• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskursus Kolonialistik dan dalam Pembanguna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Diskursus Kolonialistik dan dalam Pembanguna"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua:

Orang Papua dalam Pandangan Negara

J O H A N E S S U P R I Y O N O Peneliti dan Pemerhati Papua

Surel: hansprie@gmail.com

Diterima: 28 Februari 2014 Disetujui: 24 Maret 2014

ABSTRACT

This article aims to trace how Papuan is represented or even defined by the state in order to legitimize development qua civilizing process. It appears that the discourse of development---with progress as the main reason behind it--- entangled with colonial discourse, i.e. how Papuan has been represented for years, has opened the door to variety of practices where knowledge and power of the State has appropriated Papua as ‘the desiring object of the State’s Will.’ In this article, I will argue thoroughly how Papua has been constructed by the State as the other. Ever since Papua had been re-integrated formally into Indonesia post-Pepera in 1969, the development process had had just begun. Several documentations which contain the progress of development process portray Papuan as a tribe who desperately needs development for various reasons. For that matter, the State (qua government) owes its development project based on the image of Papuan already represented, that is an expanding discourse rooted in Dutch expeditions exercised in Papua.

Kata kunci: Wacana kolonialistik, Papua, pembangunan, negara (Indonesia).

Pendahuluan

Menyimak dokumen-dokumen pembangunan tentang Irian Barat yang dikeluarkan oleh Bappenas sejak Repelita I, saya menemukan penggambaran tentang Papua yang mirip dan berulang-ulang. Pemerintah menggambarkan manusia Papua, penduduk di wilayah yang baru saja diintegrasikan itu, sebagai masyarakat yang masih sangat sederhana sedangkan wilayahnya masih belum memiliki fondasi pembangunan ekonomi. Gambaran lengkapnya sebagai berikut, “Masyarakat pedalaman Irian Jaya pada umumnya masih dalam taraf kegiatan mencari/memenuhi kebutuhan makanan sendiri/keluarga sendiri.” Dokumen yang sama menuliskan, “Tingkat sosial budaya dan pendidikannya sangat sederhana.”

(2)

Sepanjang riwayat pembangunan oleh pemerintah pusat, sekurang-kurangnya yang tertera dalam dokumen, orang-orang Papua tampaknya tidak menjadi bagian yang penting. Dalam Repelita III, pemerintah mengejar target di bidang hasil pertanian sehingga membutuhkan tenaga kerja yang besar. Akibatnya, pemerintah menggenjot angka peserta transmigrasi. Keputusan Presiden No.7/1978 tentang transmigrasi memberikan kerangka dan landasan hukum yang kuat. Maka, wilayah-wilayah dataran rendah seperti Nabire, Klamono, Genyem, dan Jayapura dibanjiri para migran dari Jawa yang dimulai sejak 1982. Orang-orang ini menggarap sawah-sawah yang baru saja dicetak. Semua keperluan ditanggung oleh pemerintah. Wajarlah kalau pemerintah menargetkan 140-200 ribu KK untuk bertransmigrasi ke Papua.1

Pada Mei 1984, Presiden Soeharto mengumumkan bahwa pada Repelita IV, transmigrasi memiliki peran yang krusial. “Para transmigran itu membawa dampak besar bagi kemajuan pembangunan masa depan Indonesia dan terutama untuk upaya meletakkan fondasi masyarakat Pancasilais yang sangat diharap-harapkan oleh bangsa ini” (Otten, 1986: 3).2 Transmigrasi telah menjadi penyumbang perubahan demografis yang serius di Papua sehingga di wilayah-wilayah perkotaan jumlah populasi non-Papua mengungguli orang Papua, dan secara ekonomi, yang pertama menguasai yang terakhir (Upton, 2009: 4).3

Ketika menyimak dokumen-dokumen pembangunan itu, saya menyimpan pertanyaan yang cukup serius untuk saya pikirkan jawabannya. Sementara para transmigran itu diberi peran untuk mengolah sawah dan mengupayakan pusat-pusat perkebunan baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi; lantas apa peran yang dipercayakan kepada orang-orang Papua? Apabila orang-orang dari Jawa itu dilihat sebagai tenaga kerja yang bisa memenuhi tuntutan kebutuhan, apakah begitu juga dengan orang Papua? Pada ujungnya, pertanyaan saya adalah siapakah orang Papua itu menurut negara? Pertanyaan lain yang mungkin menyusul seketika adalah mengapa wacana semacam itu yang dikonstruksi oleh pemerintah?

1

Sejarah pemindahan penduduk ke Papua sudah terjadi sejak pemerintah Belanda berkuasa di Papua. Ketika pemerintah Belanda membuka pos pemerintahan di Merauke pada awal dekade 1900-an, mereka memindahkan penduduk dari Jawa untuk menopang pos itu. Pada masa Republik Indonesia, pemindahan penduduk sudah dimulai dari skala kecil pada tahun 1963 ketika Soekarno menghimpun relawan untuk Papua, dan atas prakarsa pemerintah masih berlanjut hingga menjelang akhir abad yang lalu. Di Nabire, tempat penelitian ini dilakukan, program itu masih berjalan pada tahun 1998 ketika Departemen Transmigrasi dikepalai oleh A.M. Hendropriyono.

2

Kutipan ini merupakan terjemahan saya atas kata-kata Soeharto yang dimuat di harian The Jakarta Post pada 28 Mei 1984 dalam Marriel Otten. (1986). Transmigrasi: Indonesia Resettlement Policy 1965-1985 IWGIA Document 57, hlm. 3. Dalam bahasa Inggris tertulis demikian, “They will have a strong bearing on the progress of development in Indonesia for the future, especially to the endeavors to lay down the foundation of the Pancasilaist Society, long cherished by the nation.”

3

(3)

Gugus pertanyaan di atas muncul dalam benak saya ketika saya menyimak sejarah pembangunan dan transmigrasi di Papua setelah integrasi. Dalam perkembangan berikutnya, orang-orang Papua di kawasan urban menjadi termarjinalisasi. Selain minoritas dalam soal jumlah populasi, mereka juga sekunder dalam soal keterampilan dan kemampuan ketenagakerjaan. Tidak sedikit dari mereka kemudian hidup lontang-lantung tanpa masa depan yang jelas. Seperti disimpulkan oleh penelitian LIPI (2009), orang-orang Papua sungguh-sungguh terpinggirkan dan tertinggal jauh dari penduduk imigran. Akan tetapi, sejauh ini usaha negara dalam hal ini pemerintah untuk memberdayakan penduduk lokal Papua tidak tampak serius.

Dalam menguraikan jawaban atas gugus pertanyaan di atas itu, saya berusaha menempatkan jawaban saya dalam kerangka sejarah Papua-Indonesia yang menjadi latar belakang historis bagi konsep Pemerintah Indonesia dalam memandang orang Papua. Dalam lintasan sejarah pembangunan dan mengacu pada penelitian di lapangan, saya melihat orang-orang Papua ditampilkan oleh pemerintah sebagai kelompok yang membutuhkan pembangunan sementara pemerintah dan para transmigran adalah kelompok yang melakukan pembangunan. Pemerintah, yang dalam hal ini juga berperan sebagai agen pembangunan, dalam dokumen-dokumen pembangunan mengategorikan masyarakat Papua sebagai kelompok yang kurang berkembang. Maka, pemerintah memprogramkan serangkaian proses pembangunan untuk masyarakat Papua.

1. Konteks Historis Relasi Indonesia-Papua

Papua sekarang adalah salah satu provinsi di Indonesia yang diatur secara khusus. Sejak diberlakukan Undang-undang No. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus, pemerintah Papua mendapatkan sejumlah kewenangan yang lebih luas untuk mengatur daerahnya dibanding provinsi-provinsi yang lain.4 Undang-undang ini dipandang sebagai jalan tengah antara kehendak pemerintah pusat yang menginginkan Papua tetap berada di NKRI dengan aspirasi orang Papua untuk merdeka. Lewat Undang-undang itu, orang Papua dianggap bisa merdeka tapi masih di dalam NKRI.

Papua, dahulu Irian Barat, masuk ke Indonesia melalui referendum yang dinilai bermasalah oleh penduduk Papua dan oleh pihak-pihak luar, terutama yang menjadi saksi

4

(4)

mata ketika pemungutan suara dilaksanakan pada Juli-Agustus 1969 (Drooglever, 2009).5 Pokok yang masih terus dipermasalahkan tentang plebisit itu adalah bahwa Indonesia tidak melakukannya sesuai dengan yang ditentukan oleh Pasal 18 dan 20 New York Agreement. Bukannya menyelenggarakan dengan prinsip satu orang, satu suara (one man, one vote), referendum justru dilaksanakan dengan prinsip perwalian. Pemerintah Indonesia menetapkan 1.025 orang Papua untuk memutuskan bergabung atau tidak bergabung dengan Indonesia.

