BAB II
PERJANJIAN KREDIT BANK
A. Pengertian dan Landasan Hukum 1. Pengertian Kredit
Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa Latin, credere, yang
berarti kepercayaan. Misalkan, seorang nasabah debitur yang memperoleh kredit
dari bank adalah tentu seseorang yang mendapat kepercayaan dari bank. Hal ini
menunjukakan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada
nasabah debitur adalah kepercayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran
pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu
yang diizinkan oleh bank atau badan lain. Dan di dalam Pasal 1 butir 11 UU No.
10 Tahun 1998 tentang Perbankan Indonesia dirumuskan bahwa pengertian kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.8
Bank sebagai kreditur dalam hubungan perkreditan dengan debitur
(nasabah atau penerima kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam
waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan
(membayar kembali) kredit yang bersangkutan. Dalam masyarakat umum sudah
8
tidak asing lagi dan bahkan dapat dikatakan populer (dan merakyat), sehingga
dalam bahasa sehari-hari sudah dicampurbaurkan begitu saja dengan istilah utang.
Undang-Undang Perbankan yang diubah menggunakan dua istilah yang
berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Kedua
istilah pembiayaan berdasarkan pada prinsip syariah. Penggunaan istilah tersebut
tergantung pada kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank, apakah bank dalam
menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah. Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional
menggunakan istilah kredit, sedangkan bank yang menjalankan usahanya
berdasarkan syariah menggunakan istilah pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah. Istilah kredit disebutkan pada Pasal 1 angka 11 dan istilah pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah disebutkan pada Pasal 1 angka 12 Undang-Undang
Perbankan yang diubah. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Sedangkan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil.9
9
Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang
sebagaimana tersebut diatas, suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan
sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:10
1. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan
uang tersebut dilakukan oleh bank. Bank adalah pihak penyedia dana dengan
menyetujui pemberian sejumlah dana yang kemudian disebut sebagai jumlah
kredit atau plafon kredit. Sementara tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang dalam praktik perbankan misalnya berupa pemberian
(penerbitan) garansi bank dan penyediaan fasilitas dana untuk pembukaan
letter of credit (LC).
2. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain
Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam merupakan dasar dari
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan
uang tersebut.Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam dibuat oleh
bank dengan pihak debitur yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit.
3. Adanya kewajiban melunasi utang
Pinjam-meminjam uang adalah suatu utang bagi peminjam. Peminjam wajib
melunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pemberian kredit oleh bank
kepada debitur adalah suatu pinjaman uang, dan debitur wajib melakukan
10
pembayaran pelunasan kredit sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah
disepakatinya, yang biasanya terdapat dalam ketentuan perjanjian kredit.
Dengan demikian, kredit perbankan bukan suatu bantuan dana bank yang
diberikan secara cuma-cuma. Kredit perbankan adalah suatu utang yang harus
dibayar kembali oleh debitur.
4. Adanya jangka waktu tertentu
Pemberian kredit terkait dengan suatu jangka waktu tertentu. Jangka waktu
tersebut ditetapkan pada perjanjian kredit yang dibuat bank dengan debitur.
Jangka waktu tersebut ditetapkan merupakan batas waktu kewajiban bank
untuk menyediakan dana pinjaman dan menunjukan kesempatan dilunasinya
kredit.
5. Adanya pemberian bunga kredit
Terhadap suatu kredit sebagai salah satu bentuk pinjaman uang ditetapkan
adanya pemberian bunga. Bank menetapkan suku bunga atas pinjaman uang
yang diberikannya. Suku bunga merupakan harga atas uang yang dipinjamkan
dan disetujui bank kepada debitur. Namun, sering pula disebut sebagai balas
jasa atas penggunaan uang bank oleh debitur. Sepanjang terhadap bunga kredit
yang ditetapkan dalam perjanjian kredit dilakukan pembayarannya oleh
debitur, akan merupakan salah satu sumber pendapatan yang utama bagi bank.
Kelima unsur yang terdapat dalam pengertian kredit sebagaimana yang
disebutkan diatas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat disebut
sebagai kredit di bidang perbankan.Walaupun istilah kredit banyak pula
istilah kredit dalam kegiatan perbankan selalu dikaitkan dengan pengertian yang
ditetapkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Pokok Perbankan Indonesia No.
10 Tahun 1998 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992.
2. Perjanjian Kredit Bank a. Pengertian dan Istilah
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling
berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu persetujuan yang dibuat oleh dua
pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu. Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat
riil. Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessornya.
Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti
riil ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh
bank kepada nasabah debitur. Perjanjian kredit sebagai salah satu jenis perjanjian,
tunduk kepada ketentuan hukum perikatan dalam hukum positif di Indonesia.
