• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian dan Landasan Hukum 1. Pengertian Kredit - Aspek Hukum yang Harus Dipenuhi dalam Perjanjian Kredit Bank dengan Jaminan Hak Tanggungan Studi pada Bank Danamon Simpan Pinjam Unit Petisah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian dan Landasan Hukum 1. Pengertian Kredit - Aspek Hukum yang Harus Dipenuhi dalam Perjanjian Kredit Bank dengan Jaminan Hak Tanggungan Studi pada Bank Danamon Simpan Pinjam Unit Petisah)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERJANJIAN KREDIT BANK

A. Pengertian dan Landasan Hukum 1. Pengertian Kredit

Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa Latin, credere, yang

berarti kepercayaan. Misalkan, seorang nasabah debitur yang memperoleh kredit

dari bank adalah tentu seseorang yang mendapat kepercayaan dari bank. Hal ini

menunjukakan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada

nasabah debitur adalah kepercayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran

pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu

yang diizinkan oleh bank atau badan lain. Dan di dalam Pasal 1 butir 11 UU No.

10 Tahun 1998 tentang Perbankan Indonesia dirumuskan bahwa pengertian kredit

adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan

pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah

jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.8

Bank sebagai kreditur dalam hubungan perkreditan dengan debitur

(nasabah atau penerima kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam

waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan

(membayar kembali) kredit yang bersangkutan. Dalam masyarakat umum sudah

8

(2)

tidak asing lagi dan bahkan dapat dikatakan populer (dan merakyat), sehingga

dalam bahasa sehari-hari sudah dicampurbaurkan begitu saja dengan istilah utang.

Undang-Undang Perbankan yang diubah menggunakan dua istilah yang

berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Kedua

istilah pembiayaan berdasarkan pada prinsip syariah. Penggunaan istilah tersebut

tergantung pada kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank, apakah bank dalam

menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip

syariah. Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional

menggunakan istilah kredit, sedangkan bank yang menjalankan usahanya

berdasarkan syariah menggunakan istilah pembiayaan berdasarkan prinsip

syariah. Istilah kredit disebutkan pada Pasal 1 angka 11 dan istilah pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah disebutkan pada Pasal 1 angka 12 Undang-Undang

Perbankan yang diubah. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Sedangkan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai

untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu

dengan imbalan atau bagi hasil.9

9

(3)

Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang

sebagaimana tersebut diatas, suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan

sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:10

1. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

penyediaan uang

Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan

uang tersebut dilakukan oleh bank. Bank adalah pihak penyedia dana dengan

menyetujui pemberian sejumlah dana yang kemudian disebut sebagai jumlah

kredit atau plafon kredit. Sementara tagihan yang dapat dipersamakan dengan

penyediaan uang dalam praktik perbankan misalnya berupa pemberian

(penerbitan) garansi bank dan penyediaan fasilitas dana untuk pembukaan

letter of credit (LC).

2. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan

pihak lain

Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam merupakan dasar dari

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan

uang tersebut.Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam dibuat oleh

bank dengan pihak debitur yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit.

3. Adanya kewajiban melunasi utang

Pinjam-meminjam uang adalah suatu utang bagi peminjam. Peminjam wajib

melunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pemberian kredit oleh bank

kepada debitur adalah suatu pinjaman uang, dan debitur wajib melakukan

10

(4)

pembayaran pelunasan kredit sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah

disepakatinya, yang biasanya terdapat dalam ketentuan perjanjian kredit.

Dengan demikian, kredit perbankan bukan suatu bantuan dana bank yang

diberikan secara cuma-cuma. Kredit perbankan adalah suatu utang yang harus

dibayar kembali oleh debitur.

4. Adanya jangka waktu tertentu

Pemberian kredit terkait dengan suatu jangka waktu tertentu. Jangka waktu

tersebut ditetapkan pada perjanjian kredit yang dibuat bank dengan debitur.

Jangka waktu tersebut ditetapkan merupakan batas waktu kewajiban bank

untuk menyediakan dana pinjaman dan menunjukan kesempatan dilunasinya

kredit.

5. Adanya pemberian bunga kredit

Terhadap suatu kredit sebagai salah satu bentuk pinjaman uang ditetapkan

adanya pemberian bunga. Bank menetapkan suku bunga atas pinjaman uang

yang diberikannya. Suku bunga merupakan harga atas uang yang dipinjamkan

dan disetujui bank kepada debitur. Namun, sering pula disebut sebagai balas

jasa atas penggunaan uang bank oleh debitur. Sepanjang terhadap bunga kredit

yang ditetapkan dalam perjanjian kredit dilakukan pembayarannya oleh

debitur, akan merupakan salah satu sumber pendapatan yang utama bagi bank.

