• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PAJAK BAGI PEMBANGUNAN NASIONAL DA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN PAJAK BAGI PEMBANGUNAN NASIONAL DA"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERAN PAJAK BAGI PEMBANGUNAN NASIONAL

DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT

“Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Sebagian

Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Hukum Pajak”

Dikerjakan Oleh:

Periati Ginting

5616220044

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI PASKA SARJANA (S2) KENOTARIATAN

(2)

2

JALAN SRENGSENG RAYA - JAKARTA SELATAN

Makalah dengan judul :

Peran Pajak Bagi Pembangunan Nasional

Dan Kesejahteraan Rakyat

Telah Dipresentasikan Di Hadapan Dosen Pengampu Dan Disaksikan Oleh

Teman-Teman Seangkatan V Fakultas Hukum Program Studi Paska Sarjana (S2)

Kenotariatan Universitas Pancasila, Di Jalan Srengseng Raya Jakarta Selatan.

Nilai : ( )

Dosen Pengampu:

H. DJAFAR AL BRAM

Dr. (USU), SH., MH., SE., MM., Bc.KN., CPM., S.AP., M.AP., M.IP. (UI)

(3)

3 DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Pertanyaan Penelitian ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ...5

1.4. Manfaat Penelitian ...5

1.5. Motode Penelitian ...6

1.6. Konsep dan Kerangka Teori...7

BAB II KONSEP DAN LANDASAN YURIDIS PEMUNGUTAN PAJAK 2.1. Konsep dan Dasar Pemungutan Pajak ... 16

2.2. Sejarah Perpajakan Indonesia ... 21

2.3. Sistem dan Dasar Penagihan Pajak ... 25

2.4. Asas dan Teori Pemungutan Pajak ... 30

BAB III PERAN PAJAK DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT 3.1. Ketaatan dan Kesadaran Pajak Masyarakat ... 36

3.2. Peran Pajak dalam Pembangunan Nasional ... 38

3.3. Pajak Untuk Kesejahteraan Rakyat ... 42

BAB IVPENUTUP 4.1. Kesimpulan ... 46

4.2. Saran ... 48

(4)

4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimuat dalam Alinea IV

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya disebut UUD 1945) telah sangat jelas menyebutkan tujuan dari

pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu untuk

“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan sosial”.1 Untuk Tujuan sebagaimana tersebut, Negara melalui

Pemerintah berupaya melakukan pembangunan-pembangunan yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Pemerintah sejak

Kemerdekaan Republik Indonesia menggalakkan pembangunan-pembangunan

tersebut yang diistilahkan dengan Pembangunan Nasional.

Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara

terus-menerus dan berkesinambungan. Pembangunan tersebut bertujuan untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara adil,

makmur dan merata. Agar tujuan tersebut dapat terwujud maka dibutuhkan dana,

yang salah satunya berasal dari penerimaan pajak. Pajak merupakan pendapatan

negara yang cukup potensial, untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.

Penerimaan dari sektor pajak ternyata salah satu sumber penerimaan terbesar

negara. Negara akan maju kalau pajak tetap ada dan negara akan hancur kalau

tidak ada pajak. Buktinya, kontribusi pajak dalam APBN sejak tahun 2006 sampai

tahun 2010 terus meningkat. Pada tahun 2006 saja kontribusi pajak sudah 56,5%,

lalu tahun 2007 naik jadi 61,7%, tahun 2008 menjadi 70,3%, tahun 2009 menjadi

72,5% dan tahun 2010 hampir mencapai 80%, artinya bahwa kelangsungan hidup

(5)

5

bernegara didominasi dan ditentukan dari besarnya penerimaan pajak. Dari tahun

ke tahun terlihat bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil

besar dalam penerimaan negara, oleh sebab itu penerimaan dari sektor pajak selalu

dikatakan primadona dalam membiayai pembangunan nasional. 2

Dalam rangka membiayai berbagai keperluan pembangunan, negara

sangat membutuhkan dana yang tidak sedikit.3 Antara lain untuk membiayai gaji

pegawai, subsidi, jembatan, terminal, jalan, dana untuk keamanan, pendidikan,

kebudayaan, kesejahteraan sosial, kependudukan, perumahan rakyat dan fasilitas

untuk kesehatan.4 Jika melihat struktur Rencana Anggaran Pendapatan Belanja

Negara 2001, ada dua pos penerimaan sebagai sumber dana biaya pembangunan

yaitu penerimaan dalam negeri dan penerimaan luar negeri yang sebenarnya lebih

tepat disebut sebagai bantuan. Namun pada akhirnya pajak menjadi prioritas

penting untuk dijadikan sumber penerimaan utama bagi negara. Sekarang ini pajak

masih dijadikan salah satu sumber penerimaan Negara yang dinilai masih efektif,

meskipun kondisi Indonesia saat ini masih dilanda krisis ekonomi yang belum

jelas penyelesaiannya.5

Oleh karena itu peran masyarakat dalam pembiayaan pembangunan harus

terus ditumbuhkan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang

kewajibannya membayar pajak. Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial.

Sebagai salah satu sumber penerimaan Negara yang sangat potensial, sektor pajak

merupakan pilihan yang sangat tepat, selain karena jumlahnya yang relatif stabil

2 http://saveindonesiakita.blogspot.co.id/2014/05/peran-pajak-dalam-pembangunan-negara.html,

Irvan Mulana, diunduh tanggal 27 Maret 2017

3 Pajak menjadi salah satu sektor pendapatan yang diandalkan oleh negara. Bagaimanapun melalui

sektor pajaklah, Indonesia mampu menggerakkan perekonomiannya hingga saat ini. Peran pajak di Indonesia sendiri cukup vital,karena sejumlah pembangunan daerah diseluruh Indonesia memang masih mengandalkan sektor pajak untuk membiayai itu semua. Sebut saja pembangunan sarana dan pra-sarana umum seperti jembatan, jalan raya, rumah sakit atau puskesmas,pasar dan sarana pendidikan seperti sekolah, dan pengadaan alutsista kemiliteran. Pajak memberi manfaat agar setiap lapisan masyarakat akan mendapatkan rasa yang aman dan nyaman. Hal ini dikarenakan subsidi-subsidi barang primer atau sekunder yang saat ini dibutuhkan masyarakat juga berasal dari pajak.

4 Bambang S, Penga wasan Intensifikasi Pembayaran PPh pasal 21dala m upaya Intensifikasi pada

KPP Solo , Surakarta: Skripsi UMS, 2004, hlm.16

5 John dan Thomson, Flash Pajak Pengha silan Ora ng Pribadi 2006, Jakarta : PT. Natio Info

(6)

6

juga merupakan cerminan partisipasi aktif masyarakat dalam membiayai

pembangunan. Jenis pungutan di Indonesia terdiri dari pajak Negara (pajak pusat),

pajak daerah, retribusi daerah, bea dan cukai dan penerimaan Negara bukan pajak.

