• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Basis Gigi Ti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Basis Gigi Ti"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Basis Gigi Tiruan

Gigi tiruan lengkap dapat didefinisikan sebagai gigi tiruan untuk menggantikan permukaan pengunyahan dan struktur yang menyertainya dari suatu lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah. Gigi tiruan tersebut terdiri dari gigi tiruan yang dilekatkan pada basis. Basis gigi tiruan memiliki dukungan melalui kontak yang erat dengan jaringan mulut dibawahnya (Anusavice, 2004).

Basis gigi tiruan ideal memiliki beberapa persyaratan antara lain : Adaptasi yang baik terhadap jaringan rongga mulut, kerapatan baik dan tidak mengiritasi permukaan rongga mulut, konduktivitas termal yang baik, kekuatan cukup untuk mencegah fraktur dan tidak mudah distorsi, mudah untuk dibersihkan, estetik baik, potensial untuk relining, harga terjangkau.

Basis gigi tiruan dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu : logam dan non logam. Bahan logam terdiri dari ; alloy emas kuning, alloy emas putih, alloy krom kobalt dan stainless steel. Sedangkan bahan nonlogam terdiri dari polimer dan porselen (Osborne et al., 1974). Sampai saat ini, polimer (resin) paling banyak digunakan di bidang kedokteran gigi dikarenakan keberadaannya, kestabilan dimensi, karakteristik penanganan, warna dan kekompakan dengan jaringan mulut (Anusavice, 2004).

Terdapat 4 jenis resin akrilik, yaitu :

(2)

bahan dapat diperoleh dengan menggunakan pemanasan air atau oven gelombang mikro (Craig et al., 2006).

b. Resin akrilik microwave polymerized-polymer adalah jenis resin akrilik yang menggunakan gelombang mikro yang merupakan gelombang elektromagnetik dalam rentang frekuensi MHz untuk mengaktifkan proses polimerisasi. Proses polimerisasi menggunakan energi microwave dengan kuvet polikarbonat khusus (bukan logam) (Ecket et al., 2004).

c. Resin akrilik self cured yaitu resin yang proses polimerisasinya menggunakan aktivator kimia sehingga tidak memerlukan energi termal dan dapat dilakukan pada temperature ruangan. Komposisinya sama dengan resin akrilik heat cured kecuali pada komponen cairannya mengandung bahan aktivator seperti dimetil-para-toluidin. Resin ini jarang digunakan sebagai bahan untuk membuat basis gigi tiruan karena kekuatan dan stabilitas warnanya tidak sebaik heat cured polymer. Selain itu jumlah monomer sisa pada self cured polymer lebih tinggi dibandingkan heat cured polymer (Combe, 1992).

d. Resin akrilik light cured adalah Jenis resin akrilik yang menggunakan sinar dengan intensitas tinggi antar 400-500 nm sebagai aktivator dan camphoroquinone sebagai inisiator polimerisasi. Proses polimerisasi berlangsung selama 10 menit (Anusavice, 2004 ; Ecket et al., 2004).

(3)

2.2 Resin Akrilik Heat Cured

2.2.1 Komposisi Resin Akrilik Heat Cured

Resin akrilik Polymethyl methacrylate (PMMA) dipakai sejak pertengahan tahun 1940-an. Bahan basis gigi tiruan PMMA biasanya dikemas dalam sistem bubuk dan cairan. Bubuk terdiri atas butir-butir poly methyl-methacrylate pra-polimerisasi dan sejumlah kecil benzoil peroksida (pemulai/inisiator). Sedangkan cairan didominasi oleh methyl-methacrylate tidak terpolimerisasi dengan sejumlah kecil hidroquinon. Hidroquinon ditambahkan sebagai suatu penghambat yang mencegah polimerisasi yang tidak diharapkan selama penyimpanan cairan. Suatu bahan ikatan silang juga bisa ditambahkan yaitu Glikol dimethalcrylate yang dapat berfungsi sebagai jembatan untuk menyatukan 2 rantai polimer. Bila dimasukkan ke dalam adukan dapat membentuk polimer yang menyerupai jala yang memberikan ketahanan terhadap deformasi. Bahan ikatan silang Glikol dimethalcrylate digabungkan ke dalam komponen cairan pada konsentrasi sebesar 1-2 % volume (Anusavice, 2004).

