• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM FORTIFIKASI UNTUK PERBAIKAN GIZI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROGRAM FORTIFIKASI UNTUK PERBAIKAN GIZI"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS EPIDEMIOLOGI GIZI DAN INTERVENSINYA

PROGRAM FORTIFIKASI UNTUK PERBAIKAN GIZI DI USA DAN

INDONESIA

Dosen Pengampu : Dr. Diffah Hanim, Dra., M.Si

Peminatan Epidemiologi dan Biostatistika (Semester 2)

Disusun Oleh :

Ayunita Dwi Hadianti (S021502013)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena berkat anugerah-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ‘Program fortifikasi untuk Perbaikan Gizi di USA dan Indonesia’. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Gizi dan Intervensinya semester 2 (dua) Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan yang lebih khusus dari penulisan makalah ini yaitu untuk menambah wawasan tentang peranan Fortifikasi Makanan Untuk Perbaikan Gizi Mikro.

Akhirnya, harapan penulis semoga makalah dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis telah berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik, namun penulis menyadari makalah ini belum bisa sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapakan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna menyempurnakan makalah ini.

Surakarta, 3 November 2015

Penulis

(3)

HALAMAN SAMPUL ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... iii

BAB 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 4 C. Tujuan ... 4 BAB 2. PEMBAHASAN

A. Pengertian fortifikasi pangan... 5 B. Klasifikasi dan enis-jenis fortifikasi pangan... 7 C. Perbandingan program fortifikasi pangan

di USA dan Indonesia... 10 D. Kelebihan dan kekurangan program fortifikasi... 18 E. Kunci sukses fortifikasi pangan di negara industri ... 20 BAB 3. PENUTUP

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sampai saat ini, masalah kekurangan zat gizi mikro terutama iodium, zat besi dan vitamin A sangat luas dan besar, bahkan diderita lebih dari sepertiga penduduk dunia. Kurangnya zat gizi mikro menyebabkan konsekuensi yang sangat serius pada individu maupun keluarga, antara lain ketidakmampuan dalam belajar, menurunkan kapasitas kerja, sakit, dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Masalah kurang zat gizi mikro ini, sering disebut sebagai masalah kelaparan tidak kentara atau terselubung (hidden hunger), karena gejalanya tidak mudah diketahui oleh masyarakat umum. Sedangkan masalah kurang gizi makro, dikenal dengan istilah kelaparan nyata (overt hunger) atau lebih dikenal dengan HO (hunger oedem) karena gejalanya mudah dikenal umum, seperti kurus, ada odem dan lain-lain. WHO menyebutkan kurang zat gizi mikro khususnya kurang zat besi merupakan satu dari 10 faktor risiko penting terjadinya penyakit, cacat, dan kematian yang dapat dicegah. Lebih dari setengah kematian bayi dan balita secara tidak langsung disebabkan oleh kurang zat gizi mikro (ADB, 2000; Soekirman, 2000).

Di Indonesia antara 30 – 60% anak balita, remaja putri dan wanita hamil menderita kurang zat gizi mikro. Sedangkan wanita usia produktif dan wanita hamil di beberapa negara maju juga memiliki risiko untuk anemia. Data representatif dari AS mengindikasikan bahwa 5% dari wanita tidak hamil menderita anemia, prevalensi ini meningkat menjadi 17% pada wanita hamil, dan prevalensi menjadi 33% diantara kelompok wanita hamil dengan sosio ekonomi rendah. Begitu juga di Canada, anak-anak pra sekolah menderita kekurangan energi protein dan mikronutrien dengan berbagai dampak berkelanjutan. Seperti, pada orang dewasa mengganggu produktivitas dan pada ibu hamil risiko kematian pada saat melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (Leung dan Pearce, 2012).

(5)

akhirnya dapat meningkatkan kematian. Kekurangan asam folat yang biasanya bersamaan dengan kekurangan zat besi menyebakan meningkatnya risiko penyakit jantung dan stroke (Saragih, 2007a ; 2007b ;2007c; Depkes, 2003).

Alasan-alasan dibalik pemfokusan usaha-usaha untuk mengurangi defisiensi ketiga zat gizi mikro ini adalah : 1) Didasarkan pada informasi yang tersedia. Kekurangan vitamin A, iodium dan anemia gizi besi memiliki prevalensi yang tinggi di dunia dewasa ini; 2) Informasi yang tersedia sebagai konsekuensi kekurangan zat gizi mikro tersebut terhadap kesehatan fisik dan mental, pendidikan, kapasitas kerja, dan efisiensi ekonomi; 3) Meskipun beberapa konsekuensi klinis dari kekurangan zat gizi mikro telah lama diketahui, dimensi global dan spektrum yang luas dari efek dentrimental dari kekurangan zat gizi mikro yang sedang (mild) terhadap perkembangan fisik dan mental, mortalitas, dan morbiditas telah diketahui belakangan ini; 4) Luasnya spketrum kekurangan zat gizi mikro ini pada tingkat populasi dapat diukur secara relatif dengan akurat; 5) Solusi untuk menghilangkan kekurangan zat gizi mikro telah diketahui dan mudah diimplementasikan dan biayanya relatif murah. Beberapa studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi luasnya cakupan kekurangan zat gizi mikro di negara-negara berkembang (Siagian, 2003). Penyebaran tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah populasi yang Berisiko dan terkena kekurangan Zat Gizi mikro

Wilayahb GAKIc KVAd Kekurangan zat gizi

besif atau populasi

terkena anemia GAKI

at Riska MenderitaGoitre Penderitae Prevalensi(%)

Afrika 181 86 53 49 206

Amerika 168 63 16.1 20 94

Asia tenggara 486 176 126.5 69 616

Mediterania Timur 173 93 16.1 22 149

Pasifik Barat 423 141 42.1 27 1.058

Total 1.572 655 254 2.150

(6)

