• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISTISHAB DAN MAZHAB SHAHABY DALAM EKONOM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ISTISHAB DAN MAZHAB SHAHABY DALAM EKONOM"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ISTISHAB DAN MAZHAB SHAHABY DALAM EKONOMI KEUANGN KOTEMPORER

A. Istishab

1. Pengertian Istishab

Istishab dalam bahasa latin berasal dari kata shuhbah, artinya “menemani atau menyertai”, dalam arti menuntut kebersamaan atau “terus-menerusnya bersama”

Sedang menurut istilah, ditemukan beberapa redaksi dari para ahli yang mendefinisikannya, diantaranya adalah:

a. Imam al-Asnawy:

ُرّيَرغرّرتلّلِ ُِحُِِّ ِْصَِريا َرم د ِْو ُِج ُِو م َرد َرع لِ ل ّرو َرلا نا َرم ّرزللِ : ف ه ت ِْو ُِب ُِث :َرَّرع ً ء َرن ب : نا ّرثللِ نا َرم ّرزللِ : ف ً ُرِْم َر َرناِْو ُِتل ب ِْثلُِيا م ِْك ُِحللِِْ ن َرع ٌ ة َررا َرب ع َربا َرحلِْصِ تلِْسا لاِْ ّرناَر Artinya : “Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai

ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut.” b. Hasby Ash-Shiddiqy:

ل َرحللِِْ : ف ه ت ِْو ُِب ُِث ّرن َرظ ُِب ج ِْو ُِيا( ُر ض َرحلِْلِ و َر : ض َرملِِْ : ف ئّرشلِ ناِْو َرك ُِد َرق تلع ( ُرِيَرغرمُِلِِْ م َرد ِْنا ل ه ِْيَرَّرع َرنا َرك َرم :َرَّرع َرنا َرك َرم ُِء َرقِْب ل َرب ِْق تلِْسا لاِْ و َر

Artinya : “Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini.”

Dengan demikian, istishab adalah tetap memberlakukan ketetapan hukum yang telah ditetapkan atau yang telah ada sejak awal, sampai ditemukan ketetapan hukum lain yang mengubahnya.

(2)

Para ahli ushul menyatakan bahwa istishab dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk, di antaranya adalah:

a. ء ياشللِ :ّصل م ك حللِ با حلصِتلسا

Al-istishab bagian ini membawa maksud pada asalnya sesuatu itu adalah harus ketika tiada dalil yang menyalahinya apabila perkara itu memberi manfaat dan haram apabila sesuatu perkara itu mendatangkan kemudharatan.

Antara dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal itu harus pada perkara-perkara yang membawa manfaat ialah :

Firman Allah Taala:

لك ب و هو ٍۚتو مسا عب سا ّرن هىّرو سف ء مسلِ :لِإ ىو تلسا م ث ً ع يمج ضراَرلا : ف ّرم م ك لِ قّخ ىذلِ و ه ٌ م يّع ٍء :ا

۝

Maksudnya :“Dialah (Allah( yang menjadikan untuk kamu segala yang ada di bumi”.

Seterusnya firman Allah Taala:

َرناو ُرك فتليا ٍم و قِلِ ٍتياَر َرلا كلِذ :ف ّرناإ ۚه ن ِم ً ع يمج ضرالا :ف م و تو مسلِ :ف ّرم م ك لُِرّرخساو ۝

Maksudnya :“Dan ia memudahkan untuk (faedah dan kegunaaan( kamu, segala yang ada di langit dan yang ada di bumi, (sebagai rahmat pemberian( daripadanya; Sesungguhnya semuanya itu mengandungi tanda-tanda (yang membuktikan kemurahan dan kekuasaanNya( bagi kaum yang memikirkannya dengan teliti ”.

Daripada kedua-dua ayat tersebut,dapat dipahami bahwa segala yang ada di bumi adalah untuk manusia dan ia diharuskan untuk mereka. Sekiranya perkara tersebut diharamkan ke atas mereka, tentunya Allah tidak

menjadikannya untuk manusia.

Selain itu, antara dalil yang menunjukkan bahawa asal pada perkara yang memudharatkan dan tidak dijelaskan oleh syara’ hukum yang tertentu

(3)

را ُرض لو راُرض ل Maksudnya :“ Tidak mudharat dan tidak memudharatkan ”.