Kelima unsur yang terdapat dalam pengertian kredit sebagaimana yang

disebutkan diatas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat disebut

sebagai kredit di bidang perbankan.Walaupun istilah kredit banyak pula

(5)

istilah kredit dalam kegiatan perbankan selalu dikaitkan dengan pengertian yang

ditetapkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Pokok Perbankan Indonesia No.

10 Tahun 1998 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992.

2. Perjanjian Kredit Bank a. Pengertian dan Istilah

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling

berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu persetujuan yang dibuat oleh dua

pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam

persetujuan itu. Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat

riil. Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessornya.

Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti

riil ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh

bank kepada nasabah debitur. Perjanjian kredit sebagai salah satu jenis perjanjian,

tunduk kepada ketentuan hukum perikatan dalam hukum positif di Indonesia.

Pengaturan tentang perjanjian terdapat dalam ketentuan-ketentuan KUH Perdata,

Buku Ketiga tentang Perikatan, dan ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen sepanjang yang mengatur tentang larangan

pencantuman klausul baku dalam perjanjian. Dilihat dari bentuknya, perjanjian

kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard

contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya

mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa

(6)

tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada

kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar-menawar.11

Perjanjian pinjam-meminjam uang antara bank dengan debitur lazim disebut

perjanjian kredit, surat perjanjian kredit, akad kredit, dan sebutan lain yang

hampir sejenis. Perjanjian kredit yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan

hukum yang berlaku (antara lain memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata)

merupakan undang-undang bagi bank dan debitur. Ketentuan Pasal 1338 KUH

Perdata menetapkan suatu perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi

pihak yang berjanji.12

Perjanjian kredit yang di dalam praktek sering disebut akad kredit,

sebenarnya di dalam bidang hukum perdata disebut perjanjian pinjam-meminjam

atau hutang piutang, yaitu suatu perjanjian yang satu pihak (kreditur) berjanji

untuk menyediakan barang yang habis karena pemakaian, sedangkan pihak lain

(debitur) berjanji untuk mengembalikan barang tersebut dengan barang lain

dengan jenis, mutu, dan jumlah yang sama di lain waktu, baik disertai dengan

bunga atau tidak sesuai kesepakatan.13

b. Perjanjian Kredit Sebagai Hubungan Hukum

Di bidang dunia usaha atau perusahaan pasti terjadi hubungan hukum,

artinya suatu hubungan subyek hukum, yang akibat dari hubungan hukum itu

kebanyakan terjadi karena perjanjian. Perjanjian adalah suatu hubungan hukum

antara 2 (dua) pihak atau lebih, dimana para pihak dengan sengaja mengikatkan

(7)

diri atau saling mengikatkan diri, yang mana satu pihak mempunyai hak

(kreditur), sedangkan pihak lain mempunyai kewajiban (Pasal 1313 KUH Perdata).

Di dalam suatu perjanjian, masing-masing terdapat suatu kewajiban yang disebut

prestasi, yang isinya:

a. Memberi sesuatu (misal: uang, barang, dan sebagainya)

b. Berbuat sesuatu (misal: membuat bangunan, mengirim barang, mengangkut

orang, dan sebagainya)

c. Tidak berbuat sesuatu (misal: tidak menutup jalan, dan lain-lain).

Dilihat dari jenisnya, maka ada beberapa jenis perjanjian, yaitu:

1. Perjanjian timbal balik, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok

kepada kedua belah pihak. Contohnya: Perjanjian jual-beli, sewa-menyewa,

hutang-piutang.

2. Perjanjian sepihak, yaitu perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah

satu pihak saja, contohnya: hibah.

3. Perjanjian pokok dan tambahan (principale dan accessoir), contohnya

perjanjian kredit (sebagai perjanjian pokok) dan perjanjian jaminan atau

perjanjian hak tanggungan (sebagai perjanjian tambahan).

4. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil.

5. Perjanjian bersyarat dan ketentuan waktu.

6. Dilihat dari segi bentuknya: perjanjian tertulis (yang di Amerika disebut

(8)

Agar perjanjian mengikat para pihak, maka harus dibuat dengan

sah.Syarat-syarat sahnya perjanjian ditentukan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata,

yaitu:14

a. Sepakat para pihak;

b. Cakapnya para pihak yang membuat perjanjian;

c. Obyek yang diperjanjikan harus tertentu;

d. Hal yang diperjanjikan adalah halal.

ad.a. Sepakat, artinya terjadi kesesuaian kehendak antara para pihak. Kesesuaian

kehendak ini terjadi pada saat melakukan negosiasi penawaran (offer) telah

diterima (acceptance). Kesepakatan dianggap tidak terjadi, meskipun terjadi

penandatanganan kontrak apabila terjadi paksaan, penipuan, ataupun kekhilafan

dan kekeliruan. Jika kesepakatan ini tidak tercapai meskipun terjadi perjanjian,

maka status perjanjian yang demikian adalah dapat dibatalkan, artinya pihak

tertentu dapat mengajukan pembatalan. Jika pembatalan tidak dilakukan, maka

perjanjian tersebut berjalan terus.

ad.b. Cakap, maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian apabila

orang-perorangan sudah dewasa, sehat akal fikir, dan tidak di bawah perwalian

atau pengampunan. Apabila yang melakukan perjanjian adalah suatu badan

hukum atau organisasi, maka harus orang yang mempunyai kewenangan atau

kompeten untuk melakukan hubungan hukum dengan pihak lain. Apabila syarat

ini tidak terpenuhi, maka statusnya juga dapat dibatalkan.