Pengaturan tentang perjanjian terdapat dalam ketentuan-ketentuan KUH Perdata,
Buku Ketiga tentang Perikatan, dan ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen sepanjang yang mengatur tentang larangan
pencantuman klausul baku dalam perjanjian. Dilihat dari bentuknya, perjanjian
kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard
contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya
mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa
tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada
kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar-menawar.11
Perjanjian pinjam-meminjam uang antara bank dengan debitur lazim disebut
perjanjian kredit, surat perjanjian kredit, akad kredit, dan sebutan lain yang
hampir sejenis. Perjanjian kredit yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku (antara lain memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata)
merupakan undang-undang bagi bank dan debitur. Ketentuan Pasal 1338 KUH
Perdata menetapkan suatu perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi
pihak yang berjanji.12
Perjanjian kredit yang di dalam praktek sering disebut akad kredit,
sebenarnya di dalam bidang hukum perdata disebut perjanjian pinjam-meminjam
atau hutang piutang, yaitu suatu perjanjian yang satu pihak (kreditur) berjanji
untuk menyediakan barang yang habis karena pemakaian, sedangkan pihak lain
(debitur) berjanji untuk mengembalikan barang tersebut dengan barang lain
dengan jenis, mutu, dan jumlah yang sama di lain waktu, baik disertai dengan
bunga atau tidak sesuai kesepakatan.13
b. Perjanjian Kredit Sebagai Hubungan Hukum
Di bidang dunia usaha atau perusahaan pasti terjadi hubungan hukum,
artinya suatu hubungan subyek hukum, yang akibat dari hubungan hukum itu
kebanyakan terjadi karena perjanjian. Perjanjian adalah suatu hubungan hukum
antara 2 (dua) pihak atau lebih, dimana para pihak dengan sengaja mengikatkan
diri atau saling mengikatkan diri, yang mana satu pihak mempunyai hak
(kreditur), sedangkan pihak lain mempunyai kewajiban (Pasal 1313 KUH Perdata).
Di dalam suatu perjanjian, masing-masing terdapat suatu kewajiban yang disebut
prestasi, yang isinya:
a. Memberi sesuatu (misal: uang, barang, dan sebagainya)
b. Berbuat sesuatu (misal: membuat bangunan, mengirim barang, mengangkut
orang, dan sebagainya)
c. Tidak berbuat sesuatu (misal: tidak menutup jalan, dan lain-lain).
Dilihat dari jenisnya, maka ada beberapa jenis perjanjian, yaitu:
1. Perjanjian timbal balik, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok
kepada kedua belah pihak. Contohnya: Perjanjian jual-beli, sewa-menyewa,
hutang-piutang.
2. Perjanjian sepihak, yaitu perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah
satu pihak saja, contohnya: hibah.
3. Perjanjian pokok dan tambahan (principale dan accessoir), contohnya
perjanjian kredit (sebagai perjanjian pokok) dan perjanjian jaminan atau
perjanjian hak tanggungan (sebagai perjanjian tambahan).
4. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil.
5. Perjanjian bersyarat dan ketentuan waktu.
6. Dilihat dari segi bentuknya: perjanjian tertulis (yang di Amerika disebut
Agar perjanjian mengikat para pihak, maka harus dibuat dengan
sah.Syarat-syarat sahnya perjanjian ditentukan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata,
yaitu:14
a. Sepakat para pihak;
b. Cakapnya para pihak yang membuat perjanjian;
c. Obyek yang diperjanjikan harus tertentu;
d. Hal yang diperjanjikan adalah halal.
ad.a. Sepakat, artinya terjadi kesesuaian kehendak antara para pihak. Kesesuaian
kehendak ini terjadi pada saat melakukan negosiasi penawaran (offer) telah
diterima (acceptance). Kesepakatan dianggap tidak terjadi, meskipun terjadi
penandatanganan kontrak apabila terjadi paksaan, penipuan, ataupun kekhilafan
dan kekeliruan. Jika kesepakatan ini tidak tercapai meskipun terjadi perjanjian,
maka status perjanjian yang demikian adalah dapat dibatalkan, artinya pihak
tertentu dapat mengajukan pembatalan. Jika pembatalan tidak dilakukan, maka
perjanjian tersebut berjalan terus.
ad.b. Cakap, maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian apabila
orang-perorangan sudah dewasa, sehat akal fikir, dan tidak di bawah perwalian
atau pengampunan. Apabila yang melakukan perjanjian adalah suatu badan
hukum atau organisasi, maka harus orang yang mempunyai kewenangan atau
kompeten untuk melakukan hubungan hukum dengan pihak lain. Apabila syarat
ini tidak terpenuhi, maka statusnya juga dapat dibatalkan.