Kekurangan vitamin A, iodium, dan zat besi dapat menghabiskan 5% dari Produk Domestik Bruto (PDR) suatu negara (bandingkan dengan hanya 0.3% PDR untuk penanggulangannya). Pertemuan para pemimpin negara pada World Summit for Children di New York menetapkan tujuan spesifik dari program penghilangan kekurangan zat gizi mikro, yaitu dengan penghapusan yang sesungguhnya kekurangan iodium, vitamin A, dan pengurangan anemi gizi besi pada wanita sebesar 1/3 dari tahun 1990. Idealnya perbaikan gizi ditempuh dengan memperbaiki konsumsi makanan keluarga sehari-hari berdasarkan gizi seimbang. Namun, tidak semua anggota keluarga dapat memenuhi gizi seimbang karena ketidakmampuan ekonomi dan atau kurangnya pengetahuan. Untuk memenuhi gizi seimbang, masyarakat 'tidak mampu' membutuhkan daya beli yang cukup, dan pengetahuan tentang gizi seimbang (Allen et al., 2006; Soekirman, 2003).

Upaya peningkatan daya beli masyarakat memerlukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan pro-rakyat miskin. Sementara hasilnya tidak dapat diharapkan terlihat dalam waktu singkat. Padahal balita yang Kekurangan Gizi Mikro (KGM) membutuhkan pertolongan saat ini. Artinya, diperlukan program gizi saat anak masih balita dan orang tua masih miskin, agar balita terhindar dari dampak negatif KGM terhadap kesehatan, kecerdasan dan produktivitasnya, apabila mereka dewasa (Soekirman, 2003).

(7)

Oleh karena itu, fortifikasi pangan merupakan pilihan yang berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakt untuk jangka panjang. Untuk itu, intervensi gizi yang mampu menjamin konsumsi makanan masyarakat mengandung cukup zat gizi mikro perlu dilakukan. Selain itu, peranan zat gizi mikro secara lengkap perlu dikembangkan untuk daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat. Atas dasar itulah maka perlu dilakukan terobosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata, diterima oleh masyarakat dan berkelanjutan. Diantara berbagai solusi perbaikan gizi, fortifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan (Siagian, 2003).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan fortifikasi pangan? 2. Apa saja jenis-jenis dan klasifikasi fortifikasi pangan?

3. Bagaimana perbandingan fortifikasi pangan di USA dan di Indonesia? 4. Apa kelebihan dan kekurangan dari program fortifikasi pangan?

5. Bagaimana kunci sukses program fortifikasi pangan di negara-negara industri?

C. Tujuan

1. Diketahui definisi dari fortifikasi pangan.

2. Diketahui jenis-jenis dan klasifikasi dari fortifikasi pangan.

3. Diketahui perbandingan fortifikasi pangan antar negara maju (USA) dan negara berkembang (Indonesia).

4. Diketahui kelebihan dan kekurangan dari program fortifikasi pangan.

(8)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Fortifikasi Pada Makanan

Beberapa istilah yang sering digunakan selain fortifikasi untuk penambahan Gizi terhadap makanan, yaitu (Martianto, 2012):

a. Restorasi adalah penambahan gizi pada makanan dalam rangka memperbaiki kandungan gizi alami, pengayaan tambahan gizi pada makanan menurut standar pengaturan makanan.

b. Standarisasi adalah penambahan gizi pada makanan untuk mengimbangi variasi alami, sehingga level standar dapat dicapai. Standarisasi adalah langkah penting untuk memastikan kualitas standarisasi konsisten dari produk akhir.

c. Suplementasi adalah penambahan gizi yang tidak ada secara normal atau hanya terdapat dalam kuantitas menit dalam makanan.

Lebih dari satu gizi yang mungkin ditambahkan, dan mereka mungkin ditambahkan dalam kuantitas tinggi dibanding restorasi dan standarisasi, fortifikasi mempunyai arti khusus, yaitu penambahan gizi dan pemilihan makanan yang berperan sebagai karier (pembawa) yang memiliki kriteria tertentu, sehingga produk yang difortifikasi akan menjadi sumber gizi yang baik untuk populasi target (Martianto, 2012).

Table 2. Makanan Yang Difortifikasi

Agen fortifikasi

Garam iodium, besi

Tepung , roti, beras Vitamin B1, B2, niasin, besi

Susu, margarin Vitamin A and D

Gula, monosodium glutamat, teh Vitamin A

Formula bayi, biskuit Besi

Sayuran campur asam amino, protein Vitamin, mineral,

Susu kedelai, jus jeruk Kalsium

Sereal siap makan Vitamin, mineral

Minuman diet Vitamin, mineral

(Diniwati, 2005)

(9)

difortifikasi akan berperan penting didalam menentukan efektivitas program. Beberapa faktor penting lain yang harus dipertimbangkan secara hati-hati didalam merancang program fortifikasi makanan adalah sebagai berikut (Ottaway, 2008): a. Makanan yang dipilih sabagai karier (pembawa) harus dikonsumsi dalam jumlah

cukup untuk membuat kontribusi berarti terhadap diet dari populasi yang ditargetkan. Garam, Gula, Tepung, Monosodium Glutamate ( Msg), dan minyak goreng telah digunakan. Makanan yang lain harus diselidiki, terutama berkenaan dengan kebiasaan makanan yang spesifik dan pilihan dari populasi yang ditargetkan.

b. Penambahan gizi harusnya tidak menimbulkan suatu ketidakseimbangan dari gizi yang esensial. Penambahan ini khususnya penting untuk menambah dua kali lipat, tiga kali lipat atau berlipat-lipat makanan yang difortifikasi, yang berinteraksi di antara gizi yang ditambahkan (di antara gizi yang ditambahkan dengan gizi yang secara alami ada dalam makanan karier) kemungkinan ini dapat terjadi.

c. Gizi yang ditambahkan harus stabil di bawah kondisi yang normal penggunaan dan penyimpanan. Data tentang stabilitas gizi yang ditambahkan juga penting untuk tujuan pelabelan. Harga makanan yang difortifikasi harus bisa diusahakan untuk populasi yang ditargetkan.

d. Program penjamin mutu dan pengawasan terhadap makanan yang difortifikasi dapat lebih mudah diimplementasikan jika program fortifikasi memusat dan melibatkan produksi massa.