Salah satu pos Penerimaan Asli Daerah (PAD) dalam anggaran pendapatan belanja

daerah (APBD) adalah pajak daerah. 6

Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 pasal 1 ayat (1) , menjelaskan

bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

tidak mendapatkan imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari pengertian tersebut kita dapat

menganalisis bahwa pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara. Kata wajib

artinya bahwa semua warga negara wajib untuk membayar pajak, namun harus

berdasarkan Undang-Undang tentang pelaksanaanya entah proses pemungutannya

atau besarnya pungutan pajak tersebut.

Pajak tidak mendapatkan imbalan langsung dan digunakan untuk

keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Walaupun tidak

dapat dirasakan langsung namun pajak seperti yang disebutkan diatas bahwa

digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi

jelas bahwa fungsi pajak selain untuk fungsi budgeter yaitu fungsi pajak yang

bertujuan untuk memasukan penerimaan uang untuk Kas Negara

sebanyak-banyaknya dalam mengisi RAPBN, sesuai dengan penerimaan pajak yang telah

ditetapkan.7

Dari pemaparan di atas, betapa pentingnya peran dan fungsi pajak dalam

pembangunan dan kemajuan perekonomian Bangsa. Ketertiban dan kemajuan

bidang perpajakan integral dengan pembangunan nasional. Namun dalam

kenyataannya sering pula kita kita lihat hal-hal yang bertentangan dengan rule-rule

yang telah digariskan. Contoh di lapangan misalnya pejabat pajak

menyelewengkan pajak atau mengkorupsi uang pajak, manipulasi pajak. Disisi

6 Irvan Mulana, Op.Cit.

(7)

7

Wajib Pajak, tidak jarang kita temui juga wajib Pajak yang nakal dan tidak jujur

dalam pelaporan pajaknya dan lebih seringnya tidak terkontrol. Dengan demikian

tujuan sebagaimana digaraiskan di awal sulit untuk dicapai. Oleh karena itu untuk

mengethui lebih detail dan jelas maka, dalam Makalah ini penulis akan untuk

mengkaji tentang: Peran Pajak Bagi Pembangunan Nasional Untuk

Kesejahteraan Rakyat

1.2. Pernyataan Masalah8

Tujuan Negara adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa9 dan demi tujuan tersebut dilaksanakan pembangunan nasioal

yang pendanaannya adalah dari sektor penerimaan pajak, yang dipungut

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undngan.10 Betapa pentingnya peran

dan fungsi pajak dalam pembangunan dan kemajuan perekonomian Bangsa,

namun dalam kenyataannya sering pula kita kita lihat hal-hal yang bertentangan

dengan rule-rule yang telah digariskan oleh pemerintah tentang pajak. Misalnya

pejabat pajak menyelewengkan pajak atau mengkorupsi uang pajak, manipulasi

pajak. Disisi Wajib Pajak, tidak jarang kita temui juga wajib Pajak yang nakal dan

tidak jujur dalam pelaporan pajaknya dan lebih seringnya tidak terkontrol,

seolah-olah tidak memahami fungsi dan peranan pajak dalam pembangunan nasional. Jika

demikian tujuan sebagaimana digariskan di awal adalah sulit untuk dicapai. Jika

pelaksanaan pemungutan pajak dan besarnya pajak di dasarkan pada peraturan

perundang-undangan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, maka bagaimanakah konsep pemungutan pajak dan fungsinya dalam

pembangunan nasional?

8 Penulis menggunakan Format Makalah berdasarkan buku panduan Tesis Program Magister Ilmu

Hukum Universitas Pancasila. Lihat. Buku Pedoman Penyusunan Tesis Program Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum, Jakarta: Universitas Pancasila. Jakarta, 2013.

9Ibid. UUD 1945

10 Pajak memiliki salah satu fungsi, yaitu fungsi budgetair (sumber penerimaan negara). Pajak

(8)

8 1.3. Pertanyaan Penelitian11

Dari uraian di atas, maka penulis akan mengkaji dan menganalisis tentang

Konsep Pajak beserta landasarn teorinya dan peran serta fungsinya dalam

pembangunan di Indonesia. Penelitian akan dibatasi dengan kerangka masalah

sebagai berikut:

1. Apa dan Bagaimanakah Konsep Pemungutan Pajak di Indonesia ?

2. Bagaimanakah Peran Pajak dalam Pembangunan Nasional?

1.4. Tujuan Penelitian

Ada dua tujuan dari penelitian ini yaitu Tujuan Umum dan Tujuan Khusus.

Tujuan Umum, selain untuk memenuhi kewajiban mahasiswa memenuhi tugas Mata

Kuliah Hukum Pajak pada Semester dua di Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Pancasila yaitu Penulis ingin meneliti dan belajar serta mengetahui lebih terang

dan jelas tentang konsep perpajakan dan peran pajak daam pembangunan Nasional.

Tujuan Khusus dari Makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa dan bagaimanakah Konsep Pemungutan Pajak di

Indonesia?

2. Untuk mengetahui bagaimanakah Peran Pajak dalam Pembangunan Nasional?

1.5. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian yang dilakukan ini, maka diharapkan dapat memberikan

manfaat, yaitu:

1. Manfaat Keilmuan

- Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat dan

11 Pertanyaan penelitian adalah pertanyaan masalah dalam istilah standar makalah umum, istilah

pertanyaan penelitian digunakan berdasarkan buku panduan Tesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila. Lihat. Buku Pedoman Penyusunan Tesis Program Magister Ilmu Hukum

(9)

9

cukup jelas bagi pengembangan disiplin ilmu hukum pada umumnya dan hukum

perdata pada khususnya.

- Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan

tentang Pajak dan perannya dalam pembangunan nasional.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data yang berguna bagi

masyarakat pada umumnya, para pembaca dan mahasiswa ilmu hukum pada

khususnya mengenai Pajak.

1.6. Motode Penelitian

Metode yang digunakan dalampenulisan adalah dengan menggunakan

tipepenelitian hukum normatif, yaknimengkonsepsikan hukum sebagai norma,kaidah, asas,

atau dogma-dogma, denganmenggunakan pendekatan perundang-undangan atau Statute

Approach12 yangdijelaskan secara deskriptif berdasarkanpermasalahan dengan berbagai

aturan-aturanhukum dan literatur, serta mencari suatu opinihukum tentang masalah yang

menjadi objekpermasalahan. Penulis dalam hal ini berusaha untuk memahami

menganalisis dan mengkajitentang Konsep dan dasar pemungutan pajak dan peran serta

fungsi pajak dalam pembangunan.

Sumber data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang

terdiri dari:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketentuan Umum Perpajakan,

sumber peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tentang topik yang

dibahas.

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, buku – buku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum

12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2005.

(10)

10

yang termuat dalam media massa, internet dengan menyebut nama situsnya, serta

artikel – artikel yang relevan dengan topik penelitian.

