• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI PENGOLAHAN MOLUSKA DAN PEMANFA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEKNOLOGI PENGOLAHAN MOLUSKA DAN PEMANFA (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

SEBAGAI PANGAN (Sebuah Kajian Etnoarkeologi)

MAKALAH

Ditulis sebagai salah satu syarat peserta Kapal Pemuda Nusantara

Sail Sabang 2017

OLEH

IGO HASAN LAPEKA

KAPAL PEMUDA NUSANTARA SULAWESI TENGGARA

(2)

ii

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Mahaesa atas berkat dan pertolongan-Nya, sehingga Makalah Kajian Etnoarkeologi ini dapat diselesaikan, Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam penyususnan makalah ini.

Makalah ini tidak luput dari kekurangan baik dari isi maupun segi penulisannya. Jadi besar harapan penulis atas kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sehingga dapat menjadi suatu masukan untuk kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Kendari, Mei 2017

(3)

iii

Halaman Judul... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat ... 4

1.5. Landasam Teori dan Konsep Penelitia ... 4

1.6. Metode Penelitian ... 5

BAB II PEMBAHASAN ... 7

2.3. Situs Watumea ... 7

2.4. Pencarian Kerang (Moluska) ... 8

2.5. Teknik Pengolahan Kerang Laut (Moluska) ... 10

2.6. Kerang Laut (Moluska) Sebagai Pangan ... 12

BAB III PENUTUP ... 14

3.1. Kesimpulan ... 14

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ada tiga faktor perkembangan dalam proses perkembangan sejarah, manusia, alam, dan budaya serta bentuknya. Dalam hal ini usaha manusia dalam mempertahankan hidup sangat bergantung pada sumber daya alam yang tersedia, baik itu tumbuh-tumbuhan, maupun hewan yang dapat dikomsumsi sebagai bahan makanan. Keterkaitan alam dan manusia sudah tercermin dalam kehidupan manusia masa lalu yang menggantungkan kehidupannya dari berburu dan meramu (Budiman, 2003: 1).

Pemanfaatan fauna sebagai alternatif untuk dikomsumsi manusia masa lalu dapat dilihat dari beberapa temuan arkeologis dan temuan yang berupa lukisan dinding gua yang memberikan gambaran aktivitas berburu yang dapat menjelaskan pola kehidupan manusia saat itu. Sisa fauna yang ditemukan dalam suatu temuan arkeologi dapat dikelompokan menjadi: fauna-fauna kecil seperti tikus, ikan, serangga, dan moluska dan fauna besar seperti sapi, gaja, bison (Renfrew & Bahn, 1996: 232 dalam Budiman, 2003: 2).

Bentuk data material yang sampai ke tangan arkeolog seperti artefak, ekofak, fitur, dan data keruangan mengandung informasi untuk mengungkap peran tinggalan tersebut ketika berada di konteks sistem (Schiffer, 2016: 22). Dari berbagai macam data arkeologis tersebut, bukti tinggalan ekofak banyak seperti moluska merupakan data arkeologis yang dapat bertahan lama hingga saat ini. Sisa moluska pada suatu situs sangat terkait dengan kegiatan subtensi manusia penghuni situs pada masa lalu. Beberapa jenis moluska dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Selain itu moluska digunakan sebagai alat kerja (artefak) dan perhiasan oleh manusia masa lalu (Sukadana, 1971: 294 dalam Budiman, 2003: 3)

(5)

2). Demi mempertahankan eksistensinya pada strata rantai makanan, manusia secara ‘ekonomis’ cenderung beradaptasi dan memanfaatkan sumberdaya yangg ada di sekitar lingkungan hidup mereka (Sharer dan Ashmore, 1979: 410 dalam Budiman, 2003). Perubahan preferensi dalam eksploitasi sumber daya kelautan juga dipengaruhi oleh perubahan level pada air laut saat itu.

Budiman (2003) dalam Skripsinya memaparkan bahwa, di Indonesia temuan moluska hampir ditemukan ditiapsitus-situs hunian. Situs yang memuat temuan sisa moluska yaitu situs Gilimanuk di Bali (Soejono, 1977), Palawang (Sukendar & Awe, 1981), Leang Bua di Flores (Awe, 1985), Gua Oelnaik Kupang (Awe, 1981), Ulu Leang (Clason, 1976), Leang Burung Sulawesi Selatan, Poso di Sulawesi Utara dan situs-situs didaerah Indonesia Timur (Prasetyo, 1989: 16-20). Temuan sisa-sisa moluska dipesisir biasanya berupa gundukan/bukit-bukit, sedangkan pada situs-situs gua merupakan temuan yang tersebar dalam kuantitas yang lebih kecil.