(10)

Akhirnya, untuk tujuan teknologi, suatu bahan pengawet atau agen pewarna ditambahkan untuk memproses makanan (Martianto, 2012).

Oleh karena itu, tergantung pada alasan untuk penambahan gizi, tujuan dari fortifikasi adalah (Diniwati, 2005):

a. Untuk memelihara mutu gizi pada makanan, pemeliharaan tingkat gizi yang cukup untuk mengoreksi atau mencegah defisiensi gizi pada populasi yang besar atau dalam kelompok yang berhadapan dengan risiko defisiensi tertentu (seperti: usia yang lebih tua, vegetarian, wanita-wanita hamil, dan lain-lain).

b. Untuk meningkatkan nilai gizi yang ditambahkan pada suatu produk (pandangan komersil)

c. Untuk menyediakan fungsi teknologi tertentu di dalam pengolahan makanan.

Berdasarkan prinsip di beberapa negara sekarang ini, gizi ditambahkan ke dalam suatu makanan karier (pembawa) yang bervarisi dalam jumlah yang besar, seperti gandum, tepung, roti, susu, margarin, formula bayi, susu kedelai, sari jeruk, garam, gula, monosodium glutamate dan teh yang dapat dilihat pada Tabel 2. Kebanyakan agen fortifikasi adalah vitamin dan mineral, dan dalam beberapa hal asam amino esensial dan protein (Diniwati, 2005).

B. Klasifikasi dan Jenis-Jenis Fortifikasi Pangan 1. Klasifikasi fortifikasi bahan pangan

a) Fortifikasi sukarela (voluntary)

Fortifikasi sukarela dilakukan atas prakarsa pengusaha produsen pangan untuk meningkatkan nilai tambah produknya sehingga lebih menarik konsumen. Upaya ini tanpa diharuskan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah. Dasar pertimbangan fortifikasi sukarela lebih banyak mengacu kepada segi bisnis dan komersial daripada gizi dan kesehatan, meskipun dalam promosinya segi kesehatan ini yang ditonjolkan. Produsen menentukan sendiri komoditi makanan yang akan difortifikasi. Sasaran fortifikasi sukarela adalah semua orang yang mampu dan mau membeli komoditi yang difortifikasi. Contohnya, produk makanan dan minuman yang ada di supermarket (Soekirman, 2011).

(11)

Fortifikasi wajib diharuskan oleh undang-undang dan peraturan pemerintah. Sasaran utama program fortifikasi wajib adalah masyarakat miskin, meskipun masyarakat lain yang tidak miskin juga tercakup. Oleh karena itu, fortifikasi wajib lebih banyak menjadi perhatian pemerintah sebagai bagian tanggung jawabnya untuk mensejahterakan masyarakat. Dalam Repelita VI telah ditetapkan beberapa zat gizi sebagai fortifikan yang penting, yaitu zat besi, vitamin A, dan iodium. Di Indonesia, fortifikasi zat besi misalnya telah wajib diberlakukan pada beberapa produk pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu (Soekirman, 2011).

c) Forifikasi khusus

Fortifikasi khusus sama dengan fortifikasi wajib, hanya sasarannya kelompok masyarakat tertentu, seperti anak-anak, balita atau anak sekolah. (Anonim, 2013).

2. Jenis-Jenis Fortifikasi Pangan a) Fortifikasi Iodium

Fortifikasi ini dilakukan untuk mengatasi permasalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI). Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Iodida (KI) dan Kalium Iodat (KIO3). Negara-negara dengan program iodisasi garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan prevalensi GAKI. Contoh : garam Fortifikasi Iodium (Siagian, 2003).

Kebutuhan iodium untuk setiap kelompok umur berbeda-beda. Kebutuhan iodium untuk anak-anak adalah 40-120 μg/hari, orang dewasa 150 μg/hari, sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui ditambah masing-masing 25 μg/hari dan 150 μg/hari. Pembuatan beras beriodium sangat sederhana karena tidak perlu menggunakan peralatan khusus. Dengan penambahan alat pengkabut fortifikan iodium pada komponen alat penyosoh akan diperoleh hasil beras giling yang mengandung iodium. Fortifikan yang digunakan adalah iodat 1 ppm. Larutan fortifikan dikabutkan dengan bantuan tekanan udara 40 psi yang berasal dari kompresor, sehingga terjadi kabut fortifikan iodium. Debet fortifikan yang digunakan 4-5 satu/jam tergantung pada kekeringan beras yang di fortifikasi (DEPTAN, 2008).

(12)

Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemia gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai/mencakup jumlah populasi yang terbesar dan menjamin pendekatan jangka panjang. Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah keuntungan pokok dalam hal diterimanya oleh konsumen dan pemasaran produk-produk yang diperkaya dengan besi (Cook and Reuser, 1983).