14
ad.c. Obyek yang diperjanjikan adalah hal tertentu maksudnya isi perjanjian harus
jelas spesifikasinya, sehingga obyeknya mudah diidentifikasi keberadaannya. Jika
syarat ini tidak terpenuhi, maka status perjanjian adalah batal demi hukum, artinya
dari semula perjanjian dianggap tidak ada, sehingga tidak dapat dilaksanakan, dan
kalau terjadi ingkar janji, maka tidak dapat dituntut di pengadilan.
ad.d. Hal yang halal, artinya obyek yang diperjanjikan tidak dilarang oleh
peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum
dan kesusilaan. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka statusnya juga batal demi hukum.
Undang-undang menentukan, bahwa perjanjian/persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang (mengikat) bagi mereka yang
membuatnya. Artinya persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali atau
dibatalkan secara sepihak, kecuali ada kesepakatan kedua belah pihak atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, dan
persetujuan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Berkaitan dengan pemberian kredit oleh bank kepada debitur tentu pula
mengandung risiko usaha bagi bank. Risiko di sini adalah risiko kemungkinan
ketidakmampuan dari debitur untuk membayar angsuran atau melunasi kreditnya
disebabkan sesuatu hal tertentu yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu, semakin
lama jangka waktu atau tenggang waktu yang diberikan untuk pelunasan kredit,
maka makin besar pula risiko bagi bank. Setiap perjanjian tertentu mengandung
adanya prestasi dan kontraprestasi. Oleh karena itu, dalam perjanjian kredit sejak
saat adanya kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak (bank dan
kewajiban dari masing-masing pihak sesuai kesepakatan yang telah mereka
sepakati. Bank sebagai kreditur berkewajiban untuk memberikan kredit sesuai
jumlah yang disetujui, dan atas prestasinya itu bank berhak untuk memperoleh
pelunasan kredit dan bunga dari debitur sebagai kontraprestasi.
Perjanjian kredit ditinjau dari KUH Perdata dapat dikategorikan sebagai
perjanjian pinjam meminjam (Pasal 1754 sampai 1769 KUH Perdata). Namun, ada
pula yang berpendapat bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian tidak
bernama karena tidak ada kesamaan dengan jenis perjanjian dalam KUH Perdata.
Alasan atas pendapat ini adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian kredit bersifat konsensuil, yaitu perjanjian terjadi sejak adanya
kesepakatan, sedangkan perjanjian pinjam meminjam terjadi sejak
penyerahan.
b. Dalam perjanjian kredit penggunaan harus sesuai dengan tujuan yang
disepakati, sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam yang obyeknya
uang bebas dipergunakan uangnya.
c. Perjanjian kredit bisa dilakukan dengan penyerahan langsung, cek, maupun
pemindahbukuan, sedangkan pinjam meminjam adalah penyerahan langsung.
d. Dalam perjanjian kredit terdapat pengawasan kredit dimana hal ini tidak
terdapat dalam perjanjian pinjam meminjam.
Walaupun demikian beberapa sarjana tetap berpendapat bahwa bentuk
perjanjian kredit adalah perjanjian dengan syarat khusus, hal ini dapat terlihat dari
a. Dalam KUH Perdata terdapat ketentuan pinjam meminjam barang yang
dipergunakan pakai habis. Uang dapat dianalogikan sebagai barang pakai
habis, dan diperbolehkan adanya tambahan bunga.
b. Uang dalam ilmu ekonomi moneter dapat diperjualbelikan dan dipinjamkan
dalam transaksi pasar uang.
c. Untuk mengisi kekosongan hukum, sehingga pasal-pasal yang terkait dengan
bunga dan syarat-syarat pengembalian masih bisa diperlakukan bagi pinjam
meminjam uang dengan bank.
d. Masalah khusus dalam perjanjian kredit (seperti misalnya terkait dengan saat
terjadinya kesepakatan, tujuan dan lain-lain) bukan merupakan alasan yang
kuat untuk tidak memberlakukan KUH Perdata. Sehingga dapat masuk
sebagai perjanjian bersyarat.
e. Dalam Undang-Undang Perbankan Pasal 1 angka 11 dan 12 Undang-Undang
No. 10 tahun 1998, defenisi kredit adalah, “penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lainyang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga”, merupakan pinjam meminjam.
