Kepastian Hukum Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum Tunggal Dalam Pendirian Bank Syariah di Indonesia
Rosyidi Hamzah, SH, MH Rosyidi_hamzah@yahoo.com
Jl. Kereta Api No. 7 E Tangkerang Tengah Pekanbaru
Perseroan Terbatas merupakan bentuk yang paling ideal bagi bank diduga karena kedudukan dan sifatnya yang memperlancar usaha bank. Keharusan bentuk hukum bank berupa Perseroan Terbatas diperlukan agar sebuah Bank memiliki kepastian hukum baik dalam pendirian maupun pembubarannya. Terobosan baru tersebut telah dilakukan pada bank syariah, bentuk badan hukum bank Syariah hanya mengenal bentuk badan hukum Perseroan Terbatas.
Dalam pembangunan nasional lembaga perbankan sangatlah berperan.
Adapun tujuan dari pembangunan nasional itu sendiri untuk mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut, lembaga keuangan harus
berperan aktif dalam pembangunan nasional yaitu dengan meningkatkan peran dan
fungsinya sebagai lembaga keuangan.
Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatian-hatian. Fungsi utamanya sebagai
penghimpun dan pengatur dana masyarakat dan bertujuan menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu
dari sistem keuangan dan sistem pembayaran dunia.1 Mengingat hal yang demikian itu, maka begitu suatu bank telah memperoleh izin berdiri dan beroperasi
dari otoritas moneter dari negara yang bersangkutan, bank tersebut menjadi "milik"
masyarakat.
Oleh karena itu, eksistensinya bukan saja hanya harus dijaga oleh para
pemilik bank itu sendiri dan pengurusnya, tetapi juga oleh masyarakat. Kepentingan
masyarakat untuk menjaga eksistensi suatu bank menjadi sangat penting, lebih-lebih
bila diingat bahwa ambruknya suatu bank akan mempunyai akibat rantai atau domino effect, yaitu menular kepada bank-bank yang lain, yang pada gilirannya tidak mustahil dapat sangat mengganggu fungsi sistem keuangan dan sistem pembayaran
dari negara yang bersangkutan. Hal ini adalah seperti yang pernah terjadi di tahun
1929-1933 ketika kurang lebih 9000 bank di Amerika Serikat, atau kurang lebih
setengah dari jumlah bank yang ada pada waktu itu gulung tikar.
Keberadaan perbankan di Indonesia semakin banyak, hal itu ditandai dengan
hadirnya bank-bank baru tumbuh dan berkembang, dana yang berhasil dihimpun dari
masyarakat pun merupakan catatan keberhasilan perbankan. Jumlah dana yang dapat
dihimpun oleh suatu bank merupakan pencerminan dari meningkatnya kepercayaan
masyarakat terhadap bank. Peranan Perbankan sangat mempengaruhi kegiatan
ekonomi suatu negara. Oleh karena itu kemajuan suatu bank dapat dikatakan sebagai
darahnya perekonomian suatu bangsa.2
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.3Semakin banyak dana yang dihimpun berarti merupakan suatu indikasi bagi bank, bahwa bank
yang bersangkutan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Bisnis perbankan
merupakan bisnis kepercayaan, oleh karena itu pengelolaan yang hati-hati sangat
diperlukan karena dana dari masyarakat dipercayakan kepadanya.
Secara tersurat pengaturan resolusi bank dalam Undang-Undang LPS
cenderung dilakukan dengan pendekatan bank sebagai perseroan terbatas (PT),
padahal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga mengakui
eksistensi bank yang berbentuk hukum koperasi dan perusahaan daerah.4 Akibat
2 Kasmir,Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 1 3
Indonesia (b).Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. UU No. 10 Tahun 1998. LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790. Pasal 1 angka 2.
