• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Solidaritas Sosial - Solidaritas Pada Masyarakat Marginal di Perkotaan (Studi deskriptif Pada Anggota Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska Kelurahan Sei Mati, Lingkungan XII Medan Maimun)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Solidaritas Sosial - Solidaritas Pada Masyarakat Marginal di Perkotaan (Studi deskriptif Pada Anggota Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska Kelurahan Sei Mati, Lingkungan XII Medan Maimun)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Solidaritas Sosial

Salah seorang sosiolog yang menaruh perhatian dan menjadikan

fokusteoritis dalam membaca masyarakat adalah Emile Durkheim. Bahkan,

persolan solidaritas sosial merupakan inti dari seluruh teori yang dibangun

Durkheim. Ada sejumlah istilah yang erat kaitannya dengan konsep solidaritas

sosial yang dibangun Sosiolog berkebangsaan Perancis ini, diantarnya integrasi

sosial (social integration) dan kekompakan sosial. Secara sederhana, fenomena

solidaritas menunjuk pada suatu situasi keadaan hubungan antar individu atau

kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut

bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. (Taufik Abdullah &

A.C.Van Der Leeden, 1986 : 81-125).

Dalam analisis Durkheim, diskursus tentang solidaritas dikaitkan dengan

persoalan sanksi yang diberikan kepada warga yang melanggar peraturan dalam

masyarakat. Bagi Durkhem indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik

adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum dalam masyarakat yang bersifat

menekan(represif). Hukum-hukum ini mendefinisikan setiap perilaku

penyim-pangan sebagai sesuatu yang jahat, yang mengancam kesadaran kolektif

masyarakat. Hukuman represif tersebut sekaligus bentuk pelanggaran moral oleh

(2)

dalam masyarakat dengan solidaritas mekanik tidak dimaksudkan sebagi suatu

proses yang rasional. (John Scott, 2002: 78)

Hukuman tidak harus merepresentasikan pertimbangan rasional dalam

masyarakat. Hukum represif dalam masyarakat mekanik tidak merupakan

petimbangan yang diberikan yang sesuai dengan bentuk kejahatannya. Sanksi atau

hukuman yang dikenakan kepada orang yang menyimpang dari ketaraturan, tidak

lain merupakan bentuk atau wujud kemarahan kolektif masyarakat terhadap

tindakan individu tersebut.

Pelanggaran terhadap kesadaran kolektif merupakan bentuk penyimpangan

dari homogenitas dalam masyarakat. Karena dalam analisa Durkheim, ciri khas

yang paling penting dari solidaritas mekanik itu terletak pada tingkat homogenitas

yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan kerja sama. Homogenitas serupa

itu hanya mungkin kalau pembagian kerja (division of labor) bersifat terbatas.

Model solidaritas seperti ini biasa ditemukan dalam masyarakat primitif atau

masyarakat tradisional yang masih sederhana. Dalam masyarakat seperti ini

pembagian kerja hampir tidak terjadi. Seluruh kehidupan dipusatkan pada sosok

kepala suku. Pengelolaan kepentingan kehidupan sosial bersifat personal.

Keterikatan sosial terjadi karena kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisional yang

dianut oleh masyarakat. Demikian juga sistem kepemimpinan yang dilaksanakan

berjalan secara turun-temurun. (John Scott, 2002 : 81-83)

Potret solidaritas sosial dalam konteks masyarakat dapat muncul dalam

berbagai kategori atas dasar karakteristik sifat atau unsur yang membentuk

(3)

membedakan solidaritas sosial dalam dua kategori/tipe; Pertama, solidaritas

mekanis, terjadi dalam masyarakat yang diciri-khaskan oleh keseragaman

pola-pola relasi sosial, yang dilatarbelakangi kesamaan pekerjaan dan kedudukan

semua anggota. Jika nilai-nilai budaya yang melandasi relasi mereka, menyatukan

mereka secara menyeluruh, maka akan memunculkan ikatan sosial diantara

mereka kuat sekali yang ditandai dengan munculnya identitas sosial yang

demikian kuat. Individu meleburkan diri dalam kebersamaan, hingga tidak ada

bidang kehidupan yang tidak diseragamkan oleh relasi-relasi sosial yang sama.

