• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF KIM KNOTT TENTANG INSIDER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERSPEKTIF KIM KNOTT TENTANG INSIDER"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Mata kuliah : Studi Islam di Barat Dosen Pengampu : H. M Yahya, MA. Ph. D

Bahjatul Wafiroh NIM: 15750019

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

(2)

A. Latar Belakang

Seiring berkembangnya zaman, agama lantas tidak hanya berfungsi sebagai penegasan terhadap pernyataan kredo atau doktrin semata namun agama juga harus mampu dipelajari secara akademik. Sebagaimana yang dijelaskan Amin Abdullah bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dilihat dari sudut normativitas ajaran wahyu, meskipun fenomena ini sampai kapanpun akan menjadi ciri khas daripada agama-agama yang ada. Tetapi juga harus mampu dilihat dari sudut historisitas pemahaman dan interpretasi orang-orang atau kelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya serta model-model amalan dan

praktek-praktek ajaran agama yang dilakukan.1

Usaha mempelajari agama terutama Islam dalam keyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman dikalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dan motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang diluar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakannya dan mengamalkannya dengan benar. Sementara di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (islamologi). Namun sebagai mana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau

digunakan untuk tujuan–tujuan tertentu baik bersifat positif maupun negatif.2

Namun demikian, nampaknya harus diakui ketika sebagian orang mengatakan bahwa apapun pendekatan dan aliran yang digunakan, apapun upaya yang dilakukan, seorang peneliti selalu menghadapi problem serius, diantaranya teramat sulit bagi peneliti untuk melakukan studi yang bersifat seobjektif mungkin, netral dan terhindar

1 Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Hstoritas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. v.

(3)

dari bias, apalagi ketika menyentuh ajaran-ajaran normatif agama yang dianutnya. Sebagian orang mengatakan bahwa hal ini terjadi karena adanya unsur transendental dalam agama yang menyebabkan lahirnya emosi keagamaan pada setiap pengikutnya yang menyebabkan lahirnya emosi keagamaan pada setiap pengikutnya yang tidak mudah untuk dilepaskan begitu saja. Dari sinilah kemudian muncul problem insider

dan outsider dalam studi islam.3

Terdapat dua persoalan yang menjadi kegelisahan akademik Kim Knott, berdasar pada persoalan di atas, sehingga ia membuat pemetaan pendekatan studi agama. Pertama, sulitnya membuat garis demarkasi yang jelas antara wilayah agama dan bukan-agama. Kedua, adanya persoalan yang sangat rumit ketika ada yang memahami agama sebagai tradisi (tradition) dan agama sebagai keimanan (faith).

Kajian Knott ini memberi tawaran baru, karena beberapa universitas (baik di Barat maupun di Timur) masih menyimpan sejumlah masalah seputar studi Islam dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Selain itu, terjadinya stagnasi metodologis dan pendekatan di kalangan akademisi maupun praktisi ketika mempelajari studi agama. Di satu pihak mereka dituntut agar dapat memahami agama dalam orientasi akademik, di pihak lain mereka harus menjaga nilai transenden agama.

B. Biografi Intelektual Kim Knott

Kim Knott merupakan sosok peneliti yang memfokuskan diri pada pengembangan metodologi spasial dalam studi agama untuk mencari keterlibatan sirkuler antar agama, baik sosial, budaya, politik, ekonomi dan lainnya. Dalam The Location of Religion: A Spatial Analysis4 ia menyatakan bahwa penerapan teori sosio-spasial dalam studi agama, mempunyai korelasi positif dalam tataran implementasi ajaran agama. Penelitian lain difokuskan pada lokus agama dan nilai-nilai universal dalam lanskap sosio kultural masyarakat dan hubungannya dengan

3 Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan Implementasi

(Yogyakarta: SUKA Press, 2013), hlm. 130.

(4)

fenomenologi agama. Bersama Thomas A. Tweed, ia bekerja pada sebuah perpustakaan induk untuk geografi agama. Di University of Leeds, Knott adalah Direktur Riset, Seni dan Humaniora pada program Dewan Diaspora, Migrasi dan

Identitas Agama.5 Ia juga co-editor (bersama Sean McLoughlin) dalam sebuah jurnal

Diaspora.

Di tingkat regional, Knott duduk sebagai Sekretaris Jenderal Asosiasi Eropa untuk Studi Agama. Ia juga merupakan dosen senior pada Studi Agama di University of Leeds, Inggris. Posisi inilah yang membawanya menjadi peneliti garda depan tentang agama-agama dan mengantarkannya sebagai penulis produktif pada sejumlah jurnal tentang gerakan-gerakan agama kontemporer di London.

Sebagai Profesor Studi Agama dan Direktur Komunitas Antar Agama, Knott menulis tentang agama di Inggris, yang meliputi identitas agama-agama modern dan isu-isu metodologis tentang studi agama. Kegiatan akademiknya termasuk membantu mahasiswa menjadi peneliti yang kompeten dengan mengangkat isu-isu agama yang lebih luas. Saat ini ia memfokuskan penelitiannya pada agama di dua organisasi publik: institusi universitas dan kelompok masyarakat.

Dalam penelitiannya Knott banyak mengadopsi preposisi dan preskripsi yang menggunakan pendekatan teoretis dan induktif berdasar pada budaya lokal. Titik awal dalam mengembangkan pendekatan spasial tersebut adalah theories of place yang dikembangkan oleh Heidegger, Edward Casey dan Christopher Tilley. Sebagai seorang feminis dan kritikus post-modern, hal itu mengantarkannya untuk mempertanyakan wacana yang kemudian membuatnya menekuni kajian keagamaan dengan pendekatan geografis dan studi agama-agama.