Penetapan target penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan mengalami defisiensi zat besi. Ini merupakan strategi yang aman dan efektif untuk mengatasi masalah anemia besi. Pilihan pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi. Tahapan kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang dapat diterima dan dapat diserap. Harus diperhatikan bahwa wanita hamil membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa fortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi besi, seperti besi sulfat, besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain-lain. Contoh: fortifikasi zat besi pada mie kering yang dibuat dari campuran tepung terigu dan tepung singkong (Ballot et al., 1989; Cook and Reuser, 1983; Siagian, 2003).

c) Fortifikasi Vitamin A

(13)

seperti gula, lemak, minyak, garam, sereal, dan monosodium glutamat (MSG) telah (dapat) difortifikasi oleh vitamin A (Siagian, 2003).

d) Asam folat

Asam Folat ( asam folinat, folasin dan asam pteroylglutamat) adalah penting untuk sintesis adenin dan timin. Dua dari empat asam nukleat yang menyusun gen kita (DNA dan kromosom) juga diperlukan untuk metabolisme yang baik dari asam amino esensial methionine yang ditemukan, terutama di dalam protein hewani. Kekurangan asam folat sudah jelas berhubungan dengan tingkat homocysteine sulfur yang tinggi. Tingkat homocysteine yang tinggi, pada kenyataannya telah dihubungkan pada penyakit cardiovasculer dan sejumlah besar kondisi-kondisi lain yang tidak diinginkan. Asam folat juga diperlukan oleh wanita. Ketika wanita memiliki cukup asam folat sebelum dan selama masa kehamilan, dapat membantu mencegah penyakit cacat lahir dari bayi seperti pada otak atau saraf. Adapun konsumsi asam folat yang dianjurkan adalah sedikitnya 400 mikrogram setiap hari (Jacques et al., 2000).

C. Perbandingan Program Fortifikasi Di USA Dan Di Indonesia 1. Fortifikasi yodisasi garam

Fortifikasi terbukti telah berjasa mengatasi masalah kurang zat gizi mikro di Eropa, Amerika Utara dan akhir-akhir ini di Amerika Latin. Negara pertama yang melakukan program fortifikasi adalah Amerika Serikat. Pada tahun 1920, di negara Amerika Serikat telah mengeluarkan peraturan wajib menambahkan zat iodium pada garam untuk menanggulangi penyakit akibat kurang iodium. Bahkan di negara-negara maju terutama AS telah mengkombinasi zat besi dan iodium pada garam untuk menanggulangi GAKI dan anemia defisiensi besi. Dewan Internasional untuk Pengendalian Iodine Gangguan defisiensi (ICCIDD) Global Network memperkirakan bahwa proporsi rumah tangga di AS yang mengonsumsi garam beriodium sekarang melebihi 90%. Sejak awal abad ke-20 sampai sekarang, iodisasi garam menjadi program global yang diwajibkan oleh undang-undang setiap negara yang terbukti mampu menekan goitre secara signifikan (INNAG, 1993).

(14)

tahun 1994. Fortifikasi ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan kesehatan terkait gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). Di Indonesia, sedang melakukan riset pengembangan garam fortifikasi ganda (iodium dan besi) yang stabil dengan menerapkan teknologi mikroenkapsulasi. Menurut Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI), persentasi rumah tangga yang mengkonsumsi garam beriodium di daerah pedalaman dan terisolir masih rendah, jauh dibawah rata-rata nasional (73%). Salah satu masalah yang masih dihadapi Indonesia dalam program iodisasi garam adalah masih banyaknya beredar garam dengan label beriodium, tetapi tanpa iodium alias palsu (Soekirman, 2003).

2. Fortifikasi zat besi dengan tepung terigu

Fortifikasi tepung terigu dengan zat besi di Amerika dimulai pada tahun 1938, dan ditingkatkan menjadi wajib pada tahun 1941, yang mewajibkan fortifikasi tepung terigu dengan zat thiamine, riboflafin, niacin, folic acid, Fe, Ca. Kejadian IDA (Iron Deficiency Anemia) pada wanita subur di AS, dilaporkan sebesar 2,9%. Kejadian tersebut membuat AS untuk meningkatkan konsumsi zat besi pada makanan atau produk yang diperkaya selain dari tepung terigu. Fortifikasi produk lainnya, seperti white bread, rolls, crackers, kecap ikan, tepung jagung, bubur jagung, pasta dan sereal sarapan yang sudah tersebar luas. Program fortifikasi tersebut berhasil menurunkan prevalensi penderita anemia gizi besi secara dramatis. Seperti di Chile berhasil “menghapus” anemia karena kurang zat besi, sehingga anemia tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat (Dary dan Mora, 2002).

(15)

bahwa semua tepung terigu yang diproduksi dan diperdagangkan di Indonesia harus difortifikasi dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1, vitamin B2 (Soekirman, 2003).

Program fortifikasi zat besi dalam pangan selain tepung terigu, Indonesia telah wajib memberlakukan fortifikasi zat besi ke beberapa produk pangan seperti mie instant, susu bubuk, dan biskuit. Akan tetapi, program tersebut belum memberikan hasil yang bagus dalam menurunkan defisiensi zat besi atau defisiensi anemia. Mengingat sebagian besar masyarakat penderita kurang gizi di Indonesia terutama penderita anemia memiliki daya beli yang rendah, maka hal ini dapat mengakibatkan akses terhadap bahan-bahan makanan tersebut menjadi menurun dan menyebabkan program fortifikasi menjadi sia-sia (Soekirman, 2003).

3. Fortifikasi Beras

Program fortifikasi beras di Amerika (USA) dimulai pada tahun 1958 yang merupakan program pemerintah dan pasar terbuka dengan skala besar (70% beras fortifikasi) dan fortifikasi diharuskan di 6 negara bagian dengan menambahkan zat gizi besi, FePO4< B1<B3, B9 untuk masyarakat umum. Sebagian kecil, program fortifikasi di beberapa negara bagian AS dilaksanakan secara sukarela (voluntary) atas inisiatif dari produsen dalam merespon kebutuhan konsumen. Teknologi fortifikasi yang digunakan yaitu dengan dusting dan coating. Fortifikasi beras ditargetkan untuk menurunkan prevalensi anemia pada ibu di salah satu negara bagian USA yang diwajibkan. Salah satunya adalah negara Mexico, yang memberikan dampak terhadap penurunan prevalensi anemia pada ibu penerima beras fortifikasi turun sebesar 80% dan prevalensi defisiensi besi sebesar 29% setelah 6 bulan perlakuan. Potensi dampak yang dihasilkan dari program fortifikasi beras di Mexico dapat di lihat pada Gambar 1 (Christine et al., 2008).

