DETEKSI RUANG TERBUKA HIJAU
MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH
(STUDI KASUS: DI DKI JAKARTA)
Nana Suwargana
1dan Susanto
11
Pusat Pengembangan dan Teknologi Inderaja Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
ABSTRAK
Lingkungan hijau merupakan jantung kota untuk udara yang bersih, terutama pada daerah penduduk/pemukiman yang padat. Oleh karena itu dalam perencanaan dan pengembangan kota, khususnya untuk hutan kota seperti Jakarta diperlukan data dan informasi yang lengkap dan akurat. Polusi dari asap mobil dan industri meningkat karena daerah ruang terbuka hijau berkurang.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kondisi ketahanan tatanan lahan Ruang Terbuka Hijau DKI Jakarta melalui evaluasi perubahan penutup lahan dari citra satelit antara tahun 1983 sampai tahun 2002. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi citra Landsat serta gabungan antara data visual dan digital. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, hasil interpretasi citra Landsat dari dua waktu yang berbeda aquisisi diperoleh luas Ruang Terbuka Hijau berkurang sebesar -2755.3 hektar (-159.0%) dan luas yang tersisa tinggal 9430.6 hektar (14.7%), sedangkan urban bertambah sebesar 24411.0 hektar (172.7%) dan luasnya menjadi 46592.9 hektar (71.2%) dari luas DKI sekitar 65066.86 hektar.
1. PENDAHULUAN
Lingkungan hijau merupakan salah satu pengertian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ditumbuhi vegetasi berkayu (seperti: hutan kota, kebun pekarangan, dan lain-lain) di wilayah perkotaan, yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk perkotaan, dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan khusus lainnya seperti dapat menampung, menyimpan, dan mendistribusikan air untuk seluruh keperluan masyarakat di daerah tersebut. Kemampuan lahan tersebut sangat dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan dan pembangunan serta pertumbuhan masyarakat kota, khususnya DKI Jakarta, tentunya akan menimbulkan suatu dampak, baik yang bersifat negatif maupun positif. Seperti berdirinya berbagai jenis industri, pemukiman serta bertambahnya sarana transportasi akan menimbulkan dampak polusi udara, polusi suara dan polusi air. Menurut Pemprov DKI (Kompas, Senin 24 Maret 2003) luas RTH di wilayah DKI tinggal 9261.3 hektar (14%) namun luas RTH yang dikuasai DKI hanya 5933.7 hektar (9 %) dari luas kota Jakarta
66.152 hektar. Banyak RTH DKI menjadi Mal dan pemukiman penduduk, sehingga pemprov DKI kesulitan menambah luas RTH. Kemudian bila turun hujan banjir dapat menggenangi 42 kecamatan hingga 24% dari luas DKI.
Meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk pemukiman, industri serta perkantoran, mengakibatkan semakin berkurangnya persediaan ruang terbuka hijau di wilayah DKI. Keadaan tersebut merupakan awal dari kerusakan lingkungan, yang perlu segera ditanggulangi, yaitu dengan upaya pencegahan yang mendasar, sehingga daerah wilayah DKI akan tetap menjadi daerah yang nyaman dan sehat. Untuk melakukan evaluasi dari berkurangnya lahan RTH di DKI Jakarta, hal-hal yang perlu dipantau menggunakan data inderaja satelit adalah perubahan penutup lahan dari citra yang diinterpretasi. Selain itu, beberapa data pendukung (sekunder) juga diperlukan.
kebutuhan informasi sumber daya alam yang terus dituntut makin rinci. Mampu mengindera ulang daerah yang sama setiap 16 hari sekali.
Untuk menghasilkan sadapan informasi obyek digunakan detektor yang sensitif terhadap sinar matahari pada daerah cahaya tampak, daerah infra merah dekat dan daerah infra merah thermal (mata manusia sensitif pada daerah cahaya tampak). Dipilihnya rentang spektrum sinar matahari tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi lebih akurat (lengkap), tidak hanya dari spektrum cahaya tampak tetapi juga dari daerah infra merah. Dengan kanal spektrum infra merah thermal Landsat dapat menghasilkan informasi sadapan yang dilakukan pada malam hari, sehingga informasi yang disadap menjadi lebih lengkap. Data hasil sadapan direkam pada media perekam pada saat yang bersamaan dikirimkan ke stasiun bumi penerima (untuk Indonesia ada di Parepare, Sulawesi Selatan).