Realitas di atas merupakan pendekatan awal yang diidentifikasi oleh Knott untuk dapat diterapkan pada lokus agama. Pada bagian berikutnya ia merujuk ke pelbagai sumber dalam studi agama, sebelum menunjukkan bagaimana metode spasial dapat diterapkan sehingga merefleksikan kekuatan dan kelemahannya secara

(5)

konkret. Menurut Knott, agama harus bekerja dalam parameter ini, karena ia dibentuk berdasarkan titik awal dengan pendekatan spasial. Selanjutnya ia mencoba menemukan konsep agama dalam prosedur yang terukur, simultan dan holistik.

C. Kemunculan Problem Insider dan Outsider

Dalam konteks Islam, kajian outsider berkaitan erat dengan pengalaman Barat dan sarjana Muslim sendiri dalam menafsirkan dan memahami Islam. Insider adalah para pengkaji Islam dari kalangan Muslim, sementara outsider adalah sebutan untuk para pengkaji non-Muslim yang mempelajari Islam dan menafsirkannya dalam pelbagai analisis dan pembacaan dengan metodologi tertentu. Bahkan, ia menegaskan, term outsider tak hanya sebatas orang luar, tetapi termasuk insider yang melakukan kontrol sosial atau otokritik terhadap agamanya (ijtihâdî-naqdî).

Kemunculan problem insider dan outsider berdasarkan tulisan Kim Knott disebabkan karena dilatar belakangi oleh kajian tentang Sikh pada tahun 1980-an di India. Yang ditandai dengan adanya perdebatan seputar motivasi dan kontribusi para sarjana yang menulis agama Sikh. Pada tahun 1991 para sarjana Barat melakukan

tinjauan ulang mengenai sikhism, McLeon, Darshan Singgh6 mengatakan para

penulis Barat berusaha untuk menafsirkan dan memahami Sikhism sebagai outsider. Yang paling penting, agama adalah sebuah area yang tidak mudah dipahami oleh outsider, orang asing atau partispan. Agama secara mendalam tidak dapat dipahami

kecuali oleh partisipan dengan mematuhi beberapa syarat.7

Sementara menurut hemat saya problem insider dan outsider muncul pasca jatuhnya kejayaan Islam, lalu ilmu pengetahuan pindah ke Barat. Dari sini

orang-6 Darshan Singh (lahir 1932) adalah seorang algojo Singapura. Darshan Singh mulai menjadi algojo untuk melayani kolonial Inggris pada tahun 1959 sebagai pengganti algojo sebelumnya, Mr Seymour. Singh sebenarnya berkeinginan mengundurkan diri, tapi belum menemukan pengganti yang cocok. Sebelum melaksanakan eksekusi, dia selalu memberikan kata-kata terakhir kepada setiap orang yang dihukum gantung: "Saya akan mengirim anda ke tempat yang lebih baik dari ini. Tuhan memberkati Anda. Dia menjadi seorang Muslim, setelah

berpindah dari Sikhisme ketika ia menikah dengan istri Malay.

( h tt p : // e n . w i k i p e d i a . o r g / w i k i / D a r s h a n _ S i n g h)

(6)

orang Barat kemudian mulai mempelajari Islam yang pada akhirnya muncul kajian orientalisme. Pada saat itu studi Islam di Barat didorong oleh kebutuhan akan kekuasaan koloni untuk belajar dan memahami masyarakat yang mereka kuasai. Sehingga studi Islam di Barat juga perlu diuji. Seperti yang diketahui bahwa para orientalis generasi awal pada abad ke 19-20 lebih banyak menggunakan pendekatan filosofi dalam melakukan studi Islam. Mereka memahami dunia Islam berdasarkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang tersebar dalam teks-teks Islam klasik.

Namun demikian, perlu disadari pula bahwa kehadiran para pemikir oksidentalisme yang didominasi oleh pemikir Islam juga tidak terlepas dari problematika insider dan outsider karena para pemikir Islam yang tergolong dalam oksidentalisme menduduki posisi outsider, dalam hal ini pemikir Islam berusaha mempelajari agama diluar keyakinannya atau lebih tepatnya ilmu Barat. Hal ini dapat terjadi karena adanya oksidentalisme tidak terlepas dari keberadaan orientalisme sehingga keberadaan oksidentalisme bisa dikatakan sebagai upaya perlawanan atau pembelaan terhadap orientalisme tersebut.

D. Posisi Insider dan Outsider

Kim Knott menyatakan bahwa pengalaman keagamaan yang ada dalam diri insider ditampilkan dan kemudian direspons oleh outsider, dengan mempertimbangkan batas-batas objektivitas dan subjektivitas yang terpancar dalam pengalaman keagamaan yang didasari oleh sikap empati dan analisis kritis. Pada titik ini, insider-outsider saling berbagi keseimbangan perspektif dalam sejarah studi agama.

Lain halnya dengan Darshan Singh yang menegaskan bahwa upaya peneliti Barat untuk menafsirkan dan memahami agama sebagai outsider, memandang bahwa konsep dan ajaran agama tidak mudah diakses oleh orang luar atau non-pemeluknya. Makna substansi dari agama terungkap hanya melalui partisipasi secara intensif, dengan mengikuti ajaran pengamalan keagamaannya.

Jauh sebelumnya, Max Müller8 (1873) telah mempertegas bahwa sebagai

(7)

objek studi, agama harus ditampilkan secara proporsional, meski ia juga harus dikritisi. Dua puluh tahun kemudian, Cornelius Tiele menekankan kepada para ilmuwan untuk melakukan penelitian dengan mengedepankan objektivitas tanpa

menjadi skeptis, melalui studi dan investigasi yang tidak memihak.9 Ia juga

membedakan antara subjektivitas keagamaan pribadi individu dan objektivitas cara pandang terhadap agama orang lain.

Selanjutnya, pelbagai isu seputar studi agama diberi penguatan metodologis, terutama yang berkaitan dengan fenomenologi agama, sebagaimana yang dilakukan

oleh Kristensen, Van der Leeuw10 dan Rudolf Otto di Jerman, kemudian Mircea

Eliade dan Wilfred Cantwell Smith11 di Amerika serta Ninian Smart12 di Inggris.