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok. Perjanjian kredit (akad kredit)
dipersiapkan oleh notaris yang ditunjuk oleh bank atau dipilih/ditentukan oleh calon
debitur (atas kesepakan bersama antara bank dan calon debiturnya). Bank akan
mengirim ahli hukumnya (lawyer atau legal officer) untuk mendampingi account
perjanjian kredit. Ketentuan-ketentuan tersebut diambil dari hasil analisa kredit
yang dituangkan dalam Surat Persetujuan Kredit (SPK) termasuk revisi atau
perubahan yang dipersyaratkan oleh komite kredit maupun direksi bank.
Secara umum, isi perjanjian kredit yang dibuat oleh Notaris berdasarkan
order Surat Persetujuan Kredit dari bank, sebagai berikut:15
1. Pihak pemberi kredit (bank);
2. Pihak penerima kredit (debitur);
3. Tujuan pemberian kredit, tergantung pada proyek atau bisnis debitur;
4. Besarnya nilai kredit yang diberikan;
5. Tingkat suku bunga kredit per tahun;
6. Biaya-biaya yang harus dibayar oleh debitur seperti: appraisal fee,
commitment fee, supervision fee, profisi kredit, biaya administrasi, biaya akta notaris dan lain-lain;
7. Jangka waktu pemberian kredit dan jatuh tempo fasilitas kredit;
8. Jadwal pembayaran angsuran pokok kredit dan bunga yang dikenakan dan
dinyatakan secara terperinci dalam bentuk lampiran jadwal angsuran kredit
secara bulanan;
9. Jaminan yang diberikan oleh debitur atas fasilitas kredit, meliputi jenis
jaminan, pemiliknya, jumlah dan nilainya serta cara pengikatannya secara
hukum yang dirinci dalam perjanjian kredit dan dituangkan dalam bentuk
perjanjian jaminan kredit yang dibuat terpisah dari perjanjian pokoknya
(hutang-piutang/pinjam-meminjam);
15
10.Syarat-syarat yang harus dipenuhi debitur sebelum kredit dicairkan;
11.Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi debitur selama kredit tersebut
berlangsung (belum lunas);
12.Menyampaikan laporan produksi, laporan penjualan laporan keuangan
(neraca, laba-rugi, dan arus kas), laporan hutang piutang debitur;
13.Kewajiban mengasuransikan seluruh aktiva (kekayaan yang telah dibiayai
oleh bank berikut asuransi atas jaminan fasilitas kredit);
14.Hak-hak yang dimiliki oleh bank sebelum kredit tersebut lunas, antara lain
memeriksa sewaktu-waktu fisik keadaan proyek yang dibiayai oleh bank,
memeriksa pembukuan dan laporan keuangan debitur.
3. Landasan Hukum
Dasar-dasar hukum perjanjian kredit bank sebagai berikut:16
1. Perjanjian di antara para pihak;
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi yang membuatnya. Maka dengan ketentuan pasal itu berlaku
16
sah setiap perjanjian yang dibuat secara sah bahkan kekuatannya
sama dengan kekuatan undang-undang. Demikian pula dalam
bidang perkreditan, khususnya kredit bank yang diawali oleh satu
perjanjian yang sering disebut dengan perjanjian kredit dan
umumnya dilakukan dalam bentuk tertulis.
2. Undang-undang sebagai dasar hukum
Di Indonesia undang-undang yang khusus mengatur tentang
Perbankan adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
3. Peraturan pelaksanaan sebagai dasar hukum
Peraturan perundang-undangan seperti ini cukup banyak. Hal ini
diakibatkan oleh karena suatu karakter yuridis dari bisnis
perbankan yakni bidang bisnis yang sarat dengan pengaturan dan
petunjuk pelaksanaan (heavy regulated bussiness). Di antara
peraturan perundangan yang levelnya di bawah undang-undang
yang mengatur juga tentang perkreditan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Peraturan Pemerintah;
b. Peraturan perundang-undangan oleh Menteri Keuangan;
c. Peraturan Perundang-undangan oleh Bank Indonesia;
d. Peraturan perundang-undangan lainnya.
Di samping peraturan perundang-undangan yang telah disepakati
sebagai dasar hukum untuk kegiatan perkreditan yurisprudensi dapat
juga menjadi dasar hukum.
5. Kebiasaan perbankan sebagai dasar hukum
Dalam Ilmu Hukum diajarkan bahwa kebiasaan dapat juga menjadi
suatu sumber hukum. Demikian juga dalam bidang perkreditan,
kebiasaan dan praktik perbankan dapat juga menjadi suatu dasar
hukumnya. Memang banyak hal yang telah lazim dilaksanakan
dalam praktek tetapi belum mendapat pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan. Hal seperti ini tentu sah-sah saja untuk
dilakukan oleh perbankan, asal saja tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut
Undang-Undang Pokok Perbankan Indonesia No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, bank bahkan dapat
melakukan kegiatan lain dari yang telah diperincikan oleh Pasal 6
nya, jika hal tersebut merupakan kelaziman dalam dunia perbankan
(vide Pasal 6 huruf n).