Lebih lagi, dalam perjanjian internasional itu, orang Papua tidak memiliki wakilnya sama sekali. Tiga pihak yang berunding adalah Pemerintah Indonesia, Pemerintah Belanda, dan Pemerintah Amerika Serikat. Orang Papua sendiri tidak turut menentukan nasibnya dalam perjanjian itu. Sebaliknya, masa depan mereka ditentukan oleh orang-orang lain. Artinya, Papua menjadi bagian dari NKRI melalui proses politik internasional yang manipulatif. Bagi orang Papua, yang kala itu sudah membayangkan akan berdiri tegak sebagai sebuah negara merdeka setelah disiapkan oleh Belanda pasca-Indonesia merdeka, proses politik itu telah menumpas harapan mereka untuk menjadi negara merdeka.6 Proses referendum di bawah pengawasan PBB pun tidak menjadi proses bagi orang Papua untuk secara bebas menentukan nasibnya sendiri.

Sejarah Papua sejak berada di bawah penguasaan Indonesia telah diwarnai oleh perlawanan panjang yang sporadis oleh berbagai kelompok masyarakat. Kelompok terpelajar Papua membuat reaksi dengan menggelar pertemuan komite nasional. Pemimpin Partai Nasionalis (Parna), Herman Wayoi, dan seorang anggota Dewan Nugini, Nicolaas Tanggahma, mengorganisasi pertemuan yang diikuti oleh sekitar 90 pemimpin Papua. Robin Osborne mengatakan bahwa mereka terpaksa setuju untuk menerima pemindahan kekuasaan dari Belanda ke United Nations Temporary Executive Administration (UNTEA) dan mereka juga akan bekerja sama dengan UNTEA serta Pemerintah Indonesia. Mereka meminta UNTEA untuk tetap menghormati bendera dan lagu kebangsaan mereka. Satu hal lagi,

5

Tentang referendum yang menentukan Papua atau Irian Barat masa itu masuk ke Indonesia silahkan lihat P. J. Drooglever. (2010). TINDAKAN PILIHAN BEBAS!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Yogyakarta: Kanisius. Selain dari buku itu, cerita tentang bagaimana referendum dilaksanakan di bawah tekanan atau ancaman masih bisa dituturkan oleh orang-orang Papua sendiri yang pada masa itu turut memberikan suara. Ketika Orde Baru berkuasa, cerita seperti itu hanya bisa dituturkan di belantara hutan. Sekarang, para pelaku dengan berani menuturkannya sembari diberi tekanan emosional yang menonjol. Lihat juga International Center for Transitional Justice (2012). The Past That Has Not Passed: Human Rights Violations in Papua Before and After Reformasi. ICTJ dan ELSHAM-Papua.

6

(5)

mereka meminta referendum yang dijanjikan diselenggarakan pada tahun 1963 (Osborne, 2001: 68). Pada akhirnya, tidak satupun dari permintaan mereka itu dipenuhi. Periode UNTEA secara de facto adalah kontrol Indonesia terhadap Papua (Pigay, 2001: 242).7

UNTEA menyerahkan pemerintahan atas Irian kepada Pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963. Akan tetapi, kehadiran orang Indonesia di sana telah dimulai sejak sebelumnya. Operasi militer yang dimaksudkan untuk mengintegrasikan Irian Barat ke Indonesia sudah diawali pada tahun 1961 (Rahab, 2010: 42).8 Sejak Soekarno menyerukan Trikora di Yogyakarta, pemerintah sudah mengirimkan para penyusup ke Irian. Kemudian, pada tahun 1964, pemerintah mengirim para sukarelawan yang dinamai Tim Pelopor Pembangunan Serba Guna atau Pelopor Pembangunan Irian Barat (TPPSG/PPIB). Tim ini dibentuk oleh Presiden Soekarno. Mereka umumnya dari Jawa dan ditempatkan di Manokwari, Jayapura, dan Merauke. Ada pula yang ditempatkan di pedalaman seperti di Enarotali. Banyak dari mereka adalah guru dan juga tentara yang rela diberi peran sebagai pasukan pendahuluan untuk bekerja membuka jalan dan sarana umum lainnya.9 Dengan lekas, Pemerintah Indonesia mengambil peran sebagai pemerintah yang sah atas Irian. Pos-pos yang sebelumnya ditempati oleh orang Belanda beralih tangan.

Setelah penyerahan administrasi oleh UNTEA, pemerintah mengambil kebijakan yang bersifat politis (Pigay, 2001: 259). Jabatan gubernur diberikan kepada E.J. Bonay, seorang

7

Pada 31 Juli 1962 diadakan persetujuan sementara antara Indonesia dengan Belanda yang isinya memberatkan Belanda sekaligus menegaskan kontrol Indonesia atas Papua sejak pemerintahan masih di tangan badan sementara PBB. Isi perjanjian sementara itu: Pertama, setelah pengesahan persetujuan antara Indonesia dengan Belanda maka selambat-lambatnya tanggal 1 Oktober 1962 penguasa dari Badan Pemerintah sementara PBB (UNTEA) akan tiba di Irian untuk melakukan serah terima dari pemerintah Belanda. Saat itu juga bendera Belanda diturunkan. Kedua, Pemerintah Sementara PBB (UNTEA) akan memakai tenaga-tenaga Indonesia baik sipil maupun alat-alat keamanan Indonesia bersama-sama dengan putra-putri Irian sendiri, dan sisa-sisa pegawai Belanda yang masih diperlukan. Ketiga, Pasukan-pasukan Indonesia tetap tinggal di Irian yang berstatus di bawah kekuasaan sementara PBB. Keempat, Angkatan Perang Belanda mulai saat itu secara berangsur-angsur dikembalikan. Yang belum berangkat akan ditempatkan di bawah pengawasan PBB, dan tidak boleh dipergunakan untuk operasi-operasi militer. Kelima, antara Irian dan daerah Indonesia lainnya berlaku lalu lintas bebas. Keenam, tanggal 31 Desember 1962 bendera Indonesia mulai berkibar di samping bendera PBB. Ketujuh, pemulangan anggota sipil dan militer Belanda harus sudah selesai sebelum tanggal 1 Mei 1963 dan selambat-lambatnya pada tanggal 1 Mei 1963 Pemerintah Indonesia secara resmi menerima Irian dari Pemerintah Sementara PBB (Pigay, 2001: 242).

8

Rahab memberikan informasi pembabakan infiltrasi yang berharga bahwa “fase pertama ditujukan untuk membentuk basis-basis gerilya dan mempersiapkan pembentukan pos terdepan bagi upaya penyerbuan Papua oleh Indonesia. Dalam fase ini, sekitar 10 kompi prajurit ABRI dimasukkan ke Papua. Fase kedua adalah melakukan serangan terbuka di beberapa daerah seperti Biak, Fak-fak, Sorong, Kaimana dan Merauke. Fase ketiga adalah konsolidasi pasukan sebagai kekuatan militer Indonesia di Papua.”

9

(6)

putra daerah Irian, tetapi dalam pelaksanaan tugasnya dikontrol oleh militer, dan dikoordinasikan dengan Wakil Perdana Menteri Pertama Koordinator Irian Barat. Tampak bahwa yang memimpin Irian adalah putera daerahnya sendiri. Akan tetapi, menurut Pigay, ia tidak berdaya untuk mengambil kebijakan. Inpres 1963 No.2-Rahasia Bab III pasal 2 ayat 7 mengatur bahwa gubernur dibantu oleh Dewan Pembantu dan Penasihat yang terdiri atas Komando Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara di Irian Barat, Kepala Kepolisian Komisariat Irian Barat, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala-kepala Dinas. Aparatur pemerintahan di Irian Barat disebut sebagai Panca Tunggal.10

Sistem pemerintahan di Irian Barat dikendalikan oleh militer dan militer sangat dominan, termasuk dalam mengontrol aparat pemerintah dan warga sipil. Siapa pun yang akan menduduki jabatan publik harus disetujui oleh presiden setelah ia mendengar masukan dari bawahannya. Militer juga diberi peran yang besar dalam pemerintahan sipil. Militer di tingkat distrik dan desa mengordinasi aktivitas-aktivitas penyuluhan dan pengembangan masyarakat ketika mekanisme sipil tidak berjalan. Militer juga dikerahkan untuk task forces seperti membuka jalan-jalan raya (Pigay, 2001: 262).

Sejak Irian Barat masih disengketakan serta dibawa ke serangkaian perundingan, Kodam XVII/Cenderawasih sudah disiapkan dua hari sebelum perjanjian New York ditandatangani. Kodam XVII dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menpangad No. KPTS-1058/8/1962 tanggal 8 Agustus 1962. Kodam ini baru dapat diwujudkan setelah Irian Barat diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Cukup banyak diketahui bahwa militer juga hadir dalam berbagai operasi militer seperti Operasi Sadar, Operasi Bratajudha, Operasi Wibawa, dan Operasi Pamungkas.11 Tidaklah salah untuk memiliki kesan bahwa wajah Indonesia tampak militeristik di hadapan orang-orang Papua kala itu. Tentara hadir di mana-mana, dan untuk tugas apa saja.