14

(9)

ad.c. Obyek yang diperjanjikan adalah hal tertentu maksudnya isi perjanjian harus

jelas spesifikasinya, sehingga obyeknya mudah diidentifikasi keberadaannya. Jika

syarat ini tidak terpenuhi, maka status perjanjian adalah batal demi hukum, artinya

dari semula perjanjian dianggap tidak ada, sehingga tidak dapat dilaksanakan, dan

kalau terjadi ingkar janji, maka tidak dapat dituntut di pengadilan.

ad.d. Hal yang halal, artinya obyek yang diperjanjikan tidak dilarang oleh

peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum

dan kesusilaan. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka statusnya juga batal demi hukum.

Undang-undang menentukan, bahwa perjanjian/persetujuan yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang (mengikat) bagi mereka yang

membuatnya. Artinya persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali atau

dibatalkan secara sepihak, kecuali ada kesepakatan kedua belah pihak atau karena

alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, dan

persetujuan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Berkaitan dengan pemberian kredit oleh bank kepada debitur tentu pula

mengandung risiko usaha bagi bank. Risiko di sini adalah risiko kemungkinan

ketidakmampuan dari debitur untuk membayar angsuran atau melunasi kreditnya

disebabkan sesuatu hal tertentu yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu, semakin

lama jangka waktu atau tenggang waktu yang diberikan untuk pelunasan kredit,

maka makin besar pula risiko bagi bank. Setiap perjanjian tertentu mengandung

adanya prestasi dan kontraprestasi. Oleh karena itu, dalam perjanjian kredit sejak

saat adanya kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak (bank dan

(10)

kewajiban dari masing-masing pihak sesuai kesepakatan yang telah mereka

sepakati. Bank sebagai kreditur berkewajiban untuk memberikan kredit sesuai

jumlah yang disetujui, dan atas prestasinya itu bank berhak untuk memperoleh

pelunasan kredit dan bunga dari debitur sebagai kontraprestasi.

Perjanjian kredit ditinjau dari KUH Perdata dapat dikategorikan sebagai

perjanjian pinjam meminjam (Pasal 1754 sampai 1769 KUH Perdata). Namun, ada

pula yang berpendapat bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian tidak

bernama karena tidak ada kesamaan dengan jenis perjanjian dalam KUH Perdata.

Alasan atas pendapat ini adalah sebagai berikut:

a. Perjanjian kredit bersifat konsensuil, yaitu perjanjian terjadi sejak adanya

kesepakatan, sedangkan perjanjian pinjam meminjam terjadi sejak

penyerahan.

b. Dalam perjanjian kredit penggunaan harus sesuai dengan tujuan yang

disepakati, sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam yang obyeknya

uang bebas dipergunakan uangnya.

c. Perjanjian kredit bisa dilakukan dengan penyerahan langsung, cek, maupun

pemindahbukuan, sedangkan pinjam meminjam adalah penyerahan langsung.

d. Dalam perjanjian kredit terdapat pengawasan kredit dimana hal ini tidak

terdapat dalam perjanjian pinjam meminjam.

Walaupun demikian beberapa sarjana tetap berpendapat bahwa bentuk

perjanjian kredit adalah perjanjian dengan syarat khusus, hal ini dapat terlihat dari

(11)

a. Dalam KUH Perdata terdapat ketentuan pinjam meminjam barang yang

dipergunakan pakai habis. Uang dapat dianalogikan sebagai barang pakai

habis, dan diperbolehkan adanya tambahan bunga.

b. Uang dalam ilmu ekonomi moneter dapat diperjualbelikan dan dipinjamkan

dalam transaksi pasar uang.

c. Untuk mengisi kekosongan hukum, sehingga pasal-pasal yang terkait dengan

bunga dan syarat-syarat pengembalian masih bisa diperlakukan bagi pinjam

meminjam uang dengan bank.

d. Masalah khusus dalam perjanjian kredit (seperti misalnya terkait dengan saat

terjadinya kesepakatan, tujuan dan lain-lain) bukan merupakan alasan yang

kuat untuk tidak memberlakukan KUH Perdata. Sehingga dapat masuk

sebagai perjanjian bersyarat.

e. Dalam Undang-Undang Perbankan Pasal 1 angka 11 dan 12 Undang-Undang

No. 10 tahun 1998, defenisi kredit adalah, “penyediaan uang atau tagihan yang

dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lainyang mewajibkan pihak

peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan

pemberian bunga”, merupakan pinjam meminjam.

