BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Dalam sejarah perjalanan sistem kepemerintahannya, Indonesia sempat
mengalami masa-masa dimana sistem pemerintahan yang sentralistik pernah
diterapkan. Di bawah rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, Indonesia
diperintah dengan sistem yang sangat tersentralisasi. Semua kekuatan politik
praktis berpusat di Jakarta, dan pemerintah pusat memegang kendali penuhatas
semua kekayaan ekonomi di negara ini. Kendali pusat yang begitu besar dalam
mengatur sumberdaya alam daerah sering kali memunculkan ketidakpuasan dalam
hal pembagian hasil. Beberapa daerah yang kaya akan sumberdaya alam seperti
Aceh dan Papua justru mengalami ketertinggalan dalam hal pembangunan
dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan
ekonomi di Indonesia. Ketidakadilan dalam hal pembagian keuntungan dari
sumberdaya alam seperti yang terjadi pada provinsi Aceh dan Papua telah memicu
konflik dan memunculkan gerakan separatis dengan tujuan untuk memisahkan diri
dari Indonesia.
Provinsi Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang paling
merasakan dampak negatif dari diterapkannya sistem pemerintahan yang
sentralistik. Ketidakadilan sosial dan ekonomi ditambah dengan munculnya
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan semangat memisahkan diri dari
konflik dengan menjadikan Aceh sebagai zona militer telah membuat situasi di
Aceh semakin memperburuk.
Konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia telah memberikan dampak
buruk terhadap kehidupan sosial dan ekonomi di provinsi Aceh. Dampak terburuk
dari konflik di Aceh adalah munculnya korban jiwa yang diperkirakan berjumlah
15.000 jiwa selama masa konflik. Selama konflik juga terjadi Pembakaran
terhadap fasilitas pendidikan, pengrusakan tiang-tiang jaringan listrik yang
mengakibatkan terputusnya pasokan listrik di Aceh, dan serangkaian aksi teror
lainnya semakin membuat situasi keamanan di Aceh tidak kondusif
(KEMITRAAN, 2008).
Situasi keamanan yang tidak kondusif membuat para investor enggan
berinvestasi yang berakibat meningginya angka pengangguran di Aceh. Sepanjang
periode konflik hingga tahun 1996, diperkirakan terdapat 491.800 penduduk
miskin di Aceh atau sekitar 12,7% dari total penduduk Aceh. Jumlah ini
meningkat menjadi 602.100 jiwa atau 14,8% dari total penduduk pada 1999 dan
1,2 juta jiwa atau 30% dari total penduduk pada 2002. Perekonomian di Aceh
tidak berjalan baik dan cenderung stagnant. Pada 1990 kontribusi Aceh terhadap
GDP Indonesia adalah sebesar 3,6%. Jumlah ini menurun menjadi hanya 2,2%
saja pada tahun 2001 (data World Bank).
Runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian juga disempurnakan menjadi UU
No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan jalan keluar bagi
desentralistik dimana salah satu kritik yang sering muncul pada era sistem
pemerintahan yang sentralistik adalah terlalu dominannya peranan Pemerintah
Pusat terhadap Pemerintah Daerah. Dengan latar belakang tingginya tingkat
kemiskinan di daerah sebagai akibat tidak adanya transfer kesejahteraan kepada
daerah sebagai imbalan transfer ekonomi ke pusat telah memberikan peluang
kepada Aceh untuk mendapatkan status otonomi khusus. Hal ini diwujudkan
dengan lahirnya UU No.18 Tahun 2001 tentang status otonomi khusus provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Namun dalam perkembangannya undang-undang ini
belum juga dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di Aceh.
Pada 26 Desember 2004 provinsi Aceh dilanda oleh salah satu bencana
alam paling mematikan dalam sejarah Indonesia. Bencana alam gempa bumi dan
tsunami yang terjadi di Aceh telah merenggut banyak korban jiwa, menyebabkan
kerusakan yang parah terhadap infrastruktur, dan melumpuhkan semua kegiatan
perekonomian di daerah terdampak bencana. Bencana ini telah menumbuhkan
solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali
masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai,
menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Bencana ini juga melatarbelakangi munculnya perjanjian
damai antara pemerintah Indonesia dengan GAM di Helsinki, Finlandia yang
menghasilkan memorandum of understanding (MoU) diantara pihak yang berkonflik pada 15 Agustus 2005.