Max Müller, adalah seorang ahli bahasa Jerman dan orientalis, salah satu pendiri bidang akademis barat India dan disiplin studi perbandingan agama. ( h tt p : // e n . w i k i p e d i a . o r g / w i k i /

M

a x _ M % C 3 % B C ll e r) Max Müller merupakan Putra Wilhelm Müller, seorang penyair terkenal. Dia dididik dalam bahasa Sansekerta, bahasa klasik India, dan bahasa lainnya di Leipzig Berlin dan Paris. Ia pindah ke Inggris pada tahun 1846 dan menetap di Oxford pada tahun 1848 di mana ia menjadi wakil profesor bahasa modern pada tahun 1850. Ia diangkat sebagai profesor filologi komparatif tahun 1868 dan pensiun pada tahun 1875. Müller banyak menerjemahkan teks-teks filosofis Asia, naskah kuno keagamaan ke dalam bahasa Inggris. Dia termasuk perintis dalam kajian "ilmu agama" ( h tt p : // w w w . b r i t a n n i c a . c o m / E B c h e c k e d / t o p i c /396833/Max-Muller)

9 Nourouzzaman Shiddiqi, Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman, dalam Taufik Abdullah (ed.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 58.

10Nama aslinya Gerardus Vander Leeuw . Dia lahir pada tanggal 18 Maret 1890 di Den Haag dan meninggal 18 Nopember 1950 di Utrecht Jerman, adalah seorang sejarawan Belanda dan filsuf agama.Ia terkenal karena karya Agamanya yang berjudul Essence and Manifestation: A Study in Phenomenology, aplikasi fenomenologi filsafat agama. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1933 di bawah judul Phänomenolgie der Religion dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1938.Dalam kurun tahun 1945 sampai 1946 van der Leeuw adalah menteri Pendidikan dari Belanda untuk Partai Buruh. Sebelum perang ia telah menjadi anggota Uni Sejarah Kristen konservatif.(http://en.wikipedia.org/wiki/Gerardus_van_der_Leeuw)

11 Wilfred Cantwell Smith lahir pada tanggal 21 Juli 1916 di Toronto. Ia mengambil pendidikan B.A.dalam Bahasa Timur pada tahun 1938 dari Universitas Toronto, di mana ia menjadi aktivis Injil Sosial dan Presiden Kanada Gerakan Mahasiswa Kristen. Dari 1940-1945, Smiths berada di India dengan Dewan Misi Luar Negeri Kanada untuk mengajar Sejarah Islam dan India di Foreman Christian College di Lahore. (http://www.news.harvard.edu/gazette/2001/11.29/ 27-memorialminute.html)

(8)

Mereka menyatakan bahwa semua agama merupakan fenomena unik yang dapat dilihat dari pelbagai sisi (multi faces), otonom dan tak ada bandingannya, namun mampu memberikan pemahaman secara empatik. Tujuan yang mendasari pendekatan fenomenologi adalah untuk mengerti dengan penuh empati berdasarkan pada pengalaman insider, di samping kemampuan menahan diri dari penilaian negatif prejudice yang muncul dari outsider.

Tak sebatas itu, dua pendekatan yang agak berbeda untuk mempelajari agama telah muncul di Barat dalam beberapa dekade terakhir. Salah satunya adalah scientific method.13 Bercampurnya antara “agama” dan “sosio historis kultural” atau

antara yang sakral dan yang profan tidak mudah lagi dibedakan. Jika dalam wilayah keilmuan biasa para ilmuwan masih bisa membuat distingsi antara pure science yang bersifat inklusif dan applied science yang bersifat eksklusif lewat telaah filsafat keilmuan kontemporer, maka dalam wilayah keilmuan agama adalah sulit

untuk membuat titik pemisah antara keduanya.14 Memang, sebagaimana dinyatakan

oleh Arkoun, unsur sakral (taqdis al-afkar al-diniyyah) yang termuat dalam agama menambah rumitnya persoalan. Dalam hal ini, sering didapati, bahwa wilayah perbincangan keagamaan yang semula bersifat profan menjadi disakralkan.

E. Perspektif Baru

Dengan mengutip pendapat Junker dan Emmas, Knott membagi konsepsi peran pengembangan interkoneksi sosial keagamaan dalam empat elemen: partisipan,

peneliti sebagai partisipan, partisipan sebagai peneliti dan peneliti murni.15

( h tt p : // e n . w i k i p e d i a . o r g / w i k i / N i n i a n _ S m a r t )

13Suatu pandangan bahwa kita tidak dapat mengasumsikan secara umum bahwa manusia dapat masuk dalam kategori pengalaman keberagamaan yang sakral. Sedangkan saintis tidak boleh masuk ke dalam pengalaman dan fenomena keagamaan guna menjaga jarak sehingga mampu berpikir kritis objektif dalam menjelaskan agama dari luar.

14 Josef Van Ess, The Logical Structure of Islamic Theology, dalam Issa J. Boullata (ed.), An Anthology of Islamic Studies (Canada: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992), hlm. 24.

(9)

1. Complete participant (Partisipan Murni)

Yang dimaksud dengan peserta adalah umat atau pemeluk agama yang yang terlibat penuh pada aktivitas keagamaan. Para peneliti tipe ini umumnya menulis dan mengkaji tentang agama sebagai insider dengan memanfaatkan pengetahuan dari orang dalam. Sebagai penganut agama (insider), mereka, kata jelas mempunyai data yang cukup dan lebih faham tentang agama yang

ditelitinya.38 Walaupun posisi peneliti tipe ini sebagai insider yang umumnya

menggunakan pendekatan pengamatan dari dekat (near-distant bukan critical distance), mereka tetap bisa mendapatkan hasil kajian yang obyektif dan tidak apologetic, jika kajiannya menekankan pada perspektif emic.