2.2.2 Karakteristik Resin Akrilik Heat Cured

(4)

Karakteristik resin akrilik heat cured menurut Anusavice tahun 2004, yaitu :

a. Pengerutan Polimerisasi

Ketika monomer methyl-methacrylate terpolimerisasi untuk membentuk poly methyl-methacrylate, kepadatan massa bahan berubah dari 0,94 menjadi 1,19 g/ cm3. Perubahan kepadatan ini menghasilkan pengerutan volumetric sebesar 21

%. Bila resin konvensional yang diaktifkan panas diaduk dengan rasio bubuk berbanding cairan sesuai anjuran, sekitar sepertiga dari massa hasil adalah cairan. Akibatnya, pengerutan volumetric yang ditunjukan oleh massa terpolimerisasi harus sekitar 7 %. Selain pengerutan volumetric juga harus diperhatikan efek pengerutan linier. Pengerutan linier memberikan efek yang nyata pada adaptasi basis gigi tiruan serta interdigitasi tonjol. Semakin besar pengerutan linier, semakin besar pula ketidaksesuaian yang teramati dari kecocokan awal suatu gigi tiruan. Berdasarkan pada pengerutan volumetric sebesar 7% basis gigi tiruan resin akrilik harus menunjukan pengerutan linier kurang lebih 2%. Namun pada umumnya pengerutan linier kurang dari 1% (Anusavice, 2004).

b. Porositas

(5)

tekanan atau tidak cukupnya bahan dalam rongga kuvet elama polimerisasi (Anusavice, 2004).

Porositas dibedakan menjadi dua (Anusavice, 2004), yaitu ;

i. Shrinkage porosity : terlihat seperti gelembung yang tidak beraturan dan bisa terdapat di seluruh massa resin akrilik baik di permukaan ataupun di dalam massa.

ii. Gausseus porosity : tampak gelembung kecil halus yang biasanya terdapat di bagian yang tebal dan bagian yang terletak jauh dari sumber panas luar.

Timbulnya porositas dapat diminimalkan dengan menjamin homogenitas resin yang sebesar mungkin. Penggunaan rasio polimer berbanding monomer yang tepat serta prosedur pengadukan yang terkontrol dengan baik membentuk keadaan ini. Pengadukan dan pemasangan jalan masuk secara cermat dapat membantu mengurangi masuknya udara (Anusavice, 2004).

c. Penyerapan Air

Polimerisasi methacrylate menyerap air ketika ditempatkan dalam lingkungan basah. Namun, air yang diserap ini menimbukan efek yang nyata pada sifat mekanik dan dimensi polimer. Umumnya mekanisme air yang terjadi adalah difusi yaitu berpindahnya suat substansi melalui rongga atau melalui substansi kedua (Anusavice, 2004). Poly methyl-methacrylate memiliki nilai penyerapan air sebesar 0,09% mg/cm3. Diperkirakan bahwa setiap 1 % peningkatan berat

(6)

nyata pada sifat fisik dan dimensional dari resin basis, koefisien difusi juga perlu diperhatikan. Koefisien difusi dari air pada protesa resin akrilik teraktivasi panas umumnya adalah 1,08 (Anusavice, 2004).

d. Crazing

Crazing adalah garis retakan kecil atau halus yang nampak timbul pada permukaan gigi tiruan. Crazing pada resin transparan menimbulkan penampilan berkabut atau tidak terang. Pada resin berwarna, crazing menimbulkan gambaran putih. Hal ini bisa dibebakan oleh :

i. Mecanical stress (tekanan mekanik) karena pembasahan dan pengeringan gigi tiruan yang berulang-ulang, sehingga menyebabkan kontraksi dan ekpansi

ii. Tekanan karena koefisien ekspansi suhu yang berbeda antara gigi porselen dan dengan basis gigi tiruan akrilik

iii. Peranan pelarut, ketika gigi tiruan direparasi, monomer kontak dengan resin dan dapat menyebabkan crazing.

