuat ketahanan sosial suatu masyarakat adalah melalui pendekatan toleransi sebagai nilai kebajikan dalam kehidupan bersama. Untuk membangun toleransi sebagai nilai kebajikan paling tidak ada dua modal yang di butuhkan, yaitu : Pertama, toleransi membutuhkan interksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif. Kedua, membangun kepercayaan di antara berbagai kelompok dan aliran. Prinsip dasar semua agama adalah toleransi, karena semua agama pada dasarnya mencintai perdamaian dan anti-kekerasan.

> Melalui kedua pendekatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tolerani untuk memperkuat ketahanan sosial masyarakat. Untuk memperkuat ketahanan sosial masyarakat. Untuk memperkuat ketahanan sosial suatu komunitas melalui toleransi, dapat dijelaskan dengan menggunakan indikator ketahanan sosial sebagai berikut:

1. Kemampuan masyarakat melindungi warganya yang di dalam realitasnya bersifat majemuk baik secara vertikal maupun secara horizontal.

2. Partisipasi masyarakat dalam organisasi melaui kegiatan-kegiatan organisasi yang menjalin hubungan antarwarga masyarakat.

3. Kemampuan masyarakat untuk mencegah dan mengelola konflik dengan cara membangun toleransi dengan pendekatan sistem sosial, yaitu melalui hubungan antara anggota-anggota dari berbagai kelompok.

(14)

menumbuhkan sikap toleransi melalui penggunaan pendekatan sistem budaya dalam kehidupan pada masyarakat majemuk.

Hal-hal tersebut lah yang akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara sumber daya alam dan sosial.

MEMBANGUN PLURALISME AGAMA

>.Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa pluralisme merupakan kenyataan dan persoalan, termasuk di dalamnya adalahbagimana caranya keberagaman agamamembawa kemaslahatan dan bukan menjadi permasalahan bangsa.

>.Fenomena pluralisme agama menimbulkan konflik baik secara laten maupun manifes yang berasal dari sikap ketidaksanggupan pihak-pihak tertentu menerima kehadiran “yang lain”. Permasalahan inilah yang menjadi pemicu utama konflik antar-penganut agama hingga bermuara pada tindakan kekerasan antarkelompok.

>.Dewasa ini kebebasan seolah-olah menjadi barang mahal karena terenggut oleh arogansi dan dominasi pihak kuat. Dalam kondisi itu, “komunitas merdeka”(community of freedom) menjadi prasyarat hadirnya pluralisme agama. Dalam melakukan kehidupan bersama juga bukan hanya sosial dan praktis, tetapi juga harus secara ”teologis”. Toleransi bukan hanya sekedar menerima keragaman, tetapi bagaimana agar keberagaman membawa manfaat. Oleh sebab itu, peran publik agama harus dilakukan bersama dalam dialog membentuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Untuk itu dari tiap kelompok agama diperlukan “kebajikan agung” yang mencakup semangat kerja sama, adil, kebernalaran, dan toleransi. Selain itu, dibutuhkangood will kemaslahatan bangsa.

Kehadiran konsep pluralisme agama dibangun untuk mencapai dan menjadi agen kemaslahatan bangsa.

Pengertian masyarakat majemuk masyarakat multikultural serta ke mana Indonesia termasuk merupakan suatu topik yang menarik untuk disampaikan. Bhinneka Tunggal Ika, demikian slogan yang dicengkeram oleh Garuda, burung lambang negara kesatuan Republik Indonesia. Ironisnya, atas dasar tersebut, asumsi yang kini terus bertahan adalah Indonesia selalu dianggap majemuk bukan multikultur. Asumsi ini harus mulai dipertanyakan karena pola masyarakat majemuk sarat bias kolonial Belanda. Sejumlah ahli kemasyarakatan Indonesia, semisal Parsudi Suparlan, berupaya mendekonstruksi asumsi majemuk masyarakat Indonesia menjadi multikultural. Asumsi majemuk dianggap tidak sehat dalam menciptakan harmoni dan integrasi Indonesia yang ditengarai berbagai kerusuhan berbias etnis maupun agama. Pada kesempatan ini perlu dinyatakan kaum intelektual Indonesia pun dianggap bertanggung jawab karena turut mempertahankan konsepsi masyarakat majemuk Indonesia ke dalam wacana publik.

(15)

Untuk itu, akan ditelusuri sejumlah teori sosial berkenaan dengan konsep majemuk dan multikultur masyarakat. Ini guna mencari pijakan teoretis dalam melakukan counter theory terhadap hegemoni konsep masyarakat majemuk dalam studi-studi sosial dan politik Indonesia. Tentunya, kita berharap yang baik, bahwa integrasi antar elemen masyarakat Indonesia tercipta tidak berdasarkan paksaan melainkan melalui proses negosiasi secara alamiah dan penuh kedamaian.

Masyarakat Majemuk Indonesia

John Sydenham Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia masuk ke dalam kategori masyarakat majemuk (plural society). Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya membuat mereka kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai

keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.[1]

Studi Furnivall saat itu dikhususkan pada masyarakat yang mengalami tindak kolonial barat seperti Burma, India, ataupun Indonesia. Mengenai fakta plural society ini, Furnivall menulis dalam salah satu studinya mengenai Burma:

In Burma, as in Java, probably the first thing that strikes the visitor is the medley of peoples ---European, Chinese, Indian, and native. It is in the strictest sense a medley, for they mix but do not combine. Each group holds by its own religion, its own culture and language, its own ideas and ways. As individuals they meet, but only in the market-place, in buying and selling. There is a plural society, with different sections of the community living side by side but separately, within the same political unit. Even in the economic sphere there is a division of labour along racial lines.[2]

Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok, yang tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah menurut garis budaya masing-masing.