Individu melibatkan diri secara penuh dalam kebersamaan pada masyarakat

hingga tidak terbayang bahwa hidup mereka masih berarti atau dapat berlangsung,

apabila salah satu aspek kehidupan diceraikan dari kebersamaan.

Solidaritas mekanik memperlihatkan berbagai komponen atau indikator

penting, seperti; adanya kesadaran kolektif yang didasarkan pada sifat

ketergantungan individu yang memiliki kepercayaan dan pola normatif yang

sama. Individualitas tidak berkembang karena dilumpuhkan oleh tekanan

aturan/hukum yang bersifat represif. Sifat hukuman cenderung mencerminkan dan

menyatakan kemarahan kolektif yang muncul atas penyimpangan atau

pelanggaran kesadaran kolektif dalam kelompok sosialnya. Solidaritas mekanik

didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) yang

dipraktikkan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total diantara

para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung

homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam

seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik bahkan kepercayaan atau

(4)

relatif kompleks kehidupan sosialnya namunterdapat kepentingan bersama atas

dasar tertentu. Dalam kelompok sosial terdapat pola antar-relasi yang parsial dan

fungsional, terdapat pembagian kerja yang spesifik, yang pada gilirannya

memunculkan perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan sebagainya.

Perbedaan pola relasi-relasi, dapat membentuk ikatan sosial dan persatuan melalui

pemikiran perlunya kebutuhan kebersamaan yang diikat dengan kaidah moral,

norma, undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat universal. Oleh

karena itu ikatan solider tidak lagi menyeluruh, melainkan terbatas pada

kepentingan bersama yang bersifat parsial.

Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar.

Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi.

Ketergantungan ini diakibatakan karena spesialisasi yang tinggi diantara keahlian

individu. Spesialisasi ini juga sekaligus merombak kesadaran kolektif yang ada

dalam masyarakat mekanis. Akibatnya kesadaran dan homogenitas dalam

kehiduan sosial tergeser. Karena keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu,

munculah ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu

yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Menurut

Durkheim itulah pembagian kerja yang mengambil alih peran yang semula

disandang oleh kesadaran kolektif.

Karl Manheim lebih mencermati pandangan Durkheim, dimana dalam

solidaritas organik diciptakan pembagian kerja dalam kelompok sosial.

Pembagian kerja sebenarnya membagi aktivitas yang tadinya digabungkan ke

dalam suatu proses kerja yang dilaksanakan oleh seorang manusia menjadi

(5)

kerja akan menimbulkan sebuah integrasi sosial yang kuat, secara fungsional

dibutuhkan untuk saling melengkapi. Oleh karena itu memunculkan sebuah

solidaritas sosial dalam kelompok mereka atas dasar kepentingan bersama yang

sifatnya tertentu. (Taufik Abdullah & A. C. Van Der Leeden, 1986 : 81-125)

Nampak bahwa pada solidaritas organik menekankan tingkat saling

ketergantungan yang tinggi, akibat dari spesialisasi pembagian pekerjaan dan

perbedaan di kalangan individu. Perbedaan individu akan merombak kesadaran

kolektif, yang tidak penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial. Kuatnya

solidaritas organik menurut Durkheim ditandai eksistensi hukum yang bersifat

restitutif/memulihkan, melindungi pola ketergantungan yang kompleks antara

pelbagai individu yang terspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam

masyarakat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat bukanlah

semata-mata merupakan penjumlahan individu-individu belaka. Sistem yang dibentuk

oleh asosiasinya merupakan suatu realitas khusus dengan karakteristik tertentu.