Adanya crazing membuat kekuatan gigi tiruan menurun (weekening effect) (Anusavice, 2004).

e. Residual monomer

(7)

f. Ketepatan Dimensi

Faktor yang berpengaruh terhadap ketepatan dimensi antara lain, mould ekpansi pada waktu packing, ekpansi suhu pada fase dough, shrinkage pada polimerisasi, panas yang berlebihan pada waktu polishing, stabilisasi dimensi,dan fraktur yang keras atau fatigue (Anusavice, 2004).

2.2.3 Manipulasi dan Polimerisasi Resin Akrilik Heat Cured

Manipulasi resin akrilik perlu memperhatikan perbandingan polimer dan monomer agar diperoleh sifat fisik dan mekanik yang diharapkan. Rasio polimer dan monomer yang tepat juga penting untuk mengontrol perubahan dimensi bahan saat setting. Perbadingan polimer dan monomer ideal adalah 2.5 : 1 berdasarkan berat (Mc Cabe et al., 2008) atau perbandingan 3 : 1 berdasarkan volume (Anusavice, 2004). Perbandingan tersebut akan memberikan monomer yang cukup untuk membasahi keseluruhan partikel polimer dan tidak memberikan kelebihan monomer yang dapat menyebabkan peningkatan pengerutan polimerisasi (Anusavice, 2004). Pengerutan volume polimerisasi pada rasio 2.5 : 1 adalah sekitar 5-6 % (Mc Cabe et al., 2008).

Ketika monomer dan polimer diaduk dengan perbandingan sesuai, akan dihasilkan massa yang dapat diproses melalui 5 tahap yang berbeda (Anusavice, 2004) , yaitu :

a. Sandy stage

(8)

b. Stringy stage

Selama tahap ini, monomer akan menyerang permukaan masing-masing butiran polimer. Beberapa rantai polimer terdispensi dalam monomer cair. Rantai-rantai polimer ini melepaskan jalinan ikatan, sehingga meningkatkan kekentalan adukan. Tahap ini mempunyai cirri ‘berbenang’ atau ‘lengket’ bila bahan disentuh atau ditarik.

c. Dough stage

Massa sudah tidak melekat bila dipegang tangan, pada saat inilah dilakukan packing.

d. Rubbery stage

Tahap karet atau elastik, dimana monomer dihabiskan dengan penguapan dan dengan penembusan lebih jauh ke dalam butir-butir polimer yang tersisa. Secara klinis, massa memantul bila ditekan dan diregangkan.

e. Stiff stage

Tahap akhir dari massa, dan bila dibiarkan pada periode tertentu maka adukan akan menjadi keras. Ini disebabkan karena penguapan monomer bebas.

Temperature resin akrilik heat cured saat polimerisasi harus dipertahankan mendekati 740C, dikarenakan reaksi polimerisasi termasuk

eksoetermik yang kuat (Craig, 2006). Basis gigi tiruan umumnya mengandung benzoil peroksida. Bila dipanaskan di atas 600C, molekul-molekul benzoil

(9)

bertambah. Karena produk reaksi juga memiliki electron tidak berpasangan, molekul tersebut tetap aktif secara kimia. Sebagai akibatnya, molekul monomer tambahan menjadi terikat dengan rantai polimer individual. Proses ini terjadi secara cepat dan diakhiri oleh penyatuan 2 rantai atau perpindahan satu ion hydrogen dari 1 rantai ke rantai yang lain (Anusavice, 2004).