Kemajemukan suatu masyarakat patut dilihat dari dua variabel yaitu kemajemukan budaya dan kemajemukan sosial. Kemajemukan budaya ditentukan oleh indikator-indikator genetik-sosial (ras, etnis, suku), budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah. Kemajemukan sosial ditentukan indikator-indikator seperti kelas, status, lembaga, ataupun power.

Di dalam kenyataan, kedua variabel kerap berhimpitan sehingga menambah kompleksitas masalah. Dalam masyarakat India misalnya, kemajemukan budaya terbentuk dari anutan penduduk atas sejumlah agama besar yaitu Hindu, Islam, Kristen, dan Sikh. Kendati kini mulai memudar, dalam masyarakat Hindu, berlaku kasta dan ini merupakan konsekuensi logis dari ajaran agama. Di dalam masyarakat yang menganut agama Islam, kasta tidak berlaku dan situasi masyarakat lebih egaliter. Kemajemukan budaya tersebut merambah pada kemajemukan sosial. Kasta di dalam masyarakat Hindu menciptakan kelas-kelas dan status-status sosial, sementara pelapisan kelas dan status-status tersebut berjalan secara berbeda di dalam masyarakat India yang Islam. Terjadi perbedaan penafsiran tajam antara kedua elemen masyarakat India tersebut. Masing-masing masyarakat memerlukan space atau wilayah untuk mengimplementasikan keyakinan budaya dan sosial yang berbeda. Friksi tajam ini

(16)

Pengamatannya atas Burma yang ia samakan dengan Jawa, Furnivall menyatakan masyarakat majemuk terpisah menurut garis budaya yang spesifik, di mana kelompok-kelompok di dalam unit politik menganut budaya yang berbeda. Kelompok yang satu berbaur dengan kelompok lainnya tetapi masing-masing tidak saling mengkombinasikan budayanya.

Kelompok-kelompok masyarakat berbeda tersebut saling bertemu dalam kegiatan sehari-hari (semisal di pasar), tetapi masing-masing mempraktekkan budayanya masing-masing. Di pasar-pasar tradisional, para pedagang berasal dari etnis berbeda, sehingga kerap memperdengarkan percakapan dalam aneka bahasa: Jawa, Batak, Padang, Madura, Sunda, dan lain-lain.

Pedagang pun terkotak berdasarkan komoditas yang didagangkan misalnya pedagang Minang di bagian pakaian, pedagang Batak di kelontong/grosir, pedagang Jawa di sayur-mayur dan bahan mentah, pedagang Madura di lapak ikan, pedagang Banten di los daging, dan

seterusnya.

Parsudi Suparlan memberi catatan tentang masyarakat majemuk ini. Dalam tulisannya Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, Suparlan menulis:

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komuniti-komuniti sukubangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jatidiri.

.> Berdasarkan ciri-ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang, gerakan-gerakan tubuh yang dibarengi dengan bahasa yang digunakan dan logat yang diucapkan, dan berbagai simbol-simbol yang digunakan , dia akan diidentifikasi sebagai tergolong dalam sesuatu sukubangsa dari sesuatu daerah tertentu oleh seseorang lainnya. Bila ciri-ciri tersebut tidak dapat dipergunakan , maka seseorang tersebut akan menanyakan dari mana asalnya

>Masyarakat majemuk atau plural society adalah sebuah masyarakat yang terwujud karena komuniti-komuniti sukubangsa yang ada telah secara langsung atau tidak langsung dipaksa untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional

Dalam masyarakat majemuk Hindia Belanda, tidak ada tatanan demokrasi. Dalam tatanan itu, dengan jelas dibedakan antara tuan yang penguasa dan hamba yang pribumi. Pembedaan antara tuan dan hamba dilakukan berdasarkan atas ciri-ciri fisik atau rasial, kesukubangsaan, keyakinan keagamaan, dan jenjang sosial menurut patokan feodalisme yang secara tradisional berlaku.

(17)

Memang selama pemerintahan Soeharto kondisi terkesan harmonis meskipun sekadar berupa api dalam sekam. Kondisi harmonis karena negara sangat strong dengan alat pengaman negara (militer, intelijen) yang padu. Terbukti, saat politik kekuasaan Soeharto melemah, banyak konflik yang dilatari etnis, agama, ras, dan antargolongan justru terjadi dengan mudahnya, bahkan berlarut-larut. Malah setelah terpojok Soeharto justru menggunakan tabu SARA-nya sendiri untuk membangun kuda-kuda politik barunya di era 1990-an: Merangkul kalangan Islam modernis dan merenggangkan jarak dengan kelompok nasionalis dan non Muslim yang selama ini menjadi sekutu dekatnya.

Mengenai hubungan antarkelompok dalam masyarakat majemuk, Leo Kuper memberi catatan berikut:

1. Societies composed of status groups or estates that are phenotypically distinguished, have different positions in the economic order and are differentially incorporated into the political structure, are to be called plural societies and distinguished from class societies. In plural societies political relations influence relations to the means of production more than any influence int the reverse direction.

2. When conflicts develop in plural societyes ther follow the lines of racial cleavage more closely tahan those of class.

3. Racial categories in plural societies are historically conditioned; they are shaped by inter-group competition and conflict.

Bagi seorang ahli Indonesia lain, Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing subsistem terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Hal yang menarik kemudian dinyatakan Pierre L. van den Berghe seputar ciri dasar dari

masyarakat majemuk ini, yaitu:

1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain;

2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer;

3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar;

4. Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain;

5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; serta

6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.