3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus

ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan Perikatan yang timbul dari Kuasa.

1.7. Kerangka Teori Dan Konsepsional

Dalam menjawab permasalahan yang diteliti dibutuhkan kerangka teori,

melalui pendekatan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan

terkait, dan pendapat para ahli dan informasi serta wawasan dari bahan tertier

yang didapatkan penulis. Oleh karena itu Penulis perlu menggariskan konsep teori

dan Kerangka Teori yang digunakan. Dengan dasar konsep dan teori tersebut

penulis berusaha membahwa dan membuat jelas permasalahan dalam Makalah ini.

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah Teori

Kepastian hukum.

1.7.1 Konsep Dan Pengertian Pajak

Pada dasarnya pajak merupakan salah satu perwujudan dan kewajiban

kenegaraan yang merupakan sarana peran serta masyarakat dalam pembiayaan

negara dan pembangunan nasional. Dalam hal ini pajak yang dipungut oleh negara

digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan demi menjamin kelangsungan

hidup serta meningkatkan mutu kehidupan bangsa Indonesia yang tercantum

dalam pembukaan Undang-Undang 1945 yang bertujuan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta dalam

melaksanakan ketertiban dunia. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara

yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

(11)

11

langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.13

Definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH:14

“Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung

dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Dasar hukum melakukan tindakan penagihan pajak adalah antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah berulang kali

diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 selanjutnya disebut

UU KUP.

2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 selanjutnya disebut UU

PPSP.

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK/.03.2008 sebagaimana yang

telah diubah dengan Nomor 83/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penerbitan

Surat Ketetapan Pajak.

4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

561/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Dan

Sekaligus Dan Pelaksanaan Surat Paksa.

5. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

562/KMK.04/2000 Tentang Syarat-Syarat, Tata Cara Pengangkatan Dan

Pemberhentian Juru Sita Pajak.

6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 sebagaimana yang

telah diubah dengan Nomor 84/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penerbitan

Surat Tagihan Pajak.

7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 24/PMK.03/2008

sebagaimana yang telah diubah dengan Nomor 85/PMK.03/2010 Tentang

13 Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum

Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2009, Bab I Pasal 1 Angka 1.

(12)

12

Perubahan Atas Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat

Paksa Dan Pelaksanaan Penagihan Seketika Dan Sekaligus.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 Tentang Prosedur Penerbitan

Kembali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar Tambahan, Dan Atau Surat Tagihan Pajak.

9. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-82/PJ/2010 Tentang

Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor

Per-36/PJ/2010 Tentang Prosedur Penerbitan Kembali Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Dan Atau

Surat Tagihan Pajak.

Menurut pendapat para ahli penagihan pajak dapat didefinisikan menurut

Muhammad Rusjdi: ”Penagihan pajak adalah perbuatan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-undang

pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang”.15

Definisi lain menurut Mardiasmo: “Penagihan pajak adalah kegiatan yang

dilakukan oleh fiskus karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan

Undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang, penagihan

pajak meliputi kegiatan, perbuatan dan pengiriman surat peringatan, surat teguran,

surat paksa, penyitaan, lelang, pencegahan dan penyanderaan”.16

1.7.2 Teori Welfare State

Tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimuat dalam Alinea IV

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya disebut UUD 1945) telah sangat jelas menyebutkan tujuan dari

pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu untuk

“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

(13)

13

dan keadilan sosial”. Berbagai ketentuan masalah ekonomi dan kesejahteraan rakyat terdapat didalam pasal-pasal 27 ayat (2), 31, 32, 33, dan 34. Pasal 27 ayat

(2) menentukan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 31 menentukan bahwa tiap-tiap

warganegara berhak mendapat pengajaran. Sementara itu, Pasal 32 menentukan

mengenai tugas pemerintah untuk memajukan kebudayaan nasional, dan pasal 34

menentukan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Sedang pasal 33 mengatur mengenai masalah ekonomi, yang menganut sistem

kekeluargaan, dan menentukan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi

rakyat dan bumi dan air, dan kekayaan alam yang ada diatasnya dikuasai oleh

negara.

Alinea IV Pembukaan UUD 1945 tersebut selanjutnya menjadi dasar dari

perumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memberikan mandat kepada negara

agar pemanfaatan bumi (tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya sebesar besarnya digunakan untuk menciptakan kemakmuran bagi

rakyat Indonesia. Oleh karena itu, maka semua peraturan perundang-undangan

yang mengatur mengenai tanah, air dan semua sumber daya alam di Indonesia

seharusnya merujuk tujuan yang hendak dicapai negara melalui Pasal 33 UUD

1945.

Jika diuraikan secara detail statement Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana tersebut, maka tujuan

pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah :

- melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

- memajukan kesejahteraan umum,

- mencerdaskan kehidupan bangsa,

- ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial.17

(14)

14

Setelah amandemen atas UUD 1945, khususnya dengan amandemen

kedua, pasal-pasal mengenai ekonomi dan kesejahteraan rakyat ditambah, yaitu

dengan pasal 28H yang berbunyi:

1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan.

2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan

dan keadilan.

3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan

dirinya secara utuh sebagai mansusia yang bermartabat.

4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut

tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.18

Dari uraian tersebut di atas, menurut penulis dapat disimpulkan bahwa Neagara

Indonesia menganut paham Welfare State atau Negara Kesejahteraan (paling tidak

dalam tataran das sollen).

Konsep Negara kesejahteraan lahir akibat adanya the great

depression pada tahun 1929 yang melanda negara-negara Barat yang

menganut laissez faire. Pada tahun 1930an muncul seorang ekonom Inggris, John

Maynard Keynes yang menganjurkan bahwa pemerintah dapat mencampuri

kegiatan ekonomi apabila diperlukan dengan tujuan menyejahterahkan rakyat.

Hukum dalam perkembangan ekonomi saat itu, digunakan sebagai suatu

instrument intervensi pemerintah dalam mencapai tujuannya. Hal itu merupakan

jawaban terhadap kebutuhan regulasi ekonomi dan aktivitas sosial karena adanya

ketimpangan dalam hidup bermasyarakat. Hukum secara langsung mengatur

tingkah laku dalam hidup bermasyarakat dan bukan memberi kebebasan kepada

individu. Seiring dengan perubahan bentuk kehidupan bernegara tersebut, tujuan

(15)

15

hukum bukan lagi memobilisasi dan mengalokasikan sumber-sumber daya alam,

melainkan diserahkan kepada pemerintah dalam kerangka negara kesejahteraan.19

Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham Negara

Kesejahteraan. Hal ini ditegaskan oleh para Perintis Kemerdekaan dan para Pendiri

Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa negara demokratis yang akan

didirikan adalah “Negara Kesejahteraan” (walvaarstaat) bukan “Negara Penjaga

Malam” (nachtwachterstaat). Dalam pilihan terkait konsepsi negara kesejahteraan

Indonesia ini, Moh. Hatta menggunakan istilah “Negara Pengurus”. Prinsip Welfare State dalam UUD 1945 dapat ditemukan rinciannya dalam beberapa pasal,

terutama yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi.20

Didalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV

yang didalamnya memuat Pasal 33 tentang sistem perekonomian dan Pasal 34

tentang kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak

telantar) serta sistem jaminan sosial. Ini berarti, kesejahteraan sosial sebenarnya

merupakan flatform sistem perekonomian dan sistem sosial di Indonesia.