Melalui hadis ini, dapat dipahami bahwa hadis ini merupakan larangan kepada setiap perkara yang membawa kemudharatan samaada jiwa maupun orang lain kerana setiap yang membawa kemudharatan maka hukumnya adalah haram.

b. ةيّصلا ة ء ُرب لِ و أ لّصلا م د ع لِ با حلصِتلساإ

Al-Istishab bagian ini membawa maksud berterusan ataupun berkekalan. Al-Istishab ini juga didefinisikan sebagai pada asalnya seseorang adalah terlepas daripada bebanan dan kewajipan syara’ sehinggalah terdapat dalil atau bukti yang menunjukkan untuk memikul tanggungjawab tersebut. Misalnya ialah lelaki dan wanita tidak ditaklifkan untuk memikul tanggungjawab sebagai suami isteri selagi mereka belum diakad dengan perkahwinan yang sah.

Di antara contoh lain juga ialah jika seseorang mendakwa Muhammad berhutang kepadanya dan tidak mengemukakan bukti sedangkan Muhammad tidak mengakui dakwaan tersebut, maka tertuduh itu Muhammad terlepas daripada hutang itu karena asalnya dia terlepas daripada sebarang bebanan atau tanggungjawab sehingga terdapat dalil menunjukkan sebaliknya.

c. ه ف شلخ تب ثليا :تلح لع ُرشلِ م ك حلّلِ تب ثلملِ صصو لِ با حلصِتلساإ

Al-Istishab ini bermaksud hukum itu tetap dengan sifat asalnya, yaitu asal ketetapan syara’ pada sesuatu hukum sama ada ia harus atau haram sehingga terdapat dalil yang menunjukkan hukum yang sebaliknya.

(4)

Contoh al-istishab ini juga ialah sifat suci adalah berkekalan kerana sifat suci apabila thabit, maka diharuskan untuk mengerjakan sembahyang dan hukum suci tersebut terus kekal sehinggalah thabit sebaliknya iaitu berlaku salah satu daripada perkara-perkara yang membatalkan wudu’.

3. Kehujjahan Teori Istishab

Dalam menanggapi persoalan boleh dan tidaknya teori istishab dijadikan hujjah dalam ber-istinbathil hukm al-syar’iy, para ahli hukum Islam berbeda-beda dalam memberikan tanggapan:

1( Mayoritas ulama mutakallimin, seperti Hasan al-Bashriy, berpendapat bahwa Istishab secara mutlak tidak dapat dijadikan hujjah dalam ber-istinbathil hukm al-syar’iy, sebab menentukan kepastian ada dan tidaknya hukum terdahulu harus bisa dibuktikan keberadaannya dengan suatu dalil.

2( Mayoritas ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanbaliyyah, dan Dzahiriyyah berpendapat bahwa teori istishab secara mutlak dapat dijadikan hujjah dalam ber-istinbathil hukm al-syar’iy, selama belum ada dasar lain yang merubahnya.

3( Sebagian besar ulama mutaakhirin dari sebagian kelompok Hanafiyyah berpendapat bahwa teori istishab bukan merupakan hujjah dalam menetapkan sesuatu yang tidak tetap, tetapi hanya melestarikan, sebab istishab hanya merupakan hujjah dari ketetapan yang sudah ada berdasarkan keadaan semula. Dari ketiga pandangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa teori istishab tetap saja dapat dijadikan sebagai hujjah dalam ber-istinbathil hukm al-syar’iy, baik yang berhubungan dengan peribadatan, mu’amalah, adat dan lain-lain yang ada hubungannya dengan kemanusiaan, sebab dengan diperbolehkannya teori istishab sebagai hujjah ber-istinbathil hukm al-syar’iy, akan memberikan peluang yang sangat baik bagi para praktisi hukum dalam mengeluarkan atau menetapkan fatwa-fatwa mereka secara mudah.