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok. Perjanjian kredit (akad kredit)

dipersiapkan oleh notaris yang ditunjuk oleh bank atau dipilih/ditentukan oleh calon

debitur (atas kesepakan bersama antara bank dan calon debiturnya). Bank akan

mengirim ahli hukumnya (lawyer atau legal officer) untuk mendampingi account

(12)

perjanjian kredit. Ketentuan-ketentuan tersebut diambil dari hasil analisa kredit

yang dituangkan dalam Surat Persetujuan Kredit (SPK) termasuk revisi atau

perubahan yang dipersyaratkan oleh komite kredit maupun direksi bank.

Secara umum, isi perjanjian kredit yang dibuat oleh Notaris berdasarkan

order Surat Persetujuan Kredit dari bank, sebagai berikut:15

1. Pihak pemberi kredit (bank);

2. Pihak penerima kredit (debitur);

3. Tujuan pemberian kredit, tergantung pada proyek atau bisnis debitur;

4. Besarnya nilai kredit yang diberikan;

5. Tingkat suku bunga kredit per tahun;

6. Biaya-biaya yang harus dibayar oleh debitur seperti: appraisal fee,

commitment fee, supervision fee, profisi kredit, biaya administrasi, biaya akta notaris dan lain-lain;

7. Jangka waktu pemberian kredit dan jatuh tempo fasilitas kredit;

8. Jadwal pembayaran angsuran pokok kredit dan bunga yang dikenakan dan

dinyatakan secara terperinci dalam bentuk lampiran jadwal angsuran kredit

secara bulanan;

9. Jaminan yang diberikan oleh debitur atas fasilitas kredit, meliputi jenis

jaminan, pemiliknya, jumlah dan nilainya serta cara pengikatannya secara

hukum yang dirinci dalam perjanjian kredit dan dituangkan dalam bentuk

perjanjian jaminan kredit yang dibuat terpisah dari perjanjian pokoknya

(hutang-piutang/pinjam-meminjam);

15

(13)

10.Syarat-syarat yang harus dipenuhi debitur sebelum kredit dicairkan;

11.Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi debitur selama kredit tersebut

berlangsung (belum lunas);

12.Menyampaikan laporan produksi, laporan penjualan laporan keuangan

(neraca, laba-rugi, dan arus kas), laporan hutang piutang debitur;

13.Kewajiban mengasuransikan seluruh aktiva (kekayaan yang telah dibiayai

oleh bank berikut asuransi atas jaminan fasilitas kredit);

14.Hak-hak yang dimiliki oleh bank sebelum kredit tersebut lunas, antara lain

memeriksa sewaktu-waktu fisik keadaan proyek yang dibiayai oleh bank,

memeriksa pembukuan dan laporan keuangan debitur.

3. Landasan Hukum

Dasar-dasar hukum perjanjian kredit bank sebagai berikut:16

1. Perjanjian di antara para pihak;

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi yang membuatnya. Maka dengan ketentuan pasal itu berlaku

16

(14)

sah setiap perjanjian yang dibuat secara sah bahkan kekuatannya

sama dengan kekuatan undang-undang. Demikian pula dalam

bidang perkreditan, khususnya kredit bank yang diawali oleh satu

perjanjian yang sering disebut dengan perjanjian kredit dan

umumnya dilakukan dalam bentuk tertulis.

2. Undang-undang sebagai dasar hukum

Di Indonesia undang-undang yang khusus mengatur tentang

Perbankan adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan.

3. Peraturan pelaksanaan sebagai dasar hukum

Peraturan perundang-undangan seperti ini cukup banyak. Hal ini

diakibatkan oleh karena suatu karakter yuridis dari bisnis

perbankan yakni bidang bisnis yang sarat dengan pengaturan dan

petunjuk pelaksanaan (heavy regulated bussiness). Di antara

peraturan perundangan yang levelnya di bawah undang-undang

yang mengatur juga tentang perkreditan dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

a. Peraturan Pemerintah;

b. Peraturan perundang-undangan oleh Menteri Keuangan;

c. Peraturan Perundang-undangan oleh Bank Indonesia;

d. Peraturan perundang-undangan lainnya.

(15)

Di samping peraturan perundang-undangan yang telah disepakati

sebagai dasar hukum untuk kegiatan perkreditan yurisprudensi dapat

juga menjadi dasar hukum.