Sehingga, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut faham “Negara

Kesejahteraan" (welfare state) dengan model “Negara Kesejahteraan Partisipatif”

(participatory welfare state) yang dalam literatur pekerjaan sosial dikenal dengan

istilah Pluralisme Kesejahteraan atau welfare pluralism. Model ini menekankan

bahwa negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan

penyelenggaraan jaminan sosial (sosial security), meskipun dalam

operasionalisasinya tetap melibatkan masyarakat.21 Sedangkan menurut Mubyarto,

Kedua pasal tersebut merupakan suatu hubungan kausalitas yang menjadi dasar

disahkannya UUD 1945 oleh para pendiri negara, karena baik buruknya

19 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 135.

20 M. Yamin Tahun 1959 dalam Naskah Persiapan UUD 1945: Risalah Sidang BPUPKI/PPKI,

Sekretariat Negara RI, Jakarta, hlm. 299, disunting di website: http://skripsiane.blogspot.co.id/2012/10/negara-kesejahteraan.html, pada tanggal 31 Maret 2017.

21 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial, Teks 9

(16)

16

Perekonomian Nasional akan ikut menentukan tinggi rendahnya Kesejahteraan

Sosial.22

Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum.23 Artinya, negara

dalam segala akifitasnya senantiasa didasarkan pada hukum. Negara dalam

konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum. Dalam perkembangan pemikiran

mengenai negara hukum, dikenal dua kelompok negara hukum, yakni negara

hukum formal dan negara hukum materiil. Negara hukum materiil ini dikenal juga

dalam istilah Welfarestate atau negara kesejahteraan. Menurut Jimly Asshiddiqie

Ide negara kesejahteraan ini merupakan pengaruh dari faham sosialis yang

berkembang pada abad ke-19, yang populer pada saat itu sebagai simbol

perlawanan terhadap kaum penjajah yang Kapitalis-Liberalis.24

1.7.3 Teori Keadilan

Masyarakat dalam forum-forum formal atau informal sering berkata “hal

ini tidak adil, ketentuan itu tidak memberi keadilan kepada masyarakat, dll.”.

Apakah itu adil dan keadilan?

John Rawls di dalam bukunya di dalam A Theory of Justice menyatakan

bahwa keadilan sebagai fairness yaitu keadilan adalah kebajikan utama dalam

institusi sosial. Teori yang tidak benar harus ditolak, begitu juga hukum yang tidak

benar harus direformasi. Menurut John Rawls, bertindak sewenang-wenang adlah

dilarang. Oleh karena itu aparatur pemerintah, dalam mengambil keputusan tidak

boleh melampaui batas keadilan dan kewajaran, apabila bertentangan dengan asas

ini maka keputusannya dapat dibatalkan.25

22Ibid.

23 Negara modern sebagai personifikasi dari tata hukum merupakan bentuk penyederhanaan atau

generalisasi yang dilakukan Hans Kelsen berdasarkan perspektif teori hukum murni, dimana negara hanya dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan hukum, yakni korporasi. Lihat dalam Hans Kelsen, 2010, Teori Umum Hukum dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih bahasa oleh : Soemardi. Cet, III. Bee Media Indonesia, Bandung, h. 225.

24 Skripsiane. Op.Cit.

(17)

17

Adil adalah salah satu sifat yang harus dimiliki oleh manusia dalam rangka

menegakkan kebenaran kepada siapa pun tanpa kecuali, walaupun akan merugikan

dirinya sendiri. Secara terminologis, adil berarti “mempersamakan sesuatu dengan

yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu

menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain.26

Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi, sebagaimana kebenaran

dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus

ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga hukum dan institusi, tidak

peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak

adil. Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan sehingga

seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini keadilan

menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal

lebih besar yang didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan

yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan

yang dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan

warga Negara dianggap mapan; hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk

pada tawar-menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial. Satu-satunya hal

yang mengijinkan kita untuk menerima teori yang salah adalah karena tidak

adanya teori yang lebih baik; secara analogis, ketidakadilan bisa dibiarkan hanya

ketika ia butuh menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Sebagai kebajikan

utama umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak bisa diganggu gugat.27

Dua prinsip keadilan menurut John Rawls adalah sebagai berikut:

Pertama: Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang

paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang

Kedua :Ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga

(a) dapat diharapkan member keuntngan semua orang, dan (b) semua

posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.

26 Erwan, “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum”, (Disertasi doktor Universitas

(18)

18

Prinsip-prinsip ini ditata dalam tata urutan dengan prinsip pertama

mendahului prinsip kedua. Urutan ini mengandung arti bahwa pemisahan dari

lembaga-lembaga kebebasan setara yang diperlukan prinsip pertama tidak bisa

dijustifikasi oleh, atau digantikan dengan, keuntungan sosial dan ekonomi yang

lebih besar. Distribusi kekayaan dan pendapatan, serta hierarki otoritas, harus

sejalan dengan kebebasan warga Negara dan kesamaan kesempatan.

Seorang tokoh filsuf hukum alam, Thomas Aquinas, mengelompokkan

keadilan menjadi dua, yaitu:28

(1) Keadilan Umum, yakni keadilan menurut kehendak undang-undang yang

harus ditunaikan demi kepentingan umum;

(2) Keadilan Khusus, yakni keadilan yang didasarkan pada asas kesamaan atau

proporsionalitas, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Keadilan distributif (justitia distributiva), adalah keadilan yang secara

proporsional diterapkan dalam lapangan hukum public secara umum.

Misalnya, Negara hanya akan mengangkat seserang menjadi hakim,

karena memiliki kecakapan menjadi hakim;

b. Keadilan komunikatif, adalah keadilan dengan mempersamakan antara

prestasi dengan kontrarestasi;

c. Keadilan Vindikatif, adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman

atau ganti kerugian yang sesuai dengan besarnya hukuman yang telah

ditentukan atas tindak pidana yang dilakukan.