Moluska merupakan jenis tinggalan arkeologi yang menarik untuk dikaji, temuan moluska pada gua hunian manusia masa lalu berada pada jarak yang cukup jauh dari laut, tapi juga ada beberapa yang masih berada di sekitaran pesisir pantai. Moluska sendiri berperan sangat penting bagi manusia masa lalu dan cukup bertahan hingga kehadiran manusia saat ini yang juga berada di daerah pesisir. Melihat fenomonea tersebut kajian etnoarkeologi merupakan suatu studi yang berangkat dari sebuah temuan arkeologi berupa artefak, ekofak, ataupun fitur yang kemudian dapat memberikan sumbangsi terhadap tinggalan arkeologis tersebut dengan menemukan penjelasan fungsi tinggalan arkeologis dari kegiatan masyarakat pendukungnya.

(6)

sekitar situs itu sendiri masih melakukan kegiatan mengumpulkan kerang, baik itu untuk dijual belikan ataupu dikunsumsi secara personal.

1.2. Rumusan Masalah

Kajian moluska ini dapat memberikan gambaran mengenai: 1. Bagaimana teknik pengolahan moluska sebelum dikomsumsi?

2. Bagaimana Subsistensi menggumpulkan moluska, dalam hal ini perannya sebagai pangan?

3. Pada waktu kapankah pencarian moluska dilakukan?

1.3. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan tersebut, penelitian ini nantinya bertujuan untuk:

1. Mengetahi cara kerja dalam mengumpulkan moluska yang perannya sebagai pangan.

2. Mengetahui proses pengolahan dengan alat yang digunakan baik itu dari alam ataupun alat modern.

3. Mengetahui jadwal tertentu yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam pencarian moluska,

1.4. Manfaat

Penelitian ini akan memberikan informasi mengenai penggunaan moluska sebagai pangan di masa lalu yang hingga saat ini masih dijadikan sebagai salah satu jenis biota laut yang dikomsumsi. Selain itu, sangat bermanfaat bagi para peneliti yang akan melakukan penelitiannya mengenai kajian terkait dengan pemanfaatan moluska, khususnya di bidang arkeologi.

1.5. Landasan Teori dan Konsep Penelitian

(7)

derajat. Faktor lingkungan lainnya selalu mempengaruhi pemilihan sumber dan cara pengadaan.

Menurut Attenbrow (1992), moluska lebih sering berada di muara daripada konteks penuhnya di laut dan di mana lanskap telah dimodifikasi secara luas beberapa kali, menemukan bahwa kriteria ini diperlukan beberapa modifikasi, dan sesuai untuk dikembangkan sendiri. Seperti, Jumlah spesies kerang berbeda dalam deposit sampah, beberapa kerang mungkin tidak hanya menjadi sampah dapur, hewan darat dan artefak tidak harus terjadi pada sampah dapur.

Pentingnya konsep sebagai panduan penelitian untuk melakukan penelitian, penggunaan konsep pada penelitian ini di utarakan oleh Weselkov (1872) dan Attenbrow (1992). Ketika mengarungi saat air surut di air dangkal untuk mengumpulkan kerang dari pasir atau lumpur dasar, metode yang biasa tampaknya dilakukan adalah menyaring pasir atau lumpur dengan jari atau tongkat penggali untuk mengangkat kerang dengan jari-jari kaki ke keranjang (Waselkov, 1872).

Katup ditutup rapat atau operkulum dari moluska yang menimbulkan tantangan kepada calon predator. Manusia telah memecahkan masalah ini dengan menggunakan empat proses yaitu, bila digunakan secara terpisah atau dalam kombinasi, memungkinkan mereka untuk mengambil bagian yang dapat dimakan. Ini adalah (1) roasting, (2) pengukusan, (3) retak atau perforasi sampah, dan (4) menggunakan alat shucking (Attenbrow, 1992).

1.6. Metode Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Tahi Bua Kecamatan Tiwu Kabupaten Kolaka Utara. Daerah ini secara geografis melintang dari utara keselatan 3 20’ 0” LS dan membujur dari barat ke timur 120 55’ 0” BT. Penelitian ini berangkat dari

temuan arkeologis yang ada di situs (gua) Watumea, Desa Watumea Kecamatan Tiwu Kabupaten Kolaka Utara. Secara geografis berada di titik koordirnat 03 22’ 26.2” LS dan 120 55’ 59.5” BT. Dan berada diketinggian 73 mdpl. Secara umum

temuan disitus ini berupa fragmen keramik dan sebaran moluska.