4. Pembagian Istishab

(5)

dengan datangnya baligh, tidak ada kewajiban dan hak antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat pernikahan sampai adanya aqad nikah.

b. Istishab yang ditunjukkan oeh syara’ atau akal seperti seseorang harus tetap bertanggung jawab terhadap utang sampai ada bukti bahwa dia telah melunasinya.

c. Istishab hukum seperti sesuatu telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram maka hukum ini terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang asalnya haram. Asal dalam sesuatu (mu’amalah( adalah kebolehan. Kebolehan ini didasarkan kepada firman Allah: al baqarah 29 dan al jatsiyah 13

d. Istishab Washaf seperti hidupnya seseorang di nishbahkan kepada orang yag hilang, Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa setiap fuqaha yang menggunakan istishab dari macam pertama sampai dengan ketiga. Sedangkan bentuk keempat, mereka berpendapat, ulama-ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah menggunakan istishab washaf secara mutlak, dalam arti bisa menetapkan hak-hak yang telah ada pada waktu tertentu dan seterusnya serta bisa pula menetapkan hak-hak yang baru; sedangkan ulama Malikiyah hanya menggunakan istishab washaf ini untuk hak-hak dan kewajiban yang telah ada, sedang untuk hak-hak yang baru mereka tidak mau memakainya.

Sebagai contoh, apabila seseorang dalam keadaan hidup meningalkan kampung halamannya maka orang ini oleh semua madzhab dianggap tetap hidup sampai ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa ia telah meninggal dunia. Oleh karena itu tetap istrinya ada dalam tanggung jawabnya dan pemilikannya terhadap sesuatu tidak berubah. Apabila kemudian orangtua dari orang yang hilang ini meninggal dunia maka menurut Malikiyyah dan Hanafiyyah, qayyim yaitu orang tang mengurus harta si mafkud atas dasar istishab, tetapi bagiannya dipelihara sebagai amanat sehingga jelas ia masih hidup. Apabila sebaliknya yaitu ahli waris si mafkud minta dibagi harta warisan si mafkud maka hal ini ditolak berdasarkan istishab, inilah yang dimaksud istishab yang digunakan ulama-ulama Hanafiyyah, li daf’ al-itsbat yaitu untuk menolak bukan untuk menetapkan.

(6)

Didalam penerapan istishab, para ulama banyak berbeda pendapat, di antaranya:

a. Apabila seseorang telah berwudhu kemudian ia ragu apakah telah batal atau belum? Apakah orang ini terus shalat dan syah shalatnya berdasarkan istishab? Sedangkan menurut Imam Malik dia tidak boleh shalat sebelum berwudhu lagi, alasannya dalam hal ini ada dua pertentangan pokok: Pertama, berdasarkan istishab tetap mempunyai wudhu. Sedangkan yang kedua, tanggung jawab kewajiban untuk melaksanakan shalat yang berdasarkan istishab pula terus menjadi kewajiban sehinggal dilaksanakan dengan wudhu yang jelas, yakin dan tidak meragukan, sedangkan wudhu dalam maslah tersebut diatas diragukan dan kerguan dalam wudhu menghilangkan syarat shalat. Dalam hal ini Imam Malik jelas mentarjihkan istishab yang kedua, maka wajib wudhu yang baru. Menurut Abu Zahrah pendapat Imam Malik lebih pabtas untuk diterima.

b. Contoh lain apabila seseorang mentalak istrinya kemudian ia ragu apakah talaknya itu satu atau tiga. Jumhur Fuqaha menetapkan jatuh satu, menurut Imam Malik jatuh talak tiga karena di sini juga ta’arudl di antara dua pokok/asal, pertama, tetapnya kehalalan sampai ada yang mengubahnya, sedang telah terjadi kerguan yang mengubahnya adalah talak, makan berdasarkan istishab dia tetap istrinya (dalam kehalalannya(. Kedua, apabila talak itu ditetapkan dengan yakin makan yang meragukan adalah apakah boleh rujuk atau tidak, rujuk tidak bisa ditetapkan dengan syak. Dalam hal ini pendapat jumhur yang lebih kuat, karena kehalalan di dalam nikah itu meyakinkan juga yang meyakinkan di sini adalah dia telah mentalaknya dan talak yang paling sedikit adalah satu.

(7)

“Mereka telah jatuh kepada kebathilan yang meyakinkan karena telah mengaharamkan yang yakin halalnya yaitu istri-istri yang belum ditalak dengan tanpa meragukan lagi. Dan membolehkan yang yakin haramnya yaitu membolehkan para wanita-wanita bagi manusia yang belum ditalak oleh suaminya.” Demikian pandangan Ibnu Hazm.