Keadilan adalah ukuran yang kita pakai dalam memberikan perlakuan

terhadap objek di luar diri kita. Objek yang ada di luar diri kita ini adalah manusia,

sama dengan kita. Oleh karena itu, ukuran tersebut tak dapat dilepaskan dari arti

yang kita berikan kepada manusia atau kemanusiaan, tentang konsep kita

mengenai manusia. 29

28 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori,

Dogmatik, dan Pra ktik Hukum (Seri PEngayaan Hukum Perikatan), (Bandung: Mandar Maju

2012), hlm. 37-38

(19)

19 BAB II

KONSEP DAN LANDASAN YURIDIS PEMUNGUTAN PAJAK

2.1 Konsep dan Dasar Pemungutan Pajak

Landasan Dasar Yuridis Pajak di Indonesia adalah Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia. Pajak diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945, yaitu

“Segala pajak untuk kegunaan kas Negara berdasarkan undang-undang”. Ketentuan Umum Tentang Perpajakan di Indonesia diatur dalam Undang-undang

Republik Indonesia No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara

Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2009.

Pada dasarnya pajak merupakan salah satu perwujudan dan kewajiban

kenegaraan yang merupakan sarana peran serta masyarakat dalam pembiayaan

negara dan pembangunan nasional. Dalam hal ini pajak yang dipungut oleh negara

digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan demi menjamin kelangsungan

hidup serta meningkatkan mutu kehidupan bangsa Indonesia yang tercantum

dalam pembukaan Undang-Undang 1945 yang bertujuan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta dalam

melaksanakan ketertiban dunia. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara

yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara

langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.30

Berbagai teori dan definisi pajak telah diberikan oleh para ahli. Beberapa

diantaranya adalah sebagai berikut.

30 Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum

(20)

20

Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja, dalam disertasinya yang berjudul "Pajak

Berdasarkan Asas Gotong Royong” (Dalam disertasi di Universitas Padjajaran

tahun 1964) menyatakan: "Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang

yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hokum, guna menutup

biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan

umum”. Dengan mencantumkan istilah iuran wajib, ia mengharapkan terpenuhinya

ciri , bahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama dengan Wajib

Pajak, sehingga perlu pula dihindari penggunaan istilah paksaan.31

Adapun Rochmat Sumitro berpendapat bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada

kas negara berdasarkan undang-undang (Yang dapat dipaksakan) dengan tidak

mendapat jasa-jasa timbal (Kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan

yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.32

Prof. Adriani sangat mengutamakan pembagian pajak berdasarkan

ciri-ciri yang mempunyai arti prinsip dan menyimpulkan bahwa pembedaan antara

pajak subjektif & pajak objektif sangat tepat. Sebaliknya ia tidak menyetujui

pemakaian istilah seperti pajak pribadi & pajak kebendaan.Pajak subjektif & pajak

objektif, yang dimaksud pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan

pertama-tama keadaan pribadi wajib pajak. Golongan pajak subjektif adalah pajak

pendapatan atas penduduk Indonesia & pajak kekayaan atas penduduk Indonesia,

serta pajak yang dipungut dari badan-badan.Pajak objektif pertama-tama melihat

pada objeknya (benda,keadaan,perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan

timbulnya kewajiban membayar pajak) kemudian baru dicari subjeknya baik yang

berkediaman di Indonesia maupun tidak. 33

Menurut definisi Perancis, termuat dalam buku Leroy Beaulieau, “Trite

de la Scence des Finances, 1906” : “Pajak adalah bantuan, baik secara langsung

31 http://multikulturindonesia.blogspot.co.id/2011/05/definisi-pajak.html, disunting pada tanggal 5

April 2017

32 Mardiasmo,2009, Pajak dan Perpajakan, Yogyakarta: Andi, hlm. 1.

33 http://ekonomikieta.blogspot.co.id/2009/05/sejarah-perpajakan-di-indonesia-secara.html, Bung

(21)

21

maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari

barang, untuk menutup belanja pemerintah”.34

Menurut Prof. Edwin R.A.Seligman dalam “Essay in Taxation” : “Tax is compulsory contribution from the person, to the government to defray the expenses

incurred in the common interest of all, without ereference to special benfit conferred”.35 Menurut Mr. Dr. N.J. Feldmann (sama pendapatnya dengan Prof.

Edwin R.A. Seligman) : “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan

terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara

umum) tanpa kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup

pengeluaran-pengeluaran umum”.36

Dari definisi dan penjelasan di atas, ciri-ciri pajak dapat diuraikan antara

lain :

1. Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah;

2. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan

pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan

3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi

langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah

4. Pajak dipungut oleh Negara, baik oleh pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah

5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila

dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai

investasi public.

6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari

pemerintah

34 Djafar Albram, Modul Kuliah, Buku Ajar Ketujuh, Mata Kuliah Perpajakan Nasional

Kepatuhan SPT dan NPWP, FakultasHukum Program Pascasarjana Kenotariatan, Universitas

Pancasila Jakarta, TA.2016-2017, hlm.19

35 Ibid.

(22)

22

7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.37

Golongan pajak objektif diantaranya:38

a. Pajak yang dipungut karena keadaan diantaranya pajak kekayaan, pajak

pendapatan, pajak karena menggunakan benda yang kena pajak.

b. Pajak yang dipungut karena perbuatan diantaranya pajak lalu lintas kekayaan,

pajak lalu lintas hukum, pajak lalu lintas barang, serta pajak atas pamakaian.

c. Pajak yang dipungut karena peristiwa diantaranya bea pemindahan di

Indonesia contohnya pemindahan harta warisan.

Pembagian pajak ke dalam pajak langsung dan pajak tidak langsungPajak

langsung dan tidak langsung.pajak langsung ialah pajak yang dipungut secara

periodik menurut kohir (daftar piutang pajak) yang sesungguhnya tidak lain dari

tindasan-tindasandari surat-surat ketetapan pajak.Sedangkan pajak tidak langsung

adalah pajak yang dipungut kalau pada suatu saat terdapat suatu peristiwa atau

perbuatan & pajak ini tidak ada kohirnya.

Smeets membedakan antara urunan dan pajak-pajak umum. Urunan,

mempunyai sifat yang sama dengan retribusi karena keduanya dapat dianggap

sebagai pengganti kerugian untuk jasa-jasa yang diperoleh dari pemerintah.Pajak

umum dibagi dalam 7 golongan yakni:39

a. Pajak-pajak perorangan atas sisa-sisa yang di dalamnya termasuk pajak

pendapatan atas penduduk.

b. Pajak-pajak kebendaaan atas sisa-sisa yang di dalamnya termasuk pajak

pendapatan atas bukan penduduk, pajak perseroan, pajak upah, verponding

bukan bangunan.

c. Pajak-pajak atas kekayaan.

d. Pajak-pajak atas tambahnya kekayaan.

37 Multikulturindonesia. Op.Cit. 38 Bung Tama.Op.Cit

(23)

23

e. Pajak langsung atas pemakaian seperti pajak rumah tangga, pajak anjing, bea

lelang.

f. Pajak tidak langsung atas pemakaian bea masuk.

g. Pajak-pajak yang menaikkan ongkos-ongkos produksi.

Dasar hukum melakukan tindakan penagihan pajak adalah antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah berulang kali

diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 selanjutnya disebut

UU KUP.

2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 selanjutnya disebut UU

PPSP.