MoU ini berisikan kesepakatann bahwa Aceh akan melaksanakan
dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar
negeri, pertahanan, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan
kehakiman, dan kebebasan beragama yang merupakan kewenangan Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi. Komitmen Pemerintah RI kepada
perjanjian damai ini diwujudkan dalam bentuk terbitnya UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh.
Kedua undang-undang di atas menjadikan Aceh memiliki perbedaan
yang signifikan dibandingkan daerah lainnya di Indonesia, salah satunya dalam
hal keuangan. Dalam hal keuangan ada kekhususan yang didapat Aceh, yaitu
adanya transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk dana otonomi khusus.
Transfer pemerintah dalam rangka otonomi khusus ini terbagi dalam dua periode
yaitu sebelum dan sesudah tahun 2008 dimana kedua periode memiliki sumber
dana yang berbeda. Sebelum tahun 2008 provinsi Aceh mendapatkan pendapatan
dalam rangka otonomi khusus yang bersumber dari tambahan dana bagi hasil
(DBH) sumberdaya minyak dan gas bumi di provinsi Aceh sedangkan sejak tahun
2008 dana otonomi khusus bersumber dari dana alokasi umum (DAU) Nasional
yaitu sebesar 2% dari DAU Nasional. Penerimaan Dana Otonomi khusus yang
dikucurkan sejak tahun 2008 akan berlangsung selama 20 tahun sampai tahun
2027 dengan proyeksi total peneriman sebesar Rp. 100 trilyun dengan asumsi
pertumbuhan rata-rata sebesar 5% per tahun. Sejak tahun 2008, dana otonomi
khusus menjadi sumber pendapatan terbesar bagi provinsi Aceh dengan porsi
Gambar 1.1
Persentase Sumber Pendapatan Provinsi Aceh Pada APBD 2013
Sumber : diolah dari data DJPK, 2013
Sejak diberlakukannya status otonomi khusus di provinsi Aceh, dana
otonomi khusus telah membuat provinsi Aceh menjadi salah satu provinsi dengan
sumber daya fiskal terbesar di Indonesia. Dengan adanya dana Otonomi khusus,
provinsi Aceh berada pada urutan ke 6 sebagai provinsi dengan anggaran
pendapatan daerah tertinggi pada tahun 2013.
Tabel 1.1
Ternyata limpahan sumberdaya fiskal yang dimiliki oleh provinsi Aceh
sejak diberlakukannya status otonomi khusus tidak serta merta berpengaruh
terhadap kualitas pembangunan manusianya. Fenomena ini tak jauh berbeda dari
provinsi Papua yang juga mendapatkan status yang sama. Di Aceh, menurut data
BPS, dilaporkan bahwa tingkat kemiskinan pada tahun 2004 adalah 28,37%,
tahun 2005 sebesar 28,69%, tahun 2006 sebesar 28,28%, dan setelah tahun 2008
sebesar 26.7%. Pada tahun 2013 tingkat kemiskinan di Aceh adalah 17,6%
kendati mengalami penurunan namun secara nasional angka ini masih cukup
tinggi. Hal ini juga dapat dilihat dari peringkat indeks pembangunan manusia
Aceh yang rendah dan terus menurun sejak diterapkannya status otonomi khusus.
Tabel 1.2
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah adalah
keberhasilan dalam hal pembangunan manusianya yang tercermin dari indeks
pembangunan manusia, dimana manusia adalah sebagai tujuan sekaligus pelaku
manusia (SDM) merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dan harus berjalan
selaras. Oleh karena itu, potensi SDM harus ditingkatkan kualitasnya, baik
pendidikan, kesehatan, maupun sosial ekonomi melalui kegiatan-kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan. Dengan kualitas SDM yang tinggi,
kesejahteraan akan meningkat dan perannya akan optimal. Pembangunan manusia
adalah proses memperluas pilihan-pilihan penduduk (people’s choice). Dari
sekian banyak pilihan, ada tiga pilihan yang dianggap paling penting, yaitu:
panjang umur dan sehat, berpendidikan, dan akses ke sumber daya yang dapat
memenuhi standar hidup yang layak. Kemajuan pembangunan manusia
dicerminkan oleh Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks yang mengukur
pencapaian kemajuan pembangunan suatu negara (daerah) yang dipresentasikan
oleh dimensi Angka Harapan Hidup pada Waktu Lahir (Life Expectancy at Birth),
Angka Melek Huruf Penduduk Dewasa (Literacy Rate), Rata-rata Lamanya Sekolah Penduduk Dewasa (Mean Year of Schooling), dan Pengeluaran Riil per Kapita (UNDP, 1990).