6. Penggunaan Istishab

Penggunaan istishab didasarkan kepada:

1. Penelitian bahwa hokum hokum syra’ menunjukan tetap berlaku terus sesuai dengan ketetapan dalil, hingga ada dalil lain yang mengubahnya seperti keharaman minuman yang memabukkan, terus berlangsung, hokum haram ini sampai berubah sifat

memabukannya

2. Dari segi akal : Bahwa manusia dianggap hidup karena ada tanda - tanda kehidupannya (bernafas) sampai ada bukti lain bahwa ia telah meninggal. Seseorang dianggap suami istri karena sebelumnya melakukan aqad nikah, sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai misalnya dengan talak.

B. Madzhab (Qaul( Shahabiy

1. Pengertian Aqwal Shahabat/Madzhab Shahabat

Telah dapat diketahui bersama bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, orang yang memiliki hak untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum-hukum Islam untuk kepentingan umat Islam adalah para sahabat yang benar-benar ahli dalam bidang hukum dan seluk-beluknya.

Yang perlu diingat adalah bahwa semua produk hukum Islam pada dasarnya hanya bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits dan tidak ada peluang sedikitpun bagi

(8)

Dengan demikian, aqwal sahabat adalah semua perkataan, tindakan, dan ketetapan sahabat dalam meriwayatkan dan memutuskan suatu persoalan. Karena itu semua aqwal sahabat dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan awal karena legalitasnya sebagai sumber hukum Islam tersendiri. Oleh sebab itu, para imam mujtahid

bersepakat untuk mengadopsi fatwa-fatwa atau aqwal sahabat dalam persoalan ijtihadiyyah, sebab fatwa-fatwa atau aqwal tersebut sebagai bagian dari khabar taufiqiy (riwayat dogmatik( yang bersumber langsung dari Nabi SAW.

2. Kehujjahan Aqwal Sahabat

Apakah pendapat sahabat itu bisa dijadikan sebagai hujjah atas tabi’in dan tabi’it-tabi’in, padahal perbedaan ini terjadi hanya pada persoalan ijtihad yang mereka pakai?

Sedang untuk menanggapi persoalan ini, para ahli berbeda pandangan, diantaranya adalah:

a. Imam Malik, Abu Bakar al-Raziy, Abu Sa’id (pengikut Abu Hanifah(, Imam Syafi’iy (dalam qaul qadim-nya(. Dan Imam Ahmad bin Hanbal (dalam satu riwayat( berpendapat bahwa aqwal shahabat atau mazhab shahabat dapat dijadikan sebagai hujjah oleh generasi penerusnya. Dasarnya adalah:

 Al-Qur’an, Qs. Ali Imran: 110:

ً ُرِْيَرخ َرنا َرك َرلِ با َرتل ك ِْلِ ُِلِْهَرأ َرن َرم َرآ ِْو َرلَِرو ّرل ب َرناو ُِن م ِْؤُِت َرو ُرَرك ِْن ُِمِْلِ ن َرع َرناِْو َرهِْن َرت َرو فو ُُِرِْع َرمِْلِ ب َرناو ُُِرُِم ِْأَرت س ّرن ّ لِ ِْتَرج ُرِْخُِأ ٍةّرم ُِأ َرُرِْيَرخ ِْم ُِتلِْن ُِك َرناو ُِق سا َرفِْلِ ُِم ُِهُُِرَرثلِْكَرأ َرو َرناو ُِن م ِْؤُِمِْلِ ُِم ُِهِْن م ِْم ُِهَرلِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

 Hadis riwayat ‘Abd bin Humaidi:

(9)

“Sahabat-sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang (di langit(, maka dengan siapapun dari mereka yang kalian mengikutinya, niscaya kalian akan memperoleh petunjuk (kebenaran(.”

b. Jumhur Asy’ariyyah dan Mu’tazilah, Syi’ah, Imam Syafi’iy (dalam qaul jadid-nya(, Abu Hasan al-Kharkhiy (dari kelompok Hanafiyyah(, dan Malikiyyah berpendapat bahwa aqwal shahabat tidak bisa dijadikan hujjah atas sahabat lain, dengan alasan:

 Ayat al-Qur’an surat al-Hasyr: 2: را َرصِِْب َر ِْلا ل لِو ُِأ َريا و ُُِر ب َرتلِْع َرف

"Maka ambillah (kejadian itu( untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan."