Landsat-7 ETM menggunakan teknik multispektral yang terdiri atas 6 kanal pada daerah cahaya tampak dan infra merah dekat, dengan ketelitian spasial 30 m, 1 kanal pankromatik dengan ketelitian 15 m, dan 1 kanal infra merah thermal dengan keterlitian 60 m. Dengan karakteristik seperti itu dapat dihasilkan citra multispektral dengan skala 1:100.000 dan citra pankromatik skala 1:50.000. Didukung kemampuan mengindera ulang 16 hari sekali pada daerah yang sama, data Landsat sangat cocok digunakan untuk inventarisasi dan pemantauan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Deskripsi DKI Jakarta secara geografis terletak pada 106o 31’ - 107o 00’ BT dan 5o 29’ 50” – 6o 26’ LS. Menurut referensi penomoran lokasi citra (WRS) berada pada lintasan ke 122 dan baris ke 65, yang mempunyai ukuran frame 185 km x 185 km. Untuk memantau penupan lahan DKI Jakarta digunakan data Landsat perolehan tahun 1983 (Landsat-4) dan tahun 2002 (Landsat-7). Melalui pengabungan kanal multispektral band 542 (RGB) dapat dihasilkan citra komposit mirip warna asli dengan skala 1:100.000. Citra multispektral inilah yang digunakan untuk berbagai analisis penutup lahan DKI Jakarta. Kanal pankromatik dapat dihasilkan citra dengan skala 1:50.000 baik sekali untuk enhance citra multispektral, citra ini
digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang bentang lahan DKI Jakarta.
Topografi wilayah DKI Jakarta rata-rata rendah. Iklimnya mempunyai tipe iklim C dengan nilai Q (yaitu jumlah bulan-bulan kering dibagi jumlah bulan-bulan basah dikalikan 100%) berkisar antara 33.3 – 60%. Fisiografinya merupakan daerah yang terdiri dari daratan, rawa-rawa, dan kepulauan sebagian besar jenis tanahnya adalah aluvial. Penggunaan lahannya antara lain berupa: pemukiman, perkantoran, pelayanan umum, pasar, sarana transportasi, tempat-tempat hiburan, rekreasi, jalur hijau, industri, taman, dan lain sebagainya. Batas wilayah DKI di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Banten yang juga telah mengalami padatnya pemukiman, di sebelah Timur berbatasan dengan Kotamadya Bekasi, Kotamadya Depok dan Kabupaten Bogor yang juga telah mengalami padatnya pemukiman dengan sedikit bervegetasi. Kemudian di sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kotamadya Depok dan Kabupaten Bogor dengan bentang lahan daratannya agak sedikit meninggi jika dibandingkan dengan wilayah pusat dan utara dengan sedikit bervegetasi jarang. Dari sinilah informasi RTH DKI Jakarta keberadaannya akan dipantau dengan dua citra Landsat.