(18)

majemuk mudah terbelah akibat tiadanya common will (kehendak bersama). Akibatnya, individu dalam masyarakat hanya loyal kepada kelompok basis primordial mereka. Common will yang bersifat nasional kendatipun ada hanyalah sebatas jargon. Ini merupakan hasil sukses politik Divide et Impera kaum kolonial. Kondisi masyarakat majemuk, bagi Sammy Shooha, [...] created by Western imperialism, and maintained through political coercion for economic exploitation of nonwhite populations. They consist of a medley of peoples who share little more than the imposed economy and policy

Konflik-konflik akibat struktur masyarakat majemuk juga terjadi antara masyarakat eks penjajahan bangsa-bangsa barat yang secara tajam dipisahkan kemajemukan seperti Hindu dan Muslim di India (diikuti pemisahan Pakistan), Burma (etnis Karen), Aljazair (masalah agama, bahasa Berber, Arab, Perancis), Zanzibar (etnis Watumbatu, Wahadimu, dan Wapemba), Rwanda (Hutu dan Tutsi), Burundi (Hutu dan Tutsi), Kongo (Hutu dan Tutsi), Angola (Ambundu, Bakongo, dan Ovimbundu), Mozambik (Frelimo, Renamo), Afrika Selatan (warisan Aparteid), Nigeria (suku Ibo versus Hausa versus Yoruba), Uganda (Acholi dan Baganda), Sudan (Arab dan nonarab), Ethiopia (Ethiopia dan Eritrea), Siprus (Yunani dan Turki), Irlandia Utara (Protestan dan Katolik), Israel (Palestina-Yahudi, Yahudi Relijius-Yahudi Sekuler, Relijius-Yahudi Oriental-Relijius-Yahudi Ashkenazi), Vietnam, Bangladesh, Lebanon (Kristen Maronit versus Kristen Druze versus Islam Sunni versus Islam Syiah), Malaysia (India versus Cina versus Melayu), Srilangka (etnis Sinhala versus Tamil), dan Indonesia (lewat serangkaian kerusuhan bermuatan etnis dan agama di Sampit, Poso, dan Ambon). Sebagai negara yang pernah mengalami kolonialisasi Belanda, Indonesia menderita ekses negatif masyarakat majemuk. Selama penjajahan, masyarakat dibelah berdasarkan unsur primordial suku, agama, ras dan golongan. Pembelahan dilakukan secara sistematis,

terstruktur, menggunakan agen-agen khusus Belanda seperti Hendrikus Colijn. Pembelahan terus bertahan bahkan hingga pasca Indonesia merdeka. Isu-isu Islam versus Non Islam, Jawa versus Luar Jawa, Luar versus Pribumi, masih laku sebagai komoditas politik maupun amunisi pemicu konflik kekerasan. Terlebih, Pancasila sebagai konsensus nasional mulai dianggap sepi masing-masing komunitas politik dan budaya Indonesia. Ruang kosong ideologi semakin memperlemah kohesi masyarakat multikultur Indonesia.

Simbol, bahasa, nilai, dan norma nasional kendati ada – penggunaan bahasa Indonesia, simbol negara seperti bendera dan lagu kebangsaan, nilai seperti Pancasila, dan norma seperti aturan hukum dan perundang-undangan – belum sepenuhnya mampu memadamkan kekuatan politik etnis dan sektarian. Pertikaian sepanjang garis etnis, agama, dan golongan mewarnai peta kehidupan bermasyarakat dan bernegara Indonesia.

(19)

Masyarakat Multikultural Indonesia

Tidak dipungkiri, Indonesia negara dengan kultur beraneka ragam. Bahkan, Indonesia – oleh Parsudi Suparlan – tegas dimasukkan ke dalam kategori plural society atau masyarakat majemuk dengan sejumlah dimensi negatifnya. Kultur yang beraneka ragam (multikultur) oleh kolonial Belanda direkayasa sedemikian rupa (ironisnya dilanjutkan oleh elit-elit politik lokal dan nasional) guna menjamin posisi kekuasaan. Masyarakat dibelah menurut kategori suku, agama, ras, dan golongan: Jadilah masyarakat majemuk. Pembelahan dilakukan dengan cara melakukan permanensi atas perbedaan lalu membenturkan satu sama lain. Hingga kini, efek pembelahan masih terasa bahkan banyak meledak dalam rentetan panjang konflik horisontal di Indonesia.

Sejumlah ilmuwan sosial menawarkan gagasan lebih bijaksana dalam mengatasi perbedaan tajam antar komunitas dalam masyarakat. Gagasan baru tersebut guna menggantikan gagasan usang masyarakat majemuk yaitu multiculturalism. Multikulturalisme dapat disebut

paradigma sebab merupakan cara berpikir tandingan dalam metode hubungan antarsuku, agama, ras, dan antargolongan dalam sebuah kesatuan politik. Multikulturalisme adalah gagasan politik yang hendak mengubah gagasan masyarakat majemuk yang konfliktual ke arah gagasan masyarakat multikultural yang konsensual.

Untuk menyamakan sudut pandang, baiklah kami sertakan terlebih dahulu dua definisi multikulturalisme. Definisi pertama kami ambil dari Tariq Modood sementara yang kedua dari Steven Bochner. Tariq Modood mendefinisikan multikulturalisme sebagai gagasan politik, yaitu:

the recognition of group difference within the public sphere of laws, policies, democratic discourses and the terms of a shared citizenship and national identity ---while sharing something in common with the political movements

Modood berpendapat keragaman primordial harus tetap diakui eksistensinya. Namun,

perbedaan tersebut hendaklah jangan diterjemahkan ke dalam bentuk dominasi satu terhadap lain juga bukan dalam bentuk separatisme politik. Keragaman – lewat prosedur politik – diakui dalam kehidupan publik. Ia terjelma dalam struktur hukum, kebijakan, dan wacana politik. Titik tekan yang mempertemukan semua keragaman adalah kewarganegaraan dan identitas nasional suatu negara. Indonesia memiliki Pancasila sebagai konsensus tatacara hubungan antar komunitas budaya dalam bingkai komunitas politik Indonesia.