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK/.03.2008 sebagaimana yang

telah diubah dengan Nomor 83/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penerbitan

Surat Ketetapan Pajak.

4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

561/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Dan

Sekaligus Dan Pelaksanaan Surat Paksa.

5. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

562/KMK.04/2000 Tentang Syarat-Syarat, Tata Cara Pengangkatan Dan

Pemberhentian Juru Sita Pajak.

6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 sebagaimana yang

telah diubah dengan Nomor 84/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penerbitan

Surat Tagihan Pajak.

7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 24/PMK.03/2008

sebagaimana yang telah diubah dengan Nomor 85/PMK.03/2010 Tentang

Perubahan Atas Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat

Paksa Dan Pelaksanaan Penagihan Seketika Dan Sekaligus.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 Tentang Prosedur Penerbitan

Kembali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak

(24)

24

9. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-82/PJ/2010 Tentang

Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor

Per-36/PJ/2010 Tentang Prosedur Penerbitan Kembali Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Dan Atau

Surat Tagihan Pajak.

Menurut pendapat para ahli penagihan pajak dapat didefinisikan menurut

Muhammad Rusjdi: ”Penagihan pajak adalah perbuatan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-undang

pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang”.40 Definisi lain

menurut Mardiasmo: “Penagihan pajak adalah kegiatan yang dilakukan oleh fiskus

karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-undang pajak, khususnya

mengenai pembayaran pajak yang terutang, penagihan pajak meliputi kegiatan,

perbuatan dan pengiriman surat peringatan, surat teguran, surat paksa, penyitaan,

lelang, pencegahan dan penyanderaan”.41

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penagihan

pajak adalah perbuatan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak atau fiskus

karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-undang pajak, khususnya

mengenai pembayaran pajak dengan melaksanakan pengiriman surat peringatan,

surat teguran, surat paksa, penyitaan dan pelelangan.

2.2 Sejarah Perpajakan Indonesia

Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara

cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang

harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa.

Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura

berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan

lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau

kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang

(25)

25

dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan

sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang

lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.42

Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi

hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan

rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan

untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara

jalan, pembangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan

umum lainnya.Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian)

yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang

kemudian dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa

tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur

keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam

pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk

kepentingan rakyat sendiri.43

Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan

cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu

sebagai berikut:

1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga;

2. Aturan Bea Meterai;

3. Ordonansi Bea Balik Nama;

4. Ordonansi Pajak Kekayaan;

5. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;

6. Ordonansi Pajak Upah;

7. Ordonansi Pajak Potong;

8. Ordonansi Pajak Pendapatan;

42 https://tsaniataxindonesia.wordpress.com/sejarah-pajak-di-indonesia/, diunduh pada Tanggal 30

Maret 2017.

(26)

26 9. Undang-undang Pajak Radio;

10.Undang-undang Pajak Pembangunan I;

11.Undang-undang Pajak Peredaran.

Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:

1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;

2. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan

Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;

3. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;

4. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;

5. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs

atau Tata Cara MPS-MPO.

Pada tahun 1983,44 pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan

Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan

mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket

undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan

serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur

keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official

assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut

adalah:45

1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

(KUP);

2. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);

3. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;

4. UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);

44 Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami

kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur colonial.

(27)

27

5. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).

Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian

mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu

dengan undang-undang, yaitu:46

1. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;

2. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;

3. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;

4. UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;

Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa

undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung

undang-undang yang sudah ada, yaitu:

1. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;

2. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

3. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;

4. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;

5. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan

untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada

tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu:

1. UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;

2. UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;

3. UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;

4. UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;

5. UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;

(28)

28

6. UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta

7. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif

Bea Meterai.47

Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan

pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang

berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai

tahun 2009. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa waktu lalu,

maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai

penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan

Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.UU PPN/PPNBM No. 42 tahun

2009 yg berlaku I April 2010.48

2.3 Sistem dan Dasar Penagihan Pajak

Falsafah Pajak di Indonesia, Pasal 23 ayat (2) UUD 1945, menjelaskan “

Segala pajak untuk kegunaan kas Negara berdasarkan undang-undang”. Artinya

pemungutan pajak dilakukan berdasarkan Undang-undang. Dan segala pungutan

yang tidak berdasarkan undang-undang (undang-undang dalam arti luar) adalah

tidak sah dan tidak dibenarkan.

Di Inggris, dalil pajaknya adalah : “ No taxation without representation “. Yang dalam bahasa Indonesia berarti Tolak pajak tanpa perwakilan rakyat".

Pernyataan atau slogan tersebut adalah sebuah seruan dalam Perang Kemerdekaan

Amerika. Selama revolusi berlangsung, pendukung kemerdekaan Amerika Serikat

memprotes kenyataan bahwa ke-13 koloni harus membayar pajak ke London,

namun mereka tidak memiliki perwakilan di Parlemen. Mereka menuntut hak

47 Pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum

merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.

(29)

29

semua orang Inggris, bahwa perwakilan yang dipilih oleh mereka dapat menarik

pajak.49

Slogan No taxation without representation tersebut kemudian pada tahun

1750-an digunakan di Amerika Serikat pada masa revolusi dan berkembang slogan

istilah baru, “Taxation without Representation is Robbery”. Pemungutan pajak tanpa persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam bentuk undang-undang adalah

perampokan.50

Di Indonesia pemungutan pajak berdasarkan Undang-undang Dasar 1945

yaitu pasal 23 ayat (2) yang kemudian dijadikan dasar hukum pembuatan

Undang-undang pajak. Pendapat ahli hukum tentang pemungutan pajak. Prof. Soerjono

Soekanto dalam bukunya, “Teori yang Murni tentang Hukum” (1985) mengatakan

sebagai berikut:

“Perintah seorang penjahat untuk menyerahkan sejumlah uang mempunyai arti subjektif yang sama dengan perintah petugas pajak, oleh karena pihak yang terkena perintah itu harus menyerahkan sejumlah uang. Namun, hanya perintah seorang petugas pajak yang mempunyai arti sebagai kaidah yang sah, oleh karena perbuatan petugas pajak berlandaskan perundang-undangan pajak”.51

49 “No taxation without representation” refers to the slogan from 1750s and 1760s that

encapsulates the prime grievance of the Thirteen Colonies. It is actually part of a sermon given by Jonathan Mayhew in 1750. It was also one of the causes of the American Revolution. The lack of representation in the British Parliament was a clearly a violation of the rights of the colonists. Thus, taxation and all other laws that affected the colonists directly and indirectly were not constitutional at all. During the American Revolution, there were only a few British citizens that were represented and they were not even a part of the colonies. The phrase summarizes the sentiments that caused the English Civil War, as told by John Hampden. He said in the ship money case who said that an “English King has no right to demand and an English subject has no right to refuse.” Disunting dari http://totallyhistory.com/no-taxation-without-representation/ pada tanggal 31 Maret 2017.