Proses polimerisasi terjadi 3 tingkatan, yaitu : a. Inisiasi

Reaksi penggerak berupa radikal bebas yang dapat terbentuk karena penguraian peroxide. Radikal ini akan memicu terjadinya polimeriasi dan disebut initiator. Initiator dapat diartikan dengan menggunakan peroksida melalui penyinaran dengan sinar ultraviolet atau dengan cara pemanasan maupun dengan memberikan bahan kimia yaitu dimethyl-p-tuloidine maupun bahan kimia lain seperti merkaptans.

b. Propagasi

Pada tahap ini terjadi reaksi antara radikal bebas dengan monomer, mengawali terbentuknya rantai polimer.

c. Terminasi

Tahap ini bila 2 radikal bebas bereaksi mebentuk molekul yang stabil.

(10)

2.2.4 Keuntungan dan Kerugian Resin Akrilik Heat Cured

Menurut Wilson (1987) menyatakan bahwa resin akrilik memiliki keuntungan dan kerugian, yaitu :

Keuntungan :

a. Warna dan translusensi baik, mirip dengan jaringan asli, dan permanen. b. Manipulasinya mudah.

c. Kekuatannya adekuat, dan gaya berat spesifik rendah. d. Resistensi pada pertumbuhan bakteri baik.

e. Haega relative terjangkau dan nyaman pada pemakaian.

Kerugian :

a. Mengalami perubahan dimensi selama pembasahan dan pengeringan, dan selama pemrosesan ulang

b. Dapat berubah bentuk selama perbaikan c. Konduktor termal yang kurang baik

Sedangkan menurut Reisbick (1982) menyatakan keuntungan dan kerugian resin akrilik antara lain :

Keuntungan :

a. Mudah untuk reparasi, rebasing, dan mengubah kontur. b. Non-allergik.

c. Tidak korosif

(11)

Kerugian :

a. Permukaan tidak bersifat basah b. Tidak dapat direbus untuk sterilisasi

2.3 Jahe (Zingiber officinale)

Jahe termasuk tanaman tahunan, berbatang semu, dan berdiri tegak dengan ketinggian mencapai 0,75 m.

2.3.1 Taksonomi

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman jahe diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Pterydophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Scitamineae

Famili : Zingiberaceae

Genus : Zingiber

(12)

2.3.2 Morfologi

Secara morfologi, tanaman jahe terdiri atas akar, rimpang, batang, daun, dan bunga. Perakaran tanaman jahe merupakan akar tunggal yang semakin membesar seiring dengan umurnya, hingga membentuk rimpang serta tunas-tunas akan tumbuh menjadi tanaman baru.

Batang tanaman jahe merupakan batang semu yang tumbuh tegak lurus. Batang tanaman ini terdiri atas seludang-seludang dan pelepah daun yang menutupi batang. Bagian luar batang licin dan mengilap, serta mengandung banyak air.

Daun tanaman jahe berbentuk lonjong dan lancip menyerupai rumput-rumputan besar. Ukuran panjang daun sekitar 5 - 25 cm dan lebar 0,8 – 25 cm. Bagian ujung daun agak tumpul dengan panjang lidah 0,3 – 0,6 cm. Bila daun mati, pangkal daun tetap hidup dalam tanah. Jika cukup tersedia air, bagian pangkal daun ini akan ditumbuhi tunas dan menjadi rimpang yang baru.

Bunga tanaman jahe terletak pada ketiak daun pelindung. Bentuk bunga bervariasi : panjang, bulat telur, lonjong, runcing, atau tumpul. Bunga berukuran panjang 2 – 2,5 cm dan lebar 1 – 1,5 cm (Suprapto, 2007).