10

Informasi yang cukup penting untuk membangkitkan gambaran pemerintah di Irian Barat masa itu tentang

Panca Tunggal saya kutip dari Pigay sebagai berikut, “Pantja Tunggal dibentuk berdasarkan keputusan Presiden 1964/71 guna memperingati ketahanan dan kesiap-siagaan revolusi Indonesia, mewujudkan swadaya dan swasembada dalam rangka pengerahan segala dana dan daya masyarakat serta guna memberantas segala pikiran dan pelaksanaan yang masih bersifat rutin konvensional yang ada pada masyarakat seperti pemberantasan kelompok-kelompok yang menginginkan kemerdekaan Papua Barat. Selanjutnya berdasarkan Instruksi Wakil Perdana Menteri I No.6/B/instr/tahun 1965 tentang pedoman pokok pelaksanaan musjawarah Pantja Tunggal Irian Barat. Berdasarkan peraturan tersebut, Pantja Tunggal bagi Propinsi Irian Barat terdiri dari: Gubernur Irian Barat, Panglima Komando Daerah Militer XVII/Tjenderawasih, Panglima Komando Daerah Maritim VII, Panglima Regional Udara IV, Panglima Komando Daerah Angkatan Kepolisian XXI, Kepala Kedjaksaan Tinggi di Sukarnopura, Ketua Pengadilan Tinggi Sukarnopura, Ketua Front Nasional Daerah Propinsi Irian Barat, dan Rektor Universitas Cenderawasih. Kemudian Pantja Tunggal berlaku juga bagi setiap kabupaten yang ada di

Irian Barat” (Pigay, 2001: 259-260). 11

(7)

Kehadiran Indonesia di Papua mendapat reaksi keras dari sekelompok orang. Pemberontakan bersenjata pertama kali pecah pada 26 Juli 1965 di Kebar, Manokwari. Johannes Djambuani memimpin 400-an orang dari suku Karun dan Ayamaru. Kemudian, pada 28 Juli 1965 perlawanan serupa muncul yang dipimpin oleh Permanas Ferry Awom dengan 400-an pengikutnya dari suku Biak, Ayamaru, Serui, dan Numfor. Mereka menyerang asrama Yonif 641/Tjenderawasih I. Tiga prajurit ABRI tewas. Perlawanan juga digalang oleh Lodewijk Mandatjan dari suku Arfak, Manokwari. Ia mengajak pengikutnya untuk lari masuk ke dalam hutan (Rahab, 2010: 47).

Setelah penyerangan itu, ABRI melancarkan operasi militer untuk menumpas gerakan-gerakan perlawanan OPM. Mereka bergerak untuk menghabisi basis-basis perlawanan masyarakat di sekitar Manokwari sejak 10 Agustus 1965. Targetnya adalah menangkap hidup ataupun mati para pemimpin pergerakan. Terbukti perlawanan orang Papua terhadap tentara berumur panjang. Konflik-konflik bersenjata antara orang Papua, yang oleh Pemerintah Indonesia dikategorikan sebagai kelompok separatis, dengan tentara Indonesia mengakibatkan sejarah Papua mengalir dengan darah dan menelan korban nyawa.

Masih ada kewajiban yang harus dituntaskan menurut Perjanjian New York, yaitu menyelenggarakan Referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebelum tahun 1969 berakhir. Perjanjian itu menjamin orang Papua untuk secara bebas memilih nasib mereka: bergabung ke Indonesia atau berdiri sendiri sebagai negara merdeka. Tentang penyelenggaraan Referendum ini, Pigay menulis bahwa Indonesia mengajukan protes ke PBB agar tidak perlu menyelenggarakan referendum. Selain menyampaikan langsung, Pemerintah Indonesia menggunakan putera Irian yang pro-Indonesia untuk membuat pernyataan-pernyataan yang mendukung integrasi ke Indonesia (Pigay, 2001: 276).12

Perubahan situasi politik pasca-penyerahan pemerintahan dari UNTEA kepada Pemerintah Indonesia menguntungkan Indonesia dalam rangka memenangkan referendum yang digelar pada Juli hingga Agustus 1969. Dengan segala cara, Pemerintah Indonesia membuat agar referendum menghasilkan Irian Barat berintegrasi ke Indonesia. Penolakan masyarakat di Paniai terhadap Pepera diatasi dengan operasi bersenjata. Sementara itu, para pemimpin lokal yang berpotensi menyusahkan dibungkam lebih dulu.

Sejarah relasi antara Papua dengan Indonesia sejak masa integrasi hingga sekarang masih berkisar pada tegangan antara mempertahankan Papua sebagai wilayah NKRI dengan

12

(8)

melepaskan Papua untuk merdeka sebagai negara sendiri. Di masa lalu, upaya Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Papua bercorak militeristik.

Sementara, meskipun ada gerakan-gerakan bersenjata, perlawanan sipil di antara orang Papua terus berkembang. Arnold Ap, Kepala Museum Antropologi Universitas Cenderawasih, membungkus gerakan yang membangkitkan nasionalisme orang Papua pada 1970-an hingga awal 1980-an dengan merayakan kultur lokal melalui grup musik Mambesak. Kemudian, Dr. Thomas Wanggai, seorang doktor administrasi negara, pada tahun 1988 mengibarkan bendera Bintang Kejora di Jayapura. Ia kemudian ditangkap, dan dipenjara selama 20 tahun dengan tuduhan makar. Ia meninggal di penjara pada tahun 1996. Pada tahun 1998, Filep Karma, seorang pegawai negeri sipil di Biak, memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora di menara air di kota Biak. Setelah berkibar selama beberapa hari, dan orang-orang digiring untuk berkumpul di bawah menara air itu, terjadilah insiden pada awal Juli 1998 yang dikenang sebagai Biak Berdarah. Kemudian, pada tahun 2000 masyarakat Papua juga menggelar Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Papua di Jayapura yang diikuti penangkapan dan pemenjaraan pemimpinnya, antara lain Forkorus Yaboisembut, dengan tuduhan makar.

Di luar negeri, para tokoh Papua terus menggalang dukungan internasional. Isu Hak Azasi Manusia (HAM) menjadi basis pergerakan nir-kekerasan mereka. Di bawah kekuasaan Indonesia, Papua mengalami serangkaian pelanggaran HAM berat.13 Mereka mendapat tambahan kekuatan dari para intelektual, termasuk dari berbagai negara di Asia, Eropa, dan Amerika yang simpatik dengan Papua.14

Sementara itu aspirasi merdeka di Papua yang sifatnya diam-diam (clandestine) sampai saat ini masih belum cukup terdokumentasikan dengan baik. Meski begitu, dalam berbagai kesempatan, mereka mengartikulasikan aspirasi ini dalam percakapan sehari-hari. Saya cenderung berpendapat bahwa hingga saat ini relasi Indonesia dengan Papua masih terus diwarnai dinamika antara mempertahankan Papua, yang diwakili slogan “NKRI harga mati”, dengan aspirasi memerdekakan Papua.

13Asian Human Rights Commission

yang berbasis di Hongkong bersama dengan Human Rights and Peace for Papua menerbitkan laporan dwibahasa Indonesia-Inggris berjudul The Neglected Genocide (Genosida yang Diabaikan): Human rights abuses against Papuan in Central Highlands 1977-1978. Sementara laporan tahunan tentang HAM di Papua sejak pertengahan dekade 1990-an secara rutin diterbitkan oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura dengan serial Memoria Passionis.

14

(9)

Setelah Orde Baru jatuh pada tahun 1998, sejarah relasi Indonesia-Papua ditandai dengan upaya-upaya serius dari para intelektual, baik di Jakarta maupun di Papua, yang menggagas dialog Jakarta-Papua sebagai upaya damai menyelesaikan masalah Papua. Muridan S. Widjojo dari LIPI dan Neles Tebay, seorang imam Katolik dari Keuskupan Jayapura, melalui Jaringan Damai Papua (JDP), terus menyebarluaskan gagasan dialog Papua-Jakarta kepada banyak pihak: kepada para elit di Papua dan Jakarta, kepada orang-orang asli Papua, dan kepada para pemangku kepentingan yang lain di Jakarta serta Papua. Sumbangan yang cukup serius diberikan oleh tim kajian LIPI---Muridan ada di dalamnya--- berupa buku Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future (2009) yang memetakan jalan keluar untuk permasalahan yang membelit Papua. Meskipun prakarsa dialog ini mendapatkan banyak dukungan, termasuk dari orang asli Papua, baik dari Papua maupun Papua Barat, yang berkumpul di Hotel Sahid, Entrop, Papua pada Juli 2013 bersama Majelis Rakyat Papua (MRP),15 sampai tulisan ini selesai, masih belum ditanggapi secara tuntas dan memuaskan oleh pemerintahan SBY.

Jatuhnya rezim otoriter Orde Baru membuka katup perlawanan orang Papua. Inilah masa yang disebut sebagai “Papuan Spring” atau musim semi Papua mengingat gerakan-gerakan sipil dan politik yang lama berderap di bawah tanah, kini tampil di permukaan dan semakin menguat guna menyerukan aspirasi untuk merdeka (van den Broek dan Szalay 2001; Chauvel 2002; Chauvel 2005:10). Sebagai jalan tengah antara kehendak Papua untuk merdeka dengan Pemerintah Indonesia yang tidak ingin Papua lepas, Pemerintah Indonesia pada masa Megawati memberikan otonomi khusus (UU No.21/2001) kepada Provinsi Papua. Melalui undang-undang ini, Pemerintah Provinsi Papua memiliki kewenangan yang cukup luas untuk mengatur sendiri Papua.