(8)

kepustakaan dan studi lapangan. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data berupa referensi buku, jurnal, laporan penelitian, dan berbagai jenis informasi mengenai penelitian terdahulu. Studi lapangan berupa pengamatan langsung pada saat di lokasi penelitian.

Observasi partisipan, yaitu teknik pengumpulan data yang digunakan untuk merekam berbagai kejadian yang terjadi saat di lokasi penelitian, hal ini guna untuk mempelajari perilaku masyarakat, proses kerja, dan gejala-gejala alam lainnya. Dalam observasi ini, peneliti secara langsung terlibat dalam kegiatan sehari-hari orang atau situasi yang diamati sebagai sumber data.

Wawancara dilakukan dengan berdiskusi langsung kepada masyarakat yang melakukan kegiatan pencarian moluska, dari hasil wawancara tersebut akan membantu peneliti untuk menjawab semua yang menjadi permasalahan dari penelitian ini. Menurut Spradley (2006) mengatakan bahwa wawancara etnografis merupakan jenis peristiwa (speech event) yang khusus. Setiap kebudayaan mempunyai banyak kesempatan sosial yang terutama didentifikasikan sebagai peristiwa percakapan. Semua peristiwa percakapan mempunyai budaya untuk memulai, mengakhiri, bergiliran, mengajukan pertanyaan, berhenti sejenak, dan beberapa jarak antara orang yang satu dan yang lainnya.

(9)

BAB II PEMBAHASAN

Setiap kegiatan manusia pada masa lalu akan selalu terekam dalam materi yang dihasilkannya, meskipun materi tersebut telah terpendam dalam tanah selama ribuan tahun yang lalu, jelas atau tidaknya jejak-jejak tersebut, tergantung pada kondisi material yang ditemukan dan proses pengungkapan oleh seorang peneliti (Budiman, 2003: 98).

Di kesempatan ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian yang dilakukan selama tiga hari singkatnya, menggambarkan mengenai bagaimana teknologi pengolahan pada moluska dan pemanfaatannya sebagai pangan oleh masyarakat di Kecamatan Tiwu, Kolaka Utara.

2.1. Situs Watumea

Menurut Wattimena (2004) dalam jurnalnya “Rumah Adat di Pesisir Selatan

Pulau Serum, Maluku, Tinjauan Awal Etnoarkeologi” mengutarakan bahwa, pada

masa prasejarah, khususnya pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (mesolitikum) yang berlangsung 10.000 – 3.000 BP, manusia telah menggunakan gua sebagai tempat hunian. Dalam hal ini, manusia masa lalu menggunakan Gua Watumea selain tempat hunian juga sebagai tempat dimana mereka meakukan kegiatan pengolahan dan pengomsumsian kerang laut (moluska). Secara geografis, keberadaan situs ini memang tidak jauh dari pesisir pantai sekitar 800 km dari situs.

(10)

Foto 2.1. Fragmen Keramik

Menurut Nur (60) kegiatan pencarian kerang ini dilakukan sudah sejak lama, mulai dari kehidupan nenek moyang mereka, kerang merupakan salah satu jenis pangan yang mudah dan banyak ditemukan di alam. Dari penjelasan informan mengungkap sedikit masalah bahwa itulah salah satu alasan mengapa ditemukannya kerang laut di situs Watumea. Dan secara persentase, temuan kerang disitus Watume 100% berasal dari laut.

Foto 2.1. Fragmen Kerang Laut (Moluska) 2.2. Pencarian Kerang (Moluska)

(11)

terlihat dipermukaan dan dapatlangsung di masukan kedalam wadah yang telah disiapkan.

Foto 2.2. Pencarian Kerang (Moluska)

Beberapa kerang yang diincar sangat mudah ditemukan seperti jenis kerang

Burungong/Uho (Telescopium Telescopium) dan Wonggi Lawu (Sulcospira

Testudinaria) dapat ditemukan diatas tanah tanpa harus melakukan pencarian

dalam tanah dengan menggunakan tangan ataupun kaki. Beda dengan jenis kerang seperti Wokala (Polymesoda Erosa) harus menggunakan tangan dan kaki untuk bisa menemukannya. Pada umumnya untuk mendapatkan jenis kerang Wokala

(Polymesoda Erosa) harus menggunakan pengait atau pisau, alat tersebut

digunakan dengan menyayat tanah atau menusuk-nusuk tanah agar dapat terasa bahwa ada kerang yang tersembunyi didalam tanah.