Dalam ayat ini terdapat kata i’tibar (mengambil pelajaran(, yang maksudnya adalah qiyas. Dan bentuk kalimatnya adalah amr (perintah(, yang berarti berijtihad. Sedang bersamanya qiyas dan ijtihad dalam kata ini memberikan pemahaman bahwa setiap mujtahid tidak boleh bertaqlid kepada mujtahid yang lain, baik mujtahid itu shahabat atau bukan.

 Adanya kenyataan bahwa hasil ijtihad shahabat satu dengan shahabat yang lain tidak sama, seperti yang terjadi antara sahabat ‘Umar dan Ali Bin Abi Thalib dalam kasus sebagai berikut:

“ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang masih dalam keadaan iddah dari suami pertama, lalu dipisahkan atau diceraikan lantaran pernikahannya dianggap tidak sah.”

Dalam menanggapi kasus ini, para sahabat berbeda pendapat:

(10)

 Sahabat Ali bin Abi Thalib menggunakan teori istishab bara’ah al-ashliyyah, yaitu berpegang pada keadaan asal yang dekat, dengan mengatakan bahwa laki-laki tersebut boleh menikahi kembali wanita tersebut setelah diceraikan suaminya dan setelah habis masa iddah dengan suami pertamanya, sebab asalnya wanita tersebut telah diceraikan dan telah berlangsung habis masa iddahnya.

Imam Ibnu Qayyi di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in menyatakan 43 alasan (juz 4:148( yang mewajibkan mengikuti madzhab al-shahaby yang akhirnya beliau berkata bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk:

1. Fatwa yang didengar sabahabat dari Nabi.

2. Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi.

3. Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap al-Qur’an yang agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita.

4. Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.

5. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal ini adalah hujjah yang wajib diikuti.

6. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dari salah pemahamannya, maka hal ini tidak jadi hujjah.

Prof. Hasbi Ash. Shiddieqy di dalam bukunya Pengantar Hukum Islam menyebutkan beberapa teknis lain di dalam turuqul istinbath (162-168( yang juga tidak di sepakati oleh para ulama diantaranya:

1. Didalam menentukan ukuran /kabar diambil paling sedikit apabila ada perbedaan pendapat karena yang palig sedikit itulah yang diannggap yang disepakati oleh semua

2. Memegang yang nyata atau yang lebih nyata, hal ini dilakukan ketika tidak diperoleh dalil yang menyamainya.

3. Mengambil hokum dengan ihtiyath Dasarnya hadist Nabi:

(11)

Ihtiyath sering diartikan sebagai melakukan tindakan untuk memelihara diri dan menurut al-Khadimi, ihtiyath berarti memegang yang lebih kuat.

4. Menetapkan tak ada hokum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil yang menunjukan sesuatu hokum sesudah dijalankan pembahasan yang luas.

5. Menetapkan hokum dengan dasar undian, al-qur’ah ini didasarkan kepada hadist atau umumnya ayat:

“Dari ‘Aisya berkata Rasulullah SAW apabila hendak pergi mengundi istri-istrinya yang akan dibawa”.

Referensi

Dokumen terkait

Diameter lumen arteri koroner kelompok tikus putih yang diberi pakan lemak tinggi + chitosan setelah satu bulan perlakuan (KIV) lebih kecil dibandingkan kelompok III.. Hal

Perceived value berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan konsumen, yang menunjukkan pemberian perceived value yang baik kepada konsumen akan semakin

Hubungan Kepatuhan Minum Obat Anti Diabetik dengan Regulasi Kadar Gula Darah pada Pasien Perempuan Diabetes Mellitus Relationship between Antidiabetic Drugs Consumption and

Ditinjau dari analisis uji F two way dengan interaksi maka didapatkan

terkait dengan operasional perusahaan. Kategori tersebut bertujuan agar memungkinkan entitas untuk fokus pada aspek-aspek terpisah dari manajemen risiko

Kantor Pencarian dan Pertolongan Pekanbaru sekarang mempunyai 2 (dua) Pos Pencarian dan Pertolongan yaitu Pos Pencarian dan Pertolongan Bengkalis dan Pos Pencarian

Bangunan ini memiliki konsep arsitektur yang sesuai dengan kegunaannya, yaitu sebagai hall pertunjukan,.Sehingga tanpa harus melihat dari dalam, kita dapat

Dari uraian diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan karet sebagai bahan tambah pada aspal minyak terhadap karakteristik