Tidak seperti diharapkan oleh Pemerintah Indonesia, kebijakan otonomi khusus rupanya tidak menjadi obat yang cukup ampuh untuk meredam keinginan orang Papua untuk merdeka dan lepas dari NKRI. Apalagi, kebijakan otonomi khusus tidak berhasil mengubah kehidupan mereka secara signifikan. Laporan ekspedisi jurnalistik Kompas pada Agustus 2007 tentang pendidikan, yang menurut UU Otonomi Khusus mendapatkan porsi anggaran

15

Majelis Rakyat Papua (MRP) pada 24-27 Juli 2013 menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan orang asli Papua yang mewakili seluruh kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat—mereka berasal dari tujuh wilayah adat di Pulau Papua—di Hotel Sahid Papua, Entrop, Jayapura. Dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus, perwakilan orang asli Papua menilai Otonomi Khusus telah gagal. Sebagai tindak lanjut menyelesaikan masalah Papua-Jakarta mereka merekomendasikan dua hal. Pertama, mengadakan dengan segera dialog Papua-Jakarta di tempat yang netral dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral juga. Kedua,

(10)

cukup besar di samping kesehatan dan infrastruktur, melukiskan dengan sangat gamblang keadaan yang parah itu. Oleh karena itu, orang-orang Papua membutuhkan bukti nyata kehadiran otonomi khusus.16 Lama sebelumnya, rakyat Papua sudah merasakan bahwa Otonomi Khusus tidak berdampak pada mereka. Pada tahun 2005, Dewan Adat Papua bersama massa rakyat Papua dalam jumlah ribuan berdemonstrasi menggotong keranda mayat berkerudung hitam. Pada keranda itu, mereka menuliskan Otsus. Secara simbolik, mereka menilai bahwa otonomi khusus sudah mati atau tidak bermanfaat untuk orang-orang Papua.17 Ungkapan-ungkapan serupa yang menilai otonomi khusus tidak banyak artinya untuk orang-orang Papua, tapi memiliki arti bagi elite lokal Papua, jamak terdengar dalam Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua di Jayapura.18 Setelah Otonomi Khusus berjalan lebih dari satu dekade, ketegangan yang menandai sejarah Papua di dalam NKRI masih terus ada, termasuk upaya-upaya kreatif dari badan-badan non-negara atau individu-individu berpengaruh untuk menata ulang hubungan itu, dan memulai sejarah Papua yang baru.

2. Pembangunan: Menumpas Nasionalisme Papua dan Mengonstruksi Identitas

Setelah memenangkan referendum tahun 1969 yang disahkan dalam sidang di Majelis Umum PBB, Indonesia bisa mengklaim secara legal bahwa Papua merupakan bagian sah dari NKRI. Akan tetapi, sejak beberapa tahun sebelumnya dan sampai sekarang ini, organisasi-organisasi lokal, regional, maupun internasional masih terus mempertanyakan posisi Indonesia. Kampanye luas yang mendesak penyelidikan dan pengakuan bahwa terjadi pelanggaran HAM berat di Papua masih terus berlangsung, dan cenderung semakin meluas. Iklim demokratisasi yang berkembang di Indonesia lebih memungkinkan gerakan sipil seperti itu menyebar. Orang-orang Papua lebih berani mengartikulasikan pengalaman kekerasan oleh negara.19 Undang-undang Otonomi Khusus menetapkan juga pembentukan Komisi

16 “Papua Butuh Bukti Nyata Otonomi Khusus” dimuat di harian KOMPAS

, 18 November 2009. Laporan

jurnalistik yang senada adalah “Otonomi Khusus Belum Berasa” dimuat di harian KOMPAS, 24 Februari 2010. 17

Muridan S. Widjojo berpendapat bahwa kegagalan kebijakan otonomi khusus sudah dimulai sejak perencanaan karena tidak melibatkan seluruh pihak baik yang pro- maupun yang anti-Jakarta di Papua. Ia

mengatakan, “Pihak-pihak yang berkonflik, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta faksi lain yang pro-kemerdekaan maupun pihak Jakarta yang pro-NKRI, tidak pernah duduk bicara dan menyusun jalan keluar. Ini

yang membuat pelaksanaan otsus tidak terasa karena tidak ada legitimasi dari pihak yang berkonflik” (lih.

KOMPAS, 18 November 2009). 18

Lihat catatan kaki no. 17 di atas. 19

Sebagai contoh Decki Zonggonau dan Ruben Edowai atas inisiatif sendiri membuat laporan historis dengan judul Kronologis Sejarah Pelanggaran HAM di Kabupaten Paniai (Pegunungan Tengah) Propinsi Irian Jaya

(11)

Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang hingga sekarang belum ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Sejarah pembangunan Papua oleh Pemerintah Indonesia sulit untuk dilepaskan dari upaya-upaya meredam perlawanan orang Papua atau untuk memangkas potensi-potensi perlawanan. Dengan kata lain, Indonesia memiliki kepentingan yang cukup besar untuk mempertahankan keutuhan NKRI dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa orang-orang Irian Barat tidak sepenuhnya menyambut kehadirannya. Kekuatan-kekuatan politik yang berjuang untuk Papua merdeka dari masa sebelum integrasi tidak lenyap. Perlawanan lokal bersenjata tradisional telah terjadi sebelum integrasi.20 Di samping itu, kenyataan yang sulit untuk disangkal adalah berkembangnya nasionalisme Papua yang semarak menjelang integrasi.

Nasionalisme Papua yang telah bersemi sebelumnya disikapi sebagai sebuah kenyataan yang memerlukan pembanding. Agenda Indonesianisasi atau usaha-usaha untuk mengakulturasi nasionalisme Indonesia di Papua termasuk dalam prioritas pembangunan. Gietzelt melihat proses Indonesianisasi itu adalah upaya sistematis untuk mengindoktrinasi orang-orang Papua menjadi Indonesia. Proses itu ditempuh dengan penanaman pandangan-dunia (Pancasila), pembangunan, dan transmigrasi (Gietzelt, 1989). Boleh jadi Gietzelt bisa memberikan gambaran yang umum bahwa proses Indonesianisasi melibatkan pula proses dominasi terhadap orang asli Papua. Catatan yang penting terhadap penelitian Gietzelt adalah bahwa ia terbatas melihat proses Indonesianisasi seolah-olah bergerak hanya dari satu sisi, yaitu Indonesia. Gietzelt luput menggambarkan adanya proses sebaliknya, yaitu orang-orang Papua, tentu dalam jumlah yang lebih sedikit, yang terbuka terhadap proses asimilasi yang antara lain tampak dalam perkawinan campuran.21

Bila membuka kembali dokumen pembangunan Repelita I (1969) yang dikeluarkan pemerintah, kita akan mendapati jejak bahwa membangun nasionalisme Indonesia di antara orang Papua adalah salah satu agenda yang penting. Supriyono (2012) menulis tentang pembangunan di Papua sebagai berikut,

“Legitimasi yang lain untuk pembangunan di Papua adalah nasionalisme. Bukan lagi rahasia bahwa pemikiran tentang pembangunan juga mencakup agenda pembentukan nasionalisme Indonesia di kalangan orang Papua (Gietzelt, 1989; Rutherford, 2001). Rumusan dalam dokumen pembangunan berbunyi, “meningkatkan kesadaran masyarakat

menuju persatuan dan kesatuan Nasional.” Repelita I memprioritaskan juga semua usaha

untuk membangun kesadaran orang Papua sebagai bagian dari Indonesia. Dalam kata lain,

20

Contoh perlawanan lokal di antara orang Mee di Paniai dapat dilihat di Pigay, 2001. 21

(12)

ada kesadaran di antara orang Papua bukan sebagai bagian dari Indonesia, melainkan

sebagai bangsa yang berdiri sendiri.” (Supriyono, 2012: 74)

Nasionalisme Papua, yang telah berkembang sejak masa pendudukan Jepang (Chauvel, 2005), dipandang sebagai kondisi potensial yang membahayakan kehadiran Indonesia. Lebih lagi, di dataran tinggi pegunungan tengah, orang-orang suku Mee telah memiliki pengalaman historis berperang melawan tentara Indonesia dalam rangka menolak penyelenggaraan Pepera pada tahun 1969. Bahkan, sejak sebelum Pepera hingga tahun-tahun ini, semangat perlawanan yang dulu dikomandani oleh Thadius Yogi berhasil diwariskan kepada anak-anak dan pengikutnya yang berbasis di hutan-hutan di dataran tinggi Pegunungan Tengah. Kendati belum banyak ditelisik, wilayah pegunungan tengah sekitar Paniai pernah menjadi wilayah operasi militer seperti kawasan lain di provinsi ini.22 Perlawanan-perlawanan yang mengekspresikan nasionalisme Papua juga telah menjadi sejarah panjang di antara orang Biak dan Numfor di sebelah utara Pulau Papua.