4Beberapa bentuk badan hukum bank adalah perseroan terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan terbatas), Koperasi (UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian) dan Perusahaan Daerah (UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah). Undang-Undang Perbankan mengatur bentuk hukum bank umum dengan bank perkreditan rakyat pada pokoknya sama. Hanya bedanya untuk bank perkreditan rakyat dapat pula bentuk hukumnya lain dari ketiga bentuk tersebut.
Bentuk hukum bank umum dapat berupa: a. Perseroan terbatas;
b. Koperasi;
c. Perusahaan daerah.
adanya perbedaan bentuk hukum suatu bank tentunya berbeda pula dalam hal cara
pendirian, kepengurusan dan pengelolaan maupun pembubaran badan hukum bank
tersebut. Sedangkan Undang-Undang LPS hanya mengatur pembubaran badan
hukum bank yang berbentuk perseroan terbatas (PT).
Undang-Undang LPS tidak menyebutkan secara eksplisit untuk
menyimpangi Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT), Undang-Undang Koperasi,
Undang-Undang Perusahaan Daerah (PD) dan Undang-Undang lain yang mengatur
mengenai hal-hal umum yang berkaitan dengan bank sebagai legal entity termasuk Undang-Undang Pasar Modal dan Undang-Undang BUMN. Pengaturan mengenai
pendirian dan pembubaran Perusahaan Daerah masih merujuk pada
ketentuan-ketentuan pasal sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah begitu juga dengan pendirian dan pembubaran Koperasi
masih mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
Akibatnya terciptalah ketidakpastian hukum dalam melaksanakan
pembubaran bank yang berbentuk badan hukum perusahaan daerah dan bank yang
berbadan hukum koperasi. Kepastian hukum sangat dibutuhkan untuk
memperhitungkan dan mengantisipasi risiko. Bahkan dalam suatu negara, kepastian
hukum merupakan salah satu faktor yang sangat menunjang daya tahan ekonomi
a. Perusahaan daerah; b. Koperasi;
c. Perseroan terbatas
suatu negara.5 Perusahaan Daerah dan Koperasi adalah badan hukum yang lahir dan diciptakan berdasarkan hukum (created by a legal process). Oleh karena itu, kehancurannya pun mesti melalui proses hukum. Seperti yang dikatakan MC Oliver
and EA Marshalonly be destroyed by a legal process.6
Keharusan bentuk hukum bank berupa Perseroan Terbatas diperlukan agar
sebuah Bank memiliki kepastian hukum baik dalam pendirian maupun
pembubarannya. Selain itu, dengan bentuk Perseroan Terbatas Bank diharapkan lebih
dinamis dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif. Di bandingkan
dengan badan hukum yang lain, maka bentuk perseroan terbatas lebih mudah dalam
mengumpulkan dana untuk modal usaha. Hal ini disebabkan pemilik dana (investor) menginginkan resiko dan biaya sekecil mungkin dalam melakukan investasi ( risk-averse investor).7
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar badan usaha yang berdiri dan
menjalankan usaha di Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas. Hal tersebut tidaklah
mengherankan karena terdapat beberapa kelebihan dari bentuk usaha Perseroan
Terbatas yang tidak dimiliki bentuk usaha lainnya, antara lain dari para pemegang
saham, pembagian struktur kepengurusan dan pengawasan yang jelas, citra yang lebih
profesional apabila berbentuk Perseroan Terbatas, kemudahan mendapatkan fasilitas
5 Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima,(Sidoarjo;
Masmedia Buana Pustaka, 2009), hlm. 22
6M. Yahya Harahap,Hukum Perseroan terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 543 7 Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan
kredit dan lembaga perbankan dan keuangan pada umumnya sampai pada persyaratan
bentuk usaha perseroan pada industri tertentu.8
Perseroan Terbatas merupakan bentuk yang paling ideal bagi bank diduga
karena kedudukan dan sifatnya yang memperlancar usaha bank. Dengan perseroan
terbatas sebagai badan hukum maka bank mempunyai kekayaan sendiri dan kekayaan
tersebut berawal dari pendiri yang sekaligus pemegang saham. Pendiri selaku
pemodal memiliki pertimbangan ekonomi bahwa dengan menanamkan uangnya
kedalam perseroan memperoleh keuntungan karena tujuan utama perseroan adalah
oriented profit sehingga dengan tujuan tersebut menghendaki perseroan diurus oleh pengurus yang professional. Disamping itu pertanggungjawaban perseroan berada
pada badan hukumnya dan pendiri hanya bertanggungjawab terbatas pada modal
yang dimasukkan saja. Ini merupakan salah satu faktor yang mendorong mengapa
bank sebagian besar berbentuk perseroan terbatas.9
Terobosan baru tersebut telah dilakukan pada bank syariah, bentuk badan
hukum bank yang selama ini dikenal (berdasarkan Undang-Undang Perbankan
konvensional) yaitu berupa PT, Koperasi, atau Perusahaan Daerah, dalam
Undang-Undang Perbankan Syariah hanya mengenal bentuk badan hukum Perseroan Terbatas
(Pasal 7).
