ARTIKEL PERTUMBUHAN EKONOMI
Pada tahun 2014, Indonesia tampaknya akan mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dibanding beberapa tahun terakhir (pertumbuhan diperkirakan hanya mencapai 5,3 persen pada kasus dasar), dan menghadapi risiko-risiko ekonomi yang signifikan. Pertumbuhan menghadapi risiko-risiko yang besar dengan berbagai penyesuaian yang dibutuhkan terhadap perlemahan neraca eksternal terus berjalan di dalam ekonomi dalam negeri, dan juga sebagai akibat dari pergeseran kondisi ekonomi dan kebijakan internasional (terutama “tapering” Bank Sentral AS), yang dapat semakin memperketat kondisi pembiayaan luar negeri.
Penyesuaian-penyesuaian kebijakan moneter dan kurs tukar yang tercatat selama tahun 2013 pada umumnya berdampak positif terhadap stabilitas ekonomi makro, namun mereka juga berbiaya besar dan membawa serta berbagai risiko-risiko. Dengan demikian, memasuki tahun 2014, fokus yang baru ditekankan dan memang dibutuhkan pada stabilitas ekonomi makro jangka pendek itu harus semakin
diperkuat dengan lebih banyak langkah untuk mendukung kuatnya siklus investasi yang baik, termasuk investasi luar negeri dan pertumbuhan produksi (output). Untuk mencapai hal ini, diperlukan suatu penekanan untuk mendukung ekspor untuk menjamin bahwa peningkatan daya saing internasional yang berasal dari perlemahan kurs tukar Rupiah harus dimaksimalkan, dengan meningkatkan efisiensi investasi, dan dengan mendukung, atau meningkatkan, aliran masuk FDI.
APBN 2014 mempertahankan sikap yang berhati-hati dan koordinasi dengan kebijakan moneter namun dapat menghadapi tantangan-tantangan baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran, terutama yang berasal dari lebih tingginya beban subsidi BBM dalam denominasi Rupiah.
Kemiskinan di Indonesia terus menurun, namun dengan laju pengentasan yang lebih lambat, dan terdapat kemungkinan besar bahwa angka sasaran tingkat kemiskinan tahun 2014 tidak akan tercapai.
Pasar tenaga kerja Indonesia, yang merupakan nomor empat terbesar di dunia, terus melanjutkan transformasi strukturalnya, dengan menambah 20 juta pekerjaan baru secara bersih dari tahun 2001 hingga 2012, namun menghadapi tantangan yang terus berlangsung dalam meningkatkan lapangan kerja formal dengan nilai tambah yang tinggi.
ARTIKEL KENAIKAN BBM
Kementerian Keuangan memperkirakan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 3.000 per liter pada awal November akan menghemat anggaran negara hingga Rp 159 triliun. Namun, kebijakan itu juga akan memicu kenaikan inflasi hingga 9,5 persen pada akhir tahun.
“Kalau dilakukan November 2014, maka subsidi BBM dapat dihemat sebesar Rp 159 triliun,” jelas Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri kepada CNN Indonesia, Selasa (30/9).
Kendati ada penghematan, Chatib mengingatkan implikasinya terhadap kenaikan harga barang dan jasa. Dengan begitu, dampak dari kenaikan harga BBM bisa membuat target inflasi 5,3 persen dalam APBNP 2014 meleset jauh. “Dampak inflasinya, tambahannya 4,5 persen. Jadi kalau inflasinya 5 persen (kondisi normal) akan jadi 9,5 persen,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani enggan berkomentar. Dia mengaku masih harus melihat kondisi aktual sebelum memperhitungkan dampak kenaikan BBM. "Parameternya, perhitungan, waktu implementasinya, semua itu akan menentukan angka (penghematan subsidi BBM),” kata Askolani.
Sebelumnya, Askolani menuturkan Konsumsi BBM bersubsidi yang terus meningkat telah menimbulkan dampak negatif berganda ke hampir semua sektor ekonomi.