1. Kaitan antara ke empat rumusan masalah.
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Sedangkan Gizi adalah elemen yang terkandung dalam makanan dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tubuh, seperti halnya
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Pentingnya ahli gizi untuk mempelajari antropologi dikarenakan kaitan antara ilmu antropologi dengan gizi masyarakat ini sangat erat. Seseorang atau suatu kelompok masyarakat mengalami gizi buruk bukan hanya karena faktor ekonomi, akan tetapi bisa juga disebabkan oleh faktor pendidikan, pengetahuan, kepercayaan, kebiasaan, kesukaan, sosial dan kebudayaan seseorang. Pada hakikatnya, bukan hanya faktor ekonomi saja yang mejadi penyebab masyarakat mengalami gizi buruk atau kurang. Faktor pendidikan, pengetahuan serta kebudayaan juga merupakan faktor utama penyebab terjadinya gizi buruk atau kurang gizi. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang makanan yang bergizi serta makanan yang layak di konsumsi dan
bermanfaat bagi tubuh. Padatnya waktu juga dapat membuat seseorang mengonsumsi makanan yang tidak baik bagi tubuh. Budaya konsumsi masyarakat Indonesia sangat mendarah daging, sehingga bisa saja membuat suatu etnis tertentu merasakan keberatan.
2. Menelaah apakah di lingkungan sekitar terdapat masalah gizi yang
dimana masyarakat tidak menyadarinya namun kita sadar.
Saya tidak tahu atau tidak menyadari.
3. Pentingnya antropologi dalam mempelajari gizi masyarakat.
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Sedangkan Gizi adalah elemen yang terkandung dalam makanan dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tubuh, seperti halnya
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Ilmu antropologi juga dapat memberi kepada para dokter ahli gizi yang akan bekerja di berbagai daerah dengan keberagaman kebudayaan, metode-metode dan cara-cara untuk segera mengerti dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan dan adat istiadat lain. Anderson (2006 : 311) menyatakan karena pengakuan bahwa masalah gizi di seluruh dunia didasarkan atas bentuk-bentuk budaya maupun karena kurang berhasilnya pertanian, maka semua organisasi pengembangan internasional maupun nasional yang utama menaruh perhatian tidak semata-mata pada pertambahan produksi makanan, melainkan juga pada kebiasaan makanan tradisional yang berubah, untuk mencapai keuntungan maksimal dari gizi yang diperoleh dari makanan yang tersedia. Karena kebiasaan makan hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya yang menyeluruh, maka program-program pendidikan gizi yang efektif yang mungin menuju kepada perbaikan kebiasaan makan harus didasarkan atas pengertian tentang makanan sebagai suatu pranata sosial yang memenuhi banyak fungsi. Pentingnya ahli gizi untuk mempelajari antropologi dikarenakan kaitan antara ilmu antropologi dengan gizi masyarakat ini sangat erat. Seseorang atau suatu kelompok masyarakat mengalami gizi buruk bukan hanya karena faktor ekonomi, akan tetapi bisa juga disebabkan oleh faktor pendidikan, pengetahuan, kepercayaan, kebiasaan, kesukaan, sosial dan kebudayaan seseorang. Dengan mempelajari ilmu antropologi kita akan mengetahui bagaimana cara menangani masalah kesehatan atau kekurangan gizi suatu masyarakat, serta dengan ilmu ini kita dapat
mengandung gizi untuk tubuh. Kita juga dapat menyarankan kepada masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak gizi yang tidak bertentangan dengan kebudayaan mereka.
4. Critical thinking mengenai budaya konsumsi.
Budaya konsumsi yang terjadi di masyarakat pada saat ini cukup menarik. Kebanyakan masyarakat Indonesia berfikiran bahwa mengonsumsi nasi adalah suatu kewajiban setiap harinya yang tidak dapat ditinggalkan. Hal ini dikarenakan pengukuhan bahwa nasi
merupakan bahan pokok utama masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Padahal, masyarakat Papua tidak menjadikan nasi sebagai makanan pokok mereka, tetapi sagu yang menjadi makanan pokok bagi mereka. Karena budaya memakan nasi yang mendarah daging bagi rakyat Indonesia menyebabkan masyarakat Papua juga mengikuti budaya tersebut. Karena hampir seluruh rakyat Indonesia menjadikan nasi sebagai makanan pokoknya, menyebabkan tingginya harga penjualan beras serta menyebabkan masyarakat yang berada di kalangan menengah kebawah semakin sulit untuk mengonsumsi nasi. Sehingga perlulah bagi ahli gizi memberikan pengetahuan tentang bukan hanya nasi saja yang dapat dikonsumsi sebagai makanan pokok, makanan lain seperti singkong, tebu, sagu juga dapat dikonsumsi sebagai pengganti dari nasi. Pada hakikatnya, pengaruh budaya dalam mengonsumsi makanan memang sangat kuat sehingga sulit untuk dirubah atau bahkan ditinggalkan.
Tidak hanya budaya wajib makan nasi saja, masyarakat Indonesia juga memiliki budaya memakan apapun asalkan kenyang. Dalam hal ini bukan hanya masyarakat yang tidak
berpendidikan saja berfikiran seperti ini, namun juga banyak masyarakat yang berpendidikan serta berkecukupan memiliki fikiran ini. Masyarakat tersebut berfikiran bahwa yang