Analisis citra dimaksudkan untuk mendapatkan status ketahanan tatanan lahan RTH DKI Jakarta melalui evaluasi perubahan penutup lahan antara tahun 1983 sampai tahun 2002. Untuk melaksanakan hal itu, dilakukan analisis kedua citra multispektral untuk mendapatkan status akhir tentang: perubahan tatanan lahan, kondisi lingkungan dan daya dukung daerah resapan air.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Citra Landsat tahun 1983 dan 2002 diklasifikasikan untuk membedakan penutup lahan menjadi 6 kelas, seperti yang disebutkan di atas. Metode klasifikasi yang digunakan adalah gabungan antara visual dan digital dengan disupervisi peta yang ada. Cara visual digunakan untuk menentukan batas-batas obyek, Selanjutnya batas tersebut didigitasi sehingga diperoleh citra klasifikasi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil citra klasifikasi yang diperoleh dari data citra Landsat tahun 1983 dapat dilihat pada Gambar 1 sedangkan dari data citra Landsat tahun 2002 dapat dilihat pada Gambar 2. Kemudian perubahan penutup lahan per wilayah DKI Jakarta dapat ditabelkan dalam Tabel 1 dan untuk seluruh
DKI Jakarta ditabelkan dalam Tabel 2. Beberapa perubahan tersebut, antara lain seperti:
1. Urban yang merupakan pemekaran/pemadatan pemukiman terlihat di Gambar 1 semakin bertambah ke wilayah Jakarta Timur, Barat dan Selatan, distribusinya terlihat di Gambar 2 terutama di sekitar perbatasan Bekasi, Tangerang dan Bogor. Urutan besarnya pertambahan urban dari kelima wilayah DKI dapat dilihat pada Tabel 1, yaitu: Jakarta Timur 7287.35 hektar, Jakarta Selatan 6557.5 hektar, Jakarta Barat 5397.1 hektar, Jakarta Utara 4475.8 hektar, dan Jakarta Pusat 693.3 hektar. Sedangkan besarnya pertambahan Urban untuk seluruh DKI dapat dilihat di Tabel 2, yaitu sebesar 24411.0 hektar (172.7%).
Gambar 2. Citra Klasifikasi Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002
Tabel 1. Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan Per Wilayah DKI Jakarta dari Citra Landsat Tahun 1983 dan 2002
Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan dari Citra Landsat Tahun 1983 dan 2002
Jakarta Utara
1983 2002 Perubahan
Nama Kelas
Ha % Ha % Ha %
Urban 5107.6 36.8 9583.4 68.9 4475.8 32.1
RTH 3216.9 23.1 822.2 5.9 -2394.6 -17.2
Danau/air/sungai 420.4 3.0 150.9 1.0 -269.5 -1.9
Lahan Terbuka 1348.7 9.7 2135.1 15.3 786.4 5.6
Rawa/Tambak 1355.1 9.7 634.6 4.6 -720.5 -5.2
Sawah 2455.5 17.7 577.9 4.2 -1877.6 -13.5
Jakarta Barat
Urban 4226.4 33.8 9623.5 76.9 5397.1 43.1
RTH 6974.5 55.7 1480.5 11.8 -5494.0 -43.9
Danau/air/sungai 13.0 0.1 2.3 0.0 -10.6 -0.1
Rawa/Tambak 1.5 0.0 2.8 0.0 1.3 0.0
Sawah 570.7 4.6 90.6 0.7 -480.1 -3.8
Jakarta Pusat
Urban 3283.6 67.6 3976.9 81.8 693.3 14.3
RTH 694.3 14.3 96.7 2.0 -597.6 -123
Danau/air/sungai 6.3 0.1 1.8 0.0 -4.5 -0.1
Lahan Terbuka 864.4 17.8 779.9 16.0 -84.51 -1.7
Rawa/Tambak 0.1 0.0 1.5 0.0 1.4 0.0
Sawah 10.4 0.2 2.3 0.0 -8.1 -0.2
Jakarta Timur
Urban 5715.8 25.7 13003.1 65.4 7287.3 39.7
RTH 11632.9 63.4 4094.9 22.3 -7538.0 -41.1
Danau/air/sungai 179.6 1.0 14.4 0.0 -165.2 -0.9