6. Peraturan terkait lainnya sebagai dasar hukum
Dalam pemberian kredit bank seringkali terkait dengan beberapa
peraturan perundang-undangan, sebagai contoh karena kredit pada
hakikatnya merupakan suatu wujud perjanjian, maka akan terkait
buku ketiga KUH Perdata tentang Perikatan. Demikian halnya
diatur dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, HIR tentang
eksekusi hipotik, KUH Acara Perdata dan lain-lain.UU No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Dalam Undang-Undang Perbankan tidak dicantumkan secara tegas apa dasar
hukum perjanjian kredit. Namun demikian dari pengertian kredit, dapat disimpulkan
bahwa dasar hukum perjanjian kredit adalah pinjam meminjam yang didasarkan
kepada kesepakatan antara bank dengan nasabah (kreditur dengan debitur).
Masalah pinjam-meminjam sendiri diatur dalam Buku III Bab ke tiga belas KUH
Perdata. Dalam Pasal 1754 KUH Perdata disebutkan, bahwa pinjam meminjam
ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang
lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian,
dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah
yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Selanjutnya dalam Pasal
1765 KUH Perdata disebutkan, bahwa diperbolehkan memperjanjikan, bunga atas
peminjaman uang atau barang lain yang menghabis karena pemakaian. Dari
pengertian ini, terlihat bahwa unsur pinjam-meminjam adalah:
a. Adanya persetujuan antara peminjam dengan yang memberi pinjaman.
b. Adanya suatu jumlah barang tertentu habis karena memberi pinjaman.
c. Pihak yang menerima pinjaman akan mengganti barang yang sama.
d. Peminjam wajib membayar bunga bila diperjanjikan.17
Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa landasan perkreditan
yang tercantum dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1967. Undang-Undang
17
Pokok Perbankan terdiri dari landasan idiil, landasan konstitusional, dan landasan
politis. Landasan idiil menurutnya adalah pembinaan sistem ekonomi terpimpin
yang berdasarkan pada Pancasila yang menjamin berlangsungnya Demokrasi
Ekonomi dan bertujuan menciptakan masyarakat adil dan dan makmur yang
diridhai oleh Tuhan Yang Maha Esa seperti yang tercantum dalam Pasal 5
Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966. Sedangkan landasan konstitusional
Undang-Undang Perbankan Tahun 1967 ialah Pasal 33 UUD RI Tahun 1945 yang
menurutnya mengandung ajaran Demokrasi Ekonomi. Landasan konstitusional
tersebut di atas dijabarkan dalam TAP MPRS RI Nomor XXIII/MPRS/1966
Pasal 6 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan, jo. Bab III B Pasal 14 ayat a TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1978
yang di dalamnya diuraikan tentang ciri-ciri positif Demokrasi Ekonomi. UU
Perbankan 1967 merupakan landasan politis yang seterusnya dituangkan dalam
TAP MPR No.IV/MPR/1973 dan TAP MPR RI No.IV/MPR/1978 tentang
GBHN, dan dilanjutkan pula dalam TAP-TAP MPR berikutnya. Selanjutnya
Mariam Darus Badrulzaman, menganalisis landasan hukum perkreditan berdasar
UU Pokok Perbankan 1967 dihubungkan dengan perjanjian pinjam mengganti yang
tercantum dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Dengan landasan yuridis yang telah
dipaparkan, beliau menyimpulkan bahwa perkreditan seperti yang tercantum
dalam UU Pokok Perbankan 1967 bukan ketentuan-ketentuan perjanjian pinjam
mengganti menurut KUH Perdata. Sampai saat ini pengaturan perjanjian kredit di
dalam pengaturan hukum masih bersifat sporadis. Inventarisasi aturan perjanjian
a. KUH Perdata Bab XIII, mengenai perjanjian pinjam meminjam uang.
b. UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 (UU Perbankan):
1) Pasal 1 ayat (12) tentang Perjanjian Kredit.
2) Perjanjian anjak piutang, yaitu perjanjian pembiayaan dalam bentuk
pembelian atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan-tagihan
jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau
luar negeri.
3) Perjanjian kartu kredit, yaitu perjanjian dagang dengan mempergunakan
kartu kredit yang kemudian diperhitungkan untuk melakukan pembayaran
melalui penerbit kartu kredit.