5. Kebiasaan perbankan sebagai dasar hukum

Dalam Ilmu Hukum diajarkan bahwa kebiasaan dapat juga menjadi

suatu sumber hukum. Demikian juga dalam bidang perkreditan,

kebiasaan dan praktik perbankan dapat juga menjadi suatu dasar

hukumnya. Memang banyak hal yang telah lazim dilaksanakan

dalam praktek tetapi belum mendapat pengaturan dalam peraturan

perundang-undangan. Hal seperti ini tentu sah-sah saja untuk

dilakukan oleh perbankan, asal saja tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut

Undang-Undang Pokok Perbankan Indonesia No. 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, bank bahkan dapat

melakukan kegiatan lain dari yang telah diperincikan oleh Pasal 6

nya, jika hal tersebut merupakan kelaziman dalam dunia perbankan

(vide Pasal 6 huruf n).

6. Peraturan terkait lainnya sebagai dasar hukum

Dalam pemberian kredit bank seringkali terkait dengan beberapa

peraturan perundang-undangan, sebagai contoh karena kredit pada

hakikatnya merupakan suatu wujud perjanjian, maka akan terkait

buku ketiga KUH Perdata tentang Perikatan. Demikian halnya

(16)

diatur dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, HIR tentang

eksekusi hipotik, KUH Acara Perdata dan lain-lain.UU No. 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Dalam Undang-Undang Perbankan tidak dicantumkan secara tegas apa dasar

hukum perjanjian kredit. Namun demikian dari pengertian kredit, dapat disimpulkan

bahwa dasar hukum perjanjian kredit adalah pinjam meminjam yang didasarkan

kepada kesepakatan antara bank dengan nasabah (kreditur dengan debitur).

Masalah pinjam-meminjam sendiri diatur dalam Buku III Bab ke tiga belas KUH

Perdata. Dalam Pasal 1754 KUH Perdata disebutkan, bahwa pinjam meminjam

ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang

lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian,

dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah

yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Selanjutnya dalam Pasal

1765 KUH Perdata disebutkan, bahwa diperbolehkan memperjanjikan, bunga atas

peminjaman uang atau barang lain yang menghabis karena pemakaian. Dari

pengertian ini, terlihat bahwa unsur pinjam-meminjam adalah:

a. Adanya persetujuan antara peminjam dengan yang memberi pinjaman.

b. Adanya suatu jumlah barang tertentu habis karena memberi pinjaman.

c. Pihak yang menerima pinjaman akan mengganti barang yang sama.

d. Peminjam wajib membayar bunga bila diperjanjikan.17

Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa landasan perkreditan

yang tercantum dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1967. Undang-Undang

17

(17)

Pokok Perbankan terdiri dari landasan idiil, landasan konstitusional, dan landasan

politis. Landasan idiil menurutnya adalah pembinaan sistem ekonomi terpimpin

yang berdasarkan pada Pancasila yang menjamin berlangsungnya Demokrasi

Ekonomi dan bertujuan menciptakan masyarakat adil dan dan makmur yang

diridhai oleh Tuhan Yang Maha Esa seperti yang tercantum dalam Pasal 5

Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966. Sedangkan landasan konstitusional

Undang-Undang Perbankan Tahun 1967 ialah Pasal 33 UUD RI Tahun 1945 yang

menurutnya mengandung ajaran Demokrasi Ekonomi. Landasan konstitusional

tersebut di atas dijabarkan dalam TAP MPRS RI Nomor XXIII/MPRS/1966

Pasal 6 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan

Pembangunan, jo. Bab III B Pasal 14 ayat a TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1978

yang di dalamnya diuraikan tentang ciri-ciri positif Demokrasi Ekonomi. UU

Perbankan 1967 merupakan landasan politis yang seterusnya dituangkan dalam

TAP MPR No.IV/MPR/1973 dan TAP MPR RI No.IV/MPR/1978 tentang

GBHN, dan dilanjutkan pula dalam TAP-TAP MPR berikutnya. Selanjutnya

Mariam Darus Badrulzaman, menganalisis landasan hukum perkreditan berdasar

UU Pokok Perbankan 1967 dihubungkan dengan perjanjian pinjam mengganti yang

tercantum dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Dengan landasan yuridis yang telah

dipaparkan, beliau menyimpulkan bahwa perkreditan seperti yang tercantum

dalam UU Pokok Perbankan 1967 bukan ketentuan-ketentuan perjanjian pinjam

mengganti menurut KUH Perdata. Sampai saat ini pengaturan perjanjian kredit di

dalam pengaturan hukum masih bersifat sporadis. Inventarisasi aturan perjanjian

(18)

a. KUH Perdata Bab XIII, mengenai perjanjian pinjam meminjam uang.

b. UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 (UU Perbankan):

1) Pasal 1 ayat (12) tentang Perjanjian Kredit.

2) Perjanjian anjak piutang, yaitu perjanjian pembiayaan dalam bentuk

pembelian atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan-tagihan

jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau

luar negeri.

3) Perjanjian kartu kredit, yaitu perjanjian dagang dengan mempergunakan

kartu kredit yang kemudian diperhitungkan untuk melakukan pembayaran

melalui penerbit kartu kredit.