Dalam upaya untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia, selain
kebijakan anggaran keuangan daerah yang baik, kebijakan belanja juga
memegang peranan penting. Anggaran belanja daerah akan tidak logis jika
proporsi anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin. Semakin banyak
pendapatan yang dihasilkan oleh daerah, daerah akan mampu memenuhi dan
membiayai semua keperluan yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan tingginya
Aceh melalui belanja modal terutama dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa dalam era otonomi daerah,
pemerintah daerah harus semakin mendekatkan diri pada berbagai pelayanan
dasar masyarakat. Oleh karena itu, alokasi belanja modal memegang peranan
penting guna peningkatan pelayanan ini. Belanja Modal yang dilakukan oleh
pemerintah daerah diantaranya adalah pembangunan dan perbaikan sektor
pendidikan, kesehatan, transportasi, sehingga masyarakat juga menikmati manfaat
dari pembangunan daerah.
Tambahan sumber daya fiskal dalam rangka otonomi khusus tersebut
jika dikelola secara efektif seharusnya dapat menjadi peluang emas bagi Aceh
untuk memacu pembangunan dan membalikkan trend kemunduran yang dialami Aceh selama masa konflik yang lalu. Dana otonomi khusus yang ditujukan untuk
mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik.
Tujuan tersebut dapat dicapai melaui percepatan pembangunan di Provinsi Aceh.
Dengan adanya dana otonomi khusus, diharapkan membawa perubahan
kemampuan APBD untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
alokasi belanja modal. Hal ini selaras dengan salah satu fokus pemanfaatan dana
otonomi khusus yang diarahkan pada peningkatan taraf pendidikan dan tingkat
kesehatan masyarakat.
Dengan melihat fakta diatas, maka penulis terdorong untuk meneliti dan
mempelajari pengaruh dari dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan
dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) provinsi
Aceh”.
1.2 Perumusan Masalah
Pemberian status daerah otonomi khusus telah membuat sumberdaya fiskal
provinsi Aceh naik secara signifikan. Penerimaan dana otonomi khusus
memungkinkan Pemerintah Daerah Aceh untuk meningkatkan indeks
pembangunan manusianya melalui alokasi belanja modal sebagai variabel
intervening. Berdasarkan hal tersebut dapat disusun pertanyaan penelitian yang
akan dibahas dalam penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan
manusia provinsi Aceh?
2. Bagaimana pengaruh dana otonomi khusus terhadap alokasi belanja modal
provinsi Aceh?
3. Bagaimana pengaruh alokasi belanja modal terhadap indeks pembangunan
manusia provinsi Aceh?
4. Apakah alokasi belanja modal memediasi pengaruh dana otonomi khusus
terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks
pembangunan manusia provinsi Aceh.
2. Untuk mengetahui pengaruh dana otonomi khusus terhadap belanja modal
3. Untuk mengetahui pengaruh belanja modal terhadap indeks pembangunan
manusia provinsi Aceh.
4. Untuk mengetahui apakah alokasi belanja modal memediasi pengaruh dana
otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah Aceh dalam mengelola dana
otonomi khusus yang ditujukan bagi pembangunan daerah, khususnya
pembangunan manusia, yang tercermin melalui indeks pembangunan manusia.
2. Untuk menjadi bahan analisis dan evaluasi tingkat pembangunan manusia
yang ada di Aceh di era pemberlakuan status otonomi khusus.
3. Sebagai referensi kepada peneliti lain guna mengembangkan dan manambah
pengetahuan untuk penelitian selanjutnya.