Selain dari Modood, definisi multikulturalisme lainnya diajukan Steven Bochner yang menekankan keunikan hubungan dalam sebuah masyarakat multikultural:

> refers to social arrangement characterized by cultural diversity. In practice, this mean non-trivial interpersonal contact between individuals and groups who differ in their ethnicity. In multicultural societies, such contact occurs within a climate of tolerance and mutual respect. A distinction is drawn between the process of multicultural contact, which include the behaviors, attitudes, perceptions and feelings of the participants; and the institutional

(20)

Bochner lebih menekankan pendekatan interaksi-simbolik dalam lingkup sosial psikologis tinimbang politik. Baginya, multikulturalisme merupakan kesepakatan sosial yang

dikarakteristikkan keragaman kultural. Masing-masing entitas yang berbeda dimensi

kulturalnya melakukan kontak satu sama lain berdasarkan sikap toleransi dan saling hormat-menghormati. Dasar aturan setiap kontak dijamin dalam undang-undang, kebijakan

pemerintah, bahkan di dalam praktek keseharian dunia pekerjaan (peraturan-peraturan organisasi).

Konsep masyarakat majemuk, seiring perkembangan demokratisasi pada konteks global, semakin kehilangan signifikansinya karena efek dominasi mayoritas atas minoritas atau etnis dominan atas kurang dominan di dalam konsep usang tersebut. Konsep warisan kolonial ini perlu didekonstruksi untuk kemudian digantikan konsep multikulturalisme. Mengenai

multikulturalisme, Baogang He and Will Kymlicka memberi catatan bahwa aneka bangsa dan negara di dunia kini harus menyadari bahwa keragaman adalah realitas yang tidak bisa ditolak. Keragaman elemen yang membentuk masyarakat politik (negara) tidak bisa

dihomogenisasi, apalagi jika dilakukan lewat metode pemaksaan (koersif). Baogang He dan Will Kymlicka lalu melancarkan pernyataan seputar perlunya cara pandang baru dalam mengatasi masalah perpecahan masyarakat karena garis etnis dan agama sebagai berikut:

 In the first few decades following decolonization, talk of multiculturalism and pluralism was often discouraged, as states attempted to consolidate themselves as unitary and homogenizing nation-states. Today, however, it is widely recognized that states in the region must come to terms with the enduring reality of ethnic and religious cleavages, and find new ways of accommodating and respecting diversity.

 Bagi He and Kymlicka, upaya homogenisasi budaya di suatu negara sudah kehilangan justifikasinya. Ini akibat adanya kenyataan bahwa dalam homogenisasi budaya di negara berkategori plural society (masyarakat majemuk) yang justru terjadi adalah dominasi budaya satu atas budaya lain. He and Kymlicka memandang perbedaan adalah kodrat dan patutnya diterima saja. Hal penting yang perlu dicari solusinya bagaimana jalinan

hubungan antar komunitas berbeda dapat berjalan secara harmonis.

 He and Kymlicka melanjutkan, upaya homogenisasi nasional selama ini kerap

memancing perlawanan kaum minoritas etnis (juga agama) yang termanifestasi lewat keputusan pemisahan diri, kekerasan, bahkan perang sipil seperti yang terjadi di Filipina, Papua New Guinea, Cina, Burma, Indonesia, Srilanka, India, ataupun Pakistan. Konflik kekerasan merupakan salah satu ekses negatif dari pembelahan masyarakat yang

(21)

Studi multikulturalisme kemudian disistematisasi serta dipopulerkan Will Kymlicka lewat dua karyanya Liberalism, Community and Culture yang terbit tahun 1989 serta Multicultural Citizenship yang terbit tahun 1995. Bagi Kymlicka, pemberian ruang bagi kalangan minoritas suatu negara tidak bisa dicapai hanya lewat jaminan hak-hak individual dalam undang-undang. Minoritas yang dimaksud Kymlicka adalah minoritas budaya, yang secara praktek sosial sehari-hari harus diperhatikan keunikan identitasnya.[14] Kymlicka bicara dalam konteks multikultural dalam satu komunitas politik (negara), yang mungkin saja terdiri atas komunitas-komunitas budaya yang berbeda.

Studi multikulturalisme condong pada studi kewarganegaran, karena khusus mengulas sejumlah perbedaan budaya di tengah komunitas politik (negara). Kymlicka menentang pendapat individu yang hidup dalam komunitas politik otomatis merupakan bagian komunitas budaya yang sama. Secara politik, individu adalah bagian dari satu komunitas politik, tetapi dalam hal budaya, ia merupakan komunitas budaya spesifik. Dalam masalah

multikulturalisme ini, Kymlicka membedakan komunitas politik dengan komunitas budaya sebagai:

On the one hand, there is the political community, within which individuals exercise the right and responsibilities entailed by the framework of liberal justice. People who reside within the same political community are fellow citizens. On the other hand, there is the cultureal

community, within which individuals form and revise their aims and ambitions. People within the same cultural community share a culture, a language and history which defines their cultural membership.