50 Pada masa sebelum terbit Magna Carta tahun 1215, di Inggris masyarakat pernah menolak

membayar pungutan pajak (upeti) kepada Raja. Tidak ada pajak tanpa keterwakilan rakyat di parlemen atau wakil rakyat yang membela kepentingan rakyat. Sejak adanya Magna Carta, slogan “No taxation without representation” populer. Pajak dipungut harus berdasarkan undang-undang yang disahkan parlemen, tidak ada pungutan pajak oleh pemerintah kecuali didasari undang-undang yang disahkan dewan perwakilan rakyat. http://isnan-wijarno.com/2012/03/no-taxation-without-representation/ Isnan Ijarno, Disunting pada tanggal 7 April 2017

51 http://isnan-wijarno.com/2012/03/no-taxation-without-representation/ Isnan Ijarno, Disunting

(30)

30

“Orang Bijak Taat Pajak”, “Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya”, “Pajak Menyatukan Hati, Membangun Negeri, hingga “Bangga Bayar Pajak”,

merupakan beberapa slogan yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak hingga

saat ini.52 Slogan-slogan tersebut dimaksudkan oleh Direktorat Jenderal pajak

untuk memberikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya

membayar pajak.

Menurut Hasan53, Sudah saatnya Direktorat Jenderal Pajak lebih

memberanikan diri dalam menunjukkan berbagai manfaat uang yang dikumpulkan

oleh keringat para pegawai pajak bagi pembangunan Negara. Salah satu cara yang

cukup efektif dalam ‘memasarkan’ sisi positif Pajak di mata khalayak tersebut

adalah dengan memunculkan slogan-slogan merakyat sebagai derivative dari

slogan-slogan terdahulu. Slogan merakyat seperti, “Dalam Listrik yang Kita

Nyalakan, Ada Pajak yang Kita Bayarkan”, “Pajak Nunggak, Jalan Rusak”, “Pajak untuk Pendidikan Generasi Muda”, “Laju Kendaraan Kita Berasapkan Uang Pajak”, “Senyum Guru, Senyum Pajak” hingga “Sayang Anak, Bayar Pajak”,

kiranya merupakan beberapa alternatif slogan yang bisa Direktorat Jenderal Pajak

terapkan dalam ‘memasarkan’ diri mereka di mata masyarakat umum. Dengan

adanya slogan merakyat ini, kita harapkan masyarakat akan lebih sadar tentang

manfaat pajak yang mereka bayarkan. Maka, cerita tingkat kepatuhan wajib pajak

yang tinggi serta penerimaan pajak yang terus meningkat setiap tahun bukan

menjadi dongeng pengantar tidur belaka.

Dasar penagihan pajak, antara lain:

1) Surat Tagihan Pajak (STP)

STP diterbitkan apabila pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar,

Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda administrasi

dan/atau bunga. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat

52 http://www.pajak.go.id/content/article/slogan-merakyat-pajak-meningkat, disunting pada tanggal

7 April 2017.

53 Hasan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam tulisannya di website:

(31)

31

kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.

Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat

Ketetapan Pajak.

2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

SKPKB diterbitkan terhadap wajib pajak yang nyata-nyata atau berdasarkan

hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan kewajiban material

Perpajakan.

3) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

SKPKBT dapat diterbitkan Dirjen Pajak dalam jangka waktu 10 tahun

sesudah saat terutang pajak, apabila ditemukan data baru dan atau data yang

semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang

terutang.

4) Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan

Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.

Apabila utang pajak yang tercantum dalam Surat Ketetapan di atas tidak

atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, maka dapat

segera dilaksanakan tindakan penagihan aktif.

Istilah-istilah yang berhubungan dengan Penagihan Pajak :

a. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan oleh juru sita agar Penanggung

Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau

memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,

memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan

penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

(UU PPSP Pasal 1 ayat ( 9) ).

b. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab

atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi

kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

(32)

32

c. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi

administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat

ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan. (UU PPSP Pasal 1 ayat (8)).

d. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah

Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa

Penilai dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak. (UU PPSP

Pasal 1 ayat (13)).

e. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang

dilaksanakan oleh Juru sita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu

tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari

semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak. (UU PPSP Pasal 1 ayat

(11)).

f. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan

pajak. (UU PPSP Pasal 1 ayat (12)).

g. Pencegahan adalah larangan bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak

tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasar alasan

tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (UU PPSP Pasal 1

ayat (20)).

h. Penyitaan adalah tindakan Juru sita Pajak untuk menguasai barang

Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak

menurut peraturan perundang-undangan.(UU PPSP Pasal 1 ayat (14) ).

i. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung

Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. (UU PPSP Pasal 1 ayat

(21)).

j. Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran

harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau

calon pembeli. (UU PPSP Pasal 1 ayat (17)).”

Tindakan penagihan pajak dilakukan apabila pajak yang terutang

sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP), SKPKB, SKPKBT,

(33)

33

menyebabkan pajak yang harus dibayar bertambah, tidak atau kurang bayar setelah

lewat tanggal jatuh tempo pembayaran pajak yang bersangkutan. Dalam bidang

administrasi perpajakan dikenal beberapa bentuk tindakan penagihan yaitu

penagihan pasif, penagihan aktif dan penagihan dengan surat paksa.

1) Penagihan Pasif

Penagihan pasif adalah tindakan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak

dengan cara memberikan himbauan kepada Wajib Pajak agar melakukan

pembayaran pajak sebelum tanggal jatuh tempo. Penagihan pajak dilakukan

dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP), SKPKB, SKPKBT, Surat

Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang

menyebabkan jumlah pajak terutang menjadi lebih besar. Penagihan pasif

merupakan tugas pengawasan fiskus atau kepatuhan Wajib Pajak dalam

melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

2) Penagihan Aktif

Penagihan aktif adalah penagihan yang didasarkan pada STP, SKPKB, SKPKBT

yang jatuh temponya telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan

perpajakan yaitu 1 bulan terhitung mulai dari STP, SKPKB, SKPKBT diterbitkan.

Penagihan aktif ini merupakan kelanjutan dari penagihan pasif, oleh sebab itu

dalam upaya penagihan ini fiskus berperan aktif, dalam arti tidak hanya mengirim

STP atau SKP tetapi juga akan diikuti dengan tindakan dan dilanjutkan dengan

pelaksanaan lelang.

2.4 Asas dan Teori Pemungutan Pajak

Adam smith (1723-1790) dalam bukunya an inquiry into the nature and

causes of the wealth of nations (terkenal dengan nama wealth of nations)

(34)

34

cannons maxims taxation“. Suatu aturan hukum tentang pajak yang adil harus

memenuhi syarat :54

1. Asas kesamaan (equality) dan keadilan (equity)

Asas kesamaan (equality) dan keadilan (equity) dalam the four maxim tidak

memperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama

wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan

pajak yang sama pula. Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu

pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan

kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat

yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan

uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan

manfaat yang diminta

2. Asas kepastian hukum (certainty)

Selanjutnya, asas kepastian hukum (certainty) dalam the four

maxim menyatakan, pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang

(certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitary). Dalam

asas certainty ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai

subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu

pembayarannya.