(12)

Foto 2.2. Hasil Pencarian Kerang Laut (Molska) 2.3. Teknik Pengolahan Kerang Laut (Moluska)

Ada beberapa teknik yang digunakan dalam pengolahan kerang laut seperti, cangkang kerang akan dipukul hingga pecah kemudian isinya dimasukan kedalam wadah yang bersih, dan ada pula kerang yang harus dimasak terlebih dahulu agar kerangnya dapat terbuka dengan sendirinya tanpa harus di pukul. Adapun alat yang digunakan untuk membuka kerang yaitu alat yang berasal dari alam seperti batu, dan alat tajam seperti pisau atau parang.

(13)

Foto 2.3. Teknologi Pengolahan Kerang Laut (Moluska)

Beda halnya dengan jenis kerangBurungong/Uho(Telescopium Telescopium) dan Wonggi Lawu (Sulcospira Testudinaria), jenis kerang ini di proses dengan cara memecahkan bagian atas (kepala) kerang dan memecahkan bagian bawah (pantat) kerang agar mudah di isap dan langsung masuk kedalam mulut. Cara ini dapat dilakukan sebelum ataupun sesudah dimasak, tetapi pada umumnya dilakukan setelah dimasak terlebih dahulu. Salah satu jenis kerang ini tidak ditemukan pada situs Watumea yaituBurungong/Uho(Telescopium Telescopium), kemungkinan manusia masa lalu mengelolah jenis kerang ini langsung pada tempat ditemukannya. Alasan tersebut berangkat dari banyaknya sampah hasil sisah pembuangan kerang jenis Burungong/Uho (Telescopium Telescopium) di beberapa titik tempat dimana ditemukannya jenis kerang ini. Dalam hal ini, kerang tersebut dikelolah terlebih dahulu kemudian sesampainya dirumah dapat langsung dimasak dan dikomsumsi.

Menurut Nuhu (56) menjelaskan alasannya dalam bahasa bugis dan diartikan oleh Nur (60), bahwa “dibukanya kerang di sini, supaya setelah pulang dirumah

dibersikan dan bisa langsung dijual oleh konsumen, harganya bisa dari Rp. 5.000 sampai Rp. 10.000 per liter”

(14)

2.4. Kerang Laut (Moluska) Sebagai Pangan

Pemanfaatan kerang laut (moluska) telah terjadi sejak manusia masa lalu ada. Tidak hanya di pesisir pantai Kolaka Utara tapi hampir di seluruh bagian nusantara. Kegiatan menggumpulkan moluska sebagai pangan ini bertahan hingga saat ini sebagai salah satu makanan seafood yang banyak diminati para kuliner Indonesia maupuntourist.

Cara penyajian moluska sebelum dikomsumsi tidaklah susah, hanya menyediakan beberapa bahan pelesat makanan lainnya seperti, bawang merah, bawang putih, tomat, garam, pitsin, cawe rawit, dan air bersih. Semua bahan-bahan tersebut di tumbuk terlebih dahulu hingga menyatu, kemudian ditumis kedalam wajan, setelah terlihat perubahan warna maka selanjutnya kerang laut (moluska) selanjutnya dicampurkan kedalam wajan dengan sedikit air. Menunggu lima menit, jenis makananseafoodini sudah bisa langsung dikomsumsi.

Foto 2.6. Proses Masak Kerang

Cara penyajian lainnya juga tidak kala mudah dari sebelumnya, kerang hanya di kukus kedalam wadah dengan tambahan garam secukupnya, menunggu hingga cangkangnya terbuka (phylum mollusca) lalu diangkat dan memisahkan antara cangkang dan isi. Selanjutnya kerang langsung bisa dikomsumsi. Beda halnya dengan Wonggi Lawu (Sulcospira Testudinaria) dan Burungong/Uho

(Telescopium Telescopium) di rebus terlebih dahulu hingga matang dengan

(15)

BAB V PENUTUP 3.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat memberikan simpulan bahwa pengolahan moluska sebagai pangan telah lama dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tiwu, Kolaka Utara, bahkan jauh sebelumnya dimana manusia prasejarah hadir. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya temuan fragmen kerang yang ditemukan di situs (gua) Watumea. Dari hasil observasi partisipan dan wawancara juga menjelaskan bahwa pencarian moluska ini dilakukan sebagai salah satu makanan yang dikomsumsi selain dari ikan dan sayuran. Walau saat ini beberapa dari masyarakat melakukan pencarian moluska untuk di perjual belikan tetapi hal tersebut tidak luput dari pemanfaatannya sebagi pangan dalam kehidupan manusia.