8Binoto Nadapdap,Hukum Perseroan Terbatas(Jakarta:Permata Aksara, 2012)Hlm. 4 9 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis,(
Dalam hal ini, badan hukum PT bank tersebut selain tunduk pada aturan
dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, juga tunduk pada UU
Perbankan Syariah, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang
PT yang menegaskan bahwa terhadap perseroan berlaku Undang-Undang Perseroan
Terbatas, anggaran dasar perseroan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya, termasuk peraturan perbankan.
Dengan bentuk badan hukum berupa PT, diharapkan Bank Syariah dapat lebih
mudah dalam memenuhi ketentuan di bidang perbankan, antara lain dalam hal
penambahan modal mengingat dalam perseroan terbatas dikenal prinsip one share one vote, sehingga lebih mudah dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan badan hukum lain, misalnya koperasi yang menganut prinsip one man one vote. Selain itu, penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham juga relatif lebih
gampang dibandingkan penyelenggaraan Rapat Anggota pada koperasi. 10 Mengutip pendapat Sudikno Mertokusumo, perkembangan masyarakat menyebabkan timbulnya
perubahan pandangan di dalam masyarakat dan perubahan pandangan dalam
masyarakat menghendaki adanya hukum baru.11
B. Bank Syariah di Indonesia.
10 Arief R. Permana dan Anton Purba, Sekilas Ulasan Undang-Undang Perbankan Syariah, Buletin Hukum Perbankan dan Kesentralan Vol. 6 Nomor 2 (Agustus 2008): hlm. 6
Tidak dapat disangkal bahwa peran hukum sangat penting bagi dunia
perbankan. Jika sektor hukum tidak memainkan perannya dengan baik dapat
dipastikan bahwa dunia perbankan akan menjadi suatu rimba belantara yang penuh
dengan binatang buas yang saling memangsa satu sama lain. Terlebih lagi munculnya
banyak bank yang tidak jelas visi dan eksistensinya setelah era liberalisasi pasca
deregulasi 27 oktober 1988 yang biasa dikenal dengan Fakto 8812.
Pada pertengahan tahun 2008 para wakil rakyat yang ada di DPR bersama
dengan Pemerintah telah membentuk Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Bank Syariah. Sebelum lahirnya UU Bank Syariah, peraturan perbankan
yang berlaku adalah UU Nomor 7 Tahun 1992 yang diubah dengan UU Nomor 10
Tahun 1998 (disebut UU Perbankan). Pada awal dibentuknya undang-undang tersebut
mengatur tentang prinsip-prinsip dasar dan aturan pokok perbankan.