Komunitas politik – biasa disebut negara – merupakan tempat setiap anggota masyarakat secara legal menjadi warganegara. Hak serta kewajiban mereka sama, tanpa memandang budaya, suku, agama, ras, dan golongan. Komunitas budaya adalah individu mempraktekkan keunikan budaya masing-masing. Mereka menciptakan komunitas-komunitas kebudayaan, tempat dimana mereka menemukan individualitasnya.

Selama ini hubungan antara komunitas politik dengan komunitas budaya tidak selalu harmonis. Komunitas politik kerap memaksakan sebuah komunitas budaya nasional atas aneka komunitas budaya spesifik yang ada di wilayah yuridiksi suatu negara. Dapat diingat kewajiban asimilasi nama Indonesia atas etnis Cina di masa Orde Baru atau pelarangan demonstrasi kebudayaan Cina secara publik? Pemerintah Indonesia atas nama komunitas politik menekan komunitas budaya Cina dalam meng-exercise kebudayaannya. Kasus serupa terjadi di Amerika Serikat, sebagai komunitas politik yang tidak memberikan hak pilih dan hak sosial setara kepada komunitas budaya Afro-American sekurangnya hingga tahun 1964. Agar analisis mengenai multikulturalisme mendapat porsi yang tepat, Kymlicka

mengingatkan bahwa pola hubungan minoritas-mayoritas di suatu negara tidak dilepaskan dari sejarah terbentuknya sebuah masyarakat:

(22)

>Menurut Kymlicka, masyarakat modern kini banyak menghadapi tuntutan dari kalangan minoritas atas keunikan budaya mereka. Dalam menyikapi tuntutan ini, komunitas politik (negara) hendaknya tidak melupakan sejarah masuknya aneka kelompok minoritas budaya ke dalam komunitas politik. Secara sejarah ada di antara mereka yang masuk karena penaklukan ataupun kolonialisasi atas wilayah yang dahulunya otonom maupun migrasi (perpindahan) sukarela suatu kelompok budaya ke dalam wilayah-wilayah yang masuk yuridiksi sebuah negara moderen. Asal-usul elemen yang mengikatkan diri di dalam sebuah komunitas politik moderen (negara) menandai kerumitas pola hubungan yang ada sekaligus mampu memberi jalan keluar bagi terciptanya hubungan antar komunitas budaya yang lebih manusiawi dan harmonis.

Guna melihat jenis multikultur di suatu komunitas politik, Kymlicka menganalisisnya lewat pola masuknya suatu komunitas budaya ke dalam komunitas politik. Variabel penentunya adalah genealogi proses suatu komunitas budaya menjadi anggota komunitas politik.

Genealogi ini dibagi ke dalam dua pola, yang menurut Kymlicka (dikutip agak panjang saja):  In the first case, cultural diversity arises from the incorporation of previously

self-governing, territorially concentrated cultures into a larger state. The incorporated cultures, which I call ‘national-minorities’, typically wish to maintain themselves as distict society alongside the majority culture, and demand various forms of autonomy of self-government to ensure their survival as distinct societies.

 In the second case, cultural diversity arises from individual and familial immigration. Such immigrants often coalesce into loose associations which I call ‘ethnic groups’. They typically wish to integrate into larger society, and to be accepted as full member of it. While they often seek greater recognition of their etnic identity, their aim is not to become a separate and self-governing nation alongside the larger society, but to modify the institutions and laws of the mainstream society to make the more accomodating of cultural differences.[17]

Kymlicka menyebut pola pertama sebagai pola minoritas nasional dan yang kedua sebagai pola kelompok etnis. Dalam pola pertama, sebuah negara terbentuk dari budaya-budaya yang awalnya mandiri secara politik, bahkan dapat dikategorikan sebagai unit politik atau negara sendiri. Masyarakat-masyarakat politik dan budaya mandiri tersebut lalu sepakat membentuk sebuah negara yang lebih besar. Namun, kendati sudah masuk ke dalam negara yang lebih besar, mereka tetap menuntut privilese untuk mengatur diri sendiri sejauh tetap berada dalam kesepakatan politik dengan komunitas politik (negara) yang lebih besar tadi. Negara yang terbentuk lewat pola minoritas nasional disebut Kymlicka sebagai memiliki dimensi multinasional.

Dalam pola kedua, keragaman budaya muncul dari arus migrasi atau perpindahan penduduk, baik yang sifatnya sukarela maupun termobilisasi. Pendatang yang baru masuk memiliki budaya berbeda dengan budaya penduduk lokal tempat lokasi tujuan pindah. Berbeda dengan pola pertama, dalam pola kedua ini komunitas budaya beragam, ada yang berasal dari

(23)

pemerintah di mana kini mereka tinggal ataukan kepada masyarakat dan negara asal atau leluhur mereka.

Mereka disebut pendatang jika berasal dari dalam wilayah yuridiksi. Masalah

kewarganegaraan dan identitas seperti dialami jenis pertama mungkin tidak dialami. Masalah utama bagi mereka justru bagaimana melakukan integrasi ke dalam masyarakat di mana budaya lokal yang mainstream bukanlah budaya mereka. Dengan kata lain, masalah pokok bagi mereka adalah bagaimana melakukan perimbangan antara melestarikan budaya mereka sendiri dengan tetap menghargai budaya dan pandangan masyarakat asli. Jumlah para pendatang ini bervariasi. Ada pendatang yang jumlahnya sedikit di suatu wilayah, tetapi ada pula yang bahkan merupakan mayoritas di wilayah tinggal non daerah basis mereka. Dalam pergaulan antar komunitas budaya mereka melakukan sejumlah asimilasi (bahasa, tatakrama). Namun, keunikan budaya mereka pun tetap ada dan berhak untuk eksis, bukan dengan tujuan separatisme politik melainkan agar karakteristik budaya mereka diakui baik oleh komunitas politik maupun komunitas budaya lain tempatnya tinggal. Negara yang terbentuk lewat pola kedua ini dinamakan Kymlicka sebagai polietnis.