Persoalan nasionalisme Papua adalah isu yang serius bagi Pemerintah Indonesia, bukan hanya ketika awal-awal integrasi tetapi hingga sekarang ini. Dari percakapan-percakapan saya dengan beragam informan di Papua—antara lain yang mengalami masa-masa persis setelah Pepera tahun 1969, dan yang mengalami masa-masa-masa-masa sesudahnya— muncul kesan bahwa nasionalisme Indonesia ibarat suatu barang asing yang dicangkokkan secara koersif.23 Secara metaforis, Pak Edowai mengatakan “Kami ini dipaksa menikah dengan pemuda yang tidak kami cintai.”24 Dengan kata lain, proyek besar Pemerintah Indonesia di Papua adalah menghancurkan nasionalisme Papua, dan menggantikannya dengan nasionalisme Indonesia.

Agenda lain yang cukup penting bagi rezim Orde Baru bersangkutan langsung dengan paradigma pembangunan. Arah pembangunan masa itu adalah proses mengejar pertumbuhan ekonomi. Pulau Papua yang sangat kaya dengan sumber daya alam memenuhi kriteria untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru di wilayah timur Indonesia. Pemerintah segera mengidentifikasi kota-kota seperti Sorong, Manokwari, Nabire, Jayapura, Timika dan beberapa kota lain sebagai pusat kegiatan ekonomi eksploitatif. Sejak tahun 1967, sebelum Pepera dilakukan, rezim Orde Baru sudah memberikan izin kepada PT. Freeport untuk

22

Percakapan penulis dengan Ruben Edowai di Nabire, pada 14 Maret 2012. Lihat juga catatan Decki Zonggonau dan Ruben Edowai seperti saya sebut di catatan kaki no. 19

23

Tentang sejarah bagaimana nasionalisme Indonesia ditumbuhkan di antara orang Papua bisa dilihat disertasi Bernarda Meteray (2012) yang kemudian diterbitkan menjadi Nasionalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

24

(13)

berinvestasi di bidang pertambangan di Timika. Pemerintah mendirikan perusahaan pengalengan ikan di Sorong. Kemudian, pemerintah juga membuka perusahaan kayu di Holtekamp, Jayapura. Untuk mencapai tujuan pembukaan pusat-pusat perekonomian yang baru itu, pemerintah membangun infrastruktur perhubungan laut, darat, dan udara. Prasarana perhubungan ini berguna sekaligus untuk efektivitas pemerintahan, menyambungkan Papua dengan pusat demi menstabilkan situasi politik di Papua.

Pada tahapan perencanaan pembangunan selanjutnya, sekitar dekade 1980-an yang bertujuan mencapai swasembada beras, pemerintah mencetak ribuan hektar sawah di pesisir-pesisir Papua. Program ini dibarengi dengan mendatangkan para imigran dari Jawa. Orang-orang dari seberang itulah yang kemudian dipercaya untuk menggarap sawah, dan diberi peran oleh negara untuk terlibat dalam pembangunan negara, yakni swasembada pangan.

Orang-orang Papua tidak memiliki pengalaman menggarap sawah. Seperti orang-orang Dayak di Kalimantan, mereka adalah peladang berpindah. Padi adalah jenis tanaman pangan yang relatif baru mereka kenal. Artinya, kecakapan praktik bertani orang Papua tidak cocok dengan kebutuhan pembangunan. Untuk merespon model pembangunan seperti itu, saya menulis:

“Pemerintah mendekati Papua dalam kerangka pikir yang cenderung Jawa-sentris sejak permulaan yang diperlihatkan dengan penjajakan penanaman padi di Merauke, di daerah Kumba, serta di Dosasi Jayapura. Dosasi dianggap lebih berprospek dan untuk menangani proyek itu pemerintah mendatangkan transmigran dari Jawa.” (Supriyono, 2012: 77)

Pembangunan di tangan pemerintah pusat berfungsi sebagai kategori demografis yang mendudukkan orang Papua sebagai masyarakat yang tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan, dan orang dari luar Papua (migran) sebagai kelompok yang sebaliknya. Orang-orang Papua tidak memiliki kemampuan untuk mengambil peran dalam pembangunan. Mereka tidak mampu mengolah sawah dan menghasilkan beras. Dihadapkan kepada para pendatang dari Jawa, orang-orang Papua ini terlihat sebagai ‘masyarakat terbelakang’ yang masih membutuhkan pembangunan. Tidak jarang dalam ungkapan keseharian, orang Papua disebut sebagai primitif. Orang-orang Papua terlihat lebih inferior dibandingkan dengan kelompok yang lain. Orang-orang Papua menjadi warga kelas dua.

(14)

orang-orang Papua. Bapak itu mengatakan bahwa ia, dan para imigran lain, dikirim ke Papua untuk memajukan orang Irian. Meskipun percakapan berlangsung pada tahun 2007, ia masih menggunakan nama “Irian”.25 Kehadiran para pendatang, yang jumlah populasi di wilayah urban sudah mengungguli orang asli Papua, secara objektif sudah mendominasi sektor ekonomi dan terus membuat orang asli Papua merasa terancam.26

Pembangunan dialami oleh orang Papua sebagai suatu sejarah yang paradoksal. Proses pembangunan berhasil mengonstruksi episteme yang mengeksklusi orang Papua atau menjebak mereka pada kerangka pengetahuan bahwa orang Papua adalah warga kelas dua yang tidak punya cukup kemampuan dibandingkan kelompok etnis yang lain. Selanjutnya, konsep ‘orang tidak mampu’ bermanfaat untuk merongrong, melemahkan, atau membuat orang meragukan bahwa orang Papua bisa merdeka dan cakap mengurusi negaranya. Pihak-pihak luar yang sekadar menyaksikan lewat selembar foto atau secuil berita tentang orang Papua ‘yang terbelakang’ diarahkan tanpa sadar untuk melegitimasi pembangunan yang dilakukan negara. Mereka dibujuk untuk menyetujui gagasan bahwa orang Papua adalah masyarakat terbelakang yang perlu dibangun.

3. Jejak Kolonialistik Pembangunan

Pada bagian sebelumnya, tulisan ini menyajikan analisis bahwa nasionalisme Indonesia menjadi agenda penting untuk menggantikan nasionalisme Papua yang telah bertumbuh-kembang sejak sebelum integrasi dan menjadi semakin subur berkat integrasi. Kemudian, saya terkenang pada percakapan di tengah malam 14 Maret 2012 dengan Pak Edowai di teras rumahnya. “Dari mana Indonesia mendapatkan wewenang untuk mengindonesiakan orang Papua?” Lalu pertanyaan itu ia jawab sendiri, “Indonesia memberi kuasa pada dirinya sendiri.”27

Percakapan sampai dini hari itu berisi gugatan terhadap kehadiran Indonesia di Papua. Berkali-kali Pak Edowai mengatakan tidak pernah orang Papua meminta Indonesia melepaskan Papua dari penjajahan Belanda. Malah, ia sendiri menganggap Belanda tidak

25

Presiden Abdurahman Wahid mengembalikan nama Papua pada 1 Januari 2000. Bagi orang Papua, pengembalian nama ini bermakna pengakuan terhadap identitas mereka sebagai orang Papua, nama mereka sendiri. Sedangkan, nama Irian adalah nama yang diberikan oleh orang lain (baca: pemerintah) terhadap mereka. Freddy, informan penelitian saya, mengatakan bulu-bulu di tangannya berdiri ketika disebut sebagai orang Irian.

Ungkapan ‘bulu yang berdiri’ menandakan ketidaksukaan yang sampai pada tingkat tersinggung dan marah

karena merasa tidak diakui. 26

Pandangan seperti ini terungkap dengan sangat jelas dalam Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua di Jayapura 24-27 Juli 2013. Di antara mereka, banyak yang mendesak diberlakukannya pembatasan migrasi masuk dari luar Papua.

27

(15)

menjajah Papua. Dengan nada geram dan suara gemetar, sebaliknya ia mengatakan, “Indonesialah yang menjajah Papua!”

“Pernahkah Papua mengundang Indonesia untuk datang dan membangun di sini? Tidak pernah.” Pertanyaan yang juga bisa disodorkan: “Apa yang membuat pemerintah merasa punya kuasa untuk menempatkan keluarga-keluarga suku Mee tinggal diapit dua rumah penduduk imigran dari Jawa yang bahasanya tidak mereka mengerti?” Satu pihak merasa lebih berhak atau berkuasa atas pihak yang lain. Dia merumuskan bahwa Anda membutuhkan ini, dan ini tetapi bukan itu.28 Sangat jelas, orang-orang Papua tidak pernah mengundang dan meminta pertolongan kepada bangsa asing untuk mengubah keadaan hidup mereka.

Dalam sejarah Papua, yang pada masa Belanda disebut West New Guinea, praktik-praktik pemerintah yang dimaksudkan untuk kepentingan memasukkan populasi pulau itu ke dalam administrasi demi kepentingan pembangunan telah jamak. Sangat jelas bahwa Belanda memiliki kepentingan kolonialistik di Papua. Kendati Belanda mendirikan pos-pos di wilayah pesisir Papua pada tahun 1898, jangkauan administrasi mereka bisa dikatakan hampir tidak menyentuh penduduk pulau itu. Pekerjaan administrasi dipraktikkan pula oleh para misionaris Protestan di pesisir utara dan Katolik di pesisir selatan untuk penanganan penyakit epidemik serta pembukaan sekolah yang disubsidi oleh Gereja (Wolf dan Jaarsma, 1992: 110).29

Untuk keperluan pemerintahan itu pula, Pemerintah Belanda membuka Kantoor voor Bevolkingszaken (Kantor Urusan Penduduk Setempat) yang bertugas untuk mengumpulkan segala informasi, bukan hanya tentang sumber daya alam, tapi juga tentang orang Papua (Wolf dan Jaarsma, 1992). Salah satu tugas dari para staf kantor ini adalah memimpin, menginisiasi, dan mengevaluasi riset sosial ekonomi. Masih menurut penelitian Wolf dan Jaarsma, baik riset dari kantor pemerintah maupun dari para misionaris memiliki tujuan luas yang sama, yakni pasifikasi dan akulturasi.30 Patokan pemerintah untuk tujuan umum ini

28

Literatur yang mendalami pertanyaan ini adalah Li, Tania. (2007). The Will to Improve: Governmentality, Development, and The Practice of Politics. Durham dan London: Duke University Press.