(16)

Gambar 1. Comparison of the prevalence of anemia (hemoglobin < 12.2 g/dL) and iron deficiency (serum ferritin < 12.0 µg/L or serum transferrin receptors > 8.5 mg/L) (Christine et al., 2008).

Program fortifikasi beras di Indonesia, baru dimulai pada tahun 2010 yang merupakan program sektor pemerintah dengan skala menengah. Program fortifikasi beras ini menggunakan raskin yang ditambahkan dengan zat Besi-Fe PP, Seng, B1, B3, B9, B12 untuk penduduk miskin. Fortifikasi Raskin (beras subsidi bagi penduduk miskin) sangat prospektif, dimana (Widjojo, 2014):

a) Teknologi fortifikasi pada beras yaitu dengan ekstrusi semakin berkembang dan telah mulai diimplementasikan di Costa Rica, Cina, Filipina, Brazil,India, dll.

b) Raskin ditargetkan untuk dikonsumsi keluarga miskin yang mempunyai risiko tinggi menderita AGB (Tepat sasaran).

c) Produksi Raskin terpusat di bawah koordinasi Perum BULOG sehingga relatif mudah untuk dikontrol.

d) Dalam rangka mengatasi Anemia Gizi Besi (AGB) pada penduduk miskin, Bappenas bekerjasama dengan kementerian dan lembaga terkait melaksanakan Pilot Proyek Fortifikasi RASKIN sejak tahun 2010, menggunakan bantuan hibah dari ADB.

4. Fortifikasi vitamin A

(17)

Fortifikasi vitamin A di Indonesia, pertama kali dicoba pada bumbu penyedap (MSG) pada tahun 1980-an yang hanya diproduksi oleh 2 pabrik. Awalnya, MSG sangat memenuhi persyaratan fortifikasi. Seperti halnya dengan garam, MSG dijumpai di hampir setiap rumah tangga, baik kaya maupun miskin. MSG memenuhi syarat untuk fortifikasi vitamin A yang juga merupakan salah satu masalah kekurangan gizi penting di Indonesia sampai sekarang. Pada tahun 1980-an dilakuk1980-an percoba1980-an fortifikasi vitamin A pada bumbu penyedap MSG. Hal serupa pernah dilakukan juga di Philipina. Hasil percobaan dari kedua negara tersebut positif, bahwa fortifikasi MSG dengan vitamin A menurunkan prevalensi kurang vitamin A pada balita keluarga miskin. Meskipun demikian, percobaan ini tidak berlanjut menjadi program, oleh karena masalah teknologi (terjadi perubahan warna MSG) dan adanya kelompok masyarakat yang menentang pemakaian MSG secara luas (Soekirman, 2003).

Pada tahun 2007, Indonesia melakukan percobaan lagi untuk fortifikasi vitamin A tetapi dalam minyak goreng. Proyek percobaan ini berhasil, sehingga fortifikasi minyak goreng diterapkan dalam skala produksi yang diawali oleh 2 produsen minyak goreng. Hasil percobaan tersebut pada tahun 2010 sudah ditingkatkan menjadi program nasional. Dan pada tahun 2013, SNI telah mewajibkan semua minyak goreng untuk difortifikasi dengan vitamin A sebanyak 45 IU. Program fortifikasi pilihan lain adalah fortifikasi gula dengan vitamin A seperti dilakukan di Amerika Latin selama 10 tahun terakhir. Kemungkinan fortifikasi gula dengan vitamin A di Indonesia masih kecil mengingat produksi dan perdagangan gula masih sering menghadapi banyak masalah (Soekirman, 2003).

(18)

pada penelitian yang dilakukan oleh Achadi et al (2010) yang menyebutkan bahwa, konsumsi minyak goreng dengan vitamin A dalam 12 minggu atau lebih lama, dapat meningkatkan kadar vitamin A untuk mengatasi subklinis KVA dan atau menurunkan KVA(PIPIMM, 2011).

5. Fortifikasi Asam Folat

Di Amerika Serikat, fortifikasi produk biji-bijian sereal yang diperkaya dengan asam folat dimulai pada tahun 1996. Januari 1998 merupakan batas waktu yang dimandatkan untuk penambahan gizi pada produk padi-padian yang diperkaya dengan asam folat (asam pteroilglutamat, buatan dan hasil oksidasi dari folat) di Amerika Serikat. Motivasi yang utama di balik fortifikasi adalah untuk mengurangi terjadinya cacat tabung neural ( NTDs), suatu cacat kelahiran yang menunjukkan asupan asam folat yang responsif. Serupa dengan hal itu, diperkirakan bahwa manfaat sekunder dari fortifikasi mungkin dapat mengurangi terjadinya penyakit jantung (kardiovaskuler) dan kanker tertentu, yang berkaitan dengan status folat yang rendah (Jacques et al., 2000).