Kedua pola pembentukan bangsa versi Kymlicaka hadir sekaligus di Indonesia. Untuk kategori multinasional, sebelum kolonialisme Belanda dan terbentuknya Indonesia, hampir setiap daerah dahulunya merupakan komunitas politik sekaligus komunitas budaya mandiri. Misalnya, Maluku Utara (kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo), Aceh (Samudera Pasai), Kalimantan (kerajaan Banjar), Sulawesi Selatan (kerajaan Bone, Wajo, Luwuk), Yogyakarta (Surakarta dan Yogyakarta), Banten (kesultanan Banten), Cirebon (kesultanan Cirebon), Sumatera bagian Timur (Deli, Palembang), dan banyak lagi di bagian-bagian lain. Raja, ratu, atau para sultan di masing-masing komunitas sebelum periode kolonial relatif mandiri secara politik. Mereka memiliki bahasa, adat, keyakinan, simbol, dan norma sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain. Dan, hingga kini pun eksistensi politik mereka relatif masih diakui di wilayah tertentu Indonesia, yang misalnya terjelma dalam konsep daerah istimewa. Dalam konteks multinasional ini, kecenderungan revivalisme nativistik sifatnya laten.

Untuk kategori polietnis Indonesia dibentuk oleh dua pola migrasi yaitu migrasi luar dan migrasi dalam. Migrasi luar terjadi tatkala etnis Arab, India, dan Cina datang dan diam di Indonesia. Kebanyakan migrasi ini sifatnya sukarela. Kendati kecil secara kuantitas,

pengaruh mereka di bidang-bidang tertentu kehidupan publik Indonesia cukup besar. Imigran Arab memiliki pengaruh di bidang agama (Islam) yang ditunjukkan dengan aneka majlis ta’lim yang dipimpin seorang imigran Arab (Hadramaut) ataupun keturunannya. Imigran Cina dan India memiliki aneka perusahaan besar yang beroperasi dan menggunakan tenaga kerja masyarakat Indonesia. Untuk itu diperlukan regulasi serius pemerintah pusat seputar kebebasan para imigran mempraktekkan budayanya.

(24)

diakomodasi baik oleh komunitas politik (pemerintah daerah lewat perda) maupun komunitas budaya (tokoh-tokoh adat masyarakat setempat).

Kompleksitas sistem sosial dan budaya Indonesia serta upaya kohesinya – seiring kenyataan multinasional dan polietnis – masih belum selesai pembentukannya. Problem inti yang selalu muncul berkisar pada bagaimana mencapai konsensus nasional sebagai basis perekat

antarkelompok. Pancasila sebagai basis ideologi multikulturalisme Indonesia, termasuk slogan Bhinneka Tunggal Ika, belumlah cukup tanpa pemahaman dan exercise yang lebih komprehensif dari seluruh anggota komunitas politik dan komunitas budaya yang ada. Pemerintah tidak dapat melulu menggunakan tindakan bercorak coercion guna menimbulkan pemahaman dan menjamin kohesi. Perlu upaya kreatif dari pemerintah sebagai wakil

komunitas politik dan masyarakat sipil yang mewakili komunitas-komunitas budaya untuk lebih memahami posisi Pancasila di dalam konteks kebangsaan Indonesia.

Pasca transisi politik 1998, Indonesia semakin mengarah pada sensitivitas positif akan dimensi multinasional dan polietnis masyarakatnya. Dalam konteks polietnis kalangan imigran misalnya, di bawah administrasi Gus Dur, etnis Tionghoa memperoleh pengakuan atas sekurangnya dua komponen budayanya yaitu Hari Raya Imlek dan agama Kong Hu Cu (Konfusianisme). Etnis Arab, biasanya terlembaga ke dalam majlis-majlis ta’lim yang di masa administrasi Suharto telah beroleh pengakuan. Etnis India juga diberi hak sama dengan mendirikan gurudwara-gurudwara. Masalah lain yang belum tersentuh adalah pola hubungan polietnis yang diakibatkan faktor migrasi dalam. Bagaimana multikultural dapat berkembang harmonis antara etnis-etnis intra Indonesia.

Dalam konteks multinasional, Undang-undang Otonomi Daerah memberi keleluasaan setiap daerah untuk melakukan self-governing. Pemilihan kepala daerah langsung menjamin adanya ruang lebih besar bagi tokoh-tokoh masyarakat dan politik lokal guna menentukan bagaimana seharusnya masyarakat mereka kelola. Seperti Kymlicka nyatakan sebelumnya, genealogi fitur multinasional biasanya mengharapkan kemandirian politik relatif vis a vis pemerintah pusat. Untuk itu, Aceh diperkenankan menggunakan Qanun dan berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, Yogyakarta terus menikmati status sebagai daerah istimewa, dan wilayah-wilayah lain diperkenankan melembagakan pengajaran bahasa daerah dalam kurikulum pendidikannya. Atas dasar fakta-fakta ini, dapat dikatakan bahwa Indonesia tengah mengarah (atau diarahkan) kepada masyarakat multikultur.