Bank dalam kedudukannya sebagai perusahaan bertujuan mencari
keuntungan. Sistem penarikan keuntungan yang diatur dalam UU Perbankan dengan
menggunakan prinsip pengambilan bunga dan prinsip bagi hasil. Prinsip pengambilan
bunga diikuti oleh bank konvensional, sedangkan prinsip bagi hasil diikuti oleh bank
yang menganut prinsip syariah.13
Dalam sejarah perbankan dinegara kita bank dalam mencari keuntungan
dengan cara menarik bunga kepada nasabahnya, kemudian keadaan berkembang bank
13 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis,
juga dapat menjalankan usahanya dengan prinsip syariah. Dalam sebuah bank dapat
menjalankan usahanya disatu pihak menganut prinsip menarik bunga (konvensional)
dan dipihak lain menganut prinsip syariah (bagi hasil).
Dengan dasar Undang-Undang Perbankan, sebenarnya telah cukup untuk
mendirikan sebuah bank syariah karena didalam undang-undang tersebut telah
mengatur tentang usaha bank dengan prinsip syariah dan peraturan pelaksananya juga
telah diatur oleh Peraturan BI. Hal ini terbukti sejak awal tahun 2000 atau sebelum
lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 telah ada berbagai bank menjalankan usahanya
dengan prinsip syariah.
Lahirnya Bank Syariah dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragam Islam, dalam ajaran Islam tidak menghendaki
riba, bekerja dengan sistem bagi hasil juga sudah dikenal sejak zaman dulu, dan
adanya keinginan masyarakat untuk melakukan transaksi utang piutang dengan
prinsip syariah Islam.
Sementara ini hukum nasional kita menganut sistem terbuka, karena pada
prinsipnya hukum adalah bersifat dinamis, hukum selalu berubah mengikuti
perubahan masyarakat sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman. Hukum
nasional merupakan sebuah wadah yang dapat menerima atau menampung setiap
perkembangan hukum dari berbagai bidang, termasuk hukum perdata Islam.
Dengan latar belakang tersebut menjadi bahan pemikiran bahwa untuk
mendirikan lembaga perbankan syariah perlu diatur tersendiri secara khusus. Hal ini
pengaturan mengenai perbankan syariah dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 belum
spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri.
Kemudian didalam penjelasan Umum UU Nomor 21 Tahun 2008 antara lain
disebutkan bahwa salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi
masyarakat dalam perekonomian nasional adanya pengembangan sistem ekonomi
berdasarkan nilai Islam (syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam
sistem hukum nasional. Prinsip syariah berdasarkan pada nilai-nilai keadilan,
kemanfaatan, keseimbangan dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai
tersebut untuk diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada prinsip
syariah disebut perbankan syariah.
Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan
dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam
berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain dengan prinsip bagi hasil.
Dengan prinsip tersebut maka bank syariah dapat menciptakan iklim investasi yang
sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi keuntungan maupun potensi
resiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank
dan nasabahnya. Itulah pokok pikiran dalam UU Bank Syariah yang mengangkat
perkembangan pemikiran yang ada di dalam masyarakat untuk mengangkat nilai-nilai
ekonomi Islam ke dalam sistem hukum nasional.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 maka ada dua
Bank Syariah. Hubungan kedua undang-undang tersebut adalah UU Perbankan
sebagai peraturan umum (lex generalis) dan Undang-Undang Bank Syariah sebagai peraturan khusus (lex specialis). Dengan demikian untuk mendirikan bank syari’ah tidak lagi mendasarkan Undang-Undang Perbankan, akan tetapi mengikuti peraturan
dalam Undang-Undang Bank Sayriah. Apabila terhadap hal-hal yang belum diatur
dalam Undang-Undang Bank Syariah, maka berlaku Undang-Undang Perbankan (lex generalis derogate lex specialis).
Dalam Pasal 7 Undang - Undang No. 21 Tahun 2008 ditegaskan bahwa
bentuk badan hukum Bank Syariah adalah Perseroan Terbatas (PT). Dengan
demikian suatu Bank Syariah harus memenuhi segala persyaratan yang ditentukan
dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 (LN Tahun 2007 No. 106) tentang
Perseroan Terbatas. Dalam kaitan dengan perseroan yang menjalankan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah Pasal 109 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
menentukan sebagai berikut:
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinisp syariah selain
mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah.