29Wolf, J.J. de dan Jaarsma, S. R. (1992). “Colonial Ethnography: West New Guinea (1950

-1962). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Deel 148, 1ste Afl., hlm 110. Di Kokonao, Distrik Mimika Barat, peninggalan aksi-aksi pembangunan dari para misionaris yang mulai bekerja pada tahun 1927 masih bertahan hingga sekarang. Di sana, para misionaris Katolik membuka kampung di pesisir dan berhasil membangun sekolah berasrama, gereja, rumah sakit, dan kursus untuk para perempuan. Pada tahun 1949, Pemerintah Belanda memindahkan penduduk dari Kiyura Gunung ke sebuah kampung yang dinamai sama tapi di di wilayah pesisir. Untuk menjalankan karya-karya itu, para misionaris mendatangkan para guru dari wilayah Kei.

30

(16)

sederhana saja, yakni terjaganya tatanan, dan pencegahan terhadap kerusuhan sosial, dan implementasi yang tepat untuk tujuan pembangunan ekonomi, sosial dan politik (Wolf dan Jaarsma, 1992). Pemerintah Belanda merekrut tenaga-tenaga dari kawasan Indonesia bagian timur untuk mencapai beberapa tujuan tersebut (Chauvel, 2005).

Tiga golongan penduduk yang menghuni Papua pada masa pendudukan Belanda adalah orang asli Papua, orang-orang dari kawasan Indonesia timur (Manado, Ambon, Kei, dan lain-lain) yang sudah terdidik, dan para orang Belanda (misionaris, zending, dan pegawai pemerintah). Orang-orang dari Eropa berada di posisi yang paling tinggi, orang dari Indonesia timur berada di kelas menengah, dan orang asli Papua berada di dasar piramida. Dalam dinamika sehari-hari, orang-orang Papua kadang diperlakukan kasar atau menjadi objek kekerasan para pegawai Belanda yang menilai diri mereka lebih tinggi.31 Ungkapan-ungkapan bernada merendahkan, dalam kesaksian para pamong praja, menjadi peristiwa yang berulang-ulang mereka temukan.

Di antar orang-orang Mee, di mana saya mengadakan penelitian, gambaran orang yang berhasil adalah menjadi ogai, yaitu menjadi seperti orang kulit putih dari Eropa. Orang-orang tua, ketika mengirimkan anaknya bersekolah, mengharapkan anaknya menjadi ogai. Saya masih belum mendapatkan keterangan bagaimana proses menjadi orang ogai atau menjadi orang kulit putih Eropa. Di Epouto, orang-orang tua mengatakan bahwa di masa mereka, anak-anak SD sudah fasih berbicara dalam bahasa Belanda, suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak-anak pada masa sekarang. Sebagian orang tua menilai bahwa pendidikan masa Belanda berhasil mengantarkan mereka menjadi ogai.32

Saya tidak mendapatkan keterangan yang memadai mengapa orang-orang Mee melihat orang Eropa sebagai model dan mereka ingin menyerupainya. Saya menduga kuat pengalaman yang baik orang Papua terhadap Pemerintah Belanda pasca-perang pasifik, yaitu ketika Belanda mendidik calon elite lokal Papua yang dipersiapkan untuk menjalankan

dan pelayanan pendidikan. Pasifikasi berarti menyingkirkan hambatan untuk membangun hidup Kristiani yang sejati. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh para misionaris tampak lebih ekstensif dalam hal akulturasi. Kebanyakan sekolah ini disubsidi oleh pemerintah dan memiliki kurikulum seperti yang disyaratkan oleh pemerintah.

31

Pengalaman-pengalaman itu sebagian masih terekan dan ditulis oleh Leontine Visser dan Amapon Jos Marey. (2008). Bakti Pamong Praja Papua di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Buku ini memuat kisah-kisah para orang Papua yang mengenyam pendidikan dan disiapkan oleh Belanda untuk menduduki posisi dan jabatan di pemerintahan. Mereka menempuh pendidikan yang sekarang layaknya IPDN.

32

(17)

pemerintahan sendiri, berkontribusi pada proses formasi tipologi manusia ideal.33 Di bawah kepemimpinan van Eechoud, orang-orang Papua merasakan dinamika ditarik dari golongan perifer ke kaum yang berada di sentral dan mulai mengimajinasikan diri sebagai aktor-aktor sentral di Papua.34

Langkah ini pun terbaca sangat jelas sebagai upaya mempertahankan kepentingan kolonialistik Belanda atas Papua. Setelah Indonesia merdeka, Papua diharapkan menjadi “tropical Holland” di mana orang-orang Belanda yang terusir dari Indonesia akan tinggal dan tidak perlu kembali ke Eropa. Secara geopolitik, jika masih punya tempat berpijak di Papua, maka Belanda masih berpeluang untuk kembali ke Indonesia. Harapan Belanda dipupus oleh referendum yang diduga ditekan oleh pihak Indonesia demi integrasi.

Setelah orang-orang Belanda pergi, kepentingan Pemerintah Indonesia adalah mengidentifikasi, memastikan, dan mematikan anasir-anasir yang bukan Indonesia. Anasir yang non-Indonesia digolongkan sebagai separatis dan mengandung unsur kriminal. Hal ini adalah langkah sepihak dan berada dalam kewenangan penuh Pemerintah Indonesia. Akan tetapi, sebenarnya tidak pernah sepenuhnya jelas apa yang digolongkan sebagai anti- atau non-Indonesia itu. Jejak kolonialistik yang tebal dan mencolok amat tampak di sini.

Pertemuan saya dengan Tebay, seorang muda belia yang kala itu baru akan menyelesaikan jenjang SLTA, di pertengahan tahun 2012, membuka cakrawala saya bagaimana kategori itu tidak cukup jelas, bahkan untuk pejabat atau aparat Pemerintah Indonesia sendiri. Setiap menjelang hari Kemerdekaan RI, warga di kampungnya dipanggil berkumpul dan diwajibkan mengikuti upacara bendera pada tanggal 17 Agustus. Masing-masing keluarga juga harus mengibarkan bendera merah putih di rumahnya. Pada hari H, aparat militer sudah bersiap dan sebagian lagi berpatroli untuk menyuruh semua warga mengikuti upacara. Orang-orang berkumpul di lapangan dengan rasa kurang gembira. Jika boleh jujur dan tetap dijamin keamanannya, kata Tebay, maka orang-orang di kampung itu tidak mau mengikuti upacara.

33 Untuk menjawab sanggahan yang sering diajukan pembaca awam terkait dengan hipotesis ini: “

Mengapa Belanda tidak melakukan hal serupa terhadap Indonesia?”, saya dapat menjawab demikian. Konteks politiknya berbeda. Belanda berharap mereka bisa mempertahankan kekuasaan di Papua dan memenangkan hati orang Papua. Geopolitik setelah perang dunia II berubah. Belanda terancam kehilangan Papua.

34

(18)

Ketika ia masih SMP, ia dan teman-temannya menghindari paksaan dengan dalih sakit malaria atau yang lain. Juga ada yang berpura-pura pingsan ketika upacara baru dimulai lima menit. Ada juga yang berpura-pura hormat bendera, tetapi sesungguhnya orang itu sedang menggaruk-garuk kepala atau memilin rambut.

Yang agak membingungkan saya adalah ketika pelajaran muatan lokal tidak boleh digunakan untuk mengajarkan seni budaya masyarakat setempat. Sejatinya, tidak ada dasar hukum yang diacu. Pejabat setempat berdalih bahwa bahasa lokal Papua lebih dari 250 bahasa. Jika hanya memelajari satu saja, maka kelompok pengguna bahasa yang lain akan cemburu. Ketika bertemu empat mata, orang yang sama mengatakan bahwa membuka muatan lokal untuk memelajari seni dan budaya lokal malah akan membuat orang Papua merasa semakin Papua, tidak menjadi semakin Indonesia. Ia mengacu pada kiprah grup musik Mambesak yang dimotori oleh Arnold Ap, seorang antropolog Universitas Cenderawasih.35

Menempatkan kepapuaan sebagai ancaman bagi proses pembangunan—termasuk dalam bidang pendidikan yang akan ikut membentuk karakter orang-orang Papua di masa depan—sama saja dengan kurang memberi ruang bagi berkembangan nilai-nilai lokal. Boleh jadi yang ditulis dalam dokumen Repelita I dengan “Meningkatkan kesadaran masyarakat menuju persatuan dan kesatuan Nasional” sama maksudnya dengan menekan semua anasir kepapuaan, dan membuka ruang seluas-luasnya untuk mereka yang bukan etnis Papua. Logika pembangunan masa itu bertendensi untuk melemahkan atau bahkan melenyapkan anasir-anasir Papua, dan menggantinya dengan anasir Indonesia.