Pasang surutnya air laut juga mempengaruhi pergerakan moluska diatas permukaan pasir, maka dari itu penentuan jadwal pencarian moluska ini dilakukan berdasarkan waktu surutnya air laut dimana kumpulan moluska mulai berada di permukaan pasir pantai dan dengan itu maka sangat mudah hunter menemukannya.

Dari semua teknik pengolahan moluska sebelum dikomsumsi, cara memukul dengan alat tajam atau batu adalah teknik yang paling sering digunakan oleh masyarakat setempat, hal tersebut dilakukan agar memudahkan manusia mengomsumsinya dengan baik.

3.2. Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, saran yang akan diberikan oleh peneliti saat ini terkhusus kepada masyarakat setempta agar selalu membudidayakan atau melestarikan hutan mangrove agar biota-biota laut seperti kerang dapat mempertahankan eksistensinya dan dapat terus di manfaatkan oleh masyarakat setempat, selain itu dapat menahan abrasi pasang surut air laut. Kedua, tertuju kepada pemerintah agar lebih memperhatian lagi kehidupan masyarakat pesisi untuk memberikan bantuan berupa bibit

(16)
(17)

A. Waselkov, Gregory. 1872.Shellfish Gathering and Shell Midden Archaeology. Amerika Serikat: Department of Sociology and Anthropology

Aman, Nur interview. 2016. “Interview of Cultere and History”. Tiwu, Kolaka

Utara.

Balai Arkeologi Makassar. 2012. Jejak-Jejak Sejarah Kebudayaan Sulawesi

Tenggara Daratan. Makassar: Balai Arkeologi Makassar [tidak

terbit].

Bungin, Burhan. 2001.Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers. _________. Cester20 – WordPress.com (diunduh pada 29 November 2016, pada

pukul 13.33 WITA).

Bowdler, Sandra. 2014. Shellfish Gathering and Shell Midden Archaeology. Edited by Balme, Jane & Paterson, Alistair. 2014. In Archaeology in

Practice. [second edition]. Amerika Serikat: Wiley Blackwell.

Kolaka Utara. 2012. “Kecamatan Tiwu”. kolutkab.go.id/kecamatan_tiwu.html

(diunduh pada 29 November 2016, pada pukul 13.23 WITA).

Nuhuinterview.2016. “Interview of Cultere and History”. Tiwu, Kolaka Utara.

Sharer, Robert J. and Wendy Ashmore 1979. Fundamental Archaeology. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company Ltd.

Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi (Edisi II). (Amri Marzali, Penerjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Pujainterview.2016. “Interview of Cultere and History”. Tiwu, Kolaka Utara. Tim Jelajah Arkeologi UHO. 2016. Laporan Survey Jejak-Jejak Kebudayaan

Mokole Watunohu, Kolaka Utara. Laporan Penelitian [tidak terbit].

Wattimena, Lucas. 2014. “Rumah Adat di Pesisir Pulau Seram, Maluku: Tinjauan

Referensi

Dokumen terkait

Gangguan kesehatan tidak diketahui atau tidak diperkirakan dalam penggunaan normal. Mutagenisitas sel

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Alih Fungsi Sanggar Kegiatan Belajar Menjadi

Berbeda dengan itu, penelitian kali ini menjelaskan proses evolusi kebijakan perdagangan di Indonesia sebagai titik tolak analisis terhadap dampak liberalisasi perdagangan

Demikian pula pemahaman akan terselenggaranya bentukan-bentukan bangunan arsitekturnya dimaknai sebagai sesuatu yang terbentuk dari akibat adanya hubungan kekeraban

jumlah telur yang diproduksi pada waktu tertentu dibagi dengan jumlah puyuh yang ada pada waktu tersebut, 3) bobot telur rata- rata (g/butir), diperoleh dengan

sarn rn de deng ngan anju ju la la bi biay aya, a, at atau au ap apab abil il la laba bako kont ntri ribu busi si ha hany ny da dapa pa di digu guna naka ka un untu tu aj aj er er ut

Berdasarkan hasil training data JST dengan input berupa massa (m), kekakuan ( k ), redaman (c), elevasi (H), perioda natural (Tn) dan faktor beban dinamik (DLF) serta

Beban pembelajaran pada program profesi paling sedikit 24 (dua puluh empat) sks bagi lulusan sebidang dari program sarjana atau yang setara, yang meliputi sejumlah mata