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi
Majelis Ulama Indonesia.
(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan
Sejalan dengan ketentuan ini Pasal 32 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
menentukan:
(1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum
konvensional yang memiliki UUS.
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh
Rapat Umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank
agar sesuai dengan prinsip syariah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (4) (TLN No. 4867) disebutkan bahwa yang
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia sekurang-kurangnya meliputi:
a. ruang lingkup, tugas dan fungsi dewan pengawas syariah;
b. jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah;
c. masa kerja;
d. komposisi keahlian;
e. maksimal jabatan rangkap; dan
f. pelaporan Dewan Pengawas Syariah.
Kemudian ada beberapa ketentuan khusus berkenaan dengan perbankan
syariah seperti disebutkan dalam Pasal 12 dan 13. Pasal 12 menyatakan bahwa Saham
dalam Pasal 13 menentukan Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum
efek pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
C. Akibat Hukum Dari Pembubaran Bank Yang Bukan Berbadan Hukum Perseroan Terbatas yang Dibubarkan Oleh Lembaga Penajamin Simpanan (LPS).
Pembubaran badan hukum Perusahaan Daerah dan Koperasi secara eksplisit
telah diatur dengan undang-undang sebagai landasan hukum yang bertujuan untuk
terciptanya kepastian hukum. Pembubaran badan hukum Perusahaan Daerah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 sedangkan pembubaran badan hukum
Koperasi secara eksplisit diatur didalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992.
Namun disisi lain, didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan, LPS juga memiliki wewenang untuk melakukan pembubaran
badan hukum Perusahaan Daerah dan Koperasi, namun hal tersebut tidak diatur
secara ekspilit, sehingga mengakibatkan saling tumpang tindihnya pengaturan
mengenai pembubaran badan hukum tersebut yang berujung pada tidak adanya
kepastian hukum.
Dalam mekanisme pembubaran badan hukum Perusahaan Daerah,
pembubaran dan penunjukan likuidator ditetapkan dengan Perda, setelah mendapat
pengesahan oleh instansi atasan (Presiden, Menteri Dalam Negeri atau Gubernur)
saham dalam RPS/RUPS. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Pemda) mengatur bahwa Perda merupakan peraturan daerah
provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten atau kota yang ditetapkan oleh kepala
daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD dan berlaku setelah
diundangkan dalam lembaran daerah. Artinya, prosedur yang ditempuh untuk
melakukan pembubaran dan pembentukan PD tidaklah sesederhana seperti
mekanisme pada pembubaran PT karena tidak hanya membutuhkan kontrol dari
pemegang saham PD, melainkan juga kontrol wakil rakyat di lembaga legislatif.
Lembaga penjamin simpanan (LPS) akan terkena ketentuan Pasal 178
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur
bahwa barang milik daerah yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umum
tidak dapat dijual, diserahkan haknya kepada pihak lain, dijadikan tanggungan, atau
digadaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 152 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Barang Daerah
menegaskan bahwa perubahan status hukum barang daerah berupa penghapusan
barang, penjualan kendraan dinas, penjualan rumah daerah dan pelepasan hak atas
tanah dan atau bangunan harus dalam bentuk Keputusan Kepala Daerah atau
Keputusan Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD.14
Hambatan yang akan dihadapi oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
berasal dari pihak legislatif dan eksekutif di daerah berupa kemungkinan terjadinya
keterlambatan proses penyusunan Perda sebagai dasar hukum dari pembubaran suatu
bank yang berbadan hukum Perusahaan Daerah. Berdasarkan pengalaman Bank
Indonesia sebagai otoritas pengawas perbankan, alasan yang dikemukakan oleh
DPRD antara lain adalah bahwa pembahasan perda mengenai pembubaran
Perusahaan Daerah tidak termasuk salah satu agenda rapat DPRD pada tahun berjalan
atau tidak termasuk agenda yang diprioritaskan, sehingga pemda memberikan alasan
antara lain bahwa tidak tersedianya anggaran pada APBD tahun berjalan untuk
penyusunan perda atau satu perda mengatur lebih dari satu bank berbentuk hukum
Perusahaan Daerah, sehingga menyulitkan pembuatan perda baru yang hanya
mengatur pembubaran satu atau beberapa perusahaan daerah yang merupakan bagian
perda yang lama.15
Dalam rangka pelaksanaan resolusi bank yang dijalankan oleh Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan dapat ditafsirkan sebagai lex specialis terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur Perseroan Terbatas, Koperasi, Perusahaan
Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur hal-hal umum
yang berkaitan dengan bank sebagailegal entity.