Jejak kolonialistik yang pernah ditorehkan dalam proses pembangunan: orang-orang Papua dilarang untuk mencapai apa yang mereka ingin capai, tetapi sebaliknya ditekan untuk meraih yang ditetapkan oleh orang lain (baca: pemerintah).

4. Pembangunan atau Kolonisasi: Diskursus “Bangsa Terjajah”

“Keinginan untuk merdeka adalah suatu yang bersifat intrinsik di dalam diri setiap orang Papua. Sebagai akibat sejarah penjajah yang berbeda dengan bagian lain di Indonesia. Sekarang dan ke depan hanya ada dua pilihan bagi pemerintah dan bangsa Indonesia dalam menyingkapi keinginan merdeka orang Papua, yaitu membangun Papua dengan sungguh-sungguh sehingga orang Papua merasa merdeka di dalam NKRI atau mengulangi kembali kesalahan di zaman Orde Baru yang sarat pelanggaran HAM untuk selanjutnya menodai

35

(19)

amanat pembukaan UUD 1945 yang melarang bangsa ini untuk melakukan pelanggaran HAM secara terus-menerus terhadap sekelompok manusia dan bangsa Indonesia yang disebut orang Papua sehingga pada saatnya mendatangkan bencana dan malapetaka bagi

bangsa ini.”

“Bila kita tidak mampu melaksanakan amanat UUD 1945 itu dengan sungguh-sungguh dan dengan baik di dalam menyingkapi keinginan merdeka orang Papua maka jalan terbaik adalah membangun suatu percakapan yang etis antara orang Papua dengan bangsa dan negara ini untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan seadil-adilnya dan sedemokratisnya bagi orang Papua untuk menentukan sendiri posisi terbaik mereka untuk meraih masa depan yang lebih baik untuk hidup sejahtera dan dalam suasana damai denagn bangsa yang ada di dunia ini.” (Wospakrik dalam Raweyai, 2002: vi-vii)

Representasi diri orang Papua sebagai bangsa terjajah dan sedang menjelang kebinasaan sudah cukup jamak serta dilakukan tanpa sembunyi-sembunyi. Begitu juga dengan tuntutan mereka untuk berdiri merdeka sebagai bangsa yang berdaulat.36 Ketika Habibie menjadi presiden, Tim 100 yang terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat Papua menghadap ke B.J. Habibie untuk menyampaikan aspirasi orang-orang Papua. Mereka ingin merdeka dan berdiri sebagai negara sendiri yang berdaulat atau memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menanggapi permintaan itu, Habibie menyuruh tim ini pulang untuk merenungkan kembali permintaan mereka.

Di luar negeri, orang-orang Papua yang mengasingkan diri setelah integrasi Papua, secara konsisten memperjuangkan kemerdekaan Papua. Mereka tersebar di Australia, Inggris, Swedia, Amerika Serikat, Belanda, dan negara-negara Pasifik. Mereka terus membina kontak dengan orang-orang di Papua untuk terus update dan menyampaikan temuan-temuan mereka di banyak negeri. Di sana, mereka berkolaborasi dengan beberapa cendekiawan asing yang simpatik dengan persoalan Papua untuk menggalang dukungan bagi perjuangan mereka. Pusaran diskursus mereka berada di ranah hak asasi manusia (HAM) yang telah menjadi bahasa lintas bangsa. Dengan mengandalkan temuan-temuan pelanggaran HAM di lapangan, seperti penembakan oleh aparat militer dan kepolisian, mereka menampilkan betapa nestapanya orang Papua di bawah kekuasaan Indonesia.37

Di Papua sendiri, pasca-Orde Baru, dan dalam semangat reformasi, ketika iklim demokrasi sedang berkembang di Indonesia, wacana Papua merdeka dilakukan secara terbuka. Tumbangnya rezim Orde Baru yang berlanjut dengan dilangsungkannya referendum

36

Sejumlah publikasi tentang itu misalnya Sendius Wonda, Tenggelamnya Rumpun Ras Melanesia (2008), Yorrys Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka (2002). Buku yang pertama mengangkat pula wacana genosida yang sedang berlangsung secara sistematis dan tersembunyi di Papua. Selain telah menjadi pembicaraan yang sehari-hari di antara orang-orang kritis Papua, di antaranya para mahasiswa, tokoh-tokoh adat, dan juga Gereja, genosida di Papua menjadi pokok laporan Allard K. Lowenstein International Human Rights Clinics Yale Law School dengan judul Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control (2004).

37

(20)

Timor Leste, membangkitkan harapan di kalangan orang-orang Papua untuk menyusul keluar dari Indonesia. Periode ini dikenal sebagai Papuan Spring atau musim semi Papua yang di dalamnya nasionalisme Papua menyeruak serta diekspresikan secara semarak setelah periode panjang represi oleh rezim Orde Baru.

Sementara itu, di awal periode reformasi, kita menyaksikan orang-orang Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora di Biak, Nabire, Wamena, dan sejumlah tempat lain diiringi lagu Hai Tanahku Papua—suatu tindakan yang cukup mendatangkan hukuman berat di bawah rezim Orde Baru—secara amat santai dan terbuka, bahkan sudah menjadi tindakan sehari-hari, untuk mengartikulasi keterjajahan mereka. Percakapan tentang orang Papua yang terjajah, yang dirampok kekayaan alamnya, dan diinjak-injak hak asasinya dengan gampang terdengar di sudut-sudut pasar, di lapangan sepak bola, atau di ruang-ruang terbuka, terutama setiap tanggal 1 Desember.

Kalangan nasionalis Indonesia tidak setuju untuk menyebut Papua sebagai kaum terjajah. Seperti ditulis sebagai sejarah resmi negara, Indonesia justru membebaskan Papua dari penjajahan Belanda dan dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Wacana itu terus direproduksi, termasuk yang bisa kita saksikan pada plakat-plakat di pos-pos militer di Papua, misalnya “NKRI harga mati”: sebuah wacana yang mencipta imaji teritorial Indonesia dari Sabang sampai Merauke sebagai keutuhan yang harus dipertahankan. Persoalan sejarah integrasi Papua ke Indonesia sudah final dan tidak untuk ditilik kembali. Upaya-upaya demokratis sejumlah kelompok sipil di Papua untuk meninjau kembali sejarah integrasi justru menabrak tembok dingin yang nyaris mustahil untuk ditembus.

Individu-individu dan kelompok-kelompok sipil maupun bersenjata yang kritis dan vokal menggugat praktik-praktik kekuasaan negara justru diringkus serta dikategorikan secara generik sebagai gerakan separatis-makar-ancaman bagi keutuhan NKRI. Nasib yang sama menjumpai figur-figur kritis yang mengobarkan semangat anti-Indonesia meski dengan strategi resistensi yang sangat kultural. Ketika iklim demokrasi kita belum seperti yang sekarang ini, orang-orang atau kelompok-kelompok semacam itu seketika ditangkap lantas ditetapkan sebagai tahanan politik selama bertahun-tahun. Bahkan, ada juga yang tanpa proses semacam itu tapi langsung dibunuh. Untuk menyebut satu nama dari sekian yang ada adalah Arnold Ap yang dibunuh pada tahun 1984.

(21)

Papua yang saya temui selama penelitian di lapangan menilai pembangunan berdasarkan pengalaman mereka secara berbeda-beda.

Wospakrik, seperti saya kutip di atas, melihat harapan bahwa pembangunan yang sungguh-sungguh bisa menyelesaikan persoalan Papua. “Pembangunan yang sungguh -sungguh” bisa menjelmakan NKRI yang adil, yang menghormati Hak Asasi Manusia, melepaskan orang Papua dari perasaan terintimidasi, memberikan pendidikan berkualitas serta bisa diakses, memberikan layanan kesehatan yang baik, dan menghadirkan pemerintahan beserta aparat negara yang melayani (Widjojo, ed., 2009). Harapan semacam itu cukup masuk akal mengingat praktik pembangunan di Papua masih dibelenggu wacana-wacana kolonialistik yang bukan saja menjauhkan orang-orang Papua dari pengalaman pembangunan yang adil dan menghargai HAM, tetapi juga tampak dibutuhkan oleh pemerintah pusat demi melegitimasi praktik-praktik kekerasan dan untuk melemahkan perjuangan politik orang Papua.

Permintaan orang-orang Papua untuk merdeka ekuivalen dengan perasaan atau anggapan bahwa mereka belum merdeka. Di Papua, tuntutan untuk merdeka serta berdaulat sebagai bangsa sendiri sudah menjadi pemandangan yang jamak dan menjadi kesadaran kolektif yang diartikulasikan ke dalam berbagai ekspresi, mulai dari graffiti di jembatan, pamflet, hingga nyanyian-nyanyian malam sebelum tidur.