Patologi yang biasa muncul dalam masyarakat multinasional dan polietnis adalah etnophobia atau kecurigaan yang berlebihan terhadap suatu etnis. Misalnya saja di Indonesia berkembang etnophobia atas etnis Jawa yang mengendap pada suku-suku luar pulau Jawa. Ini merupakan peninggalan merusak dari konsep masyarakat majemuk zaman kolonial di mana suatu etnis disokong oleh penjajah Belanda guna mendominasi etnis lain. Pemerintah kolonial pun selalu menggunakan Jawa sebagai model pemerintahan bagi daerah luar Jawa yang mereka kuasai. Memang, secara kuantitas, Jawa merupakan etnis yang terbesar Indonesia. Namun, dominasi kuantitatifnya hanya di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan beberapa provinsi Sumatera. Selain itu, bahasa persatuan (bahasa Indonesia) bukanlah bahasa Jawa melainkan Melayu yang telah menyerap unsur-unsur Sanskerta, Arab, dan sejumlah bahasa asing lainnya (Inggris, Belanda, Portugis, atau Cina).

(25)

struktural-ekonomi antara masyarakat asli yang mayoritas Kristen dengan kaum pendatang yang

mayoritas Islam. Kejadian serupa juga terjadi di Ambon, yang lebih diakibatkan kegamangan posisi status quo elit dan masyarakat Ambon Kristen atas peralihan politik nasional di level pusat, berupa peralihan kuda-kuda kekuasaan Soeharto dari ABRI menuju Islam modernis. Sebagai ideologi, multikulturalisme tidaklah asing dan masih memiliki optimismenya di Indonesia. Ini mengandaikan pemerintah pusat lebih cerdas dalam memetakan karakteristik suku bangsa yang bergabung dengan Indonesia serta political will untuk melakukan budaya dialog antarbudaya serta serius melakukan pemerataan pembangunan ekonomi, yang lebih mengakomodasi komposit polietnis yang kepentingannya saling berbeda dan kadang saling bersaing. Di sinilah sesungguhnya peran vital pemerintah pusat selaku regulator politik dan penetrator ayat-ayat konstitusi ke setiap sub-sub nasional negara. Pembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa diserahkan kepada free fight capitalism. Peran pemerintah harus mengenyahkan tata politik kolonial yang sekadar juragan tanpa kehendak baik

memperhatikan karakteristik budaya dan masyarakat daerah layaknya pemerintahan kolonial menyukai konsep masyarakat majemuk.

Secara horizontal, masyarakat majemuk, dikelompokkan berdasarkan: 1. Etnik dan ras atau asal usul keturunan.

2. Bahasa daerah.

3. Adat Istiadat atau perilaku. 4. Agama.

5. Pakaian, makanan, dan budaya material lainnya.

Secara vertical, masyarakat majemuk dikelompokkan berdasarkan: 1. Penghasilan atau ekonomi.

2. Pendidikan. 3. Pemukiman. 4. Pekerjaan.

5. Kedudukan social politik.

Keragaman atau kemajemukkan, masyarakat terjadi karena unsur-unsur seperti ras, etnik, agama, pekerjaan (profesi), penghasilan, pendidikan, dan sebagainya. Pada bagian ini akan diulas tentang kemajemukan masyarakat Indonesia karena unsur-unsur ras dan etnik. >Ras

Kata ras berasal dari bahasa Prancis dan Italia, yaitu razza.Pertama kali istilah ras

diperkenalkan Franqois Bernier, antropolog Prancis, untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk

wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atau biologis.

(26)

dan karakteristik fisik lainnya. Jadi, ras adalah perbedaan manusia menurut berdasarkan ciri fisik biologis. Ciri utama pembeda antarras antara lain ciri alamiah rambut pada badan, warna alami rambut, kulit, dan iris mata, bentuk lipatan penutup mata, bentuk hidung serta bibir, bentuk kepala dan muka, ukuran tinggi badan. Misalnya, ras Melayu secara umum bercirikan sawo matang, rambut ikal, bola mata hitam, dan berperawakan badan sedang. Ras negro bercirikan kulit hitam dan berambut keriting.

Ciri-ciri yang menjadi identitas dari ras bersifat objektif atau somatik. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik, seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar.

Di dunia ini dihuni berbagai ras. Pada abad ke-19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu kaukasoid, Negroid, dan Mongoloid. Sedangkan Koentjaraningrat (1990) membagi ras di dunia ini dalam 10 kelompok, yaitu Kaukasoid, Mongoloid, Negroid, Australoid, Polynesia, Malenesia, Micronesia, Ainu, Dravida, dan Bushmen.

1. Etnik atau suku bangsa

Koentjaraningrat (1990) menyatakan suku bangsa sebagai kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang memiliki sistem interaksi, yang ada karena kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri.

F. Baart (1988) menyatakan etnik adalah suatu kelompok masyarakat yang sebagian besar secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri dan menentukan sendiri ciri kelompok yang diterima kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Bila merujuk pendapat F. Baart di atas, identitas kesukubangsaan antara lain dapat dilihat dari unsur-unsur suku bangsa bawaan(etnictraits). Ciri-ciri tersebut meliputi natalitas (kelahiran) atau hubungan darah, kesamaan bahasa, kesamaan adat istiadat, kesamaan kepercayaan (religi), kesamaan mitologi, dan kesamaan totemisme.