Knott mengemukakan contoh Fatima Mernissi sebagai gambaran sosok partisipan murni, terutama gagasannya ketika menulis an Historical and Theological Enquiry (1991) tentang perempuan dalam Islam. Sebagai seorang sosiolog feminis Muslim, ia hampir tidak punya pilihan yang jelas. Mernissi sendiri mengutip sebuah kasus di mana ia dikecam oleh editor jurnal Islam sebagai pendusta dan sosok yang tidak merepresentasikan tradisi Islam. Dia tentu bukan pemimpin Islam ataupun seorang teolog yang mempunyai otoritas, tetapi sebagai salah satu penulis Muslim yang bermaksud mendeskripsikan esensi ajaran Islam dengan mengeksplorasi khazanah keislaman untuk memahami hak-hak perempuan.

Dalam kata pengantar bukunya, Mernissi yang dikenal sebagai pegiat feminisme yang banyak mengkritisi sejumlah hadis misoginis menulis, “Sebagai wanita Muslimah kita harus mampu memasuki dunia modern dengan bangga dan kepala tegak, guna mengembalikan harkat, demokrasi dan hak asasi manusia. Untuk berpartisipasi penuh dalam urusan politik dan sosial, kita harus mampu

menepikan nilai-nilai Barat dan mengambil yang benar-benar dari tradisi Islam”.16

Mernissi adalah prototipe sebuah emik, meski dinilai oleh banyak kalangan sebagai sosok yang kurang kritis. Alih-alih menggunakan parameter

(10)

pendekatan studi agama atau sosiologi, ia hanya menggunakan pengalaman pribadi dengan bahasa Islam, khususnya, sentralisasi konsep jilbab untuk memahami kebudayaan Islam yang eksklusif dan menyoroti posisi wanita dalam kungkungan tradisi domestik. Walaupun bukunya tidak diarahkan secara eksplisit untuk komunitas non-Muslim, Mernissi jelas menyadari adanya kritik Barat yang dominan dan cenderung melihat Islam sebagai tidak demokratis dan menindas perempuan.

2. Complete Observer (Pengamat Murni)

Complete observer (pengamat murni) adalah pengkaji dari kalangan orang luar (outsider). Penelitian lebih banyak menyangkut ranah perspektif etik, dimana konsep-konsep social science digunakan untuk menjelaskan prilaku psikologis hasil pengaruh kepercayaan religious. Mereka umumnya bekerja dalam prinsip-prinsip research scientific. Prinsip utamanya adalah, obyektif, netral, kemampuan untuk menguji ulang, mendemontrasikan validitas hasil ujian dan mampu mengadakan generalisasi. Dalam posisinya sebagai pengamat penuh, peneliti ini menurut Kim Knott lebih mampu dalam mengoptimalkan

konsep ‘Critical distans”.17

Festinger memutuskan bahwa pendekatan semacam itu tidak dapat digunakan untuk mengkaji perilaku keberagamaan seseorang. Pada kenyataannya, apa yang mereka lakukan adalah menunggu tanda-tanda dari kegiatan kelompok keberagamaan, kemudian mengamati perilaku komunitasnya dari dalam. Mereka mengadopsi peran insider untuk observasi sebagai pencari realitas tak langsung, sehingga akan didapat hasil yang lebih akurat. Dengan demikian, mereka menyadari adanya kebutuhan untuk memenuhi kondisi sosial, meskipun mereka menemukan diri mereka berangkat dari ortodoksi ilmu sosial dalam beberapa hal, khususnya ketika tidak mampu tampil sebagai subjek anggota kelompok dengan menggunakan alat ukur yang standar.

(11)

Penggunaan beberapa istilah internal, semisal persoalan yang bersifat rahasia, stigma, anasir detektif peneliti, justru mempertajam distingsi antara pengamat outsider (dalam kontrol, tak terlihat, menyelidiki) dan insider sebagai objek yang diamati (pasif, sangat terlihat, terkena penyelidikan secara rinci). Hal ini akan menaikkan suhu pembeda dan isu superioritas dalam penelitian ilmiah dan presentasi komunitas suatu agama. Dapat dikatakan, kasus ini gagal untuk melakukan penelitian secara berimbang dan objektif karena peran peneliti dan tuntutan penelitian yang diperlukan untuk mengompromikan posisi mereka sebagai outsider demikian kuat. Meski demikian, terbukti betapa sulitnya bagi peneliti untuk tidak terlibat dan tidak memihak ketika melakukan penelitian pada subjek agama apa pun.

Dalam konteks ini, para pengkaji ini menyadari bahwa mereka tidak dapat memberikan penilaian terhadap penganut kelompok teretentu dengan ukuran standar apapun. Dalam pandangan Kim Knott, observer kelompok ini tidak banyak mengurai Issu-issu tentang kebenaran dan kesalahan. Itulah sebabnya, tidak ada pengamat murni yang secara formal merefleksikan apakah mereka menerima kepercayaan dari suatu kelompok atau menolak. Mereka hanya tertarik pada individu-individu untuk diajak mengeksplorasi system kepercayan dalam agamanya. Investigasi yang mendeteil dari kajian outsider menjadikan perbedaan mendasar dengan kajian agama dari pengamat insider.

3. Observer as Pasticipant (pengamat sebagai peserta)

Sejak awal, Eileen Barker menolak melakukan penelitian tentang Gereja Unifikasi baik secara praktis maupun etis, disebabkan dia bukan seorang

Moonie18 (non sektarian) dan tidak mau berpura-pura sebagai penganut salah satu

18 Moonie (jamak Moonies) adalah sebuah istilah bagi para anggota Gereja Unifikasi, yang diambil dari nama pendiri gereja Sun Myung Moon, sebuah paham yang berpandangan bahwa spiritual dan materi adalah dua aspek yang berbeda tetapi sesungguhnya menunjukkan

satu kesatuan yang tak terpisahkan.