15Berdasarkan data DPBPR BI, terdapat lebih kurang 24 buah BPR yang berbentuk PD yang
Walaupun dari sisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) penafsiran secara luas
ini membawa dampak positif bagi terselenggaranya tugas Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS), namun implikasi negatif dari penafsiran secara luas ini adalah dapat
berupa terjadinya dampak politis kepada pihak legislatif dan eksekutif (DPRD
maupun pemda tempat bank beroperasi), sehingga dapat terjadi semacam konflik
kelembagaan dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam melakukan tindakan
pemberesan terhadap harta kekayaan bank.
Penerapan adagiumlex specialis derogate legi generalidalam kasus ini sangat mungkin menimbulkan polemik mengingat kewenangan Pemda dan DPRD dalam
membubarkan badan hukum Perusahaan Daerah telah diatur secara eksplisit dalam
Undang-Undang Perusahaan Daerah, sedangkan kemungkinan pembubaran badan
hukum Perusahaan Daerah oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan hanya
melakukan RDK baru pada tataran interpretasi atau penafiran hukum. Oleh karena
itu, kemungkinan terjadinya gugatan hukum kepada Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bukanlah menjadi sesuatu
yang mustahil.
LPS merupakan salah satu lembaga negara yang menjalankan roda
pemerintahan dibidang penjaminan dana nasabah yang lansung bertanggung jawab
kepada Presiden. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus selalu tunduk
dan patuh pada Azas-Azas Pemerintahan Umum yang Baik dan Layak (AAUPL).
Freies Ermessen (melakukan kebijaksanaan yang jauh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan).16
Kewenangan LPS untuk membubarkan badan hukum Bank Perusahaan
Daerah dan Koperasi bertentangan dengan AAUPL yakni asas kepastian hukum dan
asas tertib penyelenggaraan negara.17 Sehingga akan menjadi dasar gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang ditentukan didalam Pasal 53
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Hambatan lain yang akan dihadapi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang
berkaitan dengan penerapan adagium lex specialis derogate legi generalidalam kasus ini dipastikan juga akan datang dari pihak yudikatif, misalnya kemungkinan dari
hakim untuk mengatakan bahwa adagium dimaksud dapat diaplikasikan sepanjang
undang-undang yang mengatur sesuatu hal yang bersifat khusus yang akan
menyimpangi dalil yang umum yang diatur dalam Undang-Undang yang lain
menegaskan secara eksplisit pemberlakuan adagium tersebut.
Dalam hal ini, apabila penafsiran secara luas tersebut diatas akan dianut, maka
seharusnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan menyebutkan secara eksplisit untuk menyimpangi Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
16Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara(Jakarta;Rajawali Pers, 2006) hlm. 252
17 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang
tentang Perkoperasian, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan
daerah dan undang-undang lain yang terkait mengenai hal-hal umum yang berkaitan
dengan bank sebagai legal entity, termasuk Undang-Undang Nomor 8 Thun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang BUMN.
Hukum bank merupakan pintu masuk untuk dilakukannya pemberesan harta
kekayaan bank yang akan digunakan untuk pembayaran tagihan kreditor, termasuk
kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dapat dibayangkan masalah yang akan
dihadapi oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) apabila dikemudian hari terdapat
banyak bank yang berbentuk Perusahaan Daerah yang masuk dalam pengawasan
khusus (special surveillance) BI yang tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia dicabut izin usahanya oleh BI, sedangkan kewajiban pembayaran klaim
penjaminan simpanan nasabah harus segera dilakukan oleh Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS).