Adalah benar bahwa sesuatu yang bersifat kolektif tidak akan mungkin timbul

tanpa kesadaran individual; namun syarat tersebut tidak akan mungkin timbul

tanpa adanya kesadaran individual; namun syarat itu tidaklah cukup. Kesadaran

itu harus dikombinasikan dengan cara tertentu; kehidupan sosial merupakan hasil

kombinasi itu dan dengan sendirinya dijelaskan olehnya. Jiwa-jiwa individual

yang membentuk kelompok, melahirkan sesuatu yang bersifat psikologis, namun

(6)

Kadang kala terbentuknya solidaritas dalam suatu masyarakat tidak hanya

dipengaruhi oleh kesamaan dalam nasib, namun karena keadaan ekstrim yang

sedang mereka hadapi seperti konflik. dalam jurnal-Nya Jacky (2013) yang

membicarakan pada seputar konflik antara pemulung dan kaum Industri di

surabaya jawa timur. Dalam jurnalnya di jelaskan bahwa pemulung Indonesia di

satukan dalam sebuah ikatan yang di beri nama (IPI) Ikatan Pemulung Indonesia

yang menjadi katup penyelamat (Lowis A. Coser) bagi kedua belah pihak. Efek

dari pembentukan IPI tersebut meluas menjadi ikatan persaudaraan yang kuat dan

meninggikan tingkat solidaritas sesama pemulung. Solidaritas terbentuk karena

adanya kesamaan senasib dan sepenanggungan baik di lihat dari persamaan

budaya, profesi, atau lainnya.

Menurut Zulkarnaen (2009:10) salah satu sumber solidaritas adalah gotong

royong. Istilah gotong royong mengacu pada kegiatan saling menolong atau saling

membantu dalam masyarakat. Tradisi kerjasama tersebut tercermin dalam

berbagai bidang kegiatan masyarakat, antara lain: kegiatan dalam membangun

rumah, memperbaiki sarana umum, mengadakan perhalatan atau hajatan, dalam

bencana alam, kematian, dan lain-lain.

2.2. Masyarakat Marginal

Pembangunan kota besar seperti kota Medan ini hanya menekankan aspek

pertumbuhan ekonomi secara fisik ternyata dalam banyak hal justru melahirkan

orang-orang miskin baru, masyarakat pinggiran di perkotaan atau lazim disebut

dengan istilah masyarakat marginal. Di dalam kamus sosiologi dan kependudukan

(7)

terasimilasi tidak sempurna. Kedua, kelompok yang terdiri dari orang-orang yang

memiliki kedudukan rendah. (Hartini dalam Irawati, 2008).

Kelompok yang terasimilasi tidak sempurna maksudnya kelompok yang

terdiri dari orang-orang yang tinggal dalam satu lingkungan kota tidak memiliki

akses yang sama terutama yang berkaitan dengan kehidupannya. Atau dengan

bahasa lain telah terjadi ketimpangan pembangunan, satu sisi ada orang sakit perut

karena kekenyangan di lain sisi ada orang yang sakit perut karena kelaparan.

Kelompok marginal termasuk kaum miskin yang bercirikan miskin dari

segi pangan, ekonomi, pendidikan, dan tingkat kesehatan yang rendah. Menurut

Pasurdi dalam Irwati (2008) bahwa kelompok marginal adalah mereka yang tidak

memiliki tempat tinggal yang tetap, pekerjaan yang tidak layak seperti pemulung,

pedagang asongan, pengemis dan lain sebagainya.

Broto Soemedi dalam Johanes (1995: 20) Kemiskinan dapat dilihat dari

dua sisi. Pertama dari sisi kualitatif memiliki maksud kemiskinan ialah suatu

kondisi yang di dalamnya hidup manusia tidak bermartabat manusia atau dengan

kata lain, hidup manusia tidak layak sebagai manusia. Kedua, secara kuantitatif.

Kemiskinan itu suatu keadaan di mana hidup manusia serba kekurangan, atau

dengan bahasa lazim tidak berhata benda.

Banyak bukti menunjukkan bahwa yang disebut masyarakat marginal pada

umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya pada

kegiatan ekonomi sehingga sering kali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain

yang memiliki potensi lebih tinggi. sebuah keluarga yang mengalami proses

(8)

terbatas, dan cenderung sulit untuk terserab dalam sektor-sektor yang

memungkinkan mereka dapat mengembangkan usahanya. Bisa di katakana

jangankan untuk mengembangkan diri menuju taraf sejahtera, untuk bertahan

menegakkan hidup fisiknya pada taraf yang subsistem saja bagi keluarga miskin

hampir-hampir merupakan hal yang mustahil bila tidak di topang oleh jaringan

dan pranata social di lingkungan sekitarnya.