5. Penutup

Dalam sejarah pembangunan di Papua, orang Papua tidak menempati bagian yang cukup penting. Posisinya lebih dominan sebagai ‘yang didefinisikan’ atau ‘yang dibangun’ tetapi tidak cukup memiliki ruang untuk terlibat membangun dirinya sendiri. Pada akhir pendudukan Belanda, gagasan untuk melahirkan elite lokal Papua sepertinya sudah akan mengarahkan sejarah orang Papua ke titik cerah. Akan tetapi, Pemerintahan Indonesia yang sejatinya kekurangan legitimasi dari orang Papua justru membelokkan sejarah ke arah yang lain. Di bawah Indonesia, orang-orang Papua mengalami praktik pembangunan yang meminggirkan dan mendiskriminasi mereka. Rancangan pembangunan yang berfokus pada tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru di Papua yang konsekuensinya menimbulkan gelombang imigrasi dari luar Papua dalam kurun waktu yang panjang, telah berdampak pada rasio penduduk asli dan pendatang yang saling berimbang, serta pada kekalahan penduduk asli dalam persaingan di bidang-bidang ekonomi, utamanya di perkotaan.

(22)

swasembada beras. Sebaliknya, orang-orang dari Jawa lebih cocok. Dalam hal ketenagakerjaan, orang-orang Papua dieksklusikan.38

Bagi orang Papua, pembangunan didapati sebagai sebuah paradoks. Alih-alih mendudukkan mereka di pusat proses, mereka justru berada di pinggir arena. Tidak jarang mereka malah menjadi korban yang tidak bisa menuntut. Pada awal dekade 1980-an, ketika pemerintah menggencarkan transmigrasi, antara lain ke Papua; ribuan hektar hutan diubah menjadi permukiman dan persawahan. Kepemilikan orang Papua atas area itu disangkal. Hutan diklaim milik negara. Mereka tidak bisa protes. Mungkin mereka takut dengan tentara. Apalagi, Papua ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Protes-protes mereka, jika sampai membesar, maka akan dicap sebagai gerakan anti-pembangunan. Padahal, pemerintah sedang mengejar pembukaan pusat-pusat perekonomian baru.

Yang terjadi di Papua atau lebih persis bagi orang Papua, adalah kegagalan pembangunan (Widjojo, ed., 2009). Indikator yang dengan gampang disepakati adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tetap tergolong terbawah di Indonesia. Sudah semestinya arah pembangunan di Papua tidak lagi dibebani dengan membasmi nasionalisme Papua atau dikendalikan oleh ketakutan akan bertumbuh-kembangnya nasionalisme Papua. Konsekuensinya sudah jelas. Orang-orang Papua tidak merasakan manfaat pembangunan. Kegagalan pembangunan hanya menyuburkan ketidakpercayaan orang-orang Papua terhadap pemerintah Indonesia yang selama ini sudah mereka ekspresikan dengan beragam penolakan, dan sikap apatis terhadap program-program pemerintah.

Apabila sejarah panjang Papua didominasi oleh wajah kekerasan militeristik demi mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pemerintah kini boleh berpikir untuk mengubah haluan dan menjawab harapan orang-orang Papua. Seperti disarankan oleh Wospakrik, satu jalan yang masih bisa ditempuh saat ini adalah melakukan pembangunan yang sungguh-sungguh, yang adil, dan menghargai Hak Asasi Manusia, memberikan pendidikan yang baik dan layanan kesehatan yang gampang diakses. Belenggu ketakutan seharusnya sudah dipatahkan.

Praktik-praktik kekerasan yang membawa pesan di baliknya penegasan akan kewibawaan negara hampir tidak ada gunanya. Tindakan-tindakan semacam itu, di samping terus menjaga kesan kolonialistik, tidak membuka kesempatan bagi berkembangnya iklim pembangunan yang menjunjung Hak Asasi Manusia. Secara umum, jika pemerintah hendak

38

(23)

meninggalkan paradigma pembangunan kolonialistik, maka saya mendesak pemerintah untuk melampaui pola yang sudah ajek dipraktikkan bertahun-tahun ini dan menempuh suatu jalan baru. Widjojo cs., sudah memberikan bantuan pemetaan yang amat cukup dengan Papua Roadmap mereka untuk menuju Papua tanah damai.

DAFTAR PUSTAKA

Asian Human Rights Commission dan Human Rights and Peace for Papua. (2013). The Neglected Genocide - Human rights abuses against Papuans in the Central Highlands,

1977 - 1978. Kwun Tong dan Wuppertal: Asian Human Rights Commission dan Human Rights and Peace for Papua (International Coalition for Papua).

Brundige, Elizabeth cs. (2004). Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control diakses dari http://www.law.yale.edu/documents/pdf/intellectual_life/west_papua_final_report.pdf pada 12 September 2011.

Chauvel, Richard. (2005). Constructing Papuan Nationalism: Historicity, Ethnicity, and Adaptation. New York: East West Center.

Drooglever, P. J. (2010). TINDAKAN PILIHAN BEBAS!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Yogyakarta: Kanisius.

Gietzelt, Dale. (1989). “The Indonesianization of West Papua” dalam Oceania 56 (3): 201-221.

Li, Tania. (2007). The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics. Durham dan London: Duke University Press

Meteray, Bernarda. (2012). Nasionalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Osborne, Robin. (2001). Kibaran Sampari, Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di Papua Barat, (terj.). Jakarta: Elsam.

Otten, Mariel. (1986). "Transmigrasi: Myths and Realities - Indonesian Resettlement Policy, 1965 -1985," IWGIA Document No. 57. Copenhagen: International Work Group for International Affairs.

Pigay, Decki Natalis. (2001). Evolusi nasionalisme dan sejarah konflik politik di Papua: sebelum, saat, dan sesudah integrasi. Jakarta: Sinar Harapan.

(24)

Supriyono, Johanes. (2012). Menarik Batas: Reproduksi Modernitas dan Resistensi Orang Mee terhadap Pendatang dan Negara. Tesis. Universitas Indonesia.

Upton, Stuart. (2009). The Impact of Migration on the People of Papua, Indonesia. A historical demographic analysis. University of New South Wales.

Visser, Leontine dan Amapon Jos Marey. (2008). Bakti Pamong Praja Papua di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Widjojo, Muridan S. (ed). (2009). Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future. Jakarta: LIPI, Yayasan Tifa, Yayasan Obor Indonesia. Wolf, J.J. de dan S.R. Jaarsma, S. R. (1992). “Colonial Ethnography: West New Guinea

(1950-1962). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Deel 148, 1ste Afl., hlm. 103-124. Diterbitkan oleh KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies. Wospakrik, Frans A. (2002). “Kearifan Mencari Solusi Persoalan Papua” dalam Yorrys Th.

Raweyai. Mengapa Papua Ingin Merdeka. Jayapura: Presidium Dewan Papua, hlm. vi-vii

Zonggonau, Decki dan Drs. Ruben Edowai atas inisiatif sendiri membuat laporan historis dengan judul Kronologis Sejarah Pelanggaran HAM di Kabupaten Paniai (Pegunungan Tengah) Propinsi Irian Jaya pada tahun 1999.

N. N. (2009). "Papua Butuh Bukti Nyata Otonomi Khusus,” KOMPAS, 18 November 2009. N. N. (2010). "Otonomi Khusus Belum Berasa,” KOMPAS, 24 Februari 2010.

Sumber data dari laman Bappenas:

http://www.bappenas.go.id/node/42/1702/repelita-ii-tahun-197475---197879/ (diakses pada 7 September 2012.)

http://www.bappenas.go.id/node/42/1701/repelita-i-tahun-196970---197374/ (diakses pada 6 September 2012)

http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/7166/ (diakses pada 6 September 2012) http://www.bappenas.go.id/node/42/1703/repelita-iii-tahun-197980---198384/ (diakses pada 7

September 2012)

http://www.bappenas.go.id/node/42/1703/repelita-iii-tahun-197980---198384/ (diakses pada 7 September 2012)

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Pelanggan yang merasakan puas menggunakan beton siap pakai Holcim atas kualitas produk maupun pelayanannya, menjadikan harga tidak penting dan tetap bersedia menggunakan atau

--Kemudian limit bandwidth ip yang anda inginkan pada jam 6 sore sampai jam 6 pagi nya lagi,contoh untuk ip 192.168.77.2 bandwidth 256 Kb untuk jam 6 sore sampai jam 6

Endang Evacuasiany, Dra., Apt., MS., A.F.K selaku pembimbing utama, atas segala bimbingan, pengarahan, perhatian, dukungan moril, kesabaran dan waktu yang telah disediakan

system calls Local Remote UNIX file system NFS client NFS server UNIX file system Application program Application program NFS UNIX UNIX kernel. Virtual file system Virtual

Berdasarkan hasil dan analisis yang diperoleh dari pengujian dalam Tugas Akhir ini, dapat diketahui bahwa, sensor alat pada perangkat monitoring berjalan dengan

Dalam upaya mempercepat pengembangan PLH khususnya jalur pendidikan Dalam upaya mempercepat pengembangan PLH khususnya jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar dan

Indeks masa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan,

Untuk memilih atau menunjuk yaitu dengan cara menggeser mouse hingga cursor bergerak menuju obyek yang akan dipilih, kemudian tekanlah  sebelah kiri (klik kiri) dengan