Mengingat kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah kekayaan
negara yang dipisahkan yang termasuk kedalam cakupan pengertian piutang negara
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
maka hambatan yang timbul dalam proses asset recovery tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara sebagai akibat dari tertundanya pemasukan sejumlah
uang kepada negara yang tidak tertutup kemungkinan ditafsirkan sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat dikriminalisasi
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001.
Hal yang sama juga terjadi apabila Lembaga Penjamin Simpanan melakukan
pembubaran badan hukum Koperasi. Koperasi adalah organisasi ekonomi rakyat yang
berwatak sosial, beranggotakan orang-orang, atau badan-badan hukum koperasi yang
merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Oleh karena itu Koperasi disebut sokoguru perekonomian Indonesia.
Koperasi merupakan suatu perkumpulan yang berbadan hukum dengan
keanggotaan yang terbuka dan sukarela. Menjalankan usaha bersama untuk
memenuhi kebutuhan di bidang ekonomi secara bersama berasama berdasarkan
Undang-undang. Anggota Koperasi jumlahnya relatif besar dan mempunyai
kebebasan untuk keluar masuk. Status masing-masing anggota adalah sebagai satu
kesatuan dalam koperasi. Salah satu prinsip Koperasi adalah berasas hukum, yang
artinya memenuhi semua prinsip-prinsip hukum dalam usaha yang berbadan hukum.
Oleh karenanya, pendirian dan pembubaran badan Koperasi harus berdasarkan
dengan hukum.
Koperasi sebagai badan usaha berperan pula sebagai gerakan ekonomi rakyat.
Karenanya, koperasi mempunyai kekhususan tersendiri dalam menjalankan kegiatan
usahanya, yaitu berdasarkan prinsip koperasi yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Dengan demikian,
anggota Koperasi merupakan pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi tersebut.
meningkatkan usaha dan kesejahteraannya, juga dapat menjalankan usaha lain
termasuk dalam kegiatan perbankan sehingga Koperasi mampu berperan di segala
bidang kehidupan ekonomi. Dalam hal kegiatan perbankan yang berbentuk hukum
Koperasi ini pun tujuan utamanya, yaitu tetap menyejahterakan anggotanya sekaligus
menyejahterakan masyarakat secara keseluruhan.18
Pembubaran badan hukum Koperasi yang dilakukan oleh LPS akan
menimbulkan akibat-akibat hukum, salah satunya ialah keputusan Lembaga
Penjaminan Simpanan tersebut akan digugat oleh pihak-pihak yang bersangkutan
dengan Koperasi di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebab Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak secara eksplisit
memiliki kewenangan untuk membubarkan badan hukum Koperasi. Sehingga pada
akhirnya memperlambat proses Likuidasi Bank Gagal yang berbadan hukum
Koperasi.
Salah satu unsur penting dalam memberikan jaminan adalah kecepatan
menyelesaikan klaim nasabah atas simpanannya yang ada pada bank apabila bank
dimaksud pailit atau dilikuidasi. Cepat lambatnya penyelesaian simpanan tersebut
mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.
Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang efektif dapat memberikan
kontributi terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian Indonesia.
18Muhamad Djumhara,Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti,
Seluruh kewenangan yang cukup besar yang dimiliki Lembaga Penjamin
Simpanan karena fungsinya yang sangat penting dari lembaga tersebut, yaitu
menjamin simpanan nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau penanganan
bank-gagal. Dengan fungsi yang berat tersebut diharapkan dapat memelihara
kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan
risiko yang membebani anggaran negara atau risiko yang menimbulkan moral hazard.