Golongan masyarakat yang mengalami proses marginalisasi umumnya

adalah kaum migran, seperti pedagang kaki lima, penghuni permukiman kumuh,

dan pedagang asongan yang umumnya tidak terpelajar dan tidak terlatih,

ataudengan kata asing disebut unskilled labour, Soejatmoko dalam ( Ali, 2005:

167).Karena yang menjadi tolak ukur ialah kemampuan dalam meningkatkan taraf

ekonomi maka yang menjadi ciri masyarakat marginal ialah sangat sulit/lamban

dalam melakukan mobilitas social vertical. Mereka yang miskin tetap hidup dalam

kemiskinannya, sedangkan yang kaya akan tetap menikmati kekayaannya.

Menurut Johannes (1995:24) hal tersebut terjadi karena dilatar belakangi oleh dua

kemungkinan. a) mereka miskin di karenakan struktur yang tidak adil atau

mengabaikan mereka. Hal ini memiliki arti bahwa mereka tetap miskin bukan

karena mereka tidak mau memperbaiki nasibnya, tetapi usaha yang mereka

lakukan selalu kandas dan terbentur pada system atau struktur masyarakat yang

berlaku. b) mereka miskin di karenakan kultur (budaya) masyarakat rela miskin

karena di yakini sebagai upaya untuk membebaskan diri dari sikap serakah yang

pada akhirnya akan membawa ketamakan.

Robert Chambers dalam Ali (2005: 168) pengertian masyarakat marginal

(9)

kemiskian. Secara rinci terdiri dari lima unsur, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri;

(2) kelemahan fisik; (3) keterasingan atau kadar isolasi; (4) kerentanan; (5)

ketidakberdayaan. Kelima unsure ini sering saling mengait sehingga merupakan

perangkat kemiskinan yang benar-benar mematikan peluang hidup orang atau

keluarga miskin. Dan pada akhirnya menimbulkan marginalisasi.

Sedangkan Irawati (2008) dalam jurnalnya masyarakat yang identik sebagai

masyarakat miskin kota adalah yang berprofesi sebagai pemulung, pengemis,

gelandangan, atau pun buruh pekerja kasar. Lebih lanjut David Berry mengatakan

bahwa marginal adalah suatu situasi dimana orang yang bercita-cita atau

berkeinginan pindah dari kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial yang lain,

akan tetapi di tolak keduanya.

2.3. Masyarakat Marginal akibat dari Pertumbuhan di Perkotaan

Dikatakan Elly M. Setiadi & Usman Kolip (2011:856) Masyarakat

perkotaan adalah sekelompok orang yang hidup di dalam suatu wilayah yang

membentuk komunitas yang heterogen karena kebanyakan anggota-anggotanya

berasal dari berbagai daerah yang membentuk komunitas baru. Secara sosiologis

pengertian kota memberikan penekanan pada kesatuan masyarakat industri, bisnis,

dan wirausaha lainnya dalam struktur sosial yang kompleks. Berdasarkan

penjelasan diatas dapat di katakan bahwa masyarakat perkotaan identik dengan

kehidupan modern, lebih mudah menerima perubahan serta lebih mudah

menyerap dan menerima informasi, kehidupan kota secara fisik juga dapat

digambarkan dengan banyaknya gedung-gedung tinggi, kesibukan warga

(10)

Tidak mampunya daya dukung lingkungan perkotaan, industrialisasi yang

lebih berorientasi kepada kebutuhan ekonomi, dan urbanisme yang tidak

terkendali akan melahirkan berbagai masalah-masalah sosial berkaitan dengan

pertumbuhan suatu wilayah menjadi kota, antara lain:

1. Urbanisasi.

Perpindahan penduduk dari pedesaan menuju daerah perkotaan. Yang

menjadi masalah adalah warga dari daerah pedesaan yang ingin mengadu nasib di

perkotaan, namun hanya memiliki kemampuan keahlian yang terbatas atau

rendah, dan karena itu hidup sebagai pekerja kasar atau buruh dipabrik-pabrik

dengan upah yang relatif rendah. Para pekerja pendatang ini pada umumnya

laki-laki dan perempuan dengan rata-rata usia produktif atau orang-orang muda

bujangan atau bujangan lokal yang tinggal berdesakan di sekeliling tempat mereka

bekerja dengan cara menyewa atau kontrak kamar-kamar secara bergotong royong

untuk meringankan beban pembayaran sewa kontrak sesuai dengan gaji buruh

yang diterima dari pabrik. Oleh karena itu mereka hidup rata-rata pada

perkampungan yang kumuh dan berbagai keterbatasan atas air, sanitasi serta

fasilitas lainnya untuk pemukiman. Keberadaan perkampungan kumuh, disamping

akan menimbulkan masalah bagi lingkungan atas pemakaian air, tanah, sungai,

sanitasi, sampah dan tata ruang, juga akan memproduksi masalah-masalah sosial

dan kejahatan. Masalah lain dari urbanisasi adalah penambahan penduduk kota

(11)

2. Kemiskinan dan daerah kumuh atau liar.

Kemiskinan muncul dan semakin nampak mencolok keberadaannya di

daerah perkotaan karena kontras dengan kekayaan yang menjadi ciri dari

kehidupan perkotaan. Secara garis besar para penderita kemiskinan dikota adalah

mereka yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan keahlian

yang berguna dalam kegiatan industri dan perekonomian di perkotaan. Golongan

ini dapat berasal dari penduduk asli setempat dan para pendatang. Penduduk asli

setempat yang sudah tergolong miskin sebelum berkembangnya kota menjadi

pusat industri dan ekonomi pasar, hanya memiliki pendidikan rendah dan

pas-pasan, serta tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan sesuai dengan

perkembangan industri dan pasar. Kemampuan bertahan para penduduk asli

setempat untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya adalah dengan menjual tanah

warisan kepada para pendatang atau orang kaya, belum lagi untuk keperluan

ibadah keagamaan seperti naik haji, upacara lingkaran kehidupan seperti

mengawinkan anak atau untuk usaha keluarga berdagang atau jasa yang bercorak

tradisional, dan karena lemahnya kemampuan manajemen menyebabkan

bangkrutnya usaha dagang atau jasa tersebut. Belum lagi diantara mereka ada

yang terlilit hutang kepada kepada rentenir dengan menggunakan jaminan rumah

atau tanah mereka. Habisnya tanah warisan mengharuskan mereka tersingkir dari

pusat kota kepinggiran dan terlibat dalam lingkungan pemukiman kumuh.

3. Transportasi dan jaringan jalan.

Tidak ada satu kotapun di Indonesia yang tidak mengalami kemacetan lalu

(12)

disebabkan perencanaan perkotaan dan transportasi yang tidak akomodatif dan

antisipatif terhadap perkembangan perkotaan. Dampak negatif dari kemacetan dan

kesemarawutan transportasi serta tidak cukupnya jaringan jalan serta angkutan

umum adalah (1) kendaraan umum berisi penumpang yang padat, kondisi ini

mewujudkan terjadi berbagai kejahatan dan pelanggaran norma-norma kesopanan

dan susila, (2) kepadatan kendaraan umum menyebabkan kemacetan yang panjang

akibat antrian penumpang, berhenti disembarang tempat dan rusaknya jaringan

jalan, (3) kemacetan yang panjang juga menghabiskan energi dan merusak

perekonomian kota itu sendiri, (4) kurangnya angkutan umum layak yang

disediakan oleh pemerintah dan tingginya kebutuhan masyarakat atas angkutan

umum, menyebabkan warga menerima apa saja jenis angkutan umum yang

tersedia meskipun tidak layak jalan dan layak pandang lagi, dan (5) kurangnya

angkutan umum juga menyebabkan warga lebih memilih menggunakan kendaraan

pribadi, seperti sepeda motor yang dapat menyebabkan tingginya angka

kecelakaan lalulintas dan pencurian kendaraan bermotor, tingginya penggunaan

kendaraan roda empat pribadi yang semakin menambah beban sarana transportasi

dan kemacetan.