4) Perjanjian sewa guna usaha, yaitu perjanjian sewa menyewa barang yang

berakhir dengan opsi untuk meneruskan perjanjian itu atau melakukan

jual beli.

c. Perjanjian sewa beli, yaitu perjanjian yang pembayarannya dilakukan secara

angsuran dan hak milik atas barang itu beralih kepada pembeli setelah

angsurannya lunas dibayar (Keputusan Menteri Perdagangan No.

34/KP/II/80).

Indonesia yang menganut sistem Hukum Eropa Kontinental, kedudukan

undang-undang sebagai sumber hukum sangat penting. Oleh karena itu

berbicara tentang landasan hukum perkreditan, maka kita harus mengurutnya

(19)

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, TAP MPR, Undang-undang,

dan peraturan pelaksana lainnya.18

B. Sifat Perjanjian Kredit Bank

Jika menelaah bentuk-bentuk perjanjian baik dalam KUHD maupun dalam

KUH Perdata, maka tidak dapat ditemukan jenis perjanjian kredit bank beserta

pasal-pasal yang mengatur bentuk hubungan hukum perjanjian atau Lembaga

Perjanjian Kredit Bank. Oleh karena itu para pakar mengemukakan pendapatnya

mengenai sifat hukum, atau struktur hukum Perjanjian Kredit Bank.

Marhaenis Abdul Hay dalam bukunya Hukum Perdata, berpendapat bahwa perjanjian kredit mendekati pada pengertian perjanjian pinjam mengganti

yang diatur dalam KUH Perdata.Menurutnya bahwa perjanjian kredit identik

dengan perjanjian pinjam mengganti dalam Bab XIII KUH Perdata.19

Pendapat para pakar lain mengenai hal ini, yaitu:

1. Pendapat Winedsheid

Menurutnya perjanjian kredit adalah perjanjian dengan syarat tangguh

(condition prestart), yang pemenuhannya bergantung pada peminjam yakni kalau penerima kredit menerima dan mengambil pinjaman itu,

hal itu seperti yang diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata.

2. Goudekte

Perjanjian kredit yang di dalamnya terdapat perjanjian pinjam uang

adalah perjanjian yang bersifat konsensual (pactum decontranendo)

18

Dr. Neni Sri Imaniyati,S.H.,M.H., Op.Cit, hal. 139-141.

19

(20)

dan obligator. Perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat sesuai

dengan Pasal 1338 KUH Perdata.

3. Loseccat Vermeer

Mengatakan bahwa pertama-tama pihak membuka perjanjian di mana

pihak yang meminjamkan berkewajiban untuk menyerahkan uang dan

pihak peminjam berkewajiban untuk menerima uang. Pada saat itu

diserahkan maka perjanjian itu “beralih” dan perjanjian untuk meminjamkan uang menjadi perjanjian uang.

4. Asser Kleyn

Perjanjian pinjam uang selalu didahului oleh perjanjian pendahuluan

(voorovereen-komst), misalnya perjanjian kredit. Perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari perjanjian pinjam uang.

Dari beberapa pendapat para pakar tersebut, Mariam Darus Badrulzaman

mengelompokkan menjadi dua kelompok:

1. Ajaran yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian pinjam

uang itu merupakan “satu” perjanjian, sifatnya konsensual.

2. Ajaran yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian pinjam

uang merupakan “dua” buah perjanjian yang masing-masing bersifat

konsensual dan riil.

Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan pemikirannya,

(21)

(voorovereenkomst) dari perjanjian penyerahan uang.Perjanjian pendahuluan ini

merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima kredit.20

Munir Fuady mengemukakan bahwa sifat perjanjian kredit bukanlah perjanjian pinjam pakai habis yang tunduk pada Pasal 1754 KUH Perdata

melainkan merupakan kelompok perjanjian umum (tidak bernama) yang tuduk

pada ketentuan-ketentuan umum tentang perjanjian ditambah dengan ketentuan

dalam pasal-pasal kontrak dan kebiasaan dalam praktik yurisprudensi.

Herlina mengemukakan bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian

konsensual, sedangkan pengakuan utang merupakan perjanjian riil.21

Dapat dikemukakan bahwa perjanjian kredit bank merupakan perjanjian

pendahuluan dari perjanjian peminjaman uang yang mempunyai sifat konsensual.