4) Perjanjian sewa guna usaha, yaitu perjanjian sewa menyewa barang yang
berakhir dengan opsi untuk meneruskan perjanjian itu atau melakukan
jual beli.
c. Perjanjian sewa beli, yaitu perjanjian yang pembayarannya dilakukan secara
angsuran dan hak milik atas barang itu beralih kepada pembeli setelah
angsurannya lunas dibayar (Keputusan Menteri Perdagangan No.
34/KP/II/80).
Indonesia yang menganut sistem Hukum Eropa Kontinental, kedudukan
undang-undang sebagai sumber hukum sangat penting. Oleh karena itu
berbicara tentang landasan hukum perkreditan, maka kita harus mengurutnya
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, TAP MPR, Undang-undang,
dan peraturan pelaksana lainnya.18
B. Sifat Perjanjian Kredit Bank
Jika menelaah bentuk-bentuk perjanjian baik dalam KUHD maupun dalam
KUH Perdata, maka tidak dapat ditemukan jenis perjanjian kredit bank beserta
pasal-pasal yang mengatur bentuk hubungan hukum perjanjian atau Lembaga
Perjanjian Kredit Bank. Oleh karena itu para pakar mengemukakan pendapatnya
mengenai sifat hukum, atau struktur hukum Perjanjian Kredit Bank.
Marhaenis Abdul Hay dalam bukunya Hukum Perdata, berpendapat bahwa perjanjian kredit mendekati pada pengertian perjanjian pinjam mengganti
yang diatur dalam KUH Perdata.Menurutnya bahwa perjanjian kredit identik
dengan perjanjian pinjam mengganti dalam Bab XIII KUH Perdata.19
Pendapat para pakar lain mengenai hal ini, yaitu:
1. Pendapat Winedsheid
Menurutnya perjanjian kredit adalah perjanjian dengan syarat tangguh
(condition prestart), yang pemenuhannya bergantung pada peminjam yakni kalau penerima kredit menerima dan mengambil pinjaman itu,
hal itu seperti yang diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata.
2. Goudekte
Perjanjian kredit yang di dalamnya terdapat perjanjian pinjam uang
adalah perjanjian yang bersifat konsensual (pactum decontranendo)
18
Dr. Neni Sri Imaniyati,S.H.,M.H., Op.Cit, hal. 139-141.
19
dan obligator. Perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat sesuai
dengan Pasal 1338 KUH Perdata.
3. Loseccat Vermeer
Mengatakan bahwa pertama-tama pihak membuka perjanjian di mana
pihak yang meminjamkan berkewajiban untuk menyerahkan uang dan
pihak peminjam berkewajiban untuk menerima uang. Pada saat itu
diserahkan maka perjanjian itu “beralih” dan perjanjian untuk meminjamkan uang menjadi perjanjian uang.
4. Asser Kleyn
Perjanjian pinjam uang selalu didahului oleh perjanjian pendahuluan
(voorovereen-komst), misalnya perjanjian kredit. Perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari perjanjian pinjam uang.
Dari beberapa pendapat para pakar tersebut, Mariam Darus Badrulzaman
mengelompokkan menjadi dua kelompok:
1. Ajaran yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian pinjam
uang itu merupakan “satu” perjanjian, sifatnya konsensual.
2. Ajaran yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian pinjam
uang merupakan “dua” buah perjanjian yang masing-masing bersifat
konsensual dan riil.
Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan pemikirannya,
(voorovereenkomst) dari perjanjian penyerahan uang.Perjanjian pendahuluan ini
merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima kredit.20
Munir Fuady mengemukakan bahwa sifat perjanjian kredit bukanlah perjanjian pinjam pakai habis yang tunduk pada Pasal 1754 KUH Perdata
melainkan merupakan kelompok perjanjian umum (tidak bernama) yang tuduk
pada ketentuan-ketentuan umum tentang perjanjian ditambah dengan ketentuan
dalam pasal-pasal kontrak dan kebiasaan dalam praktik yurisprudensi.
Herlina mengemukakan bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian
konsensual, sedangkan pengakuan utang merupakan perjanjian riil.21
Dapat dikemukakan bahwa perjanjian kredit bank merupakan perjanjian
pendahuluan dari perjanjian peminjaman uang yang mempunyai sifat konsensual.