4. Penyerobotan tanah.

Tanah-tanah diperkotaan bukan lagi bernilai alamiah tetapi telah menjadi

komoditi dan bahkan menjadi aset atau kapital. Karena itu tidaklah mengherankan

bahwa kasus-kasus penyerobotan tanah-tanah milik negara, perusahaan atau

perorangan sering terjadi di kota. Para penyerobot dapat dibedakan atas para

(13)

orang lain karena kepentingan untuk bermukim bukan untuk dijadikan aset atau

kapital.

5. Stress serta frustrasi berkepanjangan.

Sebuah kota dengan berbagai permasalahannya dari aspek politik,

ekonomi, sosial, kebudayaan dan keamanan terwujud secara nyata dalam

kehidupan warganya seperti kepadatan hunian, kebisingan, kemacetan, jalan

rusak, masalah air, listrik, gas, sanitasi, MCK, banjir, polusi air-tanah dan udara,

naiknya harga sembako, pedagang kaki lima, penyerobotan tanah, penggusuran

pemukiman, sempitnya ruang publik, sulitnya mendapatkan minyak, kesulitan

mendapatkan sekolah, pekerjaan, pengangguran, kejahatan jalanan sampai dengan

kewajiban berbagai retribusi dan pajak dan masalah-masalah sengketa dalam

bisnis. Sementara itu dalam waktu yang bersamaan dan tempat yang

berdampingan, sebagian kelompok orang kaya dan pejabat pemerintahan dengan

mudah mendapatkan berbagai sarana dan kemewahan serta kekuasaan untuk

mengusai sumber-sumber ekonomi dan politik. Kesenjangan atau gap atas kondisi

ini yang mewujudkan potensi konflik komunal disatu sisi dan berbagai

permasalahan pribadi seperti stress, frustrasi dan masa bodoh disisi yang lain.

Kota umumnya dipandang sebagai tempat yang cocok untuk mencari

pekerjaan dan tempat untuk orang meraih sukses dan juga kota dianggap sebagai

pusat peradaban ilmu pengetahuan. Masyarakat perkotaan juga dianggap sebagai

masyarakat yang pintar, tidak mudah tertipu, cekatan dalam berfikir dan bertindak

namun anggapan itu tidak selamanya sesuai dengan kenyataan yang ada di

(14)

seperti hal diatas berbeda dengan keadaan yang terdapat dilapangan, masih

banyak kelompok masyarakat yang tinggal di diwilayah pemukiman kumuh,

bekerja pada sektor informal, mereka bermukim di sepanjang bantaran sungai, di

tepi jalan kereta api bahkan ada juga yang tinggal dikolom jembatan. Mereka

tentu saja merupakan sekelompok orang marginal yang tidak mampu mengakses

perubahan sosial budaya dan tidak berdaya menyerap arus modernisasi.

Kemunculan kapitalime juga mempengaruhi terjadinya marginalisasi terhadap

oarang-orang yang tidak memiliki skill atau keahlian, dikarenakan hanya

orang-orang yang memiliki skill saja yang dapat bekerja di sektor formal. Hal ini

menyebabka mereka menjadi terpinggirkan dan tiak diberi kesempatan untuk

melakukan mobilitas.

Masyarakat marginal yang hidup diperkotaan sarat dengan

masalah-masalah sosial yang terjadi akibat pesatnya pertumbuhan di perkotaan, masalah-masalah

sosial tersebut adalah :

1. Kejahatan

Menurut Justin (dalam Sahetapy, 1989: 98), kejahatan yang tumbuh subur

di dalam masyrakat marginal adalah kejahatan yang disertai oleh kekerasan fisik.