Lhn Terbuka 1291.3 7.0 1974.6 10.8 683.5 3.7
Rawa/Tambak 0.0 0.0 13.1 0.0 13.0 0.1
Sawah 529.0 2.9 248.5 1.3 -280.5 -1.5
Jakarta Selatan
Urban 3848.5 26.6 10406.0 72.0 6557.5 45.4
RTH 9667.3 66.9 2936.2 20.3 -6731.1 -46.6
Danau/air/sungai 7.8 0.0 3.7 0.0 -4.1 -0.0
Lahan Terbuka 888.7 6.1 1065.9 7.4 177.2 1.2
Rawa/Tambak 33.3 0.2 34.0 0.2 0.7 0.0
Sawah 0.2 0.0 0.0 0.0 -0.2 -0.0
Tabel 2. Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan untuk Seluruh DKI Jakarta dari Citra Landsat Tahun 1983 dan 2002
1983 2002 Perubahan
Nama Kelas
Ha % Ha % Ha %
Urban 22181.9 34.0 46592.9 71.6 24411.0 172.7
RTH 32185.9 49.5 9430.6 14.5 -22755.3 -159.0
Danau/air/sungai 627.1 1.0 173.1 0.3 -453.9 -3.0
Lahan Terbuka 5115.8 7.9 7264.6 11.2 2148.8 13.5
Rawa/Tambak 1390.2 2.1 686.1 1.0 -704.1 -5.1
Sawah 3565.9 5.6 919.4 1.4 -2646.5 -19.0
2. RTH yang merupakan ruang terbuka yang ditumbuhi vegetasi yang dapat memberi manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk perkotaan nampak semakin berkurang. Terlihat perbedaan yang mencolok dari kedua citra pada Gambar 1 dan Gambar 2. Pada Gambar 1 nampak RTH dengan warna hijau masih cukup luas bila dibandingkan dengan Gambar 2 yang sudah berkurang dengan warna bekas RTH menjadi merah. Hal ini hampir di seluruh wilayah DKI Jakarta banyak mengalami perubahan menjadi urban, terutama di Jakarta Pusat dan Utara keberadaan RTH semakin berkurang. Urutan berkurangnya RTH dari kelima wilayah DKI ditunjukan pada Tabel 1 yaitu: Jakarta Timur -7538.0 hektar, Jakarta Selatan -6731.1 hektar, Jakarta Barat -5494.0 hektar, Jakarta Utara -2394.6 hektar dan Jakarta Pusat -597.6 hektar. Sedangkan berkurangnya RTH untuk seluruh DKI ditunjukkan pada Tabel 2 yaitu: -22755.3 hektar (-159.0 %).
3. Danau/air/sungai yang merupakan penyangga air nampak semakin berkurang dan kondisinya semakin kritis. Perubahan kondisi sungai/danau sangat dipengaruhi oleh kondisi tatanan lahan. Sebagai contoh bila aliran sungai melewati daerah pemukiman (seperti kali Ciliwung, Grogol, Cakung, Sunter) maka endapan sampah/limbah yang dibuang oleh penduduk akan terbawa sampai daerah sekitar muara. Sungai Ciliwung paling dominan melewati pemukiman di wilayah Timur, Selatan, Pusat dan Utara akan berperan mempercepat proses sedimentasi lumpur yang terjadi di daerah sekitar muara. Selain itu danau semakin berkurang karena banyak berdiri bangunan-bangunan yang diperuntukkan untuk pemukiman. Seperti terlihat di Sunter Jakarta Utara dan Pulau Mas Jakarta Timur keberadaan danau berubah menjadi pemukiman.
4. Lahan terbuka yang merupakan lahan yang tidak dimanfaatkan juga nampak bertambah telihat di wilayah DKI Jakarta Barat dan Timur.
5. Rawa yang merupakan tempat penampungan air dari bahaya banjir serta tambak yang merupakan tempat budidaya ikan/udang nampak semakin berkurang terutama di wilayah Jakarta Utara.
6. Sawah yang merupakan lahan pertanian dan sebagai sumber pertanian atas bahan makanan
pokok juga semakin berkurang, nampak terlihat di wilayah Jakarta Barat dan Timur.