3. Asas tepat waktu (convenient of payment)

Bahwa pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang

paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau

disaat wajib pajak menerima hadiah. Sistem pemungutan ini disebut pay as

you earn

4. Asas economic of collection

Bahwa biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai

terjadi biaya pemungutan pajak yang lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

54 Dyah Safira, Jurnal Asas-asas pemungutan Pajak, disunting dari website :

(35)

35 Menurut Menurut W.J Langen:55

1. Asas daya pikul

Definisi asas daya pikul adalah penyesuaian besar pungutan pajak terhadap

penghasilan wajib pajak. Seorang yang berpenghasilan besar maka akan

membayar pajak yang lebih besar juga, demikian sebaliknya.

2. Asas manfaat

Dalam asas manfaat berate pajak yang dipungut harus benar- benar

dimanfaatkan untuk pembangunan dan kepentingan umum.

3. Asas kesejahteraan rakyat

Pajak yang dipungut adalah digunakan sebesar- besarnya untuk

mensejahterakan rakyat.

4. Asas kesamaan

Dalam asas kesamaan berarti setiap wajib pajak diberlakukan sama dalam hal

tarif pemungutan pajak.

5. Asas beban sekecil- kecilnya

Artinya adalah pemungutan pajak tidak boleh memberatkan wajib pajak, maka

dari itu nilai yang dikenakan harus rendah jika dibandingkan dengan nilai

objek pajak itu sendiri.

Menurut Adolf Wagner:56

1. Asas politik finansial

Asas politik finansial berarti pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara

harus memadai sehingga dapat membiaya pembangunan dan mendorong

perekonomian negara.

2. Asas ekonomi

Asas ini mengemukakan bahwa penentuan objek pajak harus tepat sasaran,

seperti pada penetapan pajak pendapatan dan pajak barang mewah.

3. Asas keadilan

55 Ibid.

(36)

36

Pemungutan pajak harus berlaku secara umum, adil dan tidak diskriminatif

4. asas administrasi

Asas administrasi mengatur segala permasalahan berhubungan dengan

perpajakan seperti bagaimana cara membayar pajak, besar biaya pajak dan

dimana tempat membayar pajak.

5. Asas yuridis

Asas yuridis yaitu segala pungutan pajak harus dilakukan berdasarkan undang

undang.

Di Indonesia kita mengenal 4 asas dalam pemungutan pajak yaitu hukum,

yuridis, ekonomis, dan finansial. Untuk lebih jelasnya akan coba papar singkat.

1. Asas falsafah hukum

Dalam asas ini berbicara tentang keadlian dalam pemungutan pajak yang

diterapkan negara kepada wajib pajaknya

2. Asas yuridis

Pada asas ini lebih berfokus pada permasalahan bahwa hukum

yang memayungi pajak harus dinyatakan secara tegas yang berbentuk keadilan

bagi negara maupun rakyatnya. Jadi intinya pajak itu harus berdasar UU itu

artinya bahwa setiap pajak pasti harus mendapat persetujuan DPR. Jadi disini

dalam penetepan pajak rakyat pun terlibat dengan diwakilkan oleh DPR.

3. Asas ekonomis

Disini berarti bahwa pajak berfungsi sebagai pengatur budgeter dan pajak

disini diharapkan bias mengatur perekonomian. Lewat berbagai kebijakan

mengenai pajak.

4. Asas financial

Menurut asas ini bahwa pajak harus dilaksanakan dengan asas efektif dan

efisien. Efisien berarti biaya pemungutan pajak harus serendah mungkin

(37)

37

Adapun teori-teori dasar hak Negara memungut pajak dari rakyat menurut R.

Santoso Brotodiharjo (dalam Djafar Albram), dalam bukunya Pengantar Ilmu

Hukum Pajak adalah sebagai berikut:57

1. Teori Asuransi

Teori ini yang mempersamakan negara dengan perusahaan asransi, yakni

dimana rakyat membayar sejumlah premi tertentu untuk mendpatkan sesuatu

yang mereka harapkan pada saat-saat tertentu. Teori ini sudah tidak sesuai

karena pajak tidak bisa disamakan dengan premi asuransi karena negara tidak

menanggung kerugian rakyat secra langsung dan tidak ada hubungan langsung

(kontra prestasi).

2. Teori Kepentingan

Berdasarkan teori kepentingan pemungutan pajak didasari atas kepentingan

masing-masing pembayar pajak kepada negaranya. Orang-orang yang

memiliki kepentingan lebih harus membayar pajak lebih besar dari yang tidak

memiliki kepentingan aau tuntutan dari negaranya. Teori yang sudah tidak

diterima ini tidak tepat karena pada kenyataannya tidak demikian karena efek

pembayaran pajak tidak dapat langsung dirasakan oleh wajib pajak.

3. Teori Daya Pikul

Masyarakat menganggap dibutuhkan suatu layanan perlindungan masyarakat

dari negara yang biayanya dipikul bersama-sama dalam bentuk pajak. Pada

dasarnya setiap warga negara seharusnya membayar jumlah pajak yang sama,

namun pada kenyataannya ditentukan oleh faktor kekayaan dan kebutuhan

materiil seseorang berdasarkan jumlah tanggungan hidup.

4. Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti)

Teori ini menganggap bahwa kepentingan negara lebih penting dibandingkan

dengan kepentingan warganya sehingga menimbulkan hak mutlak

pemungutan pajak oleh negara kepada rakyat negaranya. Rakyat memberi

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) hasil dari setiap tahapan pengembangan dimulai dari studi pendahuluan diperoleh informasi untuk dikembangkan bahan ajar

203 Ruangan yang luas dapat mempengaruhi akan psikologi anak dalam tumbuh dan berkembang dikarenakan ruang luas memiliki fleksibilitas yang tinggi dengan dilihat

Hasil ini juga berlawanan dengan dugaan semula, artinya semakin tinggi reputasi penjamin emisi semakin tinggi tingkat AR, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penawaran umum

Lain halnya dengan para pemikir lainnya yang hanya berkutat pada seruan pentingnya pembaharuan fiqh, Jamal al-Banna melakukan pembaharuan fiqh dimulai dari dasar-dasar

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kapabilitas dan usulan rekomendasi perbaikan sistem informasi akademik Poltekkes Kemenkes RI Padang khususnya

Berbeda dengan tiga tokoh lain nya dalam hal revolusi Tan Malaka adalah orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia.Muhammad Yamin menjulukinya ''Bapak Republik

Dengan demikian pertumbuhan ekonomi akan makin terarah karena digenjot pada 8 program utama berbasis potensi nasional (yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi) dan