(12)

sekte. Menurutnya, dalam menyelidiki Moonies, ia harus mengidentifikasi, membaur dan masuk menjadi penganut Moonies. Untuk kontekstualisasi ilmu-ilmu sosial, ia memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan empati yang sering dipakai oleh peneliti fenomenologi agama sebelumnya semacam Kristensen, van der Leeuw dan Ninian Smart. Bahkan, Smart menggunakan metode agnostisisme yang mengisyaratkan perlunya netralitas dan keluar dari truth claim dalam

penelitian agama.19 Metode tersebut diidentifikasi oleh Smart dan dilanjutkan oleh

Barker ini mendominasi studi agama pada era 1970-an dan 1980-an. Menurutnya, cara tersebut untuk mendekatkan adanya gap dikotomi antara insider-outsider menjadi dua sisi yang integral dalam perspektif sehingga menjadi netral. Netralitas yang diinginkan dalam arti tidak mudah terkooptasi untuk mendukung kepentingan tertentu yang bersifat empiris pragmatis.

Dalam kajian studi agamanya, dia menjadi peserta aktif sebagai langkah mendapatkan informasi/data yang valid. Sebagai orang luar yang bergabung di dunia mereka, disamping leluasa mendapatkan semua informasi, bahkan yang bersifat internal, Barker juga dimungkinkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak terduga tentang keagamaan. Di sisi lain Barker tetap bisa berkomunikasi dengan pihak luar (Outsider) yang memiliki pandangan berbeda tentang gereja, termasuk yang bertentangan.

Satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa Barker memiliki keleluasaan untuk mendengarkan interpretasi dari dua pihak yang berseberangan “tanpa memihak (netral), setuju dan atau membenarkan salah satu pihak“.

4. Participant as Observation (Partisipan sebagai Pengamat)

Participant as observation ini mulai digunakan setelah Cornelius P. Tielle di era 1890-an dan Barker pada tahun 1980 menunjukkan sikap netral dalam penelitianya dengan mengambil jarak dari komunitas obyek. Para peneliti yang

diyakini oleh para anggota Gereja Unifikasi, bahwa dia adalah Mesias dan Kristus kedua untuk memenuhi 'misi belum selesai'nya Yesus. ( h t t p : // e n . w i k i p e d i a . o r g / w i k i / S u n _ M y u n g _ M oo n)

(13)

datang kemudian akhirnya berkeyakinan bahwa sikap yang tidak memihak adalah mungkin dilakukan dalam penelitian agama. Target yang ingin dicapai oleh penelitian model ini adalah penelitian obyektif dan kritik jauh dengan cara partisipan harus menjadi peneliti untuk mendapatkan data, keyakinan dan praktik yang cukup tentang agamanya sendiri. Sejak itu mulai muncul peneliti kritis yang berani mengulas hal-hal yang bersifat sensitive sebagai dampak dari postmoderen yang mengedepankan sikap kritis dan reflektif.

Knott memberi ilustrasi bagaimana seorang peneliti yang mencoba membedakan antara proses kompartementalisasi dan elaborasi nilai. Adalah seorang Samuel Hielman yang merasa tidak dapat mengatasi jarak: tidak dapat melarikan diri dari penghalang biografi yang tercermin dalam penggunaan pengalamannya baik yang dekat maupun jauh. Ia juga tidak dapat menghindar untuk menggunakan istilah Ibrani, tetapi dia juga sering menggunakan bahasa studi agama dan ilmu-ilmu sosial guna menggeser perspektifnya. Berulang kali ia menggunakan istilah-istilah seperti tradisi, budaya, liturgi dan teks suci

daripada istilah dari Yahudi Ortodoks.20

Pengalaman keberagamaan Heilman memang subjektif. Namun, ia melampaui deskripsi pengalaman partisipan yang menggambarkan perannya sebagai sosiolog modernis Yahudi Ortodoks. Dia menyarankan bahwa proses observasi (orang lain dan diri sendiri) mampu membuat pemisahan. Ia juga berulang kali mencoba mengurai adanya perbatasan, hambatan dan sekat-sekat primordial yang menjadi persoalan krusial dalam dirinya. Hal itu bisa dibaca dalam otobiografinya, “the Gate Behind the Wall”.

Dalam buku tersebut Heilman menggambarkan kondisi dirinya sebagai seorang yang menghadapi ambiguitas dalam keberagamaan, yang harus terelaborasi dan terintegrasi dalam satu entitas yang sama sehingga sulit untuk keluar dari tarikan kooptasi kedua sisi tersebut. Heilman menegaskan bahwa ia telah berulang kali berusaha menutup batas antara dua dunia tersebut dan menemukan cara untuk membuat dirinya utuh dan terbebas dari religious split

(14)

personality.

Ia meneliti keberagamaan masyarakatnya di dalam sinagoge. Namun, ia tetap berambisi untuk terlibat dalam lernen, istilah Yiddish untuk praktik Ortodoks Yahudi yang menafsirkan teks suci. Dari posisinya sebagai peneliti ini ia menggunakan metode spasial dengan memasuki wilayah tradisi keagamaan esoteris. Itu sebabnya mengapa ia sering menggunakan istilah-istilah non-Yahudi.

Heilman menulis tentang ketegangan yang belum terselesaikan antara dua dunianya baik sebagai seorang Yahudi dan kapasitasnya sebagai sosiolog peneliti. Sedangkan Pearson menegaskan bahwa, apa pun

kesulitannya, kedua posisi tersebut harus disikapi secara reflektif rasional.21

Collins juga menekankan bahwa perbedaan antara insider-outsider menjadi tidak relevan ketika kita mengakui bahwa semua orang yang berpartisipasi, apakah beriman atau tidak, memberikan kontribusi pada pembangunan kemitraan secara sama. Sedangkan adanya dikotomi antara insider-outsider merupakan konsekuensi yang tidak kondusif untuk berpikir progresif. Pandangan ini serupa dengan yang diungkapkan oleh Mandair.