2.3.3 Klasifikasi Tanaman Jahe

Jenis atau varietas jahe yang berkembang di Indonesia dibedakan atas 3 clon berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya. Ketiga clon jahe tersebut adalah sebagai berikut : (Rukmana, 2010)

a. Jahe Putih Besar (JPB)

(13)

dapat dikonsumsi waktu muda atau sudah tua, baik masih segar atau sudah olahan.

b. Jahe Putih Kecil (JPK)

Jahe sunti atau emprit ini memiliki ciri ruas yang kecil agak rata dan mengembung yang dapat dikonsumsi saat sudah masak benar. Kandungan minyak atsiri jenis ini lebih banyak sehingga lebih pedas dan memiliki serat lebih banyak. Jahe ini sangat cocok sebagai ramuan obat-obatan.

c. Jahe Merah (JM)

Jahe merah memiliki rimpang yang lebih kecil dan berwarna merah yang dapat dikonsumsi jika udah masak benar. Jahe ini juga efektif untuk ramuan obat-obatan.

2.3.4 Komponen Kimia Jahe

Komposisi kimia jahe sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain waktu panen, lingkungan tumbuh (ketinggian tempat, curah hujan, jenis tanah), keadaan rimpang (segar atau kering) dan geografi (Ali et al., 2008 ; Hernani dkk). Komponen utama dari jahe segar adalah senyawa homolog fenolik keton yang dikenal sebagai gingerol. Gingerol sangat tidak stabil dengan adanya panas dan pada suhu tinggi akan berubah menjadi shogaol. Shogaol lebih pedas dibandingkan gingerol, merupakan komponen utama jahe kering (Ghasemzadeh et al., 2010). Konsentrasi gingerol dari jahe kering akan berkurang dibandingkan dalam jahe segar, sedangkan shogaol akan meningkat. Komponen lain dalam rimpang jahe adalah paradol, gingerdion dan zingiberol.

(14)

Minyak atsiri mengandung komponen utama yang berupa senyawa zingiberen (C12H24) dan zingiberol (C12M26O2). Selain itu terdapat senyawa oleoresin (fexed

oil). Di samping itu, minyak jahe juga mengandung senyawa-senyawa pinen, kamfen, felandren, sineol, metil-heptenon, linaol, bormeol, sitral, α dan β zingiber, α kurkumen, farnesen , seskuiterpen, alcohol, C10 dan C9 aldehid

(Rukmana, 2010).

Menurut Ghasemzadeh (2010), di dalam jahe juga terkandung flavonoid sebagai antioksidan yang berfungsi mengurangi agen radikal bebas dan menghambat pembentukan oksigen. Dalam rangka mendapatkan kualitas tanaman dengan kandungan flavonoid yang tinggi, jahe hendaknya dipanen setelah 16 minggu penanaman (Ghasemzadeh, 2010).

2.3.5 Khasiat Tanaman Jahe

Sejak jaman nenek moyang jahe dipercaya secara turun temurun mempunyai khasiat, seperti mengatasi mual, mabuk perjalanan, gangguan usus dan pencernaan, keracunan makanan serta radang sendi, jahe dipercaya bisa menggantikan aspirin dan obat sejenis lainnya (Harwati, 2009). Selain itu senyawa zingerone, yang memberikan karakter sangat tajam dari rimpang jahe, sangat efektif terhadap Escheria coli penyebab diare, terutama pada anak-anak. Adanya sejumlah mineral seperti kalium, mangan tembaga, dan magnesium juga sangat membantu. Kalium dalam sebuah komponen penting dari sel dan cairan tubuh yang membantu mengendalikan detak jantung dan tekanan darah (Anon, 2010 ; Hernani dkk)

(15)

osteoteritis cukup efektif pada kadar 2 gram (dalam satu dosis dibagi menjadi beberapa kali) dapat dilakukan daam waktu yang tidak dibatasi. Penggunaan serbuk jahe pada dosis 6 gram perhari dapat menyebabkan iritasi lambung (Harwati, 2009).

Penelitian terbaru mengenai manfaat jahe terbukti mempunyai efek kardio-protektif dan aktioksidan tinggi pada model tikus wistar yang diinduksi toksis jantung Monosodium Glutamate (Ajibade, 2013).