Sifat perjanjian konsensual ini menimbulkan konsekuensi hubungan hukum antara
bank dengan nasabah debitur dan apabila terjadi sengketa antar bank dengan
nasabah, dapat dijadikan dasar lembaga hukum apa yang akan dipakai sebagai
dasar untuk menyelesaikannya.22
Sifat Kredit Dikaitkan dengan Cara Penarikan Kredit
Terdapat berbagai macam sifat kredit yang biasanya dikaitkan dengan cara
penarikan kredit. Secara garis besar terdapat dua cara penarikan, yaitu secara
aflopend dan dengan cara revolving. Akan tetapi, dalam perkembangannya pola tersebut menjadi berbagai variasi, misalnya penarikannya secara transaksional,
revolving per bacht, revolving plafond, dan lain-lain. Sedangkan jenis kredit
biasanya dikaitkan dengan tujuan penggunaan kredit. Secara garis besar,
penggunaan fasilitas kredit untuk modal kerja (kredit modal kerja) dan untuk
investasi (kredit investasi) serta kredit untuk pembelian barang-barang konsumtif
dan atau kegiatan seremonial yang dikenal dengan kredit konsumtif. Di samping
itu, terdapat pembagian jenis kredit lainnya, seperti cash loan dan non cash loan.
Kredit modal kerja dapat juga digunakan untuk fasilitas pembiayaan modal kerja
untuk barang yang akan diekspor dan pembelian barang-barang untuk persediaan,
yang mungkin barang tersebut dibeli dari luar negeri (impor).23
C. Ketentuan dan Persyaratan Umum Kredit
Mengenai ketentuan dan persyaratan umum dalam pemberian kredit oleh
perbankan terdiri dari 9 (sembilan) persyaratan sebagai berikut:24
1. Mempunyai feasibility study, yang dalam penyusunannya melibatkan
konsultan yang terkait.
2. Mempunyai dokumen administrasi dan izin-izin usaha, misalnya akta
perusahaan, NPWP, SIUP, dan lain-lain.
3. Maksimum jangka waktu kredit adalah 15 tahun dan masa tenggang
waktu (grace period) maksimum 4 tahun.
4. Agunan utama adalah usaha yang dibiayai. Debitur menyerahkan
agunan tambahan jika menurut penilaian bank diperlukan. Dalam hal
ini akan melibatkan pejabat penilai (appraiser) independen untuk
menentukan nilai agunan.
23
Try Widiono, S.H., M.H., Sp.N.,Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankandi Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, hal. 264.
24
5. Maksimum pembiayaan bank adalah 65% (enam puluh lima persen)
dan self financing adalah sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
6. Penarikan atau pencairan kredit biasanya didasarkan atas dasar prestasi
proyek. Dalam hal ini biasanya melibatkan konsultan pengawas
independen untuk menentukan progres proyek.
7. Pencairan biasanya dipindahbukukan ke rekening giro.
8. Rencana angsuran ditetapkan atas dasar cash flow yang disusun
berdasarkan analisis dalam feasibility study.
9. Pelunasan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
Di dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan dijelaskan, bahwa UU
Perbankan memberikan ketentuan-ketentuan pokok terhadap bank yang memberikan
kredit kepada para nasabahnya. Ketentuan-ketentuan pokok ini merupakan pedoman
perkreditan yang wajib dimiliki dan diterapkan oleh bank dalam pemberian kredit,
yaitu:25
1. Pemberian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.
2. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian seksama
terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha
nasabah debitur.
3. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian
kredit.
25
4. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai
prosedur dan persyaratan kredit.
5. Larangan bank untuk memberikan kredit dengan persyaratan yang
berbeda kepada nasabah debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi.
6. Penyelesaian sengketa.
Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan pokok tersebut tidak hanya memberikan
pedoman atau landasan bagi bank sebagai kreditur untuk menerapkan prinsip
kehati-hatian, melainkan juga dapat digunakan sebagai pegangan bagi para
nasabah debitur dalam memperoleh fasilitas kredit dari bank.