Pada tahun 1999, Kesehatan Nasional dan Survei Pemeriksaan Gizi yang dilakukan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit menemukan bahwa, rata-rata tingkat asam folat dalam darah wanita AS usia subur telah hampir tiga kali lipat dalam 5 tahun. Beberapa studi telah memperkirakan jumlah NTDs dapat dicegah dengan fortifikasi tepung terigu termasuk di Amerika Serikat. Fortifikasi tepung terigu dan sereal sarapan dapat mencegah 1000 kasus NTDs selama setahun. Karena sebuah penelitian di Ontario menunjukkan bahwa kejadian cacat tabung neural (NTDs) telah menurun menjadi 8,6 kasus/10.000 kehamilan dari 16,2/10.000 kehamilan di tahun 1995 (Mannar, 2006; Charatan, 1999).

(19)

Di Indonesia, SNI wajib tepung terigu ditetapkan pada Tahun 2000. SNI yang ditetapkan mengharuskan tepung terigu di Indonesia mengandung asam folat minimum 2 ppm. Sejauh ini pangan pembawa asam folat yang paling sukses di Indonesia adalah tepung terigu. Karena Tepung terigu merupakan makanan pokok kedua setelah beras yang umum dikonsumsi saat ini. Selain itu, konsumen tepung terigu pada kelompok masyarakat miskin di Indonesia dalam bentuk mie basah yang diperkirakan akan makin meningkat terutama di perkotaan. Hal ini merupakan metode yang dapat diandalkan untuk mengurangi prevalensi kelahiran yang dipengaruhi oleh neural tube defects. Untuk menambahkan asam folat pada tepung hanya butuh biaya yang minimal, terutama bila dibandingkan dengan biaya mengobati anak-anak dengan spina bifida dan beragam dampak pada keluarga mereka (Soekirman, 2003; PIPIMM, 2011).

Ringkasan dari perbandingan program fortifikasi pangan di USA dan di Indonesia yang telah dijelaskan diatas, dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Perbandingan program fortifikasi pangan di USA dan di Indonesia Jenis

 Dimulai pada tahun 1920 dan telah diwajibkan dihasilkan mampu menekan goitre secara signifikan

 Produk lain: white bread, rolls, crackers, kecap ikan, tepung jagung, bubur jagung, pasta dan sereal sarapan.

 Dimulai pada tahun 1998 dan diwajibkan pada tahun 2001.  Kandungan: zat besi, seng,

asam folat, vitamin B1, vitamin B2.

 Produk lain: mie instant, susu bubuk, dan biskuit.

(20)

 Potensi dampak yang dihasilkan menurunkan prevalensi penderita anemia gizi besi secara dramatis.

 Teknologi fortifikasi: dusting dan coating  Targetnya: untuk dikonsumsi

keluarga miskin yang mempunyai risiko tinggi menderita AGB (Anemia Gizi  Fortifikasi pangan lainnya

pada sereal sarapan dengan vitamin A serta vitamin D dan mineral lainnya.

 Targetnya: menurunkan prevalensi kurang vitamin A dari 40% menjadi 13%.

(21)

populasi berisiko terutama meningkatkan status vitamin A anak usia sekolah untuk

 Fortifikasi produk biji-bijian sereal dimulai pada tahun 1996 dan di mandatkan pada awal tahun 1998.

 Tujuan: mengurangi terjadinya cacat tabung neural (NTDs) dan mengurangi terjadinya penyakit jantung dan kanker tertentu.

 Fortifikasi lain pada tepung terigu dengan mewajibkan kadar asam folat pada tepung terigu 1,4 dan 1,5 ppm.

 Potensi dampak yang dihasilkan rata-rata tingkat kadar asam folat dalam darah wanita usia subur di AS telah hampir tiga kali lipat dalam 5 tahun sehingga mencegah 1000 kasus NTDs selama mewajibkan tepung terigu harus mengandung asam folat. prevalensi kelahiran yang dipengaruhi oleh neural tube defects

 Sasarannya: masyarakat umum, ibu hamil (Soekirman, 2003; PIPIMM, 2011).

D. Kelebihan dan Kekurangan Program Fortifikasi 1. Kelebihan

(22)

menurunkan risiko beberapa kekurangan yang mungkin timbul dari defisit musiman dalam penyediaan makanan atau diet berkualitas rendah.

b) Makanan yang difortifikasi mungkin mengandung zat gizi mikro yang dapat mencapai diet seimbang dengan baik.

c) Fortifikasi didistribusikan secara luas pada makanan yang banyak dikonsumsi, sehingga memiliki potensi untuk meningkatkan status gizi sebagian besar populasi umum.

d) Fortifikasi tidak memerlukan perubahan dalam pola makanan yang ada atau kepatuhan individu.

e) Sistem pembawa untuk makanan yang difortifikasi biasanya sudah ada, umumnya melalui sektor swasta.

f) Dimungkinkan untuk memfortifikasikan makanan dengan beberapa mikronutrien secara bersamaan. Total biaya makanan tidak sebagian besar dipengaruhi oleh penambahan lebih mikronutrien.

g) Dengan peraturan yang tepat di tempat tinggal, maka fortifikasi dapat meminimalkan risiko toksisitas kronis dengan fortifikasi.

h) Dengan sistem pangan yang tepat dan teknologi yang ada, fortifikasi makanan lebih hemat biayanya daripada strategi lain (Allen et al., 2006).

2. Kelemahan

Fortifikasi merupakan pendekatan yang lebih disukai daripada strategi lain berdasarkan kelebihan di atas. Namun, ada kelemahan atau lebih tepatnya keterbatasan fortifikasi makanan yang meliputi (Allen et al., 2006):

a) Mengkonsumsi makanan yang difortifikasi bukanlah pengganti yang baik untuk kualitas diet seimbang dalam menghasilkan energi, protein, lemak esensial-yang diperlukan untuk kesehatan yang optimal.

b) Mengoreksi masalah kekurangan mikronutrien melalui fortifikasi pangan bisa menjadi sulit karena mikronutrien yang lengkap bahkan beranekaragam pada makanan yang tersedia, tidak mungkin dapat dikonsumsi dalam jumlah yang cukup. Semua kelompok sasaran dalam populasi umum mungkin tidak mengkonsumsi makanan yang difortifikasi, seperti:

1) Bayi dan anak kecil mengkonsumsi sejumlah kecil makanan dan karena itu cenderung untuk dapat memperoleh asupan yang direkomendasikan dari semua mikronutrien dari makanan yang dfortifikasi saja; makanan pembawa zat gizi mungkin tidak mudah diakses atau tidak tersedia untuk kelompok-kelompok penduduk yang tinggal di daerah terpencil.