2.3.6 Jahe terhadap Resin Akrilik

Penelitian yang dilakukan Setyowati (2008) menyebutkan bahwa infusa rimpang jahe efektif menghambat pertumbuhan koloni Candida albicans pada plat resin akrilik heat cured pada konsentrasi 10 % dan 15 %. Efek antimikroba didapat dari bahan yang terkandung dalam infusa rimpang jahe tersebut, yaitu minyak atsiri dan flavonoid yang dikenal memiliki sifat antiseptik, antioksidan, dan mempunyai aktifitas terhadap bakteri dan jamur (Indiani, 2008). Hal tersebut juga didukung dengan adanya kandungan gingerol. Gingerol ini merupakan golongan fenol yang menjadi desinfektan paling umum digunakan di laboratorium (Kemper, 1999).

(16)

2.4 Kekuatan Transversa

Kekuatan transversa adalah uji kekuatan dari suatu batang atau suatu lempeng tipis yang tertumpu pada kedua ujungnya dan diberi beban statis. Beban tersebut diberikan ditengah-ditengahnya, selama beban ditekan maka beban akan meningkat secara beraturan dan berhenti ketika batang uji patah. Beban yang diperoleh dimasukkan ke dalam rumus kekuatan transversa (Anusavice, 2004), yaitu :

Keterangan :

S = kekuatan transversa (N/mm2)

b = lebar lempeng (mm)

l =panjang / jarak pendukung (mm) d = tebal lempeng (mm)

P = beban (N)

Kekuatan tranversa juga merupakan kombinasi dari kekuatan tarik, tekan dan kekuatan geser untuk mengukur sifat mekanis suatu basis gigi tiruan karena cukup mewakili tipe-tipe gaya yang terjadi selama proses pengunyahan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekuatan transversa resin akrilik antara lain (Orsi et al., 2004). :

a. berat molekul

b. ukuran partikel polimer c. komposisi polimer d. porositas

3 lP 2 bd2

(17)

e. ketebalan dari bahan

Faktor yang paling penting dalam kekuatan resin adalah derajat polimerisasi pada saat memanipulasi resin akrilik. Lebih tinggi derajat polimerisasi, lebih tinggi kekuatan transversa dari basis resin akrilik (Chirtoc et al., 2007).

Referensi

Dokumen terkait

(2004), dengan menggunakan data kuartalan, 1986:III sampai 2000:III, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara harga minyak riil,

Konsep yang digunakan yaitu Konsep Sosialisasi (Masyarakat sebagai kenyataan obyektif) Peter L. Berger dan Konsep Education for Character Thomas Lickona. Hasil Penelitian

Terapi berupa pemberian surfaktan, HFV, nitrit oksida inhalasi dan Terapi berupa pemberian surfaktan, HFV, nitrit oksida inhalasi dan ECMO mengurangi angka kematian sampai

Armour layer memiliki ukuran butir yang hampir s~ragam, namun bergradasi butir yang bervariasi diantara butiran penyusunnya, Struktur amlOur layer yang terbentuk,

Hipotesis ini terbukti, analisis menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh positif, begitu pula hasil penelitian terdahulu menurut Hasan, Ridha (2012),

Pada saat ini Kota Bogor membutuhkan 5 (lima) hektar lahan TPU, strategi Pemerintah Kota Bogor dalam mengelola TPU hasil wawancara terstruktur menyatakan

Data yang telah diperoleh dengan menggunakan sistem komputerisasi yang meliputi nilai pH dan laju alir saliva yang distimulasi oleh cokelat dan keju cheddar pada subjek

RPP dibuat untuk 6 (enam) kali pertemuan dengan topik yang disesuaikan urutan indikator yang dikembangkan dalam KD mata pelajaran IPA kurikulum 2013. Berikut ini merupakan tahapan