D. Prinsip-prinsip Pemberian Kredit Bank
Pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya menurut UU Pokok
Perbankan Indonesia Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998, berawal dari pelaksanaan pembangunan ekonomi yang
berasaskan kekeluargaan harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan dan
keseimbangan.Unsur-unsur pemerataan pembangunan ke arah peningkatan taraf
hidup. Secara tanggap perbankan dituntut untuk menjalankan fungsi dan tanggung
jawabnya kepada masyarakat. Atas hal-hal tersebut diatas, maka di dalam
memberikan kredit, bank dituntut dan wajib mempunyai keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan
yang diperjanjikan (Pasal 8 UU Perbankan 1992).26
Dalam menjalankan penyaluran dana maupun dalam kegiatan usaha
lainnya maka bank harus bertindak dengan prinsip kehati-hatian. Sebagaimana
26
diwajibkan dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, memuat
ketentuan bahwa Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dapat menetapkan
peraturan Batasan Maksimum Pemberian Kredit/BPMK (legal lending limit),
yang dapat dilakukan oleh bank. Pelaksanaan ketentuan pembatasan kredit ini
wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan dari Bank Indonesia. Mengingat
pelaksanaan pembatasan ini pun tidaklah dapat dilakukan segera setelah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tersebut berlaku, karenanya ada
ketentuan peralihan, bahwa pelaksanaannya dapat dilakukan secara bertahap
selama lima tahun (Pasal 56 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan). Kebijakan ini bertujuan agar tidak menimbulkan kesulitan yang berat
bagi perbankan dalam memenuhi ketentuan dimaksud, mengingat pada saat itu
masih banyak bank yang memberikan kredit melebihi ketentuan batas maksimum
yang sesuai dengan ketentuan yang diminta oleh Pasal 11 tersebut. Pengertian
BMPK, yaitu suatu persentase perbandingan batas maksimum penyediaan dana
yang diperkenankan terhadap modal bank. Dalam kerangka penyediaan dana ini
maka ada beberapa yang dikecualikan diantaranya yaitu: penanaman dana pada
SBI dan surat hutang yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia; bagian
penyediaan dana uang dijamin dengan agunan tunai berupa giro, deposito,
tabungan, setoran jaminan yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan;
penempatan sepanjang program penjaminan pemerintah masih berlaku dan bank
Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/177/KEP/DIRtentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, tanggal 31
Desember 1998, maka BMPK dikelompokkan sebagai berikut:
a. BMPK untuk pihak tidak terkait ditetapkan setinggi-tingginya 30% (tiga puluh
persen) dari modal bank tersebut berlaku sampai dengan akhir tahun 2001 dan
terus dikurangi setiap tahun 5% (lima persen) dan pada awal tahun 2003 harus
tinggal 20% (dua puluh persen) dari modal bank.
b. BMPK untuk pihak terkait ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10% (sepuluh
persen) dari modal.
Ketentuan BMPK tersebut di atas, pelanggarannya dapat dikenakan sanksi
denda serta berakibat kepada penilaian kesehatan bank yang bersangkutan. Dalam
penilaian kesehatan bank sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tata Cara
Penilaian Tingkat Kesehatan, ditentukan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
BMPK dihitung berdasarkan jumlah kumulatif pelanggaran BMPK kepada debitur
individual, debitur kelompok dan pihak terkait dengan bank, terhadap modal bank
yang bersangkutan.
Selain pembatasan tersebut di atas, bank dalam pemberian kredit juga
diatur mengenai administrasinya, misalnya bahwa:
a. Bank tidak diperkenankan mempertimbangkan permohonan kredit yang tidak
memenuhi persyaratan kewajiban penyampaian NPWP dan Laporan
Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang
Penyampaian NPWP dan Laporan Keuangan Dalam Permohonan Kredit;
b. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan
modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham sebagaimana ditetapkan
dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/70/KEP/DIR
tanggal 28 Februari 1991 tentang Pembatasan Pemberian Kredit untuk
Pembelian Saham dan Pemilikan Saham Oleh Bank;
c. Bank perlu membatasi pemberian untuk pengadaan dan atau pengolahan tanah
sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 30/46/KEP/DIR tanggal 7 Juli 1997 tentang Pembatasan Pemberian
Kredit Untuk Pembiayaan Pengadaan dan Atau Pengolahan Tanah;
d. dan pembatasan lainnya.
Pembatasan seperti tersebut di atas merupakan upaya dalam rangka sikap
berhati-hati dan penuh perhitungan yang matang dalam melakukan kegiatan
perkreditan. Hal tersebut diperlukan karena pemberian kredit mengandung risiko,
dengan demikian dunia perbankan terhindarkan dari laju pertumbuhan pinjaman
perbankan yang berlebihan sehingga terjaga kestabilan moneter dan kesehatan
perbankan itu sendiri.27
Pada dasarnya pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur
berpedoman kepada 2 prinsip, yaitu:
a. Prinsip Kepercayaan
27
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian kredit oleh bank kepada
nasabah debitur selalu didasarkan kepada kepercayaan. Bank mempunyai
kepercayaan bahwa kredit yang diberikannya bermanfaat bagi nasabah debitur
sesuai dengan peruntukkannya, dan terutama sekali bank percaya nasabah
debitur yang bersangkutan mampu melunasi utang kredit beserta bunga dalam
jangka waktu yang telah ditentukan.
b. Prinsip kehati-hatian (prudential principle)
Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk pemberian kredit
kepada nasabah kreditur harus selalu berpedoman dan menerapkan prinsip
kehati-hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan dalam bentuk penerapan
secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua persyaratan dan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberian kredit oleh
bank yang bersangkutan.28
28