Sifat perjanjian konsensual ini menimbulkan konsekuensi hubungan hukum antara

bank dengan nasabah debitur dan apabila terjadi sengketa antar bank dengan

nasabah, dapat dijadikan dasar lembaga hukum apa yang akan dipakai sebagai

dasar untuk menyelesaikannya.22

Sifat Kredit Dikaitkan dengan Cara Penarikan Kredit

Terdapat berbagai macam sifat kredit yang biasanya dikaitkan dengan cara

penarikan kredit. Secara garis besar terdapat dua cara penarikan, yaitu secara

aflopend dan dengan cara revolving. Akan tetapi, dalam perkembangannya pola tersebut menjadi berbagai variasi, misalnya penarikannya secara transaksional,

revolving per bacht, revolving plafond, dan lain-lain. Sedangkan jenis kredit

(22)

biasanya dikaitkan dengan tujuan penggunaan kredit. Secara garis besar,

penggunaan fasilitas kredit untuk modal kerja (kredit modal kerja) dan untuk

investasi (kredit investasi) serta kredit untuk pembelian barang-barang konsumtif

dan atau kegiatan seremonial yang dikenal dengan kredit konsumtif. Di samping

itu, terdapat pembagian jenis kredit lainnya, seperti cash loan dan non cash loan.

Kredit modal kerja dapat juga digunakan untuk fasilitas pembiayaan modal kerja

untuk barang yang akan diekspor dan pembelian barang-barang untuk persediaan,

yang mungkin barang tersebut dibeli dari luar negeri (impor).23

C. Ketentuan dan Persyaratan Umum Kredit

Mengenai ketentuan dan persyaratan umum dalam pemberian kredit oleh

perbankan terdiri dari 9 (sembilan) persyaratan sebagai berikut:24

1. Mempunyai feasibility study, yang dalam penyusunannya melibatkan

konsultan yang terkait.

2. Mempunyai dokumen administrasi dan izin-izin usaha, misalnya akta

perusahaan, NPWP, SIUP, dan lain-lain.

3. Maksimum jangka waktu kredit adalah 15 tahun dan masa tenggang

waktu (grace period) maksimum 4 tahun.

4. Agunan utama adalah usaha yang dibiayai. Debitur menyerahkan

agunan tambahan jika menurut penilaian bank diperlukan. Dalam hal

ini akan melibatkan pejabat penilai (appraiser) independen untuk

menentukan nilai agunan.

23

Try Widiono, S.H., M.H., Sp.N.,Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankandi Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, hal. 264.

24

(23)

5. Maksimum pembiayaan bank adalah 65% (enam puluh lima persen)

dan self financing adalah sebesar 35% (tiga puluh lima persen).

6. Penarikan atau pencairan kredit biasanya didasarkan atas dasar prestasi

proyek. Dalam hal ini biasanya melibatkan konsultan pengawas

independen untuk menentukan progres proyek.

7. Pencairan biasanya dipindahbukukan ke rekening giro.

8. Rencana angsuran ditetapkan atas dasar cash flow yang disusun

berdasarkan analisis dalam feasibility study.

9. Pelunasan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.

Di dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan dijelaskan, bahwa UU

Perbankan memberikan ketentuan-ketentuan pokok terhadap bank yang memberikan

kredit kepada para nasabahnya. Ketentuan-ketentuan pokok ini merupakan pedoman

perkreditan yang wajib dimiliki dan diterapkan oleh bank dalam pemberian kredit,

yaitu:25

1. Pemberian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.

2. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan

nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian seksama

terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha

nasabah debitur.

3. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian

kredit.

25

(24)

4. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai

prosedur dan persyaratan kredit.

5. Larangan bank untuk memberikan kredit dengan persyaratan yang

berbeda kepada nasabah debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi.

6. Penyelesaian sengketa.

Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan pokok tersebut tidak hanya memberikan

pedoman atau landasan bagi bank sebagai kreditur untuk menerapkan prinsip

kehati-hatian, melainkan juga dapat digunakan sebagai pegangan bagi para

nasabah debitur dalam memperoleh fasilitas kredit dari bank.

D. Prinsip-prinsip Pemberian Kredit Bank

Pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya menurut UU Pokok

Perbankan Indonesia Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang

No. 10 Tahun 1998, berawal dari pelaksanaan pembangunan ekonomi yang

berasaskan kekeluargaan harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan dan

keseimbangan.Unsur-unsur pemerataan pembangunan ke arah peningkatan taraf

hidup. Secara tanggap perbankan dituntut untuk menjalankan fungsi dan tanggung

jawabnya kepada masyarakat. Atas hal-hal tersebut diatas, maka di dalam

memberikan kredit, bank dituntut dan wajib mempunyai keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan

yang diperjanjikan (Pasal 8 UU Perbankan 1992).26

Dalam menjalankan penyaluran dana maupun dalam kegiatan usaha

lainnya maka bank harus bertindak dengan prinsip kehati-hatian. Sebagaimana

26

(25)

diwajibkan dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, memuat

ketentuan bahwa Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dapat menetapkan

peraturan Batasan Maksimum Pemberian Kredit/BPMK (legal lending limit),

yang dapat dilakukan oleh bank. Pelaksanaan ketentuan pembatasan kredit ini

wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan dari Bank Indonesia. Mengingat

pelaksanaan pembatasan ini pun tidaklah dapat dilakukan segera setelah

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tersebut berlaku, karenanya ada