Mandair sendiri tidak sekadar mendeskripsikan, namun mengurai persoalan krusial ini berdasarkan pada klausa kasuistik. Dalam penjelasannya, seorang peneliti perlu mengusung jargon netralitas, imparsial, objektivitas dan

reduksionisme.22 Menurutnya, dalam melakukan kajian ilmiah baik insider

maupun outsider selalu mengartikulasikan posisi mereka dalam istilah-istilah tersebut. Baik Collins dan Mandair sama-sama mengundang kita untuk menggunakan pendekatan negosiatif, dengan sedikit penekanan yang berbeda. Collins menawarkan wacana modernisme dengan meninggalkan pandangan dikotomi insider-outsider untuk meraih hasil yang lebih dinamis di mana setiap orang adalah partisipan aktif dalam merumuskan narasi tentang agama.

21 Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, terj. Agus M. Hardjana (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 43.

(15)

Mandair lebih menikmati studi agama tentang bentuk penemuan diri. Pada umumnya ilmuwan memang menyoroti persoalan subyektivitas dan objektivitas, perspektif emik dan etik, serta implikasi epistemologis dan metodologis tentang studi agama. Mereka mencoba mengkomparasikan antara iman dan dunia, sakral dan profan, faith dan tradition atau antara

transendentally oriented dan historical aspect, antara teologi dan studi agama.23

Pendekatan fenomenologi, misalnya, ternyata masih belum mampu menemukan hakikat keberagamaan manusia yang sesungguhnya, sehingga perlu ditindaklanjuti melalui pendekatan alternatif filosofis kritis terhadap realitas keberagamaan yang berpijak pada aspek historis kultural secara menyeluruh. Apakah hal ini menunjukkan adanya perspektif baru bahwa masalah insider dan outsider merupakan elemen penting dalam menyikapi keberagamaan saat ini guna memahami teori dan metode studi agama kontemporer.

F. Menuju Objektivitas Metodologi Studi Agama

Persoalan yang sangat krusial dan dilematik dalam studi agama adalah bagaimana seorang peneliti mampu menjaga objektivitas dan netralitas dalam melakukan kajian agama, baik sebagai insider maupun outsider. Konsep yang

ditawarkan oleh Kim Knott adalah dengan pendekatan rapprochment,24 sebuah

metode yang bisa kita lihat dalam hubungan skema triangulasi berikut: Triangulasi Pendekatan Rapprochment

Subjektif (Firstness)

23 Arvind Pal Singh Mandair, Thinking……, hlm. 64.

(16)

Objektif (Secondness) Inter-Subjektif (Thirdness)

Pendekatan rapprochment merupakan upaya solutif intersubjektif guna memposisikan peneliti pada margin of appreciation sebagai tapal batas (border line) antara insider-outsider. Dalam pendekatan tersebut, tidak ada tuntutan untuk meleburkan diri dalam dua pribadi yang berbeda, namun dari keduanya masih dimungkinkan untuk dicari titik temu meski kecil. Jika dibandingkan, tolok ukur (standpoint) masing-masing unsur di atas dapat dijabarkan dalam bagan berikut ini.

Tolak Ukur Tiga Pendekatan

Subjective Objective Inter-subjective

The Word of Faith The word of Scholarship The word of

Rapprochement

Belief Impartialitas (Clarification

of ideas) Dialogis

Fideist/Theistic Objective Rationality Reflexity

Emic/insider Etic/outsider Circulair

Tawaran Knott, yang diadopsi dari Richard J. Bernstein, di atas menawarkan alternatif pendekatan dalam studi agama. Ia menempatkan ketiga unsur tersebut sebagai tautan reflektif sirkuler yang saling mengisi dan bukan merupakan eksistensi yang berdiri sendiri, apalagi sebagai hubungan subordinat. Spirit yang ingin dimunculkan dalam konteks studi agama adalah adanya titik temu dan bukan pembauran apalagi peleburan antar ajaran agama. Dalam aspek inter-subjektif itulah Knott menyebut rapprochment sebagai instrumen dialogis akomodatif. Meski demikian, tetap saja menyisakan persoalan pelik dalam mengurai jelaga objektivitas. Sebagaimana dapat disimak dalam pandangan Muhammad Abdul Rauf bahwa cara pandang subjektif sering membawa seseorang untuk memilih cara beragama dengan truth-claim, sebagai konsekuensi adanya keimanan.

Essai Kim Knott dalam McCutcheon25 kemudian membagi tawaran

pendekatan dari para ahli menyangkut problem studi agama perspektif

(17)

outsider/insider ini pada empat hal: Pertama, adalah pendekatan fenomenologi sebagai tawaran pemecahan menyangkut problem posisi otonomi pengalaman keagamaan. Tujuan pokok dari pendekatan fenomenologi adalah untuk memahami keberagamaan dengan mengunakan sikap empati dan menahan diri dari penghakiman (judgement) benar atau salah. Pendekatan fenomenologi ditawarkan sebagai metode yang obyektif dalam studi agama dengan lebih menekankan pada segi-segi persamaan bukan pada segi-segi perbedaan, sehingga cara dan metode berfikir fenomenologis dapat membantu dan memberikan sumbangan yang cukup berharga untuk menunjukkan kembali di mana sebenarnya mereka perlu

berpijak untuk dapat bekerjasama dengan penganut-penganut agama-lain.26

Fenomenologi lebih mencurahkan pada pengembangan teknik-teknik untuk non kritik. Prinsip fenomenologi adalah kembali pada data, bukan pemikiran. Observer harus melepaskan semua pengandaian dan keyakinan pribadinya serta simpati dalam melihat obyek yang dikaji. Dalam hal ini, empati membolehkan peneliti untuk mengembangkan pemahaman terhadap maksud dan makna pelaku

serta menyatakannya kembali dengan bahasa dan pengalaman peneliti.27

Namun demikian, karena persoalan ini menekankan pada kemampuan outsider untuk masuk dan mengenang kembali pengalaman dan tingkah laku seseorang yang begitu kompleks, maka fungsi penerapan fenomenologi- menurut Kim Kont masih diperdebatkan. Karena kemampuannya untuk memberikan penilaian pada persoalan otonomi pengalaman keagamaan seseorang masih diragukan. Sehingga, teori-teori yang dikembangkan para sarjana ini sering tidak sesuai dengan penjelasan penjelasan insider. Disinilah muncul apa yang disebut dengan konsep

“critical distance”.28

Itulah sebabnya, persyaratan rasa simpati dan empati menjadi sangat penting dalam hal mengkaji kondisi sosial budaya masyarakat muslim yang

26 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)

27 Russel T. McChutcheon, The Insider/Outsider Problem in The Study of Religion, dalam

“General Introduction” hlm. 3.