Kejahatan ini dipengaruhi oleh kemiskinan yang dialami anggota masyarakat

marginal. Faktor lain adalah perubahan sikap hidup yang dialami anggota

masyarakat marginal akibat perpindahan dari desa ke kota. Di daerah baru mereka

seperti kehilangan pegangan hidup karena tiadanya pegangan norma serta status

(15)

Dalam pandangan Arief Gosita (dalam Justin, 2005: 76), kejahatan

sebenarnya bukan hanya kriminalitas biasa, sebagaimana yang seringkali tumbuh

didalam masyarakat marginal. Kejahatan bisa pula mencakup bentuk-bentuk halus

yang biasa dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih (White collar crime). Jenis

kejahatan ini dilakukan oleh warga masyrakat yang tingkat pendidikan maupun

kehidupan ekonominya lebih baik dibandingkan warga masyarakat marginal.

2. Gelandangan

Munculnya gelandangan secara struktural dipengaruhi oleh sistem

ekonomi yang menimbulkan dampak berupa tersingkirnya sebagian kelompok

masyarakat dari sistem kehidupan ekonomi. Kaum gelandangan membentuk

sendiri sistem kehidupan baru yang kelihatanya berbeda dari sistem kehidupan

kapitalistis. Munculnya kaum gelandagan inni diakibatkan oleh pesatnya

perkembangan kota yang terjadi secara paralel dengan tingginya laju urbanisasi.

Pada umumnya kaum gelandangan tersebut mencari sumber kehidupan di jalanan,

baik sebagai pengumpul barang bekas (pemulung), pengemis, pelacuran,

pengamen maupun penyemir sepatu. (Justin, 2005: 79)

2.4. Masyarakat Kota dan Desa sebagai Kelompok Sosial

Masyarakat perkotaan sering disebut urban community

kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Ada beberap ciri yang

menonjol pada masyarakat kota yaitu :

1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan

(16)

2. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus

bergantung padaorang lain. Yang penting disini adalah manusia

perorangan atau individu.

3. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan

mempunyai batas-batas yang nyata.

4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih

banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa.

5. Interaksi yang terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor

kepentingan dari pada faktor pribadi.

6. Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat

mengejar kebutuhan individu.

7. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota

biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.

Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan

(rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut

Soekanto (2003), perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan

dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern,

betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan

masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat

gradual.

Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang

(17)

keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan, karena diantara

mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan

warganya akan bahan bahan pangan seperti beras sayur mayur , daging dan ikan.

Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi bagi jenis jenis pekerjaan

tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek proyek perumahan.

Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak.

Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman. Pada saat musim tanam

mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai

menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat

untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia. “Interface”, dapat diartikan

adanya kawasan perkotaan yang tumpang-tindih dengan kawasan perdesaan,

nampaknya persoalan tersebut sederhana, bukankah telah ada alat transportasi,

pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain

sebagainya, yang mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.

Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan

menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin

berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan. Secara teoristik, kota

merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa cara, seperti:

1. Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan

dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua

(18)

2. Invasi kota, pembangunan kota baru seperti misalnya Batam dan banyak

kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat

kedesaan lenyap atau hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan;

3. Penetrasi kota ke desa, masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke

desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi;

4. Ko-operasi kota-desa, pada umumnya berupa pengangkatan produk yang

bersifat kedesaan ke kota.

Dari keempat hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak

dan orang kota. Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah

berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan

dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota. (Soekanto, 2003:123 ).

Ferdinand Tonnies berpendapat bahwa masyarakat adalah karya ciptaan

manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh Tonnies dalam kata pembukaan

bukunya. Masyarakat bukan organisme yang dihasilkan oleh proses-proses

biologis. Juga bukan mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian individual yang

masing-masing berdiri sendiri, sedang mereka didorong oleh naluri-naluri spontan

yang bersifat menentukan bagi manusia. Masyarakat adalah usaha manusia untuk

memelihara relasi-relasi timbal balik yang mantap. Kemauan manusia mendasari

masyarakat, Ferdinand Tonnies dua tipe masyarakat. Pertama Gemeinschaft atau

paguyuban adalah bentuk hidup bersama yang lebih bersesuaian dengan

Triebwille. Kerjasama dan kebersamaan tidak diadakan untuk mencapai tujuan

diluar melainkan dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Orangnya merasa dekat

(19)

lebih penting daripada tujuan. Spontanitas diutamakan di atas undang-undang atau

keteraturan. Tonnies menyebut sebagai contoh keluarga, lingkungan tetangga,

sahabat-sahabat, serikat pertukangan dalam abad pertengahan, gereja, desa dll.