(23)

secara lokal. Oleh karena itu lebih berisiko kekurangan zat gizi mikro, dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya yang mengkonsumsi makanan olahan.

3) Kelompok miskin atau penduduk berpenghasilan rendah sering menderita karena kekurangan beberapa mikronutrien sebagai akibat dari kurangnya asupan dalam diet secara keseluruhan. kelompok-kelompok ini tidak mungkin untuk mendapatkan asupan yang disarankan dari semua mikronutrien pada makanan yang difortifikasi.

c) Masalah teknologi yang berkaitan dengan fortifikasi makanan pembawa, terutama kadar gizi yang ditambahkan, stabilitas penambah, interaksi hara, karakteristik sifat fisik, dan kemampuan konsumen dalam menerima, termasuk sifat memasak dan rasa.

d) Sifat alami makanan pembawa, penambah, atau keduanya, mungkin membatasi jumlah fortifikan agar dapat berhasil ditambahkan. Kualitas sensorik makanan seperti warna dan rasa, dan stabilitas micronutrient mungkin akan terpengaruh. Dan juga, interaksi antara gizi dalam makanan dapat terjadi (misalnya, kehadiran sejumlah besar kalsium dapat menghambat penyerapan zat besi dari makanan yang difortifikasi, kehadiran vitamin memiliki efek berlawanan pada besi, dan dengan demikian meningkatkan penyerapan zat besi).

e) Seluruh makanan fortifikasi ini terbukti lebih hemat biaya dari strategi lain, tetapi ada biaya lebih yang mendasari terkait dengan proses fortifikasi yang dapat membatasi pelaksanaan dan efektivitas program fortifikasi makanan (misalnya, biaya permulaan, percobaan, percontohan dan pengujian, biaya pengawasan yang efektif, dan sistem evaluasi untuk memastikan makanan yang difortifikasi efektif dan aman).

E. Kunci Sukses Fortifikasi Pangan Di Negara-Negara Industri

(24)

untuk status zat gizimikro, dalam kasus kekurangan gizi besi ketidakhadiran paratisme yang menyebabkan anemia, dan tidak ada kendala yang menyangkut usaha untuk mendapatkan gizi mikro (Darnton-Hill dan Nabulo, 2002).

(25)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang sudah dibahas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) ke dalam

pangan. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi. Dan berperan dalam pencegahan detisiensi untuk menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis.

2. Fortifikasi bahan pangan di klasifikasi menjadi 3, yaitu fortifikasi sukarela (voluntary), fortifikasi wajib (mandatory), dan fortifikasi khusus.

3. Jenis-jenis fortifikasi pangan dalam menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya, yaitu fortifikasi iodium dengan garam; fortifikasi zat besi dengan tepung terigu dan beras; fortifikasi vitamin A dengan minyak goreng, mentega, susu dan sarapan sereal lainnya; fortifikasi asam folat dengan biji-bijian dan makanan sereal serta pada tepung terigu.

4. Program fortifikasi pangan di negara maju terutama USA umumnya sudah berhasil menuntaskan berbagai masalah kurang gizi, sedangkan di negara-negara sedang berkembang seprti Indonesia masih ditemukan masalah proses dalam fortifikasi pangan.

5. Kunci sukses untuk berjalannya program fortifikasi ini perlu dilakukan kerjasama yang baik antara Pemerintah, Industri, dan Konsumen.

B. Saran

1. Diperlukan pengawasan dan pemilihan bahan pangan yang akan difortifikasi (vehicle) agar masyarakat dapat terjangkau dalam pembelian bahan makanan tersebut.

2. Perlu adanya kerjasama yang baik antara pemerintah, sektor publik, sektor swasta dan sektor sosial. Pada program fortifikasi, peran swasta dan masyarakat cukup besar dan akan menentukan tingkat keberhasilan.

(26)

fortifikasi sebagai pendekatan pelengkap untuk intervensi sebagai prasyarat untuk keberhasialan program.

4. Perlu adanya peran industri dalam strategi fortifikasi jangka panjang melalui penyediaan tenik preservation yang dikembangkan dan melalui peningkatan (promosi) pangan yang kaya zat gizi mikro yang tersedia secara lokal atau sebagai fortifikan.

DAFTAR PUSTAKA

(27)

ADB (2000). Mabila Forum 2000: Strategies to Fortify Essential Food in Asia and the Fasitic. Asian Development Bank. Manila.

Allen L et al., eds (2006). Guidelines on food fortification with micronutrients. Geneva, World Health Organization and Food and Agricultural Organization of the United Nations, 2006.

Anonim (2010). Fortifikasi Pangan di Indonesia. Diakses dari http://www.kulinologi.co.id /index1. php?view&id=98160, pada tanggal 2 November 2015 di Surakarta.

Arroyave, C. M., Levy, R. N ., dan Johnson, J. S (1979). Genetic Deficiencyof the Fourth Component (C4) in Wistar Rats, Immunology, 33: 453-459.

Ballot, D. E., MacPhail, A. P., Bothwell, T. H., Gillooly, M. & Mayet, F. G. (1989) Fortification of Curry Powder With NaFe (III) EDTA: Report of A ControlledIron Fortification Trial. Am. J. Clin. Nutr, 49: 162–169.