Secara etnik, bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan jumlah etnik yang besar. Berapa persis jumlah etnik di Indonesia sukar ditentukan. Sebuah buku pintar Rangkuman Pengetahuan Sosial Lengkap menuliskan jumlah etnik atau suku bangsa di Indonesia ada 400 buah (Sugeng HR, 2006). Klasifikasi dari suku bangsa di Indonesia biasanya didasarkan sistem lingkaran hukum adat. Van Vollenhoven mengemukakan adanya 19 lingkaran hukum adat di Indonesia (Koentjaraningrat, 1990). Keanekaragaman kelompok etnik ini dengan sendirinya memunculkan keanekaragaman kebudayaan di Indonesia. Jadi, berdasarkan klasifikasi etnik secara nasional, bangsa Indonesia adalah heterogen

Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan , kelompok dan agama, dan strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupaka suatu kewajaran sejauh perbedaan-perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati. Namun ketika perbedaan-perbedaan tersebut mengemuka dan kemudian

(27)

Beberapa peristiwa amuk massa di beberapa daerah di Indonesia, terlihat jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut, dimana salah satunya adalah perbedaan agama. Seperti kerusuhan di lampung, tahun 1989; kerusuhan di Timor-Timur, tahun 1985, kerusuhan di Rengasdengklok, tahun 1997; kerusuhan di makassa, tahun 1997, Kerusuhan di Ambon, 1998, di Poso, kerusuhan Ketapang dan Kupang serta beberapa daerah lainnya.

Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia sekarang ini, memungkinkan sekali untuk terjadinya konflik antar agama atau konflik antar umat beragama. Walaupun sebenarnya secara laten konflik-konflik tersebut telah ada jauh sebelum era reformasi berembus. Banyak sekali kejadian yang bernuansa perbedaan agama terjadi. Seperti peristiwa pembakaran kantor Tabloid Monitor di Jakarta, yang disangka mendiskreditkan Nabi Muhammad Saw, begitu juga Tabloid Senang. Lain dari itu, brosur-brosur , leaflet-leaflet yang mendiskreditkan agama tertentu, serta materi-materi dakwah yang memicu dan memacu kemungkinan

terjadinya konflik antar agama juga kerap sekali terjadi. Banyak pemuka agama yang dengan dalih sedang melakukan konsolidasi umat, mereka rela dan berani mendiskreditkan umat penganut agama lainnya. Terakhir isue tentang pendidikan agama di sekolah yang

mewajibkann setiap sekolah menyediakan pengajar agama bagi siswa-siswi yang beragama tertentu.

Konflik yang bernuansa agama berkorelasi kuat dengan faktor non agama. Beberapa konflik yang terjadi membuktikan hal tersebut, termasuk konflik Ketapang. Agama biasanya

merupakan faktor pemicu kerusuhan, yang sebelumnya didahului dengan konflik yang bernuansa ekonomi, seperti rebutan lahan parkir, rebutan wilayah dan faktor lainnya yang lebih ekonomis dari pada politis. Dengan kata lain, sebenarnya, konflik kecil acap terjadi. Dalam melihat konflik dan potensi konflik antar kelompok, golongan dan agama di

Indonesia, perlu dipahami sebagai suatu hal yang dinamis. Perubahan sosial dan politik yang terjadi di Indonesia yang begitu cepat, terutama setelah era reformasi, juga turut memperkuat polarisasi konflik sosial termasuk konflik antar kelompok umat beragama. Kesenjangan yang makin menganga antar kelompok sosial dan biasanya kelompok sosial ini juga acap

dilekatkan dengan penganut agama mayoritas. Keterbelakangan dan pembaruan yang tidak simultan dapat memperkeruh suasana disharmoni, serta dapat merusak tatanan sosial atau tatanan hubungan antar kelompok sosial dan antar kelompok umat beragama.

Masyarakat Indonesia yang multikultur, multi ras dan multi agama, memiliki potensi yang besar untuk terjadinya konflik antar kelompok, ras, agama dan suku bangsa. Indikasi ke arah itu terlihat dari tumbuh suburnya berbagai organisasi kemasyarakatan , profesi, dan

organisasi lainnya. Contoh seperti FPI, Laskar Jihad, FBR dan kelompok lainnya yang berjuang dan bertindak atas nama kepentingan kelompoknya atau kepentingan lainnya. Lain dari itu muncul juga berbagai macam aliran keagamaan.

Beragam kelompok ini secara sosial menyebabkan tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai baru melalui berbagai proses yang menuntut adanya institusionalisasi kepentingan. Tapi juga dapat berupa munculnya konflik-konflik baru, karena kelompok lain, golongan lain, agama lain, merasa bahwa kehadiran mereka menjadi ancaman bagi tatanan masyarakat yang sudah ada dan ajeg serta kepentingan dari kelompok lainnya. Yang berkembang adalah sikap etnosentrisme, yang menganggap hanya kelompoknya saja, golongannya saja yang paling baik dan sempurna, sementara yang lain jelek, salah, dan berbagai kekurangan

Referensi

Dokumen terkait

Dunia t idak akan damai, t anpa agama yang benar.. Khalid Al M ushlih, dosen fiqh pada Universit as. Al Qashim, Saudi Arabia), salah sat u murid senior sekaligus

Penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu, mengguna- kan serum HIF-1  dan ekspresi NFκB/p65 yang diukur dengan RT-PCR pada pasien karsinoma hepatoseluler,

Mencermati beberapa pokok pandangan Davies di atas, maka dapat dipahami bahwa bagi Davies asal kejadian alam semesta berawal dari dentuman besar, singularitas, ruang dan

Periode ketiga penerjemahan Alkitab berlangsung dalam gerakan penginjilan dari Eropa ke Asia dan 

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematika Dasar, 2010

PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS SISWA PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA.. Universitas Pendidikan

Selain penulis laporan hasil praktik kerja industri (Prakerin) ini tidak lepas dari ketentuan pembimbing untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

 Dalam penggunakan kata sapaan untuk guru perempuan, kita dapat memberikan sedikit penjelasan bahwa untuk panggilan kepada perempuan yang masih single atau