HUKUM INTERNASIONAL
(dari Konsepsi sampai Aplikasi)
Salimi Muhammad Baindowi
Salimi_muhammad@students.unnes.ac.id
Nama /Judul Buku : Hukum Internasional (dari Konsepsi sampai Aplikasi)
Penulis /Pengarang : Dedi Supriyadi, M.ag. Penerbit : Pustaka Setia
Tahun Terbit : 2013 Kota Terbit : Bandung
Bahasa Buku : Bahasa Indonesia Jumlah Halaman : 360 hlm
ISBN Buku : 978-979-076-351-7
Dengan adanya hukum internasional maka diperluakan dasar atau sumber hukum internasional, di dalam buku karangan Didi Supriyadi disebutkan bahwa kebiasaan, perjanjian internasional, prinsip hukum umum, keputusan-kepytusan lembaga atau prga, keputusan pengadilan dan pendapat ahli huku internasional merupakan sumber hukum internasional baik secara formal atau material. Bentuk sumber hukum internasional dipertegas dalam dalam sumber tertulis yang ada di dalam dua konvensi yaitu konvensi Den Haag XII, pasal, tanggal 18 oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Iternasional Perampasan Kapal di Laut dan Piagam Mahkamah Intrnasional Permanen, pasal 38 tanggal 16 Desember 1920, yang tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasioanal tanggal 26 juni 1945. Sampai sekarang pasal tersebut menjadi pedoman dalam bidang hukum intrnasional, terutama ketika ke pengadilan memutuskan sebuah perkara bahwa hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan. Dengan begitu statuta hanya berfungsi sebagai dasar atau landasan bagi dan bekerjanya suatu organisasi internasional. Begitu pula dengan Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, hanya berlaku bagi mahkamah, terutama dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang diajukan dihadapannya.
Sejarah Hukum internasional dalam buku karya Didi Supriyadi ini kebanyakan sama dengan buku pengantar hukum internasinal pada umumnya, akan tetapi jika kita lebih cermat membaca maka ada berbagai kesamaam dalam pembahasan mengenai sejarah hikum internasional yaitu mengabil berbagai sumber dari berbagai penulis buku pengantar hukum internasional yang kebanyakan penulis mencapurkan karya orang lain untuk dijadikan pelengkap di dalam pembahasan buku karangannya.
Dalam buku ini sejarah hukum internasional dijelaskan mengenai hukum internasinal dari masa ke masa dimulai dengan titik lahirnya negara-negara nasinal yang modern biasanya ditentukan saaat ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa (dalam buku T. May Rudi). Dengan adanya Perjanjian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional modern, bahkan dianggap sebagia peristiwa hukum internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Berbagai fase perkembangan hukum internasional dimulai pada zaman kuno, dimana hukum internasinal pada lingkungan Yunani kono maupun Romawi kuno telah dikenal. Selanjutnya pada abad pertengahan yang sering disebut sebagai abad kegelapan, dimana dalam abad kegelapan hukum internasianal kurang berkembang karena semua sudah ditundukan di bawah satu kekuasaan satu hukum, yaitu imperium dan hukum romawi. Fase terakhir yaitu pada abad 16 sampai abad 20, dalam fase ini hukum sangat di perjuangkan terutama hukum mengenai hak asasi manusia harus disetarakan mengenai hak dan kewajiban, tidak luput hukum internasional dalam fase ini juga sangat berkembang hingga sampai sekarang ini.
dalam bukunya, pembahasan mengenai lembaga pengakuan internasional merupakan masalah aktual yang menyangkut berbagai bidang hubungan antarnegara. Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang yang dinamis, berubah dari waktu ke waktu. Ada negara yang dikuasai negara lain dan ada pula yang baru lahir. Demikian pula pemerintah lama berguling, pemerintah baru pun berdiri.
Pemberian pengakuan suatu negara ke negara lain terlebih dahulu harus ada keyakinan bahwa negara baru tersebut telah memenuhi unsur-unsur minimum suatu negara menurut hukum internasional dan pemerintah baru tersebut menguasai dan mamou memimpin wilayahnya. Adapun unsur-unsur lain dari pemberian pengakuan yaitu pemerintah dalam negara baru harus mendapatkan kekuasaanya melalui cara-cara yang konstitusional dan negara tersebut harus mampu bertanggung jawab terhadap negara lain. Dengan diakuinya suatu negara atau pemetintah baru ada konskuensi yang tibul dari pengakuan tersebut yaitu konskuensi politis antara lain kedua negara dapat leluasa mengadakan hubungan diplonatik, sedangkan konskuensi yang kedua adalah konskuensi yuridis yaitu pengakuan tersebut merupakan pembuktian atas keadaan yang sebenarnya selain itu pengakuan menimbulkan akibat hukum tertetu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan yang negara yang diakui, dan yang terakhir pengakuan memperkukuh status hukum negara yang diakui dimata pengadilan negara yang mengakui.