Charatan F (1999). Fortification of flour likely to havle neural tube defects, says CDC. BMJ, 318:1506.

Christine, A, et al. (1998). Nutrition and education: a randomized trial of the effects of breakfast in rural primary school children. The American Journal of Clinical Nutrition.

Cook, J.D dan Reuser, ME (1983). Iron fortification: An update. Am J clin Nutr, 38: 648-659.

Darnton-Hill Ian and Nalubola Ritu (2002). Fortification strategy to meet micronutrioent: successes and failures. Proceedings of the Nutrition Society, 61:231-141.

Dary O dan Mora O (2002). Food Fortification to Reduce Vitamin A Deficiency: International Vitamin A Consultative Group Recommendations. The American Society for Nutritional Sciences J. Nutr, 132: 2927S-33S.

Depkes RI (2003). Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Departemen Pertanian (DEPTAN) (2008). Kebijakan Teknis Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan. Jakarta : Departemen Pertanian.

Diniwati (2005). Pengaruh Tambahan Gizi (Fortifikasi) Asam Folat pada Makanan Terhadap Asupan Asam Folat di Amerika Serikat. Diakses dari http://old.analytical.chem.itb.ac.id/coursesdata/16/moddata/assignment/19/556/Ma kalah_efect_of_food.doc, pada tanggal 3 November 2015 di Surakarta.

Jacques PF, Selhub J, Bostom AG, Wilson PWF, Rosenberg IH (2002). The effect of folic acid fortification on plasma folate and total homocysteine concentrations. N Engl J Med, 340:1449–54.

(28)

Leung A.M., Braverman L.E., and Pearce E.N (2012). History of U.S Iodine Fortificatiion and Supplementation. Nutrients, 4:1740-1746.

Mannar Venkatesh M.G (2006). Successful Food-Based Programmes, Suplementation and Fortification. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, 43:S47-S53. Martianto, Drajat. 2012. Fortifikasi Pangan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakultas

Ekologi Manusia.

Ottaway B (ed) (2008). Food Fortification and Supplementation: Technological, Safety and Regulatory Aspects. TJ International Limited, Padstow, Cornwall, England.

PIPIMM (2011). Kelayakan Fortifikasi Vitamin A pada Minyak Goreng. Diakses dari http://www.pipimm.or.id/food_info.php?view=1&id=51, pada tanggal 3 November 2015 di Surakarta.

Saragih B (2007c) Pengaruh Pemberian Pangan Fortifikasi Zat Multi Gizi Mikro pada Ibu Hamil dan Status Pemberian ASI Terhadap Pertumbuhan linier, Perkembangan Motorik bayi. Disertasi, Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Saragih B, Syarief H, Riyadi H, Nasoetion A dan Dewi R (2007b). Pengaruh Pemberian Pangan Fortifikasi Zat Multi Gizi Mikro pada Ibu Hamil terhadap Status Gizi dan Morbiditas Bayi dari Usia 0-6 bulan. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 11(1): 1-10. Saragih, B, Syarief H, Riyadi H dan Nasoetion A (2007a). Pengaruh Pemberian Pangan

Fortifikasi Zat Multi Gizi Mikro pada Ibu Hamil terhadap Pertumbuhan Linier, Tinggi Lutut dan Status Anemia Bayi. Jurnal Gizi Indonesia, 30 (1): 12-24

Siagian A (2003). Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah Kekurangan Zat Gizi Mikro. Digitized By Usu Digital Library.

Soekirman (2003). Fortifikasi dalam Program Gizi, Apa dan Mengapa. Jakarta: Koalisi Fortifikasi Indonesia.

Soekirman (2011). Perkembangan Fortikasi di Indonesia. Diakses dari http://www.kfindonesia.org/index. php?pgid=11&contentid=12, pada tanggal 2 November 2015 di Surakarta.

Widjojo, Sunarno Ranu (2014). Fortifikasi Beras: Review Pengalaman Di Berbagai Negara. Diakses dari http://file.persagi.org/share/40%20Sunarno.pdf, pada tanggal 3 November 2015 di Surakarta.

WHO (1992). National strategies for overcoming micronutrient malnutrition EB89/27. 45th World Health Assembly Provisional Agenda Item 21; WHO, Geneva, Switzernland.

Gambar

Tabel 1. Jumlah populasi yang Berisiko dan terkena kekurangan Zat Gizi mikro
Table 2. Makanan Yang Difortifikasi
Tabel 3. Perbandingan program fortifikasi pangan di USA dan di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Sistem contreng ini masih dilakukan secara konvensional yaitu dengan mencontreng data pilihan caleg pada kertas pemilihan umum yang telah disediakan dan proses perhitungan

Anggraini Nina Agung Dewi, Analisis Berpikir Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Berdasarkan Teori Piaget Pada Materi Relasi dan Fungsi Kelas VIII di SMP Negeri 1 Binangun

Panitia Pengadaan barang/jasa pada Dinas kelautan dan Perikanan Kab.Tolitoli Tahun Anggaran 2013 akan melaksanakan Pelelangan sederhana/Pemilihan Langsung dengan

Persentase perbedaan antara metode manual dan citra digital pada kedua jenis ternak memiliki nilai yang tinggi terdapat pada bagian panjang badan, tinggi badan,

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare akut pada bayi usia 1-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas

Bahwa sampai dengan batas waktu berakhir masa sanggah tersebut, ternyata tidak ada peserta Seleksi yang mengajukan sanggahan atau keberatan atas Penetapan dan

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, hidayah dan imayahnya sehingga penulis mempu menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul

K, Kridalukmana Rinta , 2015, Sistem Informasi Manajemen Pemesanan Dan Penjualan Pada UNDIP Distro, Universitas Diponegoro, Semarang, Volume 3, No.3.. P, Sukadi, 2011,