Para anggota disemangati dan dipersatukan dalam perilaku sosial mereka

oleh ikatan persaudaraan, simpati dan perasaan lainnya, sehingga mereka terlibat

secara psikis dalam suka duka hidup bersama. kita boleh mengatakan bahwa

mereka sehati dan sejiwa. Menurut pandangan Tonnies, prototipe semua

persekutuan hidup dinamakan “Gemeinschaft “ itu keluarga. Orang memasuki

jaringan relasi-relasi kekeluargaan karena lahir. Walaupun kemauan bebas dan

pertimbangan rasional dapat menentukan apakah orangnya akan tetap tinggal

dalam keluarganya atau tidak, namun relasi itu sendiri tidak tergantung

seluruhnya dari kemauan dan pertimbangan itu. Ketiga soko guru yang

menyokong Gemeinschaft ialah: darah, tempat tinggal atau tanah dan jiwa atau

rasa kekerabatan, ketetanggaan dan persahabatan. Ketiga unsur ini diliputi oleh

keluarga.

Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Gemeinschaft by Blood (ikatan darah) yaitu gemeinschaft yang

mendasar-kan diri pada ikatan darah atau keturunan. Contohnya: kekerabatan,

masyarakat-masyarakat daerah.

b. Gemeinschaft of Place (tempat), yaitu gemeinschaft yang mendasarkan

diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan

(20)

c. Gemeinschaft of Mind (jiwa-pikiran) yaitu gemeinschaft yang

mendasar-kan diri pada ideology atau pikiran yang sama. Contoh :rasa kekerabatan,

ketetanggaan dan persahabatan. (Soekanto, Soerjono, 2009: 116-120)

Gesellschaft atau patembayan itu tipe asosiasi dimana relasi-relasi

kebersamaan dan kebersatuan anatara orang berasal dari faktor-faktor lahiriah

seperti persetujuan, peraturan dan undang-undang. Tonnies mengatakan teori

Gesselshcaft berhubungan dengan penjumlahan atau kumpulan orang yang

dibentuk atas cara buatan. Kalau dilihat sepintas lalu saja, kumpulan itu mirip

dengan Gemeinschaft, yaitu sejauh para anggota individual hidup bersama dan

tinggal bersama secara damai. Tetapi dalam Gemeinschaft mereka pada dasarnya

terus bersatu sekalipun ada faktor-faktor yang memisahkan, sedang Gesellschaft

pada dasarnya mereka tetap berpisah satu dengan yang lain meskipun ada

Referensi

Dokumen terkait

(4) Keputusan Musyawarah Gugusdepan dan Musyawarah Gugusdepan Luar Biasa, tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka, Keputusan

Pengertian umum yang paling simpel untuk masyarakat awam ter-hadap musik non klasik adalah musik populer, dengan kelompok band sebagai bentuk ekspresinya, sehingga dalam buku

Amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , menyatakan bahwa Renja SKPD disusun sebagai penjabaran Rensta SKPD untuk jangka waktu 1 (satu)

Dengan berbagai aplikasi multimedia yang semakin inovatif, memberikan banyak kemudahan dan fleksibilitas terhadap pemakaian berbagai format file multimedia yang ada ataupun yang

Renja yang disusun merupakan alat kendali dan tolok ukur bagi manajemen Dinas Koperasi UMKM, Perindustrian, Perdagangan dan Pasar Kabupaten Pesisir Selatan dalam

Aplikasi latihan tes inteligensi ini dibuat untuk memberikan alternatif lain dalam menjalani tes psikologi secara lebih efektif dan efisien, yakni dengan menghemat penggunaan

Sejalan dengan Misi ke-tiga Pembangunan Kabupaten Pesisir Selatan 2011-2015 yakni Revitalisasi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik serta meningkatkan kapasitas

On behalf of Universitas Gadjah Mada, I am happy to welcome you and present a high appreciation for your participation in joining the 6th International Seminar on Tropical Animal