(18)

multi-kompleks. Wilayah ini tidak bisa didekati hanya dengan menggunakan logika positivistic-nomotetik dengan hanya memfokuskan pada hukum dan keteraturan umum (erklaren). Dalam konteks ini, seorang observer harus

mengedepankan logika idiografis dengan berusaha memahami (verstehen)29

gejala-gejala yang bersifat spesifik, bukan hanya menjelaskan berdasarkan hukum sebab akibat.

Kedua, Reduksionism, sebagaimana yang dicontohkan oleh mereka yang mengambil sifat ilmiah dan obyektif sebagai outsider. Reduksionism sejarah bisa dijadikan metode bagi peneliti yang ingin menjelaskan dan hakikatnya dengan merujuk pada pengaruh-pengaruh agama. Pendekatan Reduksionism ditujukan dalam kerangka untuk menangkap fenomena keberagamaan dalam bentuknya yang murni dan bukan merupakan tafsiran-tafsiran. Sehingga tidak ada jarak antara obyek dan subyek. Hal ini penting dilakukan, karena tidak adanya obyekivitas dan netralitas kajian islam kalangan outsider lebih disebabkan oleh karena mereka cenderung menampakkan superioritas-superioritas dalam kerja ilmiahnya, baik dalam bentuk agama, budaya maupun intelektual.

Dalam konteks kajian sosial, terdapat tiga tahap reduksi yang harus dilakukan oleh seorang peneliti. Pertama, tahap reduksi fenomenologi, yakni peneliti menunda menetapan keputusan tentang fenomena yang dikaji. Dalam reduksi ini, seluruh konsepsi dan pemahaman (word view) subyek harus diletakkan dalam tanda kurung (einklimers). Kedua, reduksi editis, yaitu subyek kembali kepada apa yang benar-benar ada dan apa yang benar-benar tampak atau fenomena murni atau struktur dasar hakiki. Ketiga, reduksi transenden, yaitu subyek kemudian kembali kepada dirinya sendiri atau subyek kembali kepada

(19)

kesadaran diri sendiri. Ketiga reduksi inilah yang akan mengantarkan subyek kepada yang substantive dimana terdapat kesesuaian antara makna dengan sesuatu yang tampak atau Sesutu yang diamati.

Ketiga, Netralitas dan metode agnostisisme. Pendekatan agnostisisme menggambarkan sebagai mediasi. Pendekatan ini menuntut peneliti untuk menghindari sikap validasi dan penolakan dengan berupaya untuk tetap netral ketika berhadapan dengan pertanyaan tentang kebenaran dan nilai. Dalam konteks ini, seorang peneliti dituntut untuk mengurung diri (bracketing out) serta menghindari pertanyaan-pertanyaan. Pendekatan inilah yang menurut Kim Knott, banyak dilakukan oleh kalangan ilmuan seperti yang diadopsi oleh Ninian Smart yang mengandalkan Insider dalam mengevaluasi account tanpa mempersoalkan kebenaran atau kesalahan mereka. Sikap netral dan mengurung (menahan) diri ini, akan mejadikan seorang peneliti bersikap abstain dalam membuat keputusan pada persoalan yang berkaitan dengan posisi kebenaran.

Pendekatan ini menjadi relevan, karena tujuan peneliti tidak untuk mengevaluasi (atau mengadili), tetapi dalam rangka memahami dan mendiskripsikan perbedaan dan persamaan yang kemudian melahirkan kompleksitas keyakinan dan tingkah laku manusia. Agnostisisme mengilustrasikan sebuah tindakan bahwa setiap manusia akan dapat memberikan alasan untuk keyakinan yang ada dalam dirinya. Agnostisisme juga bisa difahami sebagai sebuah sikap tentang perbedaan antara keyakinan dan pengetahuan, bukan klaim tertentu atau kepercayaan.

Keempat, Refleksifitas (Reflexivity)30 atau sebuah pemahaman. Yang

dimaksudkan disini adalah sebagai pendekatan yang memungkinkan untuk

30 Kata "refleksivitas" berasal dari bahasa Latin Pertengahan reflexivus dan dari bahasa Latin reflexus (Merriam-Webster Online). Secara etimologi Kamus Online memberikan definisi reflexus sebagai "membungkuk kembali" (Online Etymology Dictionary). Yang dimaksud dengan refleksivitas adalah: sesuatu yang "diarahkan atau menoleh kembali pada dirinya sendiri"; "ditandai oleh atau mampu refleksi" dan "dari, berhubungan dengan, ditandai dengan, atau menjadi relasi yang ada antara suatu entitas dan dirinya sendiri" (Merriam - Webster Online). Dalam arti kata "refleksivitas," ada asosiasi dengan refleksi, cermin, dan bermain antara sadar dan sadar, Ego dan Self. ( h tt p : // w w w . m y t h i c r h y t h m . c o m / 200 5 / 0 4 / r e f l e x i v i t y - s o u l f u l n e ss i n

(20)

mempertemukan jurang pemisah antara insider dan outsider dengan cara menentukan pengalaman insider melalui alat-alat interpretasi. Titik tekan kerja Refleksif ini lebih mengantungkan pada cara kerja postmodernisme yang terletak pada cara pandang dunia dengan menekankan pada sebuah perbedaan diatas aturan dan kesamaan. Dalam konteks ini, lebih menekankan pada alam bahasa yang bersifat metafora dan bagaimana pemahaman faktual berproses.