Buku hukum internasional dari Konsepsi sampai Aplikasi karangan Didi Supriyadi ini juga menjelaskan penarikan pengakuan dari negara yang mengakui dari negara yang diakui, tapi uniknya dalam buku ini tidak serta merta penarikan dapat dilakuakn karena dalam buku ini ada dua pendapat mengenai penarikan pengaakuan yaitu yang pertama pengakuan dapat ditarik kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat tertentu dan ternyata pihak yang diakui terbukti tidak memenuhi persyaratan. Kedua yaitu penariakn sekalipun diberikan syarat, pengakuan tidak dapat ditarik. Hal ini karena tidak sepuhnya syarat itu tidak menghilangkan eksistensi pihak yang telah diakui tersebut.
Secara umum dikatakan bahwa pengakuan harus diberikan dengan kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan harus yakin bahwa pihak yang diberikan pengakuan itu benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukukum um internasional (international legal personality). Dengan demikian, pengakuan itu berlaku selama pihak yang diakui tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi hukum menurut hukum internasioanal.
Dalam hukum konstitusi dan iternasional, konsep kedaulatan berkaitan dengan pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dalam dalam konteks tertentu, terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yuridiksi hukum sendiri.Penentuan entitas merupakan suatu entitas yang berdaulat, bukan sesuatu yang pasti melainkan sering merupakan masalah sengketa diplomatik.
berdaulat, bukan mayarakat yang merupakan negara dunia, kedaulatan negara bukan penghambat perkembangan hukum internasional dan tidak bertentangan dengan hukum internasional. Pandangan bahwa kedaulatan bertentangan dengan hukum internasional dan menghambat perkembangan hukum internasional dapat dibenarkan hanya jika mayarakat internasional itu telah menjadi masyarakat atau negara dunia dan hukum internasional itu merupakan hukum dunia.
Penulis menambahkan, kedaulatan yang dimiliki suatu negara, kadang-kadang menimbulkan konflik antar negara yang ada. Hal ini banyak terkait dengan adanya wewenang atau yuridiksi yang dimiliki oleh suatu negara terhadap individu, benda, dan lain-lain., misalnya seorang warga negara dari suatu negara melakukan kejahatan di banyak negara. Masalahnya tersebut dapat berkembang pula di negara lain. Persoalan tersebut dapat masuk dalam lingkup wewenang atau yuridiksi.
Yuridiksi berkaitan dengan masalah hukum, khususnya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki badan peradilan atau badan-badan negara lainnya berdasarkan hukum yang berlaku. Di dalamnya tetcangkup pula batas-batas atau ruang lingkup kekuasaan atau kewenangan itu untuk membuat, melaksanakan, atau menerapkan hukum yang berlaku ataupun melaksanakannya kepada pihak-pihak yang tidak menaatinya. Yuridiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara. Dengan kata lain ,kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki yurisdiksi; persamaan derajat negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak berati bahwa negara-negara tersebut memiliki yurisdiksi terhadap pihak lain, dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain.
Dalam pembahasan bab enam mengenai pertanggungjawaban negara dijelaskan bahwa menurut hukum internasional, suatu negara bertanggung jawab apabila suatu perbuatan atau kelalaian yang dipertautkan padanya melahirkan pelanggaran terhadap kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional adalah tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-hak tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain, menyebabkan negera tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran hak itu. Dengan kata lain, negara tersebut harus mempertanggungjawabkannya. Penulis mengutip pendapat profesor Higgins, yaitu hukum tentang tanggung jawab negara adalah hukum yang mengatur akuntabilitas (accountability) terhadap pelanggaran hukum internasioanal. Jika suatu negara melanggar kewajiban internasional, negara tersebut bertanggung jawab (responsibility) untuk pelangaran yang dilakukannya. Menurutnya kata accountability mempuyai dua pengertian. Pertama, negara memiliki keinginan untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan mental (mental capacity) untuk menyadari hal-hal yang dilakukannya. Kedua, tanggung jawab (liability) untuk tindakan negara yang melanggar hukum internasional (international wrongful behaviour) dan tanggung jawab tersebut (liability) harus dilaksanakan.
negara bertanggung jawab atas suatu perbuatan yng dipersalahkan (a wrongful act) yang dilakukan oleh para pejabatnya, para pejabatnya itu secara individual juga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana untuk perbuatan yang sama khususnya jika menyangkut pelanggaran terhadap hukum sengketa bersenjata (hukum humaniter) dan tindak pidana internasional lainnya.
Penjelasan penulis dalam bab ketujuh diisi oleh penulis menggunakan beberapa kutipan dari pendapat para pakar luar negeri, akan tetapi penulis tidak menterjemahkan dari kutipan tersebut yang menurut saya itu bisa menjaga keasliannya dari mana kutipan berasal tetapi kadang itu bisa membuat pembaca kesulitan memahami isi dari buku karangan Didi Suryadi ini. Dalam bab tujuh mengenai penyelesaian sengketa internasional ini menjelaskan banyak hal mengenai syarat atau putusan Mahkamah Internasional mengenai sengketa hukum yang dapat dibawa ke Mahkamah Internasional.
Penulis memberiakan metode penyelesain sengketa dalam piagam PBB lengkap dengan pengertian dan baik ataupun buruknya dari metode tersebut. Selain itu penulis juga memberikan beberapa langkah-langkah lebih lanjut tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh negara negara anggota PBB untuk menyelesaikan sengketa secara damai diuraikan dalam bab IV (Convention for the Pasific Settlement of International Disputes).
Selain menyelesaikan sengketa secara damaijuga ada dengan cara kekerasan. Negara-negra apabila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan m. Negara-negra apabila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan maka cara pemecahan masalah dapat berupa perang, retorasi, tindakan-tindakan pembalasan, blokade secara damai hingga intervensi. Dari semua penyelesaian secara kekerasan tersebut tentunya tidak ada yang mau menghendakinya.
Selain itu penulis menambahkan selain secara damai dan kekerasan ada lagi yaitu penyelesain sengketa menggunakan jalur hukum akan tetapi penyelesaian menggunakan jalur hukum yang berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya memilih hakim, memilih hukum, memilih hukum acara yang akan digunakan. Akan tetapi, dengan bersengketa di pengadilan internasional, para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat setiap pihak yang bersengketa.
Dalam halaman terakhir bab tujuh penulis menambahkan berbagai contoh sengketa internasional, baik yamg melalui jalur hukum Mahkamah Internasional maupun penyelesain damai dari kedua belah pihak. Akan tetapi contoh yang diberikan hanya sebatas negara ASEAN khusunya hanya Indonesia saja. Seharusnya harus mencantumkan beberapa contoh kasus di seluh dunia baik melalui jalur hukum Mahakamah Internasional maupun damai bahka kekerasan.
awal abad ke-20. Ternyata, sunjek-subjek hukum internasional yang diakui eksistensinya saat ini, selain negara, juga organisasi internasional,individu, dan subjek-subjek hukum bukan negara (non state entities) sebagai subjek hukum internasional secara mandiri dan saling berkaitan satu sama lainnya.
Secara teoritis, dapat dikemukakan bahwa subjek hukum sebenarnya hanyalah negara. Perjanjian internasonal seperti konvensi plang merah tahun 1949 memberikan hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu diberikan konvensi secara tidak langsung kepada orang per orang (individu) melalui negara-(nya) yang menjadi peserta konvensi. Melalui konstruksi demikian, banyak keadaan atau peristiwa individu menjadi subjek hukum internasional berdasarkan konvensi dapat dikembalikan pada negara-(nya) yang menjadi peserta konvensi yang bersangkutan. Contohnya adalah Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nasionals of Others States dan The European Convention on Human Rights.
Pendapat bahwa perjanjian internasional hanya berlaku dalam wilayah suatu negara yang menjadi pesertanya setelah diundangkannya undang-undang pelaksanaannya (implementing legislation)- yang lazim dikenal dengan teori transformasi- merupakan perwujudan lain dari teori bahwa hanya negara yang merupakan subjek hukum internasional, sejalan dengan jalan pikiran yang kami uraikan di atas.
Pembahasan terakhir dari bab ini adalah mengenai Hukum Internasional tentang HAM dimana penulis menjabarkan bahwa ham dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi dapat dimaknakan sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya sebab hingga saat ini, hanya konsepsi HAM dan demokrasi yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan. Hukum internasional memang telah lama mengatur hak dan kewajiban individu, tetapi pengaturan masalah HAM dalam hukum internasional belum lama. Setelah terjadinya perang dunia dua, timbul kesadaran bahwa penghormatan atas HAM sangat penting untuk menjamin agar orang dapat hidup sesuai dengan martabat manusianya. Pengalaman sekitar keadaan dalam perang dunia dua menunjukan bahwa tidak adanya penghormatan atas HAM memungkinkan timbulnya kediktatoran dan tirani. Kediktatoran dan tirani dalam tataran hukum internasional dapat menimbulkan ketegangan dan perang. Maka untuk kepentingan perdamaian diharapkan semua negara menghormati HAM.