Berkurangnya tatanan lahan Ruang Terbuka Hijau yang disebabkan oleh pesatnya perkembangan DKI karena banyaknya berdiri gedung-gedung yang dipergunakan untuk keperluan perkantoran, perindustrian, pemukiman dan juga semakin banyaknya jalan kendaraan (baik jalan baru dibangun maupun pelebaran jalan) karena semakin padatnya lalu lintas. Dari perkembangan tersebut di atas maka di wilayah DKI telah terjadi beberapa hal antara lain:
a. Lahan RTH semakin berkurang dan terkonversi menjadi urban, sehingga kondisi lingkungan yang hijau serasi dan sehat semakin kritis.
b. Lahan Danau, rawa dan tambak juga mengalami pergeseran menjadi urban, sehingga kondisi lingkungan sudah tercemar terutama persediaan air yang besih semakin kritis.
c. Sungai yang melewati kota semakin kotor karena banyak pemukiman membuang limbah/sampah di sekitar sungai tersebut, sehingga sering terjadi genangan air terutama di wilayah sekitar bantaran sungai dan sekitar muara sungai.
Ketiga hal tersebut lebih diperparah oleh menurunnya daya dukung daerah resapan air di sekitar bangunan atau pemukiman sehingga distribusi air untuk kebutuhan utama penduduk semakin berkurang dan tercemar.
4. KESIMPULAN
Dari faktor besarnya masukan urbanisasi ke wilayah DKI Jakarta dapat disimpulkan bahwa kondisi fisik lingkungan kota yang hijau serasi dan sehat di wilayah DKI Jakarta secara umum mengalami penurunan, ini disebabkan oleh:
DKI tahun 2003 luas RTH tinggal 14 % dari luas DKI, namun yang dikuasai DKI hanya 9%. Ini benar-benar bahwa DKI merasa tak ada lagi yang dibanggakan, banyak RTH DKI menjadi Mal dan pemukiman penduduk, sehingga Pemprop DKI kesulitan menambah luas RTH.
b. Dengan berkembangnya pemukiman, maka sungai-sungai yang melewati daerah dala perkotaan akan menurunkan daya dukung sungai itu sendiri karena faktor berbagai buangan limbah dari pemukiman, sehingga kondisi lingkungan semakin memburuk.
m
5. SARAN
Untuk melindungi lingkungan hijau serasi dan sehat di wilayah DKI Jakarta, perlu dilakukan langkah-langkah nyata adalah:
a. Mengembalikan kawasan ruang terbuka hijau seperti taman-taman segera dikembalikan fungsinya. Mengajak penduduk/masyarakat dan pengusaha dalam mengusahakan pengembangan pembangunan untuk dapat menanam tanaman berkayu di setiap kebun/pekarangan perumahan/perkantoran. Menghentikan pengembangan lahan pemukiman/perkantoran yang tidak sesuai dengan peruntukannya, dengan cara mengintensifikasikan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap IMB. Usahakan pemerintah untuk dapat lebih serius mengembangkan hutan kota serta penghijauan di jalur sepanjang pinggiran jalan. Hal ini akan berhasil bila diikuti upaya mengubah penduduk/masyarakat DKI dapat mengikuti anjuran di atas.
b. Memantau secara rutin terhadap lingkungan hijau dan pembangunan pemukiman/ perkantoran dalam waktu setiap tahun untuk mengevaluasi kondisi tata lingkunganya. Pihak Pemprov DKI Jakarta harus tegas membongkar berbagai bangunan yang berdiri di berbagai taman yang tidak sesuai dengan lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1977. Tegakan Hutan Indonesia. Buku ke II, Jawa Barat dan DKI Jakarta, Departemen Kehutanan, Direktorat Bina Program, Bogor
Barus, B dan U.S. Wiradisastra. 2001. Sistem Informasi Geogrfi. Laboratorium Penginderaaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor
LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). 1990. Teknik Penginderaan Jauh Dengan Data Landsat-TM. LAPAN. Jakarta
Malingreau, JP, and Christiani, 1981. A Land Cover and Use Clasification for Indonesia. The Indonesian Jurnal of Geography, Yogyakarta: Fakultas Geografi. UGM, vol 11, No. 41 Jan 1981, 13 – 17
Rustiadi R. dan D.R. Panuju, 1999. Suburbanisasi Kota Jakarta. Makalah Seminar Nasional Tahunan VIII Persada Tahun 1999. Bogor 6 Desember 1999