Upaya ini dimaksudkan untuk merancang pengalaman peneliti sendiri kepada orang lain. Sikap refleksif adalah posisi yang memusatkan pada satu hal dimana semua observasi merupakan proses kerja ilmiah yang tidak bisa di lepaskan dari pernyataan-pernyataan observer. Seorang peneliti yang mengedepankan pendekatan refleksif dalam kajiannya, akan mengembalikan pertanyaaan dan jawaban-jawaban kepada peneliti sendiri dan mereka akan lebih tertarik pada pertanyaan-pertanyaan mengenai sudut pandang peneliti dari pada issu netralitas, obyektifitas dan realitas.

G. Penutup

Dari pemaparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa problem yang terjadi dalam insider atau outsider berawal dari sikap peneliti yang belum dapat membuang jauh-jauh idenya yang berbeda dengan keyataan yang ada, sehingga objektifitas penelitian masih perlu diuji. Hal ini disebabkan oleh banyak hal salah satunya bahasa. Sementara posisi insider dan outsider dalam keontetikan dapat diketahui apabila peneliti dapat mewujudkan sikap saling belajar, jujur, dan terbuka bahkan simpati. Problematika insider dan outsider dapat penelitian dapat diminimalisir dengan pendekatan fenomenologi yang ditawarkan Russelt T. McCulcheon dan Pendekatanrappochment yang ditawarkan Kim Knott.

(21)

dan bahkan melahirkan pemikir muslim yang mampu memberikan sumbangsi keilmuananya di bidang studi Islam salah satu contoh M. Amin Abdullah yang terkenal dengan integrasi-intrerkoneksi nya dan lain sebagainya.

Sejatinya, kajian Islam dari para outsider memberi kontribusi gagasan-gagasan besar ilmiah yang memicu gerakan intelektual dalam peradaban Islam. Lahirnya daya kritis Islam terkadang lahir berkat kajian- kajian para outsider. Dengan cara berpikir kritis, intelektual Muslim mengetahui problem yang sedang dihadapi sembari mengusulkan pelbagai pemecahan yang harus segera dilakukan.

H. Daftar Pustaka

Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativitas atau Hstoritas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Abdurahmanm, Dudung. Sosial Humaniora dan Sains dalam Studi Keislaman. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.

Agus, Bustanuddin. Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi

Agama. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2006.

Bernstein, Richard J. Beyond Objectivism and Relativism: Sicience, Hermeneutics

and Praxis. Philadelpiha: University of Pennsylvania Press, 1988.

Crapps, Robert W. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, terj. Agus M.

Hardjana. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Ess, Josef Van. The Logical Structure of Islamic Theology, dalam Issa J. Boullata

(ed.), An Anthology of Islamic Studies. Canada: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992.

Firth, Raymond. An Anthropological Approach to the Study of Religion, dalam

Russell T. McCutcheon (ed.), The Insider/Outsider Problem in the Study of

Religion: a Reader. London: The Bath Press, 1999.

Knott, Kim. The Location of Religion, a Spatial Analysis. London, UK: Equinox Publishing, 2005.

Knott, Kim. Insider/Outsider Perspectives, dalam John R. Hinnells (ed.), The

(22)

and Fancis Group, 2005.

Mandair, Arvind Pal Singh. Thinking Differently about Religion and History, dalam

Chistopher Shackle, Sikh Religion, Culture and Ethnicity. Curzon: Ritzmon,

2001.

Mc Chutcheon, Russel T. The Insider/Outsider Problem in The Study of Religion,

dalam “General Introduction.

McLoughlin, Sean. Migration, Diaspora and Transnationalism: Transformations of Religion and Culture in a Globalising Age, dalam John R. Hinnells (ed.), The RoutledgeCompanion to the Study of Religion. London: Routledge Taylor and Fancis Group, 2005.

Mernissi, Fatima. Women and Islam: An Historical and Theological Inquiry. Oxford: Blackwell, 1987.

Minhaji, Akh. Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan Implementasi Yogyakarta: SUKA Press, 2013.

Morris, Brian. Antropologi Agama.

Muammar, M. Arfan Abdul Wahid Hasan dkk. Studi Islam Prespektif Insider/Outsider.

Mudzhar, M. Atho’. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Muhaimin dkk, Stud Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan Jakarta: Kencana, 2012.

Pike, Kenneth L. Etic and Emic Standpoints for the Description of Behavior, dalam Russell T. McCutchceon, The Insider-Outsider Problem in the Study of Religion. London: Cassel, 1999.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap modifikasi dan karakterisasi tepung jagung native serta tepung jagung HMT, penentuan pengaruh substitusi

Saat hamil, mioma uteri cenderung membesar, dan sering juga terjadi perubahan dari tumor yang menyebabkan perdarahan dalam tumor sehingga menimbulkan nyeri.. Selain itu, selama

Tanggal efektif penggabungan 31 Mei 2012 Tanggal Perkiraan Pembayaran untuk pemegang saham public SORINI 01 Juni 2011 Yang berkehendak untuk menjual sahamnya. Sumber : Info

Ditambahkan minyak ikan Scott Emulsion setiap hari sesuai dosis perlakuan (dosis 0,1 ml untuk perlakuan I; 0,2 ml untuk perlakuan II, 0,3 ml untuk perlakuan III, dan tanpa penambahan

Diharapkan hasil dari kegiatan ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar penghitungan potensi kayu untuk pengelolaan hutan secara lestari maupun penghitungan cadangan karbon yang

Pendekatan mensyaratkan pada dua langkah, pertama mengumpulkan hadis-hadis yang setema, kemudian digeneralisir untuk menemukan makna spesifik dari teks (hadis) dan melihat

Bagian ini berisi analisa serta perancangan yang dibutuhkan untuk membuat sebuah Game Edukasi Menyusun Kata dalam Bahasa Inggris dengan Melawan Zombie..

Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kadar hematokrit dengan lama rawat inap pasien diare akut pada anak dan terdapat hubungan antara kadar hemoglobin dan lama