Dalam jangka panjang, Undang-Undang LPS perlu disempurnakan guna
memberikan landasan hukum yang lebih jelas dan lebih tegas kepada LPS khususnya
dalam rangka melakukan kewenangan resolusi bank. Terkait dengan itu, rencana
Amandemen Undang-Undang Perbankan dan RUU tentang Perbankan Syariah yang
antara lain mengusulkan muatan mengenai keharusan bentuk hukum bank berupa
Perseroan Terbatas (PT) patut didukung untuk memperoleh ketegasan mengenai
tanggung jawab pemegang saham Perseroan Terbatas (PT).
Perseroan Terbatas merupakan bentuk yang paling ideal bagi bank diduga
karena kedudukan dan sifatnya yang memperlancar usaha bank. Dengan perseroan
terbatas sebagai badan hukum maka bank mempunyai kekayaan sendiri dan kekayaan
tersebut berawal dari pendiri yang sekaligus pemegang saham. Pendiri selaku
pemodal memiliki pertimbangan ekonomi bahwa dengan menanamkan uangnya
kedalam perseroan memperoleh keuntungan karena tujuan utama perseroan adalah
pada badan hukumnya dan pendiri hanya bertanggungjawab terbatas pada modal
yang dimasukkan saja. Ini merupakan salah satu faktor yang mendorong mengapa
bank sebagian besar berbentuk perseroan terbatas.19
Lambatnya proses penguatan posisi perbankan di Indonesia salah satunya
disebabkan oleh jumlah bank yang sangat berlebihan. Hal ini disebabkan oleh
mudahnya pendirian bank tersebut. Dan berdasarkan seleksi alam bank-bank yang
mampu bertahan adalah bank-bank yang memiliki manajemen resiko yang baik,
mempraktekkan konsep GCG dan mampu bersaing dengan kekuatan asing.20 Tentunya hal ini dapat dilakukan apabila badan hukum bank tersebut juga tanggap
terhadap persaingan dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh Perseroan Terbatas.
Ketidakpastian hukum akan berpengaruh pada perekonomian. Ada 3 (tiga)
factor yang menjadi penyebab tidak adanya kepastian hukum di Indonesia, yaitu
pertama, hirarki peraturan perundang-undangan tidak berfungsi dan masih tumpang tindihnya materi yang diatur, kedua, aparat lemah dalam menjalankan aturan, dan
ketiga,penyelesaian sengketa-sengketa dibidang ekonomi tidak bisa diramalkan.
Oleh karena itu, menghadapi perkembangan perekonomian yang semakin
cepat, kompleks dan unpredictable, substansi hukum perbankan di Indonesia disamping harus mampu menjamin adanya kepastian hukum khususnya adanya
sinkronisasi peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai tingkat
19Gatot Supramono,Op. Cit.,hlm. 54
20Djoko Retnadi, Memilih Bank Yang Sehat (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006),
peraturan daerah, dan membatalkan peraturan daerah yang menghambat investasi,
melakukan keberpihakan kepada rakyat miskin, reformasi peraturan perpajakan, juga
harus mampu melakukan refleksivitas dengan langkah manageable, available,
workable, and interwoven easily with all aspect of social life, jika hal ini tidak dilakukan maka hukum ekonomi dan perbankan semakin mengalami alinasi di
masyarakat, seperti yang tengah terjadi sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima,(Sidoarjo; Masmedia Buana Pustaka, 2009)
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan (Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan), (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
Arief R. Permana dan Anton Purba, Sekilas Ulasan Undang-Undang Perbankan Syariah, Buletin Hukum Perbankan dan Kesentralan Vol. 6 Nomor 2
(Agustus 2008).
Binoto Nadapdap,Hukum Perseroan Terbatas(Jakarta:Permata Aksara, 2012)
Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan ,(Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2004)
Djoko Retnadi, Memilih Bank Yang Sehat (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006).
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis,( Jakarta;Rineka Cipta, 2009)
Kasmir,Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2005)
Muhamad Djumhara, Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 2006).
Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara(Jakarta;Rajawali Pers, 2006)