ketentuan peralihan, bahwa pelaksanaannya dapat dilakukan secara bertahap

selama lima tahun (Pasal 56 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan). Kebijakan ini bertujuan agar tidak menimbulkan kesulitan yang berat

bagi perbankan dalam memenuhi ketentuan dimaksud, mengingat pada saat itu

masih banyak bank yang memberikan kredit melebihi ketentuan batas maksimum

yang sesuai dengan ketentuan yang diminta oleh Pasal 11 tersebut. Pengertian

BMPK, yaitu suatu persentase perbandingan batas maksimum penyediaan dana

yang diperkenankan terhadap modal bank. Dalam kerangka penyediaan dana ini

maka ada beberapa yang dikecualikan diantaranya yaitu: penanaman dana pada

SBI dan surat hutang yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia; bagian

penyediaan dana uang dijamin dengan agunan tunai berupa giro, deposito,

tabungan, setoran jaminan yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan;

penempatan sepanjang program penjaminan pemerintah masih berlaku dan bank

(26)

Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor

31/177/KEP/DIRtentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, tanggal 31

Desember 1998, maka BMPK dikelompokkan sebagai berikut:

a. BMPK untuk pihak tidak terkait ditetapkan setinggi-tingginya 30% (tiga puluh

persen) dari modal bank tersebut berlaku sampai dengan akhir tahun 2001 dan

terus dikurangi setiap tahun 5% (lima persen) dan pada awal tahun 2003 harus

tinggal 20% (dua puluh persen) dari modal bank.

b. BMPK untuk pihak terkait ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10% (sepuluh

persen) dari modal.

Ketentuan BMPK tersebut di atas, pelanggarannya dapat dikenakan sanksi

denda serta berakibat kepada penilaian kesehatan bank yang bersangkutan. Dalam

penilaian kesehatan bank sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi

Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tata Cara

Penilaian Tingkat Kesehatan, ditentukan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan

BMPK dihitung berdasarkan jumlah kumulatif pelanggaran BMPK kepada debitur

individual, debitur kelompok dan pihak terkait dengan bank, terhadap modal bank

yang bersangkutan.

Selain pembatasan tersebut di atas, bank dalam pemberian kredit juga

diatur mengenai administrasinya, misalnya bahwa:

a. Bank tidak diperkenankan mempertimbangkan permohonan kredit yang tidak

memenuhi persyaratan kewajiban penyampaian NPWP dan Laporan

(27)

Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang

Penyampaian NPWP dan Laporan Keuangan Dalam Permohonan Kredit;

b. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan

modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham sebagaimana ditetapkan

dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/70/KEP/DIR

tanggal 28 Februari 1991 tentang Pembatasan Pemberian Kredit untuk

Pembelian Saham dan Pemilikan Saham Oleh Bank;

c. Bank perlu membatasi pemberian untuk pengadaan dan atau pengolahan tanah

sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia

Nomor 30/46/KEP/DIR tanggal 7 Juli 1997 tentang Pembatasan Pemberian

Kredit Untuk Pembiayaan Pengadaan dan Atau Pengolahan Tanah;

d. dan pembatasan lainnya.

Pembatasan seperti tersebut di atas merupakan upaya dalam rangka sikap

berhati-hati dan penuh perhitungan yang matang dalam melakukan kegiatan

perkreditan. Hal tersebut diperlukan karena pemberian kredit mengandung risiko,

dengan demikian dunia perbankan terhindarkan dari laju pertumbuhan pinjaman

perbankan yang berlebihan sehingga terjaga kestabilan moneter dan kesehatan

perbankan itu sendiri.27

Pada dasarnya pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur

berpedoman kepada 2 prinsip, yaitu:

a. Prinsip Kepercayaan

27

(28)

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian kredit oleh bank kepada

nasabah debitur selalu didasarkan kepada kepercayaan. Bank mempunyai

kepercayaan bahwa kredit yang diberikannya bermanfaat bagi nasabah debitur

sesuai dengan peruntukkannya, dan terutama sekali bank percaya nasabah

debitur yang bersangkutan mampu melunasi utang kredit beserta bunga dalam

jangka waktu yang telah ditentukan.

b. Prinsip kehati-hatian (prudential principle)

Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk pemberian kredit

kepada nasabah kreditur harus selalu berpedoman dan menerapkan prinsip

kehati-hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan dalam bentuk penerapan

secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua persyaratan dan

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberian kredit oleh

bank yang bersangkutan.28

28

Referensi

Dokumen terkait

Apabila permohonan kredit yang diajukan pelaku usaha cukup besar, maka pihak bank akan meminta barang jaminan baik bergerak maupun tidak bergerak dalam jumlah tertentu untuk

Oleh karena itu dalam praktek pelaksanaan perjanjian kredit pada bank dengan kewajiban mengasuransikan barang agunan yang dimiliki oleh debitur